Wednesday, 2 March 2016

Cerpen- Cerpen Hasan Al Banna


Parompa Sadun Kiriman Ibu

Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya. Rasa itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak, dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak. Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata.
Semestinya Lamrina layak bersuka-cita. Bukankah hari ini telah dilangsungkan acara manjagit parompa, juga penabalan nama anaknya yang pertama? Memang sepanjang siang sampai petang menjelang, di bibirnya berpucuk senyum mengembang. Sesekali ia betulkan posisi tidur Uli yang baru berusia duapuluh delapan hari. Pada kesempatan lain ia sibuk membujuk bayinya yang mengoak. Tapi  pulas lagi usai bergelayut di lemak dada Lamrina.
Acara berlangsung meriah dan hikmat. Dengan senang hati ia sambut kerabat dan tetangga dekat. Para tamu silih berganti datang dan pulang. Mereka menyampaikan kata selamat, mengayunkan salam, memberi pelukan, dan berebut mencium pipi si buah hati. Di antara mereka ada yang meninggalkan bingkisan di sisi Uli. Sebagian lagi menyelipkan amplop berisi uang ke tangan Lamrina.
Namun ada alasan mengapa diam-diam Lamrina tak mampu menahan sesak yang berombak di dadanya. Seperti kini, ketika keramaian berganti lengang. Ketika denting piring-sendok hening, ia pun selalu gagal memenggal serbuan peristiwa yang hinggap di kepala. Peristiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail air mata dari sepasang danau keruh di lereng dahinya. Ia pun bersekutu dengan tangis!
Pun ketika ia melipat parompa sadun kiriman ibu, buah air yang bening itu meleleh lagi. Berderai di pipi yang pasi. Sungguh Lamrina tak ingin meriakkan air muka kesedihan. Tapi selekas apapun ia menyeka linangan di pipinya, lebih lekas lagi air mata mencipta telaga. Lalu bergulir membasahi parompa sadun di pangkuannya. Jemarinya memintali rumbai parompa yang menjulur. Tapi tentu itu tak membantu meniup debu keperihan dari mata hatinya.
Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip ulos Batak Toba)! Inilah sumber sebab yang membikin Lamrina dua bulan ini gelisah. Perasaannya bagai kapal pecah, kacau belah. Tak tentu antara gembira, bersalah, atau durhaka pada ibu, dan entahlah! Kalau tidak silap, usia kandungan Lamrina delapan bulan saat paket berisi salendang adat itu datang.
Hmm, ia menarik napas, berat. Udara ibarat berserat. Ia pandangi parompa sadun yang batal dimasukkan ke lemari. Bahkan perlahan ia buka lagi lipatannya, dan dihamparkan di atas springbed. Seketika Lamrina terkenang kampung halamannya, Sabatolang, daerah Sipirok-Tapsel. Ia pun terkenang pula dengan riuh suka-cita acara manjagit parompa, acara adat Angkola menyambut kelahiran anak sulung. Pada acara itu diserahkanlah parompa oleh ompung—nenek dari pihak perempuan/ibu—kepada cucunya. Jika penyerahannya secara adat, seekor kambing syarat yang penting. Pemuka adat juga musti hadir. Tapi jika hanya acara sederhana, cukup menyembelih ayam. Sedang undangan terdiri dari kerabat dan tetangga.
Do-li Ha-si-an! Lamrina mengeja nama lengkap Uli. Itulah dua kata yang tertera di atas parompa. Tulisan selebar tiga ruas jari telunjuk, melintang di salah satu sisi parompa. Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magodang (Sehat dan lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan oranye. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrina pernah mendapat abit godang.
Tapi alah, mengenang abit godang bagi Lamrina seperti sedang merayakan upacara kepedihan yang lain di lumbung ingatannya. Ia berupaya menghalau kenangan tentang abit godang, tapi tak kuasa. Kain adat itu seperti melambai dari lemari, lantas terbang, dan rebah saja di samping parompa. Persis ia seperti parompa, hanya saja ukuran abit godang sedikit lebih besar. Pada sisi lebar yang satu, tertera nama lengkapnya, Lamrina Mintaito. Di sisi seberang ada nama Hadi Rusnandar. Lalu di bagian tengah ada petuah adat: Ulos ni Tondi dohot Badan/Gabe ma Hita Sude na Mamake (Selimut untuk semangat dan Badan/Kesenangan yang Hebatlah bagi Kita yang Memakai).
Tapi pada simpang-siur lamunan Lamrina, abit godang acap memaksanya  berperam mata sambil menikami kelebat sesal. Abit godang seperti sebuah teko berkarat yang mengguyurkan kopi pahit ke gelas hatinya. Sungguh, tidak mudah mendapat abit godang sebagai simbol restu orangtua atas pernikahan anaknya. Tidak mudah merajut kedua nama mereka di atas abit godang.
Begini, setahun lalu Lamrina disarankan ibunya pergi ke Jakarta. Ya, untuk menggapai peruntungan yang lebih baik, begitulah. Maklum, ibu Lamrina lumayan berumur. Badan dan semangatnya sudah menyusut. Jalannya saja beringsut karena sudah lama mengidap rematik akut. Ibu Lamrina tak lagi menggarap sawah peninggalan ayah. Sudah lama itu disewa famili dengan harga murah. Beliau hanya berladang-ladang di belakang rumah.
Lamrina pun berangkat ke ibukota. Di sana ia menumpang di rumah amangtua—saudara ayah Lamrina yang tertua. Tapi belum sempat bekerja, Lamrina malah punya kenalan bernama Hadi Rusnandar, yang kemudian berniat melamarnya. Nah, ini pangkal persoalannya. Angan-angan ibunya agar Lamrina bekerja kemungkinan besar pupus. Lalu yang lebih prinsip, ibu Lamrina tak ingin jika Masniari, kakak tertua Lamrina dilangkahi. Kakak Lamrina itu tinggal di kampung bersama ibu, dan belum menikah.
Keberatan ibunya dapat diterima akal, dan Lamrina paham perasaan ibunya. Ia yakin, ketidaksetujuan ibu bukan karena Mas Hadi berasal dari keluarga Jawa. Ibunya bukan orang tua yang kolot soal jodoh. “Pokoknya seagama,” begitu pesan ibunya. Namun pemakluman Lamrina atas keberatan itu akhirnya kalah oleh desakan Mas Hadi. Apalagi secara tersirat, amangtua mendukung keputusan Lamrina. Amangtua pula yang berhasil menekuk hati ibu. Maka setelah tarik ulur yang melelahkan, akhirnya lamaran diterima. Pesta adat pun digelar dengan meriah di Jakarta. Dan ibu Lamrina turut menyaksikan.
Demikian pun, tidak sepenuhnya Lamrina berbaring di ranjang ketenangan. Setiap bertelepon ke kampung, ibunya sering mengeluhkan nasib kak Masniari yang belum juga ketemu jodoh. Tak jarang pula ibunya mengait-ngaitkan dengan pernikahannya. Pernikahan yang dianggap sebagai penghalang jodoh kakaknya. Ampun, ia layaknya sedang memangku dosa sebesar bulan.
Begitulah, mengenang abit godang senantiasa membuat Lamrina tak pernah tenang. Maka sejak menikah abit godang tersebut dibenamkan Lamrina jauh ke palung lemari. Tapi abit godang sudah tersimpan, parompa sadun pula yang sampai di tangan. Bagi Lamrina, itu kiriman yang tidak lazim. Mengapa? Karena parompa sadun semestinya diberikan jika anak sudah lahir. Lalu, mengapa di atas abit godang sudah tersulam nama: Doli Hasian? Bukankah nama itu berarti: Anak Laki-laki Kesayangan? Padahal hasil USG mengisyaratkan rahim Lamrina sedang mengasuh janin perempuan.
Hari itu juga ia menginterlokal tulang Dahler—adik bungsu ibunya. Seperti biasa, Lamrina berpesan jika Kamis lusa ia kepingin bicara sama ibunya. Tulang Dahler tinggal di pasar Sipirok, punya ruko buat usaha Sambal Taruma, keripik pedas khas Sipirok. Setiap Kamis ada pekan besar di Sipirok, dan ibu Lamrina selalu pergi ke sana. Entah hendak menjual hasil ladang, atau belanja untuk keperluan seminggu. Kalau pun tidak, ibunya berangkat ke Sipirok sekadar singgah di ruko tulang. Dan sebelum magrib sudah pulang ke Sabatolang.
Tapi harapan Lamrina agar perasaannya damai tak tercapai. Malah di dadanya gelombang rusuh terus bertabuh. Demi Allah, Lamrina sudah hati-hati betul menyampaikan keganjalan hatinya soal parompa itu. Tapi apa? Ibunya tersinggung!
“Tak senang-nya kau menerima parompa itu?” Suara ibu Lamrina sedikit tinggi dari percakapan sebelumnya. Pertanyaan itu seperti gelegar halilintar. Jantung Lamrina berdebar, “Iya, Lamrina. Tak senang-nya kau…”
“Senang-nya aku, bu…” potong Lamrina.
“Kau kirimkan lagilah parompa itu ke kampung.” Kini suara ibunya menjurus ketus, “Atau yang tak senang-nya kau kalau cucuku laki-laki, iya?” Pertanyaan ibunya menyeret Lamrina ke pojok serba salah. Napas ibunya yang pendek-pendek dan bercampur isak terdengar di ujung telepon. Lalu berakhir dengan suara: tuut-tuut-tuut!
Aduh, Lamrina merasa terlibat mematahkan semangat ibunya mendapat cucu laki-laki. Ia tahu betul mengapa ibunya sekilat itu menyemburkan api amarah. Dulu ibunya, juga almarhum ayahnya, kepingin kali anak pertama mereka laki-laki. Tapi anak perempuan yang lahir, dan diberi nama Masniari. Keinginan yang sama dibebankan kepada kandungan yang kedua. Tapi lagi-lagi yang lahir perempuan. Nama Doli Hasian yang lama dipersiapkan terpaksa berganti dengan nama Lamrina Mintaito. Mintaito merupakan doa yang artinya: Memohon Saudara Laki-laki. Besar harapan ayah-ibu Lamrina, anak ketiga yang lahir semoga laki-laki sebagai penerus marga.
Tapi harapan itu pun padam bagai bangkai bara yang hitam. Belum pandai Lamrina berjalan, ayahnya meninggal muda karena kecelakaan. Lalu ibunya tak punya niat untuk menikah lagi. “Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, ibu tak akan menikah lagi. Sekalipun ibu masih muda.”
Tentulah ibunya tidak akan memiliki anak lagi. Maka berpindahlah harapan besar itu ke perut Lamrina. Harapan memiliki cucu laki-laki, juga harapan untuk memakaikan nama Doli Hasian. Nama yang dulu akan diberikan kepada Lamrina, seandainya ia laki-laki. Tapi kini harapan itu nyaris terkubur, karena hasil analisa dokter, anak yang dikandung Lamrina adalah perempuan. Iya, perkiraan itu masih bisa meleset. Namun ibunya terlanjur tersinggung. Buktinya, sudah berapa kali Kamis Lamrina bertelepon ke ruko tulang Dahler. Tapi yang terdengar dari seberang bukan suara ibu, melainkan jawaban tulang Dahler: “Tak ada Ibumu kemari. Kudengar-dengar dia kurang sehat.”
Berhari-hari panas dingin tubuh Lamrina dibuatnya. Puncaknya, empat hari menjelang melahirkan, ia mendapat berita yang membuat tubuhnya lunglai, seperti baju  yang teronggok di lantai. “I…bumu me…ninggal tadi ma…lam, kira-kira pukul sebelas…” Suara parau tulang Dahler yang berkabar singkat lewat telepon menjelang subuh.
Maka meletuslah tangis Lamrina. Ingin rasanya ia berangkat ke kampung subuh itu juga. Menyungkurkan kepala ke jenazah ibu demi mempersembahkan permohonan maaf. Tapi itu jauh dari mustahil, karena kehamilannya sudah tiba di penghujung waktu. Kalau bukan karena memikirkan anak yang di dalam perutnya, sudah tentu ia terus meraung. Menenggelamkan diri di lautan murung. Untung ia punya suami yang sabar.
Memang hanya kesabaran yang dibutuhkan suaminya. Termasuk untuk membujuk Lamrina agar tidak bersedih menerima kelahiran anak perempuan mereka. Bahkan Mas Hadi  dengan lapang dada tetap memberi nama Doli Hasian kepada anak perempuan mereka. Hanya  disepakatilah nama panggilannya, Uli. Mas Hadi juga menganjurkan agar acara manjagit parompa tetap dilaksanakan dengan sederhana. “Demi menghormati arwah ibu,” kata suaminya. Tapi Lamrina masih saja hanyut oleh anggapannya sendiri: “Aku gagal menebus kesalahan. Mengapa anakku tidak laki-laki seperti keinginan ibu?”
Ah, bagi Lamrina tidak mudah meredam hati yang resah. Tidak gampang menimbang perasaan yang bimbang. Butuh waktu lama meneguh semangat yang rapuh. Entahlah, setiap kali mengajak Uli bercanda, atau setiap kali memanggil nama anaknya, “Uli, Uli, anak sayang,” serta-merta Lamrina seperti berbisik, “Ibu, Ibu, nasibmu, o, betapa malang!” Lantas ia pun akan kehabisan kekuatan membendung kabut basah yang mengapung di matanya. Bahkan matanya yang bersorot menerawang itu seperti dua tadah penuh kuah. Lalu tumpah menggarami luka hatinya yang menganga-merekah.
“Ibu, Ibu, maafkan Lamrina…!”

Medan, 2006








Dimuat di Andalas, MINGGU, 16 Maret 2008

CERPEN
Pasar Jongjong
OLEH HASAN AL BANNA

Kabut menelungkup! Derik jangkrik mendaki kegelapan, juga menuang kelengangan. Sepasang mata Ompung Luat begitu awas menuntun kakinya menyusur jalan setapak, lembab dan berbatu. Angin tak bertiup, tapi liuk dingin menyusup juga ke tandas tulang. Ou, lelaki 76 tahun itu mendapatkan dirinya jauh lebih rerak dari usianya. Ia usap wajahnya yang berpipi cekung, seperti meraba lengkung lesung yang dangkal dan lapuk. Sambil menghalau batuk yang menggedor dada, Ompung Luat meraih sarung yang melingkar di leher, lalu diselubungkan ke tubuhnya yang geletar.
Dingin masih menunggang malam. Di sela jari Ompung Luat, tembakau bakkal dibalut daun biobio tersisa duapertiga. Tapi ia jentikkan begitu saja linting rokok kegemarannya itu ke sebalik belukar. Sebab, selain tak membekaskan rasa hangat, sudah berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam. Bahkan loting Ompung Luat—geretan sumbu berminyak lampu—tak mampu lagi memercik. Dan iya,  memantik sepetik api ke pucuk rokoknya  serupa hasrat yang berkarat.
Entah apa yang bersikeruh di lubuk kepala Ompung Luat. Usai isya tadi, ia, Amang Salohot, dan Marapande pergi ke rumah kepala kampung, Jabinore. Mereka menebar jala upaya untuk kesekian kalinya. Mana tahu Jabinore mau menukar arah pikiran: batal menjual kebunnya di belakang madrasah! Dan mungkin jadi, segalanya menjadi lain. Meski segenggam harapan itu akhirnya hangus menjadi legam angan. Harapan rontok, berserak, umpama daun-daun kerontang kehilangan pokok.
“Maaf, tak ada lagi wewenangku mengubah kesepakatan tempo hari.” Kalimat itulah yang dilontarkan Jabinore dengan mimik yang kemarau. Berarti ia angkat tangan! Maka Ompung Luat, Amang Salohot, dan Marapande pun bergegas menyurut langkah. Dan selama perjalanan menjemput jejak pertama, hanya ruap rokok dan sengap napas isi percakapan mereka. Ketiganya menitip suara ke perut gulita. Pun ketika berpisah di sebuah jalan bercabang, tak hendak mereka menagih kata-kata. Hanya angguk belaka tanda melepas simpul sua.
Kesepakatan soal keberadaan pasar jongjong memang sudah seminggu yang lalu tercapai. Lantas, ya, tinggal menunggu waktu, sesegera mungkin ditunaikanlah kesepakatan itu. Tetapi ada saja riak kenangan yang menghentak benak Ompung Luat. Riak yang kemudian berpusar deras, lalu mengombakkan sebuah tekad: kelangsungan pasar jongjong! Meski jika berhadap-hadap dengan mata hukum, gelung ombak tersebut terpental susut.
Pasar jongjong, sebuah pasar kecil di pekarangan madrasah. Madrasah, bangunan kayu berpekarangan tidak lebih dari sebidang lapangan voli. Memiliki empat lokal belajar. Satu ruangan besar sebenarnya, tapi disekat dengan beberapa papan tulis berkaki sehingga mencipta beberapa lokal. Di belakang madrasah melintas parit berair jernih. Dua bangkai pohon kelapa sepanjang dua meter menjadi penghubung terjal antara madrasah dengan kebun pisang milik Jabinore.
Di madrasah tersebut, para murid setingkat SD belajar mengaji dan ilmu agama, dituntun guru-guru belia tamatan pesantren tersohor, Purba Baru—Mandailing Natal. Pagi, madrasah diisi murid SD yang sekolahnya masuk siang, dan begitu sebaliknya. Madrasah itu berdiri jauh sesudah pasar jongjong berlangsung. Kalau hendak mengenal saksi hidup pasar jongjong, Ompung Luat dan Nek Arse orangnya. Mereka berdua, serta mendiang Haji Mahot dan mendiang Mursalim yang mula kali memulai aktivitas pasar jongjong. Segalanya berawal dari ketaksengajaan.
Suatu pagi 28 tahun lampau, Ompung Luat memundak sekeranjang ikan sepat tangkapannya. Sepat-sepat itu ia perangkap ketika ia dan istrinya bermalam di sawah, menunggui bunting padi yang ranum. Pagi itu ia bermaksud pulang, sekadar menjemput bekal untuk malam berikutnya. “Bawa saja ikan-ikan itu pulang,” teriak istrinya sambil mengusir burung-burung yang menghinggapi pucuk-pucuk padi, “Entah kau kasihkan sama si Rumondang, atau bagikan sajalah ke hombar balok, sama tetangga-tetangga kita itu.” Ompung Luat menjawab dengan anggukan.
Mungkin untuk mengerat penat, ia rehat tepat di tanah kosong milik Haji Mahot. Beberapa warga melintas, saling bertegur, lantas pergi menjinjing tiga-empat ekor sepat. Ompung Luat menolak imbalan uang yang mereka sodorkan. Ya, karena niat semula sepat-sepat itu untuk dibagikan, bukan dijual. Tapi orang-orang tetap meninggalkan uang di sisi keranjang. Hampir tamat semua sepat. Tinggal untuk Rumondang saja, putrinya yang sudah berkeluarga, tinggal tidak jauh dari rumah mereka.
Nah, beriring masa, setiap berpapasan dengan Ompung Luat, orang-orang kampung sering bertanya soal sepat. Maka, jika berada di sawah dan terselip waktu luang, Ompung Luat rajin menjerat sepat. Kemudian ia menuju tanah kosong, menunggu orang-orang memintas, lalu menyodorkan ikan. Ia tetap tak menagih upah, tapi mereka selalu menyisipkan uang ke saku baju Ompung Luat. Kadang tak lama berdiri di situ, berlalu pulang ia. Tapi, andai terperogok warga, Ompung Luat memindahkan jinjingan sepat ke tangan orang-orang kampung.
Tapi pernah sekeranjang sepat bawaannya tak berkurang seeokor pun. Rumondang dan tetangga hanya menjumput satu-dua ekor. Sisanya banyak, bermatian pula. Ketimbang mubazir, Ompung Luat mengolahnya menjadi ikan sale. Ya, sepat-sepat itu direbus berbumbu, lalu diasapi sedemikian rupa di atas bara sampai warnanya coklat kehitaman. Bara jangan sampai menjulurkan lidah api. Karena ikan-ikan itu hanya boleh ditanak oleh kepul asap. Kalau hendak dimakan, ikan sale bisa digoreng atau digulai terlebih dulu. Oi, sedap kali rasanya itu.
Ikan sale tersebut tak tersisa ketika Ompung Luat menggelarnya di tanah Haji Mahot, keesokan pagi. Maka, meski tak setiap hari, Ompung Luat pun ketagihan menjaja ikan sale. Kemudian hari, Nek Arse turut menjual sayur-mayur tanamannya. Haji Mahot si empunya tanah tak keberatan pula. Bahkan ia pun sering menjual hasil ladangnya—kelapa dan ubi. Datanglah Mursalim, membawa telur-telur yang ditetaskan ayam kampung piaraannya.
Ompung Luat akhirnya rutin manyale ikan air tawar, dan menjajanya di tempat biasa. Sejak istrinya sakit-sakitan, lalu meninggal, ia tak kerasan lagi mengurus sawahnya yang luas. Ia serahkan itu kepada Rumondang dan menantunya. Untuk mendapatkan ikan, ia tak turun tangan lagi menangkapnya. Kalau tak dipesankan sama menantunya, ya, ia beli dari kampung sebelah. Belakangan, Ompung Luat juga menjual gadapang, ikan kering penyedap sambal tuktuk khas Tapsel.
Kian ramailah tanah milik Haji Mahot itu. Warga sering menyebutnya pasar jongjong. Mengenai itu, Ompung Luat si penciptanya. “Kan waktu itu, cuma sebentar-nya aku berdiri di situ, eh datang orang menawar ikanku. Ya, jadi kubilanglah pasar berdiri, pasar jongjong!” Begitu kisah Ompung Luat mengenang kegelian peristiwa tempo hari. Warga pun senang dengan pasar jongjong. Maklum, pasar kecamatan berjarak tiga kilometer dari kampung itu. Jauh kali rasanya kalau hanya untuk membeli sayuran atau rencah gulai.
Pasar jongjong berlangsung setiap pagi. Lepas subuh, dan berakhir sebelum oleng matahari menebas batas lohor. Sebelas tahun berlalu, berdirilah madrasah. Itu atas prakarsa orang-orang pasar jongjong. Dana pembangunannya pun kebanyakan berasal dari sumbangan mereka. Pengelolaan madrasah diserahkan kepada Haji Mahot. Ia kan pemilik tanah, juga hatobangon, tetua kampung yang dihormati. Begitupun, ia dibantu Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan materi belajar untuk murid-murid mengaji.
Jadi, di pekarangan madrasahlah aktivitas pasar jongjong berlanjut. Sesama mereka, tidak ada tempat permanen untuk menggelar lapak. Saling berpindah tiap hari. Tapi mereka tak pernah bertikai. Mereka menggelar dagangan seadanya, hanya lapak-lapak plastik pasang-buka. Tenda-tenda dipasang untuk menghalang sengat panas, atau menghindar dari hujan. Tenda-tenda ditopang galah, dan ditambatkan pada jejeran paku yang menancap sembarang di dinding madrasah. Semak, tentu. Bersampah, apalagi. Tapi usai berdagang, pekarangan madrasah akan kembali bersih.
Mmh, jika diperhatikan, kebanyakan orang-orang pasar jongjong sudah renta. Mereka tak mampu lagi menghambur peluh di sawah-ladang. Kalaupun ada yang berusia muda, hanya satu-dua. Itupun para wanita yang tak ikut bertani-berladang. Pasar jongjong sungguh berarti bagi mereka. Tapi sumpah, mereka tidak akan tersandung lapar jika pasar jongjong tak ada! Bagi mereka, pasar jongjong tidak semata luap uang. Tengoklah, mereka punya sawah-ladang yang lapang dan ternak yang berpinak. Keturunan mereka pun tetap setia memamahi gembur tanah. Andai tidur-makan saja di rumah, harta mereka pun tak akan kerontang.
Dan memanglah, bagi mereka pasar jongjong bukan soal untung rugi. Buktinya, kalau dagangan tersisa sedikit, pantang dibawa pulang, musti dibagikan.  Kadang mereka tak berjualan jika ada warga yang tertimpa kemalangan. Bahkan hari jumat pasar jongjong kosong. “Hari raya kecil,” kata mereka. Ah, pasar jongjong hanya semacam alasan bagi mereka untuk tetap bersua, merajut cerita, bertukar lara, bersilang ria, bahkan menyetor amal.
Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai pertemuan, untuk pengajian kaum ibu, acara maulid, isra mikraj, dan rapat naposo nauli bulung (lajang-gadis kampung). Pendek kata, orang-orang kampung turut menggunakannya untuk kepentingan beragam. Tapi begitupun, kalau ada atap madrasah yang koyak, atau dinding melunak, mereka—orang-orang pasar jongjong—yang biasanya lebih bersegera memperbaikinnya. Pula tiap tahun, tepatnya setiap pergantian ajaran baru, orang-orang pasar jongjong bergotong-royong mengecat madrasah, meski hanya dengan cat kapur yang gampang pudar. 
Terus pula, di pasar jongjong, setiap hari mereka kumpulkan uang ikhlas, semacam iuran, begitulah. Itu digunakan untuk menggaji guru-guru madrasah. Kepada para murid memang ditagih bayaran, namun tidak pula dipaksa. Bisa dikatakan, lebih dari separo murid-murid tersebut belajar secara cuma-cuma. Maka, bukankah kelangsungan madrasah tergantung orang-orang pasar jongjong? Tapi jawaban mereka begitu lugu, “Itukan untuk anak-cucu kami juga.” Mmh, pasar jongjong, rumah kebahagiaan yang tak terhingga bagi penghuninya.
Maka tak terbayangkan jika pasar jongjong tiba-tiba raib dari rak hari mereka. Kenangan puluhan tahun bakal menyerpih. Lalu, matahari esok mereka  bercahaya pitam. Terlebih-lebih Ompung Luat, si penemu pasar jongjong. Semua beranjak dari kabar murah, tapi akhirnya membikin terperangah. Bah! Katanya pihak kecamatan akan membongkar madrasah. Di lokasi itu tetap madrasah yang akan dibangun. “Semacam madrasah percontohan-lah”, kata Pak Camat. “Pokoknya kita bikin permanen, bertingkat, dan tentulah lebih besar dari  yang sebelumnya,” sambung beliau. Dan akhir dari keterperangahan itu adalah kepastian soal pasar jongjong akan dijungkal, digusur!
Orang-orang pasar jongjong bak disihir, tumpat alir pikir. Memang, mereka sempat lega ketika Ompung Luat mengaku masih menggengam salinan surat wasiat Haji Mahot. Isi surat bersegel itu menjelaskan bahwa tanah lokasi madrasah dan bangunan madrasah diwakafkan untuk kemaslahatan orang kampung. Termasuk untuk orang-orang yang berjualan di pasar jongjong. Surat inilah senjata terakhir yang diharapkan mampu membenamkan niat Pak Camat.
Tapi surat itu tidak bermanfaat ketika beradu khasiat dengan sertifikat tanah yang dikantongi pihak camat. Rupanya, tanpa sepengetahuan orang-orang pasar jongjong, anak-anak Haji Mahot telah menjual tanah tersebut. Haji Mahot memiliki tujuh anak, semuanya menetap di perantauan. Istri Haji Mahot, sudah lebih dulu meninggal, berselang dua tahun. Beberapa hari setelah Haji Mahot meninggal, mereka menjual seluruh harta orangtuanya untuk memudahkan pembagian warisan. Termasuklah itu tanah madrasah dan pasar jongjong.
Keadaan kian tak menguntungkan ketika pemuka kampung yang lain ikut-ikutan mendukung. Termasuk Jabinore yang rela menjual kebun pisangnya—di belakang madrasah—kepada pihak kecamatan. Tanah Jabinore itu termasuk dalam rencana pembangunan madrasah baru. “…orangtua-orangtua kami, bapak-bapak, begitu pula ibu-ibu, alim ulama, saudara-saudara, dan tuan guru kami, ini demi nama baik kampung dan masa depan generasi muda kita. Nian Allah membalas keikhlasan hadirin semua…” Begitu bunyi pidato Pak Camat ketika acara penandatanganan kesepakatan antara pihak kecamatan dengan warga berlangsung di kantor kecamatan. Ada riuh tepuk tangan, perjamuan makan, juga uang yang—katanya—sudah dibagi-bagikan?
Tapi lalu, orang-orang pasar jongjong memilih meraba sengak dada. Bagi mereka, menyulam ketabahan lebih bermanfaat ketimbang meletupkan kekecewaan, bahkan amarah. Pun mereka, sejak dulu, tidak punya watak berontak!
* * *
Subuh beranjak. Matahari terbit sejejak. Kabut masih mengapung. Di sekitar madrasah, ada gunungan pasir dan batu sungai. Bata tersusun setinggi dada. Puluhan sak semen tergeletak tak beraturan, menyemak. Bahan material lain juga sudah berjejal. Kayu-kayu tinggi-tegap menancap mengelilingi lokasi pembangunan. Hari ini madrasah sudah mulai libur, entah sampai kapan. Tapi orang-orang pasar jongjong masih diperkenankan berjualan untuk terakhir kali.
Ompung Luat menggelar lapak. Aroma ikan sale dan gadapang mengail selera. Orang-orang pasar jongjong juga menggelar jualan, seperti biasa. Apa adanya. Tapi tak ada sapa yang menghela di antara mereka. Langit senyap. Suara-suara gelap. O, Tuhan, mengapa pagi ini sorot mata mereka begitu hampa, mulut mereka dikepit luka? Mereka memang menggelar dagangan. Tapi sungguh, yang tergelar cuma kehampaan belaka.
Kehampaan yang sempurna!

Medan, 2006


















Dimuat di Suara Pembaruan, MINGGU, 30 Desember 2007

Monolog Lelaki Merindukan Pulang
Oleh Hasan Al Banna


Maka aku, betapa berhasrat hendak menggelinjangkan ikan-ikan ke pangkuanmu!
Bersebab wajahmu yang sebening pucuk jambu itu, sedikitpun tak pernah membersitkan rasa takut atau curiga tentang kesenanganku bepergian ke mana saja aku suka. Ai, sama sekali kau tidak pernah bertanya: Mengapa aku pergi? Hendak ke mana pergi? Sedang apa aku dalam pergi? Berapa lama pergi? Atau adakah nanti aku pulang setelah pergi? Kapankah pulang setelah pergi? Adakah siang hari? Adakah pulang senja hari? Adakah malam hari? Adakah tengah malam? Adakah pulang usai diseduh subuh? Atau bahkan aku tidak pulang sama sekali untuk waktu yang tak pernah tertebak olehmu. Ohoi, aku sebut kau setegar batu, tapi hatimu, sungguh sedebar salju.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Maka aku, betapa berdegup hendak tersesat di belantara cintamu!
Bersebab ketika aku selalu pergi setiap pagi, kau sama sekali tak pernah lupa menyiapkan segala sesuatu keperluanku; air hangat dan handuk untuk mandi, pakaian yang sudah dicuci bersih dan pasti sudah disetrika rapi, kaus kaki, serta sepatu dengan kilat yang berderai. Dan tentu menyusul suguhan sarapan; sepiring lontong sayur, opak, dan segelas teh hangat, juga membekaliku dengan ini dan itu. Padahal, sama sekali aku tidak pernah menyuruh, apalagi memerintahkanmu melakukan semua itu.
“Sudahlah, tak usah repot kali. Biar aku saja yang menyiapkan segala sesuatunya.”
“Ah, tidak mengapa. Sedikitpun aku tak pernah merasa repot mengerjakannya untukmu.”
“Aku sudah terbiasa melakukan itu.”
“Iya, aku memang belum terbiasa melakukannya. Makanya aku ingin terus membiasakan diri untuk itu.”
“Nanti kau merasa terbebani. Jika mengerjakan segala sesuatu dengan perasaan yang terbeban itu, tidaklah baik.”
“Beban itu, jikapun ada adalah ibadah bagiku. Dan mengerjakan ibadah sama artinya dengan mengerjakan suatu yang baik pula.”
“Hei…”
“Pendeknya, aku tidak pernah merasa terbebani.”
“Ya, tapi…”
“Atau kau yang merasa terbebani?”
“Tidak, hanya…”
“Ya, sudah! Berangkatlah, semoga hari ini perjalananmu menyenangkan.”
Maka aku, betapa lonjak hendak terjerat di pelukanmu!
Bersebab sering bila aku tidak pulang, kau sangat sedia dan setia dalam jaga dan tidur menungguku di ruang tamu. Bagimu persoalan waktu tidak terlalu penting. Tak peduli hari adakah senja, adakah malam, adakah tengah malam, atau sekalian subuh. Dan untuk itu kau tidak pernah merasa keberatan, tidak pernah merasa dirugikan, tidak pernah merasa terhina, tidak pernah merasa diabaikan, atau tidak pernah merasa disepelekan. Lantas kau tak pula pernah memendam benci, memendam durja amarah, apalagi memendam dendam.
“Tidak perlu kau menungguiku.”
“Saat-saat yang paling kutunggu adalah saat-saat menunggumu.”
“O, aku pulang tidak tentu waktu.”
“Mhh, aku menunggumu tidak pernah menggunjingkan waktu.”
“Ya, tapi kasihanilah dirimu. Jaga kesehatanmu.”
“Aku malah lebih kasihan terhadap diriku, jika tak mampu menunggui dan menyambutmu. Malah aku jatuh sakit karena ketidakmampuan itu.”
Mubazir namanya itu. Pekerjaan sia-sia!”
 “Jika kita menikmati setiap pekerjaan itu, mubazir itu bisa jadi adalah kebutuhan. Tidaklah sia-sia. Ketahuilah, menunggumu bagiku adalah sebuah pekerjaan yang sangat nikmat. Penuh kejutan.”
“Kau kan tahu, aku punya duplikat kunci? Jadi aku bisa pulang dan masuk kapan saja tanpa menyusahkanmu.”
“Selain menikmati, kunci nikmat dari melakukan pekerjaan itu adalah ikhlas. Tentu tidak akan ada lagi kata-kata menyusahkan.”
“Aduh…”
“Sudahlah, sedikitpun aku tidak pernah merasa susah menungguimu.”
 “Iya…”
“Keberatankah kau jika aku menungguimu?”
Maka aku, betapa tersirap hendak melabuhkan ciuman di dahimu!
Bersebab jika suatu kali aku tidak ingin dan tidak sedang ke mana-mana, meski itu langka adanya, kau selalu menyiapkan dan menghidangkan makan siang yang nikmat untukku; nasi hangat yang mengepul, ikan bakar yang lemak, sambal kacang dan teri yang menyengat lidah, daun ubi tumbuk yang tanak, tempe goreng yang gurih, segelas air putih hangat, dan irisan semangka yang ranum. Padahal, sama sekali aku belum selera untuk makan.
“Perutku belum lapar.”
“Makan sebelum perut lapar itu lebih baik. Dan kalau bisa, berhenti makan sebelum kenyang, malah lebih baik.”
“Aku belum selera makan.”
“Terkadang selera makan itu datang setelah terlebih dahulu mencicipi makanan yang terhidang.”
“Ya, tapi, tapi hidangkan sajalah apa adanya.”
“Bahkan yang kuhidangkan ini belum ada apa-apanya.”
“Ou…”
“Ayolah makan! Nanti dingin.”
“Tapi…”
“Mensyukuri rezeki itu perbuatan baik. Dan menikmati hidangan ini adalah salah satu perwujudan rasa syukur. Maka, silakan dinikmati.”
Maka aku, betapa bersihentak hendak memetik bertangkai senyum di bibirmu!
Bersebab pula, jika aku sedang menikmati malam di beranda, kau tidak pernah lupa menyuguhkan secangkir teh atau kopi, juga menghidangkan sejumputan penganan. Bersebab sebelum tengah malam, kau selalu menyarankanku untuk istirahat di kamar; merebahkanku, menyelimutiku, menemaniku, dan meniupkan dongeng-dongeng cinta ke telingaku. Dongeng-dongeng yang menjelma perahu, berarung ke lautan tidur, ke samudera mimpi. Padahal saat itu, sama sekali aku belum ingin beranjak ke tempat tidur. Belum seberapa ngantuk. Pokoknya, belum digoda uapan.
“Aku belum ngantuk.”
“Istirahat itu tidak mesti ngantuk.”
“Aku belum mau tidur.”
“Istirahat itu juga tidak harus tidur.”
“Aku mohon, aku belum ngantuk dan belum ingin tidur.”
“Istirahat sajalah.”
“Istirahatkan bisa juga di beranda atau ruang tamu?”
“Nanti masuk angin. Sebab angin malam itu tidak bagus untuk kesehatan.”
“Akukan sudah makan, tidak akan masuk angin.”
“Angin itu tidak mengenal persoalan makan atau tidak makan.”
“Oalah…”
“Sudahlah, ayo, berbaring saja.”
“Tapi…”
“Rebahan saja. Tidak sulit kan?”
Maka aku, betapa berkelebat hendak menggantang telaga di matamu!
Bersebab sudah terlampau lama aku pergi bertandang ke rumah-rumah yang lain; menikmati tuturan ramah pemiliknya, menikmati tawaran sarapan yang selalu berbeda, menikmati hidangan makan siang yang memanjakan selera, menikmati makanan senja yang bermacam adanya, menikmati suguhan minuman yang beragam rasa-warnanya, menikmati cerita-cerita beraneka kiranya, juga menikmati tidur yang paling nyaman tentunya.
“Jika kau hendak pergi, aku rela, dan aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan menunggu kepulanganmu, kapanpun. Jika kau tak hendak pergi, aku pun rela, dan aku akan melayanimu. Lalu aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, keinginanmu, seberapa pun.”
Namun ke rumah siapa pun aku pergi, dan di rumah mana pun aku berleha diri, ada yang tak bisa kutemukan, selain padamu. Entahlah!
Maka aku, betapa bergegas hendak mengunci diri di bilik hatimu!
Bersebab kau adalah rumah yang lalai mengernyit, rumah yang alpa menjewer. Bersebab kau adalah rumah yang tak pernah menghardik; tempatku mengombakkan buih-biuh pahala, sebagai lengan-lengan air yang menghanyutkanku ke dermaga sorga.
Lalu, tolong katakan padaku, siapa orang yang tak hendak hanyut ke dermaga sorga? Katakanlah!
Hah, aku?
Ops, tidak lagi!

Medan, Duaribuan


(Dewi Haritsyah Pohan, mmh, terima kasih atas ketabahanmu. Jangan pernah khawatir, aku mencintaimu!)


Dimuat di Koran Tempo, MINGGU, 9 Maret 2008

CERPEN
Kematian Bob Marley
OLEH HASAN AL BANNA

Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling himpit. Mulut  menganga, sekuak goa, tak henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan. Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya, mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis mengerubungi mayat.
Para tetangga terhenyak, lalu menjenguk berdesak-desak. Kesibukan pun menjalar sedemikian rupa. Lebih-lebih kepala lorong, Haji Fadel. Perintah-perintah tumpah. Di luar, sebagian orang memasang tenda. Di beberapa sudut lorong, ditambatkan bendera sungkawa. Hujan reda tak reda. Angin timpa-menimpa. Lantas pengeras suara masjid menyala, membagikan kabar duka-cita: “…telah berpulang ke rahmatullah: Bob Marley, tutup usia tiga puluh sembilan tahun. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka, lorong Dermawan, di sebelah rumah tuan kadi Irham. Insya Allah, almarhum dikebumikan besok, setelah sembahyang zuhur…”
Bob Marley. Demikian warga lorong Dermawan memanggilnya. Ia memang senang bernyanyi, meski tidak mahir. “Alah, suaraku angka merah, kawan,” selorohnya. Tapi kalau pesta kawin, ngayun anak, atau sunatan pakai acara keyboard, maka ia akan bernyanyi sepukul-dua pukul. Atau temuilah Bob Marley di antara lapak tuak yang berderet di ujung pelabuhan. Di sana, sambil tenggen bersama peminum lain, ia bernyanyi sampai serak. Ia suka lagu batak, juga beberapa lagu milik Rhoma Irama. Dan tak pernah ketinggalan, lagu wajib: gereja tua.
Tapi jangan silap, Bob Marley bukan penggemar Bob Marley. Mana kenal ia sama penyanyi reggae legendaris asal Jamaika itu. “Pemain bola negara mana Bob Marley?” tanyanya dengan keluguan yang sempurna. Hah, maklumlah, ia hobi segala  judi, termasuk taruhan skor pertandingan bola. Padahal, sama sekali ia tak pernah hapal pemain-pemain top, bahkan nama klub eropa yang menjadi unggulannya. Pun pula hendak mengetahui riwayat Bob Marley ia?
Jadi, apa pasal orang-orang menyerunya dengan nama itu? Andaipun dicari kepersisannya secara kasat mata, paling karena warna kulit—yang gelap, atau rambut gondrongnya. Tapi tentu, ia tidak dengan sadar menjalin rambutnya menjadi gimbal. Apalagi paham dengan kandungan filosofinya; menjalin rambut adalah perjalanan jiwa, pikiran, dan spritual yang mengajarkan kesabaran. Ehem-puih! Harap diketahui, sejak lajang, rambut ikalnya yang sebahu—sewarna daun setengah masak—jarang disisir, lalu terpilin secara alamiah, menciptakan bingkahan rambut tak beraturan.
Namun, entah karena alasan apapun nama Bob Marley itu melekat pada dirinya, ia senang dengan panggilan itu. Tak ada niat protes. Tak ada nota keberatan. Maka warga pun lupa, bahkan ia sendiri alpa, jika ia pernah menyandang nama: Jusmar Gazali bin Hoesin!
* * *
Pagi meniti nyeri. Hujan kandas. Di udara bertabur wangi air mata. Di dagu pintu, tepatnya di atas kursi kayu, diletakkan baskom bergunduk beras catu. Orang-orang yang tukam, menjumput butiran beras sambil membenamkan sejumlah uang, lalu beringsut menghampiri keluarga almarhum. Di rumah duka, warga melimpah. Jenazah Bob Marley dikerumuni istri, Mak Nuridah—ibu Bob Marley—yang uzur, dan ketujuh anaknya yang terpaksa berstatus yatim. Sanak dan keluarga dekat dari luar kota, sudah labuh sebelum subuh. Isak tangis pun timbul-tenggelam.
Di luar, pelayat berbaur di sekitar tenda. Bercakap-cakap. Saling menyalam. Berbatang rokok disulut. Ada juga tergerai renda tawa. Beberapa orang sibuk mengukur, menggergaji, dan mengetam bilahan papan untuk keperluan pemakaman. Nawawi begitu tekun mengukir tulisan—Bob Marley bin Hoesin, bukan Jusmar Gazali bin Hoesin—pada sepenggal broti. Untuk nisan sementara itu. Di sudut lain, sebidang kain putih tengah disiapkan menjadi kafan. Bang Sapri baru saja beranjak ke kuburan usai mengukur lebar-tinggi tubuh Bob Marley. Keranda, selubung dan payung keranda sudah diangkut dari masjid. Tiga blong besar air, penuh. Cukuplah untuk memandikan jenazah. Kapur barus, sabun, dan wewangian telah tersedia.
Ibu-ibu duduk bersempit-sempit di ruang tengah. Tikar rompal menutupi lantai tanah, sekalian menghalau uap lembap. Berkesiur lafaz doa dan yasin. Ganti-berganti. Sekali kesempatan, nasehat mengucur, menghibur. Gemerisik bunyi bisik-bisik. Kadang nada bicara terdengar seperti dengungan kecil. Samar. Khusuk. Tapi mereka tidak sedang bergunjing! Mungkin, sedang mengais jawaban?
Hampir sejak sebulan lalu, warga Dermawan sudah heboh dengan kabar hilangnya Bob Marley. Apalagi saat itu, Wak Bardansyah hendak mengadakan perhelatan perkawinan putri sulungnya. Ada acara keyboard, tentu. Dan biasanya, Bob Marley menjadi pawang keamanan. Maka tak akan ada pemuda lorong lain yang bernyali membikin kekacauan. Biduan dan tukang keyboard pun aman dari ancaman: Dipaksa tampil sampai pagi! Hasil akhir, hajatan bersih dari buih tuak, tanpa ruap gelek, dan tak ada joget panas di atas pentas.
Namun Bob Marley raib! Wak Bardansyah terpaksa menyewa ormas pemuda setempat untuk mengurus keamanan. Pastilah itu membutuhkan anggaran tambahan. Padahal, bayaran tidak berlaku bagi Bob Marley. Bakal ia tolak itu mentah-mentah. Gantinya, susupkan saja rokok ke saku bajunya, mantaplah itu. Tapi tanpa Bob Marley, pengeluaran biaya keamanan membengkak. Tak ada kericuhan, iya. Tapi selain uang kontan, si empunya pesta musti menyediakan berceret tuak, minuman penambah energi plus rokok berbungkus-bungkus. Maka bagi Wak Bardansyah, begitu mahal harga kehilangan seorang Bob Marley. Apa boleh buat! 
Entah mengapa, orang-orang di luar lorong Dermawan macam gentar setiap mendengar nama Bob Marley. Paling tidak, mereka enggan bersangkut-paut masalah dengannya. Memang, warga lorong Dermawan tahu kalau Bob Marley agen gelek. Sudah rahasia umum itu. Tapi pantang bagi Bob Marley mengedarkan daun ganja kepada anak lajang lorong Dermawan. Ia pun tak berniat menghasut mereka menyedot gelek. Malahan, si Bahrum—cucu Andung Alang, usia belasan dan putus sekolah—pernah ditempeleng Bob Marley karena kedapatan begelek. 
Benar, Bob Marley gemar menenggak tuak. Namun tak pernah ia pulang sambil meracau, meski sedang tenggen habis. Bahkan, jika berpapasan dengan tetangga, ia tetap ramah dan seperti orang sadar melempar sapa. Mmh, tentang tuak, Bob Marley pernah mengancam akan membakar rumah Inang Girsang di seberang jalan lorong Dermawan. Itu terjadi kalau Inang Girsang berkeras juga membuka lapak tuak di daerah itu. Untung ancaman susut, ya, karena Inang Girsang membatalkan rencananya. “Anak-anak di lorong ini kan baik-baik, jangan pulak dikasih tuak,” Bob Marley menyodorkan alasan.
Tapi, kalau soal judi, bolehlah Bob Marley bertoleransi. Ia tak pernah melarang lajang-lajang seputaran lorong Dermawan berkartu sambil taruhan, atau main judi dadu di hadapannya. “Mainkan saja, genk! Asalkan jangan merusuh, tak ada minuman, dan jangan begelek!” Bob Marley menyilakan, tapi tak lupa meninggalkan peringatan. Sesekali, ia tergiur juga bergabung. Ya, main setarik-dua tariklah.
Andai bertanya pada tetangga tentang sosok Bob Marley, mereka menjawab apa adanya: “…o, baik orangnya itu. Ya, tak alim-alim kalilah. Solat paling hari Jumat, itupun jarang. Tapi dia itu rajin ikut wirid yasin tiap malam Jumat. Jangan sepele kelien, pandai mengaji dia. Sudah itu, kalau ada warga yang meninggal, Bob Marley giat mengurus keperluan kifayah jenazah, khususnya menyiapkan galian kuburan. Terus, biar tau saja, hampir tak pernah absen dia ikut tahlilan, genap tiga malam. Pokoknya…”
Namun, bukankah Bob Marley bertampang bajingan? Iya, badannya setipis rempeyek, compang-ramping. Tapi kata orang, wajahnya setandus bulan padam, menakutkan! Nyaris bengis dengan mata redup yang keruh, merah, dan mendidih. Dari lehernya—hingga menukik ke bahu, melintang luka lampau yang berkarat. Lalu, ada tiga tato bersarang di tubuhnya. Dua terpacak di lereng bahu, bergambar jangkar dan wanita tak berbaju. Satu lagi bergambar tweety. “Orang rumahku sukak kali filim kartun ini.” Itu kata Bob Marley sambil menunjukkan tato yang terpatri di dada kiri. “Tato ini punya istriku,” ujarnya, entah sedang menggelar kelakar.
Memang, kedengarannya seperti lelucon. Tapi menurut orang-orang—yang bukan warga lorong Dermawan, itu tidak memupus penilaian mereka terhadap Bob Marley: seorang bajingan! Warga lorong Dermawan hanya membalas tuduhan itu dengan isyarat bahu. Mereka malas membahas tabiat Bob Marley di luar yang mereka ketahui dan saksikan sendiri. Pendek kata, sebajingan apa pun Bob Marley, tak pernah sejarahnya menebar onar di lorong Dermawan. Sebaliknya, warga merasa tentram dengan keberadaan Bob Marley.
Dulu, sebuah rumah di lorong Dermawan pernah ditumpas maling. Tapi  berselang setengah hari, gondolan vcd serta tivi kembali tanpa cacat, dan tanpa sempat berpindah ke tangan penadah. Entah bagaimana cara Bob Marley memulangkan barang berharga itu. Tapi yang pasti, sejak itu, tak pernah lagi rumah-rumah di lorong Dermawan menjadi sasaran maling. Maka kini, tidakkah berita hilangnya Bob Marley menggoreskan sedikit rasa was-was? Dan hei, Bob Marley, di manakah?
Desas-desus berhembus, enteng, juga serius: Bob Marley diculik jin, Bob Marley kawin lagi, Bob Marley pergi melaut berhari-hari, Bob Marley korban tabrak lari, atau jangan-jangan, Bob Marley mati dibunuh, dan mayatnya dimutilasi. Tapi prediksi itu hangus ketika seseorang menitipkan secarik kertas lusuh buat istrinya—setelah dua minggu Bob Marley hilang. Ada tulisan singkat dan kusut di situ: “…Abang ketanggok polisi, Mala. Tapi tak usah takut kau. Paling lama, dua hari lagi Abang keluar…” Lega menghela dada istri Bob Marley.
Warga pun turut lega. Tapi kembali cemas ketika Bob Marley tak kunjung bebas. Hari sudah hanyut sejumlah sebelas. Maka tanpa komando, warga berinisiatif mengumpul dana, sebagai modal bernego dengan pihak terkait. Tentu demi menjemput Bob Marley dari bilik berjerejak. Nun, niat belum sepenuh terlaksana, Bob Marley sudah pulang, tapi tak beserta nyawa. Ia kembali dari kehilangan, tapi sedang menuju ke kehilangan abadi. “Suami ibu dikeroyok sesama tahanan sel,” kata istri Bob Marley menirukan ucapan salah satu lelaki pengantar jenazah suaminya. Ketika warga menanyakan hasil visum, Mala menggeleng. Pasrah.
* * *
Siang menjelang. Menyiang. Jenazah Bob Marley sudah dimandikan. Ratap istrinya merayap, ketujuh anak ia dekap. Air mata ambruk. Duka ibarat laut tak berdermaga. Warga lorong Dermawan berkerumun. Meski tak bepekik tangis, tak melejit jerit, kepala mereka bertudung kesedihan. Di wajah mereka menggantung mendung muram. Ketahuilah, mereka sebenar kehilangan Bob Marley! Tulus.
Waktu terus menghunus. Isak meledak ketika Bob Marley segera dibungkus. Tapi mendadak kepala lorong—juga tuan kadi Irham, dan Abah Taher—tergopoh menyela. Lantas terlibat diskusi dengan pihak keluarga. Lumayan lama. Hingga membatu angin. Tapi kemudian, selesai berangguk-angguk, kepala lorong buka suara: “Jenazah akan kita usung lebih dulu ke rumah sakit, untuk divisum!”
Hadirin sepakat. Ini kematian yang janggal. Sumpah, sejak mendengar kematian Bob Marley, berkelebat kutuk, menendangi dada warga lorong Dermawan:
“Bah, keji kali kematian Bob Marley itu..!”

Medan, Mendung 2006




Dimuat di Majalah Horison, EDISI MARET 2008

CERPEN
Hanya Angin yang Terpahat
di Rahang Pintu
OLEH HASAN AL BANNA

Sehabis melekatkan pandangan pada foto yang terpacak di sebalik kaca lemari, ia menunduk! Beberapa titik air—hangat dan pudar—merembes juga dari lekuk matanya. Lagi-lagi, Mak Odah gagal memulangkan air mata ke dadanya yang lengang. Padahal, demi kebahagian orang-orang tercinta, janji hati musti ditepati. Iya, kelopak matanya yang layu, jangan lagi berputik air mata! Tapi demi Allah, itu bukan pekerjaan mudah bagi Mak Odah. Meski kalau tidak, tubuhnya yang bak perahu tua berbahu koyak, sampai kapan terlunta di samudera lara? Namun pada kenyataannya, Mak Odah tak selalu berhasil menghalau kesedihan yang datang bergerombol, dan betapa beringas menggempur. Memang, ada saja silang-pintas kenangan yang meremas kemarau dadanya sampai tandas. Lalu berperciklah saripati air mata!
Tadi, usai salat magrib, Mak Odah hendak beranjak ke beranda. Ouh makjang, di dalam rumah, gerah kali rasanya! Maka ia kepingin keluar, sekadar menggayung angin, atau sekalian berkubang dingin. Lagi pula, tak pernah betah ia meringkuk diri di kamar. Sepenat apapun badan, jarang Mak Odah bergolek-golek, atau berperam-peram mata sebelum hari sebenar terperosok ke liang malam. Padahal hari ini begitu gontai sendi-sendi tulangnya. Sebenarnya, kurang enak badan Mak Odah tadi pagi. Tapi berangkat juga ia ke tangkahan. Biasa, setiap pagi berbatas lohor, Mak Odah, sebagaimana pekerja yang lain, begitu tekun mengolah ikan gelama menjadi ikan asin belah. Mulai dari menguras isi perut, merentangnya di siring—wadah penjemur ikan, sampai kepada mengintai-intai sengat matahari. Tentu agar ikan sebenar kering.
Sepulang dari tangkahan, Mak Odah pun tak langsung ke rumah, melainkan bergegas menghimpun dahan langgade yang berpatahan di sekitar bakau. Lumayan, beberapa ikat langgade untuk kayu bakar bisa ditukar uang di kedai sampah Nek Basariah. Kadang sambil lalu, Mak Odah juga mengumpulkan buah nipah untuk dijual. Tapi kini, sudah susah ia menemukan pohon nipah. Tak apalah, hasil dari keseharian Mak Odah tersebut, dicukup-cukupkanlah itu membeli beras dan rencah lauk-pauk. Berapa banyaklah makan Mak Odah?
Tapi dari pengakuan para tetangga, tak pernah kisah kesah menghambur dari mulut Mak Odah. Termasuk jarang Mak Odah menabuh-nabuh keluh ke telinga orang banyak. Kalaupun ia sesekali bertandang, hanya untuk memulih-mulih badan yang penat, atau bersilang gurau dengan tetangga. Namun beranda rumahnya tetap menjadi tempat pelepas lelah yang indah bagi Mak Odah. Raut wajah Mak Odah seketika cerah kalau sudah berkelambu angin. Tapi entahlah pula, kenangan atas suaminya—juga kedua anaknya: Azmi dan Lastri—kadang waktu memintas juga di setapak angan Mak Odah. Menyemai-nyemai rindukah itu?
Mak Odah tinggal di perkampungan nelayan—tak jauh dari Belawan, atau sekitar 28 kilo dari Medan. Bisa dibilang Mak Odah bermukim dekat laut, meski persisnya lebih hampir ke alur—sungai yang mengandas ke muara laut. Di perkampungan itu, rumah-rumah kayu berderet dan berhadap-hadap. Hampir semua rumah berkolong tinggi, untuk menghindari pasang yang mendaki ke lantai rumah. Tentulah, rumah Mak Odah yang jangkung memudahkan tubuhnya untuk berlulur udara. Apalagi rumah panggung Mak Odah yang sederhana, berberanda pula. Dari situ, ia bebas menyaksikan gelanggang angin menggelombangkan hawa dingin ke tubuhnya.
Begitulah, Mak Odah memang senang menikmati belia malam sambil duduk di beranda. Betul, kalau tidak memandangi pohon nangka di depan rumahnya, ya, Mak Odah rajin meneguri para tetanga yang beriring pulang dari laut. Sesekali ia dihadiahi ikan segar oleh mereka. Meski satu-dua ekor, alamat suka-citalah Mak Odah. Seperti suka-citanya menyahuti teriak anak-anak yang bermain di pekarangan. Mmh, menghirup aroma amis, mendengar daunan nangka disiut angin, renyah tawa anak-anak, serta lalu-lalang nelayan adalah penyumpal nganga rindu di dada Mak Odah. Entahlah, tak sempurna malam bagi Mak Odah, kalau belum mendengar kecipak air menepuk-nepuk pantat perahu yang bersandar di sepanjang alur. Pun pula baginya, sayup klotak-klotak mesin perahu ibarat rampak gendang penghalau galau.
Maka Mak Odah, ketika lepas magrib—kalau tidak hendak mengaji—tentu akan bergegas ke dagu rumah. Tapi tadi, ketika melintasi ruang tengah, hasrat itu tersendat. Bermula dongak Mak Odah yang sejenak, kemudian sekibas senyum hinggap di bibirnya yang ranggas. Bersisian dengan jam dinding tua, ada sepasang mata, seperti tak henti melirik dan menatap Mak Odah. Sepasang mata itu sering membikin dada Mak Odah berdebab. Bisa jadi, sesekali bibirnya berhadiah senyum, tapi tak jarang pula itu membuahkan isak. Memang, itulah tatapan yang tak pernah padam dari sebingkai foto usang. Sorot mata yang senantiasa menyala, meski si empunya mata sudah terlelap di bilik tanah. Ah, suamiku, mengapa aku sendiri yang musti menyusuri gurun sepi yang tandus ini? Mak Odah hanya bisa menanggungkan sengak dada sambil membetulkan bingkai foto yang oleng.
Jujur, tak ada istri yang bercita-cita menjadi janda, ditinggal mati suami tercinta. Tapi, meski sempat dikepung badai kecemasan, Mak Odah bisa juga mencicil kelegaan di dada, ketika suaminya berangsur pulih, alhamdulillah. Memang, tubuh suaminya—yang diringkus kurus—masih ditopang tongkat penyangga. Tapi untuk tegak tanpa tongkat penyangga barang seperempat jam, suami Mak Odah sudah kuat. O, jangankan meniarapkan tapak kakinya ke tanah, menyeret langkah pun ia sudah mampu, meski perlahan. Nah, sudah pula sanggup suaminya berjalan sendiri di tempat yang landai, tanpa dituntun. Hanya, kalau hendak menjejak tangga rumah, Mak Odah musti membantunya dengan papahan.
Tempo hari, tubuh suami Mak Odah diseruduk truk ketika menumpang ojek dari simpang jalan besar. Memang, nasibnya lebih baik dibanding tukang ojek yang mati kontan. Suami Mak Odah remuk kaki, sebelah kanan, dari betis mencapai gelang kaki. Menurut analisis dokter, tulang kakinya bukan hanya patah tebu, tapi pecah menyerpih. Musti diamputasi, begitu vonis medis! Iyalah, kaki suaminya terkulai parah, seputih kapas, dan seperti kehilangan nyala darah. Memang di situ, tak ada kawah luka yang menggelegak. Tapi ujung kakinya sudah tak tentu berarah ke mana. Lalu, dua bilah pecahan tulang, runcing, menyembul dari belakang mata kaki, tepat dua jari di atas tumit.
Tapi Mak Odah tak mampu membayangkan suaminya berkaki puntung. Atas saran tetangga, lekas-lekas ia menggendong suaminya ke Medan. Di sana ada dukun patah ternama, bermarga Sembiring, orang Karo. Tentu, selain menghemat biaya, Mak Odah bisa merawat suaminya di rumah. Beberapa kali saja ia mendatangi dukun itu bersama suaminya. Lalu selanjutnya, Mak Odah sendiri yang datang mengadukan kondisi kaki suaminya, sekaligus mengantongi racikan obat pulang ke rumah. Allah Maha Pemurah! Meski melampaui 5 bulan terasa berat, tapi menyaksikan keutuhan dan kesembuhan kaki suaminya, bergirang-girang hati Mak Odah. Tidak heran, dengan semampu daya, acara syukuran pun digelar. Doa dan harapan turut ditebar.
Tapi empat hari selepas syukuran, suaminya mendadak demam. “Tak usahlah, Saodah. Tak parah panasku ini, kurasa. Hanya pening sikit kepalaku,” bantah suaminya ketika hendak diajak ke Puskesmas. Tapi itulah kalam terakhir suaminya sebelum pamit menyimpuh kepada Ilahi. Ou, tak tanggung pedihnya hati Mak Odah melepaskan kepergian suaminya dengan kaki kanan yang hampir rangkum ayun langkahnya. Astaghfirullah, setiap membayangkan peristiwa silam itu, entah umpatan apa yang berkecamuk di dadanya. Apalagi ketika bersitatap dengan suaminya, meski lewat sebingkah foto. Dan air matanya pun menitik, tangisnya mengasuh derit.
Ei, sudah, jangan menangis! Berbujuk-bujuk Mak Odah dengan hatinya. Maka ia lekas-lekas bersemarak senyum. Apalagi saat sorot mata Mak Odah tertumbuk pada sebingkai foto yang lain, tidak jauh dari foto yang tadi. Aih, serta-merta Mak Odah akan mendulang-dulang geli. Dulu, foto ukuran sepuluh inci itu sering memancing gelak mereka berdua—ia dan suaminya. “Oi, Saodah, kau tengoklah foto ini, ha,” Goda suaminya tempo waktu, “…mengapalah menganga muncung kau? Tapi iyalah, orang kampung, manalah biasa begincu dan bebedak. Jadi ketatlah mukak tu, macam karet ketapel. Sikit pun tak ada senyum kau!” Lalu berderailah tawa, sampai meluap peluh mata. “Kau tengok Abang kau ni, tampan macam Amithabachan!”
Biasanya, sembari mengepit rasa malu, Mak Odah tak akan membiarkan dirinya kalah dalam pertaruhan seloroh. “Iyalah, tampan kali memang Abang Razali-ku ini. Tapi laki-laki apalah namanya itu, tak berani menggandeng pinggangku waktu befoto, iyakan? Pas kupegang tangan Abang saja, wuih, memerah kutengok mukak Abang. Tak obah udang  domam kutengok Abang waktu itu,” begitu berapi-api Mak Odah mengacung-acung bingkai foto perkawinan tersebut. “Aih, entah selama lajang, takut Abang jumpa anak gadis, iya? Oalah, matilah kita, tak pernah Abang rupanya becakap sama anak dara?” Dan mereka berdua pun bergempa tawa. Cubitan tangan susul-susulan. Memerah-memerah wajah keduanya, meniru semburat wortel.
Itu foto mereka saat bersanding di pelaminan, sudah buram dan berbercak. Upacara perkawinan yang seadanya ketika itu: Rajali dan Noor Saodah. Maklum, mereka minim dana. Begitupun, ada juga kerabat yang bermulia budi; meminjamkan baju pengantin melayu. Memang, selain nyala kuningnya pasi, kedodoran pula. Tapi lumayanlah, daripada tidak sama sekali. Rajali, suaminya, berbaju teluk belanga—juntai lengannya dilipat. Ia pakai seluar yang pangkal atasnya musti digulung, seperti memakai sarung. Lalu kain sampin yang diselubungkan dari pinggang ke batas lutut, musti dibebat. Tengkulok dari kain songket yang bertengger di kepalanya, longgar, pinggir lingkarnya hampir menyentuh alis.
Tampang Noor Saodah tak lebih baik saat itu. Ia mengenakan kebaya panjang, tapi sulaman benang emasnya sudah bertanggalan. Iya, di bahunya diselempangkan juga selendang bermanik. Namun tak ada hiasan di leher, apalagi di rambutnya yang bersanggul lipat pandan. Polesan bedak di wajah Noor Saodah pun timpang, pekat sebelah. Birat merah di pipi lebih seperti bekas cakaran. Garis bibirnya yang tipis dibubuhi gincu, tapi kental betul. Celak arab yang ditoreh di alis dan di sekitar pulupuk mata, malah mencekungkan wajah Mak Odah. Lalu, ruah keringat turut pula memperparah rupa. Alirnya yang bersilang-seling membikin wajah Noor Saodah serupa tumpukan dempul.
Tapi keduanya masih kelihatan sebagai pengantin yang serasi, paling tidak itu menurut mereka. Meskipun banyak hal yang senantiasa mereka leluconkan dari foto tersebut. Bayangkan, mereka berkait lengan, tapi seperti bersihindar. Macam ada orang yang tegak di antara mereka. Lalu pula, wajah si mempelai pria entah menghadap ke mana, pandangan mempelai wanita tertunduk entah sebab apa. Beruntung kaki kedua mempelai tidak terabadikan foto. Kalau tidak, sepasang kaki mereka hanya menyungkur ke terompa kayu yang allahurobbi beratnya. Padahal, semestinya mereka memakai selop bertekad, sepatu-sendal beraksesori. Mmh, kenangan lampau yang menggantung di almari hati, kadang menjentikkan geli, kadang pula menyusupkan nyeri.
Hah, Mak Odah berhenti membolak-balik kegelian dan kenyerian itu. Ia lalu  mengokang kerutan dahi, memutar pandangan, menyapu sepertiga dinding. Di luar, angin mengerling, dan riuh anak-anak seperti pecahan piring. Tapi di hati Mak Odah, masih juga hening yang setia bergasing. Dan, uh, foto itu, yang menyelip pada kaca lemari, mengapa berkali-kali menjeratkan kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan? Pedih dan bahagia yang menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh rindu? Entah. Tapi mata Mak Odah tak pernah mampu menghindari foto tak berbingkai itu. Kekuatan dahsyat apa yang menggiring langkah Mak Odah mendekat, lalu menatap foto itu lekat-lekat?
* * *
Tekad Lastri teramat padat. Dan Mak Odah paham sekali watak anak gadisnya. Kalau sudah tanak kemauannya, akan ia tempuh segala litak upaya. Maka Mak Odah kehilangan kekuatan untuk membendung keputusan Lastri. Aduh, betapa ia mengerti, kematian suaminya telah mengacaukan rak hati Lastri. Iya, suaminya yang dulu berkeras hati menyuruh Lastri kuliah. Dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai nelayan, ditambah menjadi pekerja tambak milik Pak Sadiman, bisa juga suaminya mendudukkan Lastri di bangku mahasiswa. Tapi Lastri sepertinya tahu diri; sepeninggal Ayah, Mak-nya adalah tiang rapuh yang tumbuh sendiri di ladang kerontang. Tentu Lastri tak ingin menjadi benalu berbelati.
Sesungguhnya Mak Odah berniat melanjutkan kekerasan hati suaminya: Lastri musti tamat! Bukankah Lastri tinggal merampungkan skripsi, agar gelar sarjana tak semata mimpi? Tapi hidup, terkadang menyergap bersama pilihan-pilihan pahit. Sekali waktu, Mak Odah ibarat sepuntung dayung yang mampu mengayuh sampai ke pantai paling jauh. Tapi lain waktu, Mak Odah adalah galah yang mudah goyah, menunggu patah. Kewalahan juga ia menampung angguk-pikuk gelisah diri. Dan meski dengan selihai cara Mak Odah menyimpannya di laci hati, terbaca juga oleh Lastri. Maka Lastri, tak ada keraguan menentukan sikap sejati. Meski tak termungkiri, perih juga hati ketika harus meninggalkan Mak yang sendiri.
Namun Mak Odah pasrah! Tak mengapalah, hanya setahun, ia rayu-rayu diri. Lagi pula Lastri telah menanam janji: Kuliahnya tidak berhenti, hanya cuti! Dan sepulang nanti, ia siap menyelesaikan skripsi! Maka program Au Pair Mädchen memboyong Lastri ke kota Bremen, Jerman. Kebetulan, Lastri adalah mahasiswa Bahasa Jerman di salah satu perguruan tinggi negeri di Medan. Usai proses seleksi, Lastri dikirim ke Bremen untuk tinggal bersama Ibu Asuh selama dua belas bulan—sesuai kontrak. Di sana, selain bekerja paruh waktu selama 5 jam, Lastri mengikuti kursus bahasa secara cuma-cuma. Ia pun berhak menerima uang saku setiap harinya.
Ah, Lastri, berakhir pergi, meski berjanji kembali. Ampun, Mak Odah rindu setengah mati, acap tertipu ilusi. Saat salat magribnya belum digenapkan doa, sering Mak Odah mendadak meninggalkan rebah sajadah. Tak sempat pun ia melepas telekung yang terkalung di kepala. Adalah bersebab ia mendengar tangkup langkah menabur derap di tangga rumah. Lastri pulang, pekik hatinya. Lalu Mak Odah yang bernapas sengal, berlari-lari dangkal menuju pintu yang terkunci. Tapi jangankan Lastri, setegur bayangan pun tak tampak tegak di antara pintu dan beranda. Mak Odah tertunduk, ke manakah sembunyi kesadaran diri?
Ah, Mak Odah, terlalu menurutkan hasutan rindu, terkenang-kenang saja kepada Lastri, anak gadis yang cuma sendiri. Dasar Lastri, kecil anaknya, tapi lincah geraknya, ia berbisik-bisik ke telinga hati. Demikian memang, sejak kuliah, Lastri hampir dipastikan telat tiba di rumah. Kebiasaan Lastri setelah membayar ongkos ojek, ialah menghamburkan sentak lari ke pundak tangga. Maka terdengarlah kelebat langkah yang berantakan. Tapi itu menjadi isyarat bagi Mak Odah untuk bersegera membuka gari pintu. Selepas tangannya direngkuh kecupan, ia akan mendapatkan Lastri berlari menerobos kamar mandi. Berwudu, lantas salat! Lastri begitu buru-buru, karena ia tahu, waktu magrib sekejap saja sudah raib.
Berkisah soal langkah, Mak Odah paling hapal rentet suara kaki Lastri ketika melintasi undakan tangga. Kalau riak kaki suaminya lebih senyap, tak jauh beda dengan Azmi. Kira-kira, seperti suara seretan, atau desis pendek orang yang tidur. Biasanya, Mak Odah membuka pintu setelah mendengar salam, atau gedoran pintu oleh Azmi atau suaminya. Aha, pasang telinga kalau hendak mendengar cecahan kaki mereka saat mendarat di anak tangga. Tapi begitupun, Mak Odah sering gagal menebak teka-teki hati: Kaki siapa yang sedang bergesek di tangga, suami atau Azmi? O-Mak, ada saja kelakuan-kelakuan mereka bertiga—suami dan kedua anaknya—yang mengguit pinggang kenangan. Tapi apa yang diharap lagi dari suaminya dan Azmi? Tinggal Lastri yang mampu menyejuk-nyejuk dada yang dikelupas pisau kenangan.
Iya, Lastri anak tahu diri, begitu puji Mak Odah. Lastri rajin berkirim surat, meski tak pernah berbalas. Nah, kalau sedang mengeja isi surat, bersinar-binar mata Mak Odah. “… di sini tempat yang menyenangkan, Mak. Ibu Asuh Lastri orangnya baik. Tapi Lastri rindu sama, Mak…” O, betapa terharu Mak Odah, kadang terburai air mata setiap menerima surat dari Lastri. “…hiih, di sini mulai masuk musim dingin. Ada salju, Mak. Tapi agak menyebalkan, karena setiap keluar rumah, harus pakai topi, syal, sarung tangan, dan jaket tebal…” Ups, Lastri, o, Lastri, dada Mak inilah sekerat langit beku yang meluruhkan salju itu, gumam Mak Odah getir sambil menyeruput bibir. Meski tak sempat hangat mata menyemburkan manik-manik berwarna tawar.
Tapi oleh surat yang lain, pernah Mak Odah diguncang-guncang isak sesudah membaca sepenggal kalimat. Tak terkata pedih hati Mak Odah saat itu, pasti. Mau tahu penyebabnya, simaklah bagian akhir dari kalimat tersebut: “…sehat-nya Mak kan? Gimana kabarnya Bang Azmi, sudah pernah mengirim kabar?…” Mak Odah tak menjawab, bahkan ia turut menukikkan tanya sambil bergelimang air mata. Azmi, Azmi, anakku, bagaimana keadaanmu di rantau sana, tak menentukah? Tapi ia bertanya dan mengharap jawab pada siapa? Tak ada serintik berita pun—dari Azmi—yang menempias ke dahaga rindunya.
Azmi, putra sulung itu memilih pergi ke Malaysia, berbekal uang penjualan perahu mesin warisan suami Mak Odah. Butir-butir harapan menggelinding juga dari terjal hati Mak Odah: Azmi kelak pengganti kepala keluarga. Melindungi Mak dan Lastri, bahkan kelak menjadi penabung lumbung ekonomi keluarga. Tapi jangankan berkirim ringgit, segeliat surat pun tak pernah menyelip ke ketiak pintu. Azmi tetap saja berkabar kabur. Lalu simpang-siur kabar yang menyebar: Azmi mati, Azmi sudah menikah, atau Azmi tertangkap Polis Diraja Malaysia dan kini di penjara, seperti menyedot-memuntah semangat hidup Mak Odah.
Tapi, biarlah, Azmi kan laki-laki, pasti tahu cara membawa diri, Mak Odah pun berhenti membusukkan luka sendiri. Jangan bersedih, bukankah sebentar lagi Lastri kembali? Lalu mengiang-ngiang bujukan hati. Tapi surat Lastri yang berikut, tidak mengabarkan rencana kepulangan diri. Dan entah mengapa, Mak Odah tak mampu menangis saat itu. Mulut hati Mak Odah terjeruji, tak keluar kata-tanya. Kelabu matanya adalah sahara, tak berkaca-kaca. Di kisut dadanya, tiba-tiba menghilang gebu rindu buat Lastri. Mak Odah hanya merasakan kakinya tak lagi menyentuh lantai rumah. Oups, siapa yang melayarkan tubuhnya ke laut lapang berlangit abu-abu, ke samudera lengang berhuni hantu. Adakah tubuhnya sedang terbengkalai di atas perahu kabut penuh kerut?
“…saat ini Lastri lagi sibuk mengurus surat-surat pernikahan. Mak tak usah khawatir, Grzegorgz seorang muslim. Ia keturunan Polandia-Albania. Lastri tahu ini berat bagi Mak. Tapi Mak ikut bahagia kan kalau Lastri bahagia? Lastri janji, kalau ada waktu lapang, kami berdua akan pulang menjumpai Mak barang sebentar. Maafkan Lastri, keputusan ini sudah Lastri pikirkan masak-masak. Lastri berharap Mak memberi doa restu. Titip salam Grzegorz sekeluarga untuk Mak. Lastri sayang sama Mak. Salam rindu…”
Ai, Lastri, Lastri, mengapa tunas janji dipijak sendiri? Mak Odah pun terbaring lemah semenjak kedatangan surat itu. Berminggu juga usia sakitnya, tapi tak bernama jenis penyakitnya. Tak mujarab resep dokter, tak berhasil mantra dukun. Beruntung kemudian, ketika surat Lastri berisi foto perkawinan datang membesuk, sedikit membangkit daya hidup Mak Odah. Sungguh, baginya, tak mudah memenggal alir darah antara Mak dengan anak. “…alhamdulillah, semua berjalan lancar, Mak. Sempat tertunda sebenarnya, karena susah juga mengurus pernikahan antar negara di Jerman. Akhirnya, kami mendaftarkan pernikahan, sekaligus menikah di kantor catatan sipil Denmark. Di sana lebih mudah, Mak. Ini, Lastri kirimkan foto Lastri dengan Grzegorz ketika berfoto di depan kantor catatan sipil…”
Sekait senyum tersangkut di bibir Mak Odah. Tak berkedip matanya menyaksikan foto ukuran jumbo tersebut. Berlatar sebuah bangunan tua dengan plang bertulis ejaan asing: TØNDER RÅDHUS, badan Lastri kelihatan lebih berisi, dan kulitnya pun tampak bersih berseri. Lastri mengenakan gaun putih-putih, berwajah bahagia dengan mulut setengah tertawa. Tangan kanan Lastri menggenggam seikat kembang berwarni. Aduh, Lastri yang lebih tinggi dari Mak-nya saja kelihatan kecil dibanding suaminya. Apalagi jika Mak bertemu menantu? Mak Odah menimang-nimang geli tak menentu. Mmh, kepala Lastri seperti terbenam di bawah ketiak suaminya. Di foto itu, Grzegorz, suami Lastri yang berkulit kemerahan, memakai kemeja liris dongker dan bercelana hitam. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, tapi alis matanya tebal.
G-r-z-e-g-o-r-z! Ah, tak lulus-lulus lidah Mak Odah melafalkan nama itu. Diam-diam, ada sebening kebahagian mendenting di gua hatinya. Lalu dipajanglah foto itu di selipan kaca lemari oleh Mak Odah. Tanpa bingkai. Dan selalu, mata Mak Odah tak pernah mampu mengelak dari foto tak berbingkai itu. Entah, kekuatan dahsyat apa yang mengajak jejak Mak Odah untuk mendekat, lalu menatap foto itu lekat-lekat? Uh, foto itu, berkali-kali menjeratkan kepedihan—atau mungkin juga menyorongkan kebahagiaan? Pedih dan bahagia yang menyeru-nyeru rindukah, atau sekalian memusuh-musuh rindu? Mak Odah menjawab dengan bisu!
Maka kian laun, Mak Odah, mau tak mau, musti belajar menjadi perempuan tegar. Ia pun mencontoh kokoh karang. Tapi sekadang saat, ia tak lain adalah segantung kepompong yang terkatung. Ialah tentu, pusaran ombak waktu telah memorakkan perahu hidupnya. Bayangkan, tempo waktu, baru dua kali 40 hari—sepeninggal suaminya—berlalu, ia senyata hidup sendiri. Suami selamanya pergi. Kemudian, setelah 40 hari pertama, Azmi yang pamit diri, lalu menyusul Lastri. Tentu, semula ia berupaya ikhlas, demi kebahagiaan anak-anaknya. Sebab pula, bukankah berbeda cara orang meraih kebahagiaan, termasuk Azmi dan Lastri?
Tapi kadang-kala, Mak Odah merasakan tubuhnya seperti ruas-ruas tangga yang keropos. Lalu, kegetiran hidup berwujud belantara kaki bersepatu baja, saling berebut memijakkan tapaknya di gigil tangga. Tak jarang Mak Odah menggeser-geser tanya dalam hati: Adakah ia tubuh yang bernyawa hampa, tanpa rasa? Tapi tidak juga, kiranya! Sebagai bukti, di tengah hempas-timpa debum peristiwa, bertamulah utusan Haji Adenan—pengusaha tambak, duda berusia 61 tahun. Niat utama utusan itu: Melamar Mak Odah menjadi istri pengganti Haji Adenan. Ada sesirap rasa yang mengetuk-ngetuk dada Mak Odah. Benar, Mak Odah tak menolak. Tapi karena teringat janji dengan Lastri: Tak akan menghadiahi Ayah tiri untuk Lastri, tawaran lamaran pun terombang-ambing.
Entahlah, segala runyam diri Mak Odah timbul-tenggelam di keruh hati, riuh-dendam! Sempat ia meneguh-neguh tekad: Terima saja lamaran Haji Adenan! Namun harapan tak berlangkah kanan, terlambat. Haji Adenan sudah menggandeng pengganti. Kabarnya, seorang perawan tua yang dijemput ke kampung asal Haji Adenan, Pangkalan Brandan. Dan pun, selesailah kehendak hati! Air diteguk sebagai penawar denyut jiwa, tapi pasir penuh serpih kaca  yang terasa menyesak rongga dada. Kembali, tubuh Mak Odah dibungkus tirai luka!
* * *
Kesiur angin berdebur di luar. Dahan nangka saling beradu, menjalin derak. Daun-daunnya bakal terserak-serak. Tadi, entah kekuatan dahsyat apa yang menggiring langkah Mak Odah untuk mendekat, lalu menatap foto tak berbingkai itu lekat-lekat? Lalu ketika ini, kekuatan apalagi yang menghisap pandangan Mak Odah, sehingga berpaling ke arah pintu. Udara bersuara patah, datang dan pergi. Ia seperti mendengar suara kaki yang berderap di tangga. Ia kenal derapan kaki siapa itu. Lastri? Langkah Mak Odah pun bersekilat mencapai pintu. Tergopoh-gopoh tubuhnya, tersuruk-suruk dengus napasnya! Ia kuak daun pintu berengsel serak, lalu sorot matanya menyerobot, kemudian berbelok ke curam tangga. Tapi, o, tak ada siapa-siapa. Hanya tugu angin yang terpahat di rahang pintu!
Mak Odah tertegun. Angin berdesir, perlahan, menyisir tabur ubannya yang berwarna mendung muda. Ia meraba wajah. Ah, semakin berpinak garis-garis yang saling menelikung dan bertindihan. Kerut wajah Mak Odah menyerupa jaring laba-laba yang kusut. Oi, sunyi berdentang, mencipta sumur berngarai dalam, teramat dalam, dan mengeram ribuan liang. Tubuh Mak Odah seketika dingin dan ngilu. Mendadak amis udara terasa basi, menjelma jemari berduri, lantas berkelebat memetik kabut air dari pelepah mata Mak Odah!

Medan, Hilir 2006

catatan hati        :           Cerpen “Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu” ini adalah kado pernikahan tak berpita bagi Lili Yuslianti dan Deniz Nis. Berbahagialah, Li, juga Niz! Oya, jangan lupa Lili berkirim kabar kepada Mak. Pandai-pandailah menghibur hatinya.

Dimuat di Kompas, MINGGU, 3 Juni 2007

CERPEN

Tiurmaida

OLEH HASAN AL BANNA



Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini.  
“Istirahatlah kau dulu!” Boru Pohan memberi anjuran.
“Iya, nanti tambah parah pulak luka kakak,” ujar Togu sambil mengelebatkan martil ke bongkahan batu.
Tiurmaida baru saja memulai pekerjaan. Karungnya pun baru berisi sepertiga. Padahal matahari yang melesat dari timur, sejengkal lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida semestinya sudah menyelesaikan empat karung batu. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk lagi. Baru beberapa langkah beranjak dari pintu, Tiurmaida mendengar lesatan umpat-serapah suaminya.
Tiurmaida lalu berpaling langkah, menyurut sepasang kaki kembali ke rumah. Tadi, sebelum berangkat ia sudah menyuapi Marsius. Bahkan selepas subuh Tiurmaida sudah memandikan suaminya, membersihkan kotoran Marsius yang basalemak di pisak celana, bahkan bercecer di sebagian badan. Lalu ia mengganti pakaian Marsius, juga menukar tikar tidurnya. Ya, Tiurmaida harus hati-hati melaksanakan rutinitas itu. Ia tidak boleh serampangan membuka-pasang gembok pasung. Ketika hendak memakaikan baju, ia cukup melepas kekangan di gelang tangan Marsius. Pun sebaliknya, melepas kaki yang terkunci jika hendak mengenakan celana.
Tiurmaida begitu tekun mengurus Marsius. Meski Marsius tak tentu waktu melampiaskan gerutu, ia tak pernah sanggup membiarkan suaminya dalam keadaan kacau. Ia setia menghalau setiap amuk yang menyuruk ke tubuh Marsius. Kadang tengah malam ia harus beranjak dari tidur yang nyenyak, demi mendiamkan Marsius yang berteriak-teriak. Marsius memang tidak leluasa bergerak, tapi sering gigitan Marsius hinggap di tangannya. Bahkan selebam luka gigitan pernah mendidih di dada kiri Tiurmaida. Ketika itu, ia sedang menenangkan Marsius. Tiurmaida berupaya mendekap, tapi rahang suaminya lebih dulu meretap.
Demi Tuhan! Sebetulnya Tiurmaida tak tega menyaksikan Marsius terlentang di atas dipan lapuk tak berkapuk, dan dikekang beberapa balok dan rantai. Marsius tambah kurus. Matanya cekung, melengkung seperti sepasang sabit yang mencabik-cabik hati. Benar, terkadang tatapannya kosong bagai lorong teramat sepi. Tapi terkadang lorong itu menjadi dua tungku yang menyemburkan api. Dagu dan rahangnya seperti tebing curam, rapuh, dan penuh belukar. Tulang-tulang Marsius menonjol, membuat bagian tubuh yang lain seperti liang-liang kecil yang menganga. Punggungnya terkelupas karena sudah tergeletak kurang lebih tujuh bulan lamanya. Tapi apa hendak dikata, perangai suaminya tambah parah saja. Memasung Marsius adalah pilihan terbaik sekaligus menyesakkan bagi Tiurmaida.
Ia sudah mendatangi banyak datu, orang pintar yang dianggap sakti di kampung itu. Namun hasilnya nol beku. Beberapa datu di kampung tetangga juga sudah dikunjungi. Lagi, harapan sembuh belum terpenuhi. Tapi selalu ada kekuatan lain yang membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bersama Marsius, dadanya ibarat danau lapang yang siap menampung segala kepedasan hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya, meski akhir-akhir ini keluarga Baginda Paruhuman sering membujuknya agar meninggalkan Marsius. Dua hari lalu—entah yang keberapa kali—ibunya kembali datang.
“Apalah salahnya kalau kau menikah lagi.”
“Keputusan itu sudah kupikirkan masak-masak, Bu.”
“Masih muda kau itu, Tiur.”
“Iya. Tapi tak mau aku mangidolong!
“Pikirkanlah sekali lagi.”
Tapi Tiurmaida menjawab dengan gelengan yang tegas. Ia tidak mau mangidolong, meskipun itu diperkenankan hukum kampung. Berdasarkan isyarat adat, istri pantang meminta cerai. Andai terpaksa, mangidolong adalah satu-satunya jalan, agar keinginan istri untuk berpisah dapat terwujud. Biasanya istri lari ke rumah orangtuanya. Dengan begitu, keluarga pihak suami akan mendatangi keluarga pihak istri. Maka digelarlah mufakat, mengalirlah nasehat-nasehat agar suami istri yang bertikai kembali seangguk sepakat. Tapi jika istri menolak, terpaksa pihak suami menyodorkan talak.
Namun Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tidak untuk mangidolong! Sebab itu hanya memuluskan perjodohannya dengan anak namboru, anak dari saudara perempuan Baginda Paruhuman. Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga. Tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius. Lagi pula, ia tidak sedang bertengkar dengan Marsius. Iya, terus terang keinginan untuk menikah lagi sering memercik di keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tigapuluh dua. Tapi setiap mengenang segala pahit-manis kebersamaannya dengan Marsius, keinginan yang hinggap itu seketika lenyap.
Tentu Tiurmaida tahu segala risikonya, dan ia siap menanggung itu. Ia sudah terbiasa menahankan beling perih sebuah risiko. Bukankah risiko yang mengintai ketika ia memutuskan menikah dengan Marsius. Ah, berkait kepedihan masa lalu masih menancap di sembab ingatannya. Orangtuanya terang-terangan menentang Marsius sebagai calon menantu. Ketika itu, serapah apa lagi yang belum limpah? Padahal menurut Tiurmaida, alasan penolakan keluarganya terlampau mengada-ngada. Ya, hanya bersebab dendam lampau, ketika lamaran ayahnya pernah ditolak mendiang ibu Marsius.
Namun, meski kelak tercampak dari keluarga, Tiurmaida tetap berkeras memilih Marsius. Tekad sudah demikian padat. Marsius dan Tiurmaida nekat marlojong, kawin lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka ketika mengetahui anak gadisnya raib. Apalagi ketika mereka menemukan abit partading di bawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk surat, dan sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis telah berketatapan hati menikah dengan pilihannya. Lazimnya, selang beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Mereka bertamu untuk memberi tahu ulang peristiwa marlojong, selanjutnya merembukkan rencana pernikahan secara adat dan agama.
Tapi Baginda Paruhuman tak memberi kesempatan kepada utusan keluarga Marsius untuk duduk bersila di dalam rumahnya. Berarti ia tetap tak merestui Tiurmaida. Namun apa boleh buat, pernikahan harus dilaksanakan meski tanpa kehadiran ayah dan ibu Tiurmaida. Soal izin dan wali nikah, peraturan adat melimpahkannya kepada uda Tiurmaida—adik laki-laki ayahnya. Marsius dan Tiurmaida pun sah menjadi suami istri. Mereka menyusun cita-cita dan mimpi, pingin punya anak sebagai pelipur hati. Penuh harap pula mereka, kelak kehadiran anak akan melunakkan hati ayah dan ibunya.
Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yang memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida. Bayangkan, sembilan tahun berumah tangga, mereka tak juga dikaruniai anak. Maka harapan untuk mengait simpati keluarga adalah mimpi yang terbengkalai. Malah orangtua dan sanak famili terus menghunus cibiran: “Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!”
Ois, dengan susah payah Tiurmaida dan suaminya mengasah kesabaran. Tak patah arang mereka pergi kian kemari. Harta warisan milik Marsius: sawah dan ternak habis digadai demi keinginan memangku anak. Berobat kampung sudah dijalani, tak terbilang bidan yang mereka datangi. Mereka berulangkali pulang pergi ke rumah sakit di Sidimpuan—dari kampung sekitar satu setengah jam naik mobil sewa. Tapi hasilnya berbuah hampa. Bahkan belakangan, dokter menyatakan rahim Tiurmaida bermasalah!
Itulah vonis yang mengiris. Namun Tiurmaida harus tahu diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak, demi menikahi perempuan lain, dan punya anak. Tapi mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tidak akan meninggalkannya. Tiurmaida terharu, tapi juga resah. Ia pasrah, hampir menyerah. Tapi ketika hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak ganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar, ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida dan Marsius menyambut hadiah Tuhan itu. Apalagi setelah anak tersebut lahir dengan sehat. Anak laki-laki, namanya Maramuda.
Memang, pancaran kebahagian tetap mengguratkan keperihan. Mengapa? Karena keluarga besar Baginda Paruhuman tak ambil bagian dalam bingar kegembiraan itu. Malah, bukan ucapan suka-cita yang mengalir ke telinga Tiurmaida, melainkan gumpal kalimat berbalut pecahan kaca. Begitu legam kiranya dendam ayah dan ibunya. O, semudah itukah memutuskan tali darah antara orangtua dengan anak? Berpekik-pekik ia dalam hati.
Tapi ampun, hantaman yang lain kembali meremukkan dada Tiurmaida. Maramuda meninggal ketika usianya baru dua tahun tiga bulan! Pusaran air yang menyintak Maramuda dari lengan Marsius saat mereka mandi ke sungai. Oihda, mengapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dalam ratap. Pedih! Tapi inilah alur takdir yang musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya, bahwa segala peristiwa senantiasa merindangkan pohon hikmah. Meski ia tak tahu kelezatan apa yang kelak dicecapnya.
Ia hanya tahu, kalau kematian Maramuda membikin Marsius terpukul. Itukah yang menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara sendiri, dan tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dengan dirinya sendiri, lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tak punya anak lagi. Rasa cemas selalu mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil—seumur Maramuda—dari gendongan para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius harus terperosok ke dalam kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, dan terkapar. Ia direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yang parah.
Peristiwa itu tidak sekali dua kali terjadi, dan akhirnya menuntun Marsius menikung ke sebalik pasung. Tapi Tiurmaida harus tabah, apalagi ketika seketip harapan datang menyelip. Iya, belakangan ini keluarganya—terkhusus ibunya—sering berbelok ke rumahnya. Meski baginya itu terlambat, ia tetap bersyukur. Ia sedikit lega dan berusaha untuk tidak tersungkur ke kolong kesumat. Apalagi ketika ibunya tak pernah penat bernasehat, juga tak henti meniupkan bergumpal semangat ke rompal hidupnya. Namun seiring itu, kekecewaan berjuntai pula di ranggas pikirannya. Rupanya, kebaikan keluarga Baginda Paruhuman berhilir kepada perjodohannya dengan Ali Tukma.
* * *
Kini karung keenam. Paling tidak ia bisa menuntaskan satu dua karung lagi, sebelum hari benar-benar terjerembab ke kubang gelap. Di sekitarnya, batu-batu—sepangkal paha—hasil longsoran terbaru masih tersisa beberapa onggok lagi. Berarti sepekan ke depan, ia masih mempunyai kesempatan menukarkan tenaganya dengan uang. Tiurmaida tersenyum, lalu menatap cahaya buram yang menyala di rumah Marolop. Itulah satu-satunya rumah di kawasan pinggang bukit itu. Marolop mandor para pemecah batu. Ia yang menampung serpihan batu-batu, sebelum mengirimnya dengan truk kepada para pemesan di Sipirok atau di Sidimpuan. Lelaki itu pulalah yang membayarkan upah sesuai jumlah karung yang diselesaikan.
Usai magrib, biasanya Marolop turun ke kampung, menghabiskan dua pertiga malam di kedai kopi sambil berjudi. Maka Tiurmaida harus lekas menyelesaikan pekerjaannya, lalu menyeret karung-karung itu ke hadapan Marolop. Kalau tidak, ia akan kehilangan Marolop. Dan Tiurmaida musti menunggu besok untuk memperoleh upah hari ini. Padahal upahnya bakal lebih sedikit dari hari sebelumnya. Biasanya Tiurmaida sanggup mengerjakan dua belas karung batu dalam sehari. Sekarung batu imbalannya sembilan ratus rupiah, berarti ia akan mengantongi upah hampir sebelas ribu per hari. Tapi tidak untuk kali ini. Sebab sepetang ini, baru lima karung yang berisi. Itupun dikerjakan sambil menahankan sayatan-sayatan kecil di induk jarinya yang anyir.
Teman-teman Tiurmaida, satu-satu berangsur pulang ketika mendung mengapung dari celah bukit. Beberapa malam terakhir, lebat hujan dan kesiur angin berjam-jam mengepung kawasan bukit dan kampung. Tapi malam ini Tiurmaida sepertinya akan terus mengayunkan martil, terus memecah batu-batu dengan sisa kekuatan. Sesekali ia betulkan letak tudung kain di kepalanya. Angin yang meluncur deras dari pundak bukit yang koyak kadang menggigilkan tulangnya. Tapi wajah Marsius yang memintas-mintas di serambi kenangan, menghembuskan kehangatan baru ke tubuhnya.
Sesekali Tiurmaida menghela napas, meluruskan lengkung punggung sambil mendongak ke atas. Perlahan ia perhatikan langit membentuk payung raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara. Segeliat lagi terompah waktu akan menginjak pangkal malam. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan barisan bukit tandus seperti berpenggal kepala yang berantakan. Sorot mata Tiurmaida berpindah ke arah depan, ia pandangi sembul cahaya dari rumah-rumah penduduk di kaki bukit. Ah, indah! Dari jauh semacam kilau danau. Apalagi ketika hujan terburai dari perut langit, bilah-bilah air yang dipantuli cahaya seperti percik kembang api.
Entah karena keindahan itu, hujan yang berkelebat dalam gelap tak menciutkan nyali Tiurmaida. Padahal tubuhnya berkelambu hujan. Tangannya menebal, tapi ou, mengapa tak mampu memental kengiluan yang menerobos luka induk jarinya. Tiurmaida menggeletar, tapi kian erat genggamannya pada martil. Rahangnya berdetap, tapi ayun tangannya tetap menetak batu. Deru hujan, desir angin, sentak petir, juga denting batu-batu ibarat lagu-lagu yang meneguhkan semangatnya. Tapi dari arah bukit, samar-samar terdengar lagu aneh yang menyusup ke telinga Tiurmaida. Ia tidak paham kalau lagu itu bernada gemuruh.
Aduh!

Medan, 2005-2006


s

Horison, Ediusi Februari 2006

 

Cerpen Hasan Al Banna


R a b i a h


“Rabiah Dihukum Gantung! Seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia, saat ini sedang menunggu pelaksanaan eksekusi mati di negeri ringgit, Malaysia.”
Tentu saja berita ini cepat menyebar, menjalar seperti ular. Atau seperti jalar api melahap daun-daun kerontang. Aku, Rabiah kontan menjadi topik pembicaraan. Dari pemberitaan yang ramai di surat kabar maupun televisi di negara kita, mungkin Ibu sudah tahu bahwa aku, anakmu bernama Rabiah ini, musti menghadapi kenyataan sebagai seorang pesakitan yang menunggu dekapan maut di rantau orang. Benar katamu, Bu: “Hidup umpama main ular tangga.”
Inilah jalan hidupku, Bu. Tapi aku tetap percaya bahwa ini adalah jalan terbaik yang diberikan Allah untukku, untuk kita. Sebab segalanya bermula dari niat baik. Bukankah Ibu sudah tak mampu lagi menyembunyikan helai uban yang menyembul di kepala? Kian hari, kian menegaskan warnanya. Kulit Ibu telah pula menyusut, membentuk garis-garis renta yang mengeriput. Ibu pun mulai sakit-sakitan, asam urat yang sering kumat, dan batuk yang bergeluduk. Tak tegalah aku membiarkan Ibu seumur hidup menjadi tukang cuci. Aku berniat meringankan beban Ibu. Lalu datang Bu Ifah, tetangga kita yang baik hati itu menawarkan pekerjaan. “Ibu punya saudara yang bisa membantumu,” katanya. Dan ia pula yang menyarankanku mengurus izin secara resmi. “Kalau sudah mengantongi surat resmi, tidak akan ditokohi. Jangan takutlah.”
Maka atas saran Bu Ifah itu, Rabiah pun memohon restu pada Ibu, untuk bekerja ke negeri seberang. Bekerja yang halal, bukan yang macam-macam. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Ibu memberi izin kan?
“Bolehkan, Bu?”
“Kalau sudah dengan niat baik kau berangkat ke sana, berangkatlah. Ibu merestuimu, Rabiah. Lagi pula kau ini kan sudah dewasa, sudah duapuluh satu usaimu. Tentu  tahu mana yang manfaat, mana yang mudarat.”
“Terima kasih, Bu. Terima kasih.” Aku memelukmu saat itu. Sebuah kecupan pun kulabuhkan di pipimu yang lengkung, Bu.
Ibu membalas dengan senyuman, padahal aku tahu, dibalik senyuman itu terselip juga kekhawatiran, mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak baik denganku. Itu kekhawatiran yang wajar menurutku. Perasaan naluriah seorang Ibu terhadap anaknya. Apalagi sudah sering kali Ibu, tentu juga aku, mendengar kabar tentang nasib tragis yang menimpa para pekerja wanita di sana: korban kekerasan, diperas, berbulan tak diberi gaji, digadai, dijual, diperkosa, lantas dibunuh.
“Yang penting, pandai-pandailah menjaga diri. Kita memang bukan orang yang berada, Rabiah. Tapi kita punya harga diri, itu musti dijaga. Hati-hati. Apalagi kita ini perempuan, jangan mudah diperangkap rayuan.” 
“Jangan takut, Bu. Akan kugenggam petuah itu sampai mati. Percayalah.” Begitulah aku meyakinkanmu, Bu. Ingatkah?
Nah, berbekal niat baik, restu dari Ibu, juga tabungan semasa dua tahun bekerja di pabrik biskuit, aku mengurus surat-surat izin yang legal, yang sah. Dan segalanya berjalan dengan lancar, alhamdulillah. Sesuai dengan perjanjian, aku akan bekeja di sebuah pabrik kayu lapis.  Ya, jumlah gaji yang dijanjikan juga lumayan besar dibanding pekerjaanku sebelumnya. Namun aku tidak muluk-muluk, Bu. Tetap menjaga diri dari rayuan mimpi yang kadang menyesatkan: Ingin kaya mendadak! Kalaupun akhirnya peristiwa yang pahit ini harus kutelan, adalah semata takdir Allah, dan hal itu di luar kekuasaan kita sebagai manusia, Bu.
Tidak, Bu. Ini bukan salah siapa-siapa. Tidak ada yang musti kita salahkan. Tidak bijak itu kan, Bu? Seperti yang sering Ibu ngiangkan ke telingaku, “Belajarlah mencari kesalahan dalam dirimu sendiri. Jangan hanya mahir menyalahkan orang lain, termasuk menyalahkan keadaan. Itu tanda orang yang lemah iman.”
Tidak juga, Bu. Tidak ada sedikitpun firasat atau mimpi buruk yang menghalauku untuk tidak jadi merantau. Atau, Ibu yang selalu dihinggapi perasaan yang tidak enak? Tapi, ah, untuk apa kita membahas soal yang begitu. Firasat, mimpi buruk, perasaan, adalah hal yang sering kita abaikan. “Semua itu, yang di ataslah yang mengatur,” berulang-kali kalimat itu Ibu ucapkan, bukan? Dan aku mengangguk isyarat setuju.
Tidak ada yang mencurigakan sebenarnya, biasa-biasa saja, Bu. Kami yang semuanya perempuan, sebanyak duapuluh empat orang berangkat dengan kapal Feri, berlayar menjemput rizki. Dalam hitungan jam, Feri sudah menepi di sebuah dermaga yang bisa dibilang sunyi. Tapi rasa cemas tak sampai menikung ke jantung. Masih sempat kueja sebuah papan nama yang sudah terkelupas catnya: Pelabuhan Tawau, Sabah, Malaysia Timur. Aku tenang, dan tetap dalam keadaan tenang ketika kami semua diperintahkan turun dengan cara yang kasar. Begitu juga saat dipisahkan dari rombongan besar.
Lalu bersama seorang teman, namanya Nurminah kalau tidak salah, digiring dua orang lelaki bertubuh tegap ke sebuah mobil bercat biru tua. Sebelumnya, mereka meminta perlengkapan surat-menyurat, tapi tak dikembalikan. Dengan perjalanan sekitar sepuluh menit, kami berdua kemudian diturunkan di depan bangunan yang kumuh, berbentuk ruko. “Ini penampungan sementara, besok kalian akan mulai bekerja.” Lelaki tegap yang memakai anting di kuping kirinya itu buka suara, seperti menyergap kecurigaanku yang lahir seketika.
Melewati lantai dasar yang seperti sebuah kedai kopi yang hening, kami menyusuri tangga sempit menuju lantai dua. Di sinilah perasaan was-was mulai tumbuh, Bu. Dari hening aku disambut suara yang bising. Pemandangan yang membuatku merinding. Kamar-kamar yang berdempet, para perempuan muda berdandan menor duduk berjejer di depan pintu-pintu kamar yang mengaga. Kebanyakan mereka memakai baju yang seksi, tak berlengan dan bercelana pendek ketat. Aurat mereka menyembul berkilat-kilat. Suara bisik-bisik bercampur cekikik. Sesekali tawa meledak, tiba-tiba menyalak. Entahlah, aku seperti seekor kancil yang dikepung harimau, terdesak.
Nafasku sesak, Bu. Sebagian dari mereka merokok, bibir mereka yang berwarna menyala membubungkan asap yang menyengat. Seorang perempuan berambut sebahu muncul dari balik pintu. Ia bergelayut manja di lengan seorang lelaki Menggali, di tubuhnya hanya melilit handuk kusam, legam. Mereka berdua berjalan gontai menuruni tangga. Lalu entah dari mana,  pekik jerit menyusup ke telingaku, “Ampun, Mam. Ampun. Tidak akan kuulangi lagi!” Menyaksikan dan mendengar semua itu, yang pertama kali kupanggil adalah namamu, Ibu. Aduh, di alam apa aku kini, Ibu?
Tapi derit pintu kamar yang berat dan ngilu buru-buru mendamparkanku ke pantai ragu. Derit pintu itu pula yang melenyapkan Nurminah dari sampingku. Aku sendirian, dimasukkan ke dalam kamar berukuran 2 x 3 meter, lantainya semen. Di dindingnya yang kusam menempel poster-poster yang tak beraturan. Di sudut ruangan, ada meja rias yang buram, penuh bercak bedak yang mulai menghitam. Di situ tergolek sebuah cermin kecil yang tak utuh lagi. Tak berbingkai, berbentuk segi tiga. Di samping meja rias itu  tersandar kursi kayu yang berdebu. Ibu, ini kamar atau apa?
Lihatlah, rumah laba-laba bertumpuk di lemari yang lapuk. Di jendela yang sudah berpatahan jerujinya, melintang kain gorden abu-abu yang penuh koyakan. Di atas ranjang dan seprai usang, teronggok selimut berwarna hijau lumut, juga handuk buruk. Seseorang mengetuk pintu, perempuan berperawakan sedang, menatap dengan nyalang.
“Kamu yang bernama Rabiah?” Suaranya pelan, tapi dingin. Aku mengangguk sekedarnya.
“Lekas mandi, dan pakai baju ini!” Ia pergi, usai menyodorkan pakaian terusan terbuka yang mini. Dari logat bicaranya, ia mungkin orang kita juga, orang Indonesia, Bu. Tak berbeda dengan cara bicara lelaki tegap tadi, juga perempuan-perempuan yang berbisik-bisik di luar itu.
Ini bukan tempat yang kucari. Ibu tahu, aku tidak menuruti perintah perempuan itu. Di jendela, kujatuhkan pandangan ke luar, lalu sebisa mungkin menatap ke bawah, yang kulihat hanya halaman yang semak dan berbatu. Pikiranku menerawang, Bu. Keringat dingin meluncur deras. Aku teringat Siti, temanku se-SMA, yang nekad berangkat ilegal. Ia tak memperoleh pekerjaan, linglung, lalu diperkosa, dan akhirnya menjadi pelacur. Ia pulang ke kampung dalam kondisi gila. Kini meneruskan hidup bersama pasung. Ibu, seketika  aku ingin pulang ke rumah. Entahlah, kata-kata itu terus berdegup meletup di dadaku: Lari! Lari! Lari!
Brukk!
Ibu, tubuhku saat itu terhempas ke tanah berbatu. Dua meter sebelum mencapai tanah (selimut, handuk, dan seprei yang kusimpulkan menjadi tali, satu ujungnya kuikatkan di jendela, satunya lagi di pinggang) tak mampu menahan tubuhku. Sakitnya luar biasa, Bu. Mungkin saja pinggangku patah. Aku rebah, seseorang berlari ke arahku, entah apa yang diucapkannya. Lelaki tanggung itu mendudukkanku sesaat, kemudian ia memapahku, mengaitkan lenganku ke bahunya. Tapi, Bu, baru beberapa jejak kami melangkah. Lima orang lelaki berbadan tegap menghalangi, dua orang di antaranya adalah dua lelaki yang membawaku tadi. 
Tanpa bicara, dua orang dari mereka merampas tubuhku, yang tiga lagi menghajar lelaki tanggung yang menolongku itu.  Sedang tubuhku diseret, Bu. Aku meronta semampu upaya, mencoba meloloskan diri. Tapi tentu, tenaga mereka jauh lebih kuat. Aduh, Bu,  kedua lenganku dicengkram. Pinggangku, Bu, pinggangku, uh, nyeri sekali. Sayup-sayup masih kudengar rintihan laki-laki tanggung itu, rintihan yang mengoyak-ngoyak jiwa. Rintihan yang kemudian lesap ditelan caci-maki dua laki-laki yang menyeretku ke lantai dua.
“Perempuan brengsek!”
“Jalang!”
“Dasar brengsek!”
Selepas ditendang, aku tersungkur ke lantai, tepat di depan perempuan bermata nyalang yang mengetuk pintu kamarku tadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya terkenang dirimu, Bu. Hanya Ibu yang kupanggil-panggil dalam hati, berkali-kali.
“Ini dia, Mam. Perempuan brengsek yang mencoba lari.” Lelaki tegap berkulit gelap melapor begitu sigap. Hening sekejap.
“Kali ini, kamu aku maafkan. Tapi jangan kamu coba lagi. Kamu harus melunasi hutangmu dulu! Setelah itu, terserah.” Tidak ada nada amarah, tapi suara yang meluncur dari mulutnya betapa dingin. Bak belati hendak menyayat nadi. Hutang? Aku berhutang katanya, Bu? Ah, kapan pula aku berhutang kepada perempuan itu. Kenal pun baru saja. Jujur, Bu, pada saat itu aku bingung, sangat bingung. Sandiwara apa yang sedang kuperankan ini?
Boy, bawa dia ke kamarnya kembali. Jaga perempuan ini, jangan sampai mengulangi perbuatannya lagi!” Perempuan itu mengeluarkan maklumat. Lebih dingin, lebih menyayat. Dua lelaki tegap itu mengangguk bersamaan. Mereka menyurukkan tubuhku ke dalam kamar. Seluruh tubuhku rasanya berdenyut. Aku baringkan diri di tilam yang tak berseprei lagi, sekedar menenangkan diri. Oh, wajah Ibu melintas-lintas di beranda anganku. Kalau saat ini aku berada di rumah, Ibu pasti membaluri badanku yang pegal dengan minyak urut, dan memijatinya dengan perlahan, sungguh perlahan. “Kau terlalu capek, Rabiah. Jangan terlalu dipaksa badan itu bekerja. Sesuatu yang dipaksa itu tidaklah baik.” Biasanya, suara Ibu yang bercampur batuk akan membuatku terlelap, menuruti kantuk. Beberapa saat, aku segera terbangun oleh aroma teh yang sengaja Ibu letakkan di samping ranjang. Iya kan, Bu?
Tapi di sini tak ada minyak urut, Bu. Tidak ada wangi teh yang menyapu hidungku. Di sini hanya ada ringkik cekikik, suara-suara genit, tawa yang menyentak, atau jerit minta ampun yang pilu. Ada juga derit pintu yang menggetarkan nyaliku. Derit yang berkarat, yang memisahkanku dengan Nurminah, yang menyeretku ke kamar ini lagi. Lalu tiba-tiba, yang mengantarkan seorang lelaki asing yang berdiri di depanku. Entah apa yang hendak dilakukannya padaku. Lelaki itu, seperti seorang cina, yang usianya kira-kira lima puluh tahun itu sudah tak mengenakan baju lagi. Badannya tambun, lemak perutnya yang buncit berlapis-lapis, terjuntai-juntai. Separoh kepalanya tak berambut. Aku beringsut, tapi ia tak surut. Matanya jalang, dadanya mengempis-mengembang.
O, perutku mual. Tatapannya itu, Bu, seperti tatapan Ayah yang hampir menindih tubuhku ketika aku masih berusia empat belas tahun. Ibu, Ibu, lelaki ini mungkin juga hendak menindihku. Datanglah Ibu, terobos pintu, tendang selangkang lelaki kurang ajar itu. Seperti Ibu menendang kemaluan Ayah, lantas menyerapahinya, dan cepat-cepat memelukku dengan erat. Lalu, meskipun dengan cekung pipi yang diluapi air mata, kita pergi meninggalkan lelaki tua yang mengerang, layaknya kita membiarkan Ayah merintih meradang. Kita akan pergi dari tempat ini, seperti kita yang pergi dari rumah. Dan tak pernah kembali lagi. Tapi Ibu tak kunjung menerobos pintu, dan memang tak mungkin.
“Ayo, cantik, nak ke mana kau pergi.” Lelaki tua itu berbisik dengan bahasa melayu yang fasih. Ia mendekat, Bu. Tapi tidak, ia tidak boleh menjamahku. Sudah kukatakan, ia tidak boleh menjamahku. Baru saja tangannya hendak menyentuh daguku, kusambar dengan gigitan terlebih dulu. Lelaki itu menjerit, memaki tak henti-henti.
“Budak hingusan! Kasar sangat kau ni! Tiada budak yang berani mempersiakanku seperti ini! Budak hingusan!”  Lelaki itu memegangi tangannya sendiri. Terus memaki, lalu pergi menyisakan hempasan pintu yang tak berkunci.
Ibu, aku menang! Lelaki itu tak bernyali, hanya punya birahi. Aku menang, Bu. Meskipun perempuan bermata nyalang yang dipanggil Mama itu akhirnya datang mengata-ngataiku, menjambak-jambak rambutku. “Bangsat, perempuan tak tahu diuntung. Kamu apakan tamuku, hah? Kamu sudah saya beli dua ribu ringgit. Dan kamu harus mengembalikan uang saya yang lima juta itu ke saku bajuku.” Ia lalu membenturkan dahiku ke siku ranjang. Darah mengucur, Bu. Tapi aku puas. Darah itu tidak mengalir dari kemaluanku. Kubiarkan saja ia menamparku sesuka hatinya, juga tiga lelaki tegap suruhannya yang mencambuk tubuhku dengan selang hingga remuk. Menendangiku, dan meninggalkanku terkapar di lantai. Terlentang dengan darah yang menggenang.
Meski menahan perih,  aku lega dengan keadaanku yang seperti ini, Bu. Paling tidak, aku beranggapan laki-laki tua lontong itu tak akan masuk ke kamar lagi. Tapi perkiraanku salah, ia sudah berdiri di sisiku. Wajahnya merah buram, menyeringaikan gairah yang berbaur amarah. Dengan sisa tenaga, aku bangkit, dan  melonjak ke belakang. Tubuhku menubruk meja. Laki-laki brengsek itu mengikut pula. Ibu, aku terhuyung, mataku nanar. Lalu dengan mudah ia sudah memelukku kuat, kuat sekali. Tapi, Bu, laki-laki itu hanya bisa mendekapku, tak bisa lebih dari itu. Rekahan cermin di tanganku telah berubah menjadi belati, kubelah punggungnya. Lalu cermin itu kutanam di lambungnya. Ia menggelepar. Darah berpencar-pencar. Kami sama-sama berdarah, Bu. Tapi aku menang, ia kalah. Lelaki itu mati oleh tanganku, sedang aku sebentar lagi mati oleh selilit tali.
 Tidak ada yang salah apa yang diberitakan surat kabar dan televisi itu, Bu. Aku memang telah membunuh lelaki itu. Tapi Ibu sudah tahu kan, kenapa aku membunuhnya? Maka tidak usah Ibu gelisah. Tidak usah Ibu sibuk mengemis bantuan untuk membebaskanku dari ancaman eksekusi. Kalau ada orang-orang yang datang ke rumah untuk menawarkan jasa bantuan, tolak saja dengan santun, Bu. Sebab di sini aku juga menolak jasa itu. Aku tidak marah meski  diteriaki gila oleh Bapak-bapak dari konsulat RI yang datang menjengukku ke penjara tahanan sementara Tawau.
“Maaf, Pak. Aku ikhlas jika dijemput maut dengan cara seperti ini.”
“Tapi tanpa pembelaan, itu sama halnya dengan bunuh diri.” Timpal seseorang yang berdasi.
“Aku mati bukan karena bunuh diri. Tapi kerena membela diri, karena memperjuangkan kehormatanku sebagai perempuan.”
“Kamu tidak boleh putus asa. Hidupmu di dunia ini masih bisa kita upayakan bersama-sama.” Seseorang yang lain ikut meyakinkan.
“Aku mati untuk hidup. Dunia hanya persinggahan belaka. Masih ada tempat yang lebih mulia, akhirat namanya.”
“Tapi hidup adalah amanah, wajib diperjuangkan, musti dipertanggung jawabkan!”
“Kehormatanku sebagai perempuan juga amanah, Pak. Dan itu sudah aku pertanggung jawabkan.”
“Dasar perempuan gila! Mati digantung kok menjadi cita-cita.”
“Cita-citaku ingin menjadi perempuan yang mulia .”
“Gila!”
Tidak, aku tidak gila, Bu. Aku waras. Dalam sidang, aku mengakui semua perbuatanku. Tak ada sepicing kejadianpun yang kusimpan. Dua kali bersidang, kasusku selesai. Keputusan hakim kuterima dengan lapang dada, sadar, dan dalam keadaan sehat. Aku dihukum mati! Aku tidak melakukan pembelaan. Hanya satu permintaanku pada Pak Hakim: Segera tunaikan eksekusi! Aku yakin jika Ibu pasti percaya dengan ceritaku ini. Aku tidak gila. Tapi mereka tak sudah-sudah berserapah: Gila! Lalu mereka mengirimkan seorang dokter spesialis jiwa ke penjara. Namun ia pergi dengan menggendong hasil yang kosong. Sebab hanya dengan diam aku menjawab rentetan pertanyaannya.
Begitulah, bukan aku pasrah dengan jalan hidup ini, Bu. Tidak aku hendak menghianati ucapanmu, “Jangan sekali-kali kau menyerah pada keadaan.” Bukan, bukan aku mudah menyerah, pesimis, atau tidak percaya dengan mereka. Ini adalah takdir yang di atas, Bu. “Kita hanya menjalani apa yang telah digariskan Allah.” Aku ingat betul petitih Ibu yang satu itu. Aku bangga mati karena mempertahankan kehormatanku, kehormatan kita sebagai perempuan. Aku percaya, Ibu juga pasti bangga. Aku, adalah Rabiah yang menang. Penjara ini? Ah, tidak juga mampu mengalahkanku, Bu. Jeruji ini bahkan kian mengekalkan kemenanganku. Kemenangan yang sempurna. Betapa aku bahagia.
Ada hal yang memang membuatku gelisah. Terus terang, aku rindu pada Ibu. Aku ingin mencium pipi dan kakimu untuk yang terakhir kali. Tapi tak apa-apalah. Itu tak mungkin lagi terjadi. Maafkan aku, Bu. Maafkan segala dosa dan kesalahanku. Ufh, aku tahu, tak kesampaian niatku mengirimkan ringgit untuk Ibu. Tak mungkin pula aku pulang membawa oleh-oleh baju kurung berwarna biru. “Hei, Rabiah, mengeluh itu bukanlah perbuatan terpuji.”  Nasihatmu kembali terngiang, seperti meredam keresahanku yang melintang.
Aku memang resah, Bu. Bukan resah karena aku harus mati muda. Tapi kenapa peluit eksekusi belum juga menunjukkan tanda-tanda berbunyi. Aku sudah tidak sabar hendak disunting maut. Dipeluk, dan  dipagut maut. Aku ikhlas, Bu. Hidupku, tubuhku, ruhku, cintaku, dan kehormatanku hanya kupersembahkan untuk maut. Aku senang mendengar keletak sepatu petugas penjara menuju ke arah kamarku. Riang mendengarkan derit gerendel pintu jeruji yang terbuka. Kusambut mereka dengan senyum, berharap waktunya telah tiba. Ah, aku seperti terlempar ke masa kanak. Betapa girangnya aku menyambut Ibu pulang dari pajak. Aku menghambur ke keranjang, merebut kue serabi dan rujak. Tapi mereka hanya menggiringku ke ruang makan, atau ke halaman untuk menyiangi taman.
Sungguh, Bu. Betapa aku tak sabar menanti saat yang mendebarkan itu, disanding maut. Kapankah, kapankah? O, tidak pernah aku segairah ini, Bu.
Tidak pernah!

Medan, 2005


T  A  M  A  T


Dimuat di Koran Tempo, MINGGU, 9 Maret 2008

CERPEN
Kematian Bob Marley
OLEH HASAN AL BANNA

Anyir mengalir. Udara berlendir. Sebagian kulit kepalanya terkelupas. Mata tak terbelalak, tapi wajahnya mendongak, menyeringai—lipatan kulit saling himpit. Mulut  menganga, sekuak goa, tak henti melelehkan getah darah bercampur serpihan gigi. Lekuk tangannya menempel di atas dada, lantas kedua lutut bertekuk, semacam posisi duduk. Lebih dari itu, tak terdapat luka atau memar yang menonjol di tubuhnya. Hanya saja, dua jari tangan kiri—telunjuk dan kelingking—terputus, dan sebilah sayatan sepanjang sepuluh senti mengoyak anus.
Tadi malam, di bawah debur hujan, tiga orang pria tak dikenal mengetuk pintu salah satu rumah di lorong Dermawan. Tamu asing itu tampak menghemat gelagat. Gerak-gerik jangan sampai memancing kecurigaan, begitu hardikan pesan. Tapi tak bisa juga mereka menyimpan ketergesaan. Usai berbicara seringkasnya, mereka kemudian menjinjing sebujur mayat terbungkus terpal—lapuk, berwarna biru tua—dari pick up bak terbuka. Sesaat kemudian, ketiganya lenyap di balik jubah hujan, menelantarkan letup tangis mengerubungi mayat.
Para tetangga terhenyak, lalu menjenguk berdesak-desak. Kesibukan pun menjalar sedemikian rupa. Lebih-lebih kepala lorong, Haji Fadel. Perintah-perintah tumpah. Di luar, sebagian orang memasang tenda. Di beberapa sudut lorong, ditambatkan bendera sungkawa. Hujan reda tak reda. Angin timpa-menimpa. Lantas pengeras suara masjid menyala, membagikan kabar duka-cita: “…telah berpulang ke rahmatullah: Bob Marley, tutup usia tiga puluh sembilan tahun. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka, lorong Dermawan, di sebelah rumah tuan kadi Irham. Insya Allah, almarhum dikebumikan besok, setelah sembahyang zuhur…”
Bob Marley. Demikian warga lorong Dermawan memanggilnya. Ia memang senang bernyanyi, meski tidak mahir. “Alah, suaraku angka merah, kawan,” selorohnya. Tapi kalau pesta kawin, ngayun anak, atau sunatan pakai acara keyboard, maka ia akan bernyanyi sepukul-dua pukul. Atau temuilah Bob Marley di antara lapak tuak yang berderet di ujung pelabuhan. Di sana, sambil tenggen bersama peminum lain, ia bernyanyi sampai serak. Ia suka lagu batak, juga beberapa lagu milik Rhoma Irama. Dan tak pernah ketinggalan, lagu wajib: gereja tua.
Tapi jangan silap, Bob Marley bukan penggemar Bob Marley. Mana kenal ia sama penyanyi reggae legendaris asal Jamaika itu. “Pemain bola negara mana Bob Marley?” tanyanya dengan keluguan yang sempurna. Hah, maklumlah, ia hobi segala  judi, termasuk taruhan skor pertandingan bola. Padahal, sama sekali ia tak pernah hapal pemain-pemain top, bahkan nama klub eropa yang menjadi unggulannya. Pun pula hendak mengetahui riwayat Bob Marley ia?
Jadi, apa pasal orang-orang menyerunya dengan nama itu? Andaipun dicari kepersisannya secara kasat mata, paling karena warna kulit—yang gelap, atau rambut gondrongnya. Tapi tentu, ia tidak dengan sadar menjalin rambutnya menjadi gimbal. Apalagi paham dengan kandungan filosofinya; menjalin rambut adalah perjalanan jiwa, pikiran, dan spritual yang mengajarkan kesabaran. Ehem-puih! Harap diketahui, sejak lajang, rambut ikalnya yang sebahu—sewarna daun setengah masak—jarang disisir, lalu terpilin secara alamiah, menciptakan bingkahan rambut tak beraturan.
Namun, entah karena alasan apapun nama Bob Marley itu melekat pada dirinya, ia senang dengan panggilan itu. Tak ada niat protes. Tak ada nota keberatan. Maka warga pun lupa, bahkan ia sendiri alpa, jika ia pernah menyandang nama: Jusmar Gazali bin Hoesin!
* * *
Pagi meniti nyeri. Hujan kandas. Di udara bertabur wangi air mata. Di dagu pintu, tepatnya di atas kursi kayu, diletakkan baskom bergunduk beras catu. Orang-orang yang tukam, menjumput butiran beras sambil membenamkan sejumlah uang, lalu beringsut menghampiri keluarga almarhum. Di rumah duka, warga melimpah. Jenazah Bob Marley dikerumuni istri, Mak Nuridah—ibu Bob Marley—yang uzur, dan ketujuh anaknya yang terpaksa berstatus yatim. Sanak dan keluarga dekat dari luar kota, sudah labuh sebelum subuh. Isak tangis pun timbul-tenggelam.
Di luar, pelayat berbaur di sekitar tenda. Bercakap-cakap. Saling menyalam. Berbatang rokok disulut. Ada juga tergerai renda tawa. Beberapa orang sibuk mengukur, menggergaji, dan mengetam bilahan papan untuk keperluan pemakaman. Nawawi begitu tekun mengukir tulisan—Bob Marley bin Hoesin, bukan Jusmar Gazali bin Hoesin—pada sepenggal broti. Untuk nisan sementara itu. Di sudut lain, sebidang kain putih tengah disiapkan menjadi kafan. Bang Sapri baru saja beranjak ke kuburan usai mengukur lebar-tinggi tubuh Bob Marley. Keranda, selubung dan payung keranda sudah diangkut dari masjid. Tiga blong besar air, penuh. Cukuplah untuk memandikan jenazah. Kapur barus, sabun, dan wewangian telah tersedia.
Ibu-ibu duduk bersempit-sempit di ruang tengah. Tikar rompal menutupi lantai tanah, sekalian menghalau uap lembap. Berkesiur lafaz doa dan yasin. Ganti-berganti. Sekali kesempatan, nasehat mengucur, menghibur. Gemerisik bunyi bisik-bisik. Kadang nada bicara terdengar seperti dengungan kecil. Samar. Khusuk. Tapi mereka tidak sedang bergunjing! Mungkin, sedang mengais jawaban?
Hampir sejak sebulan lalu, warga Dermawan sudah heboh dengan kabar hilangnya Bob Marley. Apalagi saat itu, Wak Bardansyah hendak mengadakan perhelatan perkawinan putri sulungnya. Ada acara keyboard, tentu. Dan biasanya, Bob Marley menjadi pawang keamanan. Maka tak akan ada pemuda lorong lain yang bernyali membikin kekacauan. Biduan dan tukang keyboard pun aman dari ancaman: Dipaksa tampil sampai pagi! Hasil akhir, hajatan bersih dari buih tuak, tanpa ruap gelek, dan tak ada joget panas di atas pentas.
Namun Bob Marley raib! Wak Bardansyah terpaksa menyewa ormas pemuda setempat untuk mengurus keamanan. Pastilah itu membutuhkan anggaran tambahan. Padahal, bayaran tidak berlaku bagi Bob Marley. Bakal ia tolak itu mentah-mentah. Gantinya, susupkan saja rokok ke saku bajunya, mantaplah itu. Tapi tanpa Bob Marley, pengeluaran biaya keamanan membengkak. Tak ada kericuhan, iya. Tapi selain uang kontan, si empunya pesta musti menyediakan berceret tuak, minuman penambah energi plus rokok berbungkus-bungkus. Maka bagi Wak Bardansyah, begitu mahal harga kehilangan seorang Bob Marley. Apa boleh buat!  
Entah mengapa, orang-orang di luar lorong Dermawan macam gentar setiap mendengar nama Bob Marley. Paling tidak, mereka enggan bersangkut-paut masalah dengannya. Memang, warga lorong Dermawan tahu kalau Bob Marley agen gelek. Sudah rahasia umum itu. Tapi pantang bagi Bob Marley mengedarkan daun ganja kepada anak lajang lorong Dermawan. Ia pun tak berniat menghasut mereka menyedot gelek. Malahan, si Bahrum—cucu Andung Alang, usia belasan dan putus sekolah—pernah ditempeleng Bob Marley karena kedapatan begelek. 
Benar, Bob Marley gemar menenggak tuak. Namun tak pernah ia pulang sambil meracau, meski sedang tenggen habis. Bahkan, jika berpapasan dengan tetangga, ia tetap ramah dan seperti orang sadar melempar sapa. Mmh, tentang tuak, Bob Marley pernah mengancam akan membakar rumah Inang Girsang di seberang jalan lorong Dermawan. Itu terjadi kalau Inang Girsang berkeras juga membuka lapak tuak di daerah itu. Untung ancaman susut, ya, karena Inang Girsang membatalkan rencananya. “Anak-anak di lorong ini kan baik-baik, jangan pulak dikasih tuak,” Bob Marley menyodorkan alasan.
Tapi, kalau soal judi, bolehlah Bob Marley bertoleransi. Ia tak pernah melarang lajang-lajang seputaran lorong Dermawan berkartu sambil taruhan, atau main judi dadu di hadapannya. “Mainkan saja, genk! Asalkan jangan merusuh, tak ada minuman, dan jangan begelek!” Bob Marley menyilakan, tapi tak lupa meninggalkan peringatan. Sesekali, ia tergiur juga bergabung. Ya, main setarik-dua tariklah.
Andai bertanya pada tetangga tentang sosok Bob Marley, mereka menjawab apa adanya: “…o, baik orangnya itu. Ya, tak alim-alim kalilah. Solat paling hari Jumat, itupun jarang. Tapi dia itu rajin ikut wirid yasin tiap malam Jumat. Jangan sepele kelien, pandai mengaji dia. Sudah itu, kalau ada warga yang meninggal, Bob Marley giat mengurus keperluan kifayah jenazah, khususnya menyiapkan galian kuburan. Terus, biar tau saja, hampir tak pernah absen dia ikut tahlilan, genap tiga malam. Pokoknya…”
Namun, bukankah Bob Marley bertampang bajingan? Iya, badannya setipis rempeyek, compang-ramping. Tapi kata orang, wajahnya setandus bulan padam, menakutkan! Nyaris bengis dengan mata redup yang keruh, merah, dan mendidih. Dari lehernya—hingga menukik ke bahu, melintang luka lampau yang berkarat. Lalu, ada tiga tato bersarang di tubuhnya. Dua terpacak di lereng bahu, bergambar jangkar dan wanita tak berbaju. Satu lagi bergambar tweety. “Orang rumahku sukak kali filim kartun ini.” Itu kata Bob Marley sambil menunjukkan tato yang terpatri di dada kiri. “Tato ini punya istriku,” ujarnya, entah sedang menggelar kelakar.
Memang, kedengarannya seperti lelucon. Tapi menurut orang-orang—yang bukan warga lorong Dermawan, itu tidak memupus penilaian mereka terhadap Bob Marley: seorang bajingan! Warga lorong Dermawan hanya membalas tuduhan itu dengan isyarat bahu. Mereka malas membahas tabiat Bob Marley di luar yang mereka ketahui dan saksikan sendiri. Pendek kata, sebajingan apa pun Bob Marley, tak pernah sejarahnya menebar onar di lorong Dermawan. Sebaliknya, warga merasa tentram dengan keberadaan Bob Marley.
Dulu, sebuah rumah di lorong Dermawan pernah ditumpas maling. Tapi  berselang setengah hari, gondolan vcd serta tivi kembali tanpa cacat, dan tanpa sempat berpindah ke tangan penadah. Entah bagaimana cara Bob Marley memulangkan barang berharga itu. Tapi yang pasti, sejak itu, tak pernah lagi rumah-rumah di lorong Dermawan menjadi sasaran maling. Maka kini, tidakkah berita hilangnya Bob Marley menggoreskan sedikit rasa was-was? Dan hei, Bob Marley, di manakah?
Desas-desus berhembus, enteng, juga serius: Bob Marley diculik jin, Bob Marley kawin lagi, Bob Marley pergi melaut berhari-hari, Bob Marley korban tabrak lari, atau jangan-jangan, Bob Marley mati dibunuh, dan mayatnya dimutilasi. Tapi prediksi itu hangus ketika seseorang menitipkan secarik kertas lusuh buat istrinya—setelah dua minggu Bob Marley hilang. Ada tulisan singkat dan kusut di situ: “…Abang ketanggok polisi, Mala. Tapi tak usah takut kau. Paling lama, dua hari lagi Abang keluar…” Lega menghela dada istri Bob Marley.
Warga pun turut lega. Tapi kembali cemas ketika Bob Marley tak kunjung bebas. Hari sudah hanyut sejumlah sebelas. Maka tanpa komando, warga berinisiatif mengumpul dana, sebagai modal bernego dengan pihak terkait. Tentu demi menjemput Bob Marley dari bilik berjerejak. Nun, niat belum sepenuh terlaksana, Bob Marley sudah pulang, tapi tak beserta nyawa. Ia kembali dari kehilangan, tapi sedang menuju ke kehilangan abadi. “Suami ibu dikeroyok sesama tahanan sel,” kata istri Bob Marley menirukan ucapan salah satu lelaki pengantar jenazah suaminya. Ketika warga menanyakan hasil visum, Mala menggeleng. Pasrah.
* * *
Siang menjelang. Menyiang. Jenazah Bob Marley sudah dimandikan. Ratap istrinya merayap, ketujuh anak ia dekap. Air mata ambruk. Duka ibarat laut tak berdermaga. Warga lorong Dermawan berkerumun. Meski tak bepekik tangis, tak melejit jerit, kepala mereka bertudung kesedihan. Di wajah mereka menggantung mendung muram. Ketahuilah, mereka sebenar kehilangan Bob Marley! Tulus.
Waktu terus menghunus. Isak meledak ketika Bob Marley segera dibungkus. Tapi mendadak kepala lorong—juga tuan kadi Irham, dan Abah Taher—tergopoh menyela. Lantas terlibat diskusi dengan pihak keluarga. Lumayan lama. Hingga membatu angin. Tapi kemudian, selesai berangguk-angguk, kepala lorong buka suara: “Jenazah akan kita usung lebih dulu ke rumah sakit, untuk divisum!”
Hadirin sepakat. Ini kematian yang janggal. Sumpah, sejak mendengar kematian Bob Marley, berkelebat kutuk, menendangi dada warga lorong Dermawan:
“Bah, keji kali kematian Bob Marley itu..!”

Medan, Mendung 2006





Dimuat di Kompas, MINGGU, 15 Juni 2008


CERPEN
Sampan Zulaiha
Oleh HASAN AL BANNA

Ia mengekori Bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri Bapaknya menenteng sejumlah bubu bambu perangkap ikan, juga beberapa bubu nilon penjerat kepiting. Tangan kanannya menggengam sepasang dayung. Nurdin, meski usianya kurang sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan menjinjing bekal. Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut bersama Bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya. Nikmat!
Sampan masih tertambat, tapi terkulai-kulai diayun putik ombak. Bapaknya menyulut rokok, dan Nurdin begitu sigap menguras air dari lengkung sampan. Diam-diam Zulaiha menggeliat ke sisi Nurdin. Sampan berguncang! Lalu terdengar dengus yang rakus, disusul suara gedebab, semacam pelepah kelapa menimpa sesuatu. Zulaiha terjerembab! Di punggungnya, bukan tanggung rasa panas yang menjalar. Kepala dayung yang dihantamkan Bapaknya ke tubuh Zulaiha. “Berapa kali Bapak katakan, kau tu tak boleh melaut. Anak jadah!”
Zulaiha bangkit ditopang derit sakit. Tapi ia tidak meringis, apalagi menangis. Sudah berulang-kali ia mengalami kejadian semacam itu. Benar, sesaat matanya nanar, merah, dan pedih. Kepalanya sempat tersungkur ke dangkal laut. Hidung dan mulutnya berlumpur. Tapi dengan napas tertahan, ia remas bajunya yang terbasuh laut. Ia kibaskan lumut yang bergayut di lutut. Dan kemudian, sorot matanya tak berkedip, begitu seksama melepas sampan membawa Nurdin dan Bapaknya berarung ke jantung laut. Nasib belum mujur.
Tempo hari, sebenarnya Zulaiha lihai memasang akal. Ia terlebih dulu menuju sampan. Lalu ia benamkan tubuhnya di setumpuk jala bekas yang tertinggal di sampan. Tentu buah dari harapan Zulaiha, Bapaknya luput mengetahui keberadaannya. Maka ia akan turut melaut. Tapi kandas. Sebelum sampan beranjak ke lenguh ombak, Bapaknya menyuruh Nurdin mengembalikan jala koyak itu ke rumah. Dan ketahuan. Maka tak ada keraguan, setelah Zulaiha dijinjing, sebuah tendangan membikin Zulaiha terlentang, berlalu pulang. Nun, di dadanya membuncah cita-cita—atau kesumat sejati yang mengkilat?
Suatu hari nanti, aku akan melaut. Sendiri! Musti sendiri!
* * *
Zulaiha betapa mencintai laut. Lumrah itu. Bukankah ia tumbuh di lingkungan laut? Bahkan konon, kata kerabatnya, Zulaiha lahir saat laut pasang menyeruduk rumah mereka. Maklum, rumah rapuh  mereka teronggok dekat paloh, rendam rawa di sekitar bengkalai bakau. Nek Sakdiah, dukun beranak Mak-nya saat itu, malah sempat memandikan Zulaiha dengan air asin. “Baru lahir saja sudah minum laut,” seloroh mereka. Memang, sejak kecil, tabiat Zulaiha memperlakukan laut sering dianggap tak lazim. Iya pula, ketika beranjak tidur, Zulaiha musti mendekap botol bir berisi air laut. “Mm, ada-ada saja,” geleng tetangga berbalut geli.
Selain itu, setiap kali hatinya dicengkram kuku-taring kepiluan, atau sedang bertabur kembang sukacita, Zulaiha pun bersegera ke tepian laut. Tak siang tak malam. Adalah bangkai dermaga kayu, tak jauh dari rumah mereka, lapak kegemarannya. Sering ia kedapatan duduk sebatang diri di situ. Betapa lapang Zulaiha melempar pandang ke hampar laut. Sorot matanya menyeruakkan tangan, hendak merangkul kaki langit yang sembunyi di balik punggung laut? Sambil lalu, ia biarkan julur ombak menggeli-geli kakinya. Baginya, lidah laut seperti belaian beludru.
Lautkah gemulai rahim yang mendamparkanku ke dunia?
Pada lain waktu, Zulaiha sebenar tekun tegak dengan tubuh yang oleng. Ia songsong geriap laut, ia hirup napas ombak, lalu rentanglah tangannya, semacam mendekap angin beraroma garam. Erat. Rambutnya yang sebahu—berwarna senja,  kusam dan camping—tak pernah terikat. Tergerai, berkibar diangguk-geleng angin. Mungkin bagi Zulaiha, laut adalah pangkuan kaki yang tak pernah menendang tangkai hidungnya. Atau laut taklah tangan yang berkali-kali menghempaskan kepal ke dagunya yang rompal.
Lautku, lautku, ayunanku!
Zulaiha, duabelas tahun! Mengharapkan percik wajahnya  mengisyaratkan suasana hatinya adalah pekerjaan petaka. Tawanya langka, air mata  tiada. Paling, untuk menandai debar perasaan Zulaiha, tataplah lekat-lekat bundar matanya. Andai ia sedang berbuai ria, saksikan, ada kerlip sinar di antara kedipan. Sepasang bola matanya adalah kebeningan laut kecil yang menggelinjangkan sekawanan ikan. Dan sebaliknya, dua matanya bak laut menanggal cahaya, berkabut pekat, jika ia sedang diombang-ambing buih luka. Begitulah, lain kadang, matanya menyaru mata hiu. Mata yang mati. Namun, di ngarai dadanya, dendam senantiasa sepitam arang, bergulung, dan bersipompa.
Bernama dendam apa? Ke alamat mana?
Entahlah, Zulaiha pun lalai ingatannya, bila ia terakhir kali mengulum senyum atau menyedak durja? Serupa dengan ketakpahamannya, mengapa sejak lahir ia terpental dari rimbun peluk-cium orangtua, terutama Bapaknya? Ia anak sulung. Tapi itu bukan penghalang Bapaknya untuk tidak menyeru Zulaiha: anak pembawa sial! “Sudahlah perempuan, cacat pulak!” Tidak iqamat, tapi umpatan yang menyayat telinga Zulaiha selepas lahir. Bapaknya kepingin anak laki-laki. “Biar bisalah kubawa melaut,” begitu alasannya. Ah, Zulaiha, lahir sebagai anak perempuan yang ranum, kecuali kaki kanannya yang lebih pipih dari kaki kiri. Pun telapaknya mendongak. Maka kaki kanannya cuma bertumpu pada tumit. Cecah langkahnya pun tak sempurna.
Namun sumpah, Zulaiha tumbuh sebagai anak yang percaya diri, cekatan. Lincah ia kian kemari, meski kadang terjungkal-terbanting. Tapi bersebab perlakuan Bapaknya yang terlampau, ia berubah menjadi pendiam. Hobi bersendiri! Gemar berendam di paloh. Pernah pun, saat berusia lima tahun, Zulaiha nyaris tertanam perdani, pasang besar yang rutin melanda dua tahun sekali. Hendak memetik tunas piye ia saat itu. Piye banyak tumbuh di sekitar paloh. Anak-anak perempuan sering memetiknya untuk main masak-masakan.
Beruntung ada Dempol. Lajang sebelah rumah Zulaiha itu kebetulan sedang membubu kepiting. Lelaki pengangguran (juga lemah mental) itulah yang susah-upaya merebut Zulaiha dari rahang perdani. Ia juga yang membopong tubuh Zulaiha—yang pingsan—ke rumah bidan Rasidah. Tapi jerih payah berbuah serapah. Bukan ucapan terima kasih upah jasanya, melainkan terjang makian. “Hah, mengapa tak kau biarkan saja anak sialan ini hanyut, Dempol! Biar mati sekalian!” Hardikan berkarat itu membikin Dempol terpelongo. Lajang malang itu menunduk, tak bernyali menantang dua biji saga yang bertengger di bawah dahi Bapak Zulaiha. Tajam sekaligus mengerikan.
Tapi kengerian itu tidak lagi menggetarkan nyali Zulaiha. Ia sudah terbiasa. Meski juga dendam tak penat-penat menggeliat, menghasut gedebar lahar yang siap meletus. Iya, tidak sekali dua kali kelebat tangan Bapaknya menggempur pipi, dada, dan kepala Zulaiha. Hidungnya pernah meluruhkan darah usai dibentur dengan palang pintu. Bahkan seayun tinju pernah pula menghantam rusuknya, membiru, dan sekian senti lagi menggapai ulu hati. Bermacam-macamlah pasalnya.
Maka siapa yang kelak menuai badai dendam?
Suatu kali, kepiting rajungan tangkapan Bapaknya terlepas seekor, ketika Zulaiha hendak merebusnya untuk makan malam. Asli, jangankan kebagian makan malam, Zulaiha hanya merasakan pedas tamparan. Dan seperti biasa, demi menghalau kepedasan, Zulaiha menggegaskan langkah pincangnya ke dermaga. Ia tinggalkan rumah dengan mimik dingin. Lalu, begitu lekat ia menghadap raut laut. Mengadu tanpa sedak sendu. “Kak Zula! Dipanggil Mak! Lekas pulang!” Mungkin, kalau bukan karena mendengar kuyup teriakan Mukhlis—adiknya yang nomor tiga, tentu ia tahan berselimut angin laut hingga malam larut.
Laut, o, laut, pelipurku!
Ampun, punah segala kesakitan yang bersarang di tubuh Zulaiha. Bayangkan, gara-gara salah beli rokok saja, Zulaiha harus menebus hukuman. Bapaknya menyulut rokok, lalu memuntungkannya ke daun telinga Zulaiha. “Bodoh kali kau ni, Zula! Heh, anak jin laut!” Zulaiha terpuruk, menanggungkan hujat begitu saja, dan tidak melawan sama sekali. Mak Zulaiha pun demikian sifatnya. Memilih diam, atau menangis kalau sedang menahankan perilaku kasar Bapaknya. Ia istri penurut, tak ada keberanian menunjukkan hati yang berkemelut. Tentu ia menyimpan rasa iba buat Zulaiha. Tapi apa daya, tenaga dan nyali menjelma hampa.
Sempurna derita, takdir Zulaiha? Lalu di garis laut, lalu pada laut, Zulaiha memulangkan kesumat hati. Tidak, ketiga adik laki-lakinya bukan muara dari kecamuk dendamnya. Meski sejak kelahiran Nurdin, Mukhlis, dan Husen, keberingasan Bapaknya kian mengganas. Dan Zulaiha selalu menjadi sasaran. Perlakuan Bapaknya kepada Zulaiha berbanding senjang dengan ketiga adiknya. Zulaiha tak pernah merasakan bagaimana bersekolah, seperti halnya Nurdin dan Mukhlis. Meskipun kedua adiknya itu berhenti juga di pangkal jalan, tak sempat naik-naikan kelas. “Mengapa pulak kau hendak sekolah, Zula! Tak ada otak kau!” Ah, Bapaknya, adakah seperti berhadapan dengan binatang?
Begitulah, bersebab adik-adiknya, Zulaiha sering pula dipaksa menelan hardik dan tebasan kaki Bapaknya. Pernah pada sebuah pagi, hari minggu, Zulaiha mengajak Husen ke halaman pasar. Itupun karena Mak-nya menyuruh Zulaiha menjaga adik bungsunya itu. Berusia tiga tahun lebih Husen saat itu. Nah, biasanya, hari itu orang-orang kota datang bergerombol menyandang ransel berisi alat-alat pancing. Mereka hobi memancing. Lumayan, selain untuk menghanyutkan kejenuhan bekerja selama sepekan, untung-untung mereka pulang menggandeng ikan. 
Sebelum pergi, Zulaiha berhasil menanggok sebaskom udang binje—seukuran kelingking—di paloh. Hasil tanggok­-an itulah yang dijajakan Zulaiha kepada gerombolan pemancing. Udang-udang itu untuk umpan ikan. Kalau masih segar dan hidup, harganya tinggi. Penjaja yang lain juga ramai. Mereka menggelar udang, sibuk mengail minat orang-orang yang hilir-mudik.
Namun, belum seorang pun yang menawar udang, mendadak Bapaknya  berdiri berkacak pinggang, tepat di depan Zulaiha. Wajah Bapaknya bagai laut keruh, disepuh api, dan menggelegak! “Anak binatang! Kau bawa rupanya si Husen, ya. Mengapa pulak kau di sini, hah! Petentengan!”
Lalu berduyun tempeleng mengena wajah Zulaiha, menerbitkan lemak luka. Tapi ekspresi Zulaiha tetap setenang cuaca. Sebuah tendangan memelantingkan baskom buram. Udang-udang berserak, menggeleparkan sisa nyawa. Ada kelengangan yang melintas sejenak, lantas riuh kembali kelebat cerca. Bapaknya menyeret Zulaiha pulang, tak peduli dengan Husen yang berpekik-pekik tangis di bahunya. Orang-orang terkesima. Lipatan dahi menghimpun, menjuntaikan tanya. Entahlah, cuaca masih cerah, tapi terasa sedang menanak amarah.
O, Dendam pun bersiasat. Tak berhenti merajut jerat?
Hmm, Zulaiha adalah kepalan baja, atau pualam siksa? Pada sebuah malam, Bapaknya sedang menyirat jala dengan cuban, alat penyulam jala. Ia biarkan Husen tertidur pulas di pangkuannya. Ada cahaya liar menyusup dari samar lampu teplok. Di luar, angin menderas. Nurdin dan Mukhlis asyik bergelut, sesekali terdengar rengekan mereka. Zulaiha tergoda, turut pula menghampirkan canda. Tapi canda tak berderai tawa, melainkan mendentangkan suara kaca. Kaki Zulaiha menyenggol gelas kopi Bapaknya. Maka tumpah, kopi pun tersisa sepertiga. Padahal baru dihidang. Masih panas dan mengepul. Pun belum sempat diteguk.
Sudah terduga, Bapaknya kalap luar biasa. Bangkit Bapaknya, lalu dengan ringan mengayunkan runcing cuban ke pelipis Zulaiha. Saat itu darah adalah air mancur yang melimpah. Sambil memaki, Bapaknya masih sempat melemparkan gelas kopi ke kaki kanan Zulaiha. Kaki yang menanggung lara sejak lama. Zulaiha bermimik tugu beringsut ke pintu. Lalu, ke mana lagi berlari, selain ke beranda dermaga? “Zula, jangan kau ke dermaga, Nak. Angin kencang, badai!” Suara Mak-nya hanya bunyian yang tumpul. Zulaiha berwajah darah, terus menatihkan langkah.
Laut, laut, izinkan aku tidur di bilikmu malam ini.
Angin berontak. Ombak berderak. Dermaga usang berguncang. Tapi Zulaiha, sejak lampau tak pernah menabung  takut. Langit pekat. Cuaca sekarat. Udara bertumbangan. Aroma garam bercampur anyir darah bertebar di atas kepala Zulaiha. Bunyi petir macam suara nenek sihir. Menakutkan. Tapi Zulaiha tak kecut. Ia tegak menghadap laut. Kilat melesatkan cahaya, seperti cambuk api yang melecut tengkuk laut. Angin mendaki-menghempas. Rambut Zulaiha mengibas, seperti melambai apa, atau menyahut siapa?
Laut meninggi ribuan senti. Tempiasnya mencipta hujan air garam, menguyupkan tubuh Zulaiha yang timpang. Lalu ia tadahkan lekuk tangan ke arah laut. Aha, Zulaiha, hendak mendekap siapa?
* * *
Tidak mendekap siapa-siapa. Malam itu, bukan dendam-kesumat yang Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampan Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri!

Medan, 05/08



Dimuat di Kompas, MINGGU, 30 Desember 2007

CERPEN
Ceracau Ompu Gabe
OLEH HASAN AL BANNA

“Ompu Gabe?” sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum sempurna angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah dan gumaman aneh, “…ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar…”
Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak obah letupan meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tidak menyodorkan ongkos, hanya menjulurkan tangan, “Marihot…” katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri.
Ompu Gabe terkesima, lidahnya terkepang. Pun ketika anak muda bernama Marihot itu mengajaknya minum, ia patuh. Ompu Gabe begitu saja mendapatkan dirinya menghadap deretan botol tuak. Lalu tanpa basa-basi. Marihot leluasa saja merubuhkan kegelisahan—entah kegeraman? Dan ketika Ompu Gabe masih dijerat peranjat, tiba-tiba Marihot membentangkan cita-cita dengan istilah—yang kedengaran asing bagi Ompu Gabe: Revitalisasi Opera Batak!
Marihot tertantang untuk menggempitakan kembali kesenian leluhurnya, opera batak. Bukankah sudah bertahun-tahun ia terlibat pertunjukan teater di Medan, bahkan keliling Sumatera dan Jawa? Maka dengan air muka yang berkeciak, Marihot membeberkan liuk-lekuk rencana. Ia hendak mengawinkan keluguan opera dengan kilau pertunjukan modern. Marihot juga hendak mendaur torsa-torsa (dongeng), turi-turian (legenda), serta mitos-mitos batak menjadi naskah-naskah yang mujarab untuk ditampilkan. Maklum, opera batak tempo dulu cuma mengandalkan kekuatan bertutur dan improvisasi.
Maka sudah sejak lama ia, katanya, mencicil semangat, merajut referensi, juga menggalah dukungan—motivasi dan tentu materi. Lantas, ketika semuanya rangkum, ia pun mengokang tekad: ini saatnya! Pusat Pengembangan Opera Batak layak deklarasi. Maka Marihot mendesak Ompu Gabe pulang ke tahun-tahun lampau. Dengan harapan Ompu Gabe terlibat, tentu. Tapi, meski takjub, Ompu Gabe mengelak, tidak! Ia mengaku telah lama menebas segala kenangan tentang opera batak.
Namun Marihot terus menggeledah, mengintai, menggoda, dan  menyodokkan pertanyaan yang musti dijawab Ompu Gabe: ya. Marihot berpekik, opera batak jangan mati, tak boleh jadi mumi! Bah, luar biasa gairah anak muda ini, puji Ompu Gabe di sudut hati.
Demi Tuhan, ia pun pernah ditabuh gairah semacam itu, mungkin jauh lebih dahsyat. Aku akan bermain opera sampai batas napas, begitu ia pernah bersumpah. Ketika itu, siapa yang sanggup meninggalkan gelora opera? Ou, dulu, opera batak adalah primadona, selalu ditunggu-tunggu. Maklum, jangankan tivi, listrik pun masih langka. Selain pasar malam, hiburan warga, ya, opera batak yang tur dari kampung ke kampung. Mereka bertahan di sebuah kampung berhari-hari, bahkan dalam hitungan minggu.
Eit, jangan khawatir jika tak ada uang. Tiket bisa dibeli dengan beras atau hasil ladang. Monis pe dijalo do (beras yang terbuang dari hasil menampih pun diterima), seloroh orang kampung. Maka orang-orang berbondong menonton ke tanah lapang sambil margobar, berselubung selimut tebal. Tentu demi mematahkan angin yang mencengkeram tulang. Tapi iyalah, kelebat tepukan dan jengking siutan pun cukup ampuh menjerang tubuh.
Mmh, darah Ompu Gabe kerap bergeriap setiap melawat kemeriahan opera. Maklum, sejak usia 18 tahun ia sudah menunggang panggung; berlakon, menari, memainkan musik, dan bernyanyi. Ia pemain opera yang dielu-elukan penonton. Puja-puji apalagi yang tidak digemuruhkan ke telinganya. Ia jaya, ternama! Meski pada suatu kesempatan tur, ia pernah kehilangan daya. Diam-diam, seorang penonton setia selalu membikin dadanya berdegup. Setiap malam hadir, dan tidak segan menonton di barisan depan.
Oi, ialah gadis bernama Teresia. Katakan, lelaki mana yang tidak hendak meminang pucuk bunga pesohor kampung? Maka tiada yang dapat menghadang kibasan bendera cinta. Pun ketika mereka saling bersulang kasih sayang. Maka, pada kesempatan tur yang kesekian kali, mereka sepakat berangkat ke pelaminan. Menjadi suami istri muda!
Kehadiran Teresia kian membongkahkan tekad Ompu Gabe untuk tetap berlakon di panggung. Di mana cerita digelar, di situ Teresia bersandar. Ia senantiasa mendampingi, menyemangati—juga memberi dua anak lelaki untuk Ompu Gabe. Teresia adalah mata air kekuatan dan ketabahan. Suatu waktu, ketika zaman berganti gaun dan masyarakat halal menukar selera, grup-grup opera memilih tumbang. Termasuk grup tempat Ompu Gabe bernaung. Pemilik opera angkat tangan, bangkrut dan bubar! Awak grup tercecer.
Ompu Gabe meronta: opera tidak boleh mati di tanah Toba! Lalu Teresia tak tega. Ia pun berjuang keras menimba semangat Ompu Gabe yang amblas ke lubang yang gulita. Ia himpun serpihan kepercayaan Ompu Gabe yang berantakan. Dan ya, berhasil. Ompu Gabe perlahan bangkit, membentuk grup baru, serta menampung kembali pemain dan pemusik grup lama. Tur opera pun kembali berdebur, mengedar lakon demi lakon. Iya, kian berkelang memang jejeran penonton. Pun hasil keuntungan dangkal dan keruh. Tapi Teresia menolak beranjak dari gebyar panggung.
Tentu, Ompu Gabe bangga kepada istrinya. Teresia bahkan pernah didaulat pahlawan oleh awak grup. Saat itu, seorang pemain, tokoh inang, mendadak sakit. Lantas penonton nyaris mengamuk karena pertunjukan lalai dimulai. “Aku yang main!” Teresia menghadap suaminya, lalu segera mendaki panggung. Ia berhasil mengupas rasa canggung sekaligus menghipnotis penonton. Hasilnya? Lumayan, sanjung Ompu Gabe.
Maka tak heran jika Teresia menjadi pesona baru. Dari opera ke opera, dia memikat hati penonton—juga mendulang pujian dari awak grup. Tapi sumpah, Ompu Gabe tidak pernah menghasut Teresia memikat hati siapapun di luar lakon. Terlebih itu lelaki, apalagi lelaki itu adalah lawan main Teresia di panggung? Dasar tak beradat! Semula, baginya Teresia adalah kebahagian sempurna! Tapi kebahagiaan apa lahir yang dari sebuah pengkhianatan? Togu, sahabat Ompu Gabe bermain opera sejak belia bersekutu cinta dengan Teresia. Mereka raib meninggalkan sekerat surat. Hanya 9 tahunkah usia kesetiaan? Ompu Gabe pun bersemak isak sembari mendekap kedua anaknya: ah, sudah berumur 7 dan 5 tahun. Ompu Gabe berkubang luka! 
Puih!
Tapi apalagi, selain pasrah? Siapa hendak menampung lampiasan amuk? Lagi pula, Ompu Gabe tak berniat mengampuni pengkhianat. Luka memang berkibar, dendam, ya, menggelepar. Namun tidak untuk menagih Teresia dari pangkuan Togu. Iya, pikiran Ompu Gabe lintang-pukang. Ia bubarkan grup. Tak ada opera, tiada lagi tur. Ia lipat hasrat untuk mengusung panggung ke kampung-kampung. Sambil menangkis tangis, Ompu Gabe pun menjual seluruh perangkat musik, dan segala aset opera. Lalu,  janji pun ditancapkannya ke udara: tidak untuk opera, dan tidak untuk perempuan!
Nah, ketika sebagian teman—mantan pemain opera—masih tetap berkesenian meski berprofesi pengamen, Ompu Gabe malah membelot menjadi penarik becak siantar. Entahlah, ia serasi sebagai penarik becak antik itu. Kalau tidak, mana mungkin Ompu Gabe setia menarik becak sampai 22 tahun lebih. Ia bahkan sudah bercucu. Tapi belum mampu juga menumpas masa lalu? Kemudian, seorang anak muda bernama Marihot tiba-tiba mengelebatkan hujan cuka, tepat ke ladang luka.
Ah, tidak! Sebelum Marihot datang, Ompu Gabe sudah sejak lama gagal menjemur luka dan membunuh sisa cinta terhadap Teresia dan opera? Ia pun sebenarnya paham jika Marihot tidak berniat mencongkel bekas luka. Memang,  Marihot mahir menjangkau geriak kehidupan Ompu Gabe yang hanyut ke muara waktu. Benar, Marihot lihai menyeret Ompu Gabe menelusuri kembali ladang kenangan: riang-gempita dan luka-cita! Tapi ia tidak pantas menuding Marihot sebagai pengobrak lemari kenangannya—bukankah sejak lalu tak terkunci?
Lagi pula, Ompu Gabe pun sadar atas kegagalannya menggenapkan kesumat. Bayangan Teresia sering timbul tenggelam di laut lamunannya. Lalu, ke mana pun angannya berpaling, terperosok juga ke semarak opera; lakon, musik, nyanyian, dan hiruk penonton. Tengoklah, di bawah jok becak tersimpan hasapi. Iseng Ompu Gabe membelinya, tapi tekun memainkannya, bersanding lagu-lagu sampai lalai waktu. Pernah, ketika Marihot menjumpai Ompu Gabe pada kesempatan yang lain, mereka menempuh malam sambil menenggak tuak, bercerita, dan bernyanyi sampai serak.
“He, jariku masih mahir memetik senarnya,” Ompu Gabe mengumbang diri.
“Lebih paten kalau dipetik di panggung.” Marihot berdesis. Lalu kembali meniup sulim.
“Mmh, tidak…” Ompu Gabe menggeleng, tapi matanya bimbang.
Marihot memang anak muda yang gigih. Sabar dan pintar. Apalagi ketika mengetahui pendirian Ompu Gabe mulai oleng. Ia belum mau menyerah. Apalah sulitnya menggedor pintu yang mulai goyah? Maka pada malam yang lebih menggigilkan, Ompu Gabe akhirnya kehilangan kekuatan.
“Baiklah. Aku bersedia, Marihot…” Teriak Ompu Gabe menaklukkan suara mesin becak. Saat itu Ompu Gabe dan Marihot sedang berputar-putar di kota Siantar, “Aku juga akan membujuk kawan-kawan untuk berlatih dan main.” Marihot menyelidik wajah Ompu Gabe. O, mata Ompu Gabe berkilau, memendar buncahan gairah.
Mantap!
“Tapi ada syaratnya, Marihot…” sesabit senyum mengait di bibir Ompu Gabe. Pangkal hidung Marihot mengerucut, “Aku yang menjadi anak mudanya, heh!” Ompu Gabe mengerling, Marihot terbahak sambil menahan kencing.
* * *
Malam ini penampilan perdana: Lakon Guru Saman! Penonton tidak melimpah dalam gedung. Mungkin pekan depan lebih meriah, saat mereka tampil di Lapangan Sisingamangaraja, Balige. Menurut rencana, lakon Sipurba Goringgoring yang digelar di sana. Tapi Ompu Gabe tidak peduli dengan jumlah hadirin. Ia cuma menanti kedatangan seseorang untuk menyaksikan kehebatannya ketika berlakon. Ia kembali merasa muda. Matanya menyala.
Ompu Gabe berperan sebagai Guru Saman, jagoan asal Lau Balang-Tanah Karo. Berilmu kebal dan lihai main silat. Nah, cerita punya cerita, tokoh ini membunuh seorang hamba Tuhan—vorhanger, juga istri korban yang sedang hamil. Memang, Guru Saman mendapat ilmu dari seorang guru yang membolehkannya membunuh, tapi ibu hamil jangan! Tapi, petuah itu telah dilanggar Guru Saman. Kesudahannya, Guru Saman berhasil ditangkap komandan intel. Lalu, ya, dihukum gantung…
Ompu Gabe bergelimang peluh. Ia sibuk memompa napas ke dada. Sesekali, Ompu Gabe membidikkan pandangan ke jantung panggung. Hujan cahaya. Tortor Sawan, selingan sekaligus bagian pertunjukan sedang berlangsung. Para penari bersimbah aksi. Musik bertabur, saling menyalip. Suara taganing berkulitak-dung, bunyi garantung bergedatuk-tang. Meski masih berada di luar panggung—wing kanan, Ompu Gabe turut dirasuk musik. Tapi ia masih harus kembali ke panggung. Adegan penangkapan Guru Saman menunggunya.
“Lihat, aku masih bermain mantap. Tapi di mana kau…?” Ompu Gabe bergumam. Dari tadi, dalam kekhusyukan berlakon, sungguh, sepasang mata Ompu Gabe begitu telaten mengedar pandangan ke barisan penonton. Tempias cahaya panggung memang samar, tapi cukuplah untuk menyenter wajah hadirin di barisan depan. “Biasanya kau duduk di depan itu…” Namun ia tidak menemukan sosok yang diharapkannya. Ia pastikan berkali-kali. Hasilnya serupa, “Mmh, kau tidak datang…?” bisiknya ke telinga sendiri. Harapannya terjungkal!
Adegan penghujung lakon Guru Saman tetap berlanjut. Ompu Gabe sedang  tertunduk ditodong tiang gantungan. Ia tegak ditopang bangku kayu. Alunan sarune menyayat, sesaat. Lantas, setelah pembacaan pledoi hukuman, adegan eksekusi pun dimulai. Lengkung tali dikalungkan ke leher Guru Saman. Algojo eksekusi bersiap menebas bangku tumpuan Guru Saman berdiri. Lampu panggung pun seketika padam diiringi jerembab bangku dan bunyi derak tali. Nyawa Guru Saman tamat. Lantas tetabuhan meletup, susul-menyusul. Suara sarune meliuk, mengoyak.
Penonton bertepuk merayakan akhir pertunjukan. Riuh sorak-sorai. Tak ada yang tahu ajal sudah tercerabut dari mulut yang berceracau:
“Ah, di mana kau, Teresia? Di mana? Mampuslah…!”

Medan, Bulan Puasa 2007













CERITA YANG TAK SELESAI

  Orang-orang telah berkumpul menyambut malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Bagas Godang semakin sesak. Alaman Bolak terasa menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang Sambilan membahana. Sembilan buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat dari kayu dan kulit lembu. Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh gendang paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama. Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya tak pernah sumbang. Berbeda dengan Onang-onang.
   Di Sopo Godang para petinggi kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria. Aku ada diantara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain warna merah pada keempat sisinya. Dalam bahasa adat , ini disebut amak lampisan.
   “Ambilkan Pangupa!” perintah bayo datu. Seseorang datang menating nyiru. Kepala kerbau diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi menating piring besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat Tonunan Patani.
   Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap bayo datu memulai acara mangupa.
   Seseorang memutar-mutarkan nyiru di atas kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa tersebut. Juga dibacakan beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan. Menurut adat, seseorang yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
   Setelah itu aku disuapi dengan makanan yang berada di Pinggan Pasu. Dicicipi satu persatu. Bayo datu menjelaskan maksud dari setiap jenis makanan. Prosesi berlangsung alot. Juga sakral.            
    “Nanti malam kau ikut Umak manortor, Amang!” ujar Umak beberapa waktu yang lalu. Aku masih kelas lima esde. Dan Amang sudah lama meninggal, sebulan setelah aku dilahirkan. 
    “Manortor? Apa itu manortor’ Umak?” Umak tersenyum.
    “Manortor itu yang begini, Amang’” Umak melakukan beberapa gerakan, yang masih asing bagiku.
   “Oh, menari, Umak?” Umak kembali tersenyum. Dia menarikku, lalu menyuruhku duduk di kursi kayu yang dibuat Amang dari bamboo.
   “Manortor, ya, manortor, Amang,” Umak membelai rambutku pelan.” Tapi kalau kau bilang menari boleh juga. Bedanya manortor tidak seperti menari biasa. Kalau menari hanya sebagai hiburan’ Manortor itu sudah termasuk dalam adat istiadat kita. Dan nanti semuanya harus menari, tanpa terkecuali.”
   “Aku laki-laki’ Umak. Aku tak pandai menari.”
   “Ingat ! Tanpa terkecuali.” Aku masih kebingungan, Umak hanya tersenyum mengambang.
   “Nanti juga kau akan paham, Amang.” Gordang kian ramai dipalu. Hentakannya terdengar bertalu-talu. Jari-jemari terus digerakkan sesuai irama. Begitu juga dengan kaki dan tangan. Gerakan laki-laki dan perempuan ada sedikit perbedaan. Gerakan jari-jemari diluruskan seperti menjepit sesuatu secara serentak. Gerakkan perempuan terasa lebih gemulai. Sementara yang laki-laki terkesan lebih gagah.
   “Manortor itu untuk apa, Umak?”
   “Ya, untuk acara-acara tertentu, Menyambut tamu, mengantar bagi yang berpergian  ke tempat yang jauh atau ajang mencari jodoh.” Suasana sore begitu kontras dengan hamparan sawah depan rumah. Umak berbicara padaku panjang lebar, bercerita tentang apa saja. Termasuk cerita tentang tanah leluhur ini. Selalu menarik dan memancing rasa ingin tahu. Angin yang berhembus selalu menghadirkan ketenangan dan rasa damai.
   Cerita Umak semakin melebar kemana-mana. Tentang Amang yang jadi pengembala kerbau ketika kecilnya. Aku tersentuh membayangkan Amang kecil bersama rombongannya melintasi sore bersama kerbau mereka. Alangkah bahagianya, merasakan kegembiraan bersama matahari yang perlahan menuju peraduan di tengah-tengah hamparan sawah yang begitu luas.
   Sambil mendengarkan cerita Umak, aku teringat kembali kisah Umak yang sempat ia beberkan padaku, beberapa waktu yang lalu. Aku berpikir apakah aku akan sampai pada kisah seperti ini.
                                                                ***
    Umak terduduk, memeluk kedua borunya. Suasana yang tenang dan damai itupun berubah menjadi lautan air mata, ketika Masniari mengingatkan kembali bagaimana awal mula rumah tangga yang damai itu dipertahankan. Suasana tegang sedikit mencair melihat si kecil halomoan yang bermain-main, mengoceh tak tentu arah.
   Masniari tersadar. Masa lalu itu selalu menghantui pikirannya. Ia lalu duduk di atas sofa empuk sambil memandangi kedua buah hatinya yang juga sedang bermain-main. Dering telepon kembali menghantam lamunan Masniari. Hatinya berdebar. Tangannya tergetar. Suara di telepon yang begitu dirinduinya, lantang bersuara.
   “Inang, dua poken nai anggimu giot marbagas,’’ terdengar suara umak bahagia. Masniari diharuskan dating menyaksikan acara yang dianggap sakral itu. Apalagi Masniari adalah kakak tertua dari dua bersaudara. Ayah mereka sudah lama tiada sewaktu Masnauli duduk dibangku SD. Tinggallah umak yang membesarkan mereka dengan berjualan toge (makanan khas panyabungan). Sambil membantu umak berjualan Masniari kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta di Padangsidempuan. Disanalah ia mengenal seorang yang telah menjadi ayah dari anaknya kini.
   Dua minggu kemudian Masniari dan keluarganya pulang ke kampung. Acara pernikahan dengan adat yang cukup sakral dilaksanakan, dengan petuah-petuah yang sakral pula (Markobar). Di tengah keramaian suasana itu yang dihadiri seluruh keluarga  dan snak famili Masniari terhempas dalam gelombang yang meluluhlantakkan hatinya, diantara kegembiran yang tergambar diwajah semua orang Masniari teringat akan masa lalunya yang menghantam keras perasaannya. Pertemuan dengan Parlindungan yang ditentang keras oleh umak.sulit rasanya umak melupakan bagaimana perlakuan orangtua Parlindungan yang terkenal sitoke beras pada saat Masniari masih berumur satu tahun.
   Ayah  Masniari yang waktu itu hanya sebagai buruh angkut di pabrik orangtua Parlindungan membutuhkan pertolongan pinjaman uang disaat keluarga terhimpit untuk biaya berobat Masniari yang sakit muntaber.ditolak oleh umak si Parlindungan dengan alas an beribu alasan. Umak hanya memendam itu dalam hatinya tanpa diketahui oleh anak-anaknya agar tidak terbawa dendam oleh mereka, cukup hanya dia yang merasakannya. Bagai disambar petir umak mendengar pengakuan Masniari bahwa ia ingin menikah dengan parlindungan. “umak’ bang Parlindungan giot (mau) manyapai au mak (melamar aku mak) Masniari mengutarakan maksud mereka pada umak.lama umak terdiam hanya memendangi wajah cantik anaknya dan dengan bijak sambil menahan semua perasaan umak menyabarkan Masniari agar memikirkan lagi maksudnya. “inang(nak) nape do sidung sikolahmu (belum siap lagi sekolahmu),” itu alasan yang diberikan umak agar Masniari tidak memikirkan itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan Masniari tetap pada pendiriannya ingin menikah dengan Parlindungan karena mereka sudah siap berumahtangga apalagi kuliah mereka sudah selesai. Masniari kembali menyampaikan maksud berdua pada umak. Tetapi masih sama dengan yang lalu-lalu beribu alasan yang dilontarkan umak. Pada akhirnya Parlindungan memberanikan diri langsung datang menghadap umak Masniari. Suasana hening dan senyap saat Parlindungan membuka pembicaraan “umak madung leleng au mardongan dohot Masniari (mak sudah lama aku berteman dengan Masniari) jadi maksudku mau melamar boruni umak (anak perempuan umak).” Parlindungan langsung menyatakan maksud kepada umak. Umak hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Lama mereka menunggu jawaban olo (iya) dari mulut umak. Sambil bersimpuh dikaki umaknya sambil memohon tak ada satu katapun yang terlontar dari mulut umak. Hanya air mata yang jatuh membanjiri pipi tua umak.”mak bolehksn mak,” Masniari terus memohon ,” mak bolehkan umak jawablah mak,” Masniari terus memohon. Sesak terasa hati Masniari berlinang air mata membanjiri kelopak matanya mendengar jawaban umak. “inda (tidak) tidak akan pernah kubolehkan anakku marbagas (berumahtangga) dengan anaknya si raja toke beras itu. Inda inang(tidak nak),” umak menangis sambil berteriak histeris. Masniari tertunduk air matanya berlinang tak terbendung lagi. Hancur sudah harapan mereka berdua untuk mendapatkan restu dari umak. Parlindungan pulang dengan hati yang hancur. Masniari terus menangis sambil bertanya ,”kenapa mak, kenapa? Pertanyaan yang tidak ada jawabannya hanya berkecamuk di dalam hati yang paling dalam. Mulai saat itu Masniari menjadi gadis yang pendiam dan tertutup.
   Dua  insan yang berlainan jenis itu tetap bertekad untuk mewujudkan cinta mereka, melanjutkan hubungan mereka meskipun tanpa restu dari orang yang sangat dicintai. Marlojong (kawin lari) itu salah satu pilihan yang mereka tempuh sebagai bukti kekuatan cinta mereka.   Di antara galau hati umak memikirkan anak sulungnya yang membuat hancur hatinya, Masniari menikmati kebahagiaan bersama suaminya, walaupun bayangan umak selalu hadir di saat Masniari mulai merasakan adanya gerakan lembut buah cinta mereka dalam perutnya. Masniari selalu berkata pada suaminya.
   “Bang alangkah enaknya kalau umak mau melihat keadaan kita ya, Bang?”
   “Sudahlah, Niar. Tidak usah berpikir yang macam-macam,”suaminya menarik napas panjang,”Mudah-mudahan anak kita yang bakal lahir ini bisa membuat hati opungnya lembut dan mau menerima kita.”
   “Mudah-mudahan, Bang.” Masniari menyambut lembut.
   Masniari masih terduduk di atas sofa. Pandangannya menatap tajam ke arah telepon yang ada di hadapannya. Menunggu-merindu. Mak, ini cucu umak akan lahir. Datanglah, Mak. Aku rindu,gumamnya. Tangannya mengelus lembut perut yang semakin membesar saja.
   Hari ini Parlindungan terlihat menikmati suasana santai di rumah dengan menonton acara televisi. Memang ini sudah kebiasaan rutinnya selama menunggu kelahiran si kecil, pada hari Minggu. Sementara Masniari masih disibuki dengan kegiatannya mengurusi popok bayi yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari sebelumnya. Tiba-tiba Masniari seperti menahan rasa sakit yang tak tertahankan.
   “Bang, aduh cepat. Sakit…”
   Parlindungan, suaminya bergegas. Ada perasaan gembira sekaligus cemas. Dia merasa tanda-tanda kelahiran sudah mulai tiba. Merekapun bergegas ke rumah sakit“Bang, aku ingin menelepon Umak,”ujar Masniari seketika,”Tolong, Bang. Hubungi Umak. Aku ingin bicara sekaligus meminta maaf.”
   Parlindungan segera memberikan HP. Masniari bicara tanpa jeda. Panjang lebar mengusung kata-kata. Umak diseberang sana hanya mendengar tanpa kehadiran sepotong suara, begitupun Masniari sudah merasa sangat puas..
   Detik berikutnya Parlindungan sudah berteriak kegirangan. Tepatnya setelah sejam pembicaraan Masniari dengan Umak berlangsung.
   “Wah, laki-laki, Niar,” bisik Parlindungan girang ke telinga Masniari,Istrinya,”Namanya Halomoan. Ya, Halomoan.”
    Parlindungan sengaja memberi nama anaknya dengan nama almarhum mertuanya. Ayah Masniari. Sosok lelaki yang kebapakan, yang sangat dicintai dan dikagumi Masniari sejak dari kecil. Memiliki tanggung jawab dan sayang pada keluarga.   Sesuai dengan perjalanan waktu, Halaomoan kecilpun mulai sudah memahami pengaruh yang didapat. Masniari selalu mengirim foto Halomoan untuk Umak di kampung. Dengan harapan Umak mau melihat pahopu (cucunya).”
   Bel berbunyi. Masniari bergegas. Di depan pintu tukang Pos berdiri di depan pintu sambil menyerahkan paket yang bertuliskan namanya Masniari.
   “Umak…”tanpa sadar Masniari memekik menyambut gembira paket tersebut. Dengan rasa tidak sabar Masniari menggendong Halomoan dan membaringkannya di tempat tidur sambil membuka apa gerangan  isi paket umak ini. Tanpa terasa pipi mulus Masniari basah oleh air mata yang mengalir. Parompa(kain gendong) yang bertuliskan nama Halomoan dan sepucuk surat yang bertuliskan “mulakma hamu inang”(pulanglah kamu nak). Masniari berteriak histeris terimakasih umak. Sambil menggendong Halomoan dengan kain parompa(kain gendong) kiriman umak Masniari berbisik di telinga mungil Halomoan,”ini parompa kiriman opung boru(nenek) nak.

  Alangkah bahagia Masniari tanda restu dari umak yang sudah lama dinanti akhirnya jadi kenyataan. Mulai hari ini lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga mereka. “kak…kak Niar,”Tiba-tiba Masniari dikejutkan dengan suara halus ditelinganya. Masniari tersentak ternyata dihadapannya adiknya Masnauli memeluknya sambil berkata”maafkan aku ya,kak”. “maafkan aku … maafkan aku ya,kak,”Masnauli mengulang perkataannya. “iya anggi(adik) kakak juga minta maaf,” sahut Masniari sambil memeluk erat Masnauli. Umak yang duduk di sebelah Masniari memeluk kedua borunya(anak perempuannya) sambil berkata kepada Masnauli”inang”(nak) pandai-pandailah kau membawa diri di rumah boumu(mertua perempuan).Terimakasih mak… terimakasih tangis bahagia bercampur haru mengiringi langkah kaki Masnauli mengarungi bahtera hidupnya.
   “Umak selalu diberi kesempatan untuk duduk dipunggung kerbau, menikmati sore yang indah,” Umak menarik nafas panjang,” Dan setelah dewasa Umak selempangkan ulos tenunan sendiri melingkari leher Amangmu di acara manortor waktu itu.” Juga di acara semeriah ini. Setelah pembicaraan tentang Umak yang manortor dengan Amang ,tanpa sadar Umak tertidur di kursi bamboo buatan Amang. Sejak itu aku tak tahu Umak berada dimana. Aku baru tahu Umak sudah meninggal dunia, ketika aku duduk dibangku SMA lalu tersadar mengapa Tulang memaksaku untuk tinggal bersamanya di Jakarta.   Sebagai anak tunggal, aku inginmengunjungi pusara Amang dan Umak. Tulang selalu mengajakku jalan-jalan, setiap selasai dari pemakaman. Termasuk menikmati acara Manortor yang selalu diceritakan Umak. Dan malam ini, jelas aku berada disini.
   Orang-orang segera mengenaliku, ketika Tulang mengajakku berkunjung ke tempat para handai taulan. Rasa kagum dan kasihan seperti melebur, membatu. Setelah leleh kami pun pulang ke rumah opung, tempat aku dan Tulang menginap untuk beberapa minggu. Amang bersaudara hanya bertiga. Dua laki-laki, dan satu perempuan. Kami selalu saja berkumpul-kumpul menyambut malam.
   Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Gordang mulai dipalu.  Dalam pikiran dan hatiku yang kian tak menentu.
   Dan sebelum kembali ke kota akupun diupa-upa. Orang-orang telah berkumpul menyambut malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Bagas Godang semakin sesak. Alaman Bolak terasa menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang Sambilan membahana. Sembilan buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat dari kayu dan kulit lembu. Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh gendang paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama. Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya tak pernah sumbang. Berbeda dengan Onang-onang.
   Di Sopo Godang para petinggi kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria. Aku ada diantara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain warna merah pada keempat sisinya. Dalam bahasa adat , ini disebut amak lampisan.
   “Ambilkan Pangupa!” perintah bayo datu. Seseorang datang menating nyiru. Kepala kerbau diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi menating piring besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat Tonunan Patani.   Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap bayo datu memulai acara mangupa.   Seseorang memutar-mutarkan nyiru di atas kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa tersebut. Juga dibacakan beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan. Menurut adat, seseorang yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
   Setelah itu aku disuapi dengan makanan yang berada di Pinggan Pasu. Dicicipi satu persatu. Bayo datu menjelaskan maksud dari setiap jenis makanan. Prosesi berlangsung alot. Juga sakral.

Medan, 007

1. Bagas Godang, rumah adat suku batak mandailing
2. Alaman Bolak, alun-alun
3. Gordang Sambilan, alat musik bersjumlah sembilan gendang dengan ukuran yang        berbeda
4. Onang-onang, lagu bernada lirih tentang romantisme hidup dan kemiskinan
5. Sopo Godang, gedung yang berada di depan Bagas Godang
6. Pangupa, semacam upacara keselamatan-doa selamat
7. Bayo datu, orang yang bertugas meminpin acara ”mangupa”
8. Turupa-upa..., kalimat pembuka dalam acara ”mangupa” 9.

No comments: