Monday 22 February 2016

Bantaran Sungai Cerpen : M.Raudah Jambak



Bantaran Sungai
                                                                                    Cerpen : M.Raudah Jambak
 
     Aroma bau itu menebar, searah dengan hembusan angin ketika matahari tepat di atas kepala. Menebar bersama  derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jem-batan, terus sampai menghilang di ujung kelokan.
     Gjebuuur…….
     Aaakh……….
     Suara benda berat yang jatuh menembus permukaan sungai yang masih menyisakan aroma bau yang menusuk hidung. Lalu-lalang kendaraan bermotor  yang melintasi atas jembatan siang itu nyaris tak sempat menyisakan  kesaksian atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dan kisah itu tidak akan pernah terekam dalam ingatan jika saja seorang pemulung tua tidak  berteriak minta pertolongan.
     Seperti biasanya Opung, si pemulung tua itu, hendak buang air besar persis di ba-wah jembatan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan tidak ada orang yang mengintipnya. Paling tidak beberapa orang anak kecil yang suka usil melemparinya dengan batu kerikil di saat dia menuntaskan hasratnya, tidak sembunyi-sembunyi menanti kesempatan itu.
     Pelan-pelan Opung berjongkok, ketika suasana dianggapnya sudah aman. Matanya masih mencari-cari, mengawasi sekitarnya. Di saat itulah matanya tertuju kepada seorang perempuan muda yang berdiri hendak terjun ke sungai. Opung hanya merasa heran ketika perempuan itu berteriak dan menangis tidak jelas. Dia menangkap gela-gat yang aneh. Segera saja niat yang hendak disalurkan tadi dihentikannya. Dia segera berdiri, hendak menghardik perempuan itu. Tapi, terlambat, perempuan itu sudah ter-lebih dahulu melompat. Dan tubuh itu tidak juga muncul ke permukaan. Kontan saja pemulung tua itu panik. Dia berteriak sekuat-kuatnya.
     “Tolong…! Ada yang jatuh ke sungai…!”
     Berkali-kali pemulung tua itu berteriak. Suaranya dihantam deru knalpot yang mem buru, bunyi aliran sungai, dan aroma yang dihembus angin. Akhirnya , seorang pemu-lung muda turun ke sungai. Pemulung muda itu pulalah yang menjawab kesaksian itu dengan berlari cepat menuju sungai, setelah mendengar suara parau Opung yang diba wa angin ke gendang  telinganya. Diikuti beberapa orang temannya yang menyusul ke mudian. Juga bebrapa pengamen jalanan yang tidak sengaja melintas di atas jembatan. Begitu juga dengan penjual rokok dan beberapa orang pejalan kaki.
     Kontan saja dalam waktu singkat areal jembatan dan aliran sungai menjadi ramai dengan pengendara sepeda motor yang berhenti hanya sekedar menyaksikan peristiwa yang gratisan itu. Termasuk para pegawai sebuah plaza yang berdiri tak jauh dari sungai, melihat kerumunan orang banyak . Jalanan macet total. Polisi kemudian sibuk lalulalang pula menyelesaikan persoalan.
     Di bawah jembatan, sepanjang aliran sungai beberapa orang telah masuk menyisir sepanjang aliran, seputar jatuhnya sosok tubuh perempuan muda yang menembus permukaan sungai. Aroma yang menyengat sepanjang tumpukan sampah dan warna permukaan sungai yang coklat kehitam-hitaman serta agak berlumpur itu, apalagi disaat musim hujan turun, tidak lagi menjadi halangan.
     Harapan ternyata tetaplah selalu ada. Beberapa orang masih memiliki nurani. Mere ka tidak memperdulikan lagi aroma yang “mewangi”, terus melakukan pencarian. Di antara mereka masih sempat melihat tangan yang timbul tenggelam itu, seperti meng gapai-gapai.
     “Ini dia! Telah kudapatkan!”
     Seorang pemulung muda menarik pelan-pelan sosok tubuh perempuan yang sudah terlihat tidak berdaya itu ke bantaran sungai, mungkin lebih tepatnya parit besar yang penuh dengan tumpukan sampah dan warna permukaan yang sudah tidak jernih lagi, mencari tempat yang agak teduh, di bawah jembatan.
     Demi melihat itu, orang-orang yang berkumpul penuh sesak itu segera meninggal kan tempat itu, termasuk Polisi yang menganggap situasi sudah terkendali. Ada yang mengelus dada. Ada yang menggelengkan kepala. Ada yang senyum-senyum sendiri. Dan ada pula yang setengah gila, tertawa-tawa sendiri. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran orang-orang itu. Pastinya tinggal beberapa orang yang masih perduli, mengitari ,Tiur, perempuan muda yang mencoba bunuh diri itu. Dia masih belum bicara setelah mengeluarkan air sungai yang sempat tertelan itu.
     “Bagaimana dia?” si Pemulung tua itudatang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Beberapa orang pengamen jalanan menyingkir memberi ruang.
     “Tunggu saja, Opung. Sebentar lagi dia pasti sadar!” seorang penjual rokok, yang biasa mangkal di seputaran Deli Plaza, yang ikut terjun menolong, memberi penjelas an, tetapi si pemulung muda itu segera menukasnya:“…dia sudah sadar, Pung! Hanya saja badannya masih lemas. Tadi dia berusaha un tuk bertahan hidup. Dia ternyata masih punya keinginan untuk hidup, masih punya ha rapan, seperti harapan orang-orang yang hidup di sepanjang aliran sungai yang meng hitam ini. Setahuku sudah yang ke sekian kalinya si Tiur melakukan ini. Terutama se belum Opung bergabung dengan kami. Entah apa penyebabnya, setiap aroma yang me nusuk hidung itu terasa begitu menyengat, detik berikutnya dia muntah-muntah dan tidak berapa lama setelahnya, Tiur menerjunkan dirinya ke sungai. Saat itu matahari tepat di atas kepala. Dan kejadian ini lebih parah dari sebelumnya!”
     “Mungkin dia hamil? Atau keracunan barangkali?”
     “Coba saja Opung periksa. Kemungkinan itu pasti ada. Tapi mengapa harus bunuh diri di saat matahari meninggi tepat di atas kepala, dan aroma sungai yang mulai me nyesakkan dada?”
     Lungun, si pengamen jalanan, yang lebih memilih diam, merasa terheran-heran.
     “Mungkin pengaruh ngidam?”
     Darman, si pemulung muda itu, terdiam. Dia berpikir, apakah pengaruh mengidam sampai seburuk itu? Ada semacam perasaan cemas dalam kepalanya. Sekarang dia le bih cenderung sebagai pendengar saja. Matanya tak lepas-lepas memberi sinyal kepa da Lungun butuh kejelasan.
     “Apa memang sudah lama dia tinggal di sini? Sebelum Opung?” selidik Opung selanjutnya.
     “Lebih lama memang dari Opung,”jawab Lungun,”Tiur sekarang tinggal tepat di bawah jembatan ini, pergi meninggalkan rumah Inangnya di pinggir sungai sebelah sana.”
     “Begitu, ya,” Opung berpikir sejenak,” yang di rumah kardus itu? Sendiri saja??”
     “Dulu Saodah pernah tinggal dengannya. Sekarang Saodah menempati rumah Inang Tiur yang sudah lama kosong. Inang Tiur menghilang. Tiur tak mau lagi me nempatinya, walau dibujuk Saodah berkali-kali. Padahal keberadaan Saodah di rumah Inang Tiur itupun atas desakan Tiur sendiri. Dan biasanya saat ini Saodah sedang ngamen di simpang Petisah.”
     “Tolong panggilkan. Opung mau menanyainya, Ucok!” seorang tukang semir cilik yang ditunjuk Opung mengangguk, segera berlari.
     “Apa dia hamil, Opung?”
     Perempuan tua itu hanya menggeleng lemah. Tidak berapa lama kemudian Tiur duduk perlahan. Dia muntah-muntah. Matanya melotot. Segera dia berdiri dan berlari ke arah sungai. Hampir saja dia menceburkan diri kembali kalau Darman tidak segera mencegahnya. Tiur meronta-ronta. Darman memperkuat cengkramannya. Dia mena han sekuat tenaga, agar perempuan dalam cengkramannya tidak terlepas. Tapi Tiur jadi semakin menggila. Dia semakin meronta, memandang jijik dan muak ke arah Dar man. Mulutnya menyumpah. Tangan sebelah kanannya, yang tidak dicengkram, me raih-raih sesuatu di atas tanah. Mengambil batu, dilemparkannya ke arah Darman. Cengkramannya terlepas. Tiur terguling-guling. Tubuhnya yang hampir dipenuhi pa nu dan kurap itu, berdarah, tergores kerikil tajam yang tersebar di tanah. Tubuhnya baru terhenti bergulir di atas tumpukan sampah yang sudah membusuk. Belum sempat yang lain sadar dalam keterpukauan, Tiur segera terjun ke sungai. Untung saja, kali ini, Lungun menarik kakinya.
     Tiur terjerembab. Dia kembali mengamuk. Dia menyerang dan menyumpahi Lung un habis-habisan, menggumulinya. Lungun tidak siap. Dia melakukan perlawanan se-bisanya. Saling pukul, saling jambak dan saling cakar terjadi. Tiur memaki-maki. Ka ta-kata kotor mengalir deras dari mulutnya bersama sampah yang mengalir di deras nya aliran sungai yang mengalir. Jerit penderitaan begitu pekatnya. Arus kehidupan yang tidak mudah di duga kemana bermuara. Begitu tipisnya perbedaan antara harap an dan 
kesengsaraan di ruang kenyataan. Dia hadir dan mengalir begitu saja. Bunyi air yang mengalir, deru knalpot, dan kecipak dayung perahu sampah berpadu dengan riak napas kehidupan yang semakin pekat.
     “Plak!”
     Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tiur. Lungun berteriak sekeras-kerasnya. Modal suara yang terbina ketika menjadi kernet angkot sebelumnya ternyata tidak mampu menggetarkan Tiur. Tamparan, tendangan dan pukulan silih berganti men-darat di muka, perut dan dada Tiur disertai bentakan dan teriakan….
     “Mangidok au, Inang…!”1Tiur terguling, Tiur histeris! Dan pukulan Lungun kian tak terbendung.
     “Tidak tahu diuntung! Tidak tahu ditolong! Apa masih belum kapok ? Ha!?”
     Tiur tengkurap. Dia menangis sejadi-jadinya. Hatinya pedih bersama darah yang me netes dari tubuhnya yang tergores. Bercampur bersama sisa pekat air sungai yang ter- tinggal dan aroma sampah yang memabukkan. Lungun menghentikan hardikan dan pukulannya.
     “Apa maksud kau! Cakap kau, cakap!”
     Tiur tidak juga bicara. Dia menatap garang kepada Lungun. Baginya Lungun tidak lebih baik dari sampah-sampah yang membusuk sepanjang bantaran sungai. Lungun terpanggang birahi. Tamparan demi tamparan kembali mendarat di muka Tiur.
     “Kemasukan hantu sungai ini kurasa kau!”
      Lungun terus melayangkan pukulannya ke arah Tiur. Tiur sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Kesakitan baginya sudah menjadi hal yang sangat biasa. Penderitaan adalah menu hidupnya sehari-hari. Dan untuk itulah Tiur masih hidup sampai seka rang, ternyata!
     Dari jauh Saodah berlari mendekat,diiringi ucok di belakangnya. Demi melihat itu Opung segera mencegahnya.
     “Tiur kemasukan. Kau tenang saja ,”bisik Opung.
      Saodah terdiam. Pikirannya mengawang kepada Wan Nurdin, ayahnya, yang menurut cerita ibu sangat memegang teguh adat, tetapi ternyata tidak kenyataanya. Ibu Saodah menceritakan tentang mandi bergimbar2. Mandi dengan mengenakan pa kaian pengantin, dan juga saling siram, dilanjutkan menyirami orang tua, famili dan tamu-tamu yang ada sepanjang bantaran sungai. Dimaksudkan pengantin harus siap dan tabah menghadapi segala cobaan yang bakal datang, baik dari Yang Maha Kuasa, maupun dari pihak orang tua, atau lingkungan masyarakat sekitarnya.
     Prosesi diawali dengan peminangan oleh keluarga pihak pria kepada keluarga pihak wanita. Jika dicapai persetujuan kedua belah pihak, maka diadakan pertunangan yang dilaporkan kepada pihak wanita. Seandainya pihak wanita membatalkan pertunangan, mereka harus membayar dua kali uang antaran.
     Biasanya, pesta dimulai dengan berbalas pantun sebelum mempelai pria diperboleh kan masuk “menjemput” sang istri. Sehelai kain dibentangkan di depan pintu masuk dan dimulailah berbalas pantun. Dan jika tamu-pihak pria-kalah dalam berbalas pan-tun, sang pengantin tidak dibenarkan masuk.
     Jika menang dalam berbalas pantun, maka diperkenankan masuk. Setelah masuk upacara nasi hadap-hadapan pun dilaksanakan. Berbagai aneka makanan dan pangan an dihidangkan. Yang terutama adalah pencabutan bilahan bambu –minimal sembilan bilah, melambangkan angka kesempurnaan-yang ditancapkan didalam nasi hadap-hadapan tersebut. Daging ayam ditusuk di tiga ujung bambu. Sementara jumlah bam-bu yang tidak ada daging ayamnya lebih banyak. Ada perlombaan antara kedua mem-pelai. Mempelai yang mendapatkan dua bilah bambu yang ada daging ayamnya, men-jadi pemenang. Anehnya, jika sang istri yang menang, maka kata orang-orang tua, alamatlah si istri yang “menguasai” suami.
     Saodah tersontak. Mengenang bagaimana ayahnya memukuli ibunya yang ingin bu-nuh diri, menceburkan tubuhnya ke sungai. Ayahnya berhasil menyelamatkan ibu, karena sungai yang jernih waktu itu, memperlihatkan sosok ibu yang tenggelam. Tapi pukulan dan tamparan justru yang diberikan.Alasannya ibu kemasukan hantu sungai.
     Padahal menurut cerita ibu di suatu ketika, ayah merasa dipermalukan, sebab kalah dalam acara berbalas pantun waktu itu. Tapi ada pula yang mengatakan,ayah selalu mengulang-ulang kalau ibu gagal halua3, katanya ibu sudah terenggut keperawanannya di bantaran sungai ketika itu. 
     Yah, memang bedanya sungai waktu itu begitu jernihnya. Pandangan kita dapat menembus permukaan sampai ke dasarnya. Bebas polusi. Bebas sampah. Pemukiman tidak sepadat sekarang. Restauran, hotel dan plaza hampir jarang. Lain halnya dengan sekarang, sepanjang sungai dipenuhi dengan limbah dan sampah. Ditambah lagi se-karang telah menjadi tempat untuk menghabisi nyawa diri sendiri dan orang lain.
     Persis seperti sekarang ini. Lungun memukul Tiur habis-habisan. Namun, Saodah sudah tidak sabar lagi untuk menghentikan perlakuan Lungun terhadap Tiur, dan ingin memaki orang-orang yang bisanya hanya berdiri mematung. Kesabarannya telah habis saat ini. Segera ia melepaskan cengkraman Opung, untuk menghentikan tindakan Lu-ngun. Sepanjang aliran sungai matahari menyengatkan sinarnya pada riak yang ber-loncatan di atas limbah sampah dan bebatuan.
     “Jangan kau teruskan, Bodat!4”
     “Dia kemasukan , Ito.!5” 
     “Sok tahu kau!”
     “Kemasukan hantu sungai!”
     “Tutup moncongmu !” Saodah meraih Tiur, membantunya berdiri.
     “Hei, hantunya belum keluar!” Lungun meraih kembali Tiur. Terjadi aksi tarik me narik. Masing-masing dengan kekerasan hatinya. Sungai mengalir membawa limbah sampah bersama warna yang buram, seburam suasana yang hadir saat ini. Debu yang berterbangan dari atas jembatan. Tatapan mata saling beradu garang. Dan Opung me-mahami situasi ini.
     “Sudah! Biar Opung dan Saodah saja yang mengurus Tiur!” Opung meraih 
Tiur, “yang lain pergi sana! Bubar!”
     Lungun terdiam. Darman tercenung. Ada rasa was-was dalam pikiran mereka. Pengamen, pemulung, dan tukang semir yang lain tidak ambil pusing lagi. Mereka kembali menebar, menyebar, mengutip rimah-rimah harapan kehidupan yang mung kin masih tersisa di sepanjang sungai maupun simpang-simpang jalan. Menyetop ang-kot untuk berhenti dari persimpangan yang satu ke persimpangan berikutnya. Semua kembali dengan kesibukan masing-masing. Lambat tapi pasti seperti kitaran matahari yang lamat-lamat tenggelam dan kembali terbit di pagi hari. Opung, Saodah dan Tiur telah terlelap membagi sepi.
*******
     Di rumah kardusnya Tiur dan Saodah terduduk menikmati sisa teh semalam. Sisa darah yang mengering telah mulai terkelupas. Opung masih berselimut rindu dendam.
     Betapa Saodah tidak akan pernah melupakan Tiur. Saodah tidak akan pernah melupa kan tragedi itu. Ketika itu hujan lebat turun, air sungai sudah lama membuncah. Sao-dah mendapatkan dirinya sudah berada di atas bubungan atap rumahnya. Dia sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi selain dirinya. Ingin rasanya ia memanggil Ibu dan ayahnya, tapi tenggorokannya terasa tersumbat. Tidak ada pikiran lain yang melintas, selain menyelamatkan diri. Di atas bubungan, Saodah meraih ranting-ranting kayu. Belum sempat tanganya meraih ranting pohon itu, sebuah terjangan air menerjangnya.
     Saodah terbawa pusaran air. Dia masih berusaha untuk meraih apa saja Berusaha melawan arus sungai yang meluap. Tubuhnya timbul tenggelam bersama tumpukan sampah yang juga terbawa arus.
     Dalam hitungan detik pusaran arus itu semakin menggila. Saodah merasakan diri-nya dihempaskan kesana kemari. Rasa pasrah sudah menggelayuti pikirannya. Pada satu titik pasrahnya yang paling afkir, Saodah merasakan kekuatan yang luar biasa mengangkatnya dari pusaran arus sungai yang mematikan. Sayup-sayup Saodah mendengar teriakan yang menyayat:”bertahanlah, Inang! Hu salamatton do ho!”6 
     Detik berikutnya Saodah merasakan tubuhnya diangkat, di bawa terus menuju silau cahaya. Sesekali dia mendengar deru knalpot yang tidak asing lagi di telinganya.
     “Peristiwa itu tidak akan pernah kulupakan,” ujar Saodah dengan air mata yang mengalir mencari aliran nya ke bantaran sungai,”jika kau tidak segera menyelamatkan aku dan membawa ke atas jembatan, mungkin aku entah berada di mana sekarang. Kaulah dewa penolongku!”
     “Kau pembohong!”
     Saodah terdiam. Suasana kembali sepi. Rumah kardus itu terasa semakin sempit saja. Opung masih mendengkur menyulam rindu.
     “Kau tahu peristiwa itu. Dan kau tahu aku tidak bermaksud menolongmu!”
     “Ternyata kaulah pembohong sebenar-benarnya. Kau terlalu egois. Mari lupakan masa lalu…”
     Tiur tercengang. Bagaimana Saodah begitu mudahnya melupakan masa lalunya. Bagaiamana pula dia harus melupakan masa lalunya. Kekejaman ayah Saodah. Dan kekejaman orang yang telah menghancurkan masa depannya. Bagaiamana ia lahir dari rahim sungai, seperti cerita Inang, ibu angkatnya, waktu itu.
     Ketika itu Inang sedang mencuci pakaian. Biasanya yang mencuci pakaian waktu itu cukup ramai di sungai. Entah mengapa hari itu hanya Inang. Dan Inanglah yang menemukan sebuah kotak yang terhanyut di permukaan sungai yang mengalir tenang. Segera Inang meraih kotak kardus besar yang biasa dipergunakan untuk mie instan itu. Alangkah terkejutnya Inang. Takut campur senang. Betapa ia takjub melihat seso sok tubuh bayi mungil. Sesosok tubuh bayi perempuan yang cantik.
     “Kalaulah kau laki-laki aku akan adakan mangan indahan esek-esek manupaupa. Atau juga paebathon buha baju tu ompung na bao, serta tidak lupa tardidi.7 Tapi tak apalah yang penting aku senang!”
     O, betapa waktu itu kisahmu seperti Musa yang dininabobokkan di permukaan sungai Nil. Hanya saja mungkin kau tidak tahu bahwa Musa diselamatkan dari Fir’ aun yang zalim. Sedangkan kau hanyalah anak di luar nikah yang dicampakkan demi nama baik keluarga. Menyelamatkan nama baik. Puih!
     Kisahmu sangatlah menyedihkan. Setelah kau menanjak besar, Inangmu yang seba-tangkara bermakam pula di sungai. Di bunuh. Dan mayatnya dicampakkan ke sungai terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk.
     Ketika Inang dan kau mencuci di sungai yang berwarna keruh. Seperti waktu dite-mukannya kau dulu. Di sekelilingmu detik-detik waktu mengurai sepi. Hanya satu dua orang yang terlihat membuang sampah dari atas jembatan. Atau anak-anak yang berlari terburu-buru hendak membuang kotoran, sementara saudaranya berendam beberapa meter saja, selebihnya sunyi. Ketika matahari tepat di atas kepala tinggallah kalian berdua, setelah seorang perempuan tua mengambil air dari sungai untuk dima-sak.
     Mula-mula kau tidak begitu curiga, ketika dua orang pemuda, yang biasa mengajak mu bercanda bagai orang dewasa, mendatangi Inangmu. Mereka berbicara berbisik sambil melirik penuh birahi padamu. 
     Tiba-tiba kau melihat Inang berdiri, sambil memaki, membentak kedua pemuda itu. Memukuli mereka dengan kain cucian bertubi-tubi.
     “Apa bisa kalian, ha!?. Kalian hanya pengamen jalan dan juga pemulung. Usia kalian pun masih belum cukup. Mau kalian kasih makan apa anakku, ha?!”
     Kau begitu ketakutan ketika pukulan bertubi-tubi Inangmu dibalas dengan tusukan sebilah pisau, tepat di jantung Inangmu. Seketika Inangmu roboh. Darahnya mengalir sampai ke sungai menambah pekatnya permukaan sungai. Tidak sampai di situ saja, tubuh renta yang sudah tidak berdaya itu dicampakkan begitu saja ke sungai tepat terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk. Di saat itu pulalah kedua pemuda itu pergi begitu saja, setelah menuntaskan hasrat kelelakian mereka padamu.
     Sakit yang luar biasa dari robeknya keperawananmu tidaklah begitu kau rasakan. Tapi luka di hatimu cukup dalam, melihat Inang yang terbenam tanpa nyawa tanpa kau bisa berbuat apa-apa. Hatimu remuk redam. Usiamu masih begitu belia ketika itu, tujuh belasan, dan begitulah, kesakitan yang dirasakan dengan mengalirnya air dari sungai matapolosmu itu, mencabik-cabik jiwamu, meninggalkan luka yang menahun, bahkan sampai saat ini! Seandainya saja rasa perduli dan bertanggungjawab terpeliha-ra baik, 
maka mungkin suatu permasalahan tidak terjadi dengan begitu buruk, seandainya juga disertai dengan rasa kasih sayang atas nama kemanusian.
     Seandainya saja kedua orangtuamu bertanggungjawab. Seandainya saja Inang tidak terbunuh. Seandainya saja pembunuh itu diberi ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Atau seandainya saja limbah sampah tidak menumpuk busuk. Dan seandainya Saodah tidak segera hadi, dan tidak pernah hadir. Ternyata hanya sekedar berandai-andai saja, mimpi menyulam daur kehidupan yang penuh jebakan rahasia. Membentang pada sungai yang dipenuhi limbah sampah yang menumpuk busuk dari pabrik, restauran, hotel, plaza dan pemukiman penduduk. Ternyata masih ada setetes harapan. Sungai yang kotor itu tidaklah lebih kotor dari sungai hati manusia yang paling hina. Dipenuhi limbah iri hati. Dicengkram sampah nafsu serakah. Dan minus jernihnya kasih sayang. Aroma polusi hati menghantui disana-sini. Tapi, tidak di hati Inang. Bukan di hati Saodah. Tidak pula di hati Opung. Apalagi di hati Tiur.
************
     Aroma bau itu semakin pekat menebar, ke berbagai arah hembusan angin. Tidak lagi ketika matahari hanya berada tepat di atas kepala. Tapi juga dari terbit hingga terbenammya. Menebar bersama derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jembatan. Membawa tumpukan sampah yang membusuk. Menghanyutkan bangkai kotoran kemana-mana. Bersama pekatnya berbagai limbah, semakin menghitam, menebarkan jubah kematian ke berbagai pelosok kehidupan. Dari balik jubah itu, jari jemari menghunuskan kuku-kuku hitam dan tajamnya, memanjang, mencengkram, menghadirkan hawa kematian…..
     Dan cengkraman itu tidak mampu menghunjamkan kuku-kuku tajamnya ke tubuh Saodah dan Tiur yang saling berpelukan. Juga Opung yang tak henti-hentinya menye nandungkan nyanyian kehidupan. Bersama aliran sungai yang masih menawarkan setetes harapan. 
 
Medan, 2006  
 
1 Ampunkan aku ibu
2 Mandi pada acara pengantin adat melayu, kadang dilakukan di tepian 
sungai
3 Sebuah upacara pembuktian keperwanan pada adat melayu 
4 Ucapan makin khas medan
5 Panggilan untuk perempuan (bahasa batak)
6 Saya selamatkan kamu ibu
7 Upacara kelahiran anak laki-laki dan pemberian nama
 
 

M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan.
Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) .Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 081533214263.E-Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com
Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia,1999), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan,2000), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK,2001), TENGOK (antologi puisipenyair Medan,2001), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan,2002), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay2000), MEDITASI (antologi puisi tunggal,20003), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara, Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa Sumut,2004)dan Perempuan berhati gerimis(antologi puisi bersama M.Iqbal Irawan, Medan,2005), Jogjakarta 5,9 SR (antologi puisi 100 penyair, 2006), Dari Pemburu Ke Terapeutik (antologi cerpen Nusantara Pusat bahasa,2004) . Sekarang ini aktif di Sanggar GENERASI Medan.