Monday, 22 February 2016

CERITA DARI BUKIT DUA BELAS CERPEN RAUDAH JAMBAK



CERITA DARI BUKIT DUA BELAS
CERPEN RAUDAH JAMBAK

   Segayo lari ke bukit, ia jatuh terjerembab. Tangannya menutupi perutnya yang koyak. Berlari menuju sesudungon, pondok dari bangunan kayu, berdinding kulit kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya masih menatap sekitar hutan yang sepi. Sebagai keturunan langsung orang Maalau Sesat, Segayo harus bertahan.   
    Hutan inilah negeri kami. Berdinding belantara. Tempat kami dilahirkan. Hitungan ratusan tahun kami mendiami tempat ini. Menghirup segala. Hidupkan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam. Berpeluk pengab raya. Sebab kami adalah orang-orang rimba.
    Berjalan dan berlari bagi kami seringan hembusan angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk.
* * *
   “Kami bukan anjing. Jangan sebut kami orang kubu. Kami benci sebutan itu.” Segayo berteriak-teriak saat dimasukkan ke dalam sebuah ruangan. Ia disekap di sebuah pabrik pemotong kayu yang ada di tengah hutan. Ia bisa mendengar suara mesin gergaji yang memotong balok-balok kayu dengan jelas. Suara truk-truk yang mengangkut gelondongan kayu juga bisa didengar dari dalam ruangan itu.
      Tak ada gunanya lagi berteriak. Jika pun ada yang mendengar, mereka tak akan memperdulikannya. Mereka pun mungkin akan membunuhnya jika ia berusaha melarikan diri. Ia tidak boleh mati. Ia harus terus berjuang.
      Dulu ia merasa sangat bebas hidup di hutan. Membangun sesudungon, sebagai tempat berlindung atau rumah tinggal di dalam hutan. Tapi sekarang, ia merasa tidak sebebas dulu. Segayo tak mengerti kenapa bisa begitu. Yang ia tahu, hutan itu bukanlah milik siapa-siapa. Dari dulu ia hidup melangundi seluruh pelosok hutan. Bebas berkelana di dalam hutan. Namun kini kebebasan itu tidak lagi dimiliki, sebab orang kota dan desa adalah orang terang yang merasa mulai berkuasa. Segayo tak tahu sejak kapan orang-orang itu memiliki hutan. Yang ia tahu hutan sebagai anak sulung dari alam semesta adalah milik Tuhan yang harus dimanfaatkan dan dipelihara oleh manusia.
      Perlahan Segayo turun dari atas kursi. Tubuhnya terasa lelah, lebih baik menyimpan tenaga yang masih tersisa. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tikar. Rencananya sudah bulat.Untuk sementara biarlah beristirahat dulu,pikirnya.
* * *
      Waktu berjalan meninggalkan petang. Segayo terbangun dari tidurnya. Pintu ruangan dibuka oleh seorang pria. Ia membawakan makanan.
      “Ini makananmu. Ingat baik-baik! Jangan coba-coba melarikan diri. Diam saja disini! Kalau tidak tanggung sendiri akibatnya!” Segayo menatap pria itu dalam diam. Ia tidak sanggup lagi melawan. Ia harus mengumpulkan tenaga untuk terus berjuang.
      Ditatapnya makanan itu. Sepiring nasi putih dan telur mata sapi. Perih hatinya. Seperti anjing saja, ia diperlakukan seperti itu. Ingin rasanya ia berontak tapi ia sudah tak kuasa. Tak ada yang mengerti perasaan orang rimba. Orang-orang di desa dan di kota menganggap mereka seperti binatang, tak beradab karena tinggal di hutan. Mereka menyebut orang rimba sebagai orang kubu. Padahal kubu itu bermakna terbelakang. Orang rimba tak suka dengan sebutan itu. Apakah hanya karena mereka tinggal di hutan lantas mereka disebut terbelakang? Apakah karena itu orang-orang desa dan kota merasa diri mereka lebih beradab daripada orang rimba?
      Sama sekali tidak! Orang-orang rimba juga manusia seperti orang-orang desa dan kota. Hanya cara hidupnya yang berbeda. Orang rimba hidup bergantung pada alam. Mereka beranak pinak di dalam hutan, makan sirih, berburu dan meramu obat alam. Tapi bukan berarti mereka tidak memiliki peradaban. Memang sehari-harinya mereka tak memakai baju kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dindingnya dari kayu. Makan buah-buahan dan berburu kijang, ayam hutan dan rusa. Cara hidup seperti itu memang tidak modern. Tapi apakah salah jika orang rimba memilih cara hidup seperti itu?
      Hatinya terus mendera sakit. Dia ingin marah tapi kepada siapa. Kepada orang-orang desa atau kota yang menganggap diri mereka lebih maju dari pada orang rimba? Huffhhh…! Segayo membuang nafas perlahan-lahan. Air matanya mengering karena ia terus membendung perih dalam hatinya.
      Ia masih ingat dulu ketika masih kecil ia dibawa ayahnya pergi ke kota. Ayahnya hendak menukarkan rusa dan ayam yang didapatkan dari hutan dengan tembakau. Saat tiba di pasar, banyak orang yang mencemooh mereka. Bahkan ada orang tua yang memegang anaknya erat-erat karena mereka takut anak-anaknya kena guna-guna. Segayo merasa sakit hati sewaktu ia mendekati seorang anak kecil. Anak kecil itu berlari kepada orang tuanya dan mengatakan kalau ia takut diculik oleh orang kubu seperti dirinya. Padahal segayo hanya ingin bermain-main dengan anak itu.
      Di pasar itu juga ia melihat ayahnya ditipu oleh pembeli. Ayam hutan dan rusa itu hanya dihargai dua kantung plastik tembakau. Bahkan ayahnya harus memberikan beberapa rupiah untuk membeli tembakau itu. Siapapun tahu, kalau itu tak pantas. Segayo marah, tapi ayahnya menahannya. Ia mengingatkan anaknya tentang seloka adat yang pernah diajarknannya. Tidak lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh. Biarlah mereka menipu, tapi kita harus bersabar. Harus kuat menahan cobaan.
      Ayahnya banyak mengajarkan seloka adat dan hukum rimba yang harus dipatuhi oleh semua orang rimba. Kata ayahnya, orang rimba memiliki hukum sendiri. Hukum orang rimba tidak jauh berbeda dengan hukum Minang yang disebut Pucuk Undang Nang Delapan. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan. Itulah larangan yang paling berat. Jika orang rimba melanggarnya maka akan dikenai hukuman lima ratus lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat dan sangat sulit disanggupi, karenanya orang rimba berusaha untuk mematuhi. Bagi mereka, mereka cukup bertubuh onggok//berpisang cangko//beratap tikai//berdinding baner//melemak buah betatal//minum air dari bonggol kayu// atau berkambing kijang//berkerbau tenu//bersapi ruso//.
      Namun Segayo heran melihat orang-orang desa dan kota. Mereka memiliki hukum yang berbeda dengan orang rimba. Malah lebih lengkap daripada seloka adat. Tapi kenapa banyak dari mereka yang berani melanggar hukum yang dibuatnya sendiri? Mereka yang menganggap dirinya lebih beradab, suka merusak peradaban itu. Bagaimana bisa beradab jika hukumnya sendiri dilanggar?
      Dulu pernah ada teman Segayo yang bernama Tebo, memutuskan untuk meninggalkan hutan dan memilih hidup bermasyarakat di desa. Ia memilih hidup sebagai petani. Namun setelah beberapa tahun ia tinggal di desa, sesuatu masalah menimpa dirinya. Ia ditangkap polisi dan dipenjara. Segayo berusaha mencari tahu apa masalahnya. Ternyata Tebo dipenjara karena ia dituduh merusak properti milik sebuah pabrik yang baru dibangun oleh sebuah perusahaan di desa itu. Pabrik itu terletak di dekat ladangnya dan mereka mencaplok sebagian dari ladang milik Tebo. Sebuah papan nama perusahaan itu didirikan di ladangnya. Ia marah lalu mencabut papan nama itu dan membakarnya. Ia pun langsung ditangkap oleh polisi karena perbuatannya itu.
      Segayo heran. Padahal pengusaha pabrik itulah yang telah merampas ladang temannya itu. Tetapi kenapa ia tidak ditangkap. Malah temannya yang mengambil haknya kembali, ditangkap dan dipenjara oleh polisi. Ia bingung karena pengusaha itu tidak dihukum. Dimanakah hukum itu sebenarnya? Kenapa orang yang bersalah itu tidak ditangkap? Lagi-lagi Segayo menahan sakit hati karena ternyata orang-orang yang mengaku beradab bisa berbuat biadab.
      Rasa sakit hatinya pun larut bersama malam. Gelap sudah menyelimuti hari. Suara-suara mesin gergaji sudah berhenti. Tak ada lagi truk yang mengangkut gelondongan kayu. Sebagian pekerja sudah pulang. Sedangkan yang lainnya menginap di penginapan sekitar pabrik pemotongan kayu. Segayo masih sendirian mengingat-ingat kejadian yang selama ini menimpanya.
* * *
      Segayo terkejut saat sekumpulan orang bersenjata menyergap rumahnya. Ia hanya sendiri di rumahnya. Istri dan anak-anaknya sudah mengungsi ke Bukit Duabelas lebih dahulu. Begitu juga dengan tetangganya. Mereka sudah mengetahui bahwa sekelompok orang bersenjata akan datang ke lahan hutan yang baru mereka garap. Orang rimba sudah tahu kalau mereka hanya boleh mendiami hutan di Bukit Duabelas. Jika mereka menggarap hutan di luar kawasan itu, mereka akan disiksa oleh orang-orang bersenjata lalu dikembalikan lagi ke kawasan Bukit Duabelas.
      Ia dan keluarganya serta beberapa tetangganya memilih pindah dari bukit itu karena ingin membuka ladang baru. Kebiasaan hidup seminomaden orang rimba itulah yang dianggap merusak hutan. Dengan membuka hutan, maka banyak pohon yang akan ditebang. Padahal orang rimba hanya membuka lahan beberapa hektar saja. Sedangkan orang kota yang sering disebut cukong bisa menebas hutan beribu-ribu hektar. Malah mereka dibiarkan bebas begitu saja.
      Orang-orang kota berbuat tidak adil terhadap orang rimba. Mereka menangkapnya. Ia berontak. Tapi berkali-kali pukulan mendarat ditubuhnya. Segayo tak bisa lagi melawan. Dua orang pria mengikat tangannya. Ia akan dibawa ke salah satu pabrik pemotongan kayu. Di sana ada tempat untuk menyekap orang rimba yang keluar dari kawasan Bukit Duabelas.
      “Dasar orang kubu! Dibilang berkali-kali supaya jangan pindah dari kawasan Bukit Duabelas itu, tetap saja membangkang. Tempat kalian sudah disediakan disana. Jangan pindah-pindah lagi!” Seorang pria bersenjata memarahinya.
      “Tapi hutan itu adalah tempat kami. Tempat kalian itu di desa dan di kota. Kalian orang terang malah merusak tempat kami. Kami saja tak pernah merusak tempat kalian!” Teriak Segayo.
      “Sudah! Diam! Ayo terus jalan!” Pria yang lain membentaknya.
      Mereka berjalan menyusuri jalan tikus menuju pabrik. Mereka harus menyusuri lembah dan bukit. Jaraknya sekitar tujuh kilometer. Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk beristirahat. Segayo meminta izin untuk buang air.
      “Baiklah! Kau, Willy! Jaga dia! Jangan sampai dia kabur!” Seseorang yang tampaknya seperti pemimpin dalam kelompok itu memerintahkan anggotanya untuk menjaga Segayo buang air. Seorang anggota yang bernama Willy itu membawanya ke lembah bukit. Di situ ada sebuah telaga kecil. Di sekelilingnya terdapat rimbunan ilalang setinggi orang dewasa. Willy melepaskan ikatan Segayo. Ia berdiri tak jauh dari Sega-yo sambil memegang senjata.
      “Sudah, disitu saja. Jangan coba-coba kabur!” Willy memperingatkannya. Namun Segayo melihat ada kesempatan untuk lari. Saat Willy lengah, disitulah diam-diam ia melarikan diri. Tak lama akhirnya Willy sadar kalau tawanannya sudah kabur.
      “Kurang ajar! Awas nanti kalau ketemu!” Willy akhirnya kembali ke kelompoknya. Segayo hilang dalam rimbunan ilalang. Sebagai orang rimba ia sudah mengetahui seluk beluk hutan. Ia dapat mengecoh Willy yang menjaganya. Pimpinan kelompok itu pun memarahi anak buahnya. Mereka lalu mencari Segayo lagi.
      Segayo mengendap-endap dalam rimbunan ilalang. Setelah posisinya agak jauh, ia berlari dalam rindangnya pohon-pohon di hutan. Ia bersembunyi di bawah pohon besar di balik bukit. Nafasnya terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya untuk memastikan keadaan. Ia sudah tak sanggup berlari. Ia memutuskan untuk bersembunyi disitu dulu.
      Sementara itu matahari sudah tergelincir ke arah barat. Kelompok orang bersenjata itu mengerahkan bantuan untuk mencari Segayo. Mereka menyusuri seluruh hutan. Menyisir setiap bukit dan lembah. Hari sudah semakin sore dan mereka harus bisa menangkap Segayo kembali. 
      Derap langkah orang berjalan semakin dekat. Segayo segera berlari.Mereka melihat segayo berlari, lalu segera mengejar.Segayo berlari ke arah bukit. Mereka terus mengejar Mereka akhirnya mengepungnya. Segayo terkepung. Dia mencoba berlari, pukulan hantaman, dan tikaman berkali-kali tak dirasakan lagi. Dia terus saja berlari. Hutan seperti memeluknya. Tangannya membekap perutnya yang sudah tak berasa.
      Segayo tak suka diperlakukan tidak adil. Ia mengajak istri dan anak-anaknya serta tetangganya untuk meninggalkan Bukit Duabelas. Mencari kehidupan baru yang lebih baik. Namun ternyata usahanya tidak berhasil. Ia malah ditangkap dan akan dikembalikan ke Bukit itu.
* * *
      Sebagai orang rimba mereka harus menjaga dan melestarikan hutan. Mereka tidak meninggalkan lahan mereka yang lama begitu saja. Mereka akan menanami bibit-bibit pohon jika lahan itu tak bisa lagi digunakan. Pada akhirnya lahan itu akan rimbun kembali dipenuhi pepohonan.
      Tidak seperti cukong kayu. Mereka menebang hutan beribu-ribu hektar. Tapi tak mau menanaminya lagi karena lahan hutan yang gundul membutuhkan begitu banyak bibit pohon dan biaya yang besar. Dasar oranng! Segayo mengumpat dalam hatig tera. Hanya mau mengambil untung saja. Tak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang dibuatnya.
      Mereka tak mau peduli akan banyaknya kehidupan didalam hutan. Dengan rusaknya hutan, akan memusnahkan beragam jenis kehidupan. Entah berapa banyak lagi kehidupan yang akan dimusnahkan oleh mereka. Padahal mereka sudah berpinang gayur//berumah tango//berdusun beralaman//beternak angso//.
      Segayo tak tahu sampai kapan keserakahan orang terang itu akan hilang. Ia tak mengerti kenapa seperti itu. Apakah kehidupan di desa atau di kota tidak bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi mereka. Padahal cara hidup mereka lebih maju dari pada orang rimba.
      Ia bersyukur karena cara hidup orang rimba ternyata membuat mereka lebih menghargai alam. Cara hidup yang begitu sederhana membuat orang rimba tidak serakah. Mereka hidup dengan pemberian alam yang sudah tersedia di hutan. Dengan hidup seperti itu mereka sudah merasa bahagia.      
* * *
      Di dalam sesudungon di Bukit Duabelas, istri Segayo menangis terisak-isak. Ia mendapatkan kabar bahwa suaminya disekap di pabrik pemotongan kayu. Semuanya sudah hancur diterjang banjir. Tak ada gunanya mencari suaminya yang sudah tak jelas berimba di mana. Ia hanya bisa pasrah, bersama anak-anaknya kembali melangun.
      Namun, entah siapa yang silap merangkai do’a. Bala bencana itu datang mengacungkan senjata. Satu persatu kami tenggelam dalam kawasan banjir air mata. Terjerambab pada wajah murka penuh sengsara. Teringat pituah para tetua akan tumbuhnya pohon derita  berbuah gundah gulana di masa yang tak sempat tercatat tanggalnya. Pituah tentang sebuah kesetiaan pada keteguhan adat.
   “Bacalah denting embun yang menitik dari ujung daun . Dengarlah lantunan angin yang mengalun di sela-sela pepohonan. Simaklah air yang mengalir yang menyibak cengkram-an akar yang tertanam . Atau dengung bebatuan pada geliat tanah di wajah bumi. Serta gema do’a rerumputan pada segala. Jika tidak, terang akan terasa mengahanguskan. Melumat segala peradaban yang telah lama terpelihara dari abad-abad  yang telah ter-pahat,” demikian siraman penyejuk jiwa dari tetua  di akhir kisah dalam sulaman kelam.
   Dan apakah memang suratan badan  atau memang kami yang berkhianat dari aturan garis adat yang telah ditancapkan. Orang-orang terang datang mengusung Tuhan pembaharuan. Melelang sejarah peradaban yang memabukkan. Kami terjebak dalam kotak-kotak tak berjejak. Terjerambab dalam lobang-lobang derita.
   Hutan kami mulai dilumatkan. Pepohonan tempat kami bernaung direbahkan. Roh-roh yang bersemayam dan jiwa yang tertanam diluluhlantakkan.
   “Kami adalah orang-orang dari negeri beribu cahaya yang mengusung peradaban. Dan kalian orang-orang gelap  bersiap-siaplah menggali  makam sebelum sampai pada zaman keemasan. Sebab, kami adalah penguasa setiap zaman.”
   Entahlah itu karena ramalan atau memang nasib yang sudah digariskan, para tetua sudah berkali-kali mengabarkan peringatan. Tentang orang-orang terang yang mengusung matahari. Menghanguskan dan menyilaukan pandang.
   “Tanamlah jiwa-jiwa kalian pada setiap pepohonan. Tanam pula jiwa-jiwa anak cucu dan seluruh garis keturunan kalian pada tanah dan air tempat berpijak. Pada akar rerumputan ataupun semak belukar, serta pasir dan bebatuan. Maka yakinlah hidup kalian akan selalu diselimuti ketentraman dan kedamaian. Jika tidak bersiap-siaplah kalian menghuni makam tak bertuan. Kalianlah yang paling mengerti  dengan hutan ini, maka pertahankan sampai titik darah penghabisan…”
    Dan nujum itu kini telah dimafhumkan. Ramalan itu kini telah ditafsirkan. Tak terbantahkan. Sejarah kami terjarah. Terbakar. Dihanguskan. Jiwa kami tercabik pada senandung gergaji, pada pepohonan yang ditumbangkan.. Buldozer-buldozer pembantai menyemai sangsai.
   Tak lama hujan lebat turun. Membasahi seluruh kawasan hutan. Ia diam membeku . Ia mengerti. Tak ada gunanya berteriak. Ia pasrah. Ia bisa merasakan getaran tanah. Ia pun dapat mendengar gemuruh yang bukan berasal dari langit. Ia bisa merasakan amarah alam yang sudah memuncak. Ya, perih hati ini telah menyatu dengan amarah semesta yang selama ini terbungkam, batinnya.
   Dan malam ini Segayo bertekad bercerai dalam ketiadaan. Menjadi sebatang lara pada sejarah yang terus menerus dijarah.  Segayo jatuh terjerembab. Tangannya terus menu-tupi perutnya yang koyak, terasa lelahnya selama berlari menuju sesudungon, pondok dari bangunan kayu, berdinding kulit kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya terasa semakin samar menatap sekitar hutan yang perlahan menina-bobokkannya.       
Medan,2007

sesudungon ) : pondok-pondok, rumah tempat tinggal Orang Rimba (Suku Anak Dalam) yang terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.melangun ) : pindah ke tempat lain karena ada warga yang meninggal, menghindari musuh, atau ingin membuka ladang baru. orang terang ) : orang-orang di luar rimba, orang-orang di desa dan di kota.seloka adat ) : aturan-aturan hidup ( hukum ) rimba yang dipakai Orang Rimba dalam kehidupan mereka sehari-hari.
 M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi puisipenyair Medan), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay), MEDITASI (antologi puisi tunggal), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara, Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa Sumut)dan Perempuan berhati gerimis .Tembang Bukit Kapur (Penerbit Escava, Jakarta, 2007), Kumpulan cerpen Ranesi (Grasindo, 2007) Medan Sastra (DKSU, 2007), Jelajah (2003), Jogja 5,9 RC (antologi Puisi Jogja, 2006), Medan Puisi (2006) Sekarang ini aktif di Sanggar GENERASI Medan. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) . Kepala Biro Sastra Seniman Indonesia Anti Narkoba (SIAN)Wil.Sum. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 081223212875

Bantaran Sungai Cerpen : M.Raudah Jambak



Bantaran Sungai
                                                                                    Cerpen : M.Raudah Jambak
 
     Aroma bau itu menebar, searah dengan hembusan angin ketika matahari tepat di atas kepala. Menebar bersama  derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jem-batan, terus sampai menghilang di ujung kelokan.
     Gjebuuur…….
     Aaakh……….
     Suara benda berat yang jatuh menembus permukaan sungai yang masih menyisakan aroma bau yang menusuk hidung. Lalu-lalang kendaraan bermotor  yang melintasi atas jembatan siang itu nyaris tak sempat menyisakan  kesaksian atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dan kisah itu tidak akan pernah terekam dalam ingatan jika saja seorang pemulung tua tidak  berteriak minta pertolongan.
     Seperti biasanya Opung, si pemulung tua itu, hendak buang air besar persis di ba-wah jembatan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan tidak ada orang yang mengintipnya. Paling tidak beberapa orang anak kecil yang suka usil melemparinya dengan batu kerikil di saat dia menuntaskan hasratnya, tidak sembunyi-sembunyi menanti kesempatan itu.
     Pelan-pelan Opung berjongkok, ketika suasana dianggapnya sudah aman. Matanya masih mencari-cari, mengawasi sekitarnya. Di saat itulah matanya tertuju kepada seorang perempuan muda yang berdiri hendak terjun ke sungai. Opung hanya merasa heran ketika perempuan itu berteriak dan menangis tidak jelas. Dia menangkap gela-gat yang aneh. Segera saja niat yang hendak disalurkan tadi dihentikannya. Dia segera berdiri, hendak menghardik perempuan itu. Tapi, terlambat, perempuan itu sudah ter-lebih dahulu melompat. Dan tubuh itu tidak juga muncul ke permukaan. Kontan saja pemulung tua itu panik. Dia berteriak sekuat-kuatnya.
     “Tolong…! Ada yang jatuh ke sungai…!”
     Berkali-kali pemulung tua itu berteriak. Suaranya dihantam deru knalpot yang mem buru, bunyi aliran sungai, dan aroma yang dihembus angin. Akhirnya , seorang pemu-lung muda turun ke sungai. Pemulung muda itu pulalah yang menjawab kesaksian itu dengan berlari cepat menuju sungai, setelah mendengar suara parau Opung yang diba wa angin ke gendang  telinganya. Diikuti beberapa orang temannya yang menyusul ke mudian. Juga bebrapa pengamen jalanan yang tidak sengaja melintas di atas jembatan. Begitu juga dengan penjual rokok dan beberapa orang pejalan kaki.
     Kontan saja dalam waktu singkat areal jembatan dan aliran sungai menjadi ramai dengan pengendara sepeda motor yang berhenti hanya sekedar menyaksikan peristiwa yang gratisan itu. Termasuk para pegawai sebuah plaza yang berdiri tak jauh dari sungai, melihat kerumunan orang banyak . Jalanan macet total. Polisi kemudian sibuk lalulalang pula menyelesaikan persoalan.
     Di bawah jembatan, sepanjang aliran sungai beberapa orang telah masuk menyisir sepanjang aliran, seputar jatuhnya sosok tubuh perempuan muda yang menembus permukaan sungai. Aroma yang menyengat sepanjang tumpukan sampah dan warna permukaan sungai yang coklat kehitam-hitaman serta agak berlumpur itu, apalagi disaat musim hujan turun, tidak lagi menjadi halangan.
     Harapan ternyata tetaplah selalu ada. Beberapa orang masih memiliki nurani. Mere ka tidak memperdulikan lagi aroma yang “mewangi”, terus melakukan pencarian. Di antara mereka masih sempat melihat tangan yang timbul tenggelam itu, seperti meng gapai-gapai.
     “Ini dia! Telah kudapatkan!”
     Seorang pemulung muda menarik pelan-pelan sosok tubuh perempuan yang sudah terlihat tidak berdaya itu ke bantaran sungai, mungkin lebih tepatnya parit besar yang penuh dengan tumpukan sampah dan warna permukaan yang sudah tidak jernih lagi, mencari tempat yang agak teduh, di bawah jembatan.
     Demi melihat itu, orang-orang yang berkumpul penuh sesak itu segera meninggal kan tempat itu, termasuk Polisi yang menganggap situasi sudah terkendali. Ada yang mengelus dada. Ada yang menggelengkan kepala. Ada yang senyum-senyum sendiri. Dan ada pula yang setengah gila, tertawa-tawa sendiri. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran orang-orang itu. Pastinya tinggal beberapa orang yang masih perduli, mengitari ,Tiur, perempuan muda yang mencoba bunuh diri itu. Dia masih belum bicara setelah mengeluarkan air sungai yang sempat tertelan itu.
     “Bagaimana dia?” si Pemulung tua itudatang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Beberapa orang pengamen jalanan menyingkir memberi ruang.
     “Tunggu saja, Opung. Sebentar lagi dia pasti sadar!” seorang penjual rokok, yang biasa mangkal di seputaran Deli Plaza, yang ikut terjun menolong, memberi penjelas an, tetapi si pemulung muda itu segera menukasnya:“…dia sudah sadar, Pung! Hanya saja badannya masih lemas. Tadi dia berusaha un tuk bertahan hidup. Dia ternyata masih punya keinginan untuk hidup, masih punya ha rapan, seperti harapan orang-orang yang hidup di sepanjang aliran sungai yang meng hitam ini. Setahuku sudah yang ke sekian kalinya si Tiur melakukan ini. Terutama se belum Opung bergabung dengan kami. Entah apa penyebabnya, setiap aroma yang me nusuk hidung itu terasa begitu menyengat, detik berikutnya dia muntah-muntah dan tidak berapa lama setelahnya, Tiur menerjunkan dirinya ke sungai. Saat itu matahari tepat di atas kepala. Dan kejadian ini lebih parah dari sebelumnya!”
     “Mungkin dia hamil? Atau keracunan barangkali?”
     “Coba saja Opung periksa. Kemungkinan itu pasti ada. Tapi mengapa harus bunuh diri di saat matahari meninggi tepat di atas kepala, dan aroma sungai yang mulai me nyesakkan dada?”
     Lungun, si pengamen jalanan, yang lebih memilih diam, merasa terheran-heran.
     “Mungkin pengaruh ngidam?”
     Darman, si pemulung muda itu, terdiam. Dia berpikir, apakah pengaruh mengidam sampai seburuk itu? Ada semacam perasaan cemas dalam kepalanya. Sekarang dia le bih cenderung sebagai pendengar saja. Matanya tak lepas-lepas memberi sinyal kepa da Lungun butuh kejelasan.
     “Apa memang sudah lama dia tinggal di sini? Sebelum Opung?” selidik Opung selanjutnya.
     “Lebih lama memang dari Opung,”jawab Lungun,”Tiur sekarang tinggal tepat di bawah jembatan ini, pergi meninggalkan rumah Inangnya di pinggir sungai sebelah sana.”
     “Begitu, ya,” Opung berpikir sejenak,” yang di rumah kardus itu? Sendiri saja??”
     “Dulu Saodah pernah tinggal dengannya. Sekarang Saodah menempati rumah Inang Tiur yang sudah lama kosong. Inang Tiur menghilang. Tiur tak mau lagi me nempatinya, walau dibujuk Saodah berkali-kali. Padahal keberadaan Saodah di rumah Inang Tiur itupun atas desakan Tiur sendiri. Dan biasanya saat ini Saodah sedang ngamen di simpang Petisah.”
     “Tolong panggilkan. Opung mau menanyainya, Ucok!” seorang tukang semir cilik yang ditunjuk Opung mengangguk, segera berlari.
     “Apa dia hamil, Opung?”
     Perempuan tua itu hanya menggeleng lemah. Tidak berapa lama kemudian Tiur duduk perlahan. Dia muntah-muntah. Matanya melotot. Segera dia berdiri dan berlari ke arah sungai. Hampir saja dia menceburkan diri kembali kalau Darman tidak segera mencegahnya. Tiur meronta-ronta. Darman memperkuat cengkramannya. Dia mena han sekuat tenaga, agar perempuan dalam cengkramannya tidak terlepas. Tapi Tiur jadi semakin menggila. Dia semakin meronta, memandang jijik dan muak ke arah Dar man. Mulutnya menyumpah. Tangan sebelah kanannya, yang tidak dicengkram, me raih-raih sesuatu di atas tanah. Mengambil batu, dilemparkannya ke arah Darman. Cengkramannya terlepas. Tiur terguling-guling. Tubuhnya yang hampir dipenuhi pa nu dan kurap itu, berdarah, tergores kerikil tajam yang tersebar di tanah. Tubuhnya baru terhenti bergulir di atas tumpukan sampah yang sudah membusuk. Belum sempat yang lain sadar dalam keterpukauan, Tiur segera terjun ke sungai. Untung saja, kali ini, Lungun menarik kakinya.
     Tiur terjerembab. Dia kembali mengamuk. Dia menyerang dan menyumpahi Lung un habis-habisan, menggumulinya. Lungun tidak siap. Dia melakukan perlawanan se-bisanya. Saling pukul, saling jambak dan saling cakar terjadi. Tiur memaki-maki. Ka ta-kata kotor mengalir deras dari mulutnya bersama sampah yang mengalir di deras nya aliran sungai yang mengalir. Jerit penderitaan begitu pekatnya. Arus kehidupan yang tidak mudah di duga kemana bermuara. Begitu tipisnya perbedaan antara harap an dan 
kesengsaraan di ruang kenyataan. Dia hadir dan mengalir begitu saja. Bunyi air yang mengalir, deru knalpot, dan kecipak dayung perahu sampah berpadu dengan riak napas kehidupan yang semakin pekat.
     “Plak!”
     Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tiur. Lungun berteriak sekeras-kerasnya. Modal suara yang terbina ketika menjadi kernet angkot sebelumnya ternyata tidak mampu menggetarkan Tiur. Tamparan, tendangan dan pukulan silih berganti men-darat di muka, perut dan dada Tiur disertai bentakan dan teriakan….
     “Mangidok au, Inang…!”1Tiur terguling, Tiur histeris! Dan pukulan Lungun kian tak terbendung.
     “Tidak tahu diuntung! Tidak tahu ditolong! Apa masih belum kapok ? Ha!?”
     Tiur tengkurap. Dia menangis sejadi-jadinya. Hatinya pedih bersama darah yang me netes dari tubuhnya yang tergores. Bercampur bersama sisa pekat air sungai yang ter- tinggal dan aroma sampah yang memabukkan. Lungun menghentikan hardikan dan pukulannya.
     “Apa maksud kau! Cakap kau, cakap!”
     Tiur tidak juga bicara. Dia menatap garang kepada Lungun. Baginya Lungun tidak lebih baik dari sampah-sampah yang membusuk sepanjang bantaran sungai. Lungun terpanggang birahi. Tamparan demi tamparan kembali mendarat di muka Tiur.
     “Kemasukan hantu sungai ini kurasa kau!”
      Lungun terus melayangkan pukulannya ke arah Tiur. Tiur sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Kesakitan baginya sudah menjadi hal yang sangat biasa. Penderitaan adalah menu hidupnya sehari-hari. Dan untuk itulah Tiur masih hidup sampai seka rang, ternyata!
     Dari jauh Saodah berlari mendekat,diiringi ucok di belakangnya. Demi melihat itu Opung segera mencegahnya.
     “Tiur kemasukan. Kau tenang saja ,”bisik Opung.
      Saodah terdiam. Pikirannya mengawang kepada Wan Nurdin, ayahnya, yang menurut cerita ibu sangat memegang teguh adat, tetapi ternyata tidak kenyataanya. Ibu Saodah menceritakan tentang mandi bergimbar2. Mandi dengan mengenakan pa kaian pengantin, dan juga saling siram, dilanjutkan menyirami orang tua, famili dan tamu-tamu yang ada sepanjang bantaran sungai. Dimaksudkan pengantin harus siap dan tabah menghadapi segala cobaan yang bakal datang, baik dari Yang Maha Kuasa, maupun dari pihak orang tua, atau lingkungan masyarakat sekitarnya.
     Prosesi diawali dengan peminangan oleh keluarga pihak pria kepada keluarga pihak wanita. Jika dicapai persetujuan kedua belah pihak, maka diadakan pertunangan yang dilaporkan kepada pihak wanita. Seandainya pihak wanita membatalkan pertunangan, mereka harus membayar dua kali uang antaran.
     Biasanya, pesta dimulai dengan berbalas pantun sebelum mempelai pria diperboleh kan masuk “menjemput” sang istri. Sehelai kain dibentangkan di depan pintu masuk dan dimulailah berbalas pantun. Dan jika tamu-pihak pria-kalah dalam berbalas pan-tun, sang pengantin tidak dibenarkan masuk.
     Jika menang dalam berbalas pantun, maka diperkenankan masuk. Setelah masuk upacara nasi hadap-hadapan pun dilaksanakan. Berbagai aneka makanan dan pangan an dihidangkan. Yang terutama adalah pencabutan bilahan bambu –minimal sembilan bilah, melambangkan angka kesempurnaan-yang ditancapkan didalam nasi hadap-hadapan tersebut. Daging ayam ditusuk di tiga ujung bambu. Sementara jumlah bam-bu yang tidak ada daging ayamnya lebih banyak. Ada perlombaan antara kedua mem-pelai. Mempelai yang mendapatkan dua bilah bambu yang ada daging ayamnya, men-jadi pemenang. Anehnya, jika sang istri yang menang, maka kata orang-orang tua, alamatlah si istri yang “menguasai” suami.
     Saodah tersontak. Mengenang bagaimana ayahnya memukuli ibunya yang ingin bu-nuh diri, menceburkan tubuhnya ke sungai. Ayahnya berhasil menyelamatkan ibu, karena sungai yang jernih waktu itu, memperlihatkan sosok ibu yang tenggelam. Tapi pukulan dan tamparan justru yang diberikan.Alasannya ibu kemasukan hantu sungai.
     Padahal menurut cerita ibu di suatu ketika, ayah merasa dipermalukan, sebab kalah dalam acara berbalas pantun waktu itu. Tapi ada pula yang mengatakan,ayah selalu mengulang-ulang kalau ibu gagal halua3, katanya ibu sudah terenggut keperawanannya di bantaran sungai ketika itu. 
     Yah, memang bedanya sungai waktu itu begitu jernihnya. Pandangan kita dapat menembus permukaan sampai ke dasarnya. Bebas polusi. Bebas sampah. Pemukiman tidak sepadat sekarang. Restauran, hotel dan plaza hampir jarang. Lain halnya dengan sekarang, sepanjang sungai dipenuhi dengan limbah dan sampah. Ditambah lagi se-karang telah menjadi tempat untuk menghabisi nyawa diri sendiri dan orang lain.
     Persis seperti sekarang ini. Lungun memukul Tiur habis-habisan. Namun, Saodah sudah tidak sabar lagi untuk menghentikan perlakuan Lungun terhadap Tiur, dan ingin memaki orang-orang yang bisanya hanya berdiri mematung. Kesabarannya telah habis saat ini. Segera ia melepaskan cengkraman Opung, untuk menghentikan tindakan Lu-ngun. Sepanjang aliran sungai matahari menyengatkan sinarnya pada riak yang ber-loncatan di atas limbah sampah dan bebatuan.
     “Jangan kau teruskan, Bodat!4”
     “Dia kemasukan , Ito.!5” 
     “Sok tahu kau!”
     “Kemasukan hantu sungai!”
     “Tutup moncongmu !” Saodah meraih Tiur, membantunya berdiri.
     “Hei, hantunya belum keluar!” Lungun meraih kembali Tiur. Terjadi aksi tarik me narik. Masing-masing dengan kekerasan hatinya. Sungai mengalir membawa limbah sampah bersama warna yang buram, seburam suasana yang hadir saat ini. Debu yang berterbangan dari atas jembatan. Tatapan mata saling beradu garang. Dan Opung me-mahami situasi ini.
     “Sudah! Biar Opung dan Saodah saja yang mengurus Tiur!” Opung meraih 
Tiur, “yang lain pergi sana! Bubar!”
     Lungun terdiam. Darman tercenung. Ada rasa was-was dalam pikiran mereka. Pengamen, pemulung, dan tukang semir yang lain tidak ambil pusing lagi. Mereka kembali menebar, menyebar, mengutip rimah-rimah harapan kehidupan yang mung kin masih tersisa di sepanjang sungai maupun simpang-simpang jalan. Menyetop ang-kot untuk berhenti dari persimpangan yang satu ke persimpangan berikutnya. Semua kembali dengan kesibukan masing-masing. Lambat tapi pasti seperti kitaran matahari yang lamat-lamat tenggelam dan kembali terbit di pagi hari. Opung, Saodah dan Tiur telah terlelap membagi sepi.
*******
     Di rumah kardusnya Tiur dan Saodah terduduk menikmati sisa teh semalam. Sisa darah yang mengering telah mulai terkelupas. Opung masih berselimut rindu dendam.
     Betapa Saodah tidak akan pernah melupakan Tiur. Saodah tidak akan pernah melupa kan tragedi itu. Ketika itu hujan lebat turun, air sungai sudah lama membuncah. Sao-dah mendapatkan dirinya sudah berada di atas bubungan atap rumahnya. Dia sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi selain dirinya. Ingin rasanya ia memanggil Ibu dan ayahnya, tapi tenggorokannya terasa tersumbat. Tidak ada pikiran lain yang melintas, selain menyelamatkan diri. Di atas bubungan, Saodah meraih ranting-ranting kayu. Belum sempat tanganya meraih ranting pohon itu, sebuah terjangan air menerjangnya.
     Saodah terbawa pusaran air. Dia masih berusaha untuk meraih apa saja Berusaha melawan arus sungai yang meluap. Tubuhnya timbul tenggelam bersama tumpukan sampah yang juga terbawa arus.
     Dalam hitungan detik pusaran arus itu semakin menggila. Saodah merasakan diri-nya dihempaskan kesana kemari. Rasa pasrah sudah menggelayuti pikirannya. Pada satu titik pasrahnya yang paling afkir, Saodah merasakan kekuatan yang luar biasa mengangkatnya dari pusaran arus sungai yang mematikan. Sayup-sayup Saodah mendengar teriakan yang menyayat:”bertahanlah, Inang! Hu salamatton do ho!”6 
     Detik berikutnya Saodah merasakan tubuhnya diangkat, di bawa terus menuju silau cahaya. Sesekali dia mendengar deru knalpot yang tidak asing lagi di telinganya.
     “Peristiwa itu tidak akan pernah kulupakan,” ujar Saodah dengan air mata yang mengalir mencari aliran nya ke bantaran sungai,”jika kau tidak segera menyelamatkan aku dan membawa ke atas jembatan, mungkin aku entah berada di mana sekarang. Kaulah dewa penolongku!”
     “Kau pembohong!”
     Saodah terdiam. Suasana kembali sepi. Rumah kardus itu terasa semakin sempit saja. Opung masih mendengkur menyulam rindu.
     “Kau tahu peristiwa itu. Dan kau tahu aku tidak bermaksud menolongmu!”
     “Ternyata kaulah pembohong sebenar-benarnya. Kau terlalu egois. Mari lupakan masa lalu…”
     Tiur tercengang. Bagaimana Saodah begitu mudahnya melupakan masa lalunya. Bagaiamana pula dia harus melupakan masa lalunya. Kekejaman ayah Saodah. Dan kekejaman orang yang telah menghancurkan masa depannya. Bagaiamana ia lahir dari rahim sungai, seperti cerita Inang, ibu angkatnya, waktu itu.
     Ketika itu Inang sedang mencuci pakaian. Biasanya yang mencuci pakaian waktu itu cukup ramai di sungai. Entah mengapa hari itu hanya Inang. Dan Inanglah yang menemukan sebuah kotak yang terhanyut di permukaan sungai yang mengalir tenang. Segera Inang meraih kotak kardus besar yang biasa dipergunakan untuk mie instan itu. Alangkah terkejutnya Inang. Takut campur senang. Betapa ia takjub melihat seso sok tubuh bayi mungil. Sesosok tubuh bayi perempuan yang cantik.
     “Kalaulah kau laki-laki aku akan adakan mangan indahan esek-esek manupaupa. Atau juga paebathon buha baju tu ompung na bao, serta tidak lupa tardidi.7 Tapi tak apalah yang penting aku senang!”
     O, betapa waktu itu kisahmu seperti Musa yang dininabobokkan di permukaan sungai Nil. Hanya saja mungkin kau tidak tahu bahwa Musa diselamatkan dari Fir’ aun yang zalim. Sedangkan kau hanyalah anak di luar nikah yang dicampakkan demi nama baik keluarga. Menyelamatkan nama baik. Puih!
     Kisahmu sangatlah menyedihkan. Setelah kau menanjak besar, Inangmu yang seba-tangkara bermakam pula di sungai. Di bunuh. Dan mayatnya dicampakkan ke sungai terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk.
     Ketika Inang dan kau mencuci di sungai yang berwarna keruh. Seperti waktu dite-mukannya kau dulu. Di sekelilingmu detik-detik waktu mengurai sepi. Hanya satu dua orang yang terlihat membuang sampah dari atas jembatan. Atau anak-anak yang berlari terburu-buru hendak membuang kotoran, sementara saudaranya berendam beberapa meter saja, selebihnya sunyi. Ketika matahari tepat di atas kepala tinggallah kalian berdua, setelah seorang perempuan tua mengambil air dari sungai untuk dima-sak.
     Mula-mula kau tidak begitu curiga, ketika dua orang pemuda, yang biasa mengajak mu bercanda bagai orang dewasa, mendatangi Inangmu. Mereka berbicara berbisik sambil melirik penuh birahi padamu. 
     Tiba-tiba kau melihat Inang berdiri, sambil memaki, membentak kedua pemuda itu. Memukuli mereka dengan kain cucian bertubi-tubi.
     “Apa bisa kalian, ha!?. Kalian hanya pengamen jalan dan juga pemulung. Usia kalian pun masih belum cukup. Mau kalian kasih makan apa anakku, ha?!”
     Kau begitu ketakutan ketika pukulan bertubi-tubi Inangmu dibalas dengan tusukan sebilah pisau, tepat di jantung Inangmu. Seketika Inangmu roboh. Darahnya mengalir sampai ke sungai menambah pekatnya permukaan sungai. Tidak sampai di situ saja, tubuh renta yang sudah tidak berdaya itu dicampakkan begitu saja ke sungai tepat terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk. Di saat itu pulalah kedua pemuda itu pergi begitu saja, setelah menuntaskan hasrat kelelakian mereka padamu.
     Sakit yang luar biasa dari robeknya keperawananmu tidaklah begitu kau rasakan. Tapi luka di hatimu cukup dalam, melihat Inang yang terbenam tanpa nyawa tanpa kau bisa berbuat apa-apa. Hatimu remuk redam. Usiamu masih begitu belia ketika itu, tujuh belasan, dan begitulah, kesakitan yang dirasakan dengan mengalirnya air dari sungai matapolosmu itu, mencabik-cabik jiwamu, meninggalkan luka yang menahun, bahkan sampai saat ini! Seandainya saja rasa perduli dan bertanggungjawab terpeliha-ra baik, 
maka mungkin suatu permasalahan tidak terjadi dengan begitu buruk, seandainya juga disertai dengan rasa kasih sayang atas nama kemanusian.
     Seandainya saja kedua orangtuamu bertanggungjawab. Seandainya saja Inang tidak terbunuh. Seandainya saja pembunuh itu diberi ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Atau seandainya saja limbah sampah tidak menumpuk busuk. Dan seandainya Saodah tidak segera hadi, dan tidak pernah hadir. Ternyata hanya sekedar berandai-andai saja, mimpi menyulam daur kehidupan yang penuh jebakan rahasia. Membentang pada sungai yang dipenuhi limbah sampah yang menumpuk busuk dari pabrik, restauran, hotel, plaza dan pemukiman penduduk. Ternyata masih ada setetes harapan. Sungai yang kotor itu tidaklah lebih kotor dari sungai hati manusia yang paling hina. Dipenuhi limbah iri hati. Dicengkram sampah nafsu serakah. Dan minus jernihnya kasih sayang. Aroma polusi hati menghantui disana-sini. Tapi, tidak di hati Inang. Bukan di hati Saodah. Tidak pula di hati Opung. Apalagi di hati Tiur.
************
     Aroma bau itu semakin pekat menebar, ke berbagai arah hembusan angin. Tidak lagi ketika matahari hanya berada tepat di atas kepala. Tapi juga dari terbit hingga terbenammya. Menebar bersama derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jembatan. Membawa tumpukan sampah yang membusuk. Menghanyutkan bangkai kotoran kemana-mana. Bersama pekatnya berbagai limbah, semakin menghitam, menebarkan jubah kematian ke berbagai pelosok kehidupan. Dari balik jubah itu, jari jemari menghunuskan kuku-kuku hitam dan tajamnya, memanjang, mencengkram, menghadirkan hawa kematian…..
     Dan cengkraman itu tidak mampu menghunjamkan kuku-kuku tajamnya ke tubuh Saodah dan Tiur yang saling berpelukan. Juga Opung yang tak henti-hentinya menye nandungkan nyanyian kehidupan. Bersama aliran sungai yang masih menawarkan setetes harapan. 
 
Medan, 2006  
 
1 Ampunkan aku ibu
2 Mandi pada acara pengantin adat melayu, kadang dilakukan di tepian 
sungai
3 Sebuah upacara pembuktian keperwanan pada adat melayu 
4 Ucapan makin khas medan
5 Panggilan untuk perempuan (bahasa batak)
6 Saya selamatkan kamu ibu
7 Upacara kelahiran anak laki-laki dan pemberian nama
 
 

M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan.
Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) .Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 081533214263.E-Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com
Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia,1999), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan,2000), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK,2001), TENGOK (antologi puisipenyair Medan,2001), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan,2002), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay2000), MEDITASI (antologi puisi tunggal,20003), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara, Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa Sumut,2004)dan Perempuan berhati gerimis(antologi puisi bersama M.Iqbal Irawan, Medan,2005), Jogjakarta 5,9 SR (antologi puisi 100 penyair, 2006), Dari Pemburu Ke Terapeutik (antologi cerpen Nusantara Pusat bahasa,2004) . Sekarang ini aktif di Sanggar GENERASI Medan.