Friday 18 July 2008

Lomba Penulisan Cerpen, Puisi, dan Naskah Drama

Lomba Penulisan Cerpen, Puisi, dan Naskah Drama

Dewan Kesenian Riau (DKR) kembali mengadakan sayembara penulisan karya sastra yang diberi nama Laman Cipta Sastra (LCS). Sama seperti tahun lalu, LCS 2008 juga akan memperlombakan penulisan cerita pendek, puisi, dan naskah drama. Selain itu, pada acara puncak nanti juga ada lomba berbalas pantun dan membaca syair.

Khusus untuk penulisan cerita pendek, puisi, dan naskah drama, lomba ini terbuka untuk umum se-Indonesia. Sedangkan membaca syair dan berbalas pantun hanya dikhususkan untuk peserta dari Riau.

Syarat cerita pendek, ditulis antara 4 sampai 12 halaman di atas kertas kuarto dengan huruf times new roman 12pt. Naskah disertai dengan surat penyertaan dan curriculum vitae. Selain itu juga disyaratkan melampirkan foto kopi identitas diri. Naskah dibuat tiga rangkap, salah satunya adalah asli dan dimasukkan ke dalam amplop. Naskah dikirimkan ke panitia pelaksana LCS 2008 kantor Dewan Kesenian Riau (DKR) Komplek Bandar Serai Purna MTQ Jalan Jendral Sudirman Pekanbaru-Riau. Selambat-lambatnya, naskah tersebut sudah sampai di tangan panitia pada 21 Juli 2008. Pengumuman pemenang akan diadakan pada 31 Juli 2008.

Untuk naskah drama dan puisi, persyaratannya sama dengan cerita pendek. Bedanya hanya pada jumlah halaman. Kalau puisi tidak diberi batasan, sedangkan naskah drama minimal 20 halaman dan maksimal 40 halaman.

''Naskah yang dibuat penulis sejatinya memiliki ruh Melayu Riau dengan mengangkat semangat, khasanah, dan seluruh sisik melik kehidupan masyarakat Melayu Riau secara umum,'' kata Ketua Umum DKR Eddy Akhmad RM.

Kepada sastrawan yang berminat untuk mengikuti program dan masih memerlukan penjelasan, dapat menghubungi panitia di nomor telepon 0761 25903 dengan Rusli dan Herlela Ningsih atau di nomor handphone 081371254025 dengan Saidul Tombang.***


Anggang dari Laut
Oleh Pinto Anugrah
”Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air akan terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang mendayu-dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah ayahmu! Ia berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!”

Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke darah, mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku.

“Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke samudra manapun.”

Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak menyurutkan hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih berganti menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-habisnya turun dan naik dari kapal-kapal.

“Apa yang kau lamunkan, Bujang?”

Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia seorang kuli angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar.

“Saya hendak sangat berlayar.”

Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian. “Ke mana kau akan berlayar, Bujang?”

“Entahlah. Ke mana gelombang akan membawa.”

“Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran. Membidikkan meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau menghadapinya?”

Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. “Boleh saya tanya sesuatu.”

“Apa yang hendak kau tanyakan?”

“Kau tahu di mana letaknya laut yang sedidih?”

Ia terkesiap, seketika ia hentikan pekerjaannya. Dan langsung berlari, menghilang di balik kerumunan orang. Bandar sangat ramai, aku tak dapat melihat ke arah mana ia lari. Tinggal rasa heranku.

Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku melayang entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di belakangnya seorang tua mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang. Tampaknya ia seorang tua yang sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia menghampiriku, sangat dekat, memandang lekat-lekat.

Ia berkata setengah berbisik, “Siapa yang kau cari, anak dagang?”

Aku memandang wajahnya yang teduh itu. “Anggang!”

Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai seorang tua. “Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah lama berlayar dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang.”

“Aku anak Anggang!”

Kali ini keterkejutannya tak dapat ia sembunyikan. Ia terdiam, beberapa saat.

“Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa dirantai.”

Kawanku, kuli angkut, turut mengangguk. Mengiyakan. Meyakinkanku.

Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat menembus luas lautan. “Datang juga masa itu!”

***

Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu yang lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi berasa apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab. “Asin,” umpatku, “Seasin air laut...”

Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam.

Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung menyekap dan merantaiku. Kawanku—kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas, “tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!” Kemudian ia menghilang di antara kerumunan orang yang menonton.

Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan mata.

“Kau dari mana?”

“Siak!”

Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-benar kelam.

***

“Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!”

Ia duduk berhadap-hadapan denganku. Sebuah meja Turki memisahkan. Tampangnya begitu dingin, walau airmukanya kelihatan bersih. Aku tak mengenalnya.

“Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang yang kau sebutkan tadi.”

Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang ditertawakannya. “Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini.”

Orang-orang yang berdiri di sudut ruangan itu pun ikut tertawa.

“Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu, maka kau bebas!”

“Di laut yang sedidih.” Aku menjawabnya cepat.

Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar kapal ke hadapanku.

“Tunjukkan! Di mana laut yang sedidih itu!”

Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang tebal dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa baris, aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan itu dengan berusaha membacanya satu persatu.

“Inuk.” Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta.

Ia langsung tercenung, semua tercenung.

“Inuk?”

“Bukankah Inuk wilayah kekuasaan raja-raja Bugis di Lingga?”

“Kita tidak bisa masuk ke dalamnya.”

“Jika tetap masuk kita akan berperang dengan Bugis-bugis itu.”

“Saya tidak percaya Anggang berada di Inuk, Syahbandar.”

“Kenapa kau tidak percaya?”

“Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci oleh raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya pada orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun.”

Syahbandar langsung memukul meja di hadapanku.

“Budak ini mencoba menipu kita!”

Sebuah benda keras lagi-lagi dihantamkannya ke kepalaku. Membuatku tersungkur ke meja, darah segar langsung keluar mengalir dengan deras menggenangi meja buatan Turki itu, membentuk lautku sendiri. Tiba-tiba aku seperti tersadar, inikah laut yang sedidih itu? Mana mungkin, aku menepis pikiran itu.

Samar-samar aku masih mendengar amarah mereka.

“Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya. Tidak ada gunanya budak ini di atas kapal kita.”

“Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik dan licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya.”

***

“Bangun! Bangunlah, Anakku!”

“Kaukah itu Ayahku? Kaukah itu Anggang?”

“Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama kecilmu itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku.”

“Di mana? Di mana kau, Ayah?”

“Ada di hatimu.”

“Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung.”

“Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap kuasa atas segala selat dan pesisiran.”

“Kita pernah bertemu. Bukankah kau yang di bandar tempo hari?”

“Ya, bentuk lain dari penyamaranku.”

“Di mana aku saat ini?”

“Ada dalam dirimu.”

“Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk?”

“Tidak. Itupun lebih dikaburkan. Kenapa kau datang ingin menemuiku?”

“Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu.”

“Laut telah mengikatku!”

“Ayah!”

“Dan suatu saat kau pun akan diikat laut!”

“Ayah!”

“Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!”

“Ayah!”

“Salamku untuk ibumu!”

“Ayah!”

“Bangun! Bangunlah, anakku!

“Oh, di mana aku?”

“Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja.”


“Ayah! Di mana Ayah? Ayah!”
“Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi.”

“Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, bagaimana dengan Ayah?”

“Kau bicara apa?”

“Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, Ibu?”

“Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!”

“Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?”

“Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!”

“Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!”***


Kandangpadati, 0705 – 09



Pinto Anugrah, lahir pada tahun 1985. Giat di Komunitas Daun dan Ranah Teater serta Teater Langkah Padang. Pemenang 3 Sayembara Naskah Drama Dewan Kesenian Riau (DKR) 2007. Saat ini menetap di rumah kreatif Kandangpadati Padang sambil menyelesaikan studinya di Sastra Indonesia Unand. Alamat Surat Jl Aur Duri Baru No. 25 Rt I/Rw II Padang.
E-mail: king_of_chotic@yahoo.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya


Sajak-sajak Syaiful Bahri
senandung khalidah (episode penantian)
:aini

aku di sini mendengar bunyi rindu kasmaran
menggores takdir di setiap hempasan asmara
irama daun-daun kering yang pernah kita peram
dalam ingin mencumbu ratusan hari
dari pecahan sajaksajak penghabisan
ketika perpisahan menjadi abu paling kelabu
dan ampas rempah-rempah cinta yang layu

ingatkah engkau saat kita menambatkan kerinduan
di sepanjang amarah yang menjalar dari kenangan
kita menyulam cemburu lewat sayatan air mata yang sungsang
karena amuk asmara terhimpit resah bukan kepalang
amuk asmara berhembus membawa cinta
katakata lepas semudah keinginan tentang kehilangan
dan langkah ini tertatih menahan dendam pada kerinduan yang semakin geram
semakin geram karena hujan yang basah terus gugur berkelindan

oh asmara tancapkanlah wewangi bunga di taman-taman sedap malam
biarkan keharumannya tetap mengalirkan seribu kalimat
di sungai rindu yang lamat-lamat mampat
membasahi setiap detil ingatan reranting cinta
menyelipkan kelopak rindu dari amarah yang menguntil setiap malam

lihatlah pertengkaran ini
terus saja melebur rindu ke dalam paru-paru asmaramu
mengais bulirbulir cinta yang terjatuh
saat aku mencoba berpaling untuk mencari kembali getar-resah dari setumpuk naskah beritamu
biarpun angin yang berhembus membawa sobekan catatan kesedihan yang pernah tercecer dari hatimu

adakah engkau sembunyikan kalimat cinta yang aku tanam di padang kering kemarin sore?
aku ingin mencarinya di dalam gudang asmara
sebab di sebelah selatan tubuh ini masih tersisa
separuh rusuk yang engkau curi
dan sebelum habis aku ingin menanamnya kembali
agar gelora kesunyian tak lagi membakar semuanya
dan nyanyi kerinduan selalu ada:
“duhai senandung khalidah, berguguran separuh sajaksajak cinta ini dari benak yang sunyi”

ada aroma tubuhmu yang berhembus lewat detik-detik waktu
dan luruh melewati cahaya bulan yang bergerak teramat cepat;
januari, februari, maret, april, mei, juni
sejenak aku ingin memberi jeda selangkah saja
dari setiap bulan yang penuh misteri ini
juli, sayangku, biarkan kita kemasi seluruh sajak-sajak ini
dan kita susun sebentuk rumah mungil di pinggiran kota
lalu kita teruskan lagi perjalanan panjang setiap bulan
di antara gerbong angka-angka yang terus bergerak
membawa perahu kita melewati agustus, september, oktober, november, desember,
januari, februari, begitu pun akan terus berlalu, sayangku

Pekanbaru, 4 Januari 2008


hikayat datuk-datuk yang menyimpan risau

datuk-datuk penjaga hikayat berlari meninggalkan khianat
memeluk mazhab dari risau burungburung yang selalu menghitung sejumlah ayat
yang lewat. lalu mengumpulkan huruf-huruf yang sekarat, sekejab
memilin tabiat, dan mengikat sebentuk resah dari laknat

di sini anak-anak dari selat menunggu malam, mencumbu remang petang yang satir, dari lesung rindu yang mangkir, dari sumpah yang pernah mengalir, karena sebentuk amarah termaktub di matamu saat kegalauan bersebati senja itu. dan engkau bersijingkat pada satu tiang melintang yang menanggung gamang, dari tubuh-tubuh mengambang sepanjang petang.

selangkah waktu bergegas menyiangi setumpuk doa setelah seharian lelah berputar mengitari hari, lamunan hadir, angin berbisik, dan airmata mengalir
lewat arakarakan sekumpulan burungburung kepodang di atas selembayung, di singgasana kekuasaan abadi:
“inilah nyanyi burungburung dari aroma dengki, dari lumpur, dari gambut, dan dari laut yang tak pernah lagi sujud”

Pekanbaru 2007

SYAIFUL BAHRI PAKPAHAN adalah alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Riau, Ia seorang penikmat puisi. Karyanya dapat ditemukan dalam buku Tafsir Luka (Yayasan Sagang 2005), Jalan Pulang (Yayasan Sagang 2006), Selat Melaka (BKKI-UIR Press 2007), Komposisi Sunyi (Yayasan Sagang 2007).

JANTUNG PISANG RAJA

Gulailah jantung pisang raja
Dengan sambal belimbing kuning
Atau dimasak dendeng kering
Laksana pesta di Pondok Burana *)

Gulailah jantung penyair nyinyir
Dengan sambal dengki dan resah
Nyeri pedih dibelah bibir
Seperti pemabuk berpesta ludah

“Aguk,dimanakah Javed Satha berada?
Apakah mengunjungi makam Sunan Sendang?
Ataukah berenang bersama ikan sembilang?”

Mereka bersama bocah angon di Hutan Kayu
Memanjat pohon belimbing sore-sore
Untuk sambal gulai jantung pisang raja
Bekal pesta “Rembulan Jembar Kalangane”

Jakarta, 20 April 2008 01.00

(*) Pondok Pesantren Burana berada di pedalaman Hutan
Narathiwat,Pattani,Thailand selatan

PERHATIKAN penyertaan huruf "h" pada petikan puisi berikut: //tak lagi kausebut nama kami/ pada hangin pada hombak pada hawan/.... hapakah kami hakan halurkan tangan/ sambil kami heja nama kami/ megat sri rama....
Hantu Dapur
Oleh Hang Kafrawi
Sebagaimana diyakini oleh orang banyak, bahwa hantu selalu muncul pada malam hari. Hal ini cuma untuk memunculkan suasana seram saja, padahal pada siang hari juga hantu-hantu ada. Begitu juga kejadian hantu yang bermerek Hantu Dapur ini. Peristiwa ini terjadi pada malam hari, ketika gerimis terus berguguran tak henti-henti sepanjang malam.

Hantu Dapur seperti manusia biasa juga. Ia hidup berkelompok, dan memiliki saudaramara, alias keluarga. Ada yang dipanggil emak, ebah dan anak. Pada malam itu, di suatu rumah, hantu dapur hidup di rumah yang juga didiami oleh manusia, terdengar suara perkakas dapur berjatuhan dilempar ke lantai. Seorang atau lebih tepatnya hantu kecil jantan menangis di jendela dapur yang terbuka. Badan hantu kecil itu kurus kering, rambutnya hampir botak dan keriting. Air mata tidak putus-putus membasahi pipinya. Sementara perkakas dapur berserak di lantai. Hantu kecil itu terus saja menangis, tidak ada yang membujuknya.

Sesekali ia menatap perkakas dapur, lalu meraung sejadi-jadinya. “Payah, terlahir dari rahim hantu tua (maksudnya orang tua) yang miskin dan papa-kedana. Hendak makan saja susah,” hantu kecil itu bersungut sambil terus menangis. Badannya yang kurus kering bergoyang semua. Dada yang tinggal tulang-tulang berbalut kulit, bergerak cepat mengikuti irama tangisan yang keluar dari mulutnya.

Hantu kecil itu memegang perutnya. Ia tidak tahan lagi menahan lapar. Bibirnya yang kering digigit kuat-kuat, lalau ia berteriak “Aku lapaaaarrrrr!” Teriakannya keras`sekali (tentu saja teriakannya tidak terdengar oleh manusia, kalau dengar, hi…takut) menyebabkan hantu-hantu dapur jirannya terkejut dan berlarian menuju ke rumah hantu kecil itu.

Hantu-hantu dapur berkumpul di rumah hantu kecil itu dengan menggunakan penutup tubuh seadanya. Ada berkemban kain saja, ada yang memakai celana pendek tanpa baju, dan ada juga yang hanya mengenakan handuk dan sikat gigi masih di mulutnya. Hantu-hantu itu saling berpandangan, bertanya satu dengan yang lainnya. Masing-masing tidak dapat menjawab, apa yang sedang terjadi.

Salah satu hantu dapur agak muda, yang berpakaian agak rapi, dengan baju masuk ke dalam celana (mungkin mau berkunjung ke rumah pacarnya) menunjuk ke arah jendela. Hantu-hatu lain seperti dikomandoi melihat serentak ke arah jendela tersebut. Mereka melihat hantu kecil sedang menangis sambil memegang perutnya. Hantu-hantu kembali saling berpandangan. Salah satu hantu agak tua menghampiri hantu kecil itu.

“Kenapa dikau berteriak macam kemasukan manusia?” tanyanya.

“Aku lapar. Sudah dua hari aku tidak makan,” jawab hantu kecil itu.

Hantu-hantu kembali saling berpandangan. Hantu yang mengenakan handuk dan sikat gigi masih di mulutnya, mengangakan mulutnya menyebabkan sikat gigi terjatuh dari mulutnya. Hantu-hantu yang sedang merokok membuang rokok mereka serentak. Hantu yang hanya mengenakan celana pendek menaikan celananya sampai ke atas pusar. Begitu juga hantu-hantu yang lain heran mendengar jawaban hantu kecil itu.

“Dua hari dikau tidak makan?” tanya hantu bercelana pendek tanpa baju.

“Ini penghinaan terhadap hantu dapur,” celetuk hantu yang lain.

“Ya, selama ini hantu dapur tidak pernah kelaparan,” tambah hantu yang lain pula.

“Dia harus dihukum pancung!” teriak salah satu hantu yang membuang rokoknya, dan dibenarkan oleh hantu-hantu dapur yang lain.

“Tunggu dulu!” teriak hantu dapur yang agak tua menenangkan warga hantu dapur. “Kita belum tahu apa permasalahan yang sedang dihadapi hantu kecil ini, sehingga ia tidak makan selama dua hari.”

“Tidak bisa! Dia telah menjatuhkan reputasi hantu dapur di muka bumi ini! Dan dia harus dihukum mati!” kata hantu dapur agak muda yang berpakaian agak rapi dengan yakin.

“Betul! Kalau perlu malam ini juga kita hukum hantu kecil ini, sebelum hantu-hantu yang tidak sejenis dengan kita mengetahui peritiwa yang memalukan ini,” tambah hantu yang lain.

“Setujuuuuu!” teriak hantu-hatu dapur serentak.

“Tenang! Tenang! Tenang!” teriak hantu yang agak tua dengan suara keras. Dan teriakan hantu yang agak tua itu berhasil menenangkan hantu-hantu yang lain. Suasana tenang, yang terdengar hanya suara tangisan hantu dapur kecil itu.

“Kalian jangan meniru perbuatan manusia yang hanya mampu menjatuhkan hukuman kepada yang lemah! Kita ini kaum hantu yang memiliki hati nurani yang memunculkan kasih sayang sesama hantu, sehingga tidak terjadi pertumpahan darah sesama kita! Dalam undang-undang kita jelas menyatakan bahwa kita berkewajiban melindungi hantu dapur yang lemah seperti kita melindungi diri kita sendiri. Dan kita tidak dibenarkan menghakimi hantu dapur lemah tanpa usul periksa. Untuk itu, saya tegaskan bahwa hantu kecil ini dibebaskan tanpa persyaratan!” kata hantu dapur yang agak tua dengan semangat muda.

Hantu-hantu dapur yang lain terdiam. Mereka kehilangan kata-kata untuk membalas kata-kata hantu dapur yang agak tua itu yang seperti peluru berlomba masuk ke telinga mereka. Mereka pasrah, bagaimanapun juga hantu dapur yang agak tua itu lebih berpengalaman dibandingkan dengan hantu-hantu dapur yang berada di situ.

Melihat hantu-hantu dapur yang lain terdiam, hantu dapur yang agak tua itu seperti berada di atas angin. Ia melihat satu persatu wajah hantu-hantu yang lain tidak bereaksi, ia tersenyum menang. Dengan bangga ia menganggukkan kepalanya sambil berdehem.

“Kita ini hantu dapur terkenal dengan kemakmuran. Segala makanan telah tersedia di dapur. Kita tinggal melahapnya. Jadi tidak sepantasnya, apabila ada di antara kita mengalami kesusahan kita menjatuhkan hukuman mati terhadap saudara kita sendiri. Itu tidak adil,” kata hantu dapur yang agak tua itu wibawa.

“Tapi bagaimana kalau peristiwa memalukan ini diketahui hantu-hantu yang tidak sejenis dengan kita?” hantu dapur yang agak berpakaian rapi bertanya kepada hantu yang agak tua.

“Tutup mulut kalian yang hadir di sini. Itulah satu-satunya cara. Peristiwa ini tidak akan pernah dikatahui hantu yang lain, seandainya peristiwa ini kalian kubur dalam jiwa kalian masing-masing. Anggap saja peristiwa ini tidak pernah terjadi. Kelemahan manusia adalah mereka tidak mampu menutup aib saudara mereka sendiri. Hal ini disebabkan mereka hanya memikirkan kesenangan sendiri, dan ingin mendapat tempat di antara manusia lainnya. Jangan, jangan sesekali kita menyerumus saudara sendiri hanya karena untuk kesenangan pribadi. Ke laut kita sama karam, ke gunung kita sama jatuh, itulah petuah hantu dapur sejak dari nenek moyang kita dahulu,” hantu dapur yang agak tua semakin percaya diri. Sementara hantu-hantu dapur yang lain terdiam meresapi kata-kata hantu dapur yang agak tua itu.

Suasana hening. Kesunyian merayap pasti di antara hantu-hantu dapur. Mereka betul-betul terkesima dengan kata-kata hantu dapur yang agak tua itu. Selama ini, hantu-hantu dapur yang usia beranjak menjadi hantu dapur tua, rata-rata di bawah usia hantu dapur yang agak tua itu, tidak pernah mendapat sirami rohani seperti ini. Kini mereka percaya bahwa setiap peristiwa, walaupun peristiwa itu pahit, adalah pengalaman berharga.

Siapa mampu, hantu dapur pun sekali tidak akan mampu, memastikan waktu di depan akan sama dengan waktu kini? Keheningan, kesunyian, tiba-tiba berubah menjadi hiruk-pikuk disaat hantu dapur kecil berteriak kembali.

“Aku lapaaaaarrrrr!”

Hantu-hantu dapur yang berada di rumah itu, termasuk hantu dapur yang agak tua, lari tunggang-langgang. Mereka tidak mau menjadi saksi peristiwa memalukan hantu dapur itu. Sambil lari tunggang-langgang menjahui rumah itu, hantu dapur yang berpakaian agak rapi bertanya kepada hantu dapur yang agak tua.

“Apakah dalam undang-undang kita diatur juga, bahwa kalau ada hantu kecil berteriak lapar, kita harus lari?”

Hantu yang agak tua menjawab singkat “No coment”. Dan mereka pun terus lari tunggang-langgang ke rumah masing-masing. ***

Hang Kafrawi adalah sastrawan. Tinggal di Pekanbaru.

Takziah Istri
Kucing Beling
Mesin jahit di atas meja. Meja di atas usungan. Usungan di atas selusin pundak. Dan di mesin jahit itu dia menjahit tubuhku yang telah digunting dan dimal. Setelah dibentang seperti 7 meter kafan. Dan ditaburi minyak serimpi. Minyak si penari yang telah membuat usia menyingkap kerahasiaannya. Membiarkan risik tertabur pada yang tak pernah mengatupkan mulutnya: “Aku ingin menghadap tanpa riasan apa pun. Aku adalah teja senja yang tak terduga!"
Tapi, selusin pundak terus mengusung dan bergerak. Seperti gerak pelayat ketika selusin cahaya tumpas. Dan arah jalan menjadi lurus. Yang di kanan-kirinya sekian kucing berjejer. Kucing beling yang bermata bening. Kucing yang terus menatap dia yang menjahit tubuhku. Dan saat itu, aku merasa, dia menyerahkan kerjanya pada gambang. Gambang yang bertalu. Yang taluannya merambat dari depa ke depa. Dan jatuh pada kening Hawa. Yang tergagap saat maut menepuk pundak Adam.
Maut yang menggandeng dan mengajak Adam menyelam ke teluk. Seperti penyu yang menyelam setelah bertelur di pasir. Seperti meteor yang berisik di langit. Yang mencari jejak henti di tempat entah. Tempat yang selalu mengawetkan lubang kubur: “Saudara, bersediakah jadi saksi atas hidup orang ini?" Ya, pintu talkin akan dibuka sehabis penguburanku nanti. Dan tubuhku yang telah digunting, dimal serta dijahit itu, tinggal dipasanginya kancing.
Nasi Pandan
“Kau tak boleh dikubur dulu sebelum mencicipi nasi pandanku!" Dan dengan kebat, dia menyorongkan sepiring nasi pandan. Nasi pandan yang punel. Yang ketika aku sendok, mengingatkan pada gumpal-gumpal cahaya yang begitu menggiurkan. Barangkali, gumpal- gumpal cahaya itu adalah daging jantungnya. Yang telah diiris segi empat. Ketika pintu diketuk. Dan kilat yang mengambang masuk. Lalu berbisik: “Wanita yang telah menjadi istri orang, memang mengiris jantung sendiri setiap membuat nasi pandan."
Dan beribu angsa menetas dari biji matanya. Beribu angsa yang pernah mengangkatku jauh melampaui akal. Sampai si jejadian yang bertanduk dan berekor itu mengernyit. Lalu teringat betapa bebalnya dirinya ketika menegak. Dan menyangka, jika penyamarannya dalam wujud ular telah mendulang aman. Lalu si jejadian pun mengibaskan sayapnya yang hangus. Dan melompat ke jendela: “Aku teringat, betapa mudahnya dulu dia aku kibuli. Betapa mudahnya!"
Dan di meja yang berpelitur dop, aku menelan nasi pandannya. Seperti kelokan umbian yang merambat, nasi pandan itu mencari arah rambatnya. Ke jantung, ke usus, ke lambung dan kembali lagi ke leher. Bolak-balik seperti menentukan arah keluar. Sedang, di luar tubuhku, hujan yang telah lama mengancam, hilir mudik seperti menanti sesuatu. Teriaknya: “Keluarkan gumpal-gumpal cahaya itu!" sambil menangis. Sambil mengharap akan ada gempa di tubuhku. Dan akan ada lubang mendadak yang akan mengeluarkan yang dinantinya.
Bukit Onik
Dia, seperti yang aku kenal belasan tahun dulu, memang masih terlihat cantik dan enak digarap. Dan langkahnya yang berjingkat pelan, seperti menabuhi lantai. Membuat tirai bergoyang. Padahal, di antara pedang samurai yang pernah aku hunus, dia cuma menjawil. Lalu berseloroh tentang pertempuran yang tak pernah dilakukan. Tetapi selalu saja dirampungkan. “Kau, lelakiku, memang milik Adam. Selalu kisruh dan selalu merasa paling unggul," sambil terus berbalik dan hilang di hutan bambu yang penuh warna.
Dan di hutan bambu itu, aku melihat matahari turun dan terbelah sama persis. Yang satu mirip kuldi. Satunya lagi tak pernah aku kenal. Apa itu jamu atau tuba? Dan ketika menjilatnya, mendadak aku menjelma sekuntum teratai. Teratai merah menyala. Teratai yang di hari-hari ganjil mewarnai bibirnya. Dan membuat senyumnya begitu indah. Senyum yang kini telah menjadi milik bukit onik. Bukit onik yang goyang karena tertakik. Tertakik oleh sebaris taklimat: “Percayalah, dia selalu menampik setiap tulang-rusuk-lelaki yang tak cermat."
“Ya, ya, dia, istriku, memang adalah Hawa. Adalah yang akan terpisah dariku. Terpisah paksa atau pasrah!" Dan aku pun jadi tahu, jika jarakku dan jaraknya telah saling melambai. Aku di seberang. Dia di jauh yang tak terukur. Dan kami, seperti sudah-sudah, kembali saling bertualang sendirian. Saling merindu. Dan saling mencoba untuk menghapus setiap amanat. Yang membuat kami pernah melahirkan pembunuh pertama. Yang akan selalu kalian kenang. Seperti mengenang kebun dan ternak di pulau. “Akh, sudah ada yang menulis namaku di kubur itu!"
(Gresik, 2007)
Telunjuk
Setelah menikam serigala dia menulis pesan di tebing padaku. Ditulis dengan tombak dan diolesi darah yang mengalir dari telunjuknya yang telah diiris sendiri. Aku ingin geraham serigala ini untukmu. Tapi kau di mana? Begitulah kira-kira pesannya. Di bawah sekali dia memarafkan namanya. Sayang dua hurufnya rusak. Kata peziarah yang pernah melewati tebing itu, namanya ditulis dengan huruf yang besar dan dalam. Seperti kedalaman keinginannya yang mencintaiku. Tapi, apa pesan di tebing itu sampai padaku? Barangkali ksatria monyet yang tahu. Sebab saat dibebaskannya aku dari pulau itu, ksatria monyet hanya membebaskan bayangan. Aku sendiri tak ada. Atau lebih tepatnya hanya diadakan oleh si perajin. Saat dia memahat 1000 patung. 1000 patung yang akan dipasang di taman utama. 1000 patung yang demikian menggetarkan. Sampai-sampai membuat si perajin sendiri ingin mengawini semuanya. Dan meminta: Tambatan, tambatan, tambatan, hiduplah! Tapi apa benar patung bisa hidup? Jika bisa, siapa yang sanggup menghidupkan? Si perajin pun jadi kecewa dan menamai dirinya Adam. Yang artinya: Yang pertama tertambat. Yang pertama kecewa. Dan ketika takdir memberinya pasangan, maka itu dinamainya Hawa. Yang artinya: Tambatan lain yang tak terlupa. Tambatan lain yang menggetarkan. Dan yang membuat siapa saja ingin menikam serigala. Lalu mengirimkan bagian tubuh serigala yang terindah padanya. Seperti mengirimkannya padaku!
(Gresik, 2008)
Tepi
Aku berada di lautan puisiku. Lautan itu tak bertepi. Aku ingin
menangkap ikan tambun kuning. Tapi, aku malah dapat yang hitam:
“Ikan tambun hitam!" Dari ikan tambun hitam aku menyuling cat.
Cat yang berliter-liter. Aku ingin mengecat semuanya. Agar
menjadi hitam seperti dekor tonil. Tonil tentang bapak
yang selalu berganti kulit.
Di dalam tonil aku mengelem rambutku. Memasang sayap dan
tengkurap di atas meja. Di depanku telah masuk tokoh. Tokoh garang
bunting 9 bulan. Kata tokoh itu: “Mainkan aku dengan yang selalu
merapikan celana dalamnya. Yang persis di depannya ada
gambar mawar disilang tengah!"
Aku buru-buru melengos. Lalu aku memberinya tikus:
“Jangan masukkan tikus ini ke pikiranmu!" sergahku. Terus
terbang ke bulan. Terbang di atas kepala para pengendus yang
berseloroh aku telah menemukan! Di bulan aku merasa rindu rumput.
Tapi rumput telah menjelma jumput. Aku ingin digambar.
Tapi siapa yang akan menggambar.
Dan aku juga merasa rindu sepedaku. Rindu pada bannya.
Rindu pada tanah yang menempel di bannya. Tanah yang telah
menumbuhkan mambang dan yang rajin menggali kuburan.
“Tapi, setiap ada yang dikubur, mengapa wajahku yang selalu tampak?"
Aku pun berbicara pada diriku sendiri. Dan aku teringat pada
sahabatku yang telah menjual ginjalnya.
Sahabatku yang pusing ketika mendengar pidato begini:
“Aduh, jangan ribut, ini negara, bukan pasar!" Dan kata sahabatku itu:
“Om, Om, itu tadi dengus kerbau kan?" Aku pun jadi tersenyum.
Senyumku demikian datar. Sedatar kaki ibu yang melayang. Kaki ibu
yang keluar dari malam. Kaki ibu yang cemerlang. Dan kaki ibu yang
mengajari aku agar berdandan:
“Oh, tanyakan apa aku mau ke pesta?" Sayangnya, di bulan tak ada
pesta. Sedangkan, di bumi, lihatlah, lautan puisiku semakin tak bertepi.
(Gresik, 2008)
Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur. Salah satu buku puisinya berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007).

Sajak Sajak
Minggu, 6 April 2008 | 00:47 WIB
Herdi Sahrasad
Melewati Golgota
serangkaian tembakan di Hebron
meruntuhkan hujan dari seribu tubuh dan pohon
kekasihmu yang ingin menenangkan hati
bunuh diri dengan sepi
di sepanjang jalan yang menghisap kegelapan
kenangan berhamburan dari darah
yang menggenang,
menyodorkan teror dan bayang bayang
aku bertahan
menjadi khalifah yang digerah
pertumpahan darah
tapi kauremuk juga nyawaku
dengan granat, ketika matari rebah
dan sunyi membakar mesiu
tubuhku patah patah
berserakan di tanah
nyawaku pecah pecah
porak bercampur zaitun, debu dan zarah
percikan percikan yang menyilaukan dari langit
memperdalam tangis gerimis yang tak terjerit
arwahku membubung, menyusuri Golgota,
mengusung tubuh Yesus yang kausalibkan di sana
Herdi Sahrasad
Betlehem
Sesudah kita singgah di gua
di mana dulu dilahirkan Yesus atau Isa
kepedihanku berjalan letih di medan laga
mengusap wajah wajah yang kalah
dengan saputangan dari airmatamu,
melupakan bau darah
Tapi kesunyian hari Sabat membekap
orang orang Israel dan Arab yang kalap
Seperti ledakan mesiu yang menyapu
tubuhmu, keresahan itu merayap
Menerkamkan malam yang senyap
Sepanjang jalan yang menjelaga
maut berdiam seperti pertapa
Patung patung di gereja seolah patah
dengan airmata di altar yang pecah
lalu seperti lambung yang berdarah
kehidupan datang kepadamu
mengusung bulan yang rebah
Dengan mahkota berduri
yang merancap wajah
akankah Tuhan turun dari sorga
mencium dan membasuh orang Yahudi maupun Arab yang luka luka?
Dari ranting zaitun,
mulut mereka mengeluarkan ular gurun dan rambut yang beracun
Hari pun porak: dari kelopak mata waktu yang retak retak
Kulihat dukaMu terus membekaskan jejak
Herdi Sahrasad menulis puisi dan esai. Ia juga bergiat di sejumlah lembaga kajian sosial-politik di Jakarta.
PEMBETULAN
Terjadi kesalahan tata letak pada sajak-sajak Mardi Luhung yang dimuat Minggu lalu (Kompas, 30/3). Sajak “Telunjuk" dan “Tepi" seharusnya berdiri sendiri – bukan bagian dari sajak “Takziah Istri" yang hanya terdiri atas tiga bagian: “Kucing Beling", “Nasi Pandan", dan “Bukit Onik". Demikianlah koreksi dari kami. Harap maklum.
Redaksi
Sajak Sajak
Minggu, 20 April 2008 | 01:04 WIB
Aslan Abidin
Sungai dalam Diriku
ada sebuah sungai dalam diriku,
tempat aku selalu membayangkan kau,
datang bertudung sinar sore warna gading,
melepas kain dan berenang telanjang.
di tepinya, bunga-bunga
semak berayun mengintipmu. di hulunya,
aku berendam sebatas pusar, menghanyut
sekelopak mawar bersama mantra pemikat
birahi untuk menyusup ke ronggamu.
"sukmamu rajuk, sukmaku
rasuk, masuk merajuk ke benakmu.
jadilah aku lelakimu, yang berdiri terpaku,
berjaga di perigimu."
tetapi, engkau juga
sungguh telah tahu, tak ada lagi mantra
yang bertuah. doa dan tuhan telah lama
tak didengar.
"bencana itu datang dari atas," kata
ibu-bapak kita. namun ternyata, petaka
juga telentang di perut bumi, menunggu
saat tepat membuka mulut menelanmu.
setelah gemuruh tanah retak
itu, sore warna gading, bunga-bunga semak,
dan sungai dalam diriku, luruh diremuk
petaka.
maafkanlah aku,
bahkan dalam reruntuhan jiwaku,
aku tak tahu di mana kini kau tertimbun.
suatu saat kelak, semoga kau akan tahu,
telah bertumbuh sungai lain dalam diriku,
airnya terus mengalir di kedua mataku.
yogyakarta, 2006
Aslan Abidin
Tebesaya, Gadis Berputih-Kebaya
—"di tebesaya,
aku gadis berputih-kebaya.
telinga berselip bunga kamboja,
yang putik-sarinya dapat kau
lihat ranum di mataku."—
tetapi, di tebesaya, aku hanya
lelaki-tualang dan kau berkebaya
ketat dengan bordir bunga mawar sehalus
kulitmu. depan kedai tarot, saat aku melintas
lewat, kau sodorkan sebuah kartu.
"page of swords!" katamu.
aku tergagap bingung, kau tersenyum senang.
tahu apa aku
tentang kartu tarot? aku bahkan tak mampu
bedakan, gambar penyihir dengan penyair. lagi
pula, tak akan ada ramalan menarik dari
nasibku.
di tebesaya,
aku terkesima lengkung penjor, pura
kecil tepi persawahan, menghirup aroma dupa
sesajen, mendengar dekur tekukur di rimbun
dahan beringin.
tetapi sungguh,
wahai gadis berputih-kebaya,
tak akan ada ramalan menarik dari nasibku.
bahkan hingga sejauh tebesaya,
aku hanyalah pendatang asing bagi jiwaku.
ubud-makassar, 2004-2008
Hasta Indriyana
Di Petilasan Samber Nyawa
>is 40160m,<: teringat Wage Daksinarga
Di Gunung Gambar, kita kenang pertumpahan
Demak dan Majapahit yang getir dan anyir
Orang-orang kalah lari ke timur. Membangun
Kembali pura, memuja dewa-dewa
Sisanya menyerah, mati, dan beberapa
Menuju ke barat laut menghindar maut
Ke pegunungan, mendiami puncak bukit
Kapur ini
Upik, kaukisahkan pula (diam-diam)
Orang-orang kalah mendiami ngarai
Tentang petani yang dibelit bibit dan pestisida
Tentang pegawai biasa yang dililit kredit
Aku menatap gumpalan awan yang tinggi setara
Di bawah, barisan batang ketela, jajar akasia
Dan mahoni di sela batuan andesit tua
Satu-dua truk silih berganti mengangkut
Kalsium karbonat, menambang bumi yang
Kaya dan menawan. Kita lekas tahu, apa pun
Bisa digali. Apa pun bisa diceritakan dengan
Keriangan atau dengan penat seperti saat ini
Kita diam. Siapa pun yang bersemayam
Di petilasan ini, mengingatkan betapa
Nama cukup dikenang dalam sebuah nisan
Betapa hidup membentangkan berjuta
Cara pandang tentang hidup dan kematian
Upik, barangkali kita pun sedang berperang
Barangkali kita pun sedang melawan dengan
Kesadaran atau pun tidak
2006-2007
Hasta Indriyana
Buat Frans Nadjira
Tak kenal tamat ketika dinikmati
Maka harus segera kutulis titimangsa
Agar aku mengerti bahwa puisi tak
Mengenal usia, menyimpan alamat
Yang lamat tak usai-usai
Malioboro, 2007
Aslan Abidin lahir 31 Mei 1972 di Soppeng, Sulawesi Selatan. Ketua Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar. Sekarang mahasiswa Ilmu Humaniora Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Hasta Indriyana bekerja di Yayasan Tandabaca, Yogyakarta, dan mengajar ekstra-kurikuler penulisan dan teater di SMA 1 Wonosari, Gunungkidul. Buku puisinya adalah Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta (2003).

Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Minggu, 27 April 2008 | 01:36 WIB



Bagian dari Kegembiraan
1
Jalan di belakang stadion itu sudah lama tidak kulewati
Mungkin madrasah yang dibangun persis depan kamarmu
Sekarang sudah rampung. Aku teringat pohon beringin
Yang berdiri anggun dekat taman kanak-kanak dan pos ronda
Setiap pulang mengantarmu aku sering kencing di sulur-sulurnya
Yang rimbun. Sepi terasa menyayat jika kebetulan lewat:
Ingin sekali minum jamu kuat, tapi kios yang biasa kita kunjungi
Sudah tidak nampak di sana
2
Volkswagen yang bentuknya mirip roti tawar itu masih kusimpan
Di garasi. Aku belum berniat menjualnya meski dengan harga tinggi
Di badannya yang mulai karatan masih tersimpan ratusan senja
Yang pernah kita lewati bersama. Di joknya yang mulai rombeng
Masih melekat ribuan pelukan dan ciuman. Catnya belum kuganti
Aku masih ingat bagaimana dulu kau ngotot memilih hijau lumut
“Biar mirip seragam tentara,” ujarmu. Tapi mobil yang usianya
Delapan tahun lebih tua darimu atau tiga belas tahun di bawahku itu
Akhirnya kulabur dengan hitam. Kini mesinnya harus sering dipanaskan
Dan sesekali mesti dibawa jalan-jalan. Aku sangat menyayanginya
Sekalipun kerap membuatku jengkel dan putus asa. Pada kaca spionnya
Masih tersimpan gambar yang menjelaskan betapa berliku jalan
Yang kita susuri. Pada rodanya masih tercatat angka yang menunjukkan
Betapa panjang kilometer yang kita tempuh
3
Apa makna alun-alun bagimu? Kenapa selalu mengajakku duduk-duduk
Di salah satu sudutnya? Apakah kau suka mendengar bunyi air mancur
Atau senang melihat pasangan-pasangan yang berpelukan dalam remang
Lampu taman? Atau ingin menjadi bagian dari Tasik Volkswagen Club
Yang sering nongkrong malam-malam? Lalu apakah makna kegembiraan
Bagimu? Kau hanya tersenyum setiap kutunjukkan di mana letak bintang
Yang suka menyendiri di gelap malam, setiap kukatakan bahwa ricik air
Adalah suara hatiku yang paling dalam
4
Tiba-tiba kausentuh lagi ingatanku pada bunyi tek-tek
Pedagang mie keliling. Kautarik lagi kenanganku
Pada nama jalan, tembok penuh coretan dan tiga kelokan
Yang selalu menyaksikan kita sempoyongan malam-malam
Menuju kamar kontrakanmu di ujung gang. Kaugetarkan lagi
Kesepianku pada harum rambut, sisa bedak serta kecupan singkat
Yang sesekali hinggap di antara rintik gerimis yang rapat:
Jangan menelpon. Aku tidak akan tahan mendengar suaramu
5
Waktu melingkar seperti jalan yang mengelilingi stadion
Berawal dari titik sepi dan akan selalu berujung pada titik
Yang sama. Bermula dari kekosongan dan kembali lagi
Pada kekosongan. Sejak perutku membuncit dan punggungku
Mulai terserang rematik, setiap sore aku selalu ikut berlari
Bersama mereka yang rajin memelihara badan dan kesehatan
Aku tidak muda lagi, namun seperti yang pernah kaukatakan dulu
Cinta tidak ada hubungannya dengan usia. Aku berlari pelan-pelan
Melewati lapak-lapak kaki lima, melewati warung-warung kopi
Yang jika malam akan berubah menjadi tempat transaksi, melewati
Anak-anak sekolah yang main basket, melewati deretan sepeda motor
Melewati ibu-ibu muda yang bajunya ketat serta rambutnya cokelat
Dan sepi terus melingkar seperti mereka yang rutin berolahraga, seperti
Mereka yang takut akan kematian, seperti poster-poster yang bertaburan
Seperti wajah-wajah calon walikota yang senyumnya seragam, seperti
Baris-baris puisi yang tidak sempat kutuliskan. Di depan sebuah gang
Kadang aku berhenti dan tanpa terasa meleleh airmata di pipi
Tugu
1
Di stasiun peninggalan kolonial, di bangku hijau
Yang berjejer menghadap rel, seorang perempuan putih
Menyampaikan sesuatu: mungkin isyarat, mungkin juga wasiat
Atau semacam maklumat yang santai
Tentang cinta yang langka. “Tahun depan aku kembali,” bisiknya
Dan perempuan putih itu (sebut saja demikian karena kulitnya terang
Karena kontras dengan kebaya luriknya yang kelam) berdiri dan berjalan
Ke pinggir rel, menyongsong datangnya kereta
Dari timur kereta datang. Rel bergetar, dinding ratusan tahun bergetar
Tiang besi, atap seng, gantungan lampu, jam besar
Semua bergetar. Dari timur kereta kusam yang bersaput debu
Datang dengan tulisan di badannya: Biru Malam
Seorang lelaki berkacamata hitam melambai, tapi lunglai
Seperti adegan film India. Lelaki itu
Tak bisa menahan bergulirnya airmata
(Padahal rambutnya gimbal, memakai gelang dan anting
Serta sebuah tato binatang di lengan kirinya)
Jarum pada jam seakan terdiam, seperti tiang besi yang dingin
2
“Sepi tak ada kaitannya dengan gelang, anting atau tato,” lelaki itu
Bergumam pada dirinya sendiri. Dulu ia mengenal kekasihnya
Di sebuah jalan paling terkenal, di depan gang paling banal
Tak jauh dari stasiun. “Rindu tak ada hubungannya dengan kacamata
Apalagi rambut gimbal,” gumamnya lagi. Lalu menenggak minuman
Nampaknya ia menangis. Yogyakarta diguyur gerimis
3
Seorang lelaki berlari patah-patah, menembus gerimis yang beranjak
Menjadi hujan. Seorang lelaki berlari patah-patah ke utara, terus ke utara
Seperti adegan film India. Dengan segumpal perasaan kehilangan
Lelaki itu memanjat tugu, merayap hingga ke puncaknya
Kemudian berdiri dan melambai-lambaikan tangan ke langit:
Mungkin memanggil seseorang, mungkin juga mengutuk seseorang
Seseorang yang belum lama dilepasnya pergi. ”Maryaaam...” pekiknya
Langit hanya diam. Airmata lelaki itu berlelehan
Aku Ingin Menemanimu
Aku ingin menemanimu pulang malam ini
Menaiki bis kota dan berhimpitan di dalamnya
Aku ingin menemanimu sampai halte berikutnya
Sampai kilometer selanjutnya, turun depan kantor polisi
Menunggu metro mini. Aku ingin menemanimu bersidekap
Dalam angkutan yang pengap, melewati sejumlah lampu merah
Melewati sekian perlintasan kereta api, melewati jalan-jalan layang
Melewati terowongan-terowongan hingga terjebak kemacetan
Dekat terminal. Aku ingin menemanimu menarik napas panjang
Mengeluarkan tisu dan mengelap keringat di kening serta lehermu
Aku ingin menemanimu turun dari kendaraan rombeng itu
Berjalan menuju pangkalan ojek. Aku ingin menemanimu
Melintasi tanah-tanah berlubang, menerobos liku-liku gang
Hingga pekarangan rumah kontrakanmu yang penuh jemuran
Aku ingin menemanimu membuka pintu, memasuki kamarmu
Mencopot sepatu, melepas semua pakaian dan melemparkannya
Ke bawah dipan. Aku ingin menemanimu menghidupkan kipas angin
Lalu meneguk air mineral yang dingin. Aku ingin menemanimu
Menyalakan televisi, menonton film biru dan mengisap candu
Aku ingin menemanimu bermain-main dengan sepi di kamarmu
Sepanjang Jalan
Sepanjang jalan kupungut patahan ranting
Kukumpulkan luruhan daun dan kutandai jejak kaki
Sepanjang musim yang basah kuaduk tong sampah
Kubongkar cuaca. Hanya hujan, hanya banjir
Dan aku kehilangan seluruh matahari
Kususuri selokan dan gang, kureguk minuman paling keras
Kulepaskan pakaian dan kuburu sunyi yang berloncatan
Seperti bunyi senapan. Kukejar hingga ke tengah pasar:
Aku pun menjelma pedagang kaki lima, menjajakan cinta
Pada setiap orang. Mengobral janji dan harapan
Sepanjang jalan kutulis sajak-sajak penuh kutukan
Kucari ungkapan-ungkapan paling gelap serta kurekam raung
Ambulan dan pemadam kebakaran. Sepanjang jalan raya
Sepanjang siang dan malam. Kumasuki penjara
Kujelajahi semua masjid, gereja dan vihara
Selalu saja aku tak tahu mesti menuju ke mana
Sepanjang keterdamparan, sepanjang keterasingan
Tak ada yang bisa kumengerti, tak ada yang perlu kupahami
Ingin berlayar, ingin terus mengembara
Mengayuh perahu usia, menggali kubur di lautan kata-kata
Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat. Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sehari-hari ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan.
Sajak Dadan Suwarna
Matamulah
matamulah yang memijarkan sumbu-sumbu harapan
terpiara. cahaya menerangi langkah
menyisakan celah bagi lorong yang terserah
kupuja kelopak mata dan sungging
yang terpahat atas rekah
dari apakah kerjap tercipta
dan gaduh berdegup sepanjang dada?
*
Memandangmu
aku memandangmu dengan patahan kata
yang rapuh menyusun kekuatan
jemari asa
aku memandangmu dengan mata berkabut
di hadapan lelehan genang
memahatkan hakikat ada
*
Sejarah Kebenaran
lapisan debu mengawetkan jasad
seseorang yang meregang, kebenaran abadi
diacuhkan tangan yang setia menyalin nama
kemanusiaan tahun-tahun yang tersengal
tahun-tahun kenyataan yang kuasa
pecahan kaca memercik muka
kebenaran pun berkibar di luar jendela
dengan hujan dan darah yang kian tumpah
kata-kata merenggut hidup jari terkepal
urat-urat masa silam pembalasan
terbalaskan
hidup memecah kepala
membenturkan keyakinan di gerbang kaca
*
Kehilangan
bagi e.
dan jemari yang letih
menjangkau semburat warna
di lengkung langit jingga
berjatuhan kubang asa
*
Anak Panah
aku hanya terserah perjalanan takdir
ketika jari memilih suratan cahaya
tangan menawarkan tumpuan rencana
hidup adalah huyung mata
yang awam menghimpun hasrat kala
kususuri lorong bagi titian
juga perjalanan asa buta
maka daun-daun yang menyongsong ajal kehidupan
seiring ranting yang hujam
labuh di masa silam
aku pun memuja kelahiran tiada
*
Puing-puing Rangka
ada puing-puing rangka yang gagal mendirikan hunian rencana
tahun-tahun seperti patahan ranting
yang lepuh menopang keinginan asa
bilik keyakinan yang mungkin menampung kehangatan
adalah juga yang letih menegakkan pilihan-pilihan gamang
kucatat kemudian namamu dalam lembar-lembar sengal
hanya itu yang mengguratkan usia
menguapkan pondasi keheningan
beribu kali, tangan kejang dan pikiran menerawang
*
Perjalanan Bumi Kita
bagi erf
bumi adalah jemari yang tersiram nyala
mengelus helai rambut
dan harapan meledakkan kenyamanan
memecah urat saraf impian
yang telanjur kau salurkan menghadap kenyataan
tariklah ke ruang kaca; napas yang berbenah
jadi pangkal angin mengembara
ketika nyala menghanguskan rangka impian
dan tungku disiapkan
asamu menghembus titik nyala
*

Cerpen Oleh Raudal Tanjung Banua
BERTAHUN-TAHUN lamanya kota-kota kecil terus hidup di kepalaku, akhirnya pada suatu hari di bulan Juni, sampailah aku di salah satu kota yang diangan: Pelaihari, Pelaihari! Perjumpaan pertama menggetarkan syaraf dan indra: jalan membentang di tengah gambut dan rawa-rawa, kebun menghampar seluas bumi habis berbenah. Di jauhan, Pegunungan Meratus menyatu dengan langit yang merendah; dan anak-anak Meratus yang terdekat berupa bukit-bukit batu, hitam-kelabu, merapat ke sisi jalan, ditumbuhi jenggot pohon-pohon kurus bekas terbakar. Selepas itu: gerbang kota.

“SELAMAT DATANG DI KOTA PELAIHARI”

Sebuah tulisan sederhana dari besi melengkung di kedua sisi jalan, dan terasa sempurnalah perjumpaan! Tapi tidak. Sebagai orang yang bertahun-tahun membangun bayangan Pelaihari, dengan nama yang selalu terlafalkan di ujung lidah, justru perjumpaanlah tampaknya yang membuat segala sesuatu tak sempurna.

Ya, ya, seperti jalanannya yang membentang lurus di hadapanku kini. Di sini bukan tikungan yang membuat ujung jalan hilang dari pandangan, tapi naik-turunnya kontur tanah. Badan jalan terdekat nyungsep tak terlihat, yang agak jauh malah menyilaukan mata, dalam getar fatamorgana. Tentu saja, karena ujung jalan mengular di tanjakan, lalu menghilang lagi, muncul lagi, seperti benang wol menjahit terpal bumi. Itu artinya, aku harus bersiap kehilangan banyak hal dalam kepala, sekaligus menemukan hal lain di luar kepala. Kita seperti mencari “jalan yang benar” di tengah fatamorgana; sambil menduga-duga, kenyataan atau bayangankah yang fana?

***

BENAR juga. Sebuah pabrik gula, tak pernah kubayangkan ada selama aku mengenal nama Pelaihari. Kukira bukan hanya lantaran jawaban ujianku yang salah —di mana Pelaihari kuanggap penghasil karet dan itu berarti belantara— tetapi juga pemahamanku yang keliru (lebih tepat terbatas) atas pulau besar bernama Kalimantan. Ah, Kalimantan, kuamsal ia “induk ayam yang mengeram” dalam percakapan di rumah, bersama istri dan anakku yang gemar memandang peta. Hutannya lebat, dan kucinta, sebatas angan; sungai-sungai besar kami hapal di luar kepala, margasatwa, minyak bumi dan intan di Martapura, semuanya… tapi tak kunjung “menetas” bagi kemakmuran warganya, dan bukankah kini tinggal cerita? Lewat bahasa itulah ia menjalar di kepalaku, diam-diam, apakah juga dalam bayangan Anda? Sampai usia tinggi menanjak, bagian “jalan yang benar” tak juga kunjung nampak, sebab sekolah telah menjadi slogan yang murah, dan sempurnalah keasingan!1)

Itulah sebabnya, ketika Jamal, kawan yang memboncengku, membelokkan motornya ke bekas pabrik gula yang merana dekat gerbang kota, aku terkesiap dan mengucek-ngucek mataku yang belum lagi kemasukan debu jalanan Pelaihari. Pabrik itu masih berdiri bagai raksasa tinggal rangka, jejeran cerobongnya mencipta tanduk-tanduk lancip yang menyeruak di antara kerimbunan sawit; di sebelah lagi ada benda bundar besar, tengadah, kuduga bekas penampung air atau sari tebu, putih-coklat karena karat, tapi tetap kuat memantulkan sinar matahari. Entah mengapa kubayangkan ia makhluk baja berkelamin betina, diam dan tabah menerima segala yang tiba. O, maafkanlah kecerobohanku karena gagap tak terkendali dalam jumpa pertama ini!

Anda mungkin tahu, aku pernah bercerita soal kota-kota kecil yang hidup di kepalaku, di ruang ini juga, beberapa waktu lalu. Jadi kuharap Anda paham kegugupanku menyangkut Pelaihari, kota di mana aku mengenal namanya pertama kali saat ujian kelulusan sekolah, yang jawabanku salah karena aku menyilangnya sebagai penghasil karet, padahal yang dianggap benar adalah penghasil tebu —karena pabrik gula inilah, ternyata. Tapi sekarang pabrik ini tutup usia, sedang jawabanku di masa lalu tak mungkin diubah. Sungguh tak ada yang abadi, bahkan ilmu di sekolah terasa fana!

Ya, pabrik gula ini tutup, lantaran buruknya menajemen, menggilanya korupsi dan hidup foya-foya para petinggi. Setidaknya itu yang kudengar dari seorang mantan karyawannya yang kini beralih profesi jadi penambal ban di pinggir jalan perkebunan. “Aku datang dari Kediri. Dulu hidup merasa cukup sebagai buruh penebang tebu, dan berharap suatu ketika diangkat menjadi karyawan tetap,” katanya lirih. “Tapi orang-orang atas berpesta tiap minggu, menghabiskan anggaran dan akhirnya aku tak pernah jadi karyawan tetap pabrik tebu terbesar di Asia Tenggara ini.” Seperti biasa, ungkapan “terbesar di Asia Tenggara”, di Asia atau dunia, selalu dipakai untuk menjelaskan fasilitas di negeri ini, yang sesungguhnya tak lebih kebanggaan maya. Aku mengurut dada dan mengasihi mantan buruh yang tak sempat meraih cita-cita setinggi itu.

Kini terasa aneh, pabrik gula itu berdiri di tengah kebun sawit yang berangkat remaja, dengan kerangka baja dipanjati sulur-sulur dan akaran liar, seolah ia sedang disimpan atau disembunyikan untuk panen yang lain. Dan jika panen itu tiba, sulur dan akar tinggal dikuakkan, seolah tak terjadi apa-apa, mesin akan berfungsi seperti sediakala, kecuali berubah fungsi sedikit: dari semula menggiling tebu, akan melumat bertandan-tandan sawit, dan tentu menggerakkan kembali tangan-tangan buruh jelata, mengepulkan kembali cerobong asapnya ke udara, di langit Kota Pelaihari yang jelita…

O, betapa mudah dan sederhana! Semuanya bisa disulap semudah membalik tanah dan menanaminya dengan tanaman baru yang diincar pasar, yang tidak pernah tercantum sebelumnya di buku-buku sekolah; dan nyatanya kini tak sebatang tebu-gula pun dapat dijumpai di tanah kebun Pelaihari, kecuali beberapa tebu udang di kebun halaman. Semua kebun berganti dipenuhi pelepah sawit yang mengembangkan surai-surai daun, bagai hijau lengan remaja menantang keluasan semesta. “Ya, konon jika panen tiba, mesin ini beralih fungsi mengolah buah kelapa sawit,” Jamal, sahabat pedalaman dan guru yang tenang itu, mengulang. Angin santer bertiup, dan daun-daun sawit mengombak sampai jauh. Lalu bagai sulapan biasa, langit yang tadi cerah mendadak ditaburi kapas-kapas awan dari puluhan ternak biri-biri yang lepas di angkasa. Langit, bumi, semuanya bisa berubah lewat sulap atau cuaca, tapi bagaimana mengubah bayangan déjà vu-ku tentang Pelaihari, bahkan dengan ketakjuban jumpa pertama ini?

Majenun, tak ada yang bakal mangkus, kecuali membiarkan kenyataan mengubah sendiri apa yang kubayangkan, beberapa di luar kehendakku, yang lain persis seperti yang kucari, sisanya sama sekali baru —ah, hati yang berkhayal, mampus kau dikoyak-koyak kenyataan!2) Tapi tidak. Aku telah sepenuhnya siap, dan mengaku, sebagaimana pernah kutulis dulu, bahwa jika kelak aku datang ke salah satu kota yang kuangan —Kotanopan, Rimbo Bujang, Dapdap Putih, Bandaneira, Ambulu, Bukateja, dan Pelaihari— tetap tak mudah mempertukarkan apa yang terbangun bertahun-tahun, susah-payah membuatnya ranum. Tapi biarlah kenyataan dan bayangan menjadi dua dunia yang membangun ruang, jalan, dan lorong-lorongnya sendiri. Labirin, peta, dan arahnya sendiri.

***

SELEPAS siang, kami tinggalkan bekas pabrik gula yang bermetamorfosa itu, dan aku mesti sepenuhnya siap memasuki pusat Kota Pelaihari. Butuh jarak cukup jauh untuk bertemu pasar, deretan toko dan kantor pemerintah —penanda sah sebuah kota— lantaran hamparan tanah gambut masih lebih dulu setia menyambut. Perdu dan rumputan. Rawa yang masam. Sebatang dua-batang pohon —kubayangkan pasak bumi— seperti seseorang yang bersendiri menjaga keluasan padang. Kutatap rumah-rumah, jadi terlihat kecil dan terpencil sebab dibangun di atas hamparan tanah kelewat luas, lapang, tak berpagar. Seorang ibu menyusukan anaknya dekat jendela, kian memperlapang cakrawala.

Apa yang terasa persis dari bayanganku, sejauh ini hanya dua: debu jalanan dan angin santer yang berhembus tiba-tiba. Keduanya bertampik, menyatu, seakan roh kota yang dianggap tiada, tapi selalu bangkit menunjukkan kepada kita bahwa mereka ada; dan merekalah itu —angin dan debu. Lihatlah, debu akan membumbung lebih tinggi melewati kasau dan bubungan rumah-rumah kala angin santer bertiup; dan angin santer pun bakal bangkit di tengah kepulan debu yang disibak kawanan ternak atau deru kendaraan sampai sayup. Mereka berjibaku, seperti menggodaku untuk mencipta sebuah amsal; akulah debu dan anganku angin. Kami saling mengisi, bersekutu, tapi juga saling menyapu. Menghidupkan dan membunuh. Lewat cara ini, angan dan kehadiranku menyatu memagut kota yang dirindu!

Begitulah akhirnya aku sampai di pusat kota, megap bertemu pasar dan terminal, deretan pertokoan dan perkantoran yang canggung. Di sini, kenyataan dari yang kubayangkan bertambah. Ada dua utas jalan melintas, lalu menyilang menyerupai tangkai ketapel, diaspal tambal-sulam; meski tak ada alat berat dibiarkan terlantar, apalagi ditutup terpal hitam, seperti bayangan yang pernah kuceritakan, tapi membuat aku puas —bayangan dan kenyataan cukup pas. Tapi tidak. Di sisi lain aku meringis menahan kecewa, merasakan betapa anganku pada sebuah kota kurang liar. Mengapa mesti persis? Memang, tak ada makhluk asing di pinggir jalan —tapi toh ada “makhluk ganjil” yang lebih masif di gerbang kota, diam-diam bermetamorfosa menunggu persembahan hasil bumi yang lain —dan itu luput terbayangkan. Mengapa aku terlalu lugu membayangkan hal-hal kecil-sederhana: tiang bendera, SD berdinding papan, tali bandar, rumah tua Banjar dan orang-orang bercaping lebar? Padahal kota kecil manakah gerangan bakal luput dari soal-soal besar, setidaknya ketukan ajaib para pesulap kakap yang bisa mengubah derita kita jadi tampak gemerlap?3) Pelosok manakah gerangan tak tersentuh tangan-tangan kasat-mata, dengan hasrat menjamah, jika perlu serta-merta, sebagaimana Kubilai Khan menundukkan setiap jengkal wilayah? Juga sekarang, apa bedanya! Orang-orang membuka hutan. Mengerahkan alat-alat berat. Membangun jalan dan jembatan. Memecah batu. Menimbun rawa-rawa. Atau mencari celah bisnis yang bisa dikembangkan. Bukankah, seperti kata Jamal, nama Pelaihari berasal dari bahasa Inggris “Play here”, sebab pada abad kesekian orang-orang kulit putih dari balik cakrawala sudah datang bermain-main di banua Tanah-Laut ini? Betapa larut.

O, diriku yang dungu! Kelewat mendewakan hal-hal kecil sebagai suaka ingatan yang ganjil. Tapi, sekali lagi tidak! Hatiku menolak, jiwaku berontak. Aku bukan si Lugu-Biru, sebagaimana gelar seorang kawanku, penyair Tanah Dewata yang mengasingkan diri di reruntuhan taman air leluhurnya. Aku hanya sedikit tak peduli, sebab tahu, semua akan begitu pada akhirnya: hutan dibuka. Rawa ditimbun. Jalan dan jembatan dibangun. Dengan tangan, mesin dan batu-batu. Beberapa mungkin runtuh juga, seperti taman air Tirtagangga peninggalan leluhur kawanku itu, di Bali sana —bangun dan runtuh toh di mana-mana sama saja, tak kenal waktu dan tempat. Tapi aku? Justru karena itu, aku tetap memilih sungsang, walau dalam pikiran. Kulebatkan hutan, kugenangi rawa, kututup jalan dan jembatan, kutolak hasrat menundukkan. Sebab akulah debu, pikiranku angin; aku menolak jadi batu, menolak jadi mesin. Aku tak ingin segalanya cepat mewujud: mata melihat, tangan menyentuh —ah, kenyataan fana. Aku ingin segalanya surut: mata tak melihat, tangan tak menyentuh, tapi kita dibuat kepayang cukup dengan membayangkannya saja —o, Marcopolo, kudamba angan yang baqa!4)

Jelas tak serta-merta sikap seperti itu melekat dalam diriku, butuh waktu peneguh dan ikatan yang kuat, tentu saja. Salah satunya karena aku menghormati sikap seorang guruku, lelaki sunyi dan agung (semoga Marapu selalu mengirimnya angin suci padang sabana), ia yang kadung dianggap dungu tapi sikapnya selalu mengharu-biru. Katanya, “Peliharalah rindu, sakit, dan rasa ingin tahumu!” Kenapa? Kami sendirilah yang mesti menjawab. Cukup dengan memandang sosok lelaki berdegap seperti kuda Sumba itu, dengan degup di dada, kami tahu, betapa berat rindu-dendam ditanggungnya, tak hendak dilabuhkan. Tanah kelahiran. Nafas jalanan. Kota masa silam. Sahabat yang pergi dan bertahan. Semuanya. Kenapa mesti dilabuhkan jika setiap denyut adalah sakit yang nikmat? Untuk apa perjumpaan jika melenyapkan ketakjuban?

Maka, seperti laki-laki yang membuang diri demi angan dan puisi itu, biarkan aku pun hidup dalam bayang-bayang, murni; berhasrat kekal dari angan, demi sebuah kota kecil di pedalaman, bahkan kota-kota lain di hiruk-pikuk pelintasan. Telah kusimpan mereka bertahun-tahun —serasa berabad-abad— dalam kepala, dalam dada, seakan tak boleh tersentuh apa pun juga! Dengan kata lain, sesungguhnya aku tak punya alasan yang tepat untuk memasuki langsung sebuah kota kecil yang diangan; tidak melampiaskan rasa ingin tahu, apalagi melabuhkan rindu yang keparat! Tiba-tiba aku ingin berteriak setelah menemukan sebuah kota yang telah tercetak abadi dalam otakku ini, bukan untuk berkata, “Eureka!” Tapi, “Celaka!” Sungguh celaka! (Dan malang! Aku hanya “ingin” berteriak, tapi tak bisa. Aku sudah di sini, di pusat Kota Pelaihari —sebagai seseorang yang telah melewati gerbang kota, dan tak mungkin kembali!)

***

KINI, kujalanilah semuanya. Biarkan bayangan dan kenyataan berkelindan di ruang kepalaku, meski aku merasa mulai tak waras dimainkan keduanya. Kadang, aku membayangkan Pelaihari yang lain, justru ketika aku meminta Jamal berhenti di depan tugu penanda Kota Pelaihari yang sejati. Apakah Pelaihari bukan Payakumbuh, sebab jalanan menyilang berupa “tangkai ketapel” itu sebenarnya lebih pas menggambarkan Payakumbuh, sebagaimana disebutkan seorang kawan pengarang yang menetap di situ? Aku sempat ragu. Tapi tak urung, di ujung “tangkai ketapel”, kuminta Jamal berhenti, dan aku turun dari motornya yang berdebu.

Tak jauh dari persilangan itu, kuamati bangunan panjang dari kayu yang memajang hasil tani dan hasil laut Pelaihari. Pisang, singkong, ubi jalar warna kuning dan merah, pepaya, serta berbagai jenis ikan kering yang dikemas sedemikian rupa. Di etalase sederhana yang diklaim sebagai “Pusat Agribisnis Pelaihari” itulah rupanya kita bisa melihat dan mencium aroma keringat orang-orang trans yang mengolah lahan lebih ke pedalaman. Daerah ini memang dihidupi keringat nelayan dan petani, terutama orang-orang trans yang dikirim ke mari bertahun-tahun silam —yang menjadi salah satu alasan membuka hutan, menimbun rawa, membangun jalan dan jembatan.

Kupotret umbi-umbian, kerang dan ikan yang digantung maupun ditumpuk jadi satu. “Silahkan pilih, Mas, singkongnya empuk dan murah; kerupuk ini garing dan terasa ikannya,” seorang ibu menawarkan dagangannya, dan kujawab bahwa aku menyukai ikan pepuyu, ikan rawa yang banyak tulang-durinya namun enak sekali digoreng pedas. Lagi pula, ikan itu mengingatkanku pada masa kecil di pesisir barat Sumatera, tempat di mana ikan-ikan air tawar dan payau telah langka seiring surut dan mengeringnya rawa-rawa. “Di sini pepuyu juga langka, Mas, paling adanya ikan sepat dan aruan. Ikan pepuyu suka hidup di air berlumpur, sedang sungai dan rawa pada kering, mengeras, dangkal,” lanjut si ibu tani sambil membetulkan letak tengkuluk di kepalanya.

Klik! Aku memotretnya dari dekat. Ia sumringah, meski mungkin tak seeksotik perempuan-perempuan bercaping lebar berdayung sampan di Pasar Terapung Sungai Barito, tapi wajah petaninya jelas menyimpan gairah lain dari semesta. Kupotret pula sebuah tugu yang berdiri di tengah persilangan “tangkai ketapel” itu. Warnanya kuning-kelabu, menyerupai kubah masjid, dihiasi relief “potret pembangunan” yang diukir setengah hati. Di atasnya nangkring lima ekor patung kijang (bukan kencana) bertanduk bercecabang, seperti dihalau dari Meratus nun di latar-belakang. Di puncak kubah, terlihat patung enggang setengah mengepak, barangkali sambil mengoak atau menjerit lantaran hidup yang sakit dan terancam. Aneh, aku bayangkan tugu kubah ini serupa arak-arakkan gunungan tabut dalam upacara Muharam di Pariaman, memperingati terbunuhnya cucu nabi, Hasan dan Husein, berabad-abad silam di Padang Karbala.

Ah, angin santer bangkit lagi, bergedesau dari arah semak-semak bagai segerombolan babi liar yang hendak menyerang masuk kota. Angin menyeberangi padang rumput dan tanah gambut yang gelisah (semoga bukanlah Padang Karbala!), menerbangkan debu, di mana-mana debu, meniupnya ke angkasa, semacam roh gerombolan babi liar yang bangkit dari hutan-hutan tanah usiran. Aku rapatkan krah jaketku, dan setengah terpicing kuminta Jamal melanjutkan perjalanan. Tapi motor macet dan sukar dihidupkan. Jamal berjongkok di pinggir jalan, mencabut busi dari mesin yang masih panas dan berasap. Angin santer datang lagi, seolah penyamun buta yang sedang menjala diriku, seorang pengembara, yang tiba-tiba asing sendiri di tengah kota yang diangannya. Aku merasa terkepung, tapi Jamal masih belum rampung. Ketika akhirnya mesin motor nyala, aku dan Jamal meluncur menuju arah Pantai Tekisung, memunggungi Pegunungan Meratus di latar nun Pelaihari. Aku memang meminta Jamal sedikit menjauh dari kota yang kumasuki dengan gairah dan rasa bersalah ini.

Menjelang sore kami mencapai ombak yang berdebur di muara Sungai Tabunio. Aku kembali menata ingatan atas kota yang dibayangkan, seperti menata pecahan-pecahan kerang dan lokan yang terburai di pantai. Angin mulai terasa dingin. Roh-roh kenangan yang terusik atas kelancanganku melabuhkan angan, kini berpencar ke tengah laut. Sebagian mungkin tersangkut atau bermain-main di sebuah mercu suar, kuning dan samar di kejauhan. Besok, aku dan Jamal sudah berjanji akan ke pedalaman, menyusuri lahan orang-orang trans dari Batuampar —tempat Pak Guru yang tabah ini pernah lama tinggal dan mengajar— hingga ke kaki Meratus yang sekiranya dapat terjangkau. Sebab, kata Jamal, “Jalannya bagai liukan ular raksasa yang kulitnya terkelupas karena derita.”

Jamal mungkin tak tahu, malam itu, di lantai atas rumahnya, aku tak kalah menderita dikepung angin santer yang serentak bangkit dari segala penjuru. Mereka menjelma gerombolan makhluk halus yang kembali dari laut, lalu menghantam jendela dan daun pintu. Semua gemertak dan berderak. Jamal sekeluarga tak mungkin bangun sebab terbiasa. Sebaliknya aku tak bisa tidur diganggu amsal mantra yang sesiang tadi kucipta: aku debu, anganku angin, hu! Sehabis berucap, ada yang menuntutku untuk segera membangun Pelaihari yang lain: ruang, jalan, dan lorong-lorongnya yang baru. Labirin, peta, dan arahnya yang baru. Yang belum pernah kukunjungi, sekalipun dalam mimpi. (Sesungguhnya, tuntutan itu muncul dari diriku sendiri, yang gelisah dan menderita, yang sesiang hari menjelma debu dan deru angin! Apa bedanya dengan angin malam ini? Maka aku harus meladeninya, meladeni diriku sendiri. Hanya begitulah aku tetap bisa memelihara ketakjuban dan keasingan pada Pelaihari —dan kota-kota kecilku yang lain, untuk tidak mati!— seperti keheranan Adam pertama memandang dunia!)

Kubuka mata dan kuterima kutukan manis ini. Matahari terbit, tapi tak lagi jatuh di tanah gambut dan padang perdu yang kemarin kulewati. Matahari jadi milik tanah dan padang jauh yang meriap dan segar sehabis hujan, belum pernah kujelang. Dan di sana sebuah kota kecil mulai membangun ruang, jalan, dan lorong-lorongnya sendiri. Labirin, peta, dan arahnya sendiri. Apakah Anda dapat membayangkannya? Tolong, jangan bujuk lagi aku ke sana, ke dataran kesempurnaanmu yang tertunda!***



Rumahlebah Jogjakarta, 2007-2008

Catatan:
1) Diadaptasi dari puisi Agus Syafaat, “Biografi Kesunyian” dalam buku Hijau Kelon & Puisi 2002 (Jakarta, Buku Kompas: 95)
2) Diadaptasi dari puisi Chairil Anwar, “Sia-sia” dalam buku Aku Ini Binatang Jalang (Jakarta, Gramedia: 7)
3) Diadaptasi dari puisi Sutardji Calzoum Bachri, “David Copperfield, Realitas 90”
4) Kalimat penutup diadaptasi dari sebuah esei Faruk HT, “Ke Dataran Kesempurnaanmu” (Kalam, edisi 3-1994), berdasarkan sebaris sajak Sanusi Pane, “Doa”.

Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Mengasuh Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia . Tinggal di Jogjakarta.
S Prasetyo Utomo
Desau angin berpusar kencang. Merobohkan pohon-pohon. Berdebam. Merontokkan daun-daun kersen di sekitar pabrik gula yang telah lama mati. Gedung tua berlumut, dengan cerobong asap berkarat itu berderak-derak. Sakri memandangi angin yang terus berpusar, mengangkat genting-genting gedung tua pabrik gula dengan rel membentang tanpa lori melintas di atasnya. Tak pernah dilihatnya sebelum ini angin mematahkan ranting-ranting, menerbangkan genting-genting pabrik gula, yang cerobongnya tak lagi membubungkan asap.
Lelaki tua itu menantang desau angin dari langit dan gemeretak dahan patah di Bumi. Rintik hujan tajam meruncing, nyeri menghunjam wajahnya. Makin takjub ia ketika melihat cerobong asap gedung pabrik gula yang senyap itu bergetar dan membubung ke langit. Berpusar. Tinggi. Tak terlihat lagi. Orang-orang menjerit. Meminta Sakri meninggalkan pabrik gula yang seluruh temboknya berlumut dan ditumbuhi rerumputan mengering.
Dengan menyungging senyum, Sakri menyambut pusaran angin. Kedua tangannya dibentangkan. Tubuhnya yang keriput kurus, dengan rambut memutih beruban, terangkat. Dipusar angin. Menjelang senja itu, dalam desis gerimis, pusaran angin telah mengangkat Sakri dari tempatnya berdiri di bawah pohon kersen. Lenyap.
Arum—anak angkat Sakri—memekik kencang. Ia sedang mencari ayah angkatnya, memintanya pulang. Membawakan payung. Jeritannya terdengar memanjang, memekik kencang. Payung di tangan Arum terangkat. Gadis itu membiarkan payungnya dipusar badai. Ia hanya ingin menyelamatkan ayah angkatnya. Ia ingin lelaki tua itu kembali ke rumah. Memang akan selalu terjadi pertengkaran dahsyat antara Sakri dan istrinya. Pertengkaran dengan teriakan-teriakan, kegaduhan, makian kasar, tanpa rasa malu. Arum merasa takut bila ayah dan ibu angkatnya itu bertengkar. Tapi ia lebih takut melihat ayah angkatnya dipusar angin, membubung ke langit, lenyap dalam cakrawala bumi senja.
”Aku akan moksa,” kata Sakri, tiap kali ia dimurkai istrinya, terutama bila perempuan tua itu dibakar api cemburu, dan mereka berkubang pertengkaran tanpa ujung. ”Akan kutinggalkan kalian, dengan tanpa menyisakan raga.”
”Cobalah moksa! Aku ingin sekali melihatmu lenyap tanpa jasad!” ledek istri Sakri.
”Kau selalu tak memercayaiku. Juga ketika kukatakan, aku akan menjadi orang terhormat di wilayah ini, kau mencibirku. Tiba saatnya nanti aku akan kembali bekerja seperti dulu.”
”Siapa bilang? Kau selalu mengigau!”
”Ayo, kubawa kau pada guruku, Eyang Sabdo Palon, di lereng Gunung Lawu! Biar kau dengar seluruh wasiatnya, aku akan hidup mulia di masa tua.”
Tengah malam itu Sakri meninggalkan rumah, berjalan-jalan seorang diri dalam sunyi. Langit terang, menampakkan gebyar bintang-bintang, sesekali menggaris lengkung puncak malam. Ia terus menyusuri sunyi rel menuju pabrik gula yang aus tanpa deru mesin. Melangkah pelan-pelan di sepanjang rel yang ditumbuhi rerumputan liar.
Memandangi ladang bekas kebun tebu. Memandangi dengan harapan sebagaimana dulu: ketika pabrik gula itu masih menyuarakan deru mesin musim giling. Pada puncak malam ia memandangi pohon-pohon kersen yang kini tumbuh liar, lebat, dengan daun-daun kekuningan luruh waktu demi waktu. Di sini dulu dia, tengah malam, menemukan bayi perempuan, yang kelak dinamainya Arum.
Saat itu Sakri mendengar suara tangis bayi di antara langkah kaki menyusuri rel yang membentang di hadapannya. Ia tergerap dalam senyap malam merapuh. Disibaknya semak belukar yang kian lebat menutup rel. Lembut kepak sayap kelelawar dan cericit burung-burung sriti, membawa kembali ingatan Sakri pada anak angkatnya itu, yang kini sudah menjadi gadis.
Langkah Sakri menyusuri jalan setapak menembus ladang jagung, menyeruak padang lalang, dan menuruni tebing. Ia mencapai tepi sungai yang bening. Sejenak ia ragu. Teringat akan wajah teduh Eyang Sabdo Palon. ”Jangan ragu-ragu. Berendamlah pada tengah malam di sungai itu. Cari ketentuan hatimu,” selalu didengarnya bisik eyang bermata cemerlang di Lereng Gunung Lawu.
Arum suka menyusuri sunyi rel pabrik gula yang telah mati itu sendirian. Menyelusuri suara bayi. Terdengar jauh. Sangat jauh, dalam ceruk malam. Dalam semak belukar dan sunyi rel yang dulu selalu bergemuruh saat lori pengangkut tebu melintas. Ia berharap bisa bertemu dengan seorang ibu yang dulu meletakkan bayi itu di depan pabrik gula, dalam bungkus kain, dan burung-burung sriti berkelepak di sekitarnya. Hingga Sakri memungutnya, memberi nama Arum. Di dekat bayi yang tergeletak, tumbuh melati yang gersang berdebu, tengah mekar bunga-bunganya.
Kebiasaannya berjalan-jalan, menyusuri rel dan pabrik gula itu, tak bisa ditinggalkan Arum. Ia selalu tergoda untuk melangkah di antara rel yang tak lagi dilintasi lori pengangkut tebu. Kali ini ia tergoda untuk menyusuri rel. Ia tergeragap, saat menemukan seorang perempuan tua, kurus, tertatih-tatih mencari pohon kersen—yang tentu saja paling rindang—seperti melacak sesuatu di tempat itu.
Perempuan tua itu terus berbincang-bincang sendirian.
Arum mendengar desis perempuan tua itu. Ia ingin mendekatinya. Barangkali perempuan tua itu mencari-cari bayi yang dulu pernah dibuangnya di bawah pohon kersen. Barangkali perempuan degil itulah ibu kandungnya. Arum bergetar. Ia ingin segera berlari, merengkuh perempuan tua itu, siapa pun dia. Ingin ia menemukan perempuan yang memberinya citra seorang ibu. Dengan langkah digayuti rasa bimbang, Arum mendekati perempuan itu.
”Apa Ibu mencari seorang bayi?”
”Bayi? O, tidak. Aku mencari tempat yang nyaman untuk tidur.”
Dan perempuan tua itu membenahi tempat di sisi pabrik gula yang mati. Menghamparkan kain sarung tua, tidur, dan tak menggubris Arum. Begitu saja perempuan tua itu terlelap. Tak merisaukan apa pun, kecuali pulas tidur. Dengkurnya sangat kencang. Sesekali perempuan tua itu mengigau. Meracau. Memaki. Terdiam lagi. Mendengkur.
Tengah malam, ketika Arum memasuki pelataran rumah, ia berpapasan dengan ayah angkatnya. Sakri tampak lelah berjalan-jalan. Suara sandal tersaruk-saruk tanah.
Lelaki tua itu memandang ceruk kegelapan dengan tatapan memancarkan tanda tanya. Tapi bibir yang mengepulkan asap rokok itu memaksakan diri untuk tersenyum.
”Dari mana saja Ayah semalam ini?” Arum menandai rambut ayahnya basah. Biasanya lelaki tua itu berendam di air sungai hingga menjelang dini hari.
”Aku mencari wangsit. Kelak kalau aku memang benar mulia di pabrik ini, seperti dikatakan Eyang Sabdo Palon, kita akan hidup makmur, hingga anak cucu.”
Ingin Arum memekik. Iba pada ayah angkatnya—yang kini menampakkan ketuaan wajah, yang dulu legam terpanggang matahari di kebun tebu. Hamparan tanah yang dulu ditumbuhi batang-batang tebu kini mulai dipetak-petak. Ditanami sayur-mayur. Dijadikan ladang jagung. Tak ada lagi batang-batang tebu yang ditebang, diangkut dengan lori menyusuri rel ke pabrik gula yang mengepulkan asap dari cerobong besi.
Dada Arum kian sesak, dan belum beranjak dari pelataran rumah. Dia baru saja berjalan-jalan mengitari pabrik gula, dekat rel yang ditumbuhi semak lalang. Dia merasa tenteram mencium aroma buah-buah kersen meranum. Dalam kisah ibu angkatnya, di bawah pohon kersen yang menggugurkan buah-buah ranum itu—pada waktu bayi—ia dikerumuni semut. Sinder Sakri membawanya pulang. Menamainya Arum, lantaran ranum buah-buahan kersen yang berserakan di sekelilingnya dan bunga melati liar menyebar bau harum.
Semasa kanak-kanak, ketika tebu-tebu ditebang musim panen, Arum bersama teman-teman sepermainan suka mencuri tebu dari lori yang melintasi rel. Batang-batang tebu yang semula gembung, padat, berair dan manis, lama-kelamaan, Arum merasakannya kian kurus, menguning, kering tanpa air. Batang-batang tebu itu kian mengering tiap kali dipanen.
Arum paling lincah bergerak, berlari di belakang lori pengangkut tebu, melolos satu batang, dan memakannya di belakang pabrik gula. Sebatang tebu itu dikupas, dipotong-potong, disayat, dikunyah-kunyah dan diisapnya bersama beberapa kawan kecil.
Ladang tebu kian susut. Makin jarang lori kereta mengangkut tebu, menyusuri rel, memasuki pabrik. Musim giling tebu cuma sesekali, hingga gemuruh mesin itu tak terdengar lagi. Cerobong asap pabrik tak mengepulkan asap ke langit. Lahan tebu makin lenyap—petani memilih mengolah lahan itu sebagai ladang sayur, ladang jagung dan sawah. Tapi Sinder Sakri senantiasa berdandan gagah setiap pagi, meninggalkan rumah, mendatangi lahan-lahan bekas perkebunan tebu, mendatangi pabrik yang senyap, dan nongkrong di warung kopi. Dia menghabiskan waktu untuk minum kopi, merokok, dan berbincang-bincang dengan bekas mandor dan bekas petani penggarap lahan tebu—yang kini memilih menggarap sawah dan ladang.
Tiap pagi istri Sinder Sakri memandangi kepergian suaminya dengan mata terbakar api cemburu. Mata yang menebar jaring kecurigaan. Tajam. Menyengat Menyembunyikan kemesuman di baliknya. Arum senantiasa melihat, ibu angkatnya itu suka main mata dengan anak-anak muda, mandor, atau lelaki-lelaki gagah yang berpapasan dengannya. Mata itu genit dan mesum, yang disembunyikan di balik senyum. Tapi setiap saat, perempuan itu suka mencaci maki suaminya, dengan kecemburuan yang menajam. Membakar rumah dengan api pertengkaran. Mencabik-cabik perasaan Sakri.
Ragu-ragu, dalam gelap tengah malam, Sakri dan Arum enggan melangkah memasuki pelataran rumah. Sakri lebih dulu mengetuk pintu. Arum bersembunyi di balik punggungnya. Saat pintu rumah benar-benar dibuka, mata perempuan tua yang dibakar cemburu itu memberangus disertai cercaan, ”Huh! Pasti kau cari perempuan muda! Rambutmu basah, habis mandi keramas, tentu baru berbuat mesum dengan perempuan muda! Memalukan!”
Sakri terdiam. Mengepulkan asap rokok. Menerobos masuk.
”Siapa perempuan yang kaukencani malam ini?”
Tersenyum, tak menukas, Sakri melangkah ke meja, mencecap sisa kopinya yang dingin, merokok, dan pandangannya menerawang jauh: kosong, tidak lagi bersentuhan dengan benda-benda di depannya. Tubuhnya seperti tak lagi berpijak ke Bumi. Terlontar ke langit.
Usai badai yang berpusar menerjang pabrik gula, mengangkat atap, cerobong asap, tampak langit dan daratan tanpa semilir angin. Dedaunan basah, menetaskan sisa hujan badai, dalam diam. Terhampar onggokan genting dan atap pabrik. Terserak. Tumpang tindih. Orang-orang keluar rumah. Sebagian menangis. Sebagian yang lain meraung-raung.
Arum tidak menangis. Tidak meratap-ratap. Ia berjalan ke arah kepergian ayah angkatnya. Melacak tempat lelaki tua itu terpukau di sisi pabrik gula berlumut. Tapi pabrik gula kusam itu—selain cerobong asap dan atap yang lenyap—masih tampak utuh. Berhenti di depan reruntuhan atap, Arum mendekat ke bawah pohon-pohon kersen. Dahan-dahannya patah. Getas terlempar badai. Beberapa pohon tinggal batang. Yang lain tumbang.
Melangkah gadis itu ke arah ladang di belakang pabrik gula. Telah roboh ladang jagung petani, terserak-serak batangnya. Dan Arum tak menemukan Sinder Sakri di sini. ”Aku tahu di mana Ayah berada,” desis Arum, melangkah ke arah lereng pegunungan. Di sini sebagian atap rumah penduduk teronggok. Pohon-pohon masih berdiri kokoh. Hanya dahan-dahan dan dedaunan yang terserak.
Di bawah sebuah pohon beringin tua, rimbun di sisi sendang, Arum terhenti. Ia tengadah. Menatap sesosok tubuh yang tersangkut di rimbun dedaunan pohon beringin tua. Ia segera memekik. Yang dilihatnya bukan lelaki lain. Lelaki tua itu ayah angkatnya.
Orang-orang berlari mendekati Arum. Memandangi tubuh Sinder Sakri yang tersangkut pada dahan pohon beringin tua. Beberapa lelaki mencoba memanjat. Berharap mereka dapat menurunkan tubuh Sinder Sakri yang kerempeng itu. Tubuh yang merapuh. Basah. Tak sadarkan diri.
Orang-orang menurunkan Sinder Sakri. Arum berharap, ayah angkatnya masih memiliki detak nadi.
Terbaring dengan mata terpejam, napas tertahan, Sinder Sakri ditunggui Arum, yang tak mau meninggalkannya, hingga kesadaran dan kekuatan tubuh lelaki tua itu pulih. Arum memberinya makan, meladeni minum, dan menanggapi pembicaraannya yang meracau. Ia tak mau meninggalkan lelaki tua itu. Istri Sinder Sakri memandangi suaminya dari kejauhan. Tak mau bicara. Cuma matanya yang masih mengejek. Mata yang cemburu. Mata yang tak pernah mengenali napas dan nadi suaminya. Mata yang tak putus menebar jaring kecurigaan.
Datang pemilik pabrik gula, menengok Sinder Sakri. Memasuki kamar. Berbisik di telinga Sinder Sakri yang memejamkan mata. Sinder Sakri membuka kelopak matanya. Menatap dengan cahaya berselubung rahasia. Tersenyum, usai mendengar bisikan pemilik pabrik gula. Tergagap-gagap. Tubuhnya masih lemah dan ruang kamar berputar-putar dalam kepalanya. Ia merasa dalam pusaran angin, yang membawanya membubung langit, dalam ketaksadaran. Ia sesekali mengigau. Kadang ia merasa terisap pada sebuah lorong waktu yang memusarkannya pada kekosongan berkabut. Desau angin berdesing. Ia mencari cahaya. Kadang cahaya itu menyilaukannya. Kadang gelap pengap serasa dalam sumur beracun.
Yang membuat Sakri tenteram, ia masih mendengar suara Arum. Dengan mata terpejam, ia mencari ketenangan. Memang sesekali ia mendengar istrinya yang menggerutu. Mencemoohnya. Mengutukinya, ”Itulah ganjaran lelaki yang suka selingkuh!”
Tak sepatah kata pun Sinder Sakri menukas omelan istrinya. Yang ia dengar, pemilik pabrik gula sekali lagi membisik, ”Mari, kita bekerja lagi. Kita bangun kembali pabrik gula. Kau bisa mengelola perkebunan tebu seperti dulu.”
”Oh, ini sungguh menakjubkan!” seru Sinder Sakri. ”Akan kuajak para petani kembali menanam tebu.”
Kembali pemilik pabrik berbisik ke telinga Sinder Sakri. Bisikan yang menahan rekah senyum lelaki tua itu, ”Kutitipkan Arum padamu. Ibunya, perempuan simpananku, tak mau membesarkannya. Perempuan itu meletakkan bayinya di bawah pohon kersen depan pabrik gula, dan ia memilih pergi ke kota, menyelamatkan diri. Aku harus berterima kasih padamu. Jangan sampai terbongkar rahasia ini. Biarlah dia tak tahu siapa orangtuanya. Kupikir aku masih akan terus berdekatan dengannya. Ini sungguh sangat berharga. Aku masih memiliki harapan.”
Sepasang mata istri Sakri bagai tungku, menghanguskan kecurigaan yang tak pernah terpahami. Mata yang risau, memandang suaminya dengan menghujat. Mata yang kecewa pada Arum, gadis dari bawah pohon kersen pabrik gula yang lembab, kusam, berlumut, dengan cericit lembut burung-burung sriti mengitari rintik gerimis.
Sepulang pemilik pabrik gula, Arum merasa seperti dilambungkan ke langit, dengan pusaran rahasia keluarga ini, yang tak pernah dimengerti.
Pandana Merdeka, Februari 2008
Ayu Utami
Untuk Bona dan Weni
Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal. Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya.
Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya.
.........Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku.
Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat (diketahui dengan cara mengirim >small 2small 0<), barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri.
Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik.
Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun!
Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. Karena itulah, daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu saja. Paling tidak, dengan begitu anak kita tidak jadi yatim piatu.
Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan.
Titik.
Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira begitu aku merasa derau mesin baling-baling ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps. Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. Suamiku tampak di sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai hingga pesawat lenyap di udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling.
Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum. Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada rente. Kalau untung, hanya ada tiba dengan selamat.
Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam, termasuk transit dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan diriku yang cemas, yang bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan anak-anakku kehilangan ibu yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku, yang menitikkan air mata atas jerih payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit. Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya.
Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk menghadapi kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak memiliki suami ataupun anak-anak. Aku yang lajang petualang.
Dan lihatlah. Seorang lelaki tergesa-tergesa melewati pramugari yang cemberut karena ia membuat penerbangan telat jadwal. Ia meletakkan bagasi ke dalam kabin di atas kepalaku. Ia mengangguk kepadaku sebelum duduk di kursi sebelahku. Terhidu bau tubuhnya. Bau hangat manusia. Aku membalas ringan dia, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai ber- gerak. Jati melambai di bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal!
Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada ransel yang diletakkan di bawah kursi depan, tersangkut botol minum aluminium SIGG. Dengan stiker "kurangi plastik". Ia mengenakan sepatu gunung Eiger.
Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa melihat lipatan perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan di balik kemeja korduroi hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan. Dari kulit jemarinya, kira-kira ia empat puluhan.
Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. Lebih baik baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak memberi kita pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia sering-sering cuma menghabiskan urat kepala.
Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis, Carl Swisher & Roger Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat lelaki di sebelahku bergerak. Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia orang lapangan, bergerak di sekitar soal lingkungan.
Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman. Sialan. Kuno amat. Setelah burung bronkitis ini terbang mendatar, aku menarik napas lega yang pertama, dan mulai membaca lagi. Kutangkap lagi dengan sudut mataku, ia bereaksi terhadap bacaanku. Ah! Kupergoki saja dia. Sambil bisa kuperhatikan sekalian, seperti apa mukanya.
Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sa- ngat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.
Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek!
Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk.
"Sudah pernah baca?" tanyaku.
"Boleh lihat?"
Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan lelaki punya beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia banyak bertanya tentang duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang diri sendiri. Jika kita tidak bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri dan menjawab sendiri.) Dari cara bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya?
"Macam-macam sudah saya coba," katanya. "Saya pernah kerja di pertambangan. Saya pernah kerja di kapal."
"Di kapal?"
"Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer…."
"Jadi juru masak?"
"Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal…."
Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak pekerjaan itu. Ia memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan ketimbang peneliti.
"Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun kelapa sawit kecil-kecilan pernah juga…."
Kini aku mencari-cari tanda jika ia berbohong. Atau sedikitnya bercanda. Tapi wajahnya tulus seperti hewan.
"Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam kampung tidak begitu, kan?" tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes.
Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. "Sesungguhnya, buat saya itu juga misterius."
Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian pengalaman yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengaku-ngaku peternak ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang dikerjakannya di kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus?
Tebakanku tidak terlalu meleset.
"Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu. Saya… tidaklah saya motret binatang dibunuh."
Oh, berhati haluskan dia. "Jadi motret apa?"
"Saya," ia berdehem, "saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek. Orang katai. Saya potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?"
"Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?"
"Untuk satu majalah luar negeri."
Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di Indonesia. Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak dalam halaman-halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa sengaja bersentuhan ketika menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar. Dan pada lembar-lembar berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak sengaja.
Ia bercerita tentang dua spesies manusia pada sebuah zaman. Yang lebih purba dan yang lebih baru. Pada sebuah titik, yang lebih purba punah. Dialah manusia neanderthal, dengan ciri-ciri bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. Tapi, sebelum mereka punah, dua spesies itu ada bercampur pula. Maka, keturunan manusia yang lebih purba masih kadang-kadang ditemukan di kehidupan sekarang. Ciri-cirinya, bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. "Seperti saya, barangkali." Ia nyengir lucu.
Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus seperti hewan?
Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung.
"Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?"
"Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang tak terkalahkan."
"Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil."
Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku tak terlalu muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki?
"Kenapa," kataku agak grogi, mencari tema baru. "kenapa kamera digital semakin tahun semakin biru pucat gambarnya?" Tapi ini bukan tema baru. Ini tema yang sama. Tentang kecemasan menjadi tua.
"Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk memotret sejumlah kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama sekali. Biasanya, sekitar seratus ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan. Tapi tidak ada yang mau baca."
"Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?"
"Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca."
"Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas orgasme."
Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak.
"Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis," kataku lagi.
Ia tertawa lagi. Tapi, sesungguhnya aku tidak melucu. Aku sendiri tak tahu apa motifku. Apakah aku ingin tahu adakah teori itu benar. Ataukah, aku sesungguhnya sudah merasa intim dengan lelaki berbau manusia ini. Aku tak tahu apa yang kukatakan.
Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar. Setelah itu aku merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih muda dari dia. Tapi tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku yang bertanggung jawab telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam.
Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum?
Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti dalam bis malam yang mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat dinginku merembes sedikit di dahi.
Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti seorang suami. Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama.
Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku bersandar di bahunya.
Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi bagasi.
Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa dan diriku dari kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi. Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang dibawa Jati….

1 comment:

Arsyad Indradi said...

Wah wah pernah ke Pelaihari ? Kenapa tak mampir ketempatku ? Bandara Syamsuddin Nur dekat aja dari tempatku.
Salam Sastra
Arsyad Indradi
http://arsyadindradi.blogspot.com