Monday 22 February 2016

PAK GURU KUSNO CERPEN M. Raudah Jambak



PAK GURU KUSNO
M. Raudah Jambak


DUA puluh tahun sudah Pak Kusno mengajar di Perguruan Budi Hati. Selama itu pula dia mengabdikan segala apa yang dimilikinya dengan ikhlas. Awalnya perjuangan berat untuk melamar menjadi guru di Perguruan Budi hati itu betul-betul dirasakannya. Termasuk, ketika ia melamar untuk mengikuti seleksi guru PNS, walau pada akhirnya gagal. Dia ikhlas. Seleksi penerimaan sengat ketat, mulai dari ujian tertulis, tes mengajar, tes kemampuan berbahasa Inggris, tes psikologi deb berbagai tes lain perihal kedisiplinan.
Dua puluh tahun sudah, perubahan-perubahan pun makin tampak. Puncaknya berlangsung sebelum tahun ajaran baru ini, setelah pergantian kepala sekolah. Perubahan yang paling jelas ketika penerimaan guru dan murid. Segala persyaratan yang sudah dilakukan oleh pendahulunya tidask di lanjutkan lagi.
Sebagai guru yang cukup lama mengabdi, Pak Kusno merasa perlu mengingatkan kepala sekolah agar jangan terlalu gegabah. Perdebatab pun terjadi. Kepala sekolah masih tetap pada pendiriannya. Pak Kusno masih belum dapat menerima alasan-alasan yang di uraikan kepala sekolah. Pak Kusno melanjutkan persoalan ini ke Pihak yayasan. Keduanya di pertemukan. Pihak yayasan bertindak sebagai penengah dengan memberikan arahan-arahan. Kepala sekolah masih bersikeras. Pihak yayasan akhirnya memutuskan agar Pak Kusno yang harus mengalah. Dan dengan berat hati dia akhirnya mau menerima saran dari pihak yayasan.
“Apapun alasannya, saya yakin bapak kepala sekolah dan Pak Kusno berpikiran sama-sama untuk kemajuan sekolah kita. Perubahan-perubahan apapun yang bentuknya tidak salah kita terima asalkan untuk kemajuan sekolah kita. Dan Pak Kusno tidak perlu merasa kecewa. Saya kira pertemuan kita hari ini selesai”.
Pak Kusno terdiam. Kepala sekolah tersenyum penuh kemenangan.

***

Belum setahun berlalu. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba sekolah gaduh. Satu pleton polisi datang ke sekolah. Pak Kusno yang sedang mengajar Bahasa Indonesia di kelas III IPS 3, terkejut. Tiga orang polisi berseragam datang mengetuk pintu kelas.
“Permisi, Pak”.
“Ada yang bisa saya Bantu, Pak?” balas Pak Kusno sambil berjalan kea rah pintu menuju tiga orang polisi.
“Maaf, Pak. Sesuai perintah atasan berdasarkan laporan-laporan yang di terima, di sekolah ini telah masuk narkotika yang di edarkan melalui para siswa. Dan operasi ini kami sebut sebagai operasi ‘Kasih Sayang’.
“Tunggu dulu, Pak. Mungkin informasi yang bapak terima keliru. Saya sudah lebih dua puluh tahun mengajar disini dan tidak pernah mendengar ada siswa yang terlibat narkoba, ganja dan sebagainya. Saya harap bapak mengerti”.
“Kami sangat mengerti, Pak. Kami tidak menyalahkan guru ataupun murid-murid di sekolah ini. Tapi kami hanya berusaha untuk mencegah sekolah ini di manfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab”.
Pak Kusno terdian dan membiarkan ketiga orang polisi itu memeriksa murid-murid dan alat-alat tulisnya. Murid-murid kelas III IPS 3 bungkam. Kecemasan terpancar dari wajah mereka. Seorang polisi tiba-tiba memanggil dua polsi lainnya, kemudian menghubungi pusat lewat alat komunikasi khusus mereka.
Polisi itu tiba-tiba menarik seorng pelajar laki-laki ke depan. Pak Kusno terkejut. Dia melihat Novianto berdiri gemetar dengan wajah pucat pasi. PAK Kusno juga murid-murid lainnya tidak menyangka Novianto, anak kepala sekolah tertangkap basah menyinmpan ekstasi di dalam tasnya. Segera saja Novianto di bawa keluar.
“Tunggu, Pak!” ujar Pak Kusno, “Novianto ini adalah anak kepala sekolah. Sebelum dibawa sebaiknya dibawa ke kantor kepala sekolah dulu”.
Ketiga polisi itu saling berpandangan. Salah seorang di antaranya mengangguk. Novianto segera di bawa ke kantor kepala sekolah.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba seorang murid mengetuk pintu dan masuk.
“Permisi, Pak. Bapak di minta datang ke kantor kepala sekolah”
Persis ketika istirahat, suara sirine mobil patroli polisi datang, berhenti persis di depan kantor kepala sekolah. Murid-murid perguruan Budi Hati berdesakan di sekitar kantor kepala sekolah. Dari arah kantor kepala sekolah beberapa orang polisi terlihatkeluar di iringi kepala sekolah. Di depan mereka Pak Kusno di giring ke mobil patroli. Novianto yang telah di bawa dari kels tidak terlihat di sana. Dia hanya mengintip dari balik tirai jendela kepala sekolah. Pak Kusno di bawa ke kantor polisi.

***

          “Maaf, Pak. Ini jelas fitnah.” Mata Pak Kusno berkaca-kaca.
          “Berdasarkan bukti-bukti di lapangan bapak jelas di nyatakan bersalah”.
          “Tapi, bukan saya pelakunya, Pak”.
          Malam yang begitu gelap, belum apa-apa dibandingkan dengan gelapnya situasi saat ini. Tapi, ia yakin Tuhan tidak tidur. Tuhan pasti punya cerita lain di balik peristiwa ini. Tergantung bagaimana keihklasan pengabdiannya saat ini. Baginya ini bukan ujian, tapi justru kenikmatan.

oOo
          “Pak, bangun!”
          Azan subuh masih terdengar berkumandang. Pak Kusno sigap beranjak setelah matanya tertumpu pada jarum pendek yang menggantung di jam dinding.
          “Ayolah, Pak. Subuh.”
          Aduh, senyum itu begitu manis. Bukan senyum laki-laki berkumis. Tetapi, senyum seorang perempuan setengah baya yang sampai saat ini masih setia menebar benih kasih dan cintanya.
          “Alhamdulillah….”


Medan, Komunitas Home Poetry, 20-14

No comments: