SASTRA DAN POLITIK SAUDARA KEMBAR YANG BERBEDA WATAKNYA?
Oleh : M. Raudah
Jambak
Bicara politik tentu tidak akan pernah selesai. Paling tidak politik mungkin sejalan dan senafas dengan aliran
fikiran kita. Politik lebih cenderung kepada segala urusan dan tindakan dengan
menekankan kepada kebijakan juga siasat yang biasanya dipersiapakan individu
atau kelompok lebih kepada persoalan kenegaraan. Sementera politik yang
diarahkan kepada persoalan pemahaman justru menjurus kepada ideologi juga sikap
atau pandangan terhadap sesuatu.
Pada dasarnya politik lebih kepada hal-hal yang positif bermuara
kepada kebaikan demi kemajuan yang menguntungkan semua pihak. Tetapi, pemahaman
yang berkembang politik lebih terarah kepada hal-hal yang negatif atau
akal-akalan. Mungkin bisa kita sebutkan sebagai opini yang sesat demi
keuntungan pribadi atau golongan. Sekarang persolannya adalah bagaimana dengan
sastra?
Sebagai sebuah ilmu sastra harus dipelajari. Persoalan apakah sastra mampu meng ubah cara pandang seseorang atau
masyarakat terhadap sesuatu. Mampu meningkatkan taraf hidup dan kemajuan masyarakat,
atau mungkin sebaliknya, itu adalah persoalan lain. Ada juga yang beranggapan persoalan
keberpihakan. Sebuah strategi, yang diharpkan dapat menimbulkan atau mencapai
sesuatu yang diharapkan. Mungkin demi meluluskan sebuah kepentingan?
Nah, jika sastra dikaitkan ke arah kepentingan atau keberpihakan,
apakah ini politik? Atau apakah perlu mewujudkan sastra sebagai media politik?
Semua terserah kepada kita. Tergantung kepada niat yang punya hajatan. Sastra sebagai sebuah ilmu, ideologi, atau
apalah namanya, terserah. Sekarang pertanyaannya adalah apakah itu tidak bagian
dari politik, terlepas dari persoalan kenegaraan, kepentingan, atau
keberpihakan.
Saya jadi teringat kepada persoalan ilmu sebagai filsafat, atau
filsafat sebagai sebuah ilmu yang diletakan pada level tertentu, misalnya.
Dimana perkembangan Ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Menurut
Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap
yaitu: Level Preconvenstional, Level Conventional, dan Level Postconventional.
Level Preconvenstional, misalnya, level ini berkembang pada masa
kanak-kanak. Dimana mereka hanya mengikuti naluri mereka dan mengabaikan
nasehat dan pendapat orang lain. Selanjutnya, level Conventional dimana
individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar
dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut. Dengan demikian seseorang itu
telah mengikuti apa yang baik dan menjauhi mana yang buruk dengan menganut apa
yang ditentukan oleh kelompok mereka. Sedangkan level Postconventional, orang
tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya,
melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya.
Dan dalam fase ini biasanya seseorang akan menentang kelompoknya dimana hal
yang dia tentang adalah yang menurutnya benar padahal kelompoknya menganggapnya
salah.
Menarik seperti apa yang digelisahkan Yulhasni. Seperti yang
disampaikannya, bahwa jangan pernah menjauhkan sastra dari ranah politik.
Sastra, meski itu hanya dunia imajinasi, di dalamnya terdapat pesan-pesan
perubahan. Sastra tidaklah dunia yang sendiri dan lepas dari berbagai
kepentingan yang bermain di dalamnya. Jika politik adalah medium pencapaian tarik-ulur
kepentingan, maka sastra adalah sesuatu alat penjernihan tarik-ulur kepentingan
itu.
Politik bisa
saja kasar dan sadis, tapi sastra memberi ruang kedamaian dan rasa persamaan
yang sejati. Medium sastra memanglah teks tertulis dan kemudian dibaca masyarakat,
akan tetapi teks harus memberi tanggungjawab perubahan, terutama terhadap
orang-orang yang melahirkan teks itu. Pencipta teks dengan demikian tidak
mengabaikan begitu saja apa yang telah ditulisnya dan kemudian dibaca
masyarakat.
Tanggungjawab akademisi sastra dalam diskursus sastra-politik
terletak kepada keinginan membawa ranah sastra kembali ke sejatinya yang awal.
Akademisi tidak perlu meletakkan dirinya kepada satu gagasan pembenaran karena
dalam sastra kebenaran itu terletak kepada keberhasilan teks membawa perubahan
pada masyarakat. Jika teks sastra gagal, seharusnya akademisi meluruskan dan
diberi beberapa catatan penting atas kegagalan yang terjadi. Kaum akademisi
seharusnya juga harus bebas nilai, sehingga tidak terjebak kepada kecurigaan,
penilaian yang sempit dan kemudian seolah-olah ‘manusia paling tahu atas segala
bentuk kreativitas’.
Kekuatiran terbesar yang muncul manakala wacana sastra dibawa ke
ranah politik adalah kecurigaan akan sebuah gerakan penggiringan ke arah arus
utama politik. Tulisan saya berjudul Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik
(Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi dengan sebuah kekuatiran oleh Budi P
Hatees. Lewat tulisannya berjudul Politik dalam Sastra Sumut (Analisa, 28
Agustus 2011).
Sementara Budi P. Hatees memiliki pandangan, bahwa Karya sastra
adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta.
Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan
tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di
dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan,
apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya
seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan
disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini
paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan
Indonesia-
sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam
narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam
sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi
estetik yang ada pada karya seni.
Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan,
yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan
dengan cara "membunuh" pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes,
"telah mati." Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan
teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud
dan tujuan pengarang.
Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya
mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan
oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal,
kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat
seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat
Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak
Eco sangat kental di sana.
Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis.
Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas,
merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan,
pengalaman dan latar belakang cultural yang jelas dan tegas. Dengan cara
seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan
komunikatif.
Hal ini juga pernah disinggung dalam diskusi
omong-omong sastra di rumah Jaya Arjuna beberapa waktu yang lalu, yang
menghadirkan Sakinah Annisa Maariz dan Suyadi San sebagai pembicara. Dalam
diskusi itu, sempat muncul polemik, ketika Suyadi San menyebut, sastrawan
Sumut, masih belum dianggap di kancah nasional. Indikasinya dari beberapa
pertemuan sastrawan yang sifatnya skala nasional, sastrawan Sumut, hanya datang
sebagai peserta pasif. Selain itu, di forum-forum yang sama, peserta
(sastrawan) Sumut jarang diunjuk sebagai penyaji. Suyadi membatasi kajiannya
pada 1 dekade terakhir. Ia pun menggugat beberapa sastrawan senior yang dulu
sempat punya nama di nasional dan rajin menyumbangkan kritik dan pemikirannya
melalui media massa.
Salah satunya Damiri Mahmud, yang kebetulan juga
hadir di acara itu, selain juga Maulana Syamsuri, Sulaiman Sambas dan
lainnya. "Kemanakah Anda selama ini?" tanya Suyadi. Tak
pelak, Damiri harus mengakui, bahwa beberapa tahun terakhir, ia memang tak
produktif, bersebab faktor fisik dan phisikis, seiring usia. "Sumut kehilangan
"jubir" sastranya di tingkat nasional." Kata Suyadi. Tapi
Sugeng, yang seorang mantan redaktur budaya salah koran di Medan, menyanggah
istilah "jubir" itu. "Sastra tidak membutuhkan jubir, karena
karya itu sendiri yang akan bicara. Yang harus dibenahi para sastrawan Sumut
adalah semangat entrepreuner dalam berkarya," tegas Sugeng.
Kesan yang sama ditunjukkan Mihar Harahap. Baginya, kegelisahan Suyadi adalah
kegelisahan semua pelaku sastra, tidak hanya di Sumut tapi juga di hampir semua
daerah. Hal ini merupakan wacana lama yang memang tak kunjung tuntas. Namun
Mihar tidak setuju dengan istilah lokal-nasional dalam sastra. Apa itu sastra
nasional, siapa itu sastrawan nasional? Apa itu sastra lokal, siapa itu
sastrawan lokal? Karenanya Mihar menekankan sastra jalur kedua, sebagaimana
dimunculkan Esten Mursal, yang menjadikan lokal sebagai basis sehingga
mengurangi dikotomi sentralis.
Tentang politik sastra, Mihar mengajak peserta
untuk lebih jeli mengkaji, makna dan acuan dua kata itu, seperti tertera dalam
makalah. Sebelumnya, soal ini ditanggapi serius oleh Ali Yusran yang
mengatakan, tak ada sastra yang tak politik. Perbedaannya soal tujuan, apakah
demi nilai-nilai kemanusiaan universal atau kepentingan sekelompok orang.
Diskusi sempat memanas ketika Sakinah yang terinsipirasi buku "Politik
Sastra" yang ditulis Saut Situmorang itu, mengetengahkan contoh
kasus Pram, yang secara implisit disebut Sakinah sebagai korban politik sastra.
Bahkan Damiri di awal-awal sempat mengajak peserta diskusi untuk lebih luas melihat
persoalan yang dialami Pram dalam kesusasteraan nasional.
Sakinah juga memberikan pandangan, bahwa perluasan
pemaknaan atas politik di dalam sastra Indonesia melalui politik sastra semakin
merebak setelah adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komperhensif mengenai
napak tilas dan sejarah sastra Indonesia. Politisasi pemerintah atas karya
sastra sebenarnya tidak hanya berdampak pada kehidupan sastrawan yang
melahirkan karya, namun juga berimplikasi pada kehidupan sastra Indonesia yang
di dalamnya termasuk sejarah, kritik dan teori sastra.
Menurut Sakinah, politik sastra Indonesia tidak
lagi membicarakan tentang upaya dan langkah menuju pengembangan dan pembinaan
ke arah yang lebih baik. Politik sastra Indonesia dijelaskannya mulai melirik
nasib karya-karya sastra yang telah dipolitisasi pengusaha, serta dampaknya
dalam sejarah sastra Indonesia.
Distorsi pemaknaan atas istilah politik sastra
Indonesia ini, sebenarnya terjadi seiring perubahan waktu dan sejarah yang
mengikuti. Akan tetapi pengkajian terhadap problematika tidak akan pernah
berhenti tanpa solusi. Sebagai contoh tetralogi pulau baru karya Pramoedya
Ananta Toer yang mencerminkan sejarah kehidupan Indonesia masa kolonialisme
pada masa rezim orde baru berkuasa karyanya ditarik dan dimusnahkan secara
sengaja.
Pada diskusi hangat siang itu juga sempat dibahas
bahwa sastra harus tetap berpolitik, tetapi politik sastra adalah yang baik,
mendidik dan menghibur. Hadirnya sebuah karya sastra seperti puisi, pada
diskusi juga dibahas saat ini lahir sangat banyak tetapi kehidupan masyarakat
tetap hidup pada tahap ketelanjangan, mural, spritual dan nurani yang tidak
bekerja lagi.
Sebenarnya hal-hal negatif seperti itu lahir dari
banyaknya penulis manja. Tatkala memasukkan tulisannya di media cetak, seorang
penulisa saat ini tidak malu untuk menanyakan kapan tulisannya akan
dimuat. Dan contoh muram seperti itu dijelaskan pada diskusi yang rentan untuk
dikritik.
Dari pernyataan-pernyataan yang terlontar, tentu
kita dapat memberikan pandangan, bahwa sastra dan politik sebenarnya akan hadir
dan mengalir dengan sendirinya. Tidak hanya di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan di dunia sekalipun. Pertanyaannya adalah apkah sastra di
arahkan kepada hal-hal yang negatif ataukah positif? Jika positif siapapun yang
menjadi pelakunya mungkin tidak akan menjadi persoalan. Tetapi, jika negatif,
maka hal ini yang harus diwaspadai. Sedikit mempelintir ungkapan mantan seorang
Presiden Amerika, jika politik itu kejam, maka sastra yang akan
menghaluskannya. Bukankah demikian?
No comments:
Post a Comment