Wednesday, 2 March 2016

TELEVISI OH TELEVISI?



TELEVISI OH TELEVISI?
Raudah Jambak

Perkembangan televisi sekarang sangat menarik untuk disikapi. Termasuk acara-acara yang ditawarkan. Walaupun sebagian besar lebih banyak menawar mimpi, tetapi ada sisi lain yang perlu kita pahami. Persoalan-persoalan yang muncul cukup beragam. Rata-rata persoalan dana dan rating penonton. Karena persoalan itu terkadang yang menyebabkan televisi tertentu menjadi tenggelam, bahkan bangkrut dan mati. Digantikan oleh telisi yang lain. Persoalan itu lebih cenderung kepada televisi swasta.
Bagaimana dengan televisi nasional? Tentu rangkaian acara yang ditawarkan termasuk menjadi problem utama selain dana yang tersedia. Apakah itu cerita untuk anak, drama remaja, film, maupun berita, juga acara live yang disuguhkan.
Acara-acara idealis yang dihadirkan, atau acara hiburan yang ditawarkan selalu terganggu dalam teknik pengemasan. Semisal drama, atau sinetron yang dihadirkan.
Tidak heran jika acara yang dianggap sukses dan berhasil di stasiun televisi swasta, menjadi tolok ukur untuk dihadirkan pula di acara dalam stasiun televisi Republik Indonesia. Apresiasi Film, drama komedi, cerita untuk anak, dan pertunjukan acara lainnya.  
Ada dialog yang menarik ketika saya bertandang ke Taman Budaya Sumatera Utara. Menariknya justru ketika saya berbicara dengan seniman-seniman di sana. Taman Budaya yang saya kira angker dan menakutkan itu menjadi sebuah taman yang sebenarnya. Betapa tidak ketika kami berbincang tentang seni pertunjukan. Saya bertanya tentang bagaimana menilai sebuah pertunjukan yang baik dan berhasil? Seniman ini dengan santai menjawab jangan bertanya pada seniman, bertanyalah kepada orang awam.
Kegundahan saya semakin membara, padahal saya datang bertandang untuk menam bah wawasan sekaligus berdiskusi. Apakah saya salah langkah? Atau mungkin salah orang? Juga apakah kedatangan saya ini sia-sia. Ditambah lagi dengan kedatangan beberapa sastra wan yang cukup dikenal secara nasional, diskusi itu semakin menarik dan menggelitik.
Sebenarnya saya merasa alergi bertemu dengan sastrawan Sumatera Utara, karena sudah berkembang dimana-mana image negatifnya. Tetapi, begitu bertemu langsung image negatif itu justru tidak saya jumpai. Mungkin itu hanya oknum, orang-orang tertentu saja. Itulah yang menyebabkan saya pada mulanya alergi untuk bertemu Sastrawan (Taman Budaya). Syukurnya kebulatan tekad untuk menggali ilmu, haus pengetahuan buruk sangka yang selama ini beredar, berhasil saya pendam. Adakah manusia yang suci? Bagi saya yang suci hanya Tuhan. Sok suci? Banyak!
Pernyataan bertanyalah pada orang awam jangan pada seniman, menjadi sebuah cambuk pemikiran buat saya. Apakah sudah sepesimis itukah sastrawan Sumatera Utara? Atau karena tingkat keegoan merasa lebih pintar dan lebih mengetahui dari yang lain, sudah terlalu menjulang? Entahlah.
Bagi saya siapapun adalah tempat bertanya. Ia sebagai penyeimbang. Seni murni tentu tidak sama dengan seni terapan. Artinya, seni murni berada di wilayah idealisme berkarya seorang kreator. Sedangkan seni terapan berada di wilayah masyarakat banyak. Jika seni murni ternyata disukai atau sudah menjadi milik orang banyak, maka ia berada di wilayah seni terapan. Dimana akan ada peniruan-peniruan (terinspirasi) oleh orang lain terhadap karya-karya selanjutnya.
Misalnya saja dalam sebuah film. Film dokumenter tidak akan pernah sama penikmatnya dengan film layar lebar. Film layar lebar sendiri memasuki wilayah yang lain. Contoh, film horor tentu akan memiliki penonton yang berbeda dengan film komedi, dst. Ada wilayah-wilayah yang harus kita pahami secara bijaksana pemahamannnya.
Dalam wilayah fotografi di mana letak perbedaannya? Selain penikmat tentu pesan yang ingin disampaikan. Sabun berbeda pembungkusnya. Baik itu sabun batangan maupun sabun cair. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah adakah sesuatu yang baru di bawah matahari? Tentu kita sepakat mengatakan tidak ada yang baru di bawah matahari. Lantas yang baru? Hm...
Pembicaran saya dengan seniman Taman budaya ini tergelitik ketika sampai kepada pembicaraan mengenai acara-acara yang hadir di televisi. Terutama televisi Republik Indonesia Sumatera Utara. Ada yang mengatakan bahwa TVRI Sumut sudah tidak perduli dengan apa yang ditayangkan selama uang mengalir. Dana lancar.
Pernyataan itu saya bantah ketika saya mengatakan ada juga acara yang menarik semisal Bongak Medan, Pantun 47, Opera Sian Sumatera utara yang sudah memiliki penggemar sendiri-sendiri dan rasanya sayang jika tayang ini tidak dilanjutkan. Opera Sian Sumatera Utara misalnya,   sudah memiliki penonton yang tidak sedikit. Karena sifatnya menghibur, ia diterima oleh semua kalangan. Jika dimasukkan dalam konsep seni ia masuk ke dalam wilayah seniterapan.
Keasyikan saya menyampaikan itu terpotong ketika salah seorang seniman yang tergolong senior mengatakan, bahwa Opera Sian Sumatera Utara meniru Opera Van Java. Diskusi menjadi semakin menarik. Referensi pemahaman ternyata juga sangat dibutuhkan. Tidak hanya sekadar referensi bacaan. Hal itu mengemuka ketika seniman yang lain mengatakan  jangan bertanya pada seniman.
Ego berkarya ternyata juga harus sejalan dengan kebijaksanaan. Bukankah memang tidak ada yang baru di bawah matahari? Sebagai sebuah seni terapan persoalan kreativitas lebih mengacu kepada selera masyarakat. Ada karya idealis, ada juga karya pop. Karya idealis masuk ke dalam wilayah seni murni. Sementara karya pop masuk ke dalam wilayah seni terapan.
Peniruan dalam seni terapan adalah hal yang lumrah. Di setiap peniruan tentu ada nilai lebih dan kurangnya. Seharusnya yang menjadi pembahasan adalah kelebihan-kelebihanyang ditawarkan. Ibaratkan ketika kita berahadapan dengan saudara kembar. Tentu ada ciri khas yang membedakannya.
Naif sekali kiranya jika kita terlalu kaku dan baku dalam menilai sesuatu. Pun, apalagi yang menilai secara kaku dan baku ini dikenal pakar dalam bidangnya. Semakin tinggi puncak karyanya seharusnya semakin arif pemahamannya, bukankah begitu?
Secara pribadi ketika saya menilai penampilan dari awak Opera Sian Sumatera Utara. Mulai dari Samburaga, Nagabotul, Nujum Pak Belang, Abunanas, Madunya (mau tiga), Beranak tak Sudah, dan Pendekar Salah Duduk (yang sempat saya totonton) cukup baik. Artinya, dari sisi permainan pemainnya (yang menghibur) perlu diacung jempol. Pemain tidak hanya sekadar berkomedi ria, tetapi karakter para pemainnya  juga ditonjolkan. Alur cerita mengalir. Terlebih pesannya begitu sarat dengan pesan-pesan kemanusian.
Saya yakin hal ini tentu tidak terlepas dari kerja keras tim kreatif dalam menghadirkan penampilan yang begitu hidup.
Sisi lainnya adalah pancarita memberikan warna yang berbeda, ketika kita melihat dalang OVJ. Termasuk lirik-lirik lagu yang dihadirkan tidak hanya sekadar lagu-lagu yang akrab ditelinga, tetapi ia juga semacam sinopsis atau pengantar masuk ke dalam adegan-adegan yang dihadirkan pemain. Dalam wilayah itu tentu kita tak perlu sungkan untuk mengatakan pertunjukan itu berhasil.
Hanya saja tentunya tidak ada yang sempurna. Setting dekor, tata cahaya, maupun teknik pengambilan gambar, plus sond perlu menjadi perhatian. Dari unsur visual dan audio memang terasa sangat mengganggu, apalagi acara ini sudah cukup diminati banyak penonton. Pun, termasuk salah satu acara yang sangat ditunggu-tunggu. Walaupun penayangannya dua kali seminggu setiap hari Minggu, pukul 15.00 WIB.
Nah, bukankah lebih baik kita memberikan masukan daripada harus langsung antipati. Dalam sebuah bisnis entertain juga tentunya kita harus mengikuti permintaan klient dalam hal ini Produser. Tentunya tetap dalam kreativitas yang membedakannya walau sedikit.
Lantas ketika ada yang menyatakan jangan tanya kepada seniman tanyalah kepada masyarakat, hal itu perlu juga kita tanggapi secara arif.
Apa yang membedakannya? Apa pesan yang ingin disampaikannya? Bagaimana teknik pembungkusnya? Tentu hal itu sudah dipertimbangkan oleh setiap yang terlibat dalam pertunjukan itu, termasuk tim kreatifnya.
Dalam sebuah konsep kreativitas bukankah peniruan selalu dilakukan? Apa cirikhasnya, jelas akan menjadi pembeda di antara karya dianggap sama. Sekali lagi adakah yang baru di bawah matahari?
Walaupun begitu hal ini menjadi tantangan yang tidak ringan untuk televisi Republik Indonesia ke depan. Menjadi media tontonan publik yang cukup diminati tidaklah gampang. Hal itu perlu dukungan dari semua pihak. Tidak hanya pihak televisi saja, tetapi juga pemerintah sebagai payung utama. Sehingga masyarakat akan menjadikan TVRI sebagai media tontonan sekaligus tuntunan yang menarik dan menghibur, dengan membuang jauh-jauh ego pribadi. Bukankah begitu?

*penulis Guru bahasa dan sastra Panca Budi      

No comments: