Parompa Sadun Kiriman Ibu
Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya. Rasa
itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat
dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak,
dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak.
Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata.
Semestinya Lamrina layak bersuka-cita. Bukankah hari ini telah
dilangsungkan acara manjagit parompa,
juga penabalan nama anaknya yang pertama? Memang sepanjang siang sampai petang
menjelang, di bibirnya berpucuk senyum mengembang. Sesekali ia betulkan posisi
tidur Uli yang baru berusia duapuluh delapan hari. Pada kesempatan lain ia
sibuk membujuk bayinya yang mengoak. Tapi
pulas lagi usai bergelayut di lemak dada Lamrina.
Acara berlangsung meriah dan hikmat. Dengan senang hati ia sambut kerabat
dan tetangga dekat. Para tamu silih berganti datang dan pulang. Mereka
menyampaikan kata selamat, mengayunkan salam, memberi pelukan, dan berebut
mencium pipi si buah hati. Di antara mereka ada yang meninggalkan bingkisan di
sisi Uli. Sebagian lagi menyelipkan amplop berisi uang ke tangan Lamrina.
Namun ada alasan mengapa diam-diam Lamrina tak mampu menahan sesak yang
berombak di dadanya. Seperti kini, ketika keramaian berganti lengang. Ketika
denting piring-sendok hening, ia pun selalu gagal memenggal serbuan peristiwa
yang hinggap di kepala. Peristiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail
air mata dari sepasang danau keruh di lereng dahinya. Ia pun bersekutu dengan
tangis!
Pun ketika ia melipat parompa sadun kiriman ibu, buah air yang bening itu
meleleh lagi. Berderai di pipi yang pasi. Sungguh Lamrina tak ingin
meriakkan air muka kesedihan. Tapi selekas apapun ia menyeka linangan di
pipinya, lebih lekas lagi air mata mencipta telaga. Lalu bergulir membasahi
parompa sadun di pangkuannya. Jemarinya memintali rumbai parompa yang menjulur.
Tapi tentu itu tak membantu meniup debu keperihan dari mata hatinya.
Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip
ulos Batak Toba)! Inilah sumber sebab yang membikin Lamrina dua bulan ini
gelisah. Perasaannya bagai kapal pecah, kacau belah. Tak tentu antara gembira,
bersalah, atau durhaka pada ibu, dan entahlah! Kalau tidak silap,
usia kandungan Lamrina delapan bulan saat paket berisi salendang adat itu
datang.
Hmm, ia menarik napas, berat. Udara ibarat berserat. Ia pandangi parompa
sadun yang batal dimasukkan ke lemari. Bahkan perlahan ia buka lagi lipatannya,
dan dihamparkan di atas springbed.
Seketika Lamrina terkenang kampung halamannya, Sabatolang, daerah
Sipirok-Tapsel. Ia pun terkenang pula dengan riuh suka-cita acara manjagit parompa, acara adat Angkola
menyambut kelahiran anak sulung. Pada acara itu diserahkanlah parompa oleh
ompung—nenek dari pihak perempuan/ibu—kepada cucunya. Jika penyerahannya secara
adat, seekor kambing syarat yang penting. Pemuka adat juga musti hadir. Tapi
jika hanya acara sederhana, cukup menyembelih ayam. Sedang undangan terdiri
dari kerabat dan tetangga.
Do-li Ha-si-an! Lamrina mengeja nama lengkap Uli. Itulah dua kata yang
tertera di atas parompa. Tulisan selebar tiga ruas jari telunjuk, melintang di
salah satu sisi parompa. Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magodang (Sehat dan lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu
dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan
merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan
oranye. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia
menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrina pernah mendapat abit
godang.
Tapi alah, mengenang abit godang bagi Lamrina seperti sedang merayakan
upacara kepedihan yang lain di lumbung ingatannya. Ia berupaya menghalau
kenangan tentang abit godang, tapi tak kuasa. Kain adat itu seperti melambai
dari lemari, lantas terbang, dan rebah saja di samping parompa. Persis ia
seperti parompa, hanya saja ukuran abit godang sedikit lebih besar. Pada sisi
lebar yang satu, tertera nama lengkapnya, Lamrina Mintaito. Di sisi seberang
ada nama Hadi Rusnandar. Lalu di bagian tengah ada petuah adat: Ulos ni Tondi dohot Badan/Gabe ma Hita Sude
na Mamake (Selimut untuk semangat dan Badan/Kesenangan yang Hebatlah bagi Kita
yang Memakai).
Tapi pada simpang-siur lamunan Lamrina, abit godang acap memaksanya berperam mata sambil menikami kelebat sesal.
Abit godang seperti sebuah teko berkarat yang mengguyurkan kopi pahit ke gelas
hatinya. Sungguh, tidak mudah mendapat abit godang sebagai simbol restu
orangtua atas pernikahan anaknya. Tidak mudah merajut kedua nama mereka di atas abit
godang.
Begini, setahun lalu Lamrina disarankan ibunya pergi ke Jakarta. Ya, untuk
menggapai peruntungan yang lebih baik, begitulah. Maklum, ibu Lamrina lumayan
berumur. Badan dan semangatnya sudah menyusut. Jalannya saja beringsut karena sudah
lama mengidap rematik akut. Ibu Lamrina tak lagi menggarap sawah peninggalan
ayah. Sudah lama itu disewa famili dengan harga murah. Beliau hanya
berladang-ladang di belakang rumah.
Lamrina pun berangkat ke ibukota. Di sana ia menumpang di rumah
amangtua—saudara ayah Lamrina yang tertua. Tapi belum sempat bekerja, Lamrina
malah punya kenalan bernama Hadi Rusnandar, yang kemudian berniat melamarnya.
Nah, ini pangkal persoalannya. Angan-angan ibunya agar Lamrina bekerja
kemungkinan besar pupus. Lalu yang lebih prinsip, ibu Lamrina tak ingin jika
Masniari, kakak tertua Lamrina dilangkahi. Kakak Lamrina itu tinggal di kampung
bersama ibu, dan belum menikah.
Keberatan ibunya dapat diterima akal, dan Lamrina paham perasaan ibunya. Ia
yakin, ketidaksetujuan ibu bukan karena Mas Hadi berasal dari keluarga Jawa.
Ibunya bukan orang tua yang kolot soal jodoh. “Pokoknya seagama,” begitu pesan
ibunya. Namun pemakluman Lamrina atas keberatan itu akhirnya kalah oleh desakan
Mas Hadi. Apalagi secara tersirat, amangtua mendukung keputusan Lamrina.
Amangtua pula yang berhasil menekuk hati ibu. Maka setelah tarik ulur yang
melelahkan, akhirnya lamaran diterima. Pesta adat pun digelar dengan meriah di
Jakarta. Dan ibu Lamrina turut menyaksikan.
Demikian pun, tidak sepenuhnya Lamrina berbaring di ranjang ketenangan.
Setiap bertelepon ke kampung, ibunya sering mengeluhkan nasib kak Masniari yang
belum juga ketemu jodoh. Tak jarang pula ibunya mengait-ngaitkan dengan
pernikahannya. Pernikahan yang dianggap sebagai penghalang jodoh kakaknya.
Ampun, ia layaknya sedang memangku dosa sebesar bulan.
Begitulah, mengenang abit godang senantiasa membuat Lamrina tak pernah
tenang. Maka sejak menikah abit godang tersebut dibenamkan Lamrina jauh ke
palung lemari. Tapi abit godang sudah tersimpan, parompa sadun pula yang sampai
di tangan. Bagi Lamrina, itu kiriman yang tidak lazim. Mengapa? Karena parompa
sadun semestinya diberikan jika anak sudah lahir. Lalu, mengapa di atas abit
godang sudah tersulam nama: Doli Hasian? Bukankah nama itu berarti: Anak
Laki-laki Kesayangan? Padahal hasil USG mengisyaratkan rahim Lamrina sedang
mengasuh janin perempuan.
Hari itu juga ia menginterlokal tulang Dahler—adik bungsu ibunya. Seperti
biasa, Lamrina berpesan jika Kamis lusa ia kepingin bicara sama ibunya. Tulang
Dahler tinggal di pasar Sipirok, punya ruko buat usaha Sambal Taruma, keripik pedas khas Sipirok. Setiap Kamis ada pekan
besar di Sipirok, dan ibu Lamrina selalu pergi ke sana. Entah hendak menjual
hasil ladang, atau belanja untuk keperluan seminggu. Kalau pun tidak, ibunya
berangkat ke Sipirok sekadar singgah di ruko tulang. Dan sebelum magrib sudah
pulang ke Sabatolang.
Tapi harapan Lamrina agar perasaannya damai tak tercapai. Malah di dadanya
gelombang rusuh terus bertabuh. Demi Allah, Lamrina sudah hati-hati betul
menyampaikan keganjalan hatinya soal parompa itu. Tapi apa? Ibunya tersinggung!
“Tak senang-nya kau menerima parompa itu?” Suara ibu Lamrina sedikit tinggi
dari percakapan sebelumnya. Pertanyaan itu seperti gelegar halilintar. Jantung
Lamrina berdebar, “Iya, Lamrina. Tak senang-nya kau…”
“Senang-nya aku, bu…” potong Lamrina.
“Kau kirimkan lagilah parompa itu ke kampung.” Kini suara ibunya menjurus
ketus, “Atau yang tak senang-nya kau kalau cucuku laki-laki, iya?” Pertanyaan
ibunya menyeret Lamrina ke pojok serba salah. Napas ibunya yang pendek-pendek
dan bercampur isak terdengar di ujung telepon. Lalu berakhir dengan suara:
tuut-tuut-tuut!
Aduh, Lamrina merasa terlibat mematahkan semangat ibunya mendapat cucu
laki-laki. Ia tahu betul mengapa ibunya sekilat itu menyemburkan api amarah.
Dulu ibunya, juga almarhum ayahnya, kepingin kali anak pertama mereka
laki-laki. Tapi anak perempuan yang lahir, dan diberi nama Masniari. Keinginan
yang sama dibebankan kepada kandungan yang kedua. Tapi lagi-lagi yang lahir
perempuan. Nama Doli Hasian yang lama dipersiapkan terpaksa berganti dengan
nama Lamrina Mintaito. Mintaito merupakan doa yang artinya: Memohon Saudara
Laki-laki. Besar harapan ayah-ibu Lamrina, anak ketiga yang lahir semoga
laki-laki sebagai penerus marga.
Tapi harapan itu pun padam bagai bangkai bara yang hitam. Belum pandai
Lamrina berjalan, ayahnya meninggal muda karena kecelakaan. Lalu ibunya tak
punya niat untuk menikah lagi. “Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena
kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, ibu tak akan menikah
lagi. Sekalipun ibu masih muda.”
Tentulah ibunya tidak akan memiliki anak lagi. Maka berpindahlah
harapan besar itu ke perut Lamrina. Harapan memiliki cucu laki-laki, juga
harapan untuk memakaikan nama Doli Hasian. Nama yang dulu akan diberikan kepada
Lamrina, seandainya ia laki-laki. Tapi kini harapan itu nyaris terkubur, karena
hasil analisa dokter, anak yang dikandung Lamrina adalah perempuan. Iya,
perkiraan itu masih bisa meleset. Namun ibunya terlanjur tersinggung. Buktinya,
sudah berapa kali Kamis Lamrina bertelepon ke ruko tulang Dahler. Tapi yang
terdengar dari seberang bukan suara ibu, melainkan jawaban tulang Dahler: “Tak
ada Ibumu kemari. Kudengar-dengar dia kurang sehat.”
Berhari-hari panas dingin tubuh Lamrina dibuatnya. Puncaknya, empat hari
menjelang melahirkan, ia mendapat berita yang membuat tubuhnya lunglai, seperti
baju yang teronggok di lantai. “I…bumu
me…ninggal tadi ma…lam, kira-kira pukul sebelas…” Suara parau tulang Dahler
yang berkabar singkat lewat telepon menjelang subuh.
Maka meletuslah tangis Lamrina. Ingin rasanya ia berangkat ke kampung subuh
itu juga. Menyungkurkan kepala ke jenazah ibu demi mempersembahkan permohonan maaf.
Tapi itu jauh dari mustahil, karena kehamilannya sudah tiba di penghujung
waktu. Kalau bukan karena memikirkan anak yang di dalam perutnya, sudah tentu
ia terus meraung. Menenggelamkan diri di lautan murung. Untung ia punya suami
yang sabar.
Memang hanya kesabaran yang dibutuhkan suaminya. Termasuk untuk membujuk
Lamrina agar tidak bersedih menerima kelahiran anak perempuan mereka. Bahkan
Mas Hadi dengan lapang dada tetap
memberi nama Doli Hasian kepada anak perempuan mereka. Hanya disepakatilah nama panggilannya, Uli. Mas
Hadi juga menganjurkan agar acara manjagit
parompa tetap dilaksanakan dengan sederhana. “Demi menghormati arwah ibu,”
kata suaminya. Tapi Lamrina masih saja hanyut oleh anggapannya sendiri: “Aku
gagal menebus kesalahan. Mengapa anakku tidak laki-laki seperti keinginan ibu?”
Ah, bagi Lamrina tidak mudah meredam hati yang resah. Tidak gampang
menimbang perasaan yang bimbang. Butuh waktu lama meneguh semangat yang rapuh.
Entahlah, setiap kali mengajak Uli bercanda, atau setiap kali memanggil nama
anaknya, “Uli, Uli, anak sayang,” serta-merta Lamrina seperti berbisik, “Ibu,
Ibu, nasibmu, o, betapa malang!” Lantas ia pun akan kehabisan kekuatan
membendung kabut basah yang mengapung di matanya. Bahkan matanya yang bersorot
menerawang itu seperti dua tadah penuh kuah. Lalu tumpah menggarami luka
hatinya yang menganga-merekah.
“Ibu, Ibu, maafkan Lamrina…!”
Medan, 2006
Dimuat di Andalas, MINGGU, 16 Maret 2008
CERPEN
Pasar
Jongjong
OLEH HASAN AL BANNA
Kabut menelungkup! Derik jangkrik mendaki kegelapan, juga menuang
kelengangan. Sepasang mata Ompung Luat begitu awas menuntun kakinya menyusur
jalan setapak, lembab dan berbatu. Angin tak bertiup, tapi liuk dingin menyusup
juga ke tandas tulang. Ou, lelaki 76 tahun itu mendapatkan dirinya jauh lebih
rerak dari usianya. Ia usap wajahnya yang berpipi cekung, seperti meraba
lengkung lesung yang dangkal dan lapuk. Sambil menghalau batuk yang menggedor
dada, Ompung Luat meraih sarung yang melingkar di leher, lalu diselubungkan ke
tubuhnya yang geletar.
Dingin masih menunggang malam. Di sela jari Ompung Luat, tembakau bakkal dibalut daun biobio tersisa duapertiga. Tapi ia jentikkan begitu saja linting
rokok kegemarannya itu ke sebalik belukar. Sebab, selain tak membekaskan rasa
hangat, sudah berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam.
Bahkan loting Ompung Luat—geretan
sumbu berminyak lampu—tak mampu lagi memercik. Dan iya, memantik sepetik api ke pucuk rokoknya serupa hasrat yang berkarat.
Entah apa yang bersikeruh di lubuk kepala Ompung Luat. Usai isya tadi, ia,
Amang Salohot, dan Marapande pergi ke rumah kepala kampung, Jabinore. Mereka
menebar jala upaya untuk kesekian kalinya. Mana tahu Jabinore mau menukar arah
pikiran: batal menjual kebunnya di belakang madrasah! Dan mungkin jadi,
segalanya menjadi lain. Meski segenggam harapan itu akhirnya hangus menjadi
legam angan. Harapan rontok, berserak, umpama daun-daun kerontang kehilangan
pokok.
“Maaf, tak ada lagi wewenangku mengubah kesepakatan tempo hari.” Kalimat
itulah yang dilontarkan Jabinore dengan mimik yang kemarau. Berarti ia angkat
tangan! Maka Ompung Luat, Amang Salohot, dan Marapande pun bergegas menyurut
langkah. Dan selama perjalanan menjemput jejak pertama, hanya ruap rokok dan sengap
napas isi percakapan mereka. Ketiganya menitip suara ke perut gulita. Pun
ketika berpisah di sebuah jalan bercabang, tak hendak mereka menagih kata-kata.
Hanya angguk belaka tanda melepas simpul sua.
Kesepakatan soal keberadaan pasar jongjong memang sudah seminggu yang lalu
tercapai. Lantas, ya, tinggal menunggu waktu, sesegera mungkin ditunaikanlah
kesepakatan itu. Tetapi ada saja riak kenangan yang menghentak benak Ompung
Luat. Riak yang kemudian berpusar deras, lalu mengombakkan sebuah tekad:
kelangsungan pasar jongjong! Meski jika berhadap-hadap dengan mata hukum,
gelung ombak tersebut terpental susut.
Pasar jongjong, sebuah pasar kecil di pekarangan madrasah. Madrasah,
bangunan kayu berpekarangan tidak lebih dari sebidang lapangan voli. Memiliki
empat lokal belajar. Satu ruangan besar sebenarnya, tapi disekat dengan
beberapa papan tulis berkaki sehingga mencipta beberapa lokal. Di belakang
madrasah melintas parit berair jernih. Dua bangkai pohon kelapa sepanjang dua
meter menjadi penghubung terjal antara madrasah dengan kebun pisang milik
Jabinore.
Di madrasah tersebut, para murid setingkat SD belajar mengaji dan ilmu
agama, dituntun guru-guru belia tamatan pesantren tersohor, Purba
Baru—Mandailing Natal. Pagi, madrasah diisi murid SD yang sekolahnya masuk
siang, dan begitu sebaliknya. Madrasah itu berdiri jauh sesudah pasar jongjong
berlangsung. Kalau hendak mengenal saksi hidup pasar jongjong, Ompung Luat dan
Nek Arse orangnya. Mereka berdua, serta mendiang Haji Mahot dan mendiang
Mursalim yang mula kali memulai aktivitas pasar jongjong. Segalanya berawal
dari ketaksengajaan.
Suatu pagi 28 tahun lampau, Ompung Luat memundak sekeranjang ikan sepat
tangkapannya. Sepat-sepat itu ia perangkap ketika ia dan istrinya bermalam di
sawah, menunggui bunting padi yang ranum. Pagi itu ia bermaksud pulang, sekadar
menjemput bekal untuk malam berikutnya. “Bawa saja ikan-ikan itu pulang,”
teriak istrinya sambil mengusir burung-burung yang menghinggapi pucuk-pucuk
padi, “Entah kau kasihkan sama si Rumondang, atau bagikan sajalah ke hombar balok, sama tetangga-tetangga
kita itu.” Ompung Luat menjawab dengan anggukan.
Mungkin untuk mengerat penat, ia rehat tepat di tanah kosong milik Haji
Mahot. Beberapa warga melintas, saling bertegur, lantas pergi menjinjing
tiga-empat ekor sepat. Ompung Luat menolak imbalan uang yang mereka sodorkan.
Ya, karena niat semula sepat-sepat itu untuk dibagikan, bukan dijual. Tapi
orang-orang tetap meninggalkan uang di sisi keranjang. Hampir tamat semua
sepat. Tinggal untuk Rumondang saja, putrinya yang sudah berkeluarga, tinggal
tidak jauh dari rumah mereka.
Nah, beriring masa, setiap berpapasan dengan Ompung Luat, orang-orang
kampung sering bertanya soal sepat. Maka, jika berada di sawah dan terselip
waktu luang, Ompung Luat rajin menjerat sepat. Kemudian ia menuju tanah kosong,
menunggu orang-orang memintas, lalu menyodorkan ikan. Ia tetap tak menagih
upah, tapi mereka selalu menyisipkan uang ke saku baju Ompung Luat. Kadang tak
lama berdiri di situ, berlalu pulang ia. Tapi, andai terperogok warga, Ompung
Luat memindahkan jinjingan sepat ke tangan orang-orang kampung.
Tapi pernah sekeranjang sepat bawaannya tak berkurang seeokor pun.
Rumondang dan tetangga hanya menjumput satu-dua ekor. Sisanya banyak, bermatian
pula. Ketimbang mubazir, Ompung Luat mengolahnya menjadi ikan sale. Ya, sepat-sepat itu direbus
berbumbu, lalu diasapi sedemikian rupa di atas bara sampai warnanya coklat
kehitaman. Bara jangan sampai menjulurkan lidah api. Karena ikan-ikan itu hanya
boleh ditanak oleh kepul asap. Kalau hendak dimakan, ikan sale bisa digoreng atau digulai terlebih dulu. Oi, sedap kali
rasanya itu.
Ikan sale tersebut tak tersisa
ketika Ompung Luat menggelarnya di tanah Haji Mahot, keesokan pagi. Maka, meski
tak setiap hari, Ompung Luat pun ketagihan menjaja ikan sale. Kemudian hari, Nek Arse turut menjual sayur-mayur tanamannya.
Haji Mahot si empunya tanah tak keberatan pula. Bahkan ia pun sering
menjual hasil ladangnya—kelapa dan ubi. Datanglah Mursalim, membawa telur-telur
yang ditetaskan ayam kampung piaraannya.
Ompung Luat akhirnya rutin manyale ikan
air tawar, dan menjajanya di tempat biasa. Sejak istrinya sakit-sakitan, lalu
meninggal, ia tak kerasan lagi mengurus sawahnya yang luas. Ia serahkan itu
kepada Rumondang dan menantunya. Untuk mendapatkan ikan, ia tak turun tangan
lagi menangkapnya. Kalau tak dipesankan sama menantunya, ya, ia beli dari
kampung sebelah. Belakangan, Ompung Luat juga menjual gadapang, ikan kering penyedap sambal tuktuk khas Tapsel.
Kian ramailah tanah milik Haji Mahot itu. Warga sering
menyebutnya pasar jongjong. Mengenai itu, Ompung Luat si penciptanya. “Kan
waktu itu, cuma sebentar-nya aku berdiri di situ, eh datang orang menawar
ikanku. Ya, jadi kubilanglah pasar berdiri, pasar jongjong!” Begitu kisah
Ompung Luat mengenang kegelian peristiwa tempo hari. Warga pun senang dengan
pasar jongjong. Maklum, pasar kecamatan berjarak tiga kilometer dari kampung
itu. Jauh kali rasanya kalau hanya untuk membeli sayuran atau rencah gulai.
Pasar jongjong berlangsung setiap pagi. Lepas subuh, dan berakhir sebelum
oleng matahari menebas batas lohor. Sebelas tahun berlalu, berdirilah madrasah.
Itu atas prakarsa orang-orang pasar jongjong. Dana pembangunannya pun
kebanyakan berasal dari sumbangan mereka. Pengelolaan madrasah diserahkan
kepada Haji Mahot. Ia kan pemilik tanah, juga hatobangon, tetua kampung yang dihormati. Begitupun, ia dibantu
Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan materi
belajar untuk murid-murid mengaji.
Jadi, di pekarangan madrasahlah aktivitas pasar jongjong berlanjut. Sesama
mereka, tidak ada tempat permanen untuk menggelar lapak. Saling berpindah tiap
hari. Tapi mereka tak pernah bertikai. Mereka menggelar dagangan seadanya,
hanya lapak-lapak plastik pasang-buka. Tenda-tenda dipasang untuk menghalang
sengat panas, atau menghindar dari hujan. Tenda-tenda ditopang galah, dan
ditambatkan pada jejeran paku yang menancap sembarang di dinding madrasah.
Semak, tentu. Bersampah, apalagi. Tapi usai berdagang, pekarangan madrasah akan
kembali bersih.
Mmh, jika diperhatikan, kebanyakan orang-orang pasar jongjong sudah renta.
Mereka tak mampu lagi menghambur peluh di sawah-ladang. Kalaupun ada yang
berusia muda, hanya satu-dua. Itupun para wanita yang tak ikut
bertani-berladang. Pasar jongjong sungguh berarti bagi mereka. Tapi sumpah, mereka
tidak akan tersandung lapar jika pasar jongjong tak ada! Bagi mereka, pasar
jongjong tidak semata luap uang. Tengoklah, mereka punya sawah-ladang yang
lapang dan ternak yang berpinak. Keturunan mereka pun tetap setia memamahi
gembur tanah. Andai tidur-makan saja di rumah, harta mereka pun tak akan
kerontang.
Dan memanglah, bagi mereka pasar jongjong bukan soal untung rugi. Buktinya,
kalau dagangan tersisa sedikit, pantang dibawa pulang, musti dibagikan. Kadang mereka tak berjualan jika ada warga yang
tertimpa kemalangan. Bahkan hari jumat pasar jongjong kosong. “Hari raya
kecil,” kata mereka. Ah, pasar jongjong hanya semacam alasan bagi mereka untuk
tetap bersua, merajut cerita, bertukar lara, bersilang ria, bahkan menyetor
amal.
Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai pertemuan, untuk pengajian
kaum ibu, acara maulid, isra mikraj, dan rapat naposo nauli bulung (lajang-gadis kampung). Pendek kata,
orang-orang kampung turut menggunakannya untuk kepentingan beragam. Tapi
begitupun, kalau ada atap madrasah yang koyak, atau dinding melunak,
mereka—orang-orang pasar jongjong—yang biasanya lebih bersegera
memperbaikinnya. Pula tiap tahun, tepatnya setiap pergantian ajaran baru,
orang-orang pasar jongjong bergotong-royong mengecat madrasah, meski hanya dengan
cat kapur yang gampang pudar.
Terus pula, di pasar jongjong, setiap hari mereka kumpulkan uang ikhlas,
semacam iuran, begitulah. Itu digunakan untuk menggaji guru-guru madrasah.
Kepada para murid memang ditagih bayaran, namun tidak pula dipaksa. Bisa
dikatakan, lebih dari separo murid-murid tersebut belajar secara cuma-cuma.
Maka, bukankah kelangsungan madrasah tergantung orang-orang pasar jongjong?
Tapi jawaban mereka begitu lugu, “Itukan untuk anak-cucu kami juga.” Mmh, pasar
jongjong, rumah kebahagiaan yang tak terhingga bagi penghuninya.
Maka tak terbayangkan jika pasar jongjong tiba-tiba raib dari rak hari
mereka. Kenangan puluhan tahun bakal menyerpih. Lalu, matahari esok mereka bercahaya pitam. Terlebih-lebih Ompung Luat,
si penemu pasar jongjong. Semua beranjak dari kabar murah, tapi akhirnya
membikin terperangah. Bah! Katanya pihak kecamatan akan membongkar madrasah. Di
lokasi itu tetap madrasah yang akan dibangun. “Semacam madrasah
percontohan-lah”, kata Pak Camat. “Pokoknya kita bikin permanen, bertingkat,
dan tentulah lebih besar dari yang
sebelumnya,” sambung beliau. Dan akhir dari keterperangahan itu adalah
kepastian soal pasar jongjong akan dijungkal, digusur!
Orang-orang pasar jongjong bak disihir, tumpat alir pikir. Memang, mereka sempat
lega ketika Ompung Luat mengaku masih menggengam salinan surat wasiat Haji
Mahot. Isi surat bersegel itu menjelaskan bahwa tanah lokasi madrasah dan
bangunan madrasah diwakafkan untuk kemaslahatan orang kampung. Termasuk untuk
orang-orang yang berjualan di pasar jongjong. Surat inilah senjata terakhir
yang diharapkan mampu membenamkan niat Pak Camat.
Tapi surat itu tidak bermanfaat ketika beradu khasiat dengan sertifikat
tanah yang dikantongi pihak camat. Rupanya, tanpa sepengetahuan orang-orang
pasar jongjong, anak-anak Haji Mahot telah menjual tanah tersebut. Haji Mahot
memiliki tujuh anak, semuanya menetap di perantauan. Istri Haji Mahot, sudah
lebih dulu meninggal, berselang dua tahun. Beberapa hari setelah Haji Mahot
meninggal, mereka menjual seluruh harta orangtuanya untuk memudahkan pembagian
warisan. Termasuklah itu tanah madrasah dan pasar jongjong.
Keadaan kian tak menguntungkan ketika pemuka kampung yang lain ikut-ikutan
mendukung. Termasuk Jabinore yang rela menjual kebun pisangnya—di belakang
madrasah—kepada pihak kecamatan. Tanah Jabinore itu termasuk dalam rencana
pembangunan madrasah baru. “…orangtua-orangtua kami, bapak-bapak, begitu pula
ibu-ibu, alim ulama, saudara-saudara, dan tuan guru kami, ini demi nama baik
kampung dan masa depan generasi muda kita. Nian Allah membalas keikhlasan
hadirin semua…” Begitu bunyi pidato Pak Camat ketika acara penandatanganan
kesepakatan antara pihak kecamatan dengan warga berlangsung di kantor
kecamatan. Ada riuh tepuk tangan, perjamuan makan, juga uang yang—katanya—sudah
dibagi-bagikan?
Tapi lalu, orang-orang pasar jongjong memilih meraba sengak dada. Bagi
mereka, menyulam ketabahan lebih bermanfaat ketimbang meletupkan kekecewaan,
bahkan amarah. Pun mereka, sejak dulu, tidak punya watak berontak!
* *
*
Subuh beranjak. Matahari terbit sejejak. Kabut masih mengapung. Di sekitar
madrasah, ada gunungan pasir dan batu sungai. Bata tersusun setinggi dada.
Puluhan sak semen tergeletak tak beraturan, menyemak. Bahan material lain juga
sudah berjejal. Kayu-kayu tinggi-tegap menancap mengelilingi lokasi
pembangunan. Hari ini madrasah sudah mulai libur, entah sampai kapan. Tapi
orang-orang pasar jongjong masih diperkenankan berjualan untuk terakhir kali.
Ompung Luat menggelar lapak. Aroma ikan sale
dan gadapang mengail selera.
Orang-orang pasar jongjong juga menggelar jualan, seperti biasa. Apa adanya.
Tapi tak ada sapa yang menghela di antara mereka. Langit senyap. Suara-suara
gelap. O, Tuhan, mengapa pagi ini sorot mata mereka begitu hampa, mulut mereka
dikepit luka? Mereka memang menggelar dagangan. Tapi sungguh, yang tergelar
cuma kehampaan belaka.
Kehampaan yang sempurna!
Medan, 2006
Dimuat di Suara Pembaruan, MINGGU, 30 Desember 2007
Monolog Lelaki Merindukan Pulang
Oleh Hasan Al Banna
Maka aku, betapa berhasrat hendak
menggelinjangkan ikan-ikan ke pangkuanmu!
Bersebab wajahmu yang sebening pucuk jambu itu, sedikitpun tak pernah
membersitkan rasa takut atau curiga tentang kesenanganku bepergian ke mana saja
aku suka. Ai, sama sekali kau tidak pernah bertanya: Mengapa aku pergi? Hendak
ke mana pergi? Sedang apa aku dalam pergi? Berapa lama pergi? Atau adakah nanti
aku pulang setelah pergi? Kapankah pulang setelah pergi? Adakah siang hari?
Adakah pulang senja hari? Adakah malam hari? Adakah tengah malam? Adakah pulang
usai diseduh subuh? Atau bahkan aku tidak pulang sama sekali untuk waktu yang
tak pernah tertebak olehmu. Ohoi, aku sebut kau setegar batu, tapi hatimu,
sungguh sedebar salju.
“Jika kau hendak
pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu
kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan
melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa
pun.”
Maka aku, betapa berdegup hendak tersesat di belantara cintamu!
Bersebab ketika aku selalu pergi setiap pagi, kau sama sekali tak pernah
lupa menyiapkan segala sesuatu keperluanku; air hangat dan handuk untuk mandi,
pakaian yang sudah dicuci bersih dan pasti sudah disetrika rapi, kaus kaki,
serta sepatu dengan kilat yang berderai. Dan tentu menyusul suguhan sarapan;
sepiring lontong sayur, opak,
dan segelas teh hangat, juga membekaliku dengan ini dan itu. Padahal,
sama sekali aku tidak pernah menyuruh, apalagi memerintahkanmu melakukan semua
itu.
“Sudahlah, tak usah
repot kali. Biar aku saja yang menyiapkan segala sesuatunya.”
“Ah, tidak mengapa.
Sedikitpun aku tak pernah merasa repot mengerjakannya untukmu.”
“Aku sudah terbiasa
melakukan itu.”
“Iya, aku memang
belum terbiasa melakukannya. Makanya aku ingin terus membiasakan diri untuk itu.”
“Nanti kau merasa
terbebani. Jika mengerjakan segala sesuatu dengan perasaan yang terbeban itu,
tidaklah baik.”
“Beban itu, jikapun
ada adalah ibadah bagiku. Dan mengerjakan ibadah sama artinya dengan mengerjakan
suatu yang baik pula.”
“Hei…”
“Pendeknya, aku tidak pernah merasa terbebani.”
“Ya, tapi…”
“Atau kau yang merasa terbebani?”
“Tidak, hanya…”
“Ya, sudah! Berangkatlah, semoga hari ini perjalananmu menyenangkan.”
Maka aku, betapa lonjak hendak terjerat di
pelukanmu!
Bersebab sering bila aku tidak pulang, kau sangat sedia dan setia dalam
jaga dan tidur menungguku di ruang tamu. Bagimu persoalan waktu tidak terlalu
penting. Tak peduli hari adakah senja, adakah malam, adakah tengah malam, atau
sekalian subuh. Dan untuk itu kau tidak pernah merasa keberatan, tidak pernah
merasa dirugikan, tidak pernah merasa terhina, tidak pernah merasa diabaikan,
atau tidak pernah merasa disepelekan. Lantas kau tak pula pernah memendam
benci, memendam durja amarah, apalagi memendam dendam.
“Tidak perlu kau menungguiku.”
“Saat-saat yang paling kutunggu adalah saat-saat menunggumu.”
“O, aku pulang tidak tentu waktu.”
“Mhh, aku menunggumu tidak pernah menggunjingkan
waktu.”
“Ya, tapi kasihanilah dirimu. Jaga kesehatanmu.”
“Aku malah lebih kasihan terhadap diriku, jika tak mampu
menunggui dan menyambutmu. Malah aku jatuh sakit karena ketidakmampuan itu.”
“Mubazir namanya itu.
Pekerjaan sia-sia!”
“Jika kita menikmati setiap
pekerjaan itu, mubazir itu bisa jadi
adalah kebutuhan. Tidaklah sia-sia. Ketahuilah, menunggumu bagiku
adalah sebuah pekerjaan yang sangat nikmat. Penuh kejutan.”
“Kau kan tahu, aku punya duplikat kunci? Jadi aku bisa pulang dan masuk
kapan saja tanpa menyusahkanmu.”
“Selain menikmati,
kunci nikmat dari melakukan pekerjaan itu adalah ikhlas. Tentu tidak akan ada
lagi kata-kata menyusahkan.”
“Aduh…”
“Sudahlah, sedikitpun aku tidak pernah merasa susah menungguimu.”
“Iya…”
“Keberatankah kau jika aku menungguimu?”
Maka aku, betapa tersirap
hendak melabuhkan ciuman di dahimu!
Bersebab jika suatu kali aku tidak ingin dan tidak sedang
ke mana-mana, meski itu langka adanya, kau selalu menyiapkan dan menghidangkan
makan siang yang nikmat untukku; nasi hangat yang mengepul, ikan bakar yang
lemak, sambal kacang dan teri yang menyengat lidah, daun ubi tumbuk yang tanak,
tempe goreng yang gurih, segelas air putih hangat, dan irisan semangka yang
ranum. Padahal, sama sekali aku
belum selera untuk makan.
“Perutku
belum lapar.”
“Makan sebelum perut lapar itu lebih baik. Dan kalau
bisa, berhenti makan sebelum kenyang, malah lebih baik.”
“Aku
belum selera makan.”
“Terkadang selera makan itu datang setelah terlebih
dahulu mencicipi makanan yang terhidang.”
“Ya,
tapi, tapi hidangkan sajalah
apa adanya.”
“Bahkan
yang kuhidangkan ini belum ada apa-apanya.”
“Ou…”
“Ayolah makan! Nanti dingin.”
“Tapi…”
“Mensyukuri rezeki itu perbuatan baik. Dan menikmati
hidangan ini adalah salah satu perwujudan rasa syukur. Maka, silakan
dinikmati.”
Maka aku, betapa bersihentak
hendak memetik bertangkai senyum di bibirmu!
Bersebab pula, jika aku sedang menikmati malam di
beranda, kau tidak pernah lupa menyuguhkan secangkir teh atau kopi, juga
menghidangkan sejumputan penganan. Bersebab sebelum tengah malam, kau selalu
menyarankanku untuk istirahat di kamar; merebahkanku, menyelimutiku,
menemaniku, dan meniupkan dongeng-dongeng cinta ke telingaku. Dongeng-dongeng yang menjelma perahu, berarung ke lautan
tidur, ke samudera mimpi. Padahal saat itu, sama sekali aku belum ingin
beranjak ke tempat tidur. Belum seberapa ngantuk. Pokoknya, belum digoda uapan.
“Aku
belum ngantuk.”
“Istirahat
itu tidak mesti ngantuk.”
“Aku
belum mau tidur.”
“Istirahat
itu juga tidak harus tidur.”
“Aku
mohon, aku belum ngantuk dan belum ingin tidur.”
“Istirahat
sajalah.”
“Istirahatkan bisa juga di beranda atau ruang
tamu?”
“Nanti masuk angin. Sebab angin malam itu tidak bagus
untuk kesehatan.”
“Akukan sudah makan, tidak akan masuk
angin.”
“Angin
itu tidak mengenal persoalan makan atau tidak makan.”
“Oalah…”
“Sudahlah, ayo, berbaring saja.”
“Tapi…”
“Rebahan
saja. Tidak sulit kan?”
Maka aku, betapa berkelebat
hendak menggantang telaga di matamu!
Bersebab sudah terlampau lama aku pergi bertandang ke
rumah-rumah yang lain; menikmati tuturan ramah pemiliknya, menikmati tawaran
sarapan yang selalu berbeda, menikmati hidangan makan siang yang memanjakan
selera, menikmati makanan senja yang bermacam adanya, menikmati suguhan minuman
yang beragam rasa-warnanya, menikmati cerita-cerita beraneka kiranya, juga
menikmati tidur yang paling nyaman tentunya.
“Jika kau hendak
pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu
kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan
melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa
pun.”
Namun ke rumah siapa pun aku pergi, dan di rumah mana pun
aku berleha diri, ada yang tak bisa kutemukan, selain padamu. Entahlah!
Maka aku, betapa bergegas hendak mengunci diri di bilik hatimu!
Bersebab kau adalah
rumah yang lalai mengernyit, rumah yang alpa menjewer. Bersebab kau adalah
rumah yang tak pernah menghardik; tempatku mengombakkan buih-biuh pahala,
sebagai lengan-lengan air yang menghanyutkanku ke dermaga sorga.
Lalu, tolong katakan
padaku, siapa orang yang tak hendak hanyut ke dermaga sorga? Katakanlah!
Hah, aku?
Ops, tidak lagi!
Medan, Duaribuan
(Dewi
Haritsyah Pohan, mmh, terima kasih atas ketabahanmu. Jangan pernah khawatir, aku mencintaimu!)
Dimuat di Koran Tempo, MINGGU, 9 Maret 2008
CERPEN
Kematian
Bob Marley
OLEH HASAN AL BANNA
Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata
tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling
himpit. Mulut menganga, sekuak goa, tak
henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel
di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari
itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua
jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan
sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk
pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat
gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan.
Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya,
mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru
tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat
kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis
mengerubungi mayat.
Para tetangga terhenyak, lalu menjenguk berdesak-desak. Kesibukan
pun menjalar sedemikian rupa. Lebih-lebih kepala lorong, Haji Fadel.
Perintah-perintah tumpah. Di luar, sebagian orang memasang tenda. Di beberapa
sudut lorong, ditambatkan bendera sungkawa. Hujan reda tak reda. Angin
timpa-menimpa. Lantas pengeras suara masjid menyala, membagikan kabar
duka-cita: “…telah berpulang ke rahmatullah: Bob Marley, tutup usia tiga puluh
sembilan tahun. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka, lorong Dermawan,
di sebelah rumah tuan kadi Irham. Insya Allah, almarhum dikebumikan besok,
setelah sembahyang zuhur…”
Bob Marley. Demikian warga lorong Dermawan memanggilnya. Ia memang senang
bernyanyi, meski tidak mahir. “Alah, suaraku angka merah, kawan,” selorohnya.
Tapi kalau pesta kawin, ngayun anak,
atau sunatan pakai acara keyboard,
maka ia akan bernyanyi sepukul-dua pukul. Atau temuilah Bob Marley di antara
lapak tuak yang berderet di ujung pelabuhan. Di sana, sambil tenggen bersama peminum lain, ia
bernyanyi sampai serak. Ia suka lagu
batak, juga beberapa lagu milik Rhoma Irama. Dan tak pernah ketinggalan, lagu
wajib: gereja tua.
Tapi jangan silap, Bob Marley bukan penggemar Bob Marley. Mana
kenal ia sama penyanyi reggae legendaris
asal Jamaika itu. “Pemain bola negara mana Bob Marley?” tanyanya dengan
keluguan yang sempurna. Hah, maklumlah, ia hobi segala judi, termasuk taruhan skor pertandingan
bola. Padahal, sama sekali ia tak pernah hapal pemain-pemain top, bahkan nama
klub eropa yang menjadi unggulannya. Pun pula hendak mengetahui riwayat Bob
Marley ia?
Jadi, apa pasal orang-orang menyerunya dengan nama itu? Andaipun dicari
kepersisannya secara kasat mata, paling karena warna kulit—yang gelap, atau
rambut gondrongnya. Tapi tentu, ia tidak dengan sadar menjalin rambutnya
menjadi gimbal. Apalagi paham dengan kandungan filosofinya; menjalin rambut
adalah perjalanan jiwa, pikiran, dan spritual yang mengajarkan kesabaran.
Ehem-puih! Harap diketahui, sejak lajang, rambut ikalnya yang sebahu—sewarna
daun setengah masak—jarang disisir, lalu terpilin secara alamiah, menciptakan
bingkahan rambut tak beraturan.
Namun, entah karena alasan apapun nama Bob Marley itu melekat pada dirinya,
ia senang dengan panggilan itu. Tak ada niat protes. Tak ada nota keberatan.
Maka warga pun lupa, bahkan ia sendiri alpa, jika ia pernah menyandang nama:
Jusmar Gazali bin Hoesin!
* * *
Pagi meniti nyeri. Hujan kandas. Di udara bertabur wangi air mata. Di dagu
pintu, tepatnya di atas kursi kayu, diletakkan baskom bergunduk beras catu. Orang-orang
yang tukam, menjumput butiran beras
sambil membenamkan sejumlah uang, lalu beringsut menghampiri keluarga almarhum.
Di rumah duka, warga melimpah. Jenazah Bob Marley dikerumuni istri, Mak
Nuridah—ibu Bob Marley—yang uzur, dan ketujuh anaknya yang terpaksa berstatus
yatim. Sanak dan keluarga dekat dari luar kota, sudah labuh sebelum subuh. Isak
tangis pun timbul-tenggelam.
Di luar, pelayat berbaur di sekitar tenda. Bercakap-cakap. Saling
menyalam. Berbatang rokok disulut. Ada juga tergerai renda tawa. Beberapa orang
sibuk mengukur, menggergaji, dan mengetam bilahan papan untuk keperluan
pemakaman. Nawawi begitu tekun mengukir tulisan—Bob Marley bin Hoesin, bukan
Jusmar Gazali bin Hoesin—pada sepenggal broti. Untuk nisan sementara itu. Di
sudut lain, sebidang kain putih tengah disiapkan menjadi kafan. Bang Sapri baru
saja beranjak ke kuburan usai mengukur lebar-tinggi tubuh Bob Marley. Keranda,
selubung dan payung keranda sudah diangkut dari masjid. Tiga blong besar air,
penuh. Cukuplah untuk memandikan jenazah. Kapur barus, sabun, dan wewangian
telah tersedia.
Ibu-ibu duduk bersempit-sempit di ruang tengah. Tikar rompal menutupi
lantai tanah, sekalian menghalau uap lembap. Berkesiur lafaz doa dan yasin.
Ganti-berganti. Sekali kesempatan, nasehat mengucur, menghibur. Gemerisik bunyi
bisik-bisik. Kadang nada bicara terdengar seperti dengungan kecil. Samar.
Khusuk. Tapi mereka tidak sedang bergunjing! Mungkin, sedang mengais jawaban?
Hampir sejak sebulan lalu, warga Dermawan sudah heboh dengan kabar hilangnya
Bob Marley. Apalagi saat itu, Wak Bardansyah hendak mengadakan perhelatan
perkawinan putri sulungnya. Ada acara keyboard,
tentu. Dan biasanya, Bob Marley menjadi pawang keamanan. Maka tak akan ada
pemuda lorong lain yang bernyali membikin kekacauan. Biduan dan tukang keyboard pun aman dari ancaman: Dipaksa
tampil sampai pagi! Hasil akhir, hajatan bersih dari buih tuak, tanpa ruap gelek, dan tak ada joget panas di atas
pentas.
Namun Bob Marley raib! Wak Bardansyah terpaksa menyewa ormas pemuda setempat
untuk mengurus keamanan. Pastilah itu membutuhkan anggaran tambahan. Padahal,
bayaran tidak berlaku bagi Bob Marley. Bakal ia tolak itu mentah-mentah.
Gantinya, susupkan saja rokok ke saku bajunya, mantaplah itu. Tapi tanpa Bob
Marley, pengeluaran biaya keamanan membengkak. Tak ada kericuhan, iya. Tapi
selain uang kontan, si empunya pesta musti menyediakan berceret tuak, minuman
penambah energi plus rokok berbungkus-bungkus. Maka bagi Wak Bardansyah, begitu
mahal harga kehilangan seorang Bob Marley. Apa boleh buat!
Entah mengapa, orang-orang di luar lorong Dermawan macam gentar setiap
mendengar nama Bob Marley. Paling tidak, mereka enggan bersangkut-paut masalah
dengannya. Memang, warga lorong Dermawan tahu kalau Bob Marley agen gelek. Sudah rahasia umum itu. Tapi
pantang bagi Bob Marley mengedarkan daun ganja kepada anak lajang lorong
Dermawan. Ia pun tak berniat menghasut mereka menyedot gelek. Malahan, si Bahrum—cucu Andung Alang, usia belasan dan putus
sekolah—pernah ditempeleng Bob Marley karena kedapatan begelek.
Benar, Bob Marley gemar menenggak tuak. Namun tak pernah ia pulang sambil
meracau, meski sedang tenggen habis.
Bahkan, jika berpapasan dengan tetangga, ia tetap ramah dan seperti orang sadar
melempar sapa. Mmh, tentang tuak, Bob Marley pernah mengancam akan membakar
rumah Inang Girsang di seberang jalan lorong Dermawan. Itu terjadi kalau Inang
Girsang berkeras juga membuka lapak tuak di daerah itu. Untung ancaman susut,
ya, karena Inang Girsang membatalkan rencananya. “Anak-anak di lorong ini kan
baik-baik, jangan pulak dikasih
tuak,” Bob Marley menyodorkan alasan.
Tapi, kalau soal judi, bolehlah Bob Marley bertoleransi. Ia tak pernah
melarang lajang-lajang seputaran lorong Dermawan berkartu sambil taruhan, atau
main judi dadu di hadapannya. “Mainkan saja, genk! Asalkan jangan merusuh, tak ada minuman, dan jangan begelek!” Bob Marley menyilakan, tapi
tak lupa meninggalkan peringatan. Sesekali, ia tergiur juga bergabung. Ya, main
setarik-dua tariklah.
Andai bertanya pada tetangga tentang sosok Bob Marley, mereka menjawab apa
adanya: “…o, baik orangnya itu. Ya, tak alim-alim kalilah. Solat paling hari Jumat,
itupun jarang. Tapi dia itu rajin ikut wirid yasin tiap malam Jumat. Jangan
sepele kelien, pandai mengaji dia.
Sudah itu, kalau ada warga yang meninggal, Bob Marley giat mengurus keperluan
kifayah jenazah, khususnya menyiapkan galian kuburan. Terus, biar tau saja, hampir tak pernah absen dia
ikut tahlilan, genap tiga malam. Pokoknya…”
Namun, bukankah Bob Marley bertampang bajingan? Iya, badannya setipis
rempeyek, compang-ramping. Tapi kata orang, wajahnya setandus bulan padam,
menakutkan! Nyaris bengis dengan mata redup yang keruh, merah, dan mendidih. Dari
lehernya—hingga menukik ke bahu, melintang luka lampau yang berkarat. Lalu, ada
tiga tato bersarang di tubuhnya. Dua terpacak di lereng bahu, bergambar jangkar
dan wanita tak berbaju. Satu lagi bergambar tweety.
“Orang rumahku sukak kali filim kartun ini.” Itu kata Bob Marley
sambil menunjukkan tato yang terpatri di dada kiri. “Tato ini punya istriku,”
ujarnya, entah sedang menggelar kelakar.
Memang, kedengarannya seperti lelucon. Tapi menurut orang-orang—yang bukan
warga lorong Dermawan, itu tidak memupus penilaian mereka terhadap Bob Marley:
seorang bajingan! Warga lorong Dermawan hanya membalas tuduhan itu dengan
isyarat bahu. Mereka malas membahas tabiat Bob Marley di luar yang mereka
ketahui dan saksikan sendiri. Pendek kata, sebajingan apa pun Bob Marley, tak
pernah sejarahnya menebar onar di lorong Dermawan. Sebaliknya, warga merasa tentram
dengan keberadaan Bob Marley.
Dulu, sebuah rumah di lorong Dermawan pernah ditumpas maling. Tapi berselang setengah hari, gondolan vcd serta
tivi kembali tanpa cacat, dan tanpa sempat berpindah ke tangan penadah. Entah
bagaimana cara Bob Marley memulangkan barang berharga itu. Tapi yang pasti,
sejak itu, tak pernah lagi rumah-rumah di lorong Dermawan menjadi sasaran
maling. Maka kini, tidakkah berita hilangnya Bob Marley menggoreskan sedikit
rasa was-was? Dan hei, Bob Marley, di manakah?
Desas-desus berhembus, enteng, juga serius: Bob Marley diculik jin, Bob
Marley kawin lagi, Bob Marley pergi melaut berhari-hari, Bob Marley korban
tabrak lari, atau jangan-jangan, Bob Marley mati dibunuh, dan mayatnya
dimutilasi. Tapi prediksi itu hangus ketika seseorang menitipkan secarik kertas
lusuh buat istrinya—setelah dua minggu Bob Marley hilang. Ada tulisan singkat
dan kusut di situ: “…Abang ketanggok
polisi, Mala. Tapi tak usah takut kau. Paling lama, dua hari lagi Abang
keluar…” Lega menghela dada istri Bob Marley.
Warga pun turut lega. Tapi kembali cemas ketika Bob Marley tak kunjung
bebas. Hari sudah hanyut sejumlah sebelas. Maka tanpa komando, warga
berinisiatif mengumpul dana, sebagai modal bernego dengan pihak terkait. Tentu
demi menjemput Bob Marley dari bilik berjerejak. Nun, niat belum sepenuh
terlaksana, Bob Marley sudah pulang, tapi tak beserta nyawa. Ia kembali dari
kehilangan, tapi sedang menuju ke kehilangan abadi. “Suami ibu dikeroyok sesama
tahanan sel,” kata istri Bob Marley menirukan ucapan salah satu lelaki
pengantar jenazah suaminya. Ketika warga menanyakan hasil visum, Mala
menggeleng. Pasrah.
* * *
Siang menjelang. Menyiang. Jenazah Bob Marley sudah dimandikan. Ratap
istrinya merayap, ketujuh anak ia dekap. Air mata ambruk. Duka ibarat laut tak
berdermaga. Warga lorong Dermawan berkerumun. Meski tak bepekik tangis, tak
melejit jerit, kepala mereka bertudung kesedihan. Di wajah mereka menggantung
mendung muram. Ketahuilah, mereka sebenar kehilangan Bob Marley! Tulus.
Waktu terus menghunus. Isak meledak ketika Bob Marley segera dibungkus.
Tapi mendadak kepala lorong—juga tuan kadi Irham, dan Abah Taher—tergopoh
menyela. Lantas terlibat diskusi dengan pihak keluarga. Lumayan lama. Hingga
membatu angin. Tapi kemudian, selesai berangguk-angguk, kepala lorong buka
suara: “Jenazah akan kita usung lebih dulu ke rumah sakit, untuk divisum!”
Hadirin sepakat. Ini kematian yang janggal. Sumpah, sejak mendengar
kematian Bob Marley, berkelebat kutuk, menendangi dada warga lorong Dermawan:
“Bah, keji kali kematian Bob Marley itu..!”
Medan,
Mendung 2006
Dimuat di
Majalah Horison, EDISI MARET 2008
CERPEN
Hanya
Angin yang Terpahat
di
Rahang Pintu
OLEH HASAN AL BANNA
Sehabis melekatkan pandangan pada foto yang terpacak di
sebalik kaca lemari, ia menunduk! Beberapa titik air—hangat dan pudar—merembes juga dari
lekuk matanya. Lagi-lagi, Mak Odah gagal memulangkan air mata ke dadanya yang
lengang. Padahal, demi kebahagian orang-orang tercinta, janji hati musti
ditepati. Iya, kelopak matanya yang layu, jangan lagi berputik air mata! Tapi
demi Allah, itu bukan pekerjaan mudah bagi Mak Odah. Meski kalau tidak,
tubuhnya yang bak perahu tua berbahu koyak, sampai kapan terlunta di samudera
lara? Namun pada kenyataannya, Mak Odah tak selalu berhasil menghalau kesedihan
yang datang bergerombol, dan betapa beringas menggempur. Memang, ada saja
silang-pintas kenangan yang meremas kemarau dadanya sampai tandas. Lalu
berperciklah saripati air mata!
Tadi, usai salat magrib, Mak Odah hendak beranjak ke beranda. Ouh makjang, di dalam rumah, gerah kali
rasanya! Maka ia kepingin keluar, sekadar menggayung angin, atau sekalian
berkubang dingin. Lagi pula, tak pernah betah ia meringkuk diri di kamar.
Sepenat apapun badan, jarang Mak Odah bergolek-golek, atau berperam-peram mata
sebelum hari sebenar terperosok ke liang malam. Padahal hari ini begitu gontai
sendi-sendi tulangnya. Sebenarnya, kurang enak badan Mak Odah tadi pagi. Tapi
berangkat juga ia ke tangkahan. Biasa, setiap pagi berbatas lohor, Mak Odah,
sebagaimana pekerja yang lain, begitu tekun mengolah ikan gelama menjadi ikan asin belah. Mulai dari menguras isi perut,
merentangnya di siring—wadah penjemur
ikan, sampai kepada mengintai-intai sengat matahari. Tentu agar ikan sebenar
kering.
Sepulang dari tangkahan, Mak Odah pun tak langsung ke rumah, melainkan
bergegas menghimpun dahan langgade
yang berpatahan di sekitar bakau. Lumayan, beberapa ikat langgade untuk kayu bakar bisa ditukar uang di kedai sampah Nek
Basariah. Kadang sambil lalu, Mak Odah juga mengumpulkan buah nipah untuk
dijual. Tapi kini, sudah susah ia menemukan pohon nipah. Tak apalah, hasil dari
keseharian Mak Odah tersebut, dicukup-cukupkanlah itu membeli beras dan rencah
lauk-pauk. Berapa banyaklah makan Mak Odah?
Tapi dari pengakuan para tetangga, tak pernah kisah kesah menghambur dari
mulut Mak Odah. Termasuk jarang Mak Odah menabuh-nabuh keluh ke telinga orang
banyak. Kalaupun ia sesekali bertandang, hanya untuk memulih-mulih badan yang
penat, atau bersilang gurau dengan tetangga. Namun beranda rumahnya tetap
menjadi tempat pelepas lelah yang indah bagi Mak Odah. Raut wajah Mak Odah
seketika cerah kalau sudah berkelambu angin. Tapi entahlah pula, kenangan atas
suaminya—juga kedua anaknya: Azmi dan Lastri—kadang waktu memintas juga di
setapak angan Mak Odah. Menyemai-nyemai rindukah itu?
Mak Odah tinggal di perkampungan nelayan—tak jauh dari Belawan, atau
sekitar 28 kilo dari Medan. Bisa dibilang Mak Odah bermukim dekat laut, meski
persisnya lebih hampir ke alur—sungai
yang mengandas ke muara laut. Di perkampungan itu, rumah-rumah kayu berderet
dan berhadap-hadap. Hampir semua rumah berkolong tinggi, untuk menghindari
pasang yang mendaki ke lantai rumah. Tentulah, rumah Mak Odah yang jangkung
memudahkan tubuhnya untuk berlulur udara. Apalagi rumah panggung Mak Odah yang
sederhana, berberanda pula. Dari situ, ia bebas menyaksikan gelanggang angin
menggelombangkan hawa dingin ke tubuhnya.
Begitulah, Mak Odah memang senang menikmati belia malam sambil duduk di
beranda. Betul, kalau tidak memandangi pohon nangka di depan rumahnya, ya, Mak
Odah rajin meneguri para tetanga yang beriring pulang dari laut. Sesekali ia
dihadiahi ikan segar oleh mereka. Meski satu-dua ekor, alamat suka-citalah Mak
Odah. Seperti suka-citanya menyahuti teriak anak-anak yang bermain di
pekarangan. Mmh, menghirup aroma amis, mendengar daunan nangka disiut angin,
renyah tawa anak-anak, serta lalu-lalang nelayan adalah penyumpal nganga rindu
di dada Mak Odah. Entahlah, tak sempurna malam bagi Mak Odah, kalau belum
mendengar kecipak air menepuk-nepuk pantat perahu yang bersandar di sepanjang alur. Pun pula baginya, sayup klotak-klotak mesin perahu ibarat rampak
gendang penghalau galau.
Maka Mak Odah, ketika lepas magrib—kalau tidak hendak mengaji—tentu akan
bergegas ke dagu rumah. Tapi tadi, ketika melintasi ruang tengah, hasrat itu
tersendat. Bermula dongak Mak Odah yang sejenak, kemudian sekibas senyum
hinggap di bibirnya yang ranggas. Bersisian dengan jam dinding tua, ada
sepasang mata, seperti tak henti melirik dan menatap Mak Odah. Sepasang mata
itu sering membikin dada Mak Odah berdebab. Bisa jadi, sesekali bibirnya
berhadiah senyum, tapi tak jarang pula itu membuahkan isak. Memang, itulah
tatapan yang tak pernah padam dari sebingkai foto usang. Sorot mata yang
senantiasa menyala, meski si empunya mata sudah terlelap di bilik tanah. Ah,
suamiku, mengapa aku sendiri yang musti menyusuri gurun sepi yang tandus ini?
Mak Odah hanya bisa menanggungkan sengak dada sambil membetulkan bingkai foto
yang oleng.
Jujur, tak ada istri yang bercita-cita menjadi janda, ditinggal mati
suami tercinta. Tapi, meski sempat dikepung badai kecemasan, Mak Odah bisa juga
mencicil kelegaan di dada, ketika suaminya berangsur pulih, alhamdulillah.
Memang, tubuh suaminya—yang diringkus kurus—masih ditopang tongkat penyangga.
Tapi untuk tegak tanpa tongkat penyangga barang seperempat jam, suami Mak Odah
sudah kuat. O, jangankan meniarapkan tapak kakinya ke tanah, menyeret langkah
pun ia sudah mampu, meski perlahan. Nah, sudah pula sanggup suaminya berjalan
sendiri di tempat yang landai, tanpa dituntun. Hanya, kalau hendak menjejak
tangga rumah, Mak Odah musti membantunya dengan papahan.
Tempo hari, tubuh suami Mak Odah diseruduk truk ketika menumpang ojek
dari simpang jalan besar. Memang, nasibnya lebih baik dibanding tukang ojek yang
mati kontan. Suami Mak Odah remuk kaki, sebelah kanan, dari betis mencapai
gelang kaki. Menurut analisis dokter, tulang kakinya bukan hanya patah tebu,
tapi pecah menyerpih. Musti diamputasi, begitu vonis medis! Iyalah, kaki
suaminya terkulai parah, seputih kapas, dan seperti kehilangan nyala darah.
Memang di situ, tak ada kawah luka yang menggelegak. Tapi ujung kakinya sudah
tak tentu berarah ke mana. Lalu, dua bilah pecahan tulang, runcing, menyembul
dari belakang mata kaki, tepat dua jari di atas tumit.
Tapi Mak Odah tak mampu membayangkan suaminya berkaki puntung. Atas saran
tetangga, lekas-lekas ia menggendong suaminya ke Medan. Di sana ada dukun patah
ternama, bermarga Sembiring, orang Karo. Tentu, selain menghemat biaya, Mak
Odah bisa merawat suaminya di rumah. Beberapa kali saja ia mendatangi dukun itu
bersama suaminya. Lalu selanjutnya, Mak Odah sendiri yang datang mengadukan
kondisi kaki suaminya, sekaligus mengantongi racikan obat pulang ke rumah.
Allah Maha Pemurah! Meski melampaui 5 bulan terasa berat, tapi menyaksikan
keutuhan dan kesembuhan kaki suaminya, bergirang-girang hati Mak Odah. Tidak
heran, dengan semampu daya, acara syukuran pun digelar. Doa dan harapan turut
ditebar.
Tapi empat hari selepas syukuran, suaminya mendadak demam. “Tak usahlah,
Saodah. Tak parah panasku ini, kurasa. Hanya pening sikit kepalaku,” bantah suaminya ketika hendak diajak ke Puskesmas.
Tapi itulah kalam terakhir suaminya sebelum pamit menyimpuh kepada Ilahi. Ou,
tak tanggung pedihnya hati Mak Odah melepaskan kepergian suaminya dengan kaki
kanan yang hampir rangkum ayun langkahnya. Astaghfirullah, setiap membayangkan
peristiwa silam itu, entah umpatan apa yang berkecamuk di dadanya. Apalagi
ketika bersitatap dengan suaminya, meski lewat sebingkah foto. Dan air matanya
pun menitik, tangisnya mengasuh derit.
Ei, sudah, jangan menangis! Berbujuk-bujuk Mak Odah dengan hatinya. Maka ia
lekas-lekas bersemarak senyum. Apalagi saat sorot mata Mak Odah tertumbuk pada
sebingkai foto yang lain, tidak jauh dari foto yang tadi. Aih, serta-merta Mak
Odah akan mendulang-dulang geli. Dulu, foto ukuran sepuluh inci itu sering
memancing gelak mereka berdua—ia dan suaminya. “Oi, Saodah, kau tengoklah foto
ini, ha,” Goda suaminya tempo waktu, “…mengapalah menganga muncung kau? Tapi
iyalah, orang kampung, manalah biasa begincu dan bebedak. Jadi ketatlah mukak
tu, macam karet ketapel. Sikit
pun tak ada senyum kau!” Lalu berderailah tawa, sampai meluap peluh mata. “Kau
tengok Abang kau ni, tampan macam Amithabachan!”
Biasanya, sembari mengepit rasa malu, Mak Odah tak akan membiarkan dirinya
kalah dalam pertaruhan seloroh. “Iyalah, tampan kali memang Abang Razali-ku
ini. Tapi laki-laki apalah namanya itu, tak berani menggandeng pinggangku waktu
befoto, iyakan? Pas kupegang tangan
Abang saja, wuih, memerah kutengok mukak
Abang. Tak obah udang domam kutengok Abang waktu itu,” begitu
berapi-api Mak Odah mengacung-acung bingkai foto perkawinan tersebut. “Aih,
entah selama lajang, takut Abang jumpa anak gadis, iya? Oalah, matilah kita,
tak pernah Abang rupanya becakap sama
anak dara?” Dan mereka berdua pun bergempa tawa. Cubitan tangan susul-susulan.
Memerah-memerah wajah keduanya, meniru semburat wortel.
Itu foto mereka saat bersanding di pelaminan, sudah buram dan berbercak. Upacara
perkawinan yang seadanya ketika itu: Rajali dan Noor Saodah. Maklum, mereka
minim dana. Begitupun, ada juga kerabat yang bermulia budi; meminjamkan baju
pengantin melayu. Memang, selain nyala kuningnya pasi, kedodoran pula. Tapi
lumayanlah, daripada tidak sama sekali. Rajali, suaminya, berbaju teluk
belanga—juntai lengannya dilipat. Ia pakai seluar yang pangkal atasnya
musti digulung, seperti memakai sarung. Lalu kain sampin yang diselubungkan dari pinggang ke batas lutut, musti
dibebat. Tengkulok dari kain songket
yang bertengger di kepalanya, longgar, pinggir lingkarnya hampir menyentuh
alis.
Tampang Noor Saodah tak lebih baik saat itu. Ia mengenakan kebaya panjang,
tapi sulaman benang emasnya sudah bertanggalan. Iya, di bahunya diselempangkan
juga selendang bermanik. Namun tak ada hiasan di leher, apalagi di rambutnya
yang bersanggul lipat pandan. Polesan
bedak di wajah Noor Saodah pun timpang, pekat sebelah. Birat merah di pipi
lebih seperti bekas cakaran. Garis bibirnya yang tipis dibubuhi gincu, tapi
kental betul. Celak arab yang ditoreh di alis dan di sekitar pulupuk mata,
malah mencekungkan wajah Mak Odah. Lalu, ruah keringat turut pula memperparah
rupa. Alirnya yang bersilang-seling membikin wajah Noor Saodah serupa tumpukan
dempul.
Tapi keduanya masih kelihatan sebagai pengantin yang serasi, paling tidak
itu menurut mereka. Meskipun banyak hal yang senantiasa mereka leluconkan dari
foto tersebut. Bayangkan, mereka berkait lengan, tapi seperti bersihindar.
Macam ada orang yang tegak di antara mereka. Lalu pula, wajah si mempelai pria
entah menghadap ke mana, pandangan mempelai wanita tertunduk entah sebab apa.
Beruntung kaki kedua mempelai tidak terabadikan foto. Kalau tidak, sepasang
kaki mereka hanya menyungkur ke terompa kayu yang allahurobbi beratnya. Padahal, semestinya mereka memakai selop bertekad, sepatu-sendal beraksesori.
Mmh, kenangan lampau yang menggantung di almari hati, kadang menjentikkan geli,
kadang pula menyusupkan nyeri.
Hah, Mak Odah berhenti membolak-balik kegelian dan kenyerian itu. Ia
lalu mengokang kerutan dahi, memutar
pandangan, menyapu sepertiga dinding. Di luar, angin mengerling, dan riuh
anak-anak seperti pecahan piring. Tapi di hati Mak Odah, masih juga hening yang
setia bergasing. Dan, uh, foto itu, yang menyelip pada kaca lemari, mengapa
berkali-kali menjeratkan kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan?
Pedih dan bahagia yang menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh
rindu? Entah. Tapi mata Mak Odah tak pernah mampu menghindari foto tak berbingkai
itu. Kekuatan dahsyat apa yang menggiring langkah Mak Odah mendekat, lalu
menatap foto itu lekat-lekat?
* * *
Tekad Lastri teramat padat. Dan Mak Odah paham sekali watak anak gadisnya.
Kalau sudah tanak kemauannya, akan ia tempuh segala litak upaya. Maka Mak Odah
kehilangan kekuatan untuk membendung keputusan Lastri. Aduh, betapa ia
mengerti, kematian suaminya telah mengacaukan rak hati Lastri. Iya, suaminya
yang dulu berkeras hati menyuruh Lastri kuliah. Dengan mengandalkan
pekerjaannya sebagai nelayan, ditambah menjadi pekerja tambak milik Pak
Sadiman, bisa juga suaminya mendudukkan Lastri di bangku mahasiswa. Tapi Lastri
sepertinya tahu diri; sepeninggal Ayah, Mak-nya adalah tiang rapuh yang tumbuh
sendiri di ladang kerontang. Tentu Lastri tak ingin menjadi benalu berbelati.
Sesungguhnya Mak Odah berniat melanjutkan kekerasan hati suaminya: Lastri
musti tamat! Bukankah Lastri tinggal merampungkan skripsi, agar gelar sarjana
tak semata mimpi? Tapi hidup, terkadang menyergap bersama pilihan-pilihan pahit.
Sekali waktu, Mak Odah ibarat sepuntung dayung yang mampu mengayuh sampai ke
pantai paling jauh. Tapi lain waktu, Mak Odah adalah galah yang mudah goyah,
menunggu patah. Kewalahan juga ia menampung angguk-pikuk gelisah diri. Dan
meski dengan selihai cara Mak Odah menyimpannya di laci hati, terbaca juga oleh
Lastri. Maka Lastri, tak ada keraguan menentukan sikap sejati. Meski tak
termungkiri, perih juga hati ketika harus meninggalkan Mak yang sendiri.
Namun Mak Odah pasrah! Tak mengapalah, hanya setahun, ia rayu-rayu diri.
Lagi pula Lastri telah menanam janji: Kuliahnya tidak berhenti, hanya cuti! Dan
sepulang nanti, ia siap menyelesaikan skripsi! Maka program Au Pair Mädchen memboyong Lastri ke kota
Bremen, Jerman. Kebetulan, Lastri adalah mahasiswa Bahasa Jerman di salah satu
perguruan tinggi negeri di Medan. Usai proses seleksi, Lastri dikirim ke Bremen
untuk tinggal bersama Ibu Asuh selama dua belas bulan—sesuai kontrak. Di sana,
selain bekerja paruh waktu selama 5 jam, Lastri mengikuti kursus bahasa secara
cuma-cuma. Ia pun berhak menerima uang saku setiap harinya.
Ah, Lastri, berakhir pergi, meski berjanji kembali. Ampun, Mak Odah rindu
setengah mati, acap tertipu ilusi. Saat salat magribnya belum digenapkan doa,
sering Mak Odah mendadak meninggalkan rebah sajadah. Tak sempat pun ia melepas
telekung yang terkalung di kepala. Adalah bersebab ia mendengar tangkup langkah
menabur derap di tangga rumah. Lastri pulang, pekik hatinya. Lalu Mak Odah yang
bernapas sengal, berlari-lari dangkal menuju pintu yang terkunci. Tapi
jangankan Lastri, setegur bayangan pun tak tampak tegak di antara pintu dan
beranda. Mak Odah tertunduk, ke manakah sembunyi kesadaran diri?
Ah, Mak Odah, terlalu menurutkan hasutan rindu, terkenang-kenang saja
kepada Lastri, anak gadis yang cuma sendiri. Dasar Lastri, kecil anaknya, tapi
lincah geraknya, ia berbisik-bisik ke telinga hati. Demikian memang, sejak
kuliah, Lastri hampir dipastikan telat tiba di rumah. Kebiasaan Lastri setelah
membayar ongkos ojek, ialah menghamburkan sentak lari ke pundak tangga. Maka
terdengarlah kelebat langkah yang berantakan. Tapi itu menjadi isyarat bagi Mak
Odah untuk bersegera membuka gari pintu. Selepas tangannya direngkuh kecupan,
ia akan mendapatkan Lastri berlari menerobos kamar mandi. Berwudu, lantas
salat! Lastri begitu buru-buru, karena ia tahu, waktu magrib sekejap saja sudah
raib.
Berkisah soal langkah, Mak Odah paling hapal rentet suara
kaki Lastri ketika melintasi undakan tangga. Kalau riak kaki suaminya lebih
senyap, tak jauh beda dengan Azmi. Kira-kira, seperti suara seretan, atau desis
pendek orang yang tidur. Biasanya, Mak Odah membuka pintu setelah mendengar
salam, atau gedoran pintu oleh Azmi atau suaminya. Aha, pasang telinga kalau
hendak mendengar cecahan kaki mereka saat mendarat di anak tangga. Tapi
begitupun, Mak Odah sering gagal menebak teka-teki hati: Kaki siapa yang sedang
bergesek di tangga, suami atau Azmi? O-Mak, ada saja kelakuan-kelakuan mereka
bertiga—suami dan kedua anaknya—yang mengguit pinggang kenangan. Tapi apa yang
diharap lagi dari suaminya dan Azmi? Tinggal Lastri yang mampu menyejuk-nyejuk
dada yang dikelupas pisau kenangan.
Iya, Lastri anak tahu diri, begitu puji Mak Odah. Lastri rajin berkirim
surat, meski tak pernah berbalas. Nah, kalau sedang mengeja isi surat,
bersinar-binar mata Mak Odah. “… di sini
tempat yang menyenangkan, Mak. Ibu Asuh Lastri orangnya baik. Tapi Lastri rindu
sama, Mak…” O, betapa terharu Mak Odah, kadang terburai air mata setiap
menerima surat dari Lastri. “…hiih, di
sini mulai masuk musim dingin. Ada salju, Mak. Tapi agak menyebalkan, karena
setiap keluar rumah, harus pakai topi, syal, sarung tangan, dan jaket tebal…” Ups,
Lastri, o, Lastri, dada Mak inilah sekerat langit beku yang meluruhkan salju
itu, gumam Mak Odah getir sambil menyeruput bibir. Meski tak sempat hangat mata
menyemburkan manik-manik berwarna tawar.
Tapi oleh surat yang lain, pernah Mak Odah diguncang-guncang isak sesudah
membaca sepenggal kalimat. Tak terkata pedih hati Mak Odah saat itu, pasti. Mau
tahu penyebabnya, simaklah bagian akhir dari kalimat tersebut: “…sehat-nya Mak kan? Gimana kabarnya Bang
Azmi, sudah pernah mengirim kabar?…” Mak Odah tak menjawab, bahkan ia turut
menukikkan tanya sambil bergelimang air mata. Azmi, Azmi, anakku,
bagaimana keadaanmu di rantau sana, tak menentukah? Tapi ia bertanya dan
mengharap jawab pada siapa? Tak ada serintik berita pun—dari Azmi—yang
menempias ke dahaga rindunya.
Azmi, putra sulung itu memilih pergi ke Malaysia, berbekal uang penjualan
perahu mesin warisan suami Mak Odah. Butir-butir harapan menggelinding juga
dari terjal hati Mak Odah: Azmi kelak pengganti kepala keluarga. Melindungi Mak
dan Lastri, bahkan kelak menjadi penabung lumbung ekonomi keluarga. Tapi
jangankan berkirim ringgit, segeliat surat pun tak pernah menyelip ke ketiak
pintu. Azmi tetap saja berkabar kabur. Lalu simpang-siur kabar yang menyebar:
Azmi mati, Azmi sudah menikah, atau Azmi tertangkap Polis Diraja Malaysia dan kini di penjara, seperti
menyedot-memuntah semangat hidup Mak Odah.
Tapi, biarlah, Azmi kan laki-laki, pasti tahu cara membawa diri, Mak Odah
pun berhenti membusukkan luka sendiri. Jangan bersedih, bukankah sebentar lagi
Lastri kembali? Lalu mengiang-ngiang bujukan hati. Tapi surat Lastri
yang berikut, tidak mengabarkan rencana kepulangan diri. Dan entah mengapa, Mak
Odah tak mampu menangis saat itu. Mulut hati Mak Odah terjeruji, tak keluar
kata-tanya. Kelabu matanya adalah sahara, tak berkaca-kaca. Di kisut dadanya,
tiba-tiba menghilang gebu rindu buat Lastri. Mak Odah hanya merasakan kakinya
tak lagi menyentuh lantai rumah. Oups, siapa yang melayarkan tubuhnya ke laut
lapang berlangit abu-abu, ke samudera lengang berhuni hantu. Adakah tubuhnya
sedang terbengkalai di atas perahu kabut penuh kerut?
“…saat ini Lastri lagi sibuk mengurus
surat-surat pernikahan. Mak tak usah khawatir, Grzegorgz seorang muslim. Ia
keturunan Polandia-Albania. Lastri tahu ini berat bagi Mak. Tapi Mak ikut
bahagia kan kalau Lastri bahagia? Lastri janji, kalau ada waktu lapang, kami
berdua akan pulang menjumpai Mak barang sebentar. Maafkan Lastri, keputusan ini
sudah Lastri pikirkan masak-masak. Lastri berharap Mak memberi doa restu. Titip
salam Grzegorz sekeluarga untuk Mak. Lastri sayang sama Mak. Salam rindu…”
Ai, Lastri, Lastri, mengapa tunas janji dipijak sendiri? Mak Odah pun
terbaring lemah semenjak kedatangan surat itu. Berminggu juga usia sakitnya,
tapi tak bernama jenis penyakitnya. Tak mujarab resep dokter, tak berhasil
mantra dukun. Beruntung kemudian, ketika surat Lastri berisi foto perkawinan
datang membesuk, sedikit membangkit daya hidup Mak Odah. Sungguh, baginya, tak
mudah memenggal alir darah antara Mak dengan anak. “…alhamdulillah, semua berjalan lancar, Mak. Sempat tertunda
sebenarnya, karena susah juga mengurus pernikahan antar negara di Jerman. Akhirnya,
kami mendaftarkan pernikahan, sekaligus menikah di kantor catatan sipil
Denmark. Di sana lebih mudah, Mak. Ini, Lastri kirimkan foto Lastri dengan Grzegorz ketika berfoto di depan
kantor catatan sipil…”
Sekait senyum tersangkut di bibir Mak Odah. Tak berkedip matanya
menyaksikan foto ukuran jumbo tersebut. Berlatar sebuah bangunan tua dengan
plang bertulis ejaan asing: TØNDER RÅDHUS, badan Lastri kelihatan lebih berisi,
dan kulitnya pun tampak bersih berseri. Lastri mengenakan gaun putih-putih,
berwajah bahagia dengan mulut setengah tertawa. Tangan kanan Lastri menggenggam
seikat kembang berwarni. Aduh, Lastri yang lebih tinggi dari Mak-nya saja
kelihatan kecil dibanding suaminya. Apalagi jika Mak bertemu menantu? Mak Odah
menimang-nimang geli tak menentu. Mmh, kepala Lastri seperti terbenam di bawah
ketiak suaminya. Di foto itu, Grzegorz, suami Lastri yang berkulit kemerahan,
memakai kemeja liris dongker dan bercelana hitam. Hidungnya
mancung, bibirnya tipis, tapi alis matanya tebal.
G-r-z-e-g-o-r-z! Ah, tak lulus-lulus lidah Mak Odah melafalkan nama itu.
Diam-diam, ada sebening kebahagian mendenting di gua hatinya. Lalu
dipajanglah foto itu di selipan kaca lemari oleh Mak Odah. Tanpa bingkai. Dan
selalu, mata Mak Odah tak pernah mampu mengelak dari foto tak berbingkai itu.
Entah, kekuatan dahsyat apa yang mengajak jejak Mak Odah untuk mendekat, lalu
menatap foto itu lekat-lekat? Uh, foto itu, berkali-kali menjeratkan
kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan? Pedih dan bahagia yang
menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh rindu? Mak Odah menjawab
dengan bisu!
Maka kian laun, Mak Odah, mau tak mau, musti belajar menjadi perempuan
tegar. Ia pun mencontoh kokoh karang. Tapi sekadang saat, ia tak lain adalah
segantung kepompong yang terkatung. Ialah tentu, pusaran ombak waktu telah
memorakkan perahu hidupnya. Bayangkan, tempo waktu, baru dua kali 40
hari—sepeninggal suaminya—berlalu, ia senyata hidup sendiri. Suami selamanya
pergi. Kemudian, setelah 40 hari pertama, Azmi yang pamit diri, lalu menyusul
Lastri. Tentu, semula ia berupaya ikhlas, demi kebahagiaan anak-anaknya. Sebab
pula, bukankah berbeda cara orang meraih kebahagiaan, termasuk Azmi dan Lastri?
Tapi kadang-kala, Mak Odah merasakan tubuhnya seperti ruas-ruas tangga yang
keropos. Lalu, kegetiran hidup berwujud belantara kaki bersepatu baja, saling
berebut memijakkan tapaknya di gigil tangga. Tak jarang Mak Odah
menggeser-geser tanya dalam hati: Adakah ia tubuh yang bernyawa hampa, tanpa
rasa? Tapi tidak juga, kiranya! Sebagai bukti, di tengah hempas-timpa debum
peristiwa, bertamulah utusan Haji Adenan—pengusaha tambak, duda berusia 61
tahun. Niat utama utusan itu: Melamar Mak Odah menjadi istri pengganti Haji
Adenan. Ada sesirap rasa yang mengetuk-ngetuk dada Mak Odah. Benar, Mak Odah
tak menolak. Tapi karena teringat janji dengan Lastri: Tak akan menghadiahi
Ayah tiri untuk Lastri, tawaran lamaran pun terombang-ambing.
Entahlah, segala runyam diri Mak Odah timbul-tenggelam di keruh hati,
riuh-dendam! Sempat ia meneguh-neguh tekad: Terima saja lamaran Haji Adenan! Namun
harapan tak berlangkah kanan, terlambat. Haji Adenan sudah menggandeng
pengganti. Kabarnya, seorang perawan tua yang dijemput ke kampung asal Haji
Adenan, Pangkalan Brandan. Dan pun, selesailah kehendak hati! Air diteguk
sebagai penawar denyut jiwa, tapi pasir penuh serpih kaca yang terasa menyesak rongga dada. Kembali,
tubuh Mak Odah dibungkus tirai luka!
* * *
Kesiur angin berdebur di luar. Dahan nangka saling beradu, menjalin derak.
Daun-daunnya bakal terserak-serak. Tadi, entah kekuatan dahsyat apa yang
menggiring langkah Mak Odah untuk mendekat, lalu menatap foto tak berbingkai
itu lekat-lekat? Lalu ketika ini, kekuatan apalagi yang menghisap pandangan Mak
Odah, sehingga berpaling ke arah pintu. Udara bersuara patah, datang dan pergi.
Ia seperti mendengar suara kaki yang berderap di tangga. Ia kenal derapan kaki
siapa itu. Lastri? Langkah Mak Odah pun bersekilat mencapai pintu.
Tergopoh-gopoh tubuhnya, tersuruk-suruk dengus napasnya! Ia kuak daun pintu
berengsel serak, lalu sorot matanya menyerobot, kemudian berbelok ke curam
tangga. Tapi, o, tak ada siapa-siapa. Hanya tugu angin yang terpahat di rahang
pintu!
Mak Odah tertegun. Angin berdesir, perlahan, menyisir tabur ubannya yang
berwarna mendung muda. Ia meraba wajah. Ah, semakin berpinak garis-garis yang
saling menelikung dan bertindihan. Kerut wajah Mak Odah menyerupa jaring
laba-laba yang kusut. Oi, sunyi berdentang, mencipta sumur berngarai dalam,
teramat dalam, dan mengeram ribuan liang. Tubuh Mak Odah seketika dingin dan
ngilu. Mendadak amis udara terasa basi, menjelma jemari berduri, lantas
berkelebat memetik kabut air dari pelepah mata Mak Odah!
Medan, Hilir 2006
catatan hati : Cerpen
“Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu” ini adalah kado pernikahan tak
berpita bagi Lili Yuslianti dan Deniz Nis. Berbahagialah, Li, juga Niz! Oya,
jangan lupa Lili berkirim kabar kepada Mak. Pandai-pandailah menghibur
hatinya.
Dimuat di
Kompas, MINGGU, 3 Juni 2007
CERPEN
Tiurmaida
OLEH HASAN AL BANNA
Amang oi! Kontan ia
melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil
menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun
pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang
terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh
menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal
menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang
datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu
akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini.
“Istirahatlah kau dulu!” Boru Pohan memberi anjuran.
“Iya, nanti tambah parah pulak luka kakak,” ujar Togu sambil mengelebatkan martil ke
bongkahan batu.
Tiurmaida baru saja memulai pekerjaan. Karungnya
pun baru berisi sepertiga. Padahal matahari yang melesat dari timur, sejengkal
lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida semestinya sudah menyelesaikan
empat karung batu. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah
datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk
lagi. Baru beberapa langkah beranjak dari pintu, Tiurmaida mendengar lesatan
umpat-serapah suaminya.
Tiurmaida lalu berpaling langkah, menyurut sepasang kaki
kembali ke rumah. Tadi, sebelum berangkat ia sudah menyuapi Marsius. Bahkan
selepas subuh Tiurmaida sudah memandikan suaminya, membersihkan kotoran Marsius
yang basalemak di pisak celana,
bahkan bercecer di sebagian badan. Lalu ia mengganti pakaian Marsius, juga
menukar tikar tidurnya. Ya, Tiurmaida harus hati-hati melaksanakan rutinitas
itu. Ia tidak boleh serampangan membuka-pasang gembok pasung. Ketika hendak
memakaikan baju, ia cukup melepas kekangan di gelang tangan Marsius. Pun
sebaliknya, melepas kaki yang terkunci jika hendak mengenakan celana.
Tiurmaida begitu tekun mengurus Marsius. Meski Marsius
tak tentu waktu melampiaskan gerutu, ia tak pernah sanggup membiarkan suaminya
dalam keadaan kacau. Ia setia menghalau setiap amuk yang menyuruk ke tubuh
Marsius. Kadang tengah malam ia harus beranjak dari tidur yang nyenyak, demi
mendiamkan Marsius yang berteriak-teriak. Marsius memang tidak
leluasa bergerak, tapi sering gigitan Marsius hinggap di tangannya. Bahkan
selebam luka gigitan pernah mendidih di dada kiri Tiurmaida. Ketika itu, ia sedang
menenangkan Marsius. Tiurmaida berupaya mendekap, tapi rahang suaminya lebih
dulu meretap.
Demi Tuhan! Sebetulnya Tiurmaida tak tega menyaksikan
Marsius terlentang di atas dipan lapuk tak berkapuk, dan dikekang beberapa
balok dan rantai. Marsius tambah kurus. Matanya cekung, melengkung seperti
sepasang sabit yang mencabik-cabik hati. Benar, terkadang tatapannya kosong
bagai lorong teramat sepi. Tapi terkadang lorong itu menjadi dua tungku yang
menyemburkan api. Dagu dan rahangnya seperti tebing curam, rapuh, dan penuh
belukar. Tulang-tulang Marsius menonjol, membuat bagian tubuh yang lain seperti
liang-liang kecil yang menganga. Punggungnya terkelupas karena sudah tergeletak
kurang lebih tujuh bulan lamanya. Tapi apa hendak dikata, perangai suaminya tambah
parah saja. Memasung Marsius adalah pilihan terbaik sekaligus menyesakkan bagi
Tiurmaida.
Ia sudah mendatangi banyak datu, orang pintar yang dianggap sakti di kampung itu. Namun
hasilnya nol beku. Beberapa datu di
kampung tetangga juga sudah dikunjungi. Lagi, harapan sembuh belum terpenuhi.
Tapi selalu ada kekuatan lain yang membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bersama
Marsius, dadanya ibarat danau lapang yang siap menampung segala kepedasan
hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya, meski akhir-akhir ini keluarga
Baginda Paruhuman sering membujuknya agar meninggalkan Marsius. Dua hari
lalu—entah yang keberapa kali—ibunya kembali datang.
“Apalah salahnya kalau kau menikah lagi.”
“Keputusan itu sudah kupikirkan masak-masak, Bu.”
“Masih muda kau itu, Tiur.”
“Iya. Tapi tak mau aku mangidolong!”
“Pikirkanlah sekali lagi.”
Tapi Tiurmaida menjawab dengan gelengan yang tegas. Ia
tidak mau mangidolong, meskipun itu
diperkenankan hukum kampung. Berdasarkan isyarat adat, istri pantang meminta
cerai. Andai terpaksa, mangidolong
adalah satu-satunya jalan, agar keinginan istri untuk berpisah dapat terwujud.
Biasanya istri lari ke rumah orangtuanya. Dengan begitu, keluarga pihak suami
akan mendatangi keluarga pihak istri. Maka digelarlah mufakat, mengalirlah
nasehat-nasehat agar suami istri yang bertikai kembali seangguk sepakat. Tapi
jika istri menolak, terpaksa pihak suami menyodorkan talak.
Namun Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tidak untuk mangidolong! Sebab itu hanya memuluskan
perjodohannya dengan anak namboru,
anak dari saudara perempuan Baginda Paruhuman. Tiurmaida menolak rencana itu
bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga. Tapi karena ia
masih tulus mencintai Marsius. Lagi pula, ia tidak sedang bertengkar dengan
Marsius. Iya, terus terang keinginan untuk menikah lagi sering memercik di
keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tigapuluh dua. Tapi setiap mengenang
segala pahit-manis kebersamaannya dengan Marsius, keinginan yang hinggap itu
seketika lenyap.
Tentu Tiurmaida tahu segala risikonya, dan ia siap
menanggung itu. Ia sudah terbiasa menahankan beling perih sebuah risiko.
Bukankah risiko yang mengintai ketika ia memutuskan menikah dengan Marsius. Ah,
berkait kepedihan masa lalu masih menancap di sembab ingatannya. Orangtuanya
terang-terangan menentang Marsius sebagai calon menantu. Ketika itu, serapah
apa lagi yang belum limpah? Padahal menurut Tiurmaida, alasan penolakan
keluarganya terlampau mengada-ngada. Ya, hanya bersebab dendam lampau, ketika
lamaran ayahnya pernah ditolak mendiang ibu Marsius.
Namun, meski kelak tercampak dari keluarga, Tiurmaida
tetap berkeras memilih Marsius. Tekad sudah demikian padat. Marsius dan
Tiurmaida nekat marlojong, kawin
lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka ketika mengetahui anak gadisnya
raib. Apalagi ketika mereka menemukan abit
partading di bawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk
surat, dan sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis telah
berketatapan hati menikah dengan pilihannya. Lazimnya, selang
beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan.
Mereka bertamu untuk memberi tahu ulang peristiwa marlojong, selanjutnya merembukkan rencana pernikahan secara adat
dan agama.
Tapi Baginda Paruhuman tak memberi kesempatan kepada
utusan keluarga Marsius untuk duduk bersila di dalam rumahnya. Berarti ia tetap
tak merestui Tiurmaida. Namun apa boleh buat, pernikahan harus dilaksanakan
meski tanpa kehadiran ayah dan ibu Tiurmaida. Soal izin dan wali nikah,
peraturan adat melimpahkannya kepada uda
Tiurmaida—adik laki-laki ayahnya. Marsius dan Tiurmaida pun sah menjadi suami
istri. Mereka menyusun cita-cita dan mimpi, pingin punya anak sebagai pelipur
hati. Penuh harap pula mereka, kelak kehadiran anak akan melunakkan hati ayah
dan ibunya.
Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yang
memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida. Bayangkan, sembilan
tahun berumah tangga, mereka tak juga dikaruniai anak. Maka harapan untuk
mengait simpati keluarga adalah mimpi yang terbengkalai. Malah orangtua dan
sanak famili terus menghunus cibiran: “Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi
Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!”
Ois, dengan
susah payah Tiurmaida dan suaminya mengasah kesabaran. Tak patah arang mereka
pergi kian kemari. Harta warisan milik Marsius: sawah dan ternak habis digadai
demi keinginan memangku anak. Berobat kampung sudah dijalani, tak terbilang
bidan yang mereka datangi. Mereka berulangkali pulang pergi ke rumah sakit di
Sidimpuan—dari kampung sekitar satu setengah jam naik mobil sewa. Tapi hasilnya
berbuah hampa. Bahkan belakangan, dokter menyatakan rahim Tiurmaida bermasalah!
Itulah vonis yang mengiris. Namun Tiurmaida harus tahu
diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak, demi menikahi perempuan lain, dan punya
anak. Tapi mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tidak akan
meninggalkannya. Tiurmaida terharu, tapi juga resah. Ia pasrah, hampir
menyerah. Tapi ketika hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak
ganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar,
ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida dan Marsius menyambut hadiah
Tuhan itu. Apalagi setelah anak tersebut lahir dengan sehat. Anak laki-laki,
namanya Maramuda.
Memang, pancaran kebahagian tetap mengguratkan keperihan.
Mengapa? Karena keluarga besar Baginda Paruhuman tak ambil bagian dalam
bingar kegembiraan itu. Malah, bukan ucapan suka-cita yang mengalir ke telinga
Tiurmaida, melainkan gumpal kalimat berbalut pecahan kaca. Begitu legam kiranya
dendam ayah dan ibunya. O, semudah itukah memutuskan tali darah antara orangtua
dengan anak? Berpekik-pekik ia dalam hati.
Tapi ampun, hantaman yang lain kembali meremukkan dada
Tiurmaida. Maramuda meninggal ketika usianya baru dua tahun tiga bulan! Pusaran
air yang menyintak Maramuda dari
lengan Marsius saat mereka mandi ke sungai. Oihda,
mengapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dalam ratap. Pedih!
Tapi inilah alur takdir yang musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya,
bahwa segala peristiwa senantiasa merindangkan pohon hikmah. Meski ia tak tahu
kelezatan apa yang kelak dicecapnya.
Ia hanya tahu, kalau kematian Maramuda membikin Marsius
terpukul. Itukah yang menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara
sendiri, dan tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dengan dirinya sendiri,
lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tak punya anak lagi. Rasa cemas
selalu mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak
terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil—seumur Maramuda—dari gendongan
para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius harus terperosok ke
dalam kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, dan terkapar. Ia
direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yang parah.
Peristiwa itu tidak sekali dua kali terjadi, dan akhirnya
menuntun Marsius menikung ke sebalik pasung. Tapi Tiurmaida harus tabah,
apalagi ketika seketip harapan datang menyelip. Iya, belakangan ini
keluarganya—terkhusus ibunya—sering berbelok ke rumahnya. Meski baginya itu
terlambat, ia tetap bersyukur. Ia sedikit lega dan berusaha untuk tidak
tersungkur ke kolong kesumat. Apalagi ketika ibunya tak pernah penat
bernasehat, juga tak henti meniupkan bergumpal semangat ke rompal hidupnya.
Namun seiring itu, kekecewaan berjuntai pula di ranggas pikirannya. Rupanya,
kebaikan keluarga Baginda Paruhuman berhilir kepada perjodohannya dengan Ali
Tukma.
*
* *
Kini karung keenam. Paling tidak ia bisa menuntaskan satu
dua karung lagi, sebelum hari benar-benar terjerembab ke kubang gelap. Di
sekitarnya, batu-batu—sepangkal paha—hasil longsoran terbaru masih tersisa
beberapa onggok lagi. Berarti sepekan ke depan, ia masih mempunyai kesempatan
menukarkan tenaganya dengan uang. Tiurmaida tersenyum, lalu menatap cahaya
buram yang menyala di rumah Marolop. Itulah satu-satunya rumah di kawasan
pinggang bukit itu. Marolop mandor para pemecah batu. Ia yang menampung
serpihan batu-batu, sebelum mengirimnya dengan truk kepada para pemesan di
Sipirok atau di Sidimpuan. Lelaki itu pulalah yang membayarkan upah sesuai
jumlah karung yang diselesaikan.
Usai magrib, biasanya Marolop turun ke kampung,
menghabiskan dua pertiga malam di kedai kopi sambil berjudi. Maka Tiurmaida
harus lekas menyelesaikan pekerjaannya, lalu menyeret karung-karung itu ke
hadapan Marolop. Kalau tidak, ia akan kehilangan Marolop. Dan Tiurmaida musti
menunggu besok untuk memperoleh upah hari ini. Padahal upahnya bakal lebih
sedikit dari hari sebelumnya. Biasanya Tiurmaida sanggup mengerjakan dua belas
karung batu dalam sehari. Sekarung batu imbalannya sembilan ratus rupiah,
berarti ia akan mengantongi upah hampir sebelas ribu per hari. Tapi tidak untuk
kali ini. Sebab sepetang ini, baru lima karung yang berisi. Itupun dikerjakan
sambil menahankan sayatan-sayatan kecil di induk jarinya yang anyir.
Teman-teman Tiurmaida, satu-satu berangsur pulang ketika
mendung mengapung dari celah bukit. Beberapa malam terakhir, lebat hujan dan
kesiur angin berjam-jam mengepung kawasan bukit dan kampung. Tapi malam ini
Tiurmaida sepertinya akan terus mengayunkan martil, terus memecah batu-batu
dengan sisa kekuatan. Sesekali ia betulkan letak tudung kain di kepalanya.
Angin yang meluncur deras dari pundak bukit yang koyak kadang menggigilkan
tulangnya. Tapi wajah Marsius yang memintas-mintas di serambi kenangan,
menghembuskan kehangatan baru ke tubuhnya.
Sesekali Tiurmaida menghela napas, meluruskan lengkung
punggung sambil mendongak ke atas. Perlahan ia perhatikan langit membentuk
payung raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara.
Segeliat lagi terompah waktu akan menginjak pangkal malam. Ia menoleh ke
belakang, menyaksikan barisan bukit tandus seperti berpenggal kepala yang
berantakan. Sorot mata Tiurmaida berpindah ke arah depan, ia pandangi sembul
cahaya dari rumah-rumah penduduk di kaki bukit. Ah, indah! Dari jauh semacam
kilau danau. Apalagi ketika hujan terburai dari perut langit, bilah-bilah air
yang dipantuli cahaya seperti percik kembang api.
Entah karena keindahan itu, hujan yang berkelebat dalam
gelap tak menciutkan nyali Tiurmaida. Padahal tubuhnya berkelambu hujan.
Tangannya menebal, tapi ou, mengapa tak mampu memental kengiluan yang menerobos
luka induk jarinya. Tiurmaida menggeletar, tapi kian erat genggamannya pada
martil. Rahangnya berdetap, tapi ayun tangannya tetap menetak batu. Deru hujan,
desir angin, sentak petir, juga denting batu-batu ibarat lagu-lagu yang
meneguhkan semangatnya. Tapi dari arah bukit, samar-samar terdengar lagu aneh
yang menyusup ke telinga Tiurmaida. Ia tidak paham kalau lagu itu bernada
gemuruh.
Aduh!
Medan, 2005-2006
s
Horison, Ediusi Februari 2006
Cerpen Hasan Al Banna
R a b i a h
“Rabiah Dihukum Gantung! Seorang Tenaga
Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia, saat ini sedang menunggu pelaksanaan
eksekusi mati di negeri ringgit, Malaysia.”
Tentu saja berita ini cepat menyebar, menjalar seperti ular. Atau seperti
jalar api melahap daun-daun kerontang. Aku, Rabiah kontan menjadi topik
pembicaraan. Dari pemberitaan yang ramai di surat kabar maupun televisi di
negara kita, mungkin Ibu sudah tahu bahwa aku, anakmu bernama Rabiah ini, musti
menghadapi kenyataan sebagai seorang pesakitan yang menunggu dekapan maut di
rantau orang. Benar katamu, Bu: “Hidup umpama main ular tangga.”
Inilah jalan hidupku, Bu. Tapi aku tetap percaya bahwa ini adalah jalan
terbaik yang diberikan Allah untukku, untuk kita. Sebab segalanya bermula dari
niat baik. Bukankah Ibu sudah tak mampu lagi menyembunyikan helai uban yang
menyembul di kepala? Kian hari, kian menegaskan warnanya. Kulit Ibu telah pula
menyusut, membentuk garis-garis renta yang mengeriput. Ibu pun mulai
sakit-sakitan, asam urat yang sering kumat, dan batuk yang bergeluduk. Tak
tegalah aku membiarkan Ibu seumur hidup menjadi tukang cuci. Aku berniat
meringankan beban Ibu. Lalu datang Bu Ifah, tetangga kita yang baik hati itu
menawarkan pekerjaan. “Ibu punya saudara yang bisa membantumu,” katanya. Dan ia
pula yang menyarankanku mengurus izin secara resmi. “Kalau sudah mengantongi
surat resmi, tidak akan ditokohi. Jangan takutlah.”
Maka atas saran Bu Ifah itu, Rabiah pun memohon restu
pada Ibu, untuk bekerja ke negeri seberang. Bekerja yang halal, bukan yang
macam-macam. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Ibu memberi izin kan?
“Bolehkan, Bu?”
“Kalau sudah dengan niat baik kau berangkat ke sana, berangkatlah.
Ibu merestuimu, Rabiah. Lagi pula kau ini kan sudah dewasa, sudah duapuluh satu
usaimu. Tentu tahu mana yang manfaat,
mana yang mudarat.”
“Terima kasih, Bu. Terima kasih.” Aku memelukmu saat itu.
Sebuah kecupan pun kulabuhkan di pipimu yang lengkung, Bu.
Ibu membalas dengan senyuman, padahal aku tahu, dibalik
senyuman itu terselip juga kekhawatiran, mungkin akan terjadi sesuatu yang
tidak baik denganku. Itu kekhawatiran yang wajar menurutku. Perasaan naluriah
seorang Ibu terhadap anaknya. Apalagi sudah sering kali Ibu, tentu juga aku,
mendengar kabar tentang nasib tragis yang menimpa para pekerja wanita di sana:
korban kekerasan, diperas, berbulan tak diberi gaji, digadai, dijual,
diperkosa, lantas dibunuh.
“Yang penting, pandai-pandailah menjaga diri. Kita memang
bukan orang yang berada, Rabiah. Tapi kita punya harga diri, itu musti dijaga.
Hati-hati. Apalagi kita ini perempuan, jangan mudah diperangkap rayuan.”
“Jangan takut, Bu. Akan kugenggam
petuah itu sampai mati. Percayalah.” Begitulah aku meyakinkanmu, Bu. Ingatkah?
Nah, berbekal niat baik, restu dari Ibu, juga tabungan
semasa dua tahun bekerja di pabrik biskuit, aku mengurus surat-surat izin yang
legal, yang sah. Dan segalanya berjalan dengan lancar, alhamdulillah. Sesuai
dengan perjanjian, aku akan bekeja di sebuah pabrik kayu lapis. Ya, jumlah gaji yang dijanjikan juga lumayan
besar dibanding pekerjaanku sebelumnya. Namun aku tidak muluk-muluk, Bu. Tetap
menjaga diri dari rayuan mimpi yang kadang menyesatkan: Ingin kaya mendadak! Kalaupun akhirnya peristiwa yang pahit
ini harus kutelan, adalah semata takdir Allah, dan hal itu di luar kekuasaan
kita sebagai manusia, Bu.
Tidak, Bu. Ini bukan salah siapa-siapa. Tidak ada yang musti kita salahkan. Tidak
bijak itu kan,
Bu? Seperti yang sering Ibu ngiangkan ke telingaku, “Belajarlah mencari
kesalahan dalam dirimu sendiri. Jangan hanya mahir menyalahkan orang lain,
termasuk menyalahkan keadaan. Itu tanda orang yang lemah iman.”
Tidak
juga, Bu. Tidak ada sedikitpun firasat atau mimpi buruk yang menghalauku untuk
tidak jadi merantau. Atau, Ibu yang selalu dihinggapi perasaan yang tidak enak?
Tapi, ah, untuk apa kita membahas soal yang begitu. Firasat, mimpi buruk,
perasaan, adalah hal yang sering kita abaikan. “Semua itu, yang di ataslah yang
mengatur,” berulang-kali kalimat itu Ibu ucapkan, bukan? Dan aku mengangguk
isyarat setuju.
Tidak
ada yang mencurigakan sebenarnya, biasa-biasa saja, Bu. Kami yang semuanya
perempuan, sebanyak duapuluh empat orang berangkat dengan kapal Feri, berlayar
menjemput rizki. Dalam hitungan jam, Feri sudah menepi di sebuah dermaga yang
bisa dibilang sunyi. Tapi rasa cemas tak sampai menikung ke jantung. Masih
sempat kueja sebuah papan nama yang sudah terkelupas catnya: Pelabuhan Tawau, Sabah, Malaysia
Timur. Aku tenang, dan tetap dalam keadaan tenang ketika kami semua
diperintahkan turun dengan cara yang kasar. Begitu juga saat dipisahkan dari
rombongan besar.
Lalu
bersama seorang teman, namanya Nurminah kalau tidak salah, digiring dua orang
lelaki bertubuh tegap ke sebuah mobil bercat biru tua. Sebelumnya, mereka
meminta perlengkapan surat-menyurat, tapi tak dikembalikan. Dengan perjalanan
sekitar sepuluh menit, kami berdua kemudian diturunkan di depan bangunan yang
kumuh, berbentuk ruko. “Ini penampungan sementara, besok kalian akan mulai
bekerja.” Lelaki tegap yang memakai anting di kuping kirinya itu buka suara,
seperti menyergap kecurigaanku yang lahir seketika.
Melewati lantai dasar yang
seperti sebuah kedai kopi yang hening, kami menyusuri tangga sempit menuju
lantai dua. Di sinilah perasaan was-was mulai tumbuh, Bu. Dari hening aku
disambut suara yang bising. Pemandangan yang membuatku merinding. Kamar-kamar
yang berdempet, para perempuan muda berdandan menor duduk berjejer di depan
pintu-pintu kamar yang mengaga. Kebanyakan mereka memakai baju yang seksi, tak
berlengan dan bercelana pendek ketat. Aurat mereka menyembul berkilat-kilat.
Suara bisik-bisik bercampur cekikik. Sesekali tawa meledak, tiba-tiba menyalak.
Entahlah, aku seperti seekor kancil yang dikepung harimau, terdesak.
Nafasku
sesak, Bu. Sebagian dari mereka merokok, bibir mereka yang berwarna menyala
membubungkan asap yang menyengat. Seorang perempuan berambut sebahu muncul dari
balik pintu. Ia bergelayut manja di lengan seorang lelaki Menggali, di tubuhnya hanya melilit handuk kusam, legam. Mereka
berdua berjalan gontai menuruni tangga. Lalu entah dari mana, pekik jerit menyusup ke telingaku, “Ampun, Mam. Ampun. Tidak akan kuulangi lagi!”
Menyaksikan dan mendengar semua itu, yang pertama kali kupanggil adalah namamu,
Ibu. Aduh, di alam apa aku kini, Ibu?
Tapi derit pintu kamar yang
berat dan ngilu buru-buru mendamparkanku ke pantai ragu. Derit pintu itu pula
yang melenyapkan Nurminah dari sampingku. Aku sendirian, dimasukkan ke dalam
kamar berukuran 2 x 3 meter, lantainya semen. Di dindingnya yang kusam menempel
poster-poster yang tak beraturan. Di sudut ruangan, ada meja rias yang buram,
penuh bercak bedak yang mulai menghitam. Di situ tergolek sebuah cermin kecil
yang tak utuh lagi. Tak berbingkai, berbentuk segi tiga. Di samping meja rias
itu tersandar kursi kayu yang berdebu.
Ibu, ini kamar atau apa?
Lihatlah, rumah laba-laba
bertumpuk di lemari yang lapuk. Di jendela yang sudah berpatahan jerujinya,
melintang kain gorden abu-abu yang penuh koyakan. Di atas ranjang dan seprai
usang, teronggok selimut berwarna hijau lumut, juga handuk buruk. Seseorang
mengetuk pintu, perempuan berperawakan sedang, menatap dengan nyalang.
“Kamu yang bernama Rabiah?” Suaranya
pelan, tapi dingin. Aku mengangguk sekedarnya.
“Lekas mandi, dan pakai baju ini!” Ia pergi, usai menyodorkan pakaian
terusan terbuka yang mini. Dari logat bicaranya, ia mungkin orang kita juga,
orang Indonesia, Bu. Tak berbeda dengan cara bicara lelaki tegap tadi, juga
perempuan-perempuan yang berbisik-bisik di luar itu.
Ini bukan tempat yang kucari. Ibu tahu, aku tidak menuruti perintah
perempuan itu. Di jendela, kujatuhkan pandangan ke luar, lalu sebisa mungkin
menatap ke bawah, yang kulihat hanya halaman yang semak dan berbatu. Pikiranku
menerawang, Bu. Keringat dingin meluncur deras. Aku teringat Siti, temanku
se-SMA, yang nekad berangkat ilegal. Ia tak memperoleh pekerjaan, linglung,
lalu diperkosa, dan akhirnya menjadi pelacur. Ia pulang ke kampung dalam
kondisi gila. Kini meneruskan hidup bersama pasung. Ibu, seketika aku ingin pulang ke rumah. Entahlah,
kata-kata itu terus berdegup meletup di dadaku: Lari! Lari! Lari!
Brukk!
Ibu, tubuhku saat itu terhempas ke tanah berbatu. Dua meter sebelum
mencapai tanah (selimut, handuk, dan seprei yang kusimpulkan menjadi tali, satu
ujungnya kuikatkan di jendela, satunya lagi di pinggang) tak mampu menahan
tubuhku. Sakitnya luar biasa, Bu. Mungkin saja pinggangku patah. Aku rebah,
seseorang berlari ke arahku, entah apa yang diucapkannya. Lelaki tanggung itu
mendudukkanku sesaat, kemudian ia memapahku, mengaitkan lenganku ke bahunya.
Tapi, Bu, baru beberapa jejak kami melangkah. Lima orang lelaki berbadan tegap
menghalangi, dua orang di antaranya adalah dua lelaki yang membawaku tadi.
Tanpa bicara, dua orang dari mereka merampas tubuhku, yang tiga lagi
menghajar lelaki tanggung yang menolongku itu.
Sedang tubuhku diseret, Bu. Aku meronta semampu upaya, mencoba
meloloskan diri. Tapi tentu, tenaga mereka jauh lebih kuat. Aduh, Bu, kedua lenganku dicengkram. Pinggangku, Bu,
pinggangku, uh, nyeri sekali. Sayup-sayup masih kudengar rintihan laki-laki
tanggung itu, rintihan yang mengoyak-ngoyak jiwa. Rintihan yang kemudian lesap
ditelan caci-maki dua laki-laki yang menyeretku ke lantai dua.
“Perempuan brengsek!”
“Jalang!”
“Dasar brengsek!”
Selepas ditendang, aku tersungkur ke lantai, tepat di depan perempuan
bermata nyalang yang mengetuk pintu kamarku tadi. Aku tak bisa berbuat
apa-apa, hanya terkenang dirimu, Bu. Hanya Ibu yang kupanggil-panggil dalam
hati, berkali-kali.
“Ini dia, Mam. Perempuan brengsek
yang mencoba lari.” Lelaki tegap berkulit gelap melapor begitu sigap. Hening
sekejap.
“Kali ini, kamu aku maafkan. Tapi jangan kamu coba lagi. Kamu harus
melunasi hutangmu dulu! Setelah itu, terserah.” Tidak ada nada amarah, tapi
suara yang meluncur dari mulutnya betapa dingin. Bak belati
hendak menyayat nadi. Hutang? Aku berhutang katanya, Bu? Ah, kapan pula aku
berhutang kepada perempuan itu. Kenal pun baru saja. Jujur, Bu, pada saat itu
aku bingung, sangat bingung. Sandiwara apa yang sedang kuperankan ini?
“Boy, bawa dia ke kamarnya
kembali. Jaga perempuan ini, jangan sampai mengulangi perbuatannya lagi!”
Perempuan itu mengeluarkan maklumat. Lebih dingin, lebih menyayat. Dua lelaki
tegap itu mengangguk bersamaan. Mereka menyurukkan tubuhku ke dalam kamar.
Seluruh tubuhku rasanya berdenyut. Aku baringkan diri di tilam yang
tak berseprei lagi, sekedar menenangkan diri. Oh, wajah Ibu melintas-lintas di
beranda anganku. Kalau saat ini aku berada di rumah, Ibu pasti membaluri
badanku yang pegal dengan minyak urut, dan memijatinya dengan perlahan, sungguh
perlahan. “Kau terlalu capek, Rabiah. Jangan terlalu dipaksa badan itu bekerja.
Sesuatu yang dipaksa itu tidaklah baik.” Biasanya, suara Ibu yang bercampur batuk
akan membuatku terlelap, menuruti kantuk. Beberapa saat, aku segera terbangun
oleh aroma teh yang sengaja Ibu letakkan di samping ranjang. Iya kan, Bu?
Tapi di sini tak ada minyak urut, Bu. Tidak ada wangi teh yang menyapu
hidungku. Di sini hanya ada ringkik cekikik, suara-suara genit, tawa yang
menyentak, atau jerit minta ampun yang pilu. Ada juga derit pintu yang
menggetarkan nyaliku. Derit yang berkarat, yang memisahkanku dengan Nurminah,
yang menyeretku ke kamar ini lagi. Lalu tiba-tiba, yang mengantarkan seorang
lelaki asing yang berdiri di depanku. Entah apa yang hendak dilakukannya
padaku. Lelaki itu, seperti seorang cina, yang usianya kira-kira lima puluh
tahun itu sudah tak mengenakan baju lagi. Badannya tambun, lemak perutnya yang
buncit berlapis-lapis, terjuntai-juntai. Separoh kepalanya tak berambut. Aku
beringsut, tapi ia tak surut. Matanya jalang, dadanya mengempis-mengembang.
O, perutku mual. Tatapannya itu, Bu, seperti tatapan Ayah yang hampir
menindih tubuhku ketika aku masih berusia empat belas tahun. Ibu, Ibu, lelaki
ini mungkin juga hendak menindihku. Datanglah Ibu, terobos pintu, tendang
selangkang lelaki kurang ajar itu. Seperti Ibu menendang kemaluan Ayah, lantas
menyerapahinya, dan cepat-cepat memelukku dengan erat. Lalu, meskipun dengan
cekung pipi yang diluapi air mata, kita pergi meninggalkan lelaki tua yang
mengerang, layaknya kita membiarkan Ayah merintih meradang. Kita akan
pergi dari tempat ini, seperti kita yang pergi dari rumah. Dan tak pernah
kembali lagi. Tapi Ibu tak kunjung menerobos pintu, dan memang tak mungkin.
“Ayo, cantik, nak ke mana kau pergi.” Lelaki tua itu berbisik dengan
bahasa melayu yang fasih. Ia mendekat, Bu. Tapi tidak, ia tidak boleh
menjamahku. Sudah kukatakan, ia tidak boleh menjamahku. Baru saja tangannya
hendak menyentuh daguku, kusambar dengan gigitan terlebih dulu. Lelaki itu
menjerit, memaki tak henti-henti.
“Budak hingusan! Kasar sangat kau ni! Tiada budak yang berani
mempersiakanku seperti ini! Budak hingusan!”
Lelaki itu memegangi tangannya sendiri. Terus memaki, lalu pergi
menyisakan hempasan pintu yang tak berkunci.
Ibu, aku menang! Lelaki itu tak bernyali, hanya punya birahi. Aku menang,
Bu. Meskipun perempuan bermata nyalang yang dipanggil Mama itu akhirnya datang mengata-ngataiku, menjambak-jambak
rambutku. “Bangsat, perempuan tak tahu diuntung. Kamu apakan tamuku, hah? Kamu
sudah saya beli dua ribu ringgit. Dan kamu harus mengembalikan uang saya yang
lima juta itu ke saku bajuku.” Ia lalu membenturkan dahiku ke siku ranjang.
Darah mengucur, Bu. Tapi aku puas. Darah itu tidak mengalir dari kemaluanku.
Kubiarkan saja ia menamparku sesuka hatinya, juga tiga lelaki tegap suruhannya
yang mencambuk tubuhku dengan selang hingga remuk. Menendangiku, dan
meninggalkanku terkapar di lantai. Terlentang dengan darah yang menggenang.
Meski menahan perih, aku lega dengan
keadaanku yang seperti ini, Bu. Paling tidak, aku beranggapan laki-laki tua lontong
itu tak akan masuk ke kamar lagi. Tapi perkiraanku salah, ia sudah berdiri
di sisiku. Wajahnya merah buram, menyeringaikan gairah yang berbaur amarah.
Dengan sisa tenaga, aku bangkit, dan
melonjak ke belakang. Tubuhku menubruk meja. Laki-laki brengsek itu
mengikut pula. Ibu, aku terhuyung, mataku nanar. Lalu dengan mudah ia sudah
memelukku kuat, kuat sekali. Tapi, Bu, laki-laki itu hanya bisa mendekapku, tak
bisa lebih dari itu. Rekahan cermin di tanganku telah berubah menjadi belati,
kubelah punggungnya. Lalu cermin itu kutanam di lambungnya. Ia menggelepar.
Darah berpencar-pencar. Kami sama-sama berdarah, Bu. Tapi aku menang, ia kalah.
Lelaki itu mati oleh tanganku, sedang aku sebentar lagi mati oleh selilit tali.
Tidak ada yang salah apa yang
diberitakan surat kabar dan televisi itu, Bu. Aku memang telah membunuh lelaki
itu. Tapi Ibu sudah tahu kan, kenapa aku membunuhnya? Maka tidak usah Ibu
gelisah. Tidak usah Ibu sibuk mengemis bantuan untuk membebaskanku dari ancaman
eksekusi. Kalau ada orang-orang yang datang ke rumah untuk menawarkan jasa
bantuan, tolak saja dengan santun, Bu. Sebab di sini aku juga menolak jasa itu.
Aku tidak marah meski diteriaki gila
oleh Bapak-bapak dari konsulat RI yang datang menjengukku ke penjara tahanan
sementara Tawau.
“Maaf, Pak. Aku ikhlas jika dijemput maut dengan cara seperti ini.”
“Tapi tanpa pembelaan, itu sama halnya dengan bunuh diri.” Timpal seseorang
yang berdasi.
“Aku mati bukan karena bunuh diri. Tapi kerena membela diri, karena
memperjuangkan kehormatanku sebagai perempuan.”
“Kamu tidak boleh putus asa. Hidupmu di dunia ini masih bisa kita upayakan
bersama-sama.” Seseorang yang lain ikut meyakinkan.
“Aku mati untuk hidup. Dunia hanya persinggahan belaka. Masih ada tempat
yang lebih mulia, akhirat namanya.”
“Tapi hidup adalah amanah, wajib diperjuangkan, musti dipertanggung
jawabkan!”
“Kehormatanku sebagai perempuan juga amanah, Pak. Dan itu sudah aku
pertanggung jawabkan.”
“Dasar perempuan gila! Mati digantung kok menjadi cita-cita.”
“Cita-citaku ingin menjadi perempuan yang mulia .”
“Gila!”
Tidak, aku tidak gila, Bu. Aku waras. Dalam sidang, aku mengakui semua
perbuatanku. Tak ada sepicing kejadianpun yang kusimpan. Dua kali bersidang,
kasusku selesai. Keputusan hakim kuterima dengan lapang dada, sadar, dan dalam
keadaan sehat. Aku dihukum mati! Aku tidak melakukan pembelaan. Hanya satu
permintaanku pada Pak Hakim: Segera tunaikan eksekusi! Aku yakin jika Ibu pasti
percaya dengan ceritaku ini. Aku tidak gila. Tapi mereka tak sudah-sudah
berserapah: Gila! Lalu mereka mengirimkan seorang dokter spesialis jiwa ke
penjara. Namun ia pergi dengan menggendong hasil yang kosong. Sebab hanya
dengan diam aku menjawab rentetan pertanyaannya.
Begitulah, bukan aku pasrah dengan jalan hidup ini, Bu. Tidak aku hendak
menghianati ucapanmu, “Jangan sekali-kali kau menyerah pada keadaan.” Bukan,
bukan aku mudah menyerah, pesimis, atau tidak percaya dengan mereka. Ini adalah
takdir yang di atas, Bu. “Kita hanya menjalani apa yang telah digariskan
Allah.” Aku ingat betul petitih Ibu yang satu itu. Aku bangga mati karena
mempertahankan kehormatanku, kehormatan kita sebagai perempuan. Aku percaya,
Ibu juga pasti bangga. Aku, adalah Rabiah yang menang. Penjara ini? Ah, tidak
juga mampu mengalahkanku, Bu. Jeruji ini bahkan kian mengekalkan kemenanganku.
Kemenangan yang sempurna. Betapa aku bahagia.
Ada hal yang memang membuatku gelisah. Terus terang, aku rindu pada Ibu.
Aku ingin mencium pipi dan kakimu untuk yang terakhir kali. Tapi tak
apa-apalah. Itu tak mungkin lagi terjadi. Maafkan aku, Bu. Maafkan segala dosa
dan kesalahanku. Ufh, aku tahu, tak kesampaian niatku mengirimkan ringgit untuk
Ibu. Tak mungkin pula aku pulang membawa oleh-oleh baju kurung berwarna biru.
“Hei, Rabiah, mengeluh itu bukanlah perbuatan terpuji.” Nasihatmu kembali terngiang, seperti meredam
keresahanku yang melintang.
Aku memang resah, Bu. Bukan resah karena aku harus mati muda. Tapi kenapa
peluit eksekusi belum juga menunjukkan tanda-tanda berbunyi. Aku sudah tidak
sabar hendak disunting maut. Dipeluk, dan
dipagut maut. Aku ikhlas, Bu. Hidupku, tubuhku, ruhku, cintaku, dan
kehormatanku hanya kupersembahkan untuk maut. Aku senang mendengar keletak
sepatu petugas penjara menuju ke arah kamarku. Riang mendengarkan derit
gerendel pintu jeruji yang terbuka. Kusambut mereka dengan senyum, berharap
waktunya telah tiba. Ah, aku seperti terlempar ke masa kanak. Betapa girangnya
aku menyambut Ibu pulang dari pajak. Aku menghambur ke keranjang, merebut kue
serabi dan rujak. Tapi mereka hanya menggiringku ke ruang makan, atau ke
halaman untuk menyiangi taman.
Sungguh, Bu. Betapa aku tak sabar menanti saat yang mendebarkan itu,
disanding maut. Kapankah, kapankah? O, tidak pernah aku segairah ini, Bu.
Tidak pernah!
Medan, 2005
T A M A T
Dimuat di Koran Tempo, MINGGU, 9 Maret 2008
CERPEN
Kematian
Bob Marley
OLEH HASAN AL BANNA
Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas.
Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling
himpit. Mulut menganga, sekuak goa, tak
henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel
di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari
itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua
jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan
sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk
pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat
gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan.
Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya,
mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru
tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat
kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis
mengerubungi mayat.
Para tetangga terhenyak, lalu menjenguk berdesak-desak. Kesibukan
pun menjalar sedemikian rupa. Lebih-lebih kepala lorong, Haji Fadel.
Perintah-perintah tumpah. Di luar, sebagian orang memasang tenda. Di beberapa
sudut lorong, ditambatkan bendera sungkawa. Hujan reda tak reda. Angin
timpa-menimpa. Lantas pengeras suara masjid menyala, membagikan kabar
duka-cita: “…telah berpulang ke rahmatullah: Bob Marley, tutup usia tiga puluh
sembilan tahun. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka, lorong Dermawan,
di sebelah rumah tuan kadi Irham. Insya Allah, almarhum dikebumikan besok,
setelah sembahyang zuhur…”
Bob Marley. Demikian warga lorong Dermawan memanggilnya. Ia memang senang
bernyanyi, meski tidak mahir. “Alah, suaraku angka merah, kawan,” selorohnya.
Tapi kalau pesta kawin, ngayun anak,
atau sunatan pakai acara keyboard,
maka ia akan bernyanyi sepukul-dua pukul. Atau temuilah Bob Marley di antara
lapak tuak yang berderet di ujung pelabuhan. Di sana, sambil tenggen bersama peminum lain, ia
bernyanyi sampai serak. Ia suka lagu
batak, juga beberapa lagu milik Rhoma Irama. Dan tak pernah ketinggalan, lagu
wajib: gereja tua.
Tapi jangan silap, Bob Marley bukan penggemar Bob Marley. Mana kenal ia
sama penyanyi reggae legendaris asal
Jamaika itu. “Pemain bola negara mana Bob Marley?” tanyanya dengan keluguan
yang sempurna. Hah, maklumlah, ia hobi segala judi, termasuk taruhan skor pertandingan
bola. Padahal, sama sekali ia tak pernah hapal pemain-pemain top, bahkan nama
klub eropa yang menjadi unggulannya. Pun pula hendak mengetahui riwayat Bob
Marley ia?
Jadi, apa pasal orang-orang menyerunya dengan nama itu? Andaipun dicari
kepersisannya secara kasat mata, paling karena warna kulit—yang gelap, atau
rambut gondrongnya. Tapi tentu, ia tidak dengan sadar menjalin rambutnya
menjadi gimbal. Apalagi paham dengan kandungan filosofinya; menjalin rambut
adalah perjalanan jiwa, pikiran, dan spritual yang mengajarkan kesabaran.
Ehem-puih! Harap diketahui, sejak lajang, rambut ikalnya yang sebahu—sewarna
daun setengah masak—jarang disisir, lalu terpilin secara alamiah, menciptakan
bingkahan rambut tak beraturan.
Namun, entah karena alasan apapun nama Bob Marley itu melekat pada dirinya,
ia senang dengan panggilan itu. Tak ada niat protes. Tak ada nota keberatan.
Maka warga pun lupa, bahkan ia sendiri alpa, jika ia pernah menyandang nama:
Jusmar Gazali bin Hoesin!
* * *
Pagi meniti nyeri. Hujan kandas. Di udara bertabur wangi air mata. Di dagu
pintu, tepatnya di atas kursi kayu, diletakkan baskom bergunduk beras catu.
Orang-orang yang tukam, menjumput
butiran beras sambil membenamkan sejumlah uang, lalu beringsut menghampiri
keluarga almarhum. Di rumah duka, warga melimpah. Jenazah Bob Marley dikerumuni
istri, Mak Nuridah—ibu Bob Marley—yang uzur, dan ketujuh anaknya yang terpaksa
berstatus yatim. Sanak dan keluarga dekat dari luar kota, sudah labuh sebelum
subuh. Isak tangis pun timbul-tenggelam.
Di luar, pelayat berbaur di sekitar tenda. Bercakap-cakap. Saling
menyalam. Berbatang rokok disulut. Ada juga tergerai renda tawa. Beberapa orang
sibuk mengukur, menggergaji, dan mengetam bilahan papan untuk keperluan
pemakaman. Nawawi begitu tekun mengukir tulisan—Bob Marley bin Hoesin, bukan
Jusmar Gazali bin Hoesin—pada sepenggal broti. Untuk nisan sementara itu. Di
sudut lain, sebidang kain putih tengah disiapkan menjadi kafan. Bang Sapri baru
saja beranjak ke kuburan usai mengukur lebar-tinggi tubuh Bob Marley. Keranda,
selubung dan payung keranda sudah diangkut dari masjid. Tiga blong besar air,
penuh. Cukuplah untuk memandikan jenazah. Kapur barus, sabun, dan wewangian
telah tersedia.
Ibu-ibu duduk bersempit-sempit di ruang tengah. Tikar rompal menutupi
lantai tanah, sekalian menghalau uap lembap. Berkesiur lafaz doa dan yasin.
Ganti-berganti. Sekali kesempatan, nasehat mengucur, menghibur. Gemerisik bunyi
bisik-bisik. Kadang nada bicara terdengar seperti dengungan kecil.
Samar. Khusuk. Tapi mereka tidak sedang bergunjing! Mungkin, sedang mengais
jawaban?
Hampir sejak sebulan lalu, warga Dermawan sudah heboh dengan kabar
hilangnya Bob Marley. Apalagi saat itu, Wak Bardansyah hendak mengadakan
perhelatan perkawinan putri sulungnya. Ada acara keyboard, tentu. Dan biasanya, Bob Marley menjadi pawang keamanan.
Maka tak akan ada pemuda lorong lain yang bernyali membikin kekacauan. Biduan
dan tukang keyboard pun aman dari
ancaman: Dipaksa tampil sampai pagi! Hasil akhir, hajatan bersih dari buih
tuak, tanpa ruap gelek, dan tak ada
joget panas di atas pentas.
Namun Bob Marley raib! Wak Bardansyah terpaksa menyewa ormas pemuda
setempat untuk mengurus keamanan. Pastilah itu membutuhkan anggaran tambahan.
Padahal, bayaran tidak berlaku bagi Bob Marley. Bakal ia tolak itu
mentah-mentah. Gantinya, susupkan saja rokok ke saku bajunya, mantaplah itu.
Tapi tanpa Bob Marley, pengeluaran biaya keamanan membengkak. Tak ada
kericuhan, iya. Tapi selain uang kontan, si empunya pesta musti menyediakan
berceret tuak, minuman penambah energi plus rokok berbungkus-bungkus. Maka bagi
Wak Bardansyah, begitu mahal harga kehilangan seorang Bob Marley. Apa boleh
buat!
Entah mengapa, orang-orang di luar lorong Dermawan macam gentar setiap
mendengar nama Bob Marley. Paling tidak, mereka enggan bersangkut-paut masalah
dengannya. Memang, warga lorong Dermawan tahu kalau Bob Marley agen gelek. Sudah rahasia umum itu. Tapi pantang
bagi Bob Marley mengedarkan daun ganja kepada anak lajang lorong Dermawan. Ia
pun tak berniat menghasut mereka menyedot gelek.
Malahan, si Bahrum—cucu Andung Alang, usia belasan dan putus sekolah—pernah
ditempeleng Bob Marley karena kedapatan begelek.
Benar, Bob Marley gemar menenggak tuak. Namun tak pernah ia pulang sambil
meracau, meski sedang tenggen habis.
Bahkan, jika berpapasan dengan tetangga, ia tetap ramah dan seperti orang sadar
melempar sapa. Mmh, tentang tuak, Bob Marley pernah mengancam akan membakar
rumah Inang Girsang di seberang jalan lorong Dermawan. Itu terjadi kalau Inang
Girsang berkeras juga membuka lapak tuak di daerah itu. Untung ancaman susut,
ya, karena Inang Girsang membatalkan rencananya. “Anak-anak di lorong ini kan
baik-baik, jangan pulak dikasih
tuak,” Bob Marley menyodorkan alasan.
Tapi, kalau soal judi, bolehlah Bob Marley bertoleransi. Ia tak pernah
melarang lajang-lajang seputaran lorong Dermawan berkartu sambil taruhan, atau
main judi dadu di hadapannya. “Mainkan saja, genk! Asalkan jangan merusuh, tak ada minuman, dan jangan begelek!” Bob Marley menyilakan, tapi
tak lupa meninggalkan peringatan. Sesekali, ia tergiur juga bergabung. Ya, main
setarik-dua tariklah.
Andai bertanya pada tetangga tentang sosok Bob Marley, mereka menjawab apa
adanya: “…o, baik orangnya itu. Ya, tak alim-alim kalilah. Solat paling hari Jumat,
itupun jarang. Tapi dia itu rajin ikut wirid yasin tiap malam Jumat. Jangan
sepele kelien, pandai mengaji dia.
Sudah itu, kalau ada warga yang meninggal, Bob Marley giat mengurus keperluan
kifayah jenazah, khususnya menyiapkan galian kuburan. Terus, biar tau saja, hampir tak pernah absen dia
ikut tahlilan, genap tiga malam. Pokoknya…”
Namun, bukankah Bob Marley bertampang bajingan? Iya, badannya setipis
rempeyek, compang-ramping. Tapi kata orang, wajahnya setandus bulan padam,
menakutkan! Nyaris bengis dengan mata redup yang keruh, merah, dan mendidih. Dari
lehernya—hingga menukik ke bahu, melintang luka lampau yang berkarat. Lalu, ada
tiga tato bersarang di tubuhnya. Dua terpacak di lereng bahu, bergambar jangkar
dan wanita tak berbaju. Satu lagi bergambar tweety.
“Orang rumahku sukak kali filim kartun ini.” Itu kata Bob Marley
sambil menunjukkan tato yang terpatri di dada kiri. “Tato ini punya istriku,”
ujarnya, entah sedang menggelar kelakar.
Memang, kedengarannya seperti lelucon. Tapi menurut orang-orang—yang bukan
warga lorong Dermawan, itu tidak memupus penilaian mereka terhadap Bob Marley:
seorang bajingan! Warga lorong Dermawan hanya membalas tuduhan itu dengan
isyarat bahu. Mereka malas membahas tabiat Bob Marley di luar yang mereka
ketahui dan saksikan sendiri. Pendek kata, sebajingan apa pun Bob Marley, tak
pernah sejarahnya menebar onar di lorong Dermawan. Sebaliknya, warga merasa
tentram dengan keberadaan Bob Marley.
Dulu, sebuah rumah di lorong Dermawan pernah ditumpas maling. Tapi berselang setengah hari, gondolan vcd serta
tivi kembali tanpa cacat, dan tanpa sempat berpindah ke tangan penadah. Entah
bagaimana cara Bob Marley memulangkan barang berharga itu. Tapi yang pasti,
sejak itu, tak pernah lagi rumah-rumah di lorong Dermawan menjadi sasaran
maling. Maka kini, tidakkah berita hilangnya Bob Marley menggoreskan sedikit
rasa was-was? Dan hei, Bob Marley, di manakah?
Desas-desus berhembus, enteng, juga serius: Bob Marley diculik jin, Bob
Marley kawin lagi, Bob Marley pergi melaut berhari-hari, Bob Marley korban
tabrak lari, atau jangan-jangan, Bob Marley mati dibunuh, dan mayatnya
dimutilasi. Tapi prediksi itu hangus ketika seseorang menitipkan secarik kertas
lusuh buat istrinya—setelah dua minggu Bob Marley hilang. Ada tulisan singkat
dan kusut di situ: “…Abang ketanggok
polisi, Mala. Tapi tak usah takut kau. Paling lama, dua hari lagi Abang
keluar…” Lega menghela dada istri Bob Marley.
Warga pun turut lega. Tapi kembali cemas ketika Bob Marley tak kunjung
bebas. Hari sudah hanyut sejumlah sebelas. Maka tanpa komando, warga
berinisiatif mengumpul dana, sebagai modal bernego dengan pihak terkait. Tentu
demi menjemput Bob Marley dari bilik berjerejak. Nun, niat belum sepenuh
terlaksana, Bob Marley sudah pulang, tapi tak beserta nyawa. Ia kembali dari
kehilangan, tapi sedang menuju ke kehilangan abadi. “Suami ibu dikeroyok sesama
tahanan sel,” kata istri Bob Marley menirukan ucapan salah satu lelaki
pengantar jenazah suaminya. Ketika warga menanyakan hasil visum, Mala
menggeleng. Pasrah.
* * *
Siang menjelang. Menyiang. Jenazah Bob Marley sudah dimandikan. Ratap
istrinya merayap, ketujuh anak ia dekap. Air mata ambruk. Duka ibarat laut tak
berdermaga. Warga lorong Dermawan berkerumun. Meski tak bepekik tangis, tak
melejit jerit, kepala mereka bertudung kesedihan. Di wajah mereka menggantung
mendung muram. Ketahuilah, mereka sebenar kehilangan Bob Marley! Tulus.
Waktu terus menghunus. Isak meledak ketika Bob Marley segera dibungkus.
Tapi mendadak kepala lorong—juga tuan kadi Irham, dan Abah Taher—tergopoh
menyela. Lantas terlibat diskusi dengan pihak keluarga. Lumayan lama. Hingga
membatu angin. Tapi kemudian, selesai berangguk-angguk, kepala lorong buka
suara: “Jenazah akan kita usung lebih dulu ke rumah sakit, untuk divisum!”
Hadirin sepakat. Ini kematian yang janggal. Sumpah, sejak mendengar
kematian Bob Marley, berkelebat kutuk, menendangi dada warga lorong Dermawan:
“Bah, keji kali kematian Bob Marley itu..!”
Medan, Mendung 2006
Dimuat di Kompas, MINGGU, 15 Juni 2008
CERPEN
Sampan
Zulaiha
Oleh HASAN AL BANNA
Ia mengekori Bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri
Bapaknya menenteng sejumlah bubu
bambu perangkap ikan, juga beberapa
bubu nilon penjerat kepiting.
Tangan kanannya menggengam sepasang dayung. Nurdin, meski usianya kurang
sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan menjinjing bekal.
Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut bersama
Bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan
hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang
sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya. Nikmat!
Sampan masih tertambat, tapi terkulai-kulai diayun putik ombak. Bapaknya
menyulut rokok, dan Nurdin begitu sigap menguras air dari lengkung sampan.
Diam-diam Zulaiha menggeliat ke sisi Nurdin. Sampan berguncang! Lalu terdengar
dengus yang rakus, disusul suara gedebab, semacam pelepah kelapa menimpa
sesuatu. Zulaiha terjerembab! Di punggungnya, bukan tanggung rasa panas yang
menjalar. Kepala dayung yang dihantamkan Bapaknya ke tubuh Zulaiha. “Berapa
kali Bapak katakan, kau tu tak boleh
melaut. Anak jadah!”
Zulaiha bangkit ditopang derit sakit. Tapi ia tidak meringis, apalagi
menangis. Sudah berulang-kali ia mengalami kejadian semacam itu. Benar, sesaat
matanya nanar, merah, dan pedih. Kepalanya sempat tersungkur ke dangkal laut. Hidung dan
mulutnya berlumpur. Tapi dengan napas tertahan, ia remas bajunya yang terbasuh
laut. Ia kibaskan lumut yang bergayut di lutut. Dan kemudian, sorot matanya tak
berkedip, begitu seksama melepas sampan membawa Nurdin dan Bapaknya berarung ke
jantung laut. Nasib belum mujur.
Tempo hari, sebenarnya Zulaiha lihai memasang akal. Ia
terlebih dulu menuju sampan. Lalu ia benamkan tubuhnya di setumpuk jala bekas
yang tertinggal di sampan. Tentu buah dari harapan Zulaiha, Bapaknya luput
mengetahui keberadaannya. Maka ia akan turut melaut. Tapi kandas. Sebelum
sampan beranjak ke lenguh ombak, Bapaknya menyuruh Nurdin mengembalikan jala
koyak itu ke rumah. Dan ketahuan. Maka tak ada keraguan, setelah Zulaiha
dijinjing, sebuah tendangan membikin Zulaiha terlentang, berlalu pulang. Nun,
di dadanya membuncah cita-cita—atau kesumat sejati yang mengkilat?
Suatu hari nanti, aku akan melaut.
Sendiri! Musti sendiri!
* * *
Zulaiha betapa mencintai laut. Lumrah itu. Bukankah ia tumbuh di lingkungan
laut? Bahkan konon, kata kerabatnya, Zulaiha lahir saat laut pasang menyeruduk
rumah mereka. Maklum, rumah rapuh mereka
teronggok dekat paloh, rendam rawa di
sekitar bengkalai bakau. Nek Sakdiah, dukun beranak Mak-nya saat itu, malah
sempat memandikan Zulaiha dengan air asin. “Baru lahir saja sudah minum laut,”
seloroh mereka. Memang, sejak kecil, tabiat Zulaiha memperlakukan laut sering
dianggap tak lazim. Iya pula, ketika beranjak tidur, Zulaiha musti mendekap
botol bir berisi air laut. “Mm, ada-ada saja,” geleng tetangga berbalut geli.
Selain itu, setiap kali hatinya dicengkram kuku-taring kepiluan, atau
sedang bertabur kembang sukacita, Zulaiha pun bersegera ke tepian laut. Tak
siang tak malam. Adalah bangkai dermaga kayu, tak jauh dari rumah mereka, lapak
kegemarannya. Sering ia kedapatan duduk sebatang diri di situ. Betapa lapang
Zulaiha melempar pandang ke hampar laut. Sorot matanya menyeruakkan tangan,
hendak merangkul kaki langit yang sembunyi di balik punggung laut? Sambil lalu,
ia biarkan julur ombak menggeli-geli kakinya. Baginya, lidah laut seperti belaian
beludru.
Lautkah gemulai rahim yang
mendamparkanku ke dunia?
Pada lain waktu, Zulaiha sebenar tekun tegak dengan tubuh yang oleng. Ia
songsong geriap laut, ia hirup napas ombak, lalu rentanglah tangannya, semacam
mendekap angin beraroma garam. Erat. Rambutnya yang sebahu—berwarna senja, kusam dan camping—tak pernah terikat.
Tergerai, berkibar diangguk-geleng angin. Mungkin bagi Zulaiha, laut adalah
pangkuan kaki yang tak pernah menendang tangkai hidungnya. Atau laut taklah
tangan yang berkali-kali menghempaskan kepal ke dagunya yang rompal.
Lautku, lautku, ayunanku!
Zulaiha, duabelas tahun! Mengharapkan percik wajahnya mengisyaratkan suasana hatinya adalah
pekerjaan petaka. Tawanya langka, air mata
tiada. Paling, untuk menandai debar perasaan Zulaiha, tataplah
lekat-lekat bundar matanya. Andai ia sedang berbuai ria, saksikan, ada kerlip
sinar di antara kedipan. Sepasang bola matanya adalah kebeningan laut kecil
yang menggelinjangkan sekawanan ikan. Dan sebaliknya, dua matanya bak laut
menanggal cahaya, berkabut pekat, jika ia sedang diombang-ambing buih luka.
Begitulah, lain kadang, matanya menyaru mata hiu. Mata yang mati. Namun, di
ngarai dadanya, dendam senantiasa sepitam arang, bergulung, dan bersipompa.
Bernama dendam apa? Ke alamat mana?
Entahlah, Zulaiha pun lalai ingatannya, bila ia terakhir kali mengulum
senyum atau menyedak durja? Serupa dengan ketakpahamannya, mengapa sejak lahir
ia terpental dari rimbun peluk-cium orangtua, terutama Bapaknya? Ia anak
sulung. Tapi itu bukan penghalang Bapaknya untuk tidak menyeru Zulaiha: anak
pembawa sial! “Sudahlah perempuan, cacat pulak!” Tidak iqamat, tapi
umpatan yang menyayat telinga Zulaiha selepas lahir. Bapaknya kepingin anak
laki-laki. “Biar bisalah kubawa melaut,” begitu alasannya. Ah, Zulaiha, lahir
sebagai anak perempuan yang ranum, kecuali kaki kanannya yang lebih pipih dari
kaki kiri. Pun telapaknya mendongak. Maka kaki kanannya cuma bertumpu pada
tumit. Cecah langkahnya pun tak sempurna.
Namun sumpah, Zulaiha tumbuh sebagai anak yang percaya diri, cekatan.
Lincah ia kian kemari, meski kadang terjungkal-terbanting. Tapi bersebab
perlakuan Bapaknya yang terlampau, ia berubah menjadi pendiam. Hobi bersendiri!
Gemar berendam di paloh. Pernah pun,
saat berusia lima tahun, Zulaiha nyaris tertanam perdani, pasang besar yang rutin melanda dua tahun sekali. Hendak
memetik tunas piye ia saat itu. Piye banyak tumbuh di sekitar paloh. Anak-anak perempuan sering
memetiknya untuk main masak-masakan.
Beruntung ada Dempol. Lajang sebelah rumah Zulaiha itu kebetulan sedang membubu kepiting. Lelaki pengangguran
(juga lemah mental) itulah yang susah-upaya merebut Zulaiha dari rahang perdani. Ia juga yang membopong tubuh
Zulaiha—yang pingsan—ke rumah bidan Rasidah. Tapi jerih payah berbuah serapah.
Bukan ucapan terima kasih upah jasanya, melainkan terjang makian. “Hah,
mengapa tak kau biarkan saja anak sialan ini hanyut, Dempol! Biar mati
sekalian!” Hardikan berkarat itu membikin Dempol terpelongo. Lajang malang itu
menunduk, tak bernyali menantang dua biji saga yang bertengger di bawah dahi
Bapak Zulaiha. Tajam sekaligus mengerikan.
Tapi kengerian itu tidak lagi menggetarkan nyali Zulaiha. Ia sudah
terbiasa. Meski juga dendam tak penat-penat menggeliat, menghasut gedebar lahar
yang siap meletus. Iya, tidak sekali dua kali kelebat tangan Bapaknya
menggempur pipi, dada, dan kepala Zulaiha. Hidungnya pernah meluruhkan darah
usai dibentur dengan palang pintu. Bahkan seayun tinju pernah pula menghantam
rusuknya, membiru, dan sekian senti lagi menggapai ulu hati. Bermacam-macamlah
pasalnya.
Maka siapa yang kelak menuai badai
dendam?
Suatu kali, kepiting rajungan
tangkapan Bapaknya terlepas seekor, ketika Zulaiha hendak merebusnya untuk
makan malam. Asli, jangankan kebagian makan malam, Zulaiha hanya
merasakan pedas tamparan. Dan seperti biasa, demi menghalau kepedasan, Zulaiha
menggegaskan langkah pincangnya ke dermaga. Ia tinggalkan rumah dengan mimik
dingin. Lalu, begitu lekat ia menghadap raut laut. Mengadu tanpa sedak sendu.
“Kak Zula! Dipanggil Mak! Lekas pulang!” Mungkin, kalau bukan karena mendengar
kuyup teriakan Mukhlis—adiknya yang nomor tiga, tentu ia tahan berselimut angin
laut hingga malam larut.
Laut, o, laut, pelipurku!
Ampun, punah segala kesakitan yang bersarang di tubuh Zulaiha. Bayangkan,
gara-gara salah beli rokok saja, Zulaiha harus menebus hukuman. Bapaknya
menyulut rokok, lalu memuntungkannya ke daun telinga Zulaiha. “Bodoh kali kau ni,
Zula! Heh, anak jin laut!” Zulaiha terpuruk, menanggungkan hujat begitu saja,
dan tidak melawan sama sekali. Mak Zulaiha pun demikian sifatnya. Memilih diam,
atau menangis kalau sedang menahankan perilaku kasar Bapaknya. Ia istri
penurut, tak ada keberanian menunjukkan hati yang berkemelut. Tentu ia
menyimpan rasa iba buat Zulaiha. Tapi apa daya, tenaga dan nyali menjelma
hampa.
Sempurna derita, takdir Zulaiha? Lalu di garis laut, lalu pada laut,
Zulaiha memulangkan kesumat hati. Tidak, ketiga adik laki-lakinya bukan muara
dari kecamuk dendamnya. Meski sejak kelahiran Nurdin, Mukhlis, dan Husen,
keberingasan Bapaknya kian mengganas. Dan Zulaiha selalu menjadi sasaran.
Perlakuan Bapaknya kepada Zulaiha berbanding senjang dengan ketiga adiknya.
Zulaiha tak pernah merasakan bagaimana bersekolah, seperti halnya Nurdin dan
Mukhlis. Meskipun kedua adiknya itu berhenti juga di pangkal jalan, tak sempat
naik-naikan kelas. “Mengapa pulak kau
hendak sekolah, Zula! Tak ada otak kau!” Ah, Bapaknya, adakah seperti
berhadapan dengan binatang?
Begitulah,
bersebab adik-adiknya, Zulaiha sering pula dipaksa menelan hardik dan tebasan
kaki Bapaknya. Pernah pada sebuah pagi, hari minggu, Zulaiha mengajak Husen ke
halaman pasar. Itupun karena Mak-nya menyuruh Zulaiha menjaga adik bungsunya
itu. Berusia tiga tahun lebih Husen saat itu. Nah, biasanya, hari itu
orang-orang kota datang bergerombol menyandang ransel berisi alat-alat pancing.
Mereka hobi memancing. Lumayan, selain untuk menghanyutkan kejenuhan bekerja
selama sepekan, untung-untung mereka pulang menggandeng ikan.
Sebelum pergi, Zulaiha berhasil menanggok
sebaskom udang binje—seukuran kelingking—di paloh. Hasil tanggok-an
itulah yang dijajakan Zulaiha kepada gerombolan pemancing. Udang-udang itu
untuk umpan ikan. Kalau masih segar dan hidup, harganya tinggi. Penjaja yang
lain juga ramai. Mereka menggelar udang, sibuk mengail minat orang-orang yang
hilir-mudik.
Namun, belum seorang pun yang menawar udang, mendadak Bapaknya berdiri berkacak pinggang, tepat di depan
Zulaiha. Wajah Bapaknya bagai laut keruh, disepuh api, dan menggelegak! “Anak
binatang! Kau bawa rupanya si Husen, ya. Mengapa pulak kau di sini, hah!
Petentengan!”
Lalu berduyun tempeleng mengena wajah Zulaiha, menerbitkan lemak luka. Tapi
ekspresi Zulaiha tetap setenang cuaca. Sebuah tendangan memelantingkan baskom
buram. Udang-udang berserak, menggeleparkan sisa nyawa. Ada kelengangan yang
melintas sejenak, lantas riuh kembali kelebat cerca. Bapaknya menyeret Zulaiha
pulang, tak peduli dengan Husen yang berpekik-pekik tangis di bahunya.
Orang-orang terkesima. Lipatan dahi menghimpun, menjuntaikan tanya. Entahlah,
cuaca masih cerah, tapi terasa sedang menanak amarah.
O, Dendam pun bersiasat. Tak
berhenti merajut jerat?
Hmm, Zulaiha adalah kepalan baja, atau pualam siksa? Pada sebuah
malam, Bapaknya sedang menyirat jala
dengan cuban, alat penyulam jala. Ia
biarkan Husen tertidur pulas di pangkuannya. Ada cahaya liar menyusup dari
samar lampu teplok. Di luar, angin menderas. Nurdin dan Mukhlis asyik bergelut,
sesekali terdengar rengekan mereka. Zulaiha tergoda, turut pula menghampirkan
canda. Tapi canda tak berderai tawa, melainkan mendentangkan suara kaca. Kaki
Zulaiha menyenggol gelas kopi Bapaknya. Maka tumpah, kopi pun tersisa
sepertiga. Padahal baru dihidang. Masih panas dan mengepul. Pun belum sempat
diteguk.
Sudah terduga, Bapaknya kalap luar biasa. Bangkit Bapaknya, lalu dengan
ringan mengayunkan runcing cuban ke
pelipis Zulaiha. Saat itu darah adalah air mancur yang melimpah. Sambil memaki,
Bapaknya masih sempat melemparkan gelas kopi ke kaki kanan Zulaiha. Kaki yang
menanggung lara sejak lama. Zulaiha bermimik tugu beringsut ke pintu. Lalu, ke
mana lagi berlari, selain ke beranda dermaga? “Zula, jangan kau ke dermaga,
Nak. Angin kencang, badai!” Suara Mak-nya hanya bunyian yang tumpul. Zulaiha
berwajah darah, terus menatihkan langkah.
Laut, laut, izinkan aku tidur di
bilikmu malam ini.
Angin berontak. Ombak berderak. Dermaga usang berguncang. Tapi Zulaiha,
sejak lampau tak pernah menabung takut.
Langit pekat. Cuaca sekarat. Udara bertumbangan. Aroma garam bercampur anyir
darah bertebar di atas kepala Zulaiha. Bunyi petir macam suara nenek sihir.
Menakutkan. Tapi Zulaiha tak kecut. Ia tegak menghadap laut. Kilat melesatkan
cahaya, seperti cambuk api yang melecut tengkuk laut. Angin mendaki-menghempas.
Rambut Zulaiha mengibas, seperti melambai apa, atau menyahut siapa?
Laut meninggi ribuan senti. Tempiasnya mencipta hujan air garam,
menguyupkan tubuh Zulaiha yang timpang. Lalu ia tadahkan lekuk tangan ke arah
laut. Aha, Zulaiha, hendak mendekap siapa?
* *
*
Tidak mendekap siapa-siapa. Malam
itu, bukan dendam-kesumat yang Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut
sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampan Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri!
Medan, 05/08
Dimuat di Kompas, MINGGU, 30 Desember 2007
CERPEN
Ceracau
Ompu Gabe
OLEH HASAN AL BANNA
“Ompu Gabe?” sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum
sempurna angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah
dan gumaman aneh, “…ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar…”
Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan
Perang Dunia II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak obah letupan
meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar
kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak
muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tidak menyodorkan ongkos, hanya
menjulurkan tangan, “Marihot…” katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri.
Ompu Gabe terkesima, lidahnya terkepang. Pun ketika anak muda bernama
Marihot itu mengajaknya minum, ia patuh. Ompu Gabe begitu saja mendapatkan
dirinya menghadap deretan botol tuak. Lalu tanpa basa-basi. Marihot leluasa
saja merubuhkan kegelisahan—entah kegeraman? Dan ketika Ompu Gabe masih dijerat
peranjat, tiba-tiba Marihot membentangkan cita-cita dengan istilah—yang
kedengaran asing bagi Ompu Gabe: Revitalisasi Opera Batak!
Marihot tertantang untuk menggempitakan kembali kesenian leluhurnya, opera
batak. Bukankah sudah bertahun-tahun ia terlibat pertunjukan teater di Medan,
bahkan keliling Sumatera dan Jawa? Maka dengan air muka yang berkeciak,
Marihot membeberkan liuk-lekuk rencana. Ia hendak mengawinkan keluguan opera
dengan kilau pertunjukan modern. Marihot juga hendak mendaur torsa-torsa (dongeng), turi-turian (legenda), serta mitos-mitos
batak menjadi naskah-naskah yang mujarab untuk ditampilkan. Maklum, opera batak
tempo dulu cuma mengandalkan kekuatan bertutur dan improvisasi.
Maka sudah sejak lama ia, katanya, mencicil semangat, merajut referensi,
juga menggalah dukungan—motivasi dan tentu materi. Lantas, ketika semuanya
rangkum, ia pun mengokang tekad: ini saatnya! Pusat Pengembangan Opera Batak
layak deklarasi. Maka Marihot mendesak Ompu Gabe pulang ke
tahun-tahun lampau. Dengan harapan Ompu Gabe terlibat, tentu. Tapi, meski
takjub, Ompu Gabe mengelak, tidak! Ia mengaku telah lama menebas segala
kenangan tentang opera batak.
Namun Marihot terus menggeledah, mengintai, menggoda, dan menyodokkan pertanyaan yang musti dijawab
Ompu Gabe: ya. Marihot berpekik, opera batak jangan mati, tak boleh jadi mumi! Bah,
luar biasa gairah anak muda ini, puji Ompu Gabe di sudut hati.
Demi Tuhan, ia pun pernah ditabuh gairah semacam itu, mungkin jauh lebih
dahsyat. Aku akan bermain opera sampai batas napas, begitu ia pernah bersumpah.
Ketika itu, siapa yang sanggup meninggalkan gelora opera? Ou, dulu, opera batak
adalah primadona, selalu ditunggu-tunggu. Maklum, jangankan tivi, listrik pun
masih langka. Selain pasar malam, hiburan warga, ya, opera batak yang tur dari
kampung ke kampung. Mereka bertahan di sebuah kampung berhari-hari, bahkan
dalam hitungan minggu.
Eit, jangan khawatir jika tak ada uang. Tiket bisa dibeli
dengan beras atau hasil ladang. Monis pe
dijalo do (beras yang terbuang dari hasil menampih pun diterima), seloroh
orang kampung. Maka orang-orang berbondong menonton ke tanah lapang sambil margobar, berselubung selimut tebal. Tentu demi mematahkan angin yang
mencengkeram tulang. Tapi iyalah, kelebat tepukan dan jengking siutan pun cukup
ampuh menjerang tubuh.
Mmh, darah Ompu Gabe kerap bergeriap setiap melawat kemeriahan opera.
Maklum, sejak usia 18 tahun ia sudah menunggang panggung; berlakon, menari,
memainkan musik, dan bernyanyi. Ia pemain opera yang dielu-elukan penonton.
Puja-puji apalagi yang tidak digemuruhkan ke telinganya. Ia jaya, ternama!
Meski pada suatu kesempatan tur, ia pernah kehilangan daya. Diam-diam, seorang
penonton setia selalu membikin dadanya berdegup. Setiap malam hadir, dan tidak
segan menonton di barisan depan.
Oi, ialah gadis bernama Teresia. Katakan, lelaki mana yang tidak hendak
meminang pucuk bunga pesohor kampung? Maka tiada yang dapat menghadang kibasan
bendera cinta. Pun ketika mereka saling bersulang kasih sayang. Maka, pada
kesempatan tur yang kesekian kali, mereka sepakat berangkat ke pelaminan.
Menjadi suami istri muda!
Kehadiran Teresia kian membongkahkan tekad Ompu Gabe untuk tetap berlakon
di panggung. Di mana cerita digelar, di situ Teresia bersandar. Ia
senantiasa mendampingi, menyemangati—juga memberi dua anak lelaki untuk Ompu
Gabe. Teresia adalah mata air kekuatan dan ketabahan. Suatu waktu, ketika zaman
berganti gaun dan masyarakat halal menukar selera, grup-grup opera memilih
tumbang. Termasuk grup tempat Ompu Gabe bernaung. Pemilik opera angkat tangan,
bangkrut dan bubar! Awak grup tercecer.
Ompu Gabe meronta: opera tidak boleh mati di tanah Toba! Lalu Teresia
tak tega. Ia pun berjuang keras menimba semangat Ompu Gabe yang amblas ke
lubang yang gulita. Ia himpun serpihan kepercayaan Ompu Gabe yang berantakan.
Dan ya, berhasil. Ompu Gabe perlahan bangkit, membentuk grup baru, serta
menampung kembali pemain dan pemusik grup lama. Tur opera pun kembali berdebur,
mengedar lakon demi lakon. Iya, kian berkelang memang jejeran penonton. Pun
hasil keuntungan dangkal dan keruh. Tapi Teresia menolak beranjak dari gebyar
panggung.
Tentu, Ompu Gabe bangga kepada istrinya. Teresia bahkan pernah didaulat pahlawan
oleh awak grup. Saat itu, seorang pemain, tokoh inang, mendadak sakit. Lantas penonton nyaris mengamuk karena
pertunjukan lalai dimulai. “Aku yang main!” Teresia menghadap suaminya, lalu
segera mendaki panggung. Ia berhasil mengupas rasa canggung sekaligus
menghipnotis penonton. Hasilnya? Lumayan, sanjung Ompu Gabe.
Maka tak heran jika Teresia menjadi pesona baru. Dari opera ke opera, dia
memikat hati penonton—juga mendulang pujian dari awak grup. Tapi sumpah, Ompu
Gabe tidak pernah menghasut Teresia memikat hati siapapun di luar lakon.
Terlebih itu lelaki, apalagi lelaki itu adalah lawan main Teresia di panggung?
Dasar tak beradat! Semula, baginya Teresia adalah kebahagian sempurna! Tapi
kebahagiaan apa lahir yang dari sebuah pengkhianatan? Togu, sahabat
Ompu Gabe bermain opera sejak belia bersekutu cinta dengan Teresia. Mereka raib
meninggalkan sekerat surat. Hanya 9 tahunkah usia kesetiaan? Ompu Gabe pun
bersemak isak sembari mendekap kedua anaknya: ah, sudah berumur 7 dan 5 tahun.
Ompu Gabe berkubang luka!
Puih!
Tapi apalagi, selain pasrah? Siapa hendak menampung lampiasan amuk? Lagi
pula, Ompu Gabe tak berniat mengampuni pengkhianat. Luka memang berkibar,
dendam, ya, menggelepar. Namun tidak untuk menagih Teresia dari pangkuan Togu. Iya, pikiran
Ompu Gabe lintang-pukang. Ia bubarkan grup. Tak ada opera, tiada lagi tur. Ia
lipat hasrat untuk mengusung panggung ke kampung-kampung. Sambil menangkis
tangis, Ompu Gabe pun menjual seluruh perangkat musik, dan segala aset opera.
Lalu, janji pun ditancapkannya ke udara:
tidak untuk opera, dan tidak untuk perempuan!
Nah, ketika sebagian teman—mantan pemain opera—masih tetap berkesenian
meski berprofesi pengamen, Ompu Gabe malah membelot menjadi penarik becak
siantar. Entahlah, ia serasi sebagai penarik becak antik itu. Kalau tidak, mana
mungkin Ompu Gabe setia menarik becak sampai 22 tahun lebih. Ia
bahkan sudah bercucu. Tapi belum mampu juga menumpas masa lalu? Kemudian, seorang
anak muda bernama Marihot tiba-tiba mengelebatkan hujan cuka, tepat ke ladang
luka.
Ah, tidak! Sebelum Marihot datang, Ompu Gabe sudah sejak
lama gagal menjemur luka dan membunuh sisa cinta terhadap Teresia dan opera? Ia
pun sebenarnya paham jika Marihot tidak berniat mencongkel bekas luka. Memang, Marihot mahir menjangkau geriak kehidupan Ompu
Gabe yang hanyut ke muara waktu. Benar, Marihot lihai menyeret Ompu Gabe
menelusuri kembali ladang kenangan: riang-gempita dan luka-cita! Tapi ia tidak
pantas menuding Marihot sebagai pengobrak lemari kenangannya—bukankah sejak
lalu tak terkunci?
Lagi pula, Ompu Gabe pun sadar atas kegagalannya menggenapkan kesumat.
Bayangan Teresia sering timbul tenggelam di laut lamunannya. Lalu, ke mana pun
angannya berpaling, terperosok juga ke semarak opera; lakon, musik, nyanyian,
dan hiruk penonton. Tengoklah, di bawah jok becak tersimpan hasapi. Iseng Ompu Gabe membelinya, tapi
tekun memainkannya, bersanding lagu-lagu sampai lalai waktu. Pernah, ketika
Marihot menjumpai Ompu Gabe pada kesempatan yang lain, mereka menempuh malam
sambil menenggak tuak, bercerita, dan bernyanyi sampai serak.
“He, jariku masih mahir memetik senarnya,” Ompu Gabe mengumbang diri.
“Lebih paten kalau dipetik di panggung.” Marihot berdesis.
Lalu kembali meniup sulim.
“Mmh, tidak…” Ompu Gabe menggeleng, tapi matanya bimbang.
Marihot memang anak muda yang gigih. Sabar dan pintar.
Apalagi ketika mengetahui pendirian Ompu Gabe mulai oleng. Ia belum mau
menyerah. Apalah sulitnya menggedor pintu yang mulai goyah? Maka pada malam
yang lebih menggigilkan, Ompu Gabe akhirnya kehilangan kekuatan.
“Baiklah. Aku bersedia, Marihot…” Teriak Ompu Gabe menaklukkan suara
mesin becak. Saat itu Ompu Gabe dan Marihot sedang berputar-putar di kota
Siantar, “Aku juga akan membujuk kawan-kawan untuk berlatih dan main.” Marihot
menyelidik wajah Ompu Gabe. O, mata Ompu Gabe berkilau, memendar buncahan
gairah.
Mantap!
“Tapi ada syaratnya, Marihot…” sesabit senyum mengait di bibir Ompu
Gabe. Pangkal hidung Marihot mengerucut, “Aku yang menjadi anak mudanya, heh!”
Ompu Gabe mengerling, Marihot terbahak sambil menahan kencing.
* * *
Malam ini penampilan perdana: Lakon Guru
Saman! Penonton tidak melimpah dalam gedung. Mungkin pekan depan lebih
meriah, saat mereka tampil di Lapangan Sisingamangaraja, Balige. Menurut
rencana, lakon Sipurba Goringgoring yang
digelar di sana. Tapi Ompu Gabe tidak peduli dengan jumlah hadirin. Ia cuma
menanti kedatangan seseorang untuk menyaksikan kehebatannya ketika berlakon. Ia
kembali merasa muda. Matanya menyala.
Ompu Gabe berperan sebagai Guru Saman,
jagoan asal Lau Balang-Tanah Karo. Berilmu kebal dan lihai main silat. Nah,
cerita punya cerita, tokoh ini membunuh
seorang hamba Tuhan—vorhanger, juga
istri korban yang sedang hamil. Memang, Guru Saman mendapat ilmu dari
seorang guru yang membolehkannya membunuh, tapi ibu hamil jangan! Tapi, petuah itu
telah dilanggar Guru Saman. Kesudahannya, Guru Saman berhasil ditangkap komandan intel.
Lalu, ya, dihukum gantung…
Ompu Gabe bergelimang peluh. Ia sibuk memompa napas ke dada. Sesekali,
Ompu Gabe membidikkan pandangan ke jantung panggung. Hujan cahaya. Tortor Sawan, selingan sekaligus bagian pertunjukan sedang berlangsung.
Para penari bersimbah aksi. Musik bertabur, saling menyalip. Suara taganing berkulitak-dung, bunyi garantung bergedatuk-tang. Meski masih
berada di luar panggung—wing kanan, Ompu Gabe turut dirasuk musik. Tapi ia
masih harus kembali ke panggung. Adegan penangkapan Guru Saman
menunggunya.
“Lihat, aku masih bermain mantap. Tapi di mana kau…?” Ompu Gabe bergumam.
Dari tadi, dalam kekhusyukan berlakon, sungguh, sepasang mata Ompu Gabe begitu
telaten mengedar pandangan ke barisan penonton. Tempias cahaya panggung memang
samar, tapi cukuplah untuk menyenter wajah hadirin di barisan depan. “Biasanya
kau duduk di depan itu…” Namun ia tidak menemukan sosok yang diharapkannya. Ia
pastikan berkali-kali. Hasilnya serupa, “Mmh, kau tidak datang…?” bisiknya ke
telinga sendiri. Harapannya terjungkal!
Adegan penghujung lakon Guru Saman tetap berlanjut. Ompu Gabe sedang
tertunduk ditodong tiang gantungan. Ia tegak ditopang bangku kayu. Alunan sarune menyayat, sesaat. Lantas, setelah pembacaan
pledoi hukuman, adegan eksekusi pun dimulai. Lengkung tali
dikalungkan ke leher Guru Saman. Algojo eksekusi bersiap menebas bangku
tumpuan Guru Saman berdiri. Lampu panggung pun seketika padam diiringi
jerembab bangku dan bunyi derak tali. Nyawa Guru
Saman tamat. Lantas tetabuhan meletup, susul-menyusul. Suara sarune meliuk, mengoyak.
Penonton bertepuk merayakan akhir pertunjukan. Riuh sorak-sorai. Tak ada
yang tahu ajal sudah tercerabut dari mulut yang berceracau:
“Ah, di mana kau, Teresia? Di mana? Mampuslah…!”
Medan, Bulan Puasa 2007
CERITA YANG
TAK SELESAI
Orang-orang telah berkumpul menyambut
malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar
terdengar. Bagas Godang semakin sesak. Alaman Bolak terasa
menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang Sambilan membahana. Sembilan
buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat dari kayu dan kulit lembu.
Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga
menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh
gendang paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama.
Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi
gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya
tak pernah sumbang. Berbeda dengan Onang-onang.
Di Sopo Godang para petinggi
kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria. Aku ada diantara mereka.
Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua ujungnya disatukan dengan
menjahitkan kain warna merah pada keempat sisinya. Dalam bahasa adat , ini
disebut amak lampisan.
“Ambilkan Pangupa!” perintah bayo
datu. Seseorang datang menating nyiru. Kepala kerbau diletakkan di
atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi menating piring
besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa lainnya: nasi putih, tiga
buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun ubi. Juga ditutup dengan
daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat Tonunan Patani.
”Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap bayo datu memulai acara mangupa.
Seseorang memutar-mutarkan nyiru
di atas kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa
tersebut. Juga dibacakan beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan.
Menurut adat, seseorang yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
Setelah itu aku disuapi dengan
makanan yang berada di Pinggan Pasu. Dicicipi satu persatu.
Bayo
datu menjelaskan maksud dari setiap jenis makanan. Prosesi berlangsung
alot. Juga sakral.
“Nanti malam kau ikut Umak manortor, Amang!”
ujar Umak beberapa waktu yang lalu. Aku masih kelas lima esde. Dan Amang sudah
lama meninggal, sebulan setelah aku dilahirkan.
“Manortor? Apa itu manortor’ Umak?” Umak
tersenyum.
“Manortor itu yang begini,
Amang’” Umak melakukan beberapa gerakan, yang masih asing bagiku.
“Oh, menari, Umak?” Umak kembali tersenyum. Dia
menarikku, lalu menyuruhku duduk di kursi kayu yang dibuat Amang dari bamboo.
“Manortor, ya, manortor, Amang,” Umak
membelai rambutku pelan.” Tapi kalau kau bilang menari boleh juga. Bedanya
manortor tidak seperti menari biasa. Kalau menari hanya sebagai hiburan’
Manortor itu sudah termasuk dalam adat istiadat kita. Dan nanti semuanya harus
menari, tanpa terkecuali.”
“Aku laki-laki’ Umak. Aku tak pandai menari.”
“Ingat ! Tanpa terkecuali.” Aku masih kebingungan, Umak hanya tersenyum
mengambang.
“Nanti juga kau akan paham,
Amang.” Gordang kian ramai dipalu. Hentakannya terdengar bertalu-talu.
Jari-jemari terus digerakkan sesuai irama. Begitu juga dengan kaki dan tangan.
Gerakan laki-laki dan perempuan ada sedikit perbedaan. Gerakan jari-jemari
diluruskan seperti menjepit sesuatu secara serentak. Gerakkan perempuan terasa
lebih gemulai. Sementara yang laki-laki terkesan lebih gagah.
“Manortor itu untuk apa, Umak?”
“Ya, untuk acara-acara
tertentu, Menyambut tamu, mengantar bagi yang berpergian ke tempat yang jauh atau ajang mencari
jodoh.” Suasana sore begitu kontras dengan hamparan sawah depan rumah. Umak
berbicara padaku panjang lebar, bercerita tentang apa saja. Termasuk cerita tentang tanah leluhur ini.
Selalu menarik dan memancing rasa ingin tahu. Angin yang berhembus selalu
menghadirkan ketenangan dan rasa damai.
Cerita Umak semakin melebar
kemana-mana. Tentang Amang yang jadi pengembala kerbau ketika kecilnya. Aku
tersentuh membayangkan Amang kecil bersama rombongannya melintasi sore bersama
kerbau mereka. Alangkah bahagianya, merasakan kegembiraan bersama matahari yang
perlahan menuju peraduan di tengah-tengah hamparan sawah yang begitu luas.
Sambil mendengarkan cerita Umak,
aku teringat kembali kisah Umak yang sempat ia beberkan padaku, beberapa waktu
yang lalu. Aku berpikir apakah aku akan sampai pada kisah seperti ini.
***
Umak terduduk, memeluk kedua borunya. Suasana yang
tenang dan damai itupun berubah menjadi lautan air mata, ketika Masniari
mengingatkan kembali bagaimana awal mula rumah tangga yang damai itu
dipertahankan. Suasana tegang sedikit mencair melihat si kecil halomoan yang
bermain-main, mengoceh tak tentu arah.
Masniari tersadar. Masa lalu itu
selalu menghantui pikirannya. Ia lalu duduk di atas sofa empuk sambil
memandangi kedua buah hatinya yang juga sedang bermain-main. Dering telepon
kembali menghantam lamunan Masniari. Hatinya berdebar. Tangannya tergetar.
Suara di telepon yang begitu dirinduinya, lantang bersuara.
“Inang, dua poken nai anggimu giot marbagas,’’ terdengar suara umak
bahagia. Masniari diharuskan dating menyaksikan acara yang dianggap sakral itu.
Apalagi Masniari adalah kakak tertua dari dua bersaudara. Ayah mereka sudah
lama tiada sewaktu Masnauli duduk dibangku SD. Tinggallah umak yang membesarkan
mereka dengan berjualan toge (makanan khas panyabungan). Sambil membantu umak
berjualan Masniari kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta di Padangsidempuan.
Disanalah ia mengenal seorang yang telah menjadi ayah dari anaknya kini.
Dua minggu kemudian Masniari dan keluarganya pulang ke kampung. Acara
pernikahan dengan adat yang cukup sakral dilaksanakan, dengan petuah-petuah
yang sakral pula (Markobar). Di tengah keramaian suasana itu yang dihadiri
seluruh keluarga dan snak famili
Masniari terhempas dalam gelombang yang meluluhlantakkan hatinya, diantara
kegembiran yang tergambar diwajah semua orang Masniari teringat akan masa
lalunya yang menghantam keras perasaannya. Pertemuan dengan Parlindungan yang
ditentang keras oleh umak.sulit rasanya umak melupakan bagaimana perlakuan
orangtua Parlindungan yang terkenal sitoke beras pada saat Masniari masih
berumur satu tahun.
Ayah Masniari yang waktu itu hanya
sebagai buruh angkut di pabrik orangtua Parlindungan membutuhkan pertolongan
pinjaman uang disaat keluarga terhimpit untuk biaya berobat Masniari yang sakit
muntaber.ditolak oleh umak si Parlindungan dengan alas an beribu alasan. Umak
hanya memendam itu dalam hatinya tanpa diketahui oleh anak-anaknya agar tidak
terbawa dendam oleh mereka, cukup hanya dia yang merasakannya. Bagai disambar
petir umak mendengar pengakuan Masniari bahwa ia ingin menikah dengan
parlindungan. “umak’ bang Parlindungan giot (mau) manyapai au mak (melamar aku
mak) Masniari mengutarakan maksud mereka pada umak.lama umak terdiam hanya
memendangi wajah cantik anaknya dan dengan bijak sambil menahan semua perasaan
umak menyabarkan Masniari agar memikirkan lagi maksudnya. “inang(nak) nape do
sidung sikolahmu (belum siap lagi sekolahmu),” itu alasan yang diberikan umak
agar Masniari tidak memikirkan itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan
Masniari tetap pada pendiriannya ingin menikah dengan Parlindungan karena
mereka sudah siap berumahtangga apalagi kuliah mereka sudah selesai. Masniari
kembali menyampaikan maksud berdua pada umak. Tetapi masih sama dengan yang
lalu-lalu beribu alasan yang dilontarkan umak. Pada akhirnya Parlindungan
memberanikan diri langsung datang menghadap umak Masniari. Suasana hening dan
senyap saat Parlindungan membuka pembicaraan “umak madung leleng au mardongan
dohot Masniari (mak sudah lama aku berteman dengan Masniari) jadi maksudku mau
melamar boruni umak (anak perempuan umak).” Parlindungan langsung menyatakan
maksud kepada umak. Umak hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari
mulutnya. Lama mereka menunggu jawaban olo (iya) dari mulut umak. Sambil
bersimpuh dikaki umaknya sambil memohon tak ada satu katapun yang terlontar
dari mulut umak. Hanya air mata yang jatuh membanjiri pipi tua umak.”mak
bolehksn mak,” Masniari terus memohon ,” mak bolehkan umak jawablah mak,”
Masniari terus memohon. Sesak terasa hati Masniari berlinang air mata
membanjiri kelopak matanya mendengar jawaban umak. “inda (tidak) tidak akan
pernah kubolehkan anakku marbagas (berumahtangga) dengan anaknya si raja toke
beras itu. Inda inang(tidak nak),” umak menangis sambil berteriak histeris.
Masniari tertunduk air matanya berlinang tak terbendung lagi. Hancur sudah
harapan mereka berdua untuk mendapatkan restu dari umak. Parlindungan pulang
dengan hati yang hancur. Masniari terus menangis sambil bertanya ,”kenapa mak,
kenapa? Pertanyaan yang tidak ada jawabannya hanya berkecamuk di dalam hati
yang paling dalam. Mulai saat itu Masniari menjadi gadis yang pendiam dan
tertutup.
Dua insan yang berlainan jenis itu tetap bertekad
untuk mewujudkan cinta mereka, melanjutkan hubungan mereka meskipun tanpa restu
dari orang yang sangat dicintai. Marlojong (kawin lari) itu salah satu pilihan
yang mereka tempuh sebagai bukti kekuatan cinta mereka. Di antara galau hati umak memikirkan anak
sulungnya yang membuat hancur hatinya, Masniari menikmati kebahagiaan bersama
suaminya, walaupun bayangan umak selalu hadir di saat Masniari mulai merasakan
adanya gerakan lembut buah cinta mereka dalam perutnya. Masniari selalu berkata
pada suaminya.
“Bang alangkah enaknya kalau umak mau melihat keadaan kita ya, Bang?”
“Sudahlah, Niar. Tidak usah berpikir yang macam-macam,”suaminya menarik
napas panjang,”Mudah-mudahan anak kita yang bakal lahir ini bisa membuat hati
opungnya lembut dan mau menerima kita.”
“Mudah-mudahan, Bang.” Masniari menyambut lembut.
Masniari
masih terduduk di atas sofa. Pandangannya menatap tajam ke arah telepon yang
ada di hadapannya. Menunggu-merindu. Mak, ini cucu umak akan lahir. Datanglah,
Mak. Aku rindu,gumamnya. Tangannya mengelus lembut perut yang semakin membesar
saja.
Hari ini Parlindungan terlihat menikmati suasana santai di rumah dengan
menonton acara televisi. Memang ini sudah kebiasaan rutinnya selama menunggu
kelahiran si kecil, pada hari Minggu. Sementara Masniari masih disibuki dengan
kegiatannya mengurusi popok bayi yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari
sebelumnya. Tiba-tiba Masniari seperti menahan rasa sakit yang tak tertahankan.
“Bang, aduh cepat. Sakit…”
Parlindungan, suaminya bergegas. Ada perasaan gembira sekaligus cemas.
Dia merasa tanda-tanda kelahiran sudah mulai tiba. Merekapun bergegas ke rumah
sakit“Bang, aku ingin menelepon Umak,”ujar Masniari seketika,”Tolong, Bang.
Hubungi Umak. Aku ingin bicara sekaligus meminta maaf.”
Parlindungan segera memberikan HP. Masniari bicara tanpa jeda. Panjang
lebar mengusung kata-kata. Umak diseberang sana hanya mendengar tanpa kehadiran
sepotong suara, begitupun Masniari sudah merasa sangat puas..
Detik berikutnya Parlindungan sudah berteriak kegirangan. Tepatnya
setelah sejam pembicaraan Masniari dengan Umak berlangsung.
“Wah, laki-laki, Niar,” bisik Parlindungan girang ke telinga
Masniari,Istrinya,”Namanya Halomoan. Ya, Halomoan.”
Parlindungan sengaja memberi nama anaknya dengan nama almarhum
mertuanya. Ayah Masniari. Sosok lelaki yang kebapakan, yang sangat dicintai dan
dikagumi Masniari sejak dari kecil. Memiliki tanggung jawab dan sayang pada
keluarga. Sesuai dengan perjalanan
waktu, Halaomoan kecilpun mulai sudah memahami pengaruh yang didapat. Masniari
selalu mengirim foto Halomoan untuk Umak di kampung. Dengan harapan Umak mau
melihat pahopu (cucunya).”
Bel berbunyi. Masniari bergegas. Di depan pintu tukang Pos berdiri di
depan pintu sambil menyerahkan paket yang bertuliskan namanya Masniari.
“Umak…”tanpa sadar Masniari memekik menyambut gembira paket tersebut.
Dengan rasa tidak sabar Masniari menggendong Halomoan dan membaringkannya di
tempat tidur sambil membuka apa gerangan
isi paket umak ini. Tanpa terasa pipi mulus Masniari basah oleh air mata
yang mengalir. Parompa(kain gendong) yang bertuliskan nama Halomoan dan sepucuk
surat yang bertuliskan “mulakma hamu inang”(pulanglah kamu nak). Masniari
berteriak histeris terimakasih umak. Sambil menggendong Halomoan dengan kain
parompa(kain gendong) kiriman umak Masniari berbisik di telinga mungil
Halomoan,”ini parompa kiriman opung boru(nenek) nak.
Alangkah bahagia Masniari tanda restu dari umak yang sudah lama dinanti
akhirnya jadi kenyataan. Mulai hari ini lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga
mereka. “kak…kak Niar,”Tiba-tiba Masniari dikejutkan dengan suara halus
ditelinganya. Masniari tersentak ternyata dihadapannya adiknya Masnauli
memeluknya sambil berkata”maafkan aku ya,kak”. “maafkan aku … maafkan aku
ya,kak,”Masnauli mengulang perkataannya. “iya anggi(adik) kakak juga minta
maaf,” sahut Masniari sambil memeluk erat Masnauli. Umak yang duduk di sebelah
Masniari memeluk kedua borunya(anak perempuannya) sambil berkata kepada
Masnauli”inang”(nak) pandai-pandailah kau membawa diri di rumah boumu(mertua
perempuan).Terimakasih mak… terimakasih tangis bahagia bercampur haru
mengiringi langkah kaki Masnauli mengarungi bahtera hidupnya.
“Umak
selalu diberi kesempatan untuk duduk dipunggung kerbau, menikmati sore yang
indah,” Umak menarik nafas panjang,” Dan setelah dewasa Umak selempangkan ulos
tenunan sendiri melingkari leher Amangmu di acara manortor waktu itu.” Juga di
acara semeriah ini. Setelah pembicaraan tentang Umak yang manortor dengan Amang
,tanpa sadar Umak tertidur di kursi bamboo buatan Amang. Sejak itu aku tak tahu
Umak berada dimana. Aku baru tahu Umak sudah meninggal dunia, ketika aku duduk
dibangku SMA lalu tersadar mengapa Tulang memaksaku untuk tinggal bersamanya di
Jakarta. Sebagai anak tunggal, aku
inginmengunjungi pusara Amang dan Umak. Tulang selalu mengajakku jalan-jalan,
setiap selasai dari pemakaman. Termasuk menikmati acara Manortor yang selalu
diceritakan Umak. Dan malam ini, jelas aku berada disini.
Orang-orang segera mengenaliku, ketika Tulang mengajakku berkunjung ke
tempat para handai taulan. Rasa kagum dan kasihan seperti melebur, membatu.
Setelah leleh kami pun pulang ke rumah opung, tempat aku dan Tulang menginap
untuk beberapa minggu. Amang
bersaudara hanya bertiga. Dua laki-laki, dan satu perempuan. Kami selalu saja
berkumpul-kumpul menyambut malam.
Hiruk
pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Gordang
mulai dipalu. Dalam pikiran dan hatiku
yang kian tak menentu.
Dan
sebelum kembali ke kota akupun diupa-upa. Orang-orang telah berkumpul menyambut
malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar
terdengar. Bagas Godang semakin sesak. Alaman Bolak terasa
menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang Sambilan membahana. Sembilan
buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat dari kayu dan kulit lembu.
Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga
menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh
gendang paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama.
Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi
gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya
tak pernah sumbang. Berbeda dengan Onang-onang.
Di Sopo Godang para petinggi kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria.
Aku ada diantara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua
ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain warna merah pada keempat sisinya.
Dalam bahasa adat , ini disebut amak lampisan.
“Ambilkan
Pangupa!”
perintah bayo datu. Seseorang datang menating nyiru. Kepala kerbau
diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi
menating piring besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa
lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun
ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat Tonunan
Patani. ”Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap bayo datu memulai acara mangupa. Seseorang memutar-mutarkan nyiru di atas
kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa
tersebut. Juga dibacakan beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan.
Menurut adat, seseorang yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
Setelah itu aku disuapi dengan makanan yang berada di Pinggan
Pasu. Dicicipi satu persatu. Bayo datu menjelaskan maksud dari
setiap jenis makanan. Prosesi berlangsung alot. Juga sakral.
Medan, 007
1. Bagas
Godang, rumah adat suku batak mandailing
2.
Alaman Bolak, alun-alun
3.
Gordang Sambilan, alat musik bersjumlah sembilan gendang dengan ukuran
yang berbeda
4.
Onang-onang, lagu bernada lirih tentang romantisme hidup dan kemiskinan
5. Sopo
Godang, gedung yang berada di depan Bagas Godang
6.
Pangupa, semacam upacara keselamatan-doa selamat
7.
Bayo datu, orang yang bertugas meminpin acara ”mangupa”
8.
Turupa-upa..., kalimat pembuka dalam acara ”mangupa” 9.
No comments:
Post a Comment