PAK GURU KUSNO
M. Raudah Jambak
DUA puluh tahun sudah Pak Kusno mengajar di Perguruan
Budi Hati. Selama itu pula dia mengabdikan segala apa yang dimilikinya dengan
ikhlas. Awalnya perjuangan berat untuk melamar menjadi guru di Perguruan Budi
hati itu betul-betul dirasakannya. Termasuk, ketika ia melamar untuk mengikuti
seleksi guru PNS, walau pada akhirnya gagal. Dia ikhlas. Seleksi penerimaan
sengat ketat, mulai dari ujian tertulis, tes mengajar, tes kemampuan berbahasa
Inggris, tes psikologi deb berbagai tes lain perihal kedisiplinan.
Dua puluh tahun sudah, perubahan-perubahan pun makin
tampak. Puncaknya berlangsung sebelum tahun ajaran baru ini, setelah pergantian
kepala sekolah. Perubahan yang paling jelas ketika penerimaan guru dan murid.
Segala persyaratan yang sudah dilakukan oleh pendahulunya tidask di lanjutkan
lagi.
Sebagai guru yang cukup lama mengabdi, Pak Kusno
merasa perlu mengingatkan kepala sekolah agar jangan terlalu gegabah.
Perdebatab pun terjadi. Kepala sekolah masih tetap pada pendiriannya. Pak Kusno
masih belum dapat menerima alasan-alasan yang di uraikan kepala sekolah. Pak
Kusno melanjutkan persoalan ini ke Pihak yayasan. Keduanya di pertemukan. Pihak
yayasan bertindak sebagai penengah dengan memberikan arahan-arahan. Kepala
sekolah masih bersikeras. Pihak yayasan akhirnya memutuskan agar Pak Kusno yang
harus mengalah. Dan dengan berat hati dia akhirnya mau menerima saran dari
pihak yayasan.
“Apapun alasannya, saya yakin bapak kepala sekolah dan
Pak Kusno berpikiran sama-sama untuk kemajuan sekolah kita. Perubahan-perubahan
apapun yang bentuknya tidak salah kita terima asalkan untuk kemajuan sekolah
kita. Dan Pak Kusno tidak perlu merasa kecewa. Saya kira pertemuan kita hari
ini selesai”.
Pak Kusno terdiam. Kepala sekolah tersenyum penuh
kemenangan.
***
Belum setahun berlalu. Entah siapa yang memulai,
tiba-tiba sekolah gaduh. Satu pleton polisi datang ke sekolah. Pak Kusno yang
sedang mengajar Bahasa Indonesia di kelas III IPS 3, terkejut. Tiga orang
polisi berseragam datang mengetuk pintu kelas.
“Permisi, Pak”.
“Ada
yang bisa saya Bantu, Pak?” balas Pak Kusno sambil berjalan kea rah pintu
menuju tiga orang polisi.
“Maaf, Pak. Sesuai perintah atasan berdasarkan
laporan-laporan yang di terima, di sekolah ini telah masuk narkotika yang di
edarkan melalui para siswa. Dan operasi ini kami sebut sebagai operasi ‘Kasih
Sayang’.
“Tunggu dulu, Pak. Mungkin informasi yang bapak terima
keliru. Saya sudah lebih dua puluh tahun mengajar disini dan tidak pernah
mendengar ada siswa yang terlibat narkoba, ganja dan sebagainya. Saya harap
bapak mengerti”.
“Kami sangat mengerti, Pak. Kami tidak menyalahkan
guru ataupun murid-murid di sekolah ini. Tapi kami hanya berusaha untuk
mencegah sekolah ini di manfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab”.
Pak Kusno terdian dan membiarkan ketiga orang polisi
itu memeriksa murid-murid dan alat-alat tulisnya. Murid-murid kelas III IPS 3
bungkam. Kecemasan terpancar dari wajah mereka. Seorang polisi tiba-tiba
memanggil dua polsi lainnya, kemudian menghubungi pusat lewat alat komunikasi
khusus mereka.
Polisi itu tiba-tiba menarik seorng pelajar laki-laki
ke depan. Pak Kusno terkejut. Dia melihat Novianto berdiri gemetar dengan wajah
pucat pasi. PAK Kusno juga murid-murid lainnya tidak menyangka Novianto, anak kepala
sekolah tertangkap basah menyinmpan ekstasi di dalam tasnya. Segera saja
Novianto di bawa keluar.
“Tunggu, Pak!” ujar Pak Kusno, “Novianto ini adalah
anak kepala sekolah. Sebelum dibawa sebaiknya dibawa ke kantor kepala sekolah
dulu”.
Ketiga polisi itu saling berpandangan. Salah seorang
di antaranya mengangguk. Novianto segera di bawa ke kantor kepala sekolah.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba seorang murid
mengetuk pintu dan masuk.
“Permisi, Pak. Bapak di minta datang ke kantor kepala
sekolah”
Persis ketika istirahat, suara sirine mobil patroli
polisi datang, berhenti persis di depan kantor kepala sekolah. Murid-murid
perguruan Budi Hati berdesakan di sekitar kantor kepala sekolah. Dari arah
kantor kepala sekolah beberapa orang polisi terlihatkeluar di iringi kepala
sekolah. Di depan mereka Pak Kusno di giring ke mobil patroli. Novianto yang
telah di bawa dari kels tidak terlihat di sana.
Dia hanya mengintip dari balik tirai jendela kepala sekolah. Pak Kusno di bawa
ke kantor polisi.
***
“Maaf, Pak. Ini jelas fitnah.” Mata
Pak Kusno berkaca-kaca.
“Berdasarkan bukti-bukti di lapangan
bapak jelas di nyatakan bersalah”.
“Tapi, bukan saya pelakunya, Pak”.
Malam yang begitu gelap, belum apa-apa
dibandingkan dengan gelapnya situasi saat ini. Tapi, ia yakin Tuhan tidak
tidur. Tuhan pasti punya cerita lain di balik peristiwa ini. Tergantung
bagaimana keihklasan pengabdiannya saat ini. Baginya ini bukan ujian, tapi
justru kenikmatan.
oOo
“Pak, bangun!”
Azan subuh masih terdengar berkumandang. Pak Kusno sigap
beranjak setelah matanya tertumpu pada jarum pendek yang menggantung di jam
dinding.
“Ayolah, Pak. Subuh.”
Aduh, senyum itu begitu manis. Bukan senyum laki-laki
berkumis. Tetapi, senyum seorang perempuan setengah baya yang sampai saat ini
masih setia menebar benih kasih dan cintanya.
“Alhamdulillah….”
Medan, Komunitas Home Poetry,
20-14
No comments:
Post a Comment