Tuesday 1 July 2008

LAWAN CATUR : PROSES MEMAHAT JATI DIRI

LAWAN CATUR : PROSES MEMAHAT JATI DIRI

Begitu memasuki gedung pertunjukan, suasana lengang menyeruak begitu saja. Kursi-kursi menggigil dielus air conditioner . Ruangan mungkin serasa agak pengab. Tetapi satu persatu “penggila” teater memasuki ruangan, sedikit gaduh. Mungkin ada niat yang belum tersalurkan. Beberapa saat kemudian keheningan menyambar, setelah pem bawa acara menyampaikan acara akan segera dimulai.
Musik mengantar naiknya layar perlahan. Ketika panggung sedikit membuka, mulai dari kaki sampai tampak kepala, pertanyaan terjawab sudah. Di tengah pentas dua orang terlihat sedang bermain catur. Dengan setting panggung yang cukup sederhana, pertun jukan itu pun dimulai.
Malam itu, Senin, 30 Juni 2008, pukul 08.00WIB LKK Unimed kembali berkarya. Sebuah pertunjukan Teater dengan judul Lawan Catur karya Kenneth Arthur, terjemahan WS. Rendra, hadir di Taman Budaya Sumatera Utara.

Sebuah Kegagapan Yang Tertutupi
Seorang Kepala Mentri Urusan Polisi, Samuel Glaspel (Ahmad Badren Siregar) de ngan ajudannnya Antonio (Deni D. Lubis), sedang asyik memain-mainkan buah caturnya, mengingatkan saya kepada sebuah pertunjukan gerak bertajuk “Kontrang Kantring atawa Lawan Catur”.
Naskah karya Sir Kenneth William Goodman berjudul Chess Game ini telah diadaptasikan oleh WS Rendra pada masa lalu. Dan kini, adaptasi itu pun diserap dalam rangkaian gerak, sebuah presentasi tarian, yang menekankan pada pemaknaan tubuh penarinya.
Yang ada di panggung hanyalah berupa kotak besar – menyembunyikan para pemain, juga bisa menjadi simbolik catur. Dengan menampilkan lima aktor, mereka mengeksplorasi berbagai gerak tubuh, mulai dari gerak repetitif yang kejang, bahkan gerak yang sangat kaku, terkadang ditampilkan dengan gemulai.
Dengan mengenakan pakaian serupa napi, baret-baret merah, mereka bergerak memperlihatkan dentum perkusi serupa tambur yang mengiring tubuh mereka. Lalu seorang penari yang kakinya terjerat rantai, melepasnya, ada perkelahian, ada permainan eksplorasi serupa buang ingus, saling kentut.
Di tengah eksplorasi yang terkesan “menjijikkan” itu muncullah simbol roti, hamburger, ayam goreng KFC, cap cay, seakan ingin memberikan paparan tentang kondisi tanah air yang tidak resisten, lewat bahasa-bahasa perlambang.
Inilah mungkin kegamangan individu itu, baik secara internal sistem Negara, hingga ke eksternal Negara Indonesia di tengah peradaban internasional. Dengan tajuk “Lawan Catur dan Kontrang-Kantring”, selain mengangkut simbol verbal lewat guratan tubuh dan idiom yang begitu dikenal semacam itu, mereka juga membuat umpatan-umpatan seperti “bajigur!”
Makna di balik gerak yang ekspresif terkadang trance dan rawan ini memang bisa dilihat dari tema utama yang mengarah pada dua “kata kunci”. “Kontrang kantring” bermakna “bingung”, yang merujuk tentang kebingungan individu pada sebuah kelembagaan besar bernama Negara yang kerap mengalami kegagalan dalam cita-cita. Sedangkan “lawan catur” adalah sebuah oposisi biner, dua kehendak dari arus yang besar.
Dan malam itu Kepala Polisi dan ajudannnya lebih banyak mengeluarkan dialog-dialog verbal. Gerak-gerak bisnis atau improvisasi yang muncul hanya mempermanis tampilan permainan.
Naskah yang juga merupakan terjemahan WS. Rendra ini sebenarnya berhasil dima inkan oleh para pemain. Pemain cukup maksimal, terutama Ahmad Badren Siregar walau terkadang suaranya terdengar turun naik. Ia berhasil menjadi kapten dalam pertunjukan itu. Beberapa pemain lain (Siti Fatimah-Verka, Muhammad Ardian-Oscar Yacob), ber usaha untuk mengimbangi, tetapi kegamangan atau ragu-ragu sedikit terlihat menggang- gu.
Lampu layaknya juga memperkuat pertunjukan justru hampir tidak mengkontribu sikan apa-apa, jika para pemain tampil dengan apa adanya. Dengan semangat dan penuh permainan yang cerdas, pertunjukan itu cukup ternikmati.

Hidup Adalah Teka Teki
Catur mengisyarakat perjalanan kehidupan manusia, yang sulit ditebak ke mana langkahnya. Penonton sebagai makhluk individu, hanya bisa mengikuti arah langkah yang diarahkan Sang Mahakuasa. Tinggal bagaimana kita mampu menyikapinya. Perjalanan itu cukup panjang mulai kita lahir kedunia, anak-anak, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua.
Selama perjalanan itu kitapun terkadang tidak tahu apakah berjalanan berdasarkan peran yang sudah ditentukan, atau kita menciptakan sendiri peran-peran itu. Bisa jadi suatu ketika kita bakal menjadi orang lain. Atau sebaliknya.
Demikian halnya yang terjadi dengan Samuel dan Oscar, ketika masih kecil Samuel (bernama Oscar) yang anak petani, ditukarkan dengan Oscar (Samuel nama kecilnya) yang anak saudagar kaya, oleh ibu kandung Samuel kecil.
Seperti sebuah perjalanan, ada rasa bosan memerankan orang lain. Ingin kembali menjadi diri sendiri. Ada rasa bosan untuk berbicara bohong, ada rasa bosan untuk berlaku tidak adil, apalagi menzolimi orang lain setiap hari.
Kembali mencari jati diri. Hal itulah yang tergambar secara keseluruhan, dan orang yang selalu konsisten, tentunya akan hadir sebagai pemenang. Dan jika ada pemenang tentu akan ada pecundang. Akhirnya pertunjukan itu dengan ending yang mengharukan.
Rasa haru itu muncul di saat dua orang sahabat lama, akhirnya saling berbunuhan demi menyelamatkan idealismenya masing-masing.
Dengan demikian, selamat untuk Teater LKK Unimed. Semoga terus berjaya. Dan mampu menyikapi hidaup yang tumpang-tindih ini. Laksana catur kita yang tinggal melangkah kemana kita harus berjalan, di mana kita memulai langkah.
Sedikit saja salah langkah, maka bersiaplah dengan kehancuran kita. Hidup bukanlah sandiwara. Hidup adalah suatu cara mengaplikasikan segala rencana. Tentunya berman faat bagi ummat manusia. Sekali lagi selamat. Lebih baik terus berkarya daripada mencela. Salam.


Medan, akhir Juni 2008
Penulis adalah pengamat teater, Direktur Komunitas HP

No comments: