Thursday 3 July 2008

Sastra Religius, Agama, dan Kemunafikan

Budi P Hatees

Akhir-akhir ini, ingatan saya kepada cerpen-cerpen Djamil Suherman bangkit kembali. Sastrawan ini banyak menulis cerpen dengan latar kehidupan pesantren. Diksi-diksi yang dipakainya untuk mendiskripsikan realitas kehidupan para santri sangat akrab dengan realitas sehari-hari pondok pesantren misalnya tarawih, santri, tadarus, dan lain sebagainya. Nilai yang hendak disampaikannya pun seputar dunia yang ditekuni para santri, sebuah pilih an hidup untuk selalu eling kepada Yang Maha Kuasa.

Saya menyebut cerpen-cerpen itu kental akan religiusitas yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan agama Djamil Suherman yang juga seorang santri. Kedua hal itu menjadi keekaan dalam cerpen-cerpen tersebut, sehingga jelas bahwa apa yang dilakukan Djamil Suherman tidak cuma menulis cerpen melainkan menjadikan cerpen sebagai medium berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Cerpen-cerpen itu, berikut semua unsur cerpen yang terkandung di dalamnya, pada akhirnya hanya medium.

Pada tataran inilah persoalan religiusitas dalam karya sastra menjadi persoalan kompleks. Tidak cuma selesai dengan meminjam formula-formula atau definisi-definisi yang ada maupun membuat formula-formula baru dengan harapan lebih paradigmatis.

Religiusitas dalam karya sastra lebih kepada persoalan individu sastrawan dalam menghasilkan teks-teks sastra yang begitu kental akan nilai-nilai religi dan transendental. Disebut begitu, karena religiusitas merupakan kondrat manusia yang paling hakiki. Begitu ummat manusia diciptakan-Nya, saat itu juga manusia sudah harus mengabdi kepada Yang Maha Kuasa; menyembah-Nya sebagai wujud dari kesadaran transendental seorang hamba. Bahkan seorang ateis sekalipun tidak bisa mengabaikan nilai-nilai religius yang ada dalam dirinya.

Sebab itu, perdebatan religiusitas dalam karya sastra lebih baik diarahkan kepada fenomena maraknya karya-karya sastra religius yang ditulis lebih sebagai mode. Sebab karya-karya sastra religi, yang oleh para pengamat sastra diposisikan sebagai karya percerahan rohani, ternyata tidak melulu ditulis sebagai salah satu medium berkomunikasi antara manusia sastrawan dengan Yang Maha Kuasa.

Karya-karya sastra religius itu, yang kental akan "penyerahan habis-habisan seorang hamba kepada Penciptanya", ditulis dalam semangat massa. Artinya, sastrawan bersangkutan hanya bertujuan menghasilkan sebuah karya sastra yang digemari publik, di mana seleksi pertama ada di tangan para redaktur budaya media koran atau majalah.Tidak heran jika ada penyair menulis sebuah puisi religius dalam keadaan mabuk atau sambil meminum alkohol.

Itulah ironi yang menelikung dunia penciptaan karya sastra kita saat ini. Di dalamnya kita dapati kemunafikan yang dimanjakan atas nama "kepasrahan habis-habisan" seorang ummat, namun orientasinya disemangati tata nilai kapitalisme global yang didorong oleh rasa persaingan tinggi agar bisa tampil di hadapan publik.

Kembali kepada cerpen-cerpen Djamil Suherman. Terhadap cerpen-cerpen semacam karya Djamil Suherman, sastrawan Ahmad Tohari pernah menawarkan batasan. "Sastra pesantren," kata penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini dalam buku Sastra dan Budaya Islam Nusantara (IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 1998), "merupakan karya sastra yang hidup dan diciptakan oleh kalangan pesantren, atau karya sastra yang bermuatan misi dakwah."

Tentu saja, kalimat "karya sastra yang bermuatan misi dakwah" dalam batasan ini, sangat longgar. Sebab, banyak sastrawan kini yang menghasilkan karya sastra bermuatan misi dakwah, dan mereka tidak berasal dari kalangan pesantren. Bahkan, banyak karya sastra tentang kehidupan pesantren lengkap dengan segala tata nilai masyarakatnya, namun tidak dihasilkan oleh sastrawan yang punya hubungan erat dengan pesantren.

Karya-karya sastra yang dihasilkan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) di seluruh Indonesia, sebagian bukan produk pesantren, sangat kenatal memuat misi dakwah agama Islam. Dalam novel-novel Gola Gong misalnya, terutama yang diterbitkan Mizan, misi dakwah itu menjadi ruh yang menghidupi karya tersebut. Begitu juga dengan cerpen-cerpen bahkan komik, semua unsur yang membentuk karya-karya itu hanya sebagai pelengkap dari misi dakwah agama Islam tersebut.

Artinya, batasan "bermuatan misi agama" itu hanya memberi pengertian umum dan bukan ciri khas. Pada tataran inilah, seorang pemabuk yang menghasilkan sebuah puisi bermuatan dakwah sambil meminum bir, akan diakui juga sebagai penyair religi. Tentu saja hal itu tidak bisa diterima.

Dalam kesusastraan kita kini, tidak banyak sastrawan yang mengikuti jejak Djamil Suherman. Ada memang banyak sastrawan yang merupakan produk pesantren, yang mempunyai kontribusi besar dalam khasanah kesastraan Indonesia mutakhir, seperti KH Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Fudoli Zaini, Zawawi Imron, Acep Zamzam Nur, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Jamad D Rahman, Mathori A Elwa, dan Nasruddin Anshory.

Tapi para sastrawan produk pesantren itu tidak hanya menulis kehidupan di sekitar pesantren seperti Djamil Suherman, melainkan juga menulis tentang banyak hal sebagaimana sastrawan lain yang bukan produk pondok pesantren. Sebut saja Fudoli Zaini dengan cerpen-cerpen yang temanya sangat beragam dalam kehidupan yang begitu luas.

Begitu pula Ahmad Tohari, lebih menekuni kehidupan pedesaan dengan segala macam variasinya, baik dalam bentuk cerpen maupun novel. Zawawi Imron memilih menulis puisi yang kental akan tradisi budaya Madura. Sedangkan Acep Zamzam Noor lebih banyak dipengaruhi globalisasi peradaban, dan membentuknya sebagai penyair yang santri.

Sekalipun mereka yang saya sebut terakhir tidak melulu bicara kehidupan pesantren, namun kekhasan seorang santri tetap ditemukan dalam karya-karya mereka. Kekhasan ini berkaitan dengan nilai-nilai agama Islam yang mereka anut, yang bukan begitu koheren di dalam diri mereka sehingga menghasilkan karya-karya sastra yang kuat akan religiusitas. Karya-karya sastra mereka, banyak mempengaruhi estetika dunia kesusastraan nasional saat ini. Dimana banyak sastrawan yang bukan produk pondok pesantren, berlomba menciptakan karya sastra yang religius.

Dalam tahun 1980-an, ketika sastrawan Abdul Hadi WM mengelola rubrik budaya Berita Buana bisa disebut sebagai priode bangkitnya sastrawan religius. Para penyair berlomba-lomba menulis puisi religius. Sebagain memang betul-betul ingin berdakwah, tapi tidak sedikit yang hanya agar karya-karyanya dipublikasikan di Berita Buana.

Mereka yang betul-betul serius berdakwah, hingga kini tetap eksis menghasilkan karya-karya religius. Yang cuma ikut mode, ada yang akhirnya memilih untuk menjadi penulis karya sastra religius, tapi tidak sedikit yang tidak kedengaran lagi riwayatnya alias "mati sebagai penyair".

Dari fenomena itu, masihkan bisa dikatakan bahwa religiusitas berkaitan dengan kehidupan agama? Dr Simuh dalam buku Sastra dan Budaya Islam Nusantara mengatakan sastra Islam memberikan sumbangan yang sangat besar kepada sejarah. "Bila jejak sejarah yang berupa nisan raja-raja Aceh tidak bisa mengungkapkan Islam yang bagaimana yang datang ke Indonesia," tulis Simuh, "sastra Islam Melayu ataupun Jawa bisa menggambarkan paham atau aliran Islam apa yang menyebar di Indonesia." n penulis adalah penyair dan esais, tinggal di lampung ()

No comments: