TELEVISI OH
TELEVISI?
Raudah Jambak
Perkembangan televisi sekarang sangat menarik
untuk disikapi. Termasuk acara-acara yang ditawarkan. Walaupun sebagian besar
lebih banyak menawar mimpi, tetapi ada sisi lain yang perlu kita pahami.
Persoalan-persoalan yang muncul cukup beragam. Rata-rata persoalan dana dan
rating penonton. Karena persoalan itu terkadang yang menyebabkan televisi
tertentu menjadi tenggelam, bahkan bangkrut dan mati. Digantikan oleh telisi
yang lain. Persoalan itu lebih cenderung kepada televisi swasta.
Bagaimana dengan televisi nasional? Tentu
rangkaian acara yang ditawarkan termasuk menjadi problem utama selain dana yang
tersedia. Apakah itu cerita untuk anak, drama remaja, film, maupun berita, juga
acara live yang disuguhkan.
Acara-acara idealis yang dihadirkan, atau acara
hiburan yang ditawarkan selalu terganggu dalam teknik pengemasan. Semisal
drama, atau sinetron yang dihadirkan.
Tidak heran jika acara yang dianggap sukses dan
berhasil di stasiun televisi swasta, menjadi tolok ukur untuk dihadirkan pula
di acara dalam stasiun televisi Republik Indonesia. Apresiasi Film, drama
komedi, cerita untuk anak, dan pertunjukan acara lainnya.
Ada dialog yang menarik ketika saya bertandang ke
Taman Budaya Sumatera Utara. Menariknya justru ketika saya berbicara dengan
seniman-seniman di sana. Taman Budaya yang saya kira angker dan menakutkan itu
menjadi sebuah taman yang sebenarnya. Betapa tidak ketika kami berbincang
tentang seni pertunjukan. Saya bertanya tentang bagaimana menilai sebuah
pertunjukan yang baik dan berhasil? Seniman ini dengan santai menjawab jangan
bertanya pada seniman, bertanyalah kepada orang awam.
Kegundahan saya semakin membara, padahal saya
datang bertandang untuk menam bah wawasan sekaligus berdiskusi. Apakah saya
salah langkah? Atau mungkin salah orang? Juga apakah kedatangan saya ini
sia-sia. Ditambah lagi dengan kedatangan beberapa sastra wan yang cukup dikenal
secara nasional, diskusi itu semakin menarik dan menggelitik.
Sebenarnya saya merasa alergi bertemu dengan
sastrawan Sumatera Utara, karena sudah berkembang dimana-mana image negatifnya.
Tetapi, begitu bertemu langsung image negatif itu justru tidak saya jumpai.
Mungkin itu hanya oknum, orang-orang tertentu saja. Itulah yang menyebabkan
saya pada mulanya alergi untuk bertemu Sastrawan (Taman Budaya). Syukurnya
kebulatan tekad untuk menggali ilmu, haus pengetahuan buruk sangka yang selama
ini beredar, berhasil saya pendam. Adakah manusia yang suci? Bagi saya yang
suci hanya Tuhan. Sok suci? Banyak!
Pernyataan bertanyalah pada orang awam jangan pada
seniman, menjadi sebuah cambuk pemikiran buat saya. Apakah sudah sepesimis
itukah sastrawan Sumatera Utara? Atau karena tingkat keegoan merasa lebih
pintar dan lebih mengetahui dari yang lain, sudah terlalu menjulang? Entahlah.
Bagi saya siapapun adalah tempat bertanya. Ia
sebagai penyeimbang. Seni murni tentu tidak sama dengan seni terapan. Artinya,
seni murni berada di wilayah idealisme berkarya seorang kreator. Sedangkan seni
terapan berada di wilayah masyarakat banyak. Jika seni murni ternyata disukai
atau sudah menjadi milik orang banyak, maka ia berada di wilayah seni terapan.
Dimana akan ada peniruan-peniruan (terinspirasi) oleh orang lain terhadap
karya-karya selanjutnya.
Misalnya saja dalam sebuah film. Film dokumenter
tidak akan pernah sama penikmatnya dengan film layar lebar. Film layar lebar
sendiri memasuki wilayah yang lain. Contoh, film horor tentu akan memiliki
penonton yang berbeda dengan film komedi, dst. Ada wilayah-wilayah yang harus
kita pahami secara bijaksana pemahamannnya.
Dalam wilayah fotografi di mana letak
perbedaannya? Selain penikmat tentu pesan yang ingin disampaikan. Sabun berbeda
pembungkusnya. Baik itu sabun batangan maupun sabun cair. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah adakah sesuatu yang baru di bawah matahari? Tentu kita
sepakat mengatakan tidak ada yang baru di bawah matahari. Lantas yang baru?
Hm...
Pembicaran saya dengan seniman Taman budaya ini
tergelitik ketika sampai kepada pembicaraan mengenai acara-acara yang hadir di
televisi. Terutama televisi Republik Indonesia Sumatera Utara. Ada yang
mengatakan bahwa TVRI Sumut sudah tidak perduli dengan apa yang ditayangkan
selama uang mengalir. Dana lancar.
Pernyataan itu saya bantah ketika saya mengatakan
ada juga acara yang menarik semisal Bongak Medan, Pantun 47, Opera Sian
Sumatera utara yang sudah memiliki penggemar sendiri-sendiri dan rasanya sayang
jika tayang ini tidak dilanjutkan. Opera Sian Sumatera Utara misalnya, sudah memiliki penonton yang tidak sedikit.
Karena sifatnya menghibur, ia diterima oleh semua kalangan. Jika dimasukkan
dalam konsep seni ia masuk ke dalam wilayah seniterapan.
Keasyikan saya menyampaikan itu terpotong ketika
salah seorang seniman yang tergolong senior mengatakan, bahwa Opera Sian
Sumatera Utara meniru Opera Van Java. Diskusi menjadi semakin menarik. Referensi
pemahaman ternyata juga sangat dibutuhkan. Tidak hanya sekadar referensi
bacaan. Hal itu mengemuka ketika seniman yang lain mengatakan jangan bertanya pada seniman.
Ego berkarya ternyata juga harus sejalan dengan
kebijaksanaan. Bukankah memang tidak ada yang baru di bawah matahari? Sebagai
sebuah seni terapan persoalan kreativitas lebih mengacu kepada selera
masyarakat. Ada karya idealis, ada juga karya pop. Karya idealis masuk ke dalam
wilayah seni murni. Sementara karya pop masuk ke dalam wilayah seni terapan.
Peniruan dalam seni terapan adalah hal yang
lumrah. Di setiap peniruan tentu ada nilai lebih dan kurangnya. Seharusnya yang
menjadi pembahasan adalah kelebihan-kelebihanyang ditawarkan. Ibaratkan ketika
kita berahadapan dengan saudara kembar. Tentu ada ciri khas yang membedakannya.
Naif sekali kiranya jika kita terlalu kaku dan
baku dalam menilai sesuatu. Pun, apalagi yang menilai secara kaku dan baku ini
dikenal pakar dalam bidangnya. Semakin tinggi puncak karyanya seharusnya
semakin arif pemahamannya, bukankah begitu?
Secara pribadi ketika saya menilai penampilan dari
awak Opera Sian Sumatera Utara. Mulai dari Samburaga, Nagabotul, Nujum Pak
Belang, Abunanas, Madunya (mau tiga), Beranak tak Sudah, dan Pendekar Salah
Duduk (yang sempat saya totonton) cukup baik. Artinya, dari sisi permainan
pemainnya (yang menghibur) perlu diacung jempol. Pemain tidak hanya sekadar
berkomedi ria, tetapi karakter para pemainnya
juga ditonjolkan. Alur cerita mengalir. Terlebih pesannya begitu sarat
dengan pesan-pesan kemanusian.
Saya yakin hal ini tentu tidak terlepas dari kerja
keras tim kreatif dalam menghadirkan penampilan yang begitu hidup.
Sisi lainnya adalah pancarita memberikan warna
yang berbeda, ketika kita melihat dalang OVJ. Termasuk lirik-lirik lagu yang
dihadirkan tidak hanya sekadar lagu-lagu yang akrab ditelinga, tetapi ia juga
semacam sinopsis atau pengantar masuk ke dalam adegan-adegan yang dihadirkan
pemain. Dalam wilayah itu tentu kita tak perlu sungkan untuk mengatakan
pertunjukan itu berhasil.
Hanya saja tentunya tidak ada yang sempurna. Setting
dekor, tata cahaya, maupun teknik pengambilan gambar, plus sond perlu menjadi
perhatian. Dari unsur visual dan audio memang terasa sangat mengganggu, apalagi
acara ini sudah cukup diminati banyak penonton. Pun, termasuk salah satu acara
yang sangat ditunggu-tunggu. Walaupun penayangannya dua kali seminggu setiap
hari Minggu, pukul 15.00 WIB.
Nah, bukankah lebih baik kita memberikan masukan
daripada harus langsung antipati. Dalam sebuah bisnis entertain juga tentunya
kita harus mengikuti permintaan klient dalam hal ini Produser. Tentunya tetap
dalam kreativitas yang membedakannya walau sedikit.
Lantas ketika ada yang menyatakan jangan tanya
kepada seniman tanyalah kepada masyarakat, hal itu perlu juga kita tanggapi
secara arif.
Apa yang membedakannya? Apa pesan yang ingin
disampaikannya? Bagaimana teknik pembungkusnya? Tentu hal itu sudah
dipertimbangkan oleh setiap yang terlibat dalam pertunjukan itu, termasuk tim
kreatifnya.
Dalam sebuah konsep kreativitas bukankah peniruan
selalu dilakukan? Apa cirikhasnya, jelas akan menjadi pembeda di antara karya
dianggap sama. Sekali lagi adakah yang baru di bawah matahari?
Walaupun begitu hal ini menjadi tantangan yang
tidak ringan untuk televisi Republik Indonesia ke depan. Menjadi media tontonan
publik yang cukup diminati tidaklah gampang. Hal itu perlu dukungan dari semua
pihak. Tidak hanya pihak televisi saja, tetapi juga pemerintah sebagai payung
utama. Sehingga masyarakat akan menjadikan TVRI sebagai media tontonan
sekaligus tuntunan yang menarik dan menghibur, dengan membuang jauh-jauh ego
pribadi. Bukankah begitu?
*penulis Guru bahasa dan sastra Panca Budi
No comments:
Post a Comment