M. RAUDAH JAMBAK
Dengan Seikat Zikir Mawar ini
|
apakah yang dapat
kukatakan
selain mengungkapkannya dengan seikat kembang atau setangkai zikir mawar, kekasih
apakah cukup rasa
cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti penanda hati apakah yang dapat kulakukan selain menyusun butir-butir rindu menjadi segunung mengharu-membiru, kekasih entahlah warna cinta yang bagaimana lagi yang patut kutorehkan di kanvas hati ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti pecinta sejati |
Dalam Diam
Kutasbihkan Cinta
|
Ilustrasi
mungkin ini hari dan
minggu yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a adakah luka yang begitu menganga sehingga tercipta jurang diantara perbedaan menganga atau aku yang kurang pandai membaca perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir
atau kerikil yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal telah sama berjanji-sama mendaki adakah dendam yang begitu membatu sehingga terpahat lereng terjal dilangkah menganga atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki dalam perjalanan hati? Medan,08 |
M. BADRI
Amsal Perahu
: Alm. Machzumi Dawood
Sebuah perahu kembali ke dermaga
setelah mengarungi lautan kata
ombak sajak
badai puisi
berkawan matahari dan pelangi
Bersebati dengan karang
para petualang
sambil berbagi cerita
tentang cinta
tentang luka
Di setiap persinggahan
mengabadikan imaji
di ruang paling sunyi
sambil bertopeng bulan*
menulis sajak untuk dia*
Bertahun-tahun
mengeja silsilah kata
dan muasal tanda
dalam jemari*
ibu puisi
Tiba di bandar paling sepi
ia berorasi*
di antara dua perahu*:
‘’Ketika aku tak berdarah lagi
sambutlah aku
dalam tanah kosongMu’’**
Pekanbaru, 2012
* Beberapa judul sajak yang pernah ditulis Machzumi Dawood
** Mengutip kata-kata dalam ‘’Puisi untuk Negeriku’’ karya Machzumi Dawood
Amsal Burung
: Maung Day
Pada remang senja yang gamang
kau ingin menjadi burung
terbang di atas pagoda
seperti balon udara
di langit para junta
Sekali waktu
kau tak ingin menjadi burung
sebab di padang ilalang
ada moncong senapan
dan sebutir kematian
Tapi kau terus berkicau
di luar sarang
sambil mananam risau
memupuk mimpi
berhari-hari
Di perbatasan
kau membangun sarang
dari kata-kata
dan letupan asa
yang terserak
Sampai jiwamu meruncing
serupa bayonet
para serdadu
yang siaga
di gerbang kota
Pekanbaru, 2011
Amsal Laron
: Do Thi
Lelampu menjadi magnet bagimu
meski hanya sesaat
sebelum melepas sayap
dalam senyap
gedung-gedung
Dan lorong yang gelap
seakan menjadi imaji abadi
untuk membiakkan kata
dalam bahasa paling sederhana
paling rahasia
Pekanbaru, 2011
Amsal Api
: Hoang Duc
Ada yang menyala di hatimu
seperti api dalam sekam
hanya terpendam
di ubun-ubun malam
saat sendirian
Dan kau pun mabuk
dalam sebuah mimpi buruk
yang membakar kantuk
hingga perpisahan
tanpa sedu sedan
Pekanbaru, 2011
Amsal Petualang
: Nik Abd. Rakib
Singgahlah ke negeriku
tanpa peluru dan mesiu
ada secangkir cerita
dan setangkup puisi
untuk sarapan pagi
Pekanbaru, 2011
M Badri
Menulis puisi, cerpen dan esai di beberapa media massa dan buku antologi sastra. Akhir tahun 2011 lalu diundang menjadi salah seorang peserta Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) II. Kini tinggal di Pekanbaru dan berumah di http://negeribadri.blogspot.com.
: Alm. Machzumi Dawood
Sebuah perahu kembali ke dermaga
setelah mengarungi lautan kata
ombak sajak
badai puisi
berkawan matahari dan pelangi
Bersebati dengan karang
para petualang
sambil berbagi cerita
tentang cinta
tentang luka
Di setiap persinggahan
mengabadikan imaji
di ruang paling sunyi
sambil bertopeng bulan*
menulis sajak untuk dia*
Bertahun-tahun
mengeja silsilah kata
dan muasal tanda
dalam jemari*
ibu puisi
Tiba di bandar paling sepi
ia berorasi*
di antara dua perahu*:
‘’Ketika aku tak berdarah lagi
sambutlah aku
dalam tanah kosongMu’’**
Pekanbaru, 2012
* Beberapa judul sajak yang pernah ditulis Machzumi Dawood
** Mengutip kata-kata dalam ‘’Puisi untuk Negeriku’’ karya Machzumi Dawood
Amsal Burung
: Maung Day
Pada remang senja yang gamang
kau ingin menjadi burung
terbang di atas pagoda
seperti balon udara
di langit para junta
Sekali waktu
kau tak ingin menjadi burung
sebab di padang ilalang
ada moncong senapan
dan sebutir kematian
Tapi kau terus berkicau
di luar sarang
sambil mananam risau
memupuk mimpi
berhari-hari
Di perbatasan
kau membangun sarang
dari kata-kata
dan letupan asa
yang terserak
Sampai jiwamu meruncing
serupa bayonet
para serdadu
yang siaga
di gerbang kota
Pekanbaru, 2011
Amsal Laron
: Do Thi
Lelampu menjadi magnet bagimu
meski hanya sesaat
sebelum melepas sayap
dalam senyap
gedung-gedung
Dan lorong yang gelap
seakan menjadi imaji abadi
untuk membiakkan kata
dalam bahasa paling sederhana
paling rahasia
Pekanbaru, 2011
Amsal Api
: Hoang Duc
Ada yang menyala di hatimu
seperti api dalam sekam
hanya terpendam
di ubun-ubun malam
saat sendirian
Dan kau pun mabuk
dalam sebuah mimpi buruk
yang membakar kantuk
hingga perpisahan
tanpa sedu sedan
Pekanbaru, 2011
Amsal Petualang
: Nik Abd. Rakib
Singgahlah ke negeriku
tanpa peluru dan mesiu
ada secangkir cerita
dan setangkup puisi
untuk sarapan pagi
Pekanbaru, 2011
M Badri
Menulis puisi, cerpen dan esai di beberapa media massa dan buku antologi sastra. Akhir tahun 2011 lalu diundang menjadi salah seorang peserta Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) II. Kini tinggal di Pekanbaru dan berumah di http://negeribadri.blogspot.com.
Kita
Dari air maung yang tumpah karena gelombang
Pada musim penghujan di penghujung musim kemarau
Memagut bibir cinta kepayang
Menujah gelisah, menebuk galau
Patutkah kebanggaan menebas kasih sayang?
Katanya kita sama, dari air yang sama
Tapi, kebersamaan begitu jauh di antara kita
Menetak mimpi-mimpi indah yang memaut rindu
Lalu, retas tak bersatu
Bengkalis, Bilik puisi, 31 Mei 2009
Kita 2
Kita lahir dari kemuliaan Tuhan
bagai kebun-kebun yang memberikan makanan
pada musim-musim tertentu, hangus oleh julatan api
Haruskah mengadu pada Tuhan?
Julatan api itu akan terus menjilat
bagai lidah-lidah setan dari kerak-kerak neraka
Akankah kita menjerit?
Kita lahir dari kemaslahatan Tuhan
untuk kemanusiaan dan ke-Tuhanan
mengukir adab, mengikis biadab
akankah lahir kembali kemuliaan tanpa sebab?
Mari kita timbus api dalam diri
dengan tanah-tanah, diri kita sendiri
Bengkalis, 9 Maret 2010
Segumpal Tanah
Segumpal tanah di tangan-Mu
Menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara
Menjadi hati dan buih-buih lautan
Juga daun-daun kering berguguran
Di hamparan bumi luas membentang
Rerumputan hijau, sejuk di telapak hati
Alirkan air ke nadi-nadi kehidupan, kebijaksanaan
dari tanah-tanah yang merekah di musim kemarau
Langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu
adalah dari segumpal tanah dari tangan-Mu
menjadi putih, menjadi hitam
Lalu, kembali dalam kekosongan
Diam
Bengkalis, 17 Februari 2010
Lohong
Melaka bagai puaka memandang dari seberang petang
Hempasan gelombang telah merangkai sunyi
di sepanjang rekahan bibirmu
Padahal, batu-batu waktu begitu lama membebani birahimu
Lohong, kau tak sombong, apalagi pembohong
Pucuk-pucuk pinus menebar senyum pada punggung putihmu
bak kejujuran hamparan pasir yang melepak itu
tapi, ancaman keserakahan orang-orang kota
menebar senyum yang sulit diterka di celah-celah daun bakau yang rebah
Di depanmu, Melaka seumpama hantu
Menyeringai bersama ombak dan angin musim Utara
Tetapi, kau tak pernah tahu khianat kekasihmu
Telah menoreh luka dan ditadah dalam kawah cinta
Pedih. Tak sebanding kesucianmu
Sedih. Tak sebanding beningmu
Sisih.
Aku merinduimu di sepanjang musim
Di salah satu kamar hotel, Duri, 18 Mei 2010
Anakku Bertanya tentang Allah
Yah,
‘’Siapakah Allah?’’
‘’Allah bukanlah siapa-siapa.’’
Yah,
‘’Di manakah Allah?’’
‘’Dia bersemayam di hati kita.’’
Yah,
‘’Allah yang menciptakan semua ini?’’
‘’Wajib kita yakini!’’
Yah,
‘’Allah itu besar?’’
‘’Tak ada tandingan kuasa-Nya.’’
Yah,
‘’Mana yang lebih kuat: Allah atau Power Rangers?’’
‘’Tak ada tandingan kuasa-Nya.’’
‘’Allah adalah Tuhan sejati, Anakku!’’
‘’Selain itu, cuma berhala.’’
‘’Pikirkanlah!’’
Bilik puisi surga, Bengkalis, 30 Oktober 2007
Musa Ismail
Adalah guru SMAN 3 Bengkalis dan sedang belajar di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Riau.
Dari air maung yang tumpah karena gelombang
Pada musim penghujan di penghujung musim kemarau
Memagut bibir cinta kepayang
Menujah gelisah, menebuk galau
Patutkah kebanggaan menebas kasih sayang?
Katanya kita sama, dari air yang sama
Tapi, kebersamaan begitu jauh di antara kita
Menetak mimpi-mimpi indah yang memaut rindu
Lalu, retas tak bersatu
Bengkalis, Bilik puisi, 31 Mei 2009
Kita 2
Kita lahir dari kemuliaan Tuhan
bagai kebun-kebun yang memberikan makanan
pada musim-musim tertentu, hangus oleh julatan api
Haruskah mengadu pada Tuhan?
Julatan api itu akan terus menjilat
bagai lidah-lidah setan dari kerak-kerak neraka
Akankah kita menjerit?
Kita lahir dari kemaslahatan Tuhan
untuk kemanusiaan dan ke-Tuhanan
mengukir adab, mengikis biadab
akankah lahir kembali kemuliaan tanpa sebab?
Mari kita timbus api dalam diri
dengan tanah-tanah, diri kita sendiri
Bengkalis, 9 Maret 2010
Segumpal Tanah
Segumpal tanah di tangan-Mu
Menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara
Menjadi hati dan buih-buih lautan
Juga daun-daun kering berguguran
Di hamparan bumi luas membentang
Rerumputan hijau, sejuk di telapak hati
Alirkan air ke nadi-nadi kehidupan, kebijaksanaan
dari tanah-tanah yang merekah di musim kemarau
Langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu
adalah dari segumpal tanah dari tangan-Mu
menjadi putih, menjadi hitam
Lalu, kembali dalam kekosongan
Diam
Bengkalis, 17 Februari 2010
Lohong
Melaka bagai puaka memandang dari seberang petang
Hempasan gelombang telah merangkai sunyi
di sepanjang rekahan bibirmu
Padahal, batu-batu waktu begitu lama membebani birahimu
Lohong, kau tak sombong, apalagi pembohong
Pucuk-pucuk pinus menebar senyum pada punggung putihmu
bak kejujuran hamparan pasir yang melepak itu
tapi, ancaman keserakahan orang-orang kota
menebar senyum yang sulit diterka di celah-celah daun bakau yang rebah
Di depanmu, Melaka seumpama hantu
Menyeringai bersama ombak dan angin musim Utara
Tetapi, kau tak pernah tahu khianat kekasihmu
Telah menoreh luka dan ditadah dalam kawah cinta
Pedih. Tak sebanding kesucianmu
Sedih. Tak sebanding beningmu
Sisih.
Aku merinduimu di sepanjang musim
Di salah satu kamar hotel, Duri, 18 Mei 2010
Anakku Bertanya tentang Allah
Yah,
‘’Siapakah Allah?’’
‘’Allah bukanlah siapa-siapa.’’
Yah,
‘’Di manakah Allah?’’
‘’Dia bersemayam di hati kita.’’
Yah,
‘’Allah yang menciptakan semua ini?’’
‘’Wajib kita yakini!’’
Yah,
‘’Allah itu besar?’’
‘’Tak ada tandingan kuasa-Nya.’’
Yah,
‘’Mana yang lebih kuat: Allah atau Power Rangers?’’
‘’Tak ada tandingan kuasa-Nya.’’
‘’Allah adalah Tuhan sejati, Anakku!’’
‘’Selain itu, cuma berhala.’’
‘’Pikirkanlah!’’
Bilik puisi surga, Bengkalis, 30 Oktober 2007
Musa Ismail
Adalah guru SMAN 3 Bengkalis dan sedang belajar di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Riau.
Kabungka, Buton
berbungkah-bungkah aspal ditambang
digiling, dihaluskan jadi tambah hitam
menghampar di pelabuhan dan jalan-jalan
tapi tidak membawa siapa pun pergi
karena pelabuhan bukan lagi pintu
bagi onggokkan nasib burukmu menghambur
dan jalan-jalan buntu, berantakkan
tanpa batu dan aspal
ironi yang membenam harapan
kembali ke perut bumi
kusaksikan matahari terbit dan terbenam
di sini. tanpa alasan pasti, anak-anak kabungka
terus melintasi lumpur dan semak-semak berduri
memasuki sekolah yang tak pernah
memasuki hidup mereka
mau jadi apa, kau bertanya
seorang anak menyeringai
menggigit pahit-asam
jambu mete yang berguguran
bagai mengunyah buah derita
berabad-abad kekal di tanah kelahiran
percik getahnya beserta ingus yang meleleh
membuat bintik hitam di baju sekolah
jadi tambah kusam serupa peta jalur tambang
di sepanjang badan masa depan
orang-orang kabungka
aku pun menambangnya
diam-diam, dengan tinta hitam air mata.
/Buton, 2009 -Yogyakarta, 2010
Dormitori
kami pergi dan pulang
saat pagi dan petang
belum sempurna
mencipta dan menghapus
bayang-bayang
kami pergi memasang sepatu
mengancing seragam
dan berlalu dari pintu
sampai ketemu malam
sampai kami pulang serupa bulan
lelah dan lamban
melewati petak-petak kamar
dan ketika sadar diintip bintang-bintang
kami bergegas malu memasuki pintu
mencopot sepatu
menggantung seragam
lalu telentang di ranjang karat
menatap langit-langit
yang dihuni kawan-kawan senasib
kamar demi kamar, bertingkat
seperti ranjang besi kami
kelak akan menyentuh langit tinggi
di sini kami hidup berbagi
ruang dan tempat tidur
(jam-jam lembur, jam-jam dengkur)
tiap udara yang kami hirup
adalah udara yang sama
dari bau bacin + asin keringat + sepotong lagu,
“bagimu pabrik kami mengabdi
padamu dormitori kami mengadu!”
ya, dormitori dunia kami
dunia dari dunia yang dicipta kembali
di bawah perputaran lamban
bulan, bintang dan matahari.
/Batam, 2008-Yogya, 2009
Dormitori: mess buruh pabrik.
Raudal Tanjung Banua,
Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Kini redaktur rumahlebah ruangpuisi dan ketua redaksi Jurnal Cerpen Indonesia. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka, 2005) memperoleh Anugerah MASTERA di Kualalumpur. Buku puisinya yang akan terbit dalam waktu dekat, Api Bawah Tanah.
berbungkah-bungkah aspal ditambang
digiling, dihaluskan jadi tambah hitam
menghampar di pelabuhan dan jalan-jalan
tapi tidak membawa siapa pun pergi
karena pelabuhan bukan lagi pintu
bagi onggokkan nasib burukmu menghambur
dan jalan-jalan buntu, berantakkan
tanpa batu dan aspal
ironi yang membenam harapan
kembali ke perut bumi
kusaksikan matahari terbit dan terbenam
di sini. tanpa alasan pasti, anak-anak kabungka
terus melintasi lumpur dan semak-semak berduri
memasuki sekolah yang tak pernah
memasuki hidup mereka
mau jadi apa, kau bertanya
seorang anak menyeringai
menggigit pahit-asam
jambu mete yang berguguran
bagai mengunyah buah derita
berabad-abad kekal di tanah kelahiran
percik getahnya beserta ingus yang meleleh
membuat bintik hitam di baju sekolah
jadi tambah kusam serupa peta jalur tambang
di sepanjang badan masa depan
orang-orang kabungka
aku pun menambangnya
diam-diam, dengan tinta hitam air mata.
/Buton, 2009 -Yogyakarta, 2010
Dormitori
kami pergi dan pulang
saat pagi dan petang
belum sempurna
mencipta dan menghapus
bayang-bayang
kami pergi memasang sepatu
mengancing seragam
dan berlalu dari pintu
sampai ketemu malam
sampai kami pulang serupa bulan
lelah dan lamban
melewati petak-petak kamar
dan ketika sadar diintip bintang-bintang
kami bergegas malu memasuki pintu
mencopot sepatu
menggantung seragam
lalu telentang di ranjang karat
menatap langit-langit
yang dihuni kawan-kawan senasib
kamar demi kamar, bertingkat
seperti ranjang besi kami
kelak akan menyentuh langit tinggi
di sini kami hidup berbagi
ruang dan tempat tidur
(jam-jam lembur, jam-jam dengkur)
tiap udara yang kami hirup
adalah udara yang sama
dari bau bacin + asin keringat + sepotong lagu,
“bagimu pabrik kami mengabdi
padamu dormitori kami mengadu!”
ya, dormitori dunia kami
dunia dari dunia yang dicipta kembali
di bawah perputaran lamban
bulan, bintang dan matahari.
/Batam, 2008-Yogya, 2009
Dormitori: mess buruh pabrik.
Raudal Tanjung Banua,
Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Kini redaktur rumahlebah ruangpuisi dan ketua redaksi Jurnal Cerpen Indonesia. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka, 2005) memperoleh Anugerah MASTERA di Kualalumpur. Buku puisinya yang akan terbit dalam waktu dekat, Api Bawah Tanah.
batu-batu cadas
yang tak kutahu dari mana asalnya
begitu saja menyusun lupaku tahun bertahun
pada janji seketul di mulut tembakul
semampai sentul di tebing aliang
pada pohon-pohon bakau yang risau
pada air membayang gamang
menggenangi harapan yang merantau
tergulung jaring pengerih sebagai perih
pepai dan jerait terus merintih
tertinggal tobir sepanjang arus
ingin aku berbaring di lumpur sesai
saat angin meniadakan dingin
jejak pada sejuk kembali ke teluk
mataku terpejam pada awan
dirahab hutan berlapis-lapis
terlihat kelabu oleh jarak yang tertangguh
tanganku terkepang di tanjung kongkung
meremas setiap gelisah dengan gelombang
kusimak desir alun mendodoikan sunyi
jauh dari dermaga yang memberi
nyaris seperti garis cakrawala
mengubah tanda jadi maya
aku hafal lelah nelayan
dikayuh dayung tidak berjeda
sampan akan memunggah geram
ketika musim utara mengirimkan seranah
kepada badai mendahulukan datang
tiba dari sampai yang lain
haluan dan buritan membagi waktu
tertambat olah nasib yang asin
di sungai melibur membelat laba
lalu busut-busut menggundukkan tunduk
menggantung hiba di buah sempaya
menanam haru di pohon sagu
batu-batu cadas yang tak kutahu dari mana asalnya
tak kan sanggup menahan pasang-surut kisah
manakala kraken pun menjulurkan tantakel
memberi lalu pada the flying dutchman
tempat ramhout van dam mengajukan singgah
setelah tujuh samudera menjadi hantu jembalang
terlelap dalam 1001 malam bersama simbad
segera dibasuh nuh dengan kesucian wahyu
apalagi lancang kuning dan segenap ancak
berkecipak sorak kota berjalan
sebagaimana diriku senantiasa ingin berlabuh
bukan lelah terkembang bersama layar
tapi karena masa lalu tak sekedar kenangan
melainkan riak yang memercikkan nyawa
batu-batu cadas yang tak kutahu dari mana asalnya
percayalah bahwa aku bukan anak dagang
tapi aku memang sedang bingung
ke mana jangkar hendak kulempar malam ini
Taufik Ikram Jamil,
lahir 19 September 1963 di Telukbelitung. Menulis prosa dan puisi. Buku sajaknya tersebab haku melayu (1985) dan tersebab aku melayu (2010), kini sedang mempersiapkan buku sajak tersebab daku melayu. Buku tersebab aku melayu, masuk dalam lima besar Anugerah Sagang dan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010. Majalah Tempo menilai buku tersebut merupakan buku penting untuk kategori aktivitas sastra di tanah air tahun 2010.
begitu saja menyusun lupaku tahun bertahun
pada janji seketul di mulut tembakul
semampai sentul di tebing aliang
pada pohon-pohon bakau yang risau
pada air membayang gamang
menggenangi harapan yang merantau
tergulung jaring pengerih sebagai perih
pepai dan jerait terus merintih
tertinggal tobir sepanjang arus
ingin aku berbaring di lumpur sesai
saat angin meniadakan dingin
jejak pada sejuk kembali ke teluk
mataku terpejam pada awan
dirahab hutan berlapis-lapis
terlihat kelabu oleh jarak yang tertangguh
tanganku terkepang di tanjung kongkung
meremas setiap gelisah dengan gelombang
kusimak desir alun mendodoikan sunyi
jauh dari dermaga yang memberi
nyaris seperti garis cakrawala
mengubah tanda jadi maya
aku hafal lelah nelayan
dikayuh dayung tidak berjeda
sampan akan memunggah geram
ketika musim utara mengirimkan seranah
kepada badai mendahulukan datang
tiba dari sampai yang lain
haluan dan buritan membagi waktu
tertambat olah nasib yang asin
di sungai melibur membelat laba
lalu busut-busut menggundukkan tunduk
menggantung hiba di buah sempaya
menanam haru di pohon sagu
batu-batu cadas yang tak kutahu dari mana asalnya
tak kan sanggup menahan pasang-surut kisah
manakala kraken pun menjulurkan tantakel
memberi lalu pada the flying dutchman
tempat ramhout van dam mengajukan singgah
setelah tujuh samudera menjadi hantu jembalang
terlelap dalam 1001 malam bersama simbad
segera dibasuh nuh dengan kesucian wahyu
apalagi lancang kuning dan segenap ancak
berkecipak sorak kota berjalan
sebagaimana diriku senantiasa ingin berlabuh
bukan lelah terkembang bersama layar
tapi karena masa lalu tak sekedar kenangan
melainkan riak yang memercikkan nyawa
batu-batu cadas yang tak kutahu dari mana asalnya
percayalah bahwa aku bukan anak dagang
tapi aku memang sedang bingung
ke mana jangkar hendak kulempar malam ini
Taufik Ikram Jamil,
lahir 19 September 1963 di Telukbelitung. Menulis prosa dan puisi. Buku sajaknya tersebab haku melayu (1985) dan tersebab aku melayu (2010), kini sedang mempersiapkan buku sajak tersebab daku melayu. Buku tersebab aku melayu, masuk dalam lima besar Anugerah Sagang dan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010. Majalah Tempo menilai buku tersebut merupakan buku penting untuk kategori aktivitas sastra di tanah air tahun 2010.
SAJAK HARI SABTU
MALAM
Mereka memberiku makna,
lebih dari yang mereka berikan
padamu. lalu bercanda,
saling mencurahkan isi hati, tertawa
saling mengiyakan.
mereka saling melemparkan puisi,
memaksa bunga-bunga bermekaran,
dan membuat rembulan enggan
bersembunyi di sebalik awan.
Mereka berpandangan begitu lekat,
jiwa bergenggaman begitu erat
ketika waktu meloncat cepat,
aku bilang tolong perlambat
dan mereka terus tertawa
hingga malam menurunkan kabutnya
juga dingin yang paling gigil tiba
di belulang
Mereka memberiku makna,
lebih dari yang mereka berikan
kepadamu. tak ada pertengkaran,
hanya tawa, dan sesekali
bicara yang seluruhnya puisi.
Sipirok, ix-2011
TIDAK ADA HARI TERLALU
KEPAGIAN UNTUK BAHAGIA
Tidak ada hari yang terlalu kepagian
untuk bahagia. tidak ada hari yang jadi sia-sia
mereka, yang selalu termenung dan yang selalu
menyalakan kemarahan; mereka
yang selalu menguntai kesedihan dan yang selalu
menyisir rambut kekelaman
tertawalah bersamaku. sambil merenguk bahagia
dari cawan waktu.
Masa lalu melangkah pergi membawa kesedihan
dan tak menoleh lagi. masa depan menjelma fajar
dengan bertangkai-tangkai cahaya
dan untaian embun yang berkerjaban
mereka mengalungkannya di leher
seperti mutiara
Tidak ada hari yang terlambat
untuk bahagia. aku menyongsong fajar
dan menaburkan butiran cahayanya
pada bingkai waktuku; melupakan kesedihan
panjang dan mendatangimu.
Sipirok, ix-2011
LIDAH
Aku berseberangan dengan lidahku
kata-kata tumbuh menjadi hutan belantara
tak ada cahaya. tak kutemukan pohon-pohon
mengenakan ranting-rantingnya
tak ada daun-daun hijau. hanya duri-duri
yang seolah terus diasah dan mengilap
Aku berseberangan dengan lidahku
karena telingaku tak terbiasa menampung malam
karena kelam itu membuat langit tertutup
dan nyala matahari tak berkilauan.
aku menebangi kata-kataku agar tak tumbuh
merambat sebagai pagar.
Sipirok, ix-2011
BUDI HATEES
Lahir di Sipirok, 3 Juni 1972. Menulis sajak, esai, cerpen, dan melakukan penelitian antropologi dan komunikasi. Karyanya dipublikasikan di berbagai media cetak dan jurnal ilmiah nasional dan internasional. Karya-karyanya diterbitkan dalam lebih 25 judul buku. Pernah tinggal lama di Lampung dan bekerja sebagai wartawan. Sejak 2011, memutuskan kembali ke kampung halaman di Sipirok, sambil bertani.
Mereka memberiku makna,
lebih dari yang mereka berikan
padamu. lalu bercanda,
saling mencurahkan isi hati, tertawa
saling mengiyakan.
mereka saling melemparkan puisi,
memaksa bunga-bunga bermekaran,
dan membuat rembulan enggan
bersembunyi di sebalik awan.
Mereka berpandangan begitu lekat,
jiwa bergenggaman begitu erat
ketika waktu meloncat cepat,
aku bilang tolong perlambat
dan mereka terus tertawa
hingga malam menurunkan kabutnya
juga dingin yang paling gigil tiba
di belulang
Mereka memberiku makna,
lebih dari yang mereka berikan
kepadamu. tak ada pertengkaran,
hanya tawa, dan sesekali
bicara yang seluruhnya puisi.
Sipirok, ix-2011
TIDAK ADA HARI TERLALU
KEPAGIAN UNTUK BAHAGIA
Tidak ada hari yang terlalu kepagian
untuk bahagia. tidak ada hari yang jadi sia-sia
mereka, yang selalu termenung dan yang selalu
menyalakan kemarahan; mereka
yang selalu menguntai kesedihan dan yang selalu
menyisir rambut kekelaman
tertawalah bersamaku. sambil merenguk bahagia
dari cawan waktu.
Masa lalu melangkah pergi membawa kesedihan
dan tak menoleh lagi. masa depan menjelma fajar
dengan bertangkai-tangkai cahaya
dan untaian embun yang berkerjaban
mereka mengalungkannya di leher
seperti mutiara
Tidak ada hari yang terlambat
untuk bahagia. aku menyongsong fajar
dan menaburkan butiran cahayanya
pada bingkai waktuku; melupakan kesedihan
panjang dan mendatangimu.
Sipirok, ix-2011
LIDAH
Aku berseberangan dengan lidahku
kata-kata tumbuh menjadi hutan belantara
tak ada cahaya. tak kutemukan pohon-pohon
mengenakan ranting-rantingnya
tak ada daun-daun hijau. hanya duri-duri
yang seolah terus diasah dan mengilap
Aku berseberangan dengan lidahku
karena telingaku tak terbiasa menampung malam
karena kelam itu membuat langit tertutup
dan nyala matahari tak berkilauan.
aku menebangi kata-kataku agar tak tumbuh
merambat sebagai pagar.
Sipirok, ix-2011
BUDI HATEES
Lahir di Sipirok, 3 Juni 1972. Menulis sajak, esai, cerpen, dan melakukan penelitian antropologi dan komunikasi. Karyanya dipublikasikan di berbagai media cetak dan jurnal ilmiah nasional dan internasional. Karya-karyanya diterbitkan dalam lebih 25 judul buku. Pernah tinggal lama di Lampung dan bekerja sebagai wartawan. Sejak 2011, memutuskan kembali ke kampung halaman di Sipirok, sambil bertani.
No comments:
Post a Comment