PERTUNJUKAN TRADISI TERGERUS
ATAU BERADAPTASI DENGAN ZAMAN?
Oleh : M. Raudah Jambak, S.Pd
Banyaknya seni pertunjukan yang ditampilkan dekade
2000-an di Sumatera menandakan betapa Sumatera Utara tak pernah kehabisan
kreativitas. Berbagai naskah, kelompok dan kepentingan turut mewarnai, bahwa
Sumatera Utara, Medan khususnya, selalu akan memberikan warna dalam perjalan
seni di lingkungan manapun.
Mungkin, kita masih ingat dengan Pertunjukan
Teater D’Lick Teater team, Merdeka, Siklus, Nasional, Anak Negeri, Generasi,
LKK, Alif-LKCSN, SiSi, O, Komunitas Home Poetry, Rumah Mata, dll. Dengan
pertunjukan Raja Tebalek, Mentang-Mentang dari New York, Maling Menuntut
KeaDILAN, MOA, Perempuan, Tamu Terakhir, Indonesia Undercover, Tiurmaida, Cinta
Tanah Air, Cublis, Celah, Pasung,
Rintrik, Keparat dan sekarang Paranoia, Lawan Catur, serta
Jendela-Jendela (yang terakhir ini akan ditampilkan di Lampung), dll. Baik itu
di acara lomba, festival, atau Pertunjukan Tunggal, di antaranya Parade Teater,
Festival Teater, maupun Sabtu Ketawa, dll.
Selain dari seni pertunjukan moderen, seni
pertunjukan rakyat juga tak kalah gencarnya. Lihat saja penampilan Teater Anak
Negeri di Padang, Pertunjukan Mahasiswa Pasca Sarjana Unimed di Taman Budaya
Sumatera Utara beberapawaktu yang lalu, Kelompok Informasi pembangunan dalam
pertunjukan Obrolan Pembangunan KOMINFO, Pertunjukan Rakyat acara KOMINFO
Tebing Tinggi yang tampil di solo, Opera batak, serta penampilan Teater
Bangsawan yang nanti juga akan tampil di Solo dalam rangka Temu Budaya
Nasional.
Ada kebanggaan yang tidak pernah putusnya ketika
Medan, Sumatera Utara, masih terus menggeliat dalam bidang kepenulisan,
pertunjukan, Film (diantaranya Film berbahasa Batak), dll. Kebanggaan itu
mungkin diantaranya, bahwa seniman Sumatera Utara tidak lagi adu urat, adu
suara, tetapi lebih mengedepankan kepada karya, tidak hanya moderen juga
tradisi. Diantaranya adalah Teater bangsawan. Kerinduan masyarakat terhadap
pertunjukan seni tradisi ini seolah melepas lelah dari segala kepenatan segala
macam intrik politik, kejahatan maupun kesibukan dunia kerja.
Pertunjukan seni tradisi seperti teater Bangsawan
adalah jus segar yang mampu menetralisir itu semua, walau perbedaan pandangan
serta penanganan selalu menjadi bahan pembicaraan yang hangat sesuai zamannya.
Pertunjukan seni yang disebut sebagai Teater
Bangsawan biasanya adalah kesenian yang menggabungkan musik, lagu, tari dan
laga. Peralatan musik yang mengiringi pementasannya terdiri atas: biola,
akordion, gendang, gong dan tambur. Sesuai dengan namanya, yaitu Bangsawan,
kostum yang digunakan adalah tata rias yang menyerupai orang-orang di kalangan
Bangsawan. Sedangkan, perlengkapan pendukungnya menyesuaikan dengan ceritera
yang ditampilkan, karena patokan yang khusus tidak ada.
Sebagaimana cerita rakyat lainnya, teater
Bangsawan memiliki pakem yang sudah dirumuskan. Biasanya dengan urutan,
misalnya : (1) pentas dibuka dengan lagu-lagu dan tarian pembuka yang
mengisahkan ceritera yang akan dimainkan. Sebagai catatan, setiap kelompok
biasanya mempunyai lagu pembuka tersendiri yang sekaligus menjadi ciri khasnya;
(2) peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya diikuti dengan pergantian
layar; terkadang diselingi dengan lagu atau nyanyian yang berisi ceritera yang
akan dimainkan pada adegan berikutnya; dan (3) pentas ditutup dengan lagu dan
tarian penutup.
Ketika seni pertunjukan ini sedang berlangsung,
maka lagu-lagu yang mengiringinya, disamping lagu-lagu yang sering dinyanyikan
dalam joged atau tarian Zapin, adalah lagu-lagu Stambul Dua, Stambul Opera, dan
Dondang Sayang. Sedangkan, ceritera yang dimainkan antara lain: 1001 Malam,
Rakyat Melayu, Dongeng India dan Cina, dan Hikayat Melayu. Setiap ceritera
terbagi dalam beberapa babak atau adegan. Dan, setiap adegan diselingi dengan
sret atau selang waktu untuk menceriterakan apa yang akan terjadi pada adegan
berikutnya. Jadi, semacam pengantar agar para penonton mengetahui apa yang akan
disajikan adegan berikutnya.
Para tokoh pemainnya terdiri atas: Sri Panggung
(diperankan oleh pemain yang tercantik yang akan menjadi primadona panggung),
anak muda, raja, permaisuri, menteri, hulubalang, saudagar-saudagar,
inang-dayang, dan pelawak yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai
Khadam. Bahasa yang dipergunakan adalah Melayu dengan dialek Riau-Kepulauan,
dengan tata cara istana atau bangsawan. Berikut ini adalah penggalan dialog
antara Dayang dan Hadang dalam sebuah pementasan Bangsawan.
Dayang: “Manelah Panglime Hadang nih? Sudah
bermain-main di taman tak ade. Sebentar lagi kalau Tuan Puteri sudah datang
kemari pasti akan murke kalau melihat Panglime Hadang tak ade. Bencilah same
die. Pak Hadang, Pak Hadang, o…Pak Hadang. Kemane aje wak nih?”
Hadang: “Lagi sibuk betul aku, patik…e salah,
e…sesat. Jalan-jalan ke taman larangan nih, nyari-nyari jelutung. Untunglah ada
Mak Inang di belakang nunjuk sane tu…tu..hah…baru sampai”.
Pesan yang ingin disampaikan dalam berbagai cerita
yang disuguhkan adalah seorang raja akan dihargai oleh rakyatnya apabila
bijaksana, sebagaimana ungkapan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Melayu,
yaitu: Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah dan Hukum adil kepada
rakyat, tanda raja beroleh inayat.
Pemain (pelakon) seni pertunjukan ini terdiri
atas: Sri Panggung dan anak muda yang merupakan tokoh utama, raja, seorang
khadam, dan beberapa peran pembantu raja, menteri, hulubalang, inang-dayang,
dan pengukuh lakon lainnya. Jadi, jumlahnya jika ditambah dengan pemain musik
kurang lebih 20 sampai dengan 25 orang.
Durasi pementasannya bergantung pada ceritera dan
waktu yang tersedia. Sedangkan waktu pementasannya pada malam hari. Pada
mulanya seni pertunjukan ini tampil dalam rangka mengisi acara-acara upacara
lingkaran hidup individu (khitanan dan perkawinan), hari-hari besar agama
Islam, dan hari-hari nasional seperti peringatan hari kemerdekaan Indonesia,
serta peringatan-peringatan lainnya. Namun, dewasa ini hanya terbatas pada hari
kemerdekaan saja, itu pun tidak selalu. Dengan kata lain, bergantung pada
pemerintah daerah setempat, baik di kecamatan, kabupaten, maupun propinsi.
Berbeda dengan seni pertunjukan modern, seni
pertunjukan ini tidak memerlukan sutradara, walaupun setiap group mempunyai
seorang pemimpin. Satu hal yang mesti ada (terbuat) adalah tempat para pemain
berlaga (panggung). Panggung sebuah pementasan yang disebut sebagai Bangsawan
ini dilengkapi dengan layar berlapis yang disebut dengan layar stret. Layar-layar tersebut dibubuhi dengan lukisan
istana, taman, hutan (pemandangan alam) dan lain sebagainya. Maksudnya untuk
menggambarkan situasi dan kondisi di mana sebuah dialog atau perseteruan
terjadi. Jadi, jika suatu peristiwa terjadi di istana, maka layar yang
ditampilkan adalah yang berlukisan istana, dan seterusnya.
Nah, masa dan zaman berkembang. Kita lihat saja
sekarang semacam Overa Van Java, perpaduan tradisi dan moderen seolah menjadi
rumusan yang baru, dan sepertinya terus dipertahankan oleh pihak manajement.
Atau seperti yang dilakukan Garin
Nugroho dalam Opera kontemporer adaptasi dari film Opera Jawa, yang diproduksi
Tropentheater dengan iringan gamelan pimpinan Rahayu Supangga berlangsung
selama dua jam tanpa jeda.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Rizaldi
Siagian, bahwa seorang penulis Hungaria,
Ladislao Székely, dalam karya semi-autobiografinya, Tropic Fever: The
Adventures of a Planter in Sumatra (1985), mendeskripsikan keterlibatan
kreativitas artistik dan kreativitas bisnis dalam menghidupkan kota Medan
sekitar seratus tahun yang lalu. Pengalaman tuan kebun yang tinggal di tanah
Deli selama enam belas tahun (1902-1918) dan terakhir tinggal di “Kwala Batu”
(kemungkinan Pabatu sekarang (?)), sangat menolong untuk melihat bagaimana
sesungguhnya dunia kesenian di Medan masa itu.
Ia menggambarkan di daerah pemukiman orang China
(kemungkinan di sekitar Jl. Semarang, Kanton) terdapat gedung teater yang
disebut “Bangsawan”. Suasananya ramai, dipenuhi pengunjung dan pedagang China,
Tamil, Bengali, Arab, Eropah, dan penduduk asli Sumatera Timur, Melayu. Ada
penjual buah termasuk penjual teng-teng (buah segar yang sudah dikupas), tukang
sepatu yang bekerja 24 jam, dll. Medan saat itu sudah sibuk; boleh dibilang
tumbuh dan berkembang oleh para pendatang yang sebagian besar juga tercatat
sebagai pelaku sejarah perbudakan yang terburuk dan dikritik sejarahwan Anthony
Reid sebagai “prestasi […] kapitalisme internasional [yang melahirkan]
kesengsaraan […] mengerikan” itu (Székely, Reid, 1989:v).
Seni Pertunjukan Tradisi, memang adalah sebuah
kerinduan yang selalu kita harapkan kehadirannya, tetapi mau tidak mau ia
memang harus tergerus dan beradaptasi dengan perkembangan zamannya. Termasuk
dalam hal ini teater bangsawan, setuju atau tidak setuju selain langkah-langkah
yang sudah baku, ia harus beradaptasi (bukan takluk) dengan pertunjukan
moderen, seperti sutradara, skrip, setting, tata cahaya, dll. Bukankah begitu?
*Penulis adalah Direktur Komunitas Home
Poetry
No comments:
Post a Comment