Thursday 3 July 2008

Sajak-sajak

Jimmy Maruli Alfian
Dendam Tak Sudah*

danau ini tak mengalirkan apa-apa
tetapi mengapa kau tenggelam dalam diamnya?
mungkin duka tubuhmu terlampau berat
mungkin sengketa riwayat terlampau sarat
sesungguhnya di dasar danau akan kau temukan
batu-batu, kulit keong, juga beling botol dan piring
saat itu tubuh putihmu pun menjadi mineral
sampai kau memekik segala sebal
begitu banyak kepedihan yang kau igaukan
menjadi asap rokok, derik serangga di batang kepok
dan roda-roda kereta yang tak pernah kapok
terjerembab dalam ulang alik perjalanan
entah apa bentuk paras danau ini
kadang-kadang oval dan dingin tak karuan
tak jarang pula persegi dengan riak amarah
di tiap tepi
kecipak permukaan
membuat lelaki membelalak
sebelum akhirnya tenggelam
dalam sehimpun gombal sajak
kelaras yang jatuh di bibir danau
seketika daunnya datang mendekat engkau
telur-telur katak yang menggelantung
ialah tanda penantian terus berlangsung
teguklah bir dari tuangan terakhir
lalu hitung berapa banyak di gubuk orang mampir;
berteduh karena hujan, membeli tisu dan minuman
atau hanya melepas letih memeluk pinggang kekasih
dan seperti kemarin,
(hanya saja hari ini banyak nyamuk
dan bekas sepatumu di pasir mulai suruk)
danau ini tak mengalirkan apa-apa
tetapi mengapa kau tenggelam dalam kesumatnya?
2007
* Nama sebuah danau kecil di Bengkulu.

Jimmy Maruli Alfian
Bukit Fatima 2
akhirnya kau sudah punya rumah
dengan kusen kayu meranti
dan lebar jendela kau hafal dalam inci
maka, tak ada serapah untuk tidak betah
pintu yang menangkil ke selatan
dan bangku di dapur menjorok ke lautan
ialah sejumlah dalih
bahwa kau menungguku dengan sedih
nyatanya kau biarkan aku merapah ke bebukit
lalu dengan tolol mengenangmu
saat menyapu beranda dan berkali gembira
mengibaskan keset ke batang mangga
padahal kau tahu, telapak kaki
dan semua ingatanku tinggal di situ
sungguh, aku ingin kembali ke sana lagi
lalu merayahmu dari lengan waktu
nanti saja, katamu, pada saat hari sabat
kau akan rihat dari menggambar denah,
memikirkan letak guci, warna kamar mandi
pun jahitan kulit kursi
"dan di sebuah senja, datanglah ke rumahku
dengan berahasia akan kubiarkan kau
mengutip surga di bibir jendela
diintip cahaya dari bukit fatima"
ah, aku tahu kau hanya basa-basi
sekadar gurau atau menokok mimpi
karena sungguh, bagaimana hendak tandang
bila pintumu sudah terkunci dan dipalang?
oleh isyarat
juga riwayat
2007
Jimmy Maruli Alfian

Fort Marlborough
"apakah harus ada yang dipertahankan
kalau nyatanya kau konyol digempur kesedihan?"
waktu pertama menemukan daratan itu
ia langsung lupa dari kubu mana ia tiba
baginya pelayaran ini teramat lucu
karena cuaca melulu gagal dikira
hah! begitu letih mengimani laut
tak ada penunjuk arah sewaktu kalut
kompas rusak, teropong hilang
ikan-ikan tak ada renang mengambang
sampai akhirnya ia berani berlabuh
meninggalkan serdadu ombak,
selat yang padat, tubuh yang rapuh,
dan gelak awak di atas geladak
"kesedihan tak punya kebangsaan
maka biarkan aku merapat sendiri
pura-puranya suluk di tempat sembunyi
kalian, teruskanlah perjalanan ke selatan"
ia pun menunggu magrib
sore dan hujan saling menyalip
di antara bibir benteng dan mulut pantai
tubuh ringkihnya pun makin lepai
ia putuskan untuk tinggal di sana
meriam dan parit-parit akan melindungi
dari serangan kenangan yang membuatnya
harus memilih kalah atau menang
"hei, apakah harus ada yang dipertahankan
kalau nyatanya kau konyol digempur kesedihan?"
ia pun menggumam dalam duduk silanya
"masa bodo! tak akan usai pertahanan ini
karena menyerang membuat diri
semakin jauh dari tempat kembali
semak dan miang bakal ganti menghuni"
2007
Lupita Lukman
Seekor Burung
Dia sudah tinggi rupanya, sudah besar. Sehingga ranjang yang sedari kecil menjadi saksi mimpi-mimpinya itu, kini tak lagi cukup menampung tubuhnya. Hingga ibunya yang selalu mengantar tidurnya dengan dongeng-dongeng, tembang atau doa-doa itu, kini menyuruhnya pergi.
"Segeralah kau temui mimpi-mimpimu yang terserak di jalanan, tinggalkan ranjang ini, kamar, juga rumah ini, jadilah burung!"
"Tapi, Bu…," tiba-tiba saja kalimatnya terhenti ketika ia telanjur sadar tangannya mengepak menjadi sayap, terbang menjelma burung dengan hati amat senyap. Meninggalkan ranjang berseprei abu-abu. Meninggalkan ibu.
"Tentu dia terbang kini, dia sudah besar," gumam ibu.
2
Burung itu terbang seharian. Telah puas bermain-main di bebukitan. Kini, ia kelelahan. Meski tetap saja ia merasa sungkan hinggap di sebuah dahan.
"Sekarang, aku akan ke mana? Awan menghitam, hujan segera datang. Saat seperti ini, aku hanya ingin kembali ke ranjangku dan meringkuk di sisi ibu."
3
Setahun sudah berlalu, ibu sendirian di rumah itu. Ranjang itu pun sepreinya sudah diganti biru. Astaga! Kini ibu senang memelihara berbagai macam burung dalam sangkar, dalam kamar.
Sambil memandikan seekor burung dalam sangkar bambu, ibu bergumam,
"Dia sudah besar, tak mungkin lupa jalan pulang, tak mungkin sasar."
4
Di sebuah senja berwajah jingga, aku melihat seekor burung terbang
penasaran, berputar-putar di sekitar batang bambu, lupa jalan pulang ke rumah ibu.
September 2007
Lupita Lukman
Penyihir
>is 62248m,<: Sapardi
kau menatapku dari kejauhan
seperti senja yang mengharukan
sebab ada seribu jalan menuju dirimu
hampir gelap dan berbatu
tahukah kau tuan, aku hampir sesat
di jalan yang pernah kau namai ini
aku dikelabui mimpi
: menjadi perempuan berambut emas,
bergaun pekat
"kutunggu kau sebagai penyair!" ujarmu suatu waktu
tapi tuan, nyatanya kini aku malah jadi penyihir
berbibir hitam dan topi lancip
aku ingin jadi penyair tuan, bukan penyihir!
adakah aku salah menafsir pesan?
sebab, tahukah kau?
kini aku dalam perjalanan terbang menuju dirimu
di sebuah senja remang dan jalan berbatu
berniat menyihirmu, menjadi hantu
Agustus 2007
Jimmy Maruli Alfian lahir di Telukbetung, Lampung, 3 Maret 1980. Kumpulan puisinya yang siap terbit berjudul Bukit Fatima.
Lupita Lukman lahir di Kota Bumi, Lampung, 17 Maret 1985. Beberapa puisinya termuat di sejumlah antologi bersama. Kini ia aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung.

No comments: