Wednesday, 2 March 2016



M. RAUDAH JAMBAK

Dengan Seikat Zikir Mawar ini
apakah yang dapat kukatakan

selain mengungkapkannya dengan

seikat kembang atau setangkai zikir mawar, kekasih
apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata

berbaur ucapan penghambur bermakna kabur

ah, dengan seikat bunga ini kau akan

mengerti penanda hati

apakah yang dapat kulakukan

selain menyusun butir-butir rindu

menjadi segunung mengharu-membiru, kekasih

entahlah warna cinta yang bagaimana lagi

yang patut kutorehkan di kanvas hati

ah, dengan seikat bunga ini kau akan

mengerti pecinta sejati

Dalam Diam Kutasbihkan Cinta
Dalam Diam Kutasbihkan Cinta
Ilustrasi

mungkin ini hari dan minggu yang kesekian

ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal

telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a

adakah luka yang begitu menganga sehingga

tercipta jurang diantara perbedaan menganga

atau aku yang kurang pandai membaca

perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian

ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal

telah sama berjanji-sama mendaki

adakah dendam yang begitu membatu sehingga

terpahat lereng terjal dilangkah menganga

atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki

dalam perjalanan hati?

Medan,08

Laron
Buah Batu
Siapa Perduli ?
Pelangkah
Keluarga Kesedihan 
M. BADRI

Amsal Perahu
: Alm. Machzumi Dawood

Sebuah perahu kembali ke dermaga
setelah mengarungi lautan kata
ombak sajak
badai puisi
berkawan matahari dan pelangi

Bersebati dengan karang
para petualang
sambil berbagi cerita
tentang cinta
tentang luka

Di setiap persinggahan
mengabadikan imaji
di ruang paling sunyi
sambil bertopeng bulan*
menulis sajak untuk dia*

Bertahun-tahun
mengeja silsilah kata
dan muasal tanda
dalam jemari*
ibu puisi

Tiba di bandar paling sepi
ia berorasi*
di antara dua perahu*: 
‘’Ketika aku tak berdarah lagi
sambutlah aku
dalam tanah kosongMu’’**

Pekanbaru, 2012

* Beberapa judul sajak yang pernah ditulis Machzumi Dawood
** Mengutip kata-kata dalam ‘’Puisi untuk Negeriku’’ karya Machzumi Dawood


Amsal Burung
: Maung Day

Pada remang senja yang gamang
kau ingin menjadi burung 
terbang di atas pagoda
seperti balon udara
di langit para junta

Sekali waktu
kau tak ingin menjadi burung
sebab di padang ilalang
ada moncong senapan
dan sebutir kematian

Tapi kau terus berkicau
di luar sarang
sambil mananam risau
memupuk mimpi
berhari-hari

Di perbatasan
kau membangun sarang
dari kata-kata
dan letupan asa    
yang terserak

Sampai jiwamu meruncing
serupa bayonet
para serdadu
yang siaga
di gerbang kota

Pekanbaru, 2011


Amsal Laron
: Do Thi

Lelampu menjadi magnet bagimu
meski hanya sesaat
sebelum melepas sayap
dalam senyap
gedung-gedung

Dan lorong yang gelap
seakan menjadi imaji abadi
untuk membiakkan kata
dalam bahasa paling sederhana
paling rahasia

Pekanbaru, 2011


Amsal Api 
: Hoang Duc

Ada yang menyala di hatimu
seperti api dalam sekam
hanya terpendam
di ubun-ubun malam
saat sendirian

Dan kau pun mabuk 
dalam sebuah mimpi buruk
yang membakar kantuk
hingga perpisahan
tanpa sedu sedan

Pekanbaru, 2011


Amsal Petualang
: Nik Abd. Rakib

Singgahlah ke negeriku
tanpa peluru dan mesiu
ada secangkir cerita
dan setangkup puisi
untuk sarapan pagi

Pekanbaru, 2011


M Badri
Menulis puisi, cerpen dan esai di beberapa media massa dan buku antologi sastra. Akhir tahun 2011 lalu diundang menjadi salah seorang peserta Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) II. Kini tinggal di Pekanbaru dan berumah di http://negeribadri.blogspot.com. 

Kita
Dari air maung yang tumpah karena gelombang
Pada musim penghujan di penghujung musim kemarau
Memagut bibir cinta kepayang
Menujah gelisah, menebuk galau 

Patutkah kebanggaan menebas kasih sayang?

Katanya kita sama, dari air yang sama
Tapi, kebersamaan begitu jauh di antara kita
Menetak mimpi-mimpi indah yang memaut rindu
Lalu, retas tak bersatu

Bengkalis, Bilik puisi, 31 Mei 2009


Kita 2

Kita lahir dari kemuliaan Tuhan
bagai kebun-kebun yang memberikan makanan
pada musim-musim tertentu, hangus oleh julatan api
Haruskah mengadu pada Tuhan?

Julatan api itu akan terus menjilat
bagai lidah-lidah setan dari kerak-kerak neraka
Akankah kita menjerit?

Kita lahir dari kemaslahatan Tuhan 
untuk kemanusiaan dan ke-Tuhanan
mengukir adab, mengikis biadab
akankah lahir kembali kemuliaan tanpa sebab?

Mari kita timbus api dalam diri
dengan tanah-tanah, diri kita sendiri 

Bengkalis, 9 Maret 2010


Segumpal Tanah
Segumpal tanah di tangan-Mu
Menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara 
Menjadi hati dan buih-buih lautan
Juga daun-daun kering berguguran
Di hamparan bumi luas membentang

Rerumputan hijau, sejuk di telapak hati
Alirkan air ke nadi-nadi kehidupan, kebijaksanaan
dari tanah-tanah yang merekah di musim kemarau

Langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu
adalah dari segumpal tanah dari tangan-Mu
menjadi putih, menjadi hitam
Lalu, kembali dalam kekosongan
Diam

Bengkalis, 17 Februari 2010


Lohong
Melaka bagai puaka memandang dari seberang petang
Hempasan gelombang telah merangkai sunyi
di sepanjang rekahan bibirmu
Padahal, batu-batu waktu begitu lama membebani birahimu

Lohong, kau tak sombong, apalagi pembohong
Pucuk-pucuk pinus menebar senyum pada punggung putihmu 
bak kejujuran hamparan pasir yang melepak itu
tapi, ancaman keserakahan orang-orang kota
menebar senyum yang sulit diterka di celah-celah daun bakau yang rebah

Di depanmu, Melaka seumpama hantu
Menyeringai bersama ombak dan angin musim Utara
Tetapi, kau tak pernah tahu khianat kekasihmu
Telah menoreh luka dan ditadah dalam kawah cinta
Pedih. Tak sebanding kesucianmu
Sedih. Tak sebanding beningmu
Sisih. 
Aku merinduimu di sepanjang musim 

Di salah satu kamar hotel, Duri, 18 Mei 2010


Anakku Bertanya tentang Allah
Yah,
‘’Siapakah Allah?’’
‘’Allah bukanlah siapa-siapa.’’

Yah,
‘’Di manakah Allah?’’
‘’Dia bersemayam di hati kita.’’

Yah,
‘’Allah yang menciptakan semua ini?’’
‘’Wajib kita yakini!’’

Yah,
‘’Allah itu besar?’’
‘’Tak ada tandingan kuasa-Nya.’’

Yah,
‘’Mana yang lebih kuat: Allah atau Power Rangers?’’
‘’Tak ada tandingan kuasa-Nya.’’
‘’Allah adalah Tuhan sejati, Anakku!’’
‘’Selain itu, cuma berhala.’’
‘’Pikirkanlah!’’

Bilik puisi surga, Bengkalis, 30 Oktober 2007




Musa Ismail
Adalah guru SMAN 3 Bengkalis dan sedang belajar di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Riau.
Kabungka, Buton

berbungkah-bungkah aspal ditambang
digiling, dihaluskan jadi tambah hitam
menghampar di pelabuhan dan jalan-jalan
tapi tidak membawa siapa pun pergi
karena pelabuhan bukan lagi pintu
bagi onggokkan nasib burukmu menghambur 
dan jalan-jalan buntu, berantakkan
tanpa batu dan aspal
ironi yang membenam harapan
kembali ke perut bumi

kusaksikan matahari terbit dan terbenam 
di sini. tanpa alasan pasti, anak-anak kabungka 
terus melintasi lumpur dan semak-semak berduri 
memasuki sekolah yang tak pernah 
memasuki hidup mereka 
mau jadi apa, kau bertanya
seorang anak menyeringai
menggigit pahit-asam 
jambu mete yang berguguran
bagai mengunyah buah derita 
berabad-abad kekal di tanah kelahiran

percik getahnya beserta ingus yang meleleh
membuat bintik hitam di baju sekolah
jadi tambah kusam serupa peta jalur tambang
di sepanjang badan masa depan
orang-orang kabungka 

aku pun menambangnya
diam-diam, dengan tinta hitam air mata. 

/Buton, 2009 -Yogyakarta, 2010


Dormitori

kami pergi dan pulang
saat pagi dan petang
belum sempurna
mencipta dan menghapus 
bayang-bayang

kami pergi memasang sepatu
mengancing seragam
dan berlalu dari pintu
sampai ketemu malam

sampai kami pulang serupa bulan
lelah dan lamban
melewati petak-petak kamar
dan ketika sadar diintip bintang-bintang
kami bergegas malu memasuki pintu
mencopot sepatu
menggantung seragam
lalu telentang di ranjang karat
menatap langit-langit
yang dihuni kawan-kawan senasib
kamar demi kamar, bertingkat 
seperti ranjang besi kami 
kelak akan menyentuh langit tinggi

di sini kami hidup berbagi
ruang dan tempat tidur
(jam-jam lembur, jam-jam dengkur)
tiap udara yang kami hirup
adalah udara yang sama
dari bau bacin + asin keringat + sepotong lagu,
“bagimu pabrik kami mengabdi
padamu dormitori kami mengadu!”

ya, dormitori dunia kami
dunia dari dunia yang dicipta kembali
di bawah perputaran lamban
bulan, bintang dan matahari.

/Batam, 2008-Yogya, 2009

Dormitori: mess buruh  pabrik.


Raudal Tanjung Banua, 
Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Kini redaktur rumahlebah ruangpuisi dan ketua redaksi Jurnal Cerpen Indonesia. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka, 2005) memperoleh Anugerah MASTERA di Kualalumpur. Buku puisinya yang akan terbit dalam waktu dekat, Api Bawah Tanah. 

batu-batu cadas yang tak kutahu dari mana asalnya
begitu saja menyusun lupaku tahun bertahun
pada janji seketul di mulut tembakul
semampai sentul di tebing aliang
pada pohon-pohon bakau yang risau
pada air membayang gamang
menggenangi harapan yang merantau
tergulung jaring pengerih sebagai perih
pepai dan jerait terus merintih
tertinggal tobir sepanjang arus

ingin aku berbaring di lumpur sesai
saat angin meniadakan dingin
jejak pada sejuk kembali ke teluk
mataku terpejam pada awan
dirahab hutan berlapis-lapis 
terlihat kelabu oleh jarak yang tertangguh
tanganku terkepang di tanjung kongkung
meremas setiap gelisah dengan gelombang
kusimak desir alun mendodoikan sunyi
jauh dari dermaga yang memberi
nyaris seperti garis cakrawala 
mengubah tanda jadi maya

aku hafal lelah nelayan
dikayuh dayung tidak berjeda
sampan akan memunggah geram
ketika musim utara mengirimkan seranah
kepada badai mendahulukan datang
tiba dari sampai yang lain
haluan dan buritan membagi waktu
tertambat olah nasib yang asin
di sungai melibur membelat laba
lalu busut-busut menggundukkan tunduk
menggantung hiba di buah sempaya
menanam haru di pohon sagu


batu-batu cadas yang tak kutahu dari mana asalnya
tak kan sanggup menahan pasang-surut kisah
manakala kraken pun menjulurkan tantakel 
memberi lalu pada the flying dutchman
tempat ramhout van dam mengajukan singgah
setelah tujuh samudera menjadi hantu jembalang
terlelap dalam 1001 malam bersama simbad 
segera dibasuh nuh dengan kesucian wahyu
apalagi lancang kuning dan segenap ancak
berkecipak sorak kota berjalan
sebagaimana diriku senantiasa ingin berlabuh
bukan lelah terkembang bersama layar
tapi karena masa lalu tak sekedar kenangan
melainkan riak yang memercikkan nyawa
 
batu-batu cadas yang tak kutahu dari mana asalnya
percayalah bahwa aku bukan anak dagang
tapi aku memang sedang bingung
ke mana jangkar hendak kulempar malam ini



Taufik Ikram Jamil, 
lahir 19 September 1963 di Telukbelitung. Menulis prosa dan puisi. Buku sajaknya tersebab haku melayu (1985) dan tersebab aku melayu (2010), kini sedang mempersiapkan buku sajak tersebab daku melayu. Buku tersebab aku melayu, masuk dalam lima besar Anugerah Sagang dan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010. Majalah Tempo menilai buku tersebut merupakan buku  penting untuk kategori aktivitas sastra di tanah air tahun 2010.
SAJAK HARI SABTU MALAM

Mereka memberiku makna, 
lebih dari yang mereka berikan 
padamu. lalu bercanda, 
saling mencurahkan isi hati, tertawa
saling mengiyakan. 
mereka saling melemparkan puisi, 
memaksa bunga-bunga bermekaran, 
dan membuat rembulan enggan
bersembunyi di sebalik awan.

Mereka berpandangan begitu lekat, 
jiwa bergenggaman begitu erat
ketika waktu meloncat cepat, 
aku bilang tolong perlambat
dan mereka terus tertawa 
hingga malam menurunkan kabutnya
juga dingin yang paling gigil tiba 
di belulang

Mereka memberiku makna, 
lebih dari yang mereka berikan
kepadamu. tak ada pertengkaran, 
hanya tawa, dan sesekali
bicara yang seluruhnya puisi.

Sipirok, ix-2011



TIDAK ADA HARI TERLALU 
KEPAGIAN UNTUK BAHAGIA


Tidak ada hari yang terlalu kepagian 
untuk bahagia. tidak ada hari yang jadi sia-sia 
mereka, yang selalu termenung dan yang selalu 
menyalakan kemarahan;  mereka 
yang selalu menguntai kesedihan dan yang selalu 
menyisir rambut kekelaman
tertawalah bersamaku. sambil merenguk bahagia
dari cawan waktu.

Masa lalu melangkah pergi membawa kesedihan
dan tak menoleh lagi. masa depan menjelma fajar 
dengan bertangkai-tangkai cahaya
dan untaian embun yang berkerjaban 
mereka mengalungkannya di leher
seperti mutiara 

Tidak ada hari yang terlambat 
untuk bahagia. aku menyongsong fajar 
dan menaburkan butiran cahayanya 
pada bingkai waktuku; melupakan kesedihan 
panjang dan mendatangimu. 

Sipirok, ix-2011


LIDAH

Aku berseberangan dengan lidahku
kata-kata tumbuh menjadi hutan belantara
tak ada cahaya. tak kutemukan pohon-pohon 
mengenakan ranting-rantingnya
tak ada daun-daun hijau. hanya duri-duri
yang seolah terus diasah dan mengilap

Aku berseberangan dengan lidahku
karena telingaku tak terbiasa menampung malam
karena kelam itu membuat langit tertutup 
dan nyala matahari tak berkilauan. 
aku menebangi kata-kataku agar tak tumbuh
merambat sebagai pagar. 

Sipirok, ix-2011


BUDI HATEES 
Lahir di Sipirok, 3 Juni 1972.  Menulis sajak, esai, cerpen, dan melakukan penelitian antropologi dan komunikasi. Karyanya dipublikasikan di berbagai media cetak dan jurnal ilmiah nasional dan internasional. Karya-karyanya diterbitkan dalam lebih 25 judul buku.  Pernah tinggal lama di Lampung dan bekerja sebagai wartawan. Sejak 2011, memutuskan kembali ke kampung halaman di Sipirok, sambil bertani.

No comments: