SASTRA
BUKANLAH SAMPURAGA BAHASA
Oleh
: Muhammad Raudah Jambak, S.Pd*
A. PROLOG
Balai bahasa sebagai lembaga yang mengurus
masalah bahasa (termasuk sastra) di daerah sebagai bagian dari Pusat Bahasa.
Sedangkan bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri; Bahasa juga merupakan percakapan (perkataan) yang
baik; tingkah laku yang baik; sopan santun, budi bahasa atau perangai serta
tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan
menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). Sementara, sastra adalah cara
dalam memperlakukan bahasa itu dengan lebih baik.
Sedangkan sastrawan adalah manusia (makhluk cerdas) yang porsi fisik dan psikisnya
tentu berbeda dengan makhluk yang lain. Kecerdasan itulah yang membuat manusia (sastarawan)
mampu
menjadi seorang kreator. Sebagai seorang kreator, manusia mampu menjadikan peristiwa di
sekitarnya menjadi kata, menjadi makna, menjadi sesuatu. Termasuk menjadi ruh
karya seni (sastra) maupun karya
budaya. Dan manusia (sastrawan) bisa
menafsirkan ‘sesuatu’ itu
menjadi apa dan siapa saja. Tentu masing-masing punya dasar pemikiran yang
berbeda.
Dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional manusia, bahasa
memiliki peran sentral dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari
semua hal dalam kehidupan. Selain membantu
mengenal dirinya, juga diharapkan membantu dalam
mengenal
budayanya dan budaya yang lain. Juga mampu mengemukakan gagasan dan
perasaan. Berpartisipasi dalam masyarakat, serta menemukan atau menggunakan
kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.
B. MEMILAH RANAH BERSASTRA
SASTRAWAN (DI) SUMATERA UTARA
Beberapa waktu belakangan ini santer sastrawan-sastrawan
muda Sumatera Utara menjadi topik yang menarik dalam sebuah perbincangan.
Hal itu acap muncul dalam omong-omong
sastra mulai dari meja warung kopi sampai di meja hijau calon sarjana, juga
sampai di meja kerja para peneliti, dll.
Wah.
Sebenarnya, sebagaimana yang kita ketahui, Sumatera Utara masih tetap mendapat tempat di jagat
sastra Indonesia. Hal itu terbukti ketika nama Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sori Siregar, Mochtar
Lubis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Hamsad Rangkuti, dsb, masih tetap
menjadi bahan perbincangan sampai sekarang.
Perbincangan yang selalu ditelurkan seolah tidak pernah
habis-habisnya menyebabkan muncul kecumburuan sosial sastrawan tertentu (dalam
hal ini sastrawan yang kurang mendapat tempat) di kalangan sastra nasional.
Berangkat dari persoalan tersebut rasanya sah-sah saja
pemikiran seperti itu selalu muncul ke permukaan. Dekade Amir Hamzah mungkin
sudah usai, tetapi demammnya sampai sekarang belum lerai. Masa Chairil Anwar
sudah habis, tetapi auranya masih be lum terkikis.
Uniknya terlepas dari persoalan itu semua muncul sebuah
pertanyaan, bagaimana dengan sekarang? Apakah ada sastrawan Sumatera Utara yang
mendapat lirikan, bahkan tempat di singgasana sastra nasional? Atau bagaimana
dengan penghargaan untuk sastrawan? Siapa yang pantas? Yang sudah meninggal?
Atau yang masih hidup? Yang muda yang berkarya? Atau yang tua yang masih sibuk
dengan nostalgia kata-kata?
Seorang A. Rahim Qahhar sering berujar, bahwa beliau dan
Damiri Mahmud adalah layar terakhir yang berusaha bertahan dalam gejolak
gelombang keterpurukan sastra di Sumatera Utara, khususnya. Untuk melaju menuju
medan juang sastra nasional. Dan sekarang mungkin berada di pundak Hasan Al
Banna.
Pernyataan ini ada kemungkinan benar. Artinya, ketika
kita melihat produktivitas sastrawan yang berlangsung mandeg di kancah sastra
nasional, beliau muncul sebagai penjaga marwah sastrawan Sumatera Utara.
Demikian juga halnya Damiri Mahmud. Produktivitas yang tidak mengenal mati
seolah menjadi pemicu bagi sastrawan di Sumatra Utara untuk sama-sama berjuang
maju.
Hanya saja yang
perlu kita tilik dari persoalan ini adalah siapa lagi angkatan beliau-beliau
yang tetap terus eksis? Kita mungkin sedikit berfikir berkerut kening. Rintik
tetes di dahi menyudahi daftar terakhir yang sulit kita jumpai.
Lalu, bagaimana angkatan setelah beliau? Ingatan kita
tentu sampai pada nama-nama, seperti Idris Pasaribu, Tagor Anaxetianoor,
Choking Susilo Sakeh, Harta Pinem, Romulus ZI. Siahaan, Afrion Mahyuddin,
Yulhasni, YS. Rat, Saiful Hadi Jl, Suyadi San, Thompson HS, Ezra Dalimunthe,
Washa S. Nasution, Teja Purnama, Aisyah Bashar, Hasan Al-Banna, Sartika Sari, Safrizal
Syahrun, Ilham Wahyudi, Julaiha, Wahyu
Widji Astuti, Maulana Satria Sinaga, dst,
(mungkin masih banyak lagi yang terlewati). Dari deretan beberapa nama ini
tentu kita akan melihat sesuatu yang menakjubkan.
Menakjubkan, maksudnya produktivitas yang mereka miliki
(sempat) masih kita rasakan. Kita tidak pernah lupa dengan Bokor Hutasuhut, Ali
Sukardi, AA. Bungga, BY. Tand, Lazuardi Anwar, NA. Hadian, R. Effendi KS, Sulaiman Sambas, Maulana Samsuri Darwis
Rifai Harahap, Herman KS., dsb.
Menakjubkan dalam artian bagaimana sosok sastrawan muda
itu memastikan dirinya berada di singgasana sastra nasional dengan
tulisan-tulisannya yang terus muncul di KOMPAS, TEMPO, SUARA PEMBARUAN,
REPUBLIKA, HORIZON, SUARA MERDEKA, GONG, dsb.
A. Rahim Qahhar memang harus terus
berangkulan dengan Damiri Mahmud. Idris Pasaribu masih melesatkan peluru. Hasan
Al-Banna, Ilham Wahyudi, T. Sandi Situmorang, Embar T. Nugroho
juga Wahyu Widji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Zuliana Ibrahim, Sartika Sari,
Maulana Satria Sinaga, dll, masih belum lelah
menanam bom-bom waktu. Walau sesekali Ys. Rat masih menggeliat di waktu-waktu
tertentu. Afrion masih bergerilya dengan dirinya. Atau Thomson HS dengan opera
bataknya. Termasuk dengan Mihar Harahap, Teja Purnama, Saiful Hidayat,
Hidayat Banjar, Harta Pinem, Syaiful
Hadi Jl, Romulus ZI Siahaan yang diharapkan menjadi singa tidak hanya beberapa waktu yang
silam? Kita yakin mereka masih mengumpulkan nuklir sastra di lemari-lemari besi.
Tulisan-tulisan yang pernah muncul (dan masih mentas
sampai sekarang) ke permukaan, seperti puisi, cerpen, novel, kritik sastra dan
naskah drama, diharapkan terus menggugah perjuangan sastra di Sumatera
Utara. Yulhasni pernah ‘berbagi’ pendapat dengan Afrion. Pun, Darwis Rifai
Harahap, Budi P. Hatees, Hidayat Banjar dan T. Agus Khaidir terus mengasah belati
kritik?
Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk menggurui. Atau
sekadar daftar nama-nama. Kita hanya diajak untuk menggugah
persoalan-persoalan yang sedang berlangsung di rumah sastra Sumatera Utara.
Memang dulu pernah ada FKS, OOS yang tetap bertahan, KSI yang terus
memahat dunia jungkir balik sastra, atau Komunitas HP yang (katanya) sering kehabisan
pulsa, dsb.
Barangkali perlu ada beberapa hal yang perlu kita sikapi.
Kekuatiran redupnya cahaya di rumah sastra Sumatera Utara, mungkin
terlalu banyak tangan yang merasa mampu untuk mengalirkan cahaya yang lebih
terang. Tetapi, persoalan yang terjadi selalu berhenti di dermaga kata-kata,
debat kusir, atau perasaan curiga. Mengira-kira tanpa ada pertimbangan yang valid.
Pujian
yang lahir dan mengalir selalu ditujukan bagai orang-orang tertentu,
kelompok-kelompok tertentu, atas dasar like and dislike. Padahal mereka
adalah kekayaan yang masih kita miliki. Kekayaan yang harus kita jaga. Kekayaan
yang harus kita bina. Tanpa harus
pilih kasih. Objektivitas masih diselimuti subjektivitas yang berlebihan.
Hanya
saja kenyataan di belakang layar, kita masih selalu mengatasnamakan diri
pribadi. Kita lebih mementingkan kelompok kita. Kita masih sibuk bernostalgia
dengan masa lalu yang secara jujur kita katakan medan perjuangan yang harus
kita kuasai sudah berbeda. Mengapa kita tidak bergandengan. Melangkah bersama
untuk mengucapkan selamat tinggal debat kusir! Selamat tinggal kemunafikan!
Mari,
bersama kita bisa. Demi kemajuan sastra di rumah sastra kita. Pernyataan kalau tidak
karena saya musti
patut dibuang jauh-jauh. Diganti dengan kalau
bukan kita yang memegang layar sastra saat ini siapa lagi?
Sebuah
perjalanan pada akhirnya akan sampai juga pada tujuannya. Terkadang tujuan itu
seperti analogi yang agak sulit kita terjemahkan. Karya merupakan
tujuan akhir dari sebuah perjalanan bersastra. Bukankah lebih
baik meramu hidangan di dapur karya nyata daripada berenang-renang di angin
lisan kata-kata?
C. BALAI BAHASA JANGAN SAMPAI MENYEMAI LALAI RASA
Setelah kita menimang dan menimbang, hasil karya
sastra para sastrawan tentu kita perlu pustaka inventaris sebagai rumah sastra
tempat berdiam. Sekaligus pusat rujukan dan sosialisai tidak hanya sekolah
tetapi juga masyarakat umum. Dalam hal ini
Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara
yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Bahasa Provinsi
Sumatera Utara yang sebelum tahun 2012 bernama Balai Bahasa Medan, menjadi surga yang nyaman untuk
menabung faham.
Dalam
upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah, Balai
Bahasa Provinsi Sumatera Utara harus selalu melakukan
terobosan yang hasilnya dapat dibuktikan baik secara fisik maupun nonfisik.
Selanjutnya dalam berbagai hal Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara diharapkan juga tak akan pernah
kehabisan “bensin” dalam menjalin
kerja sama yang baik dengan beberapa lembaga yang terkait, baik yang berada di
kota provinsi maupun yang berada di daerah, seperti, lembaga-lembaga
pemerintahan, lembaga-lembaga pusat informasi (media cetak dan elektronik), dan
lembaga-lembaga pendidikan (sekolah/perguruan tinggi negeri dan swasta),
termasuk juga bekerja sama dengan lembaga atau organisasi-organisasi yang
bersentuhan dengan kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan.
Termasuk dalam mewujudkan lembaga
penelitian yang unggul dan pusat informasi serta pelayanan tidak hanya di
bidang kebahasaan, tetapi juga tidak
menganaktirikan kesastraan dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa yang berwibawa dan bahasa perhubungan luas tingkat antarbangsa.
Berdasarkan tupoksi, Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara diharapkan tetap bersinergi secara
seimbang dalam
melaksanakan penelitian, pengembangan, dan pembinaan, serta pelayanan
kebahasaan dan kesastraan di daerah. Pun, dalam melaksanakan kebijakan teknis Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bidang pembinaan dan pengembangan bahasa
dan sastra Indonesia, merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis di bidang
pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia di daerah, dan dalam bekerja sama dengan pemerintah daerah demi merumuskan kebijakan teknis di bidang kebahasaan dan
kesastraan daerah, Balai
Bahasa tidak hanya bergerilya di luar,
juga berbenah di dalam. Tidak hanya sekadar proses meneliti, tetapi juga
aplikasi. Tidak hanya berkutat pada teori, tetapi juga berkubang dalam praktik.
Tidak hanya orang-orang terdekat, tetapi apa dan siapapun yang mampu menebar
benih manfaat. Intinya, adalah keseimbangan.
Berdasarkan hal
di atas, penulis melihat geliat Balai Bahasa sudah mulai menabuh genderang
untuk itu. Mengayuh perahu pengembangan bahasa dan sastra walau tidak hanya
riak, tetapi juga gelombang trik dan intrik di dalam dan di luar harus dihadapi
secara kekeluargaan. Mulai dari penelitian, workshop, festival/lomba, melahirkan
duta-duta bahasa dan pemberian anugerah, serta berbagai kegiatan dan kebahasaan
telah dilakoni. Tidak hanya kerjasama secara kelembagaan, tetapi juga dengan
individu pun sudah menjadi bagian upaya yang mulai mendarah daging.
Wajar pergolakan di sana-sini sudah menjadi menu
sehari-hari yang harus dinikmati. Hanya saja yang perlu menjadi PR bersama
adalah bagaimana sastra tidak dianggap menjadi ‘Sampuraga’ bahasa. Bagaimana
menjadikan sastra sebagai anak kandung bahasa yang kembali
mengakar-membumi.
Di awal sudah disampaikan bagaimana Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sori
Siregar, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Hamsad Rangkuti,
dsb, juga bagaimana sastrawan setelahnya, masih tetap menjadi catatan, dalam
ingatan generasi mendatang. Bagaimana (akar) karya-karya sastra
tradisional/moderen tidak lepas dalam catatan buku-buku pelajaran di sekolah
(di Sumatera Utara), tanpa harus mengenyampingkan (karya) sastrawan (nasional)
di luar Sumatera Utara.
Lalu pendataan dan sosialisasi karya ke
sekolah-sekolah di (kabupaten/kota)
Sumatera Utara yang dimiliki oleh
para sastrawan, seperti
karya-karya Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem,
Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.
Atau, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras,
YS. Rat, Zainal Arifin AKA, A. Yusran,
Dini Usman, Hasan Al Banna, Jones Goeltom, Hidayat Banjar, Malubi, Nasib TS,
Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni,
Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.
Selain dari karya fiksi, Balai Bahasa perlu
mendata ulang sekaligus merangkum kembali esai-esai yang ada di Koran, majalah
atau buku dari sastrawan Sumatera Utara
sebagai
pelopor sastra modern Indonesia. Dan saat ini ‘mumpung’ geliat kepengarangan
Sumatera Utara makin ramai, terutama puisi dan Cerpen, diharapkan Balai Bahasa
Sumatera Utara bisa lebih mengusahakan seintensif mungkin menumbuhkembangkan kegiatan-kegiatan
semacam pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku menjadi semakin marak dilakukan. Termasuk genre sastra yang
banyak ditulis selain puisi dan cerita pendek, yaitu penulisan novel, yang memerlukan waktu cukup lama
dan dukungan dana yang besar.
D. EPILOG
Di Sumatera Utara
nama-nama, seperti
Hamzah Fansuri, Merari
Siregar, Amir
Hamzah, Armijn
Pane, Chairil
Anwar, Sitor
Situmorang, Iwan
Simatupang, Damiri Mahmud, A. Rahim Qahhar, BY. Tand, dll, berhasil memacakkan karya-karya mereka, menjadi milik bangsa
Indonesia. Juga Wilem Iskander. Putra
Mandailing yang berkesempatan mengenyam pendidikan sampai ke negeri
Belanda. Karya-karya Wilem Iskander yang nama kecilnya adalah Sutan Sati itu, tetap mengingatkan saudara-saudaranya di tanah
Mandailing agar tidak bodoh dan terus belajar
dan belajar.
Willem Iskander yang disekolahkan ke
negeri Belanda dan meninggal dunia dinegeri yang menjajah tanah kelahirannya, Mandailing, perjuangannya
sebagai seniman pendidik. Jerih payah
Willem Iskander, masih tetap dihargai oleh saudara-saudaranya di Tano Bato. Dia dinobatkan sebagai pionir pendidikan bumiputra.
Di tahun 50-an sampai 60-an,
tersebut nama Iwan Simatupang sebagai pembaharu ‘prosa’Indonesia di zamannya.
Novel yang dia ciptakan tidak banyak. Setelah Chairil Anwar dan Amir Hamzah, karya-karya Iwan Simatupang yang anak Sibolga,
Sumatera Utara dari kawasan Tapanuli
Tengah itu, banyak dibahas oelh penulis-penulis ternama. Iwan adalah penulis
generasi majalah Siasat, Siasat Baru, Zenith, Mimbar Indonesia dan Sastra. Kesemua majalah itu sudah tidak terbit lagi.
Kebesaran Iwan Simatupang sebagai
sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara memang menarik untuk dikaji sampai kapanpun. Masih adakah di
toko-toko buku, tiga novel Iwan Simatupang
yang irrasionil itu?
Kini abad serba digital.
Penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam karena tak mampu bersaing Damiri Mahmud, Darwis Rifai Harahap, Idris Pasaribu, Maulana Samsuri, masih terus bekarya walau usia mereka tidak lagi muda. Kita juga tidak
lupakan A. Rahim Qahhar, Ali Sukardi, Aldian Aripin, Z. Pangaduan Lubis, Taguan Hardjo, Zam Nuldyn, Bahtar Sy, Djas, Lahmuddin Mane, Ahmad
Samin Siregar, dll.
Penerus sastra Sumatera Utara, dari angkatan Shafwan Hadi Umry, Choking Susilo Sakeh, Sugeng
Satya Darma, Mihar
Harahap, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua.
Kini muncul nama-nama sastrawan muda
seperti Hasan Albana, Sartika
Sari, Syafrizal Sahrun dan banyak lagi
yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran ‘budaya’
surat kabar yang ada di Sumatera Utara.
Mampukah karya-karya mereka menjadi fenomenal di khazanah
sastra Indonesia?
Sumatera
Utara punya banyak khazanah sastra. Sastra adalah anak kandung dari bahasa. Ia
bukanlah Sampuraga Bahasa. Dan Balai Bahasa Sumatera Utara diharapkan tidak
hanya sekadar Pustaha inventarisasi data-data, tetapi juga traktor penggerak
demi kembali meningkatnya nilai-nilai karakter budaya generasi muda kabupaten/kota
di Sumatera Utara, pun Indonesia. Demikian.
Komunitas Home Poetry,
September 2015
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa
Departemaen Pendidikan Nasional.
Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Majalah Bobo, Ngompol
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi,
Yogyakarta: UGM
Press.
Tarigan, Henri Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Wellek,
Rene and Austin Warren.1965. Theory of Literature. New York: A
Harvest
Book Harcourt, Brace and World, Inc.
mraudahjambak.blogspot.com
M. Raudah
Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Jatuh cinta dengan teater sejak di
ESEMPE. Lalu melamar teater LKK di IKIP 1993. 1994/1995 ditunjuk sebagai ketua
Teater LKK IKIP Medan, kemudian melahir kan beberapa nas kah dan pementasan
baik sebagai pemain, kru, atau sutradara(radio, TeVe, ikLan, fiLm dan
panggung). Penggagas festival DKOKUK LKK IKIP MEDAN (1995). 1995 ikut membidani
SANGGAR TEA TER GENERASI MEDAN dan pernah tercatat sebagai pengurus angkatan I
(bid. DIKLAT). Bergabung juga di PATRIA 1995. Beberapa kali diajak bergotong ro
yong oleh bebe rapa kelompok teater di Medan, seperti : PATRIA, NUANSA,
NASIONAL, IMAGO, MERDEKA, ANAK NEGERI, BLOK, GENERASI, Dan Lupa Lagi. Beberapa
kali me menangkan festival baik sebagai pemain, artistik, penu lis naskah, dan
sutradara. Sebagai pengamat tetap PARADE TEATER PELAJAR dari 2003 s/d 2006
ditunjuk Aso siasi Teater Sumatera Utara. Juri tetap festival teater (DKOKUK)
sampai 2005. Melatih teater di beberapa sekolah sampai sekarang. Instruktur
Acting D’WIN DOWS PRODUC TIONS sampai 2008. Riwayat pementasan serius setamat
sekolah sejak 1993 di LKK IKIP (sekarang UNIMED) Medan. Tampil dalam TASSEMATA
di TBSU 1994. 1995 menyutradarai SANG PENYAIR di Taman Budaya Sumatera Utara.
ABRA KA DAB RA di pentas tertutup TIM Jakarta, 1996 dalam rangkaian Pekan Seni
Mahasis wa tingkat Nasional. MENYIBAK
TIRAI MASA DEPAN 1997 di Pardede Hall. WA JAH KITA 1998 di hotel GARUDA PLAZA
Konvention Hall. TRAGEDI AL-HALLAJ di
Hotel Tiara Konvention Hall 1999. PE TANG DI TAMAN di TBSU 2000. PEJUANG 2000
di Departeman Pariwisata, Seni dan Budaya Pematang Siantar. MARNI di TVRI Medan
2001. TANAH GARAPAN di TVRI 2002. Mengikuti workshop MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ
Awards, di Jakarta (2003) dan workshop
teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Perge laran Seni
Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog ANJING MASIH MENGGONGONG
(2004). Menyutra darai monolog "Indonesia
Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Suma tera dalam
rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. 2006 JODOH PARADE
TEATER SUMUT di TBSU. 2007 menyutradarai PEREMPUAN TANPA KEPALA di TBSU. 2008
JODOH SABTU TERTAWA ALA KAMPUSI di TBSU. Menyutradarai TIURMAIDA 08/09 di
TBSU. Di 2009 dalam CUBLIS di TBSU
terlibat sebagai Co- Sutradara-bersama penulis/pemain Hasan Al-Banna, dalam
rangkaian Jaringan Teater Se-Sumatera di LAMPUNG. Dll. Saat ini selain di FKS,
HISKI, SIAN, AGBSI, HSBI dan GENERASI juga membidani Komunitas Home Poetry
(Komunitas HP-1997) sekaligus sebagai Ketua Umum, juga bertugas di beberapa
sekolah sebagai staf pengajar, Di perguruan dan Univeristas Panca Budi
(Fakultas Agama Islam dan Fakultas Filsafat). Alamat kontak-Taman
Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis
Ke merdekaan No. 33 Me dan. Alamat rumah: Jl. Murai batu e. 10,
Kompleks rajawali indah-Sunggal-Medan. Kantor: SMK
Panca Budi – 2, Jl. Gatot Subroto km
4,3. E-Mail: mraudahjambak@plasa.com. – mraudahjambak@yahoo.com. Pandangan
hidupnya belajarlah tanpa henti, maka engkau ada. Lebih baik berkarya daripada
mencela. Karya akan menjadikanmu ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, dan
kesombongan akan menghancurkannya perlahan. Ingat sejarah akan terus mencatat.
No comments:
Post a Comment