Cerpen M.
Raudah Jambak
Surau di Sebelah Mesjid
Lelaki yang berdiri antara rumah dan
mimbarnya pada taman, di antara taman-taman di surga. Berdiri atas gundukan
tanah bersandar pada sebatang pohon kurma yang menangis menyaksikannya naik ke
atas mimbar dari kayu. Laksana unta yang menangis kehilangan anaknya. Lalu
lelaki itu memeluknya dan berkata,"mana yang kau pilih, hidup subur dan
rimbun atau menjadi pohonan surga?" Lelaki itu lalu me-nguburnya di bawah
mimbar empat tingkat yang kemudian menjadi puing di peti mati. Hanya tercium
aroma wewangi.
* * *
Malam ini surau begitu sepi. Cuma
diterangi sebatang lilin yang hampir padam dihembus angin malam. Jam di dinding
menunjukkan pukul tiga. Subuh masih lama. Lelaki itu baru saja mengambil wudhu.
Sebelumnya, ia tersentak bangun. Mimpi itu datang lagi. Tentang seorang lelaki
berwajah suci yang tengah memeluk sebatang pohon kurma.
Segera ia berdiri lurus ke arah kiblat,
sambil mengangkat tinggi kedua tangannya. Setelah itu, ia telah tenggelam dalam
kekhusukkannya. Raka’at demi raka’at telah dilewatinya. Di sujud terakhir, ia
begitu lama mengangkat kepala. Sementara angin masih mempermainkan lilin yang
terombang-ambing. Suara jangkrik mulai sayup-sayup kedengaran. Sesekali
terdengar suara kucing berkelahi memecah sunyi.
Angin mulai gelisah, ia bangunkan lelaki
itu bersama derit pintu dan jendela. Nyala lilin mengecil. Ia seakan mengigil.
Suara kucing sayup-sayup dikejauhan. Lelaki itu masih dalam sujud panjangnya,
seperti tak berkesudahan. Pelan-pelan terdengar takbir, lelaki itu lalu
menyelesaikan ruku’ paling akhir, menutup dengan salam.
Dengan kekhusukan yang dalam, lelaki itu
menumpahkan lautan zikir. Bersama sampan sajadahnya, ia tebarkan benih-benih
do’a. Seketika berubah tunas, lalu menjadi pohon raksasa. Pucuk-pucuknya mulai
meraih semesta. Lelaki itu pun dengan tertatih-tatih merih pucuknya. Ia tergesa
hendak menyampaikan halnya, kepada Sang Pencipta.
Entah apa hal yang disampaikan, lelaki itu
seketika itu pula terisak, di atas sajadah yang mulai membasah. Begitu
menyentuh, menyambut subuh.
Sudah beratus subuh yang dilalui, bersama
zuhur, ashar, maghrib dan isya. Surau hanya dipadati kesunyian. Lelaki itulah
imam dan makmumnya. Lelaki itulah nazir dan jama’ah yang paling setia. Dia
tetap bertahan pada hatinya. Selesai merangkai raka’at, ia lanjutkan dengan
tugis rutin yang bertahun-tahun telah dilewatinya.
Ia bersihkan halaman surau dengan sapu
lidi yang baru dibuatnya kemarin. Kali ini ia tidak meraba-raba. Ia menyapu
dengan leluasa. Halaman surau cukup terang dengan pantulan cahaya dari sebuah
masjid megah yang baru selesai dibangun dan sudah dioperasikan. Senandung
baris-baris ayat masih terdengar berkumandang dipuncaknya yang menjulang.
Beberapa orang jamaah, masih terlihat di sana,
berba-ring di teras mesjid.
"Assalamua’laikum, Angku!"
begitu sapa yang kerap dilontarkan kepadanya ketika orang-orang melintas di
depannya.
"Wa ‘alaikum salam, Sahabat,"
dengan senyum khasnya, ia menjawab sekaligus bertanya,"Sudah
sho-lat?"
"Oh, sudah di Mesjid itu!"
Angku Saba, si lelaki itu hanya
mengucapkan hamdallah sambil memperhatikan o-rang-orang yang menyapanya,
menghilang ditikungan jalan.
Perlahan ia kemasi peralatannya dan
memasukkannya ke gudang. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, ia melangkah
menuju kamar mandi tepas dengan peralat an wudhu’ seadanya. Ia bersihkan
dirinya dari kotoran tanah yang sempat menempel ketika membersihkan lingkungan
surau. Aliran air yang begitu kecil hanya mampu membersihkan tubuh alakadarnya.
Setelah itu, Angku Saba menuju ke kamar
yang menempel di samping surau. Ia ke-nakan baju gunting cina hasil sedekah
dari anak satu-satunya, yang kini menetap ber-sama suaminya di Jakarta. Istrinya telah lama berpulang, enam
bulan sebelum perni-kahan anaknya dengan Hasan, teman Nurul, anaknya, yang
sekarang menjadi pengu-saha pakaian jadi di Jakarta.
Angku Saba mengaso sejenak di teras surau
yang sudah mulai reot. Bertemankan segelas kopi pahit setengah matang dan rokok
daun kegemarannya, ia nikmati hasil kerjanya. Tersenyum-senyum bibirnya, ketika
seorang anak tanpa sengaja memasuki areal surau yang sudah dibersihkannya.
Seketika itu pula wajahnya berubah merah, ketika sebuah suara menghentak
memanggil anak itu. Lebih memerah lagi, ketika suara raungan tangis anak itu
membahana bersamaan dengan suara hardikan dan um-patan.
"Di situ banyak penunggunya tahu!
Banyak hantunya! Mau kesambet apa?!?!?" Angku Saba tercenung,"Kalau
mau main jangan sembarangan tempat, ngerti?!?!"
Angku Saba hanya mengelus dada, menarik
nafas panjang. Dalam minggu-minggu terakhir ini, ia lebih banyak istighfar.
Tiap malam tahajjud tak pernah ia lewatkan. Sholat sunat sudah beratus kali ia
kerjakan. Sudah begitu banyak do’a yang ia panjatkan. Berkali-kali pula kaji ia khatamkan. Ayat
kursipun selalu ia lantunkan, hantu mana yang berani berdiam?
Segera ia kemasi peralatan sholat termasuk
pengeras suara sederhana, sedekah dari hamba Allah dua puluh tahun yang lalu.
Ia pasang kaset yang melantunkan ayat-ayat suci ke dalam radio tua. Lalu ia
melaksanakan sholat sunat. Tidak berapa setelahnya suara azan terbata-bata,
suara azan terpatah-patah, menandakan sholat zuhur tiba. Suara azan itu semakin
terbata, ketika suara azan masjid sebelah menimpanya. Lebih ter bata lagi
ketika menggema suara azan dari puluhan mesjid di sekitarnya.
Angku menunggu, berpuluh menit berlalu. Angku Saba
berdiri, dia kembali sendiri. Ia tegakkan sholat, sekilas dari sudut matanya
terlihat para jama’ah datang. Segera mengambil posisi shaf. Dengan berbinar dan
bersemangat, ia angkat kedua le-ngannya sambil melantunkan takbir.
Raka’at demi raka’at telah dilewati, dan
berakhir pada salam. Begitu khusuknya Angku Saba sehingga ia langsung memimpin
zikir dan do’a. Setelah menutup do’a Angku Saba selanjutnya mengarahkan
salamnya ke jama’ah. Wajahnya berubah pucat.
Mulutnya hanya
bisa menganga. Segera ia berdiri setengah berlari menuju pintu surau dan tidak
mendapati siapa-siapa. Lama ia berdiri di pintu surau, setelah akhirnya ia
putuskan untuk mencari.
Angku Saba segera melangkahkan kaki
setelah semua pintu surau ia kunci. Sudah lama ia tidak pergi sekedar
melangkahkan kaki bersilaturahmi. Itu dikarenakan karena selama ia pergi tidak
ada yang menjaga surau. Ia tidak takut ada pencuri atau pen-dengki. Ia hanya
khawatir kalau seandainya ada tamu yang datang mencari. Paling ti-dak ada yang
duduk menunggu untuk mengabari.
Tidak sampai satu jam ia meninggalkan
surau, sayup-sayup terdengar suara gaduh dari arah surau. Betapa terkejutnya Angku
Saba demi melihat orang-orang berlarian membawa air. Lebih terkejutnya ia
ketika ada asap yang mengepul, yang bersumber dari api yang tengah menjilat
surau.
Sontak saja Angku Saba berlari ke arah
surau. Entah kekuatan dari mana yang men dorongnya sehingga ia begitu cepat
berlari. Tidak melihat lagi ke kiri dan ke kanan. Menembus kerimunan
orang-orang yang sibuk memadamkan api agar tidak melebar, menyambar mesjid yang
tidak begitu jauh dari surau.
Orang-orang terkesima melihat Angku Saba
yang tengah melakukan aksi penyela-matan. Peralatan sholat tua yang pernah
disedekahkan. Dan lebih terkesima lagi, ketika sebuah balok kayu yang terbakar
tumbang, kemudian jatuh tepat menimpa Angku. Orang-orang segera menolongnya.
Membopongnya ke tempat yang lebih aman, memberi pengobatan sederhana dari alat
pengobatan sederhana yang terakhir diselamatkan Angku Saba sebelum ditimpa
balok yang terbakar. Angku seketika pingsan.
* * *
Angku Saba siuman. Pelan-pelan ia buka
matanya. Ia menatapkan ke sekelilingnya. Semua kelihatan putih-putih. Termasuk
pakaian yang membalut tubuhnya. Ia mencoba-coba mengingat-ingat. Butiran air
matanya menitik. Sejuta penyesalan menyeli-muti pikirannya. Dalam keadaan
terisak, ia tutupi wajahnya sambil memohon berjuta pengampunan.
"Ayah sudah bangun?" seorang
perempuan muda masuk. Ia duduk di samping Angku, sambil mengaduk-aduk bubur
yang dibawanya,"makanlah dulu. Istrahat saja. Dokter mengatakan kondisi
ayah akan pulih, jika banyak-banyak beristirahat."
Angku hanya diam.
"Setelah sembuh Nurul mohon ayah mau
tinggal dengan kami di Jakarta.
Ayah maukan?"
"Bagaimana dengan surau?"
"Ayah, sudahlah tidak usah pikirkan
lagi surau itu. Lagi pula surau itu sudah rata dengan tanah sekarang."
"Apa?!?!" Angku Saba meronta,
segera berdiri, ia berlari.
"Ayah tunggu!"
Angku Saba terus berlari, ia tidak perduli
dengan teriakan-teriakan yang mengejar-nya. Ia berlari dengan sangat kencang.
Entah kekuatan dari mana yang datang sehing-ga orang-orang tidak mampu
meraihnya. Beberapa meter lagi ia sudah hampir sampai
Jika saja ia
tidak menabrak sepeda yang melintas di depannya. Angku Saba terjungkal.
Ia terjatuh
bergulung-gulung, dan terhenti ketika kepalanya membentur dinding pembatas jalan
halaman mesjid. Jama’ah yang masih berada di mesjid segera memburunya.
"Ayah?!?!" Hasan,menantunya yang
lebih dahulu tiba meraihnya,"Ayah?!?!, Ayah, Ayah?!?!"
Orang-orang berkerumun mengeliling Angku
Saba yang terkulai lemah. Matanya tak terbuka. Mulutnya terkatup begitu saja,
seketika ia terdiam seribu bahasa. Nurul, anaknya memeluknya erat-erat
seketika. Jeritannya membahana.
* * *
Lelaki yang berdiri antara rumah dan
mimbarnya pada taman, di antara taman-taman di surga. Berdiri atas gundukan
tanah. Bersandar pada sebatang pohon kurma yang menangis menyaksikannya naik ke
atas mimbar dari kayu. Laksana unta yang menangis kehilangan anaknya. Lalu
lelaki itu memeluknya dan berkata,"mana yang kau pilih, hidup subur dan
rimbun atau menjadi pohonan surga?" Lelaki itu lalu me-nguburnya di bawah
mimbar empat tingkat yang kemudian menjadi puing di peti mati. Hanya tercium
aroma wewangi.
Medan, 04-13
M. Raudah Jambak, lahir
di Medan-5
Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM
Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater
Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM
Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda
Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover"
dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog
nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga
pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH
Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio
Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI
Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta
puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan.
Saat ini bertugas di beberapa
sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota
HISKI Sumut (2005-2008) .Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis
Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 081533214263.E-Mail:mraudahjambak@plasa.com,
mraudahjambak@yahoo.com
Selain itu beberapa buku yang
memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi
cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia,1999), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP
Medan,2000), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK,2001), TENGOK (antologi
puisipenyair Medan,2001), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama
A.Parmonangan,2002), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay2000), MEDITASI
(antologi puisi tunggal,20003), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair
Sumatera Utara, Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa
Sumut,2004)dan Perempuan berhati gerimis(antologi puisi bersama M.Iqbal Irawan,
Medan,2005), Jogjakarta 5,9 SR (antologi puisi 100 penyair, 2006), Dari Pemburu
Ke Terapeutik (antologi cerpen Nusantara Pusat bahasa,2004) . Sekarang ini
aktif di Sanggar GENERASI Medan.
5 comments:
Rindu
Karya:M.HANAFI.SRG
Rindu mengapa kamu
terus mengHampeiri aku
dengan, senyuman mu
dengan panggilan mu.
Hati rindu tak ada
Yang bisa ngobati
Tetapi kenapa, sakit
Gigi ada yang mampu
Ngobati.
Ataukah rindu adalah
Penyaki hati tiada tara
Atau persan hati yang
Gundam ataukah.
Penyakit dan persan
yang gundam tiada tara
aku bertanya kepada kalian?
apakah betul ini semua .
jawab jawablah pertanyanku
kenapa!kenapa!!! kalian diam
ha, aku tau jawaban nya kalian
kenapa diam pasti kalian tidak
tahu menjadi seorang perindu,.
kLian jahat! karena kalian tidak
menjawab pertanyan ku atau
aku sekarang berlari dari kebodohan
dan ke binggungan yang melanda aku
karena aku tidak tahu apa
arti rindu sesungguhnya.
Mbah google
karya:m.hanafi.srg
adam bah google!
yang sedang di tengok eva!
konon kalimat nya, selalu benar semua?
Dengan mengetik,lalu dia
ditekan! Keluar lah apa yang
akan dicari!
Kata si eva tolong! Tolong! Tolong!
Ada ujin datang dia minta tolong
pada mbah! Google,,
tolong
Bantuin aku karena ini ujian bahasa indonesia!
guru nya nama nya pak raudah.
Kata si google: aku mau bantu tapi,
Jangan sampai ketauan sama pak raudah nya
karena! Sempet ketahuan kamu akan di
Juluki!
Manusia idiot! karena engkau minta tolong.
Sama aku bukan! Sama guru mu atau tuhan mu
Berdoa!lah sama tuhan mu ?
Agar engkau bisa mendapatkan jawaban nya.
oke dan minta doa restu kepada??? Kedua ibunda dan ayhanda mu
Lolipop
Karya:m.hanafi.srg
Hari ini aku berjalan
Berjalan sampai maut menjemput
Karena lolipop ku yang memutilasi.
Hingga kotak kotak dibungkus dengan?
Kantong plastik yang akan siap di buang!
Ke sungai jamban. yang berda dalam
Kamar ku yang di penuhi sampah!
Dan di tutupi daun .
Sehingga mengendang sesorang yang
Datang ke rumah ku! Dan dia tanya
Bau apa ini! Bau apa ini! Bau apa ini!
Dia tanyak berualang kali! Dan aku hanya
Diam tersipu. Terus aku bilang bau
Sampah yang ada dikamar mandi? Sana,
Tapi dia tidak percaya dia terus bertanya?
Hingga dia curiga dan ia masuk ke jamban ku.
Yang penuh! Mayat. Dan ia nanyak
Kepada ku. Siapa mayat ini dan aku
Menjawab! Dengan mayat ku tapi dia,
Tak mendenger. Karena aku di bunuh!
Oleh lolipop ber bulu hitammmmmm.
Munafik
Karya:m.hanafi.srg
Telah ku rebahkan seribu sayap ku.
Telah ku rebahkan seribu ekor ku.
Telah ku rebahkan seribu kepala ku.
Telah ku rebahkan seribu kaki.
Untuk mu yang telah menjanjikan yang tak pasti!
Untuk mu yang telah melupakan apa yang kau ucap!
Untuk mu yang telah melupakan semua,
Janji dan ucapan yang manis mu.
Tapi apakah manusia munafik seperti mu.
Bisa hidup,ataukah manusia munfaik seperti mu.
Harus mati! Di cabut oleh sang dewa.
Pencabut nyawa yang berjumba hitam
Dan parang yang ujung nya siap di tancapkan.
Post a Comment