Wednesday, 2 March 2016

ANAK DAN ORIENTASI SISWA



First day at school boleh jadi jadi momen yang tak terlupakan. Terutama bagi pelajar SMP, SMA, dan Mahasiswa tentunya. Yup, lantaran mereka kudu rela paksa ‘menikmati’ suka-duka masa orientasi siswa alias MOS yang udah jadi agenda rutin lembaga pendidikan formal setiap tahunnya. Kalo ditingkat perguruan tinggi, umumnya dikenal dengan Orientasi Studi dan Perkenalan Kampus alias OSPEK.
Seandainya MOS diisi dengan acara biasa-biasa aja, tentu pelajar baru nggak perlu was-was bin H2C. Kenyataannya, selalu ada yang luar biasa dalam setiap MOS. Dari tahun ke tahun, dari sekolah ke sekolah, MOS selalu punya ciri khas masing-masing. Yang pasti, MOS berbanding lurus dengan tugas-tugas ‘aneh bin ajaib’ yang bikin repot keluarga, bahkan warga sekampung (kayak mo kawinan aja!)
Kalo nggak bikin repot, bukan MOS namanya. Inilah yang adakalanya bikin sewot keluarga, terutama orangtua. Bayangin aja, saat pulang sekolah menjelang maghrib di hari pertama MOS, nggak ada wajah ceria bin riang gembira terlukis di wajah anaknya. Yang ada, wajah kusut, panik, bingung, dan sedikit ketakutan. Semuanya terjawab saat sang anak menyodorkan daftar tugas yang mesti kelar besok sebelum jam 6 pagi. Yang bikin parah, tugas yang diberikan panitia, instruksinya juga nggak jelas, penuh teka-teki, dan memungkinkan salah tafsir. Seperti misalnya disuruh nyari tip-ex warna biru atau sendal bakiak jepang yang nggak pake karet. Malam-malam gini? Nah lho! (kesurupan kali yee?)
     
Sekadar having fun
Kegiatan orientasi siswa emang punya acara berbeda tiap sekolah atau kampus. Tapi secara umum, kegiatan MOS dimaksudkan untuk mengenalkan siswa baru pada lingkungan sekolahnya. Terutama sistem pendidikannya, aturan administrasi sekolah, metode belajar, ekstra kurikuler yang bisa diikuti, staf pengajar, hingga perkenalan dengan kakak kelas dan senior mereka. Selain acara wajib di atas, MOS juga selalu disusupi acara tambahan yang seru dan adakalanya gokil biar suasana masa orientasi nggak monoton. Untuk urusan ini, pantia tahu yang mereka mau.
Acara tambahan biasanya dimaksudkan untuk ngelatih mental dan disiplin siswa baru. Siswa baru kudu siap dan berani malu berdandan ‘unix’ dengan membawa tugas yang ‘aneh bin ajaib’. Sialnya, bukan tanpa hukuman kalo mereka lupa atau salah bawa tugas dari panitia. Mereka bisa dikerjain abis-abisan. Disuruh nyari wafer coklat yang gambar catwomen-lah, nyari pulpen dengan tinta putih, atau ngumpulin 27 semut yang terdiri dari 10 pasangan suami-istri dan 7 anaknya. Nah lho, puyeng-puyeng dah!
Nggak heran kalo bagi panitia dan kakak kelas, MOS menjadi ajang senang-senang. Kapan lagi bisa ngecengin adik kelas yang cakep. Kapan lagi bisa ngerjain adik kelas yang tengil. Kapan lagi bisa ngeliat pelajar yang berdandan dan bertingkah laku kayak badut sirkus. Dan kapan lagi bisa sok kuasa biar ditakuti serta kapan lagi bisa sok pahlawan untuk menarik simpati. Ya, kapan lagi....

Ada juga bumbu kekerasannya
Memang nggak se-ekstrim yang pernah terjadi di sebuah institusi pencetak birokrat di Bandung, tapi bumbu kekerasan dalam masa orientasi sekolah tetep aja kerasa. Meski nggak di setiap sekolah. Saat MOS, biasanya hubungan panitia sebagai senior dan siswa baru yang berstatus junior nggak jauh beda kayak atasan dan bawahan. Dengan waktu yang terbatas, panitia kudu berimprovisasi di sela-sela kegiatan wajib MOS untuk melatih mental dan disiplin siswa baru. Konsekuensinya, junior nggak punya pilihan untuk menolak permintaan panitia kalo pengen selamat. Nah lho!
Kerja panitia tentu lebih ringan kalo saja juniornya mudah diajak kerjasama. Sayangnya, dengan beragam latar belakang dan karakter, jangankan dengan panitia, sesama juniornya aja masih napsi-napsi. Kalo udah gini, panitia kudu narik urat leher berkali-kali untuk meminta kerjasama mereka. Kondisi ini yang seringkali melahirkan fenomena bullying alias tindakan sewenang-wenang senior kepada junior (murid baru) saat MOS. Baik secara mental maupun fisik. Hati-hati ah!
Secara mental, bullying biasanya mulai nongol saat panitia keabisan cara bijak bin santun untuk mengarahkan juniornya. Walhasil, kata-kata cacian, makian, dan daftar absen penghuni kebon binatang berhamburan tak terkendali. Harapannya sih, junior jadi takut dan under pressure biar lebih mudah diajak kerjasama. Padahal kenyataannya, bisa jadi junior malah depresi, menutup diri serta lebih mikirin diri sendiri, boro-boro kepikiran untuk kerjasama. Yang penting nyari selamet. Waduh!
Secara fisik, ini mah udah bukan lagi kata-kata yang keluar, tapi bisa bogem mentah atau tendangan tanpa bayangan yang unjuk gigi. Kondisi ini sangat mungkin terjadi, jika panita ketemu junior yang ngeyel dan bergengsi tinggi. Junior yang dengan sengaja nggak bawa ‘properti’ pesanan panitia. Atau junior yang tingkah lakunya dianggap melecehkan wibawa senior di hadapan junior yang lain. Udah mah panitia capek-capek ngorbanin waktu, tenaga, dan pikiran, untuk siapkan MOS, eh juniornya malah berbuat seenaknya. Gimana nggak esmosi coba?
Kekerasan saat MOS emang susah dikikis kalo ego dan emosi antara senior dan junior udah ikutan main. Apalagi usia SMA dan mahasiswa yang emosinya mudah terpancing saat dirinya tersinggung, dilecehkan, diledek, atau dipermainkan. Buntutnya, kekerasan fisik saat MOS bisa menyulut konflik yang lebih besar antara senior dan junior. Berabe kalo udah gini mah. Makanya mesti ada yang dibenahi agar hubungan senior dan junior tetep harmonis, nggak cuma saat MOS. Setuju?

Senior-Junior, tetep akur
Sobat, nggak enak rasanya kita pake status senior atau junior. Kesannya pembedaan kelas gitu. Khawatir yang senior ngerasa paling berkuasa dan yang junior kebagian jadi objek penderita. Apalagi di hadapan Allah, semua punya kedudukan sama. Yang bedain hanya ketakwaan dan keilmuan masing-masing aja. Nggak diliat siapa yang duluan sekolah, yang duluan ikut ngaji, atau yang duluan aktif dakwah. Meski boleh jadi yang duluan, kaya akan pengalaman dan ilmu. Tapi tetep, nggak membenarkan adanya diskriminasi terhadap yang lebih muda. Karena itu, kita pake sebutan senior-junior semata-mata untuk ngebedain yang duluan masuk sekolah. Nggak ada maksud lain. Setuju?
Untuk hubungan antara yang senior dan junior sendiri, Rasul udah ngingetin kita dalam sabdanya: “Barangsiapa yang tidak menyayangi anak-anak muda dan tidak mengetahui hak (dalam riwayat yang lain: tidak menghormati) orang-orang dewasa, maka ia bukanlah golongan kami.” (HR Abu Dawud)
Kita bisa meneladani keseharian Rasul ketika berhadapan dengan yang tua atau saat membimbing yang lebih muda. Beliau sangat menghormati sahabatnya yang lebih tua dan memerintahkan umatnya agar menempatkan para senior lebih dahulu dibanding yunior. Sabda beliau, “Sesungguhnya termasuk dalam mengagungkan Allah adalah memuliakan orang-orang tua...” (HR Abu Dawud).
Tapi bukan berarti membenarkan yang lebih tua untuk menyombongkan diri dan membangga-banggakan keseniorannya. Nggak ada alasan yang membolehkan kita bersikap angkuh bin tinggi hati. Allah Swt. berfirman:
فَلاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (di antaramu). (QS an-Najm [53]: 32)
Beliau pun tak memandang sebelah mata kepada yang lebih muda. Sebagaimana perkataan sahabat abu Said al-Khudhriy r.a.: “Ketika masa Nabi saw. aku masih remaja, dan aku banyak menghafal perkataan beliau saw., tidak ada yang menghalangiku untuk banyak menceritakan hadits beliau saw. ketika itu kecuali karena pada saat itu masih banyak para sahabat yang lebih senior dari aku.” Bahkan Usamah bin Zaid yang baru berusia 17 tahun pernah ditunjuk untuk memimpin para shahabat senior seperti Abu Bakar dan Umar sebagai komandan pasukan kaum Muslim menghadapi pasukan Romawi.
Nah sobat, indah banget kan kalo hubungan antara senior dan junior dilandasi persaudaraan dan kasih sayang seperti dicontohkan Rasulullah saw.? Nggak ada rasa ingin menjatuhkan atau meremehkan satu sama lain. Apalagi sampe melahirkan fanatisme terhadap angkatannya. Nggak banget dah!

Merajut ukhuwah, meraih berkah
Masa orientasi sekolah merupakan ajang yang pas bagi kita untuk menjalin pertemanan, bukan nambah musuh. Karena itu, nggak ada salahnya kalo kita modifikasi MOS menjadi lebih asyik, antisakit hati, dan penuh berkah. Nggak datar, garing, sekadar having fun, atawa dibumbui kekerasan. Artinya, selain materi-materi wajib dari sekolah, kita sisipkan juga games-games seru yang merekatkan hubungan antar siswa baru maupun dengan kakak kelas. Lebih bagus lagi kalo kita masukkan juga materi berupa motivasi dan dorongan untuk melecutkan semangat pada siswa baru dalam menuntut ilmu dan berprestasi. Ditambah pembinaan akhlak dengan ajaran Islam biar tahu gimana harusnya bersikap yang baik dan benar.
Sekadar catatan untuk para senior, kalo pengen dihargai dan dihormati oleh junior, ada baiknya kita pun kudu mau menghormati dan menghargai mereka. Rasa hormat itu lebih ngejoss kalo lahir dari perasaan hati yang ikhlas, bukan hasil dari tekanan mental atau sok kuasa kita kepada junior. Bikin deh junior pede dan nyaman jika berteman dengan senior. Tetap berwibawa di hadapan junior saat membina mereka, tapi jangan pasang muka serem or sadis. Biasa aja lagi.
Dan nggak usah berlindung di balik pembinaan mental dan melatih disiplin untuk membenarkan kekerasan. Jika kita mengharapkan rasa simpati junior pada kakak kelas, staf pengajar, atau aturan sekolah, jangan bikin mereka antipati dan menyimpan dendam. Karena junior juga manusia, punya hati punya rasa. Udah nggak jamannya MOS dijadikan ajang bullying alias tindakan sewenang-wenang senior kepada junior. Apalagi sampe jadi mata rantai yang terus berulang setiap tahun sebagai bentuk balas dendam. Sebaliknya, jadikan junior sebagai mitra dan teman seperjuangan meski beda usia. Bahkan seharusnya senior menjadi kakak yang baik buat adik-adiknya yang berstatus murid baru. Jangan ada gap atau dendam antara junior dan senior.
Oya, khusus di rohis nih, tentu wajib nyontohin dan bimbing junior dengan metode pembinaan Islam. Lemah-lembut tapi tidak longgar. Ketat dan tegas tapi tidak membuat stres. Disiplin tapi tetap enjoy bagi yang diajarin. Eh, yang pasti kita kasih gambaran bagaimana Islam mengatur perilaku kita agar lebih mulia sebagai manusia. Mari, kita jadikan MOS sebagai sarana untuk merajut ukhuwah dan meraih berkah. Bukan menambah masalah dan mencari musuh. Yup, inilah MOS wanted! Setuju? 

No comments: