CERITA
DARI BUKIT DUA BELAS
CERPEN RAUDAH JAMBAK
Segayo lari ke
bukit, ia jatuh terjerembab. Tangannya menutupi perutnya yang koyak. Berlari
menuju sesudungon, pondok dari bangunan kayu, berdinding kulit
kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya masih menatap sekitar hutan yang
sepi. Sebagai keturunan langsung orang Maalau Sesat, Segayo harus bertahan.
Hutan inilah negeri kami. Berdinding
belantara. Tempat kami dilahirkan. Hitungan ratusan tahun kami mendiami tempat
ini. Menghirup segala. Hidupkan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan
angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar. Anak-anak, kaum perempuan,
dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam. Berpeluk pengab raya. Sebab kami
adalah orang-orang rimba.
Berjalan dan berlari bagi kami seringan
hembusan angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam
rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah
terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu
perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk.
* * *
“Kami bukan anjing. Jangan sebut kami orang kubu.
Kami benci sebutan itu.” Segayo berteriak-teriak saat dimasukkan ke dalam
sebuah ruangan. Ia disekap di sebuah pabrik pemotong kayu yang ada di tengah
hutan. Ia bisa mendengar suara mesin gergaji yang memotong balok-balok kayu
dengan jelas. Suara truk-truk yang mengangkut gelondongan kayu juga bisa
didengar dari dalam ruangan itu.
Tak ada gunanya lagi
berteriak. Jika pun ada yang mendengar, mereka tak akan memperdulikannya.
Mereka pun mungkin akan membunuhnya jika ia berusaha melarikan diri. Ia tidak
boleh mati. Ia harus terus berjuang.
Dulu ia merasa sangat bebas hidup
di hutan. Membangun sesudungon, sebagai tempat berlindung atau
rumah tinggal di dalam hutan. Tapi sekarang, ia merasa tidak sebebas dulu.
Segayo tak mengerti kenapa bisa begitu. Yang ia tahu, hutan itu bukanlah milik
siapa-siapa. Dari dulu ia hidup melangundi seluruh pelosok hutan.
Bebas berkelana di dalam hutan. Namun kini kebebasan itu tidak lagi dimiliki,
sebab orang kota
dan desa adalah orang terang yang merasa mulai berkuasa.
Segayo tak tahu sejak kapan orang-orang itu memiliki hutan. Yang ia tahu hutan
sebagai anak sulung dari alam semesta adalah milik Tuhan yang harus
dimanfaatkan dan dipelihara oleh manusia.
Perlahan Segayo turun dari
atas kursi. Tubuhnya terasa lelah, lebih baik menyimpan tenaga yang masih
tersisa. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tikar. Rencananya sudah
bulat.Untuk sementara biarlah beristirahat dulu,pikirnya.
* * *
Waktu berjalan meninggalkan
petang. Segayo terbangun dari tidurnya. Pintu ruangan dibuka oleh seorang pria.
Ia membawakan makanan.
“Ini makananmu. Ingat
baik-baik! Jangan coba-coba melarikan diri. Diam saja disini! Kalau tidak tanggung
sendiri akibatnya!” Segayo menatap pria itu dalam diam. Ia tidak sanggup lagi
melawan. Ia harus mengumpulkan tenaga untuk terus berjuang.
Ditatapnya makanan itu.
Sepiring nasi putih dan telur mata sapi. Perih hatinya. Seperti anjing saja, ia
diperlakukan seperti itu. Ingin rasanya ia berontak tapi ia sudah tak kuasa.
Tak ada yang mengerti perasaan orang rimba. Orang-orang di desa dan di kota menganggap mereka
seperti binatang, tak beradab karena tinggal di hutan. Mereka menyebut orang
rimba sebagai orang kubu. Padahal kubu itu bermakna terbelakang. Orang rimba
tak suka dengan sebutan itu. Apakah hanya karena mereka tinggal di hutan lantas
mereka disebut terbelakang? Apakah karena itu orang-orang desa dan kota merasa diri mereka
lebih beradab daripada orang rimba?
Sama sekali tidak!
Orang-orang rimba juga manusia seperti orang-orang desa dan kota. Hanya cara hidupnya yang berbeda. Orang
rimba hidup bergantung pada alam. Mereka beranak pinak di dalam hutan, makan
sirih, berburu dan meramu obat alam. Tapi bukan berarti mereka tidak memiliki
peradaban. Memang sehari-harinya mereka tak memakai baju kecuali cawat penutup
kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dindingnya dari kayu. Makan
buah-buahan dan berburu kijang, ayam hutan dan rusa. Cara hidup seperti itu
memang tidak modern. Tapi apakah salah jika orang rimba memilih cara hidup
seperti itu?
Hatinya terus mendera sakit.
Dia ingin marah tapi kepada siapa. Kepada orang-orang desa atau kota yang menganggap diri
mereka lebih maju dari pada orang rimba? Huffhhh…! Segayo membuang nafas
perlahan-lahan. Air matanya mengering karena ia terus membendung perih dalam
hatinya.
Ia masih ingat dulu ketika
masih kecil ia dibawa ayahnya pergi ke kota.
Ayahnya hendak menukarkan rusa dan ayam yang didapatkan dari hutan dengan
tembakau. Saat tiba di pasar, banyak orang yang mencemooh mereka. Bahkan ada
orang tua yang memegang anaknya erat-erat karena mereka takut anak-anaknya kena
guna-guna. Segayo merasa sakit hati sewaktu ia mendekati seorang anak kecil.
Anak kecil itu berlari kepada orang tuanya dan mengatakan kalau ia takut
diculik oleh orang kubu seperti dirinya. Padahal segayo hanya ingin
bermain-main dengan anak itu.
Di pasar itu juga ia melihat
ayahnya ditipu oleh pembeli. Ayam hutan dan rusa itu hanya dihargai dua kantung
plastik tembakau. Bahkan ayahnya harus memberikan beberapa rupiah untuk membeli
tembakau itu. Siapapun tahu, kalau itu tak pantas. Segayo marah, tapi ayahnya
menahannya. Ia mengingatkan anaknya tentang seloka adat yang pernah
diajarknannya. Tidak lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh.
Biarlah mereka menipu, tapi kita harus bersabar. Harus kuat menahan cobaan.
Ayahnya banyak mengajarkan seloka
adat dan hukum rimba yang harus dipatuhi oleh semua orang rimba. Kata
ayahnya, orang rimba memiliki hukum sendiri. Hukum orang rimba tidak jauh
berbeda dengan hukum Minang yang disebut Pucuk Undang Nang Delapan. Aturan
rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan. Itulah
larangan yang paling berat. Jika orang rimba melanggarnya maka akan dikenai
hukuman lima
ratus lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat dan sangat
sulit disanggupi, karenanya orang rimba berusaha untuk mematuhi. Bagi mereka,
mereka cukup bertubuh onggok//berpisang cangko//beratap tikai//berdinding
baner//melemak buah betatal//minum air dari bonggol kayu// atau berkambing
kijang//berkerbau tenu//bersapi ruso//.
Namun Segayo heran melihat
orang-orang desa dan kota.
Mereka memiliki hukum yang berbeda dengan orang rimba. Malah lebih lengkap
daripada seloka adat. Tapi kenapa banyak dari mereka yang berani melanggar
hukum yang dibuatnya sendiri? Mereka yang menganggap dirinya lebih beradab,
suka merusak peradaban itu. Bagaimana bisa beradab jika hukumnya sendiri
dilanggar?
Dulu pernah ada teman Segayo
yang bernama Tebo, memutuskan untuk meninggalkan hutan dan memilih hidup
bermasyarakat di desa. Ia memilih hidup sebagai petani. Namun setelah beberapa
tahun ia tinggal di desa, sesuatu masalah menimpa dirinya. Ia ditangkap polisi
dan dipenjara. Segayo berusaha mencari tahu apa masalahnya. Ternyata Tebo
dipenjara karena ia dituduh merusak properti milik sebuah pabrik yang baru
dibangun oleh sebuah perusahaan di desa itu. Pabrik itu terletak di dekat ladangnya
dan mereka mencaplok sebagian dari ladang milik Tebo. Sebuah papan nama
perusahaan itu didirikan di ladangnya. Ia marah lalu mencabut papan nama
itu dan membakarnya. Ia pun langsung ditangkap oleh polisi karena perbuatannya
itu.
Segayo heran. Padahal
pengusaha pabrik itulah yang telah merampas ladang temannya itu. Tetapi kenapa
ia tidak ditangkap. Malah temannya yang mengambil haknya kembali, ditangkap dan
dipenjara oleh polisi. Ia bingung karena pengusaha itu tidak dihukum. Dimanakah
hukum itu sebenarnya? Kenapa orang yang bersalah itu tidak ditangkap? Lagi-lagi
Segayo menahan sakit hati karena ternyata orang-orang yang mengaku beradab bisa
berbuat biadab.
Rasa sakit hatinya pun larut
bersama malam. Gelap sudah menyelimuti hari. Suara-suara mesin gergaji sudah
berhenti. Tak ada lagi truk yang mengangkut gelondongan kayu. Sebagian pekerja
sudah pulang. Sedangkan yang lainnya menginap di penginapan sekitar pabrik
pemotongan kayu. Segayo masih sendirian mengingat-ingat kejadian yang selama
ini menimpanya.
* * *
Segayo terkejut saat
sekumpulan orang bersenjata menyergap rumahnya. Ia hanya sendiri di rumahnya.
Istri dan anak-anaknya sudah mengungsi ke Bukit Duabelas lebih dahulu. Begitu
juga dengan tetangganya. Mereka sudah mengetahui bahwa sekelompok orang
bersenjata akan datang ke lahan hutan yang baru mereka garap. Orang rimba sudah
tahu kalau mereka hanya boleh mendiami hutan di Bukit Duabelas. Jika mereka
menggarap hutan di luar kawasan itu, mereka akan disiksa oleh orang-orang bersenjata
lalu dikembalikan lagi ke kawasan Bukit Duabelas.
Ia dan keluarganya serta
beberapa tetangganya memilih pindah dari bukit itu karena ingin membuka ladang
baru. Kebiasaan hidup seminomaden orang rimba itulah yang dianggap merusak
hutan. Dengan membuka hutan, maka banyak pohon yang akan ditebang. Padahal
orang rimba hanya membuka lahan beberapa hektar saja. Sedangkan orang kota yang sering disebut
cukong bisa menebas hutan beribu-ribu hektar. Malah mereka dibiarkan bebas
begitu saja.
Orang-orang kota berbuat tidak adil terhadap orang rimba.
Mereka menangkapnya. Ia berontak. Tapi berkali-kali pukulan mendarat
ditubuhnya. Segayo tak bisa lagi melawan. Dua orang pria mengikat tangannya. Ia
akan dibawa ke salah satu pabrik pemotongan kayu. Di sana ada tempat untuk menyekap orang rimba
yang keluar dari kawasan Bukit Duabelas.
“Dasar orang kubu! Dibilang
berkali-kali supaya jangan pindah dari kawasan Bukit Duabelas itu, tetap saja
membangkang. Tempat kalian sudah disediakan disana. Jangan pindah-pindah lagi!”
Seorang pria bersenjata memarahinya.
“Tapi hutan itu adalah
tempat kami. Tempat kalian itu di desa dan di kota. Kalian orang terang malah merusak
tempat kami. Kami saja tak pernah merusak tempat kalian!” Teriak Segayo.
“Sudah! Diam! Ayo terus
jalan!” Pria yang lain membentaknya.
Mereka berjalan menyusuri
jalan tikus menuju pabrik. Mereka harus menyusuri lembah dan bukit. Jaraknya
sekitar tujuh kilometer. Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk
beristirahat. Segayo meminta izin untuk buang air.
“Baiklah! Kau, Willy! Jaga
dia! Jangan sampai dia kabur!” Seseorang yang tampaknya seperti pemimpin dalam
kelompok itu memerintahkan anggotanya untuk menjaga Segayo buang air. Seorang
anggota yang bernama Willy itu membawanya ke lembah bukit. Di situ ada sebuah
telaga kecil. Di sekelilingnya terdapat rimbunan ilalang setinggi orang dewasa.
Willy melepaskan ikatan Segayo. Ia berdiri tak jauh dari Sega-yo sambil
memegang senjata.
“Sudah, disitu saja. Jangan
coba-coba kabur!” Willy memperingatkannya. Namun Segayo melihat ada kesempatan
untuk lari. Saat Willy lengah, disitulah diam-diam ia melarikan diri. Tak lama
akhirnya Willy sadar kalau tawanannya sudah kabur.
“Kurang ajar! Awas nanti
kalau ketemu!” Willy akhirnya kembali ke kelompoknya. Segayo hilang dalam
rimbunan ilalang. Sebagai orang rimba ia sudah mengetahui seluk beluk hutan. Ia
dapat mengecoh Willy yang menjaganya. Pimpinan kelompok itu pun memarahi anak
buahnya. Mereka lalu mencari Segayo lagi.
Segayo mengendap-endap dalam
rimbunan ilalang. Setelah posisinya agak jauh, ia berlari dalam rindangnya
pohon-pohon di hutan. Ia bersembunyi di bawah pohon besar di balik bukit.
Nafasnya terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya untuk memastikan keadaan. Ia
sudah tak sanggup berlari. Ia memutuskan untuk bersembunyi disitu dulu.
Sementara itu matahari sudah
tergelincir ke arah barat. Kelompok orang bersenjata itu mengerahkan bantuan
untuk mencari Segayo. Mereka menyusuri seluruh hutan. Menyisir setiap bukit dan
lembah. Hari sudah semakin sore dan mereka harus bisa menangkap Segayo
kembali.
Derap langkah orang berjalan
semakin dekat. Segayo segera berlari.Mereka melihat segayo berlari, lalu segera
mengejar.Segayo berlari ke arah bukit. Mereka terus mengejar Mereka akhirnya
mengepungnya. Segayo terkepung. Dia mencoba berlari, pukulan hantaman, dan
tikaman berkali-kali tak dirasakan lagi. Dia terus saja berlari. Hutan seperti
memeluknya. Tangannya membekap perutnya yang sudah tak berasa.
Segayo tak suka diperlakukan
tidak adil. Ia mengajak istri dan anak-anaknya serta tetangganya untuk
meninggalkan Bukit Duabelas. Mencari kehidupan baru yang lebih baik. Namun
ternyata usahanya tidak berhasil. Ia malah ditangkap dan akan dikembalikan ke
Bukit itu.
* * *
Sebagai orang rimba mereka
harus menjaga dan melestarikan hutan. Mereka tidak meninggalkan lahan mereka
yang lama begitu saja. Mereka akan menanami bibit-bibit pohon jika lahan itu
tak bisa lagi digunakan. Pada akhirnya lahan itu akan rimbun kembali dipenuhi
pepohonan.
Tidak seperti cukong kayu.
Mereka menebang hutan beribu-ribu hektar. Tapi tak mau menanaminya lagi karena
lahan hutan yang gundul membutuhkan begitu banyak bibit pohon dan biaya yang
besar. Dasar oranng! Segayo mengumpat dalam hatig tera. Hanya mau mengambil
untung saja. Tak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang dibuatnya.
Mereka tak mau peduli akan
banyaknya kehidupan didalam hutan. Dengan rusaknya hutan, akan memusnahkan
beragam jenis kehidupan. Entah berapa banyak lagi kehidupan yang akan
dimusnahkan oleh mereka. Padahal mereka sudah berpinang gayur//berumah
tango//berdusun beralaman//beternak angso//.
Segayo tak tahu sampai kapan
keserakahan orang terang itu akan hilang. Ia tak mengerti kenapa seperti itu.
Apakah kehidupan di desa atau di kota
tidak bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi mereka. Padahal cara hidup
mereka lebih maju dari pada orang rimba.
Ia bersyukur karena cara
hidup orang rimba ternyata membuat mereka lebih menghargai alam. Cara hidup
yang begitu sederhana membuat orang rimba tidak serakah. Mereka hidup dengan
pemberian alam yang sudah tersedia di hutan. Dengan hidup seperti itu mereka
sudah merasa bahagia.
* * *
Di dalam sesudungon
di Bukit Duabelas, istri Segayo menangis terisak-isak. Ia mendapatkan kabar
bahwa suaminya disekap di pabrik pemotongan kayu. Semuanya sudah hancur
diterjang banjir. Tak ada gunanya mencari suaminya yang sudah tak jelas berimba
di mana. Ia hanya bisa pasrah, bersama anak-anaknya kembali melangun.
Namun, entah siapa yang silap
merangkai do’a. Bala bencana itu datang mengacungkan senjata. Satu persatu kami
tenggelam dalam kawasan banjir air mata. Terjerambab pada wajah murka penuh
sengsara. Teringat pituah para tetua akan tumbuhnya pohon derita berbuah
gundah gulana di masa yang tak sempat tercatat tanggalnya. Pituah tentang
sebuah kesetiaan pada keteguhan adat.
“Bacalah denting embun yang menitik dari ujung daun
. Dengarlah lantunan angin yang mengalun di sela-sela pepohonan. Simaklah air
yang mengalir yang menyibak cengkram-an akar yang tertanam . Atau dengung
bebatuan pada geliat tanah di wajah bumi. Serta gema do’a rerumputan pada
segala. Jika tidak, terang akan terasa mengahanguskan. Melumat segala peradaban
yang telah lama terpelihara dari abad-abad yang telah ter-pahat,”
demikian siraman penyejuk jiwa dari tetua di akhir kisah dalam sulaman
kelam.
Dan apakah memang suratan badan atau memang
kami yang berkhianat dari aturan garis adat yang telah ditancapkan. Orang-orang
terang datang mengusung Tuhan pembaharuan. Melelang sejarah peradaban yang
memabukkan. Kami terjebak dalam kotak-kotak tak berjejak. Terjerambab dalam
lobang-lobang derita.
Hutan kami mulai dilumatkan. Pepohonan tempat kami
bernaung direbahkan. Roh-roh yang bersemayam dan jiwa yang tertanam
diluluhlantakkan.
“Kami adalah orang-orang dari negeri beribu cahaya
yang mengusung peradaban. Dan kalian orang-orang gelap bersiap-siaplah
menggali makam sebelum sampai pada zaman keemasan. Sebab, kami adalah
penguasa setiap zaman.”
Entahlah itu karena ramalan atau memang nasib yang
sudah digariskan, para tetua sudah berkali-kali mengabarkan peringatan. Tentang
orang-orang terang yang mengusung matahari. Menghanguskan dan menyilaukan
pandang.
“Tanamlah jiwa-jiwa kalian pada setiap pepohonan.
Tanam pula jiwa-jiwa anak cucu dan seluruh garis keturunan kalian pada tanah
dan air tempat berpijak. Pada akar rerumputan ataupun semak belukar, serta
pasir dan bebatuan. Maka yakinlah hidup kalian akan selalu diselimuti
ketentraman dan kedamaian. Jika tidak bersiap-siaplah kalian menghuni makam tak
bertuan. Kalianlah yang paling mengerti dengan hutan ini, maka
pertahankan sampai titik darah penghabisan…”
Dan nujum itu kini telah dimafhumkan. Ramalan
itu kini telah ditafsirkan. Tak terbantahkan. Sejarah kami terjarah. Terbakar.
Dihanguskan. Jiwa kami tercabik pada senandung gergaji, pada pepohonan yang
ditumbangkan.. Buldozer-buldozer pembantai menyemai sangsai.
Tak lama hujan lebat turun. Membasahi seluruh
kawasan hutan. Ia diam membeku . Ia mengerti. Tak ada gunanya berteriak. Ia
pasrah. Ia bisa merasakan getaran tanah. Ia pun dapat mendengar gemuruh yang
bukan berasal dari langit. Ia bisa merasakan amarah alam yang sudah memuncak.
Ya, perih hati ini telah menyatu dengan amarah semesta yang selama ini
terbungkam, batinnya.
Dan malam ini Segayo bertekad bercerai dalam
ketiadaan. Menjadi sebatang lara pada sejarah yang terus menerus dijarah.
Segayo jatuh terjerembab. Tangannya terus menu-tupi perutnya yang koyak, terasa
lelahnya selama berlari menuju sesudungon, pondok dari bangunan
kayu, berdinding kulit kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya terasa
semakin samar menatap sekitar hutan yang perlahan menina-bobokkannya.
Medan,2007
sesudungon ) :
pondok-pondok, rumah tempat tinggal Orang Rimba (Suku Anak Dalam) yang terbuat
dari kayu, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.melangun ) :
pindah ke tempat lain karena ada warga yang meninggal, menghindari musuh, atau
ingin membuka ladang baru. orang terang ) : orang-orang
di luar rimba, orang-orang di desa dan di kota.seloka adat ) :
aturan-aturan hidup ( hukum ) rimba yang dipakai Orang Rimba dalam kehidupan
mereka sehari-hari.
M. Raudah Jambak, lahir
di Medan-5
Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM
Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater
Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM
Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda
Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover"
dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog
nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah
dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH
Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio
Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI
Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta
puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan. Selain itu
beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA
(antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP
Medan), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi
puisipenyair Medan), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama
A.Parmonangan), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay), MEDITASI (antologi
puisi tunggal), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara,
Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa Sumut)dan Perempuan berhati
gerimis .Tembang Bukit Kapur (Penerbit Escava, Jakarta, 2007), Kumpulan
cerpen Ranesi (Grasindo, 2007) Medan Sastra (DKSU, 2007), Jelajah (2003), Jogja
5,9 RC (antologi Puisi Jogja, 2006), Medan Puisi (2006) Sekarang ini aktif
di Sanggar GENERASI Medan. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf
pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008)
. Kepala Biro Sastra Seniman Indonesia
Anti Narkoba (SIAN)Wil.Sum. Alamat
kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP.
081223212875