Thursday 3 July 2008

KUBAH EMAS

Cerpen Zaenal Radar T

Sejak masjid kubah emas itu selesai dibangun, orang-orang dari berbagai pelosok daerah berdatangan. Beberapa warga sekitar masjid kecipratan rejeki. Anak-anak mudanya mendapat pekerjaan sebagai tukang parkir, ada beberapa warga yang ditugasi sebagai penjaga masjid, dan sejumlah warga lainnya membuka lapak-lapak berjualan makanan di luar areal rumah ibadah itu.
Masjid kubah emas telah membawa berkah bagi sebagian warga sekitar. Namun, tidak bagi Markum dan keluarganya. Padahal, rumah Markum, yang lebih pantas disebut gubuk, berbatasan dengan pagar masjid. Markum pernah menawarkan diri jadi penjaga masjid, tetapi ia kalah bersaing dengan warga lainnya. Menjadi marbot masjid saja Markum tak lulus tes. Markum tidak memenuhi syarat.
Akhirnya Markum hanya menjadi penonton, seperti para pengunjung masjid kubah emas lainnya yang datang dari berbagai pelosok daerah itu. Hanya saja kalau pengunjung lainnya mengagumi kubah-kubah yang berlapiskan emas, Markum memikirkan bagaimana caranya mengorek-ngorek permukaan kubah itu untuk mengambil kandungan emasnya.
Adzan Isya sudah lama berkumandang. Markum masih berdiri di balik pagar masjid, tepat di sisi tiang gubuknya. Seperti malam sebelumnya, Markum memandangi kubah-kubah masjid yang berpendaran sorot cahaya lampu. Markum sudah hapal jam berapa pintu masjid ditutup untuk umum. Dan Markum tentu hapal benar kapan para penjaga masjid selesai berkeliling memeriksa sekitar masjid, memastikan bahwa keadaan aman.
"Pak...," suara istrinya terdengar pelan. Markum tak menoleh, masih memerhatikan salah satu kubah emas itu. Istrinya mendekat.
"Pak, sudah malam. Ayo masuk... uhuk!" istri Markum merajuk sambil sesekali terbatuk.
"Ibu saja duluan. Aku belum ngantuk. Aku sedang melihat kubah emas itu."
"Heran... hampir setiap malam bapak tidak bosan-bosannya melihat kubah-kubah itu."
Markum menatap wajah istrinya. Kecantikannya sudah lama memudar sejak digerogoti asma lima tahun lalu. Nampak kulit wajahnya mulai mengeriput. Markum menyadari, istrinya belum benar-benar tua. Kemiskinan telah membuatnya demikian.
"Pak, kalau begitu aku tidur duluan."
Markum mengangguk pelan. Setelah itu Markum mengeluarkan pisau baja yang sudah disiapkan untuk mengorek lapisan emas kubah masjid itu. Markum bergegas menuju sebuah pohon rambutan yang dahannya menjorok ke bangunan masjid. Markum naik pohon rambutan itu dan melompat ke genting masjid, seperti ninja dalam film Jepang. Saat sudah sampai di dekat kubah, Markum terperangah memandangi kubah berlapis emas.
Mula-mula ia usap-usap permukaan kubah itu. Yang ia rasakan seperti megusap lembaran-lembaran uang. Dulu Markum pernah jadi penambang emas di sebuah sungai, jauh di pelosok kampung asalnya. Saat butiran-butiran keemasan mengerling di balik pasir, itulah yang ia rasakan saat menggosok-gosok permukaan kubah emas itu.
Tetapi saat hendak menggosok kubah emas itu, Markum teringat akan pesan almarhum ibunya. Yang paling lekat dalam ingatannya, Markum harus jadi orang jujur. Meskipun miskin, mencuri adalah perbuatan yang hina. Markum tak jadi mengorek lapisan emas pada kubah masjid tersebut.
Baru tadi sore Markum berdoa di dalam masjid kubah emas yang emasnya tengah ia raba. Markum berdoa dengan khusuk, berharap Tuhan mau mendengarnya.
"Ya Allah Ya Rabbi, aku selalu memohon kepada-Mu, agar mendapatkan rizki yang halal. Tetapi sampai saat ini hamba belum juga bisa mendapatkannya. Ampunilah hamba bila hamba mengupas emas kubah rumah-Mu ini. Ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, ya Rabbi."
Markum memejamkan matanya sesaat, membayangkan anaknya, Mardi, yang harus melunasi SPP. Lalu anak keduanya, Sarda, yang harus mendaftar sekolah. Dan si bungsu Adi yang harus dibawa ke dokter. Istrinya pun harus disembuhkan, dan tentu perlu biaya tak sedikit.
Markum mulai menggosok-gosokkan pisau khususnya pada permukaan kubah itu, dan tak lupa menadah hasil serutan pisaunya pada sebuah kain. Sambil terus menggosok, tatapan matanya mengedar ke sekeliling masjid. Ketika melihat salah satu penjaga masjid berkeliling, Markum menyudahi pekerjaanya. Dan saat penjaga tak terlihat lagi, Markum melanjutkannya. Akan tetapi langit tak bersahabat. Gerimis mulai turun membasahi genting-genting masjid. Sepertinya Tuhan bersedih menyaksikan apa yang dilakukan Markum. Markum tak peduli, ia terus menggosok-gosokkan pisau bajanya. Setelah hampir setengah jam menggosok permukaan kubah, Markum mengumpulkan serbuk-serbuk emas pada kain dan melipatnya. Markum memegangnya erat-erat lalu perlahan-lahan menuruni genting yang basah.
Tapi tak mudah berjalan di atas genting yang licin. Karena terlalu telah menggosok, yang menyebabkan tubuhnya kecapekan, Markum kehilangan keseimbangan. Salah satu kaki Markum terpeleset dan tubuhnya terjerembab. Tubuh Markum meluncur deras menuruni genting masjid hingga terdengar suara berdebam!
Suara-suara penjaga mulai terdengar. Sekitar empat penjaga masjid menyorotkan senter ke arah suara. Markum nampak tak berdaya, apalagi saat salah satu penjaga melihat keberadaan Markum yang teronggok di ujung genting. Sebelah tangannya yang memegangi pisau terlihat dari bawah masjid.
"Astaghfirullah!! Ada orang di atas genting!"
"Awas, hati-hati!! Dia bersenjata!"
"Kasih tahu warga! Umumkan lewat speaker masjid!"
Lalu salah satu penjaga masuk ke dalam masjid, dan mengumumkan lewat speaker. "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh! Saudara-saudara sekalian, di masjid kubah emas ada pencuri! Pencurinya masih berada di atas genting!"
Markum mendengar pengumuman spekaer yang memekakkan telinga. Meskipun suaranya keras, ia mendengarnya lamat-lamat. Markum gugup dan lemas melihat darah mulai menetes dari keningnya. Saat terjerembab dari atas kubah tadi, kepalanya membentur ujung genting.
Beberapa saat kemudian warga sekitar masjid sudah berkumpul. Mereka adalah warga yang selama ini membangga-banggakan masjid kubah emas, dan diantara mereka memang ada yang mendapatkan rizki dari keberadaan masjid. Mereka adalah tukang parkir, pedagang asongan sekitar masjid, dan warga lainnya. Di antara mereka ada yang ternyata malas shalat di masjid, tapi kalau mendengar ada pencuri di masjid darahnya naik ke ubun-ubun.
"Ayo kita tangkap!"
"Habisin aja!"
"Bakar malingnya!"
Teriakan-teriakan di bawah masjid membuat Markum makin tersudut. Markum tak mampu menatap ke bawah masjid karena posisi tubuhnya yang terlentang di salah satu ujung genting. Namun begitu, Markum masih bisa memandangi cahaya lampu masjid berpendaran menyorot kubah emasnya. "Pak...." Markum seperti mendengarkan suara istrinya.
"Pak... ayo masuk! Hujan-hujan begini kok di luar. Nanti bapak sakit." Suara sang istri membuyarkan lamunannya. Pisau dalam genggamannya nyaris terjatuh.
"Pak. Uhuk... bapak sedang apa di luar?" ulang istrinya, sambil sesekali terbatuk. Gerimis yang membasahi kepalanya mulai berhenti. Markum tahu kalau istrinya tengah menatap dirinya. Markum memaksakan tersenyum sambil memandangi kubah-kubah emas yang berkilauan cahaya lampu. "Bu. Kubah masjid itu indah sekali ya?"
"Ya jelas saja, Pak. Kubahnya saja dari emas. Uhuk... ayo Pak masuk. Nanti bapak masuk angin."
Markum melepaskan pisau dalam genggaman, lalu masuk mengikuti langkah istrinya ke dalam gubuk. Kubah masjid berpendar-pendar meski langit tanpa rembulan. Entahlah... apakah besok malam Markum tak berubah pikiran untuk tetap mencongkel salah satu kubah emas itu.
Dalam upayanya meredam filsafat dan ideologi penciptaan yang saya ajukan, yakni keyakinan saya bahwa penceritaan ketelanjangan dibolehkan oleh kitab suci, dan kitab suci pun telah mendemonstrasikannya melalui kisah Adam dan Hawa, Taufiq Ismail melancarkan serangan balik dengan menggesernya ke dalam sebuah upaya stigma akan tendensi sastra: sastra SMS (sastra mazhab selangkangan) atau sastra FAK--fiksi alat kelamin--(Jawa Pos, 17 Juni 2007). Inilah upaya yang mengingatkan saya akan cara-cara Lekra menggempur lawan-lawannya dulu, dengan menyebut mereka "Manikebu".

Terasa bagi saya serangan balik Taufiq sangat mematikan. Dengan semangat anti-dialog dan anti-wacana, Taufiq seolah petinju yang memukul lawannya dengan tinju "kalang-kabut". Atau seolah banjir bandang yang menyerbu permukiman manusia tanpa nurani-nurani sastra. Dalam SMS-nya pada saya, Taufiq menyebut tentang "kebakaran budaya", yang penyebabnya antara lain sastra SMS atau sastra FAK, yang "bersama VCD porno dan situs seks internet... ikut merangsang perkosaan, menyebarkan penyakit kelamin menular, aborsi dan (minimum) masturbasi".

Begitulah serangan balik Taufiq Ismail yang mematikan itu. Dan, saya merasa terkunci: saya mewacanakan kemungkinan melukiskan ketelanjangan dalam sastra, sepanjang ketelanjangan itu berfungsi untuk sesuatu yang lebih tinggi. Tetapi Taufiq berkelit akan kemungkinan sebuah tafsir. Ia lebih suka berteriak seolah nabi tanpa wahyu, yang mengacukan kepalannya pada fenomena sastra yang berseberangan dengan dirinya. Maka, bagaimana bila Taufiq malas berpikir akan kemungkinan tafsir, tapi serentak dengan itu gemar menghujat fenomena sastra yang disebutnya sastra SMS atau sastra FAK?

Kategori yang dibuat Taufiq dengan menstigma sastra SMS atau sastra FAK, menimbulkan persoalan dalam cara kita memandang dunia sastra. Termasuk cara kita berlogika dalam dunia sastra. Seperti SMS Goenawan Mohamad kepada saya, "Akan lebih berharga jika polemik yang timbul bukan seperti teriakan 'copet!', 'lonte lu!', atau 'babi!'. Serangan terhadap satu tendensi dalam sastra akan lebih berharga jika dikemukakan dalam cara kritik sastra: dengan telaah, argumentasi, penalaran yang kuat, gaya menulis yang meyakinkan atau menggugah." Karena itu, bagi saya, mematahkan kecenderungan sastra tanpa telaah sastra, tampak seakan "tujuan menghalalkan cara".

Pertanyaan untuk Taufiq, sudahkah dia membaca buku-buku penulis yang diserangnya dengan gencar itu? Apakah boleh pelukisan ketelanjangan di dalam buku-buku itu? Apakah ketelanjangan di sana bukan sebuah ancang-ancang, untuk meraih makna kesepian atau ketuhanan? Di sinilah Taufiq tidak bisa menghindar dari filsafat penciptaan dan ideologi penciptaan yang saya ajukan. Menghindarinya sambil memukul langsung fenomena itu sebagai sastra FAK adalah ibarat hakim tuli dalam satu sidang.

Sang hakim tidak mau mendengar alasan mengapa sang terdakwa "melakukan persetubuhan". Sang hakim hanya berpegang pada saksi-saksi, yang mungkin dirinya sendiri. Saksi yang tidak melihat keseluruhan rangkaian kejadian. Saksi yang hanya melihat scene persetubuhan. Dan, kemudian mengatakan telah terjadi persetubuhan. Padahal yang terjadi sebaliknya: bukan persetubuhan tapi pemerkosaan. Di mana sang wanita diperkosa, bersetubuh bukan atas kemauannya. Inilah prototipe sang hakim otoriter. Dia sudah bukan hakim lagi. Tetapi menjadi pemerkosa juga. Pemerkosa terhadap hak korban untuk berbicara.

Saya berpendapat, sastra yang disebut Taufiq sastra FAK itu, bukan sastra FAK atau sastra SMS. Sebutlah novel Saman karya Ayu Utami atau cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu. Mereka bukan sastra FAK. Tokoh Saman memang bukan karya sastra sekuat klaim tokoh di sampul belakang buku Saman. Tetapi bukan sastra FAK. Di sana, tubuh diangkat mengatasi tubuh. Meski tak terlalu meninggi. Karena itu menyebutnya sebagai sastra FAK adalah ibarat memandang malam tak bercahaya. Padahal di angkasa ada juga cahaya. Sebuah generalisasi yang menyesatkan.

Demikian juga dengan cerpen-cerpen Djenar. Ambillah contoh cerpen Menyusu Ayah di Jurnal Perempuan atau Melukis Jendela di majalah sastra Horison. Di kedua cerpen ini Djenar memang menyebutkan alat kelamin, tapi alat kelamin itu sekadar pintu masuk untuk makna lain. Yakni penderitaan sang anak yang menjadi korban kekerasan keluarga.
Darinya menyembul simpati akan korban kekerasan. Bukan nafsu seks dalam konteks "sastra mazhab selangkangan" yang dituduhkan Taufiq.

Lihatlah, betapa mengharukan bagaimana seorang anak di dalam cerpen Menyusu Ayah harus memetamorfosakan dirinya menjadi lelaki, demi terhindar dari kekerasan kaum lelaki. Atau lambang "jendela" dalam cerpen Djenar Melukis Jendela. Sebuah kehendak untuk berpindah dari kehidupan kini yang menyesakkannya. Tapi jendela yang dibayangkan itu pun menelan dirinya. Dengan hasrat berpindah dan hilangnya tokoh Mayra ke dalam jendela lain, seolah Djenar hendak mengatakan, "Dengarlah, tak ada yang sempurna di bumi!" Jadi cerpen itu sebuah metafora (dan karena itu para redaktur Horison yang muda-muda dan cerdas itu memuatnya). Maka, di mana FAK atau "sastra mazhab selangkangan" di kedua cerpen itu?

Demikian juga kalau kita membaca cerpen Mariana Amiruddin, Kota Kelamin, yang timbul bukan hasrat seks tetapi simpati akan manusia modern yang lelah mengatasi hipokrisi, yang selalu ditutup rapat seolah kelamin yang dibalut pada tubuh manusia.

Taufiq menyebut Ayu dan Djenar sebagai pelopor sastra FAK. Definisinya sederhana. Yakni, sastra yang ada atau berputar pada kelamin. Tanpa mau melihat ada transendensi. Tetapi Taufiq a historis. Sebab, kalau seperti itu definisi sastra FAK, mengapa Taufiq tidak menggugat novel Belenggu (yang ditolak Balai Pustaka karena moral selingkuhnya), atau novel Telegram dan Olenka. Bahkan puisi-puisi Rendra (yang memuja genital wanita) dan puisi Amuk Sutardji Calzoum Bachri –sebuah pencarian ketuhanan dengan lambang kucing, tetapi tak juga bisa menghindar dari menyebut nama alat kelamin laki-laki di dalam baris-barisnya.

Khusus novel Telegram Putu Wijaya dan Olenka Budi Darma, baik tokoh "aku" maupun Fanton bertindak gila-gilaan dengan hidup. Fanton bahkan merebut istri orang (Olenka) dan menidurinya tiap ada kesempatan. Olenka diperlakukannya seolah peta. Tangannya menyusur ke segenap tubuh Olenka dan kemudian berhenti di satu lubang: "Ini jalan ke surga!"

Tokoh "aku" lebih gila lagi. Dia membayangkan bersetubuh dengan ibunya yang "telah" mati. Sambil mereguk bir, dia menyetubuhi ibunya dalam mimpi. Tetapi toh nasib kedua novel ini mendapat tempat terhormat dalam sastra Indonesia. Mengapa? Karena ada transendensi. Walau pada Olenka, hemat saya, transendensi di sana terkesan takluk pada "dunia". Dengan lanturan yang bersandar pada "dunia", meski berhasil pada bentuk, membuat Olenka seolah inlanderisasi dalam sastra Indonesia. Olenka tak mampu mencari sumber orientasi sendiri.

Fenomena penulis "tubuh" ini sudah dibelokkan kapitalisasi pasar, dengan menggesernya ke soal seolah melulu seks dalam blow-up opini. Konon karena begitulah rating yang disukai masyarakat: seks. Dan, orang seperti Taufiq, yang seharusnya melawan kapitalisasi opini sastra seperti itu, dengan menunjukkan bahwa substansi sastra mereka bukan melulu seks, malah ikut-ikutan menunggang gelombang. Dunia sastra yang pernah membesarkannya, "diselewengkannya" ke dalam arus besar yang disebutnya "Gerakan Syahwat Merdeka". Padahal sastra yang ditulis itu bukanlah semata "syahwat merdeka". Tetapi "syahwat" sebagai sampiran untuk kemerdekaan manusia. Kemuliaan manusia. Persis seperti novel Sendalu yang bertaburan alat dan nafsu kelamin yang ditulis Chavchay Syaifullah, tetapi dengan motif memperjuangkan perempuan sebagai korban perkosaan. Atau tokoh pelacur dalam cerpen Ahmadun Pintu, yang mengoyak-ngoyak pakaiannya sendiri di dalam masjid demi kehendak untuk telanjang (suci) saat menghadap Tuhannya.

Saya disebutnya sebagai komponen sastra FAK (pastilah Mariana Amiruddin juga). Apakah dasarnya? Karena kami menulis novel Tuan dan Nona Kosong? Karena saya dan Mariana melepaskan payudara, vagina, dan penis dari tempatnya dan benda-benda itu berkitar-kitar mengunjungi penonton?

Memang benar kami melukiskan hal-hal yang demikian. Tetapi, sastra FAK-kah itu? Tengok sekali lagi: betapa benda-benda itu cara kami menghampiri Tuhan. Seperti dalam irama lain (cerpen Lelaki Ikan dan Tongkatku, Musa) saya menyapa Tuhan. Lihatlah seorang lelaki di dalam novel itu melompat ke udara sambil berteriak, "Tuhan tidak seperti kita kira. Jadi mari kita rayakan hidup ini. Jangan benci kami!"

Tuan Taufiq, barangkali seniman memang mengidap kegilaan. Tetapi kegilaan yang meninggi untuk menjangkau Tuhan. Menjangkau Tuhan dengan lambang dan sampiran, sehingga sastra menjadi dunia metafora yang sedap untuk dibaca. Mencerahkan manusia. Duh, nasib seekor hh. (*)

Hudan Hidayat, penulis novel Tuan dan Nona Kosong bersama Mariana Amiruddin

No comments: