Wednesday 2 March 2016

SASTRA DAN POLITIK SAUDARA KEMBAR YANG BERBEDA WATAKNYA?



SASTRA DAN POLITIK SAUDARA KEMBAR YANG BERBEDA WATAKNYA?

Oleh : M. Raudah Jambak

Bicara politik tentu tidak akan pernah selesai. Paling tidak politik mungkin sejalan dan senafas dengan aliran fikiran kita. Politik lebih cenderung kepada segala urusan dan tindakan dengan menekankan kepada kebijakan juga siasat yang biasanya dipersiapakan individu atau kelompok lebih kepada persoalan kenegaraan. Sementera politik yang diarahkan kepada persoalan pemahaman justru menjurus kepada ideologi juga sikap atau pandangan terhadap sesuatu.
Pada dasarnya politik lebih kepada hal-hal yang positif bermuara kepada kebaikan demi kemajuan yang menguntungkan semua pihak. Tetapi, pemahaman yang berkembang politik lebih terarah kepada hal-hal yang negatif atau akal-akalan. Mungkin bisa kita sebutkan sebagai opini yang sesat demi keuntungan pribadi atau golongan. Sekarang persolannya adalah bagaimana dengan sastra?
Sebagai sebuah ilmu sastra harus dipelajari. Persoalan apakah sastra mampu meng ubah cara pandang seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Mampu meningkatkan taraf hidup dan kemajuan masyarakat, atau mungkin sebaliknya, itu adalah persoalan lain. Ada juga yang beranggapan persoalan keberpihakan. Sebuah strategi, yang diharpkan dapat menimbulkan atau mencapai sesuatu yang diharapkan. Mungkin demi meluluskan sebuah kepentingan?
Nah, jika sastra dikaitkan ke arah kepentingan atau keberpihakan, apakah ini politik? Atau apakah perlu mewujudkan sastra sebagai media politik? Semua terserah kepada kita. Tergantung kepada niat yang punya hajatan.  Sastra sebagai sebuah ilmu, ideologi, atau apalah namanya, terserah. Sekarang pertanyaannya adalah apakah itu tidak bagian dari politik, terlepas dari persoalan kenegaraan, kepentingan, atau keberpihakan.
Saya jadi teringat kepada persoalan ilmu sebagai filsafat, atau filsafat sebagai sebuah ilmu yang diletakan pada level tertentu, misalnya. Dimana perkembangan Ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap yaitu: Level Preconvenstional, Level Conventional, dan Level Postconventional.
Level Preconvenstional, misalnya, level ini berkembang pada masa kanak-kanak. Dimana mereka hanya mengikuti naluri mereka dan mengabaikan nasehat dan pendapat orang lain. Selanjutnya, level Conventional dimana individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut. Dengan demikian seseorang itu telah mengikuti apa yang baik dan menjauhi mana yang buruk dengan menganut apa yang ditentukan oleh kelompok mereka. Sedangkan level Postconventional, orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya. Dan dalam fase ini biasanya seseorang akan menentang kelompoknya dimana hal yang dia tentang adalah yang menurutnya benar padahal kelompoknya menganggapnya salah.
Menarik seperti apa yang digelisahkan Yulhasni. Seperti yang disampaikannya, bahwa jangan pernah menjauhkan sastra dari ranah politik. Sastra, meski itu hanya dunia imajinasi, di dalamnya terdapat pesan-pesan perubahan. Sastra tidaklah dunia yang sendiri dan lepas dari berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya. Jika politik adalah medium pencapaian tarik-ulur kepentingan, maka sastra adalah sesuatu alat penjernihan tarik-ulur kepentingan itu.
Politik bisa saja kasar dan sadis, tapi sastra memberi ruang kedamaian dan rasa persamaan yang sejati. Medium sastra memanglah teks tertulis dan kemudian dibaca masyarakat, akan tetapi teks harus memberi tanggungjawab perubahan, terutama terhadap orang-orang yang melahirkan teks itu. Pencipta teks dengan demikian tidak mengabaikan begitu saja apa yang telah ditulisnya dan kemudian dibaca masyarakat.
Tanggungjawab akademisi sastra dalam diskursus sastra-politik terletak kepada keinginan membawa ranah sastra kembali ke sejatinya yang awal. Akademisi tidak perlu meletakkan dirinya kepada satu gagasan pembenaran karena dalam sastra kebenaran itu terletak kepada keberhasilan teks membawa perubahan pada masyarakat. Jika teks sastra gagal, seharusnya akademisi meluruskan dan diberi beberapa catatan penting atas kegagalan yang terjadi. Kaum akademisi seharusnya juga harus bebas nilai, sehingga tidak terjebak kepada kecurigaan, penilaian yang sempit dan kemudian seolah-olah ‘manusia paling tahu atas segala bentuk kreativitas’.
Kekuatiran terbesar yang muncul manakala wacana sastra dibawa ke ranah politik adalah kecurigaan akan sebuah gerakan penggiringan ke arah arus utama politik. Tulisan saya berjudul Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi dengan sebuah kekuatiran oleh Budi P Hatees. Lewat tulisannya berjudul Politik dalam Sastra Sumut (Analisa, 28 Agustus 2011).
Sementara Budi P. Hatees memiliki pandangan, bahwa Karya sastra adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta. Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan, apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan Indonesia- sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi estetik yang ada pada karya seni.
Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan, yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan dengan cara "membunuh" pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes, "telah mati." Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang.
Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal, kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak Eco sangat kental di sana.
Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis. Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas, merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan latar belakang cultural yang jelas dan tegas. Dengan cara seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan komunikatif.
Hal ini juga pernah disinggung dalam diskusi omong-omong sastra di rumah Jaya Arjuna beberapa waktu yang lalu, yang menghadirkan Sakinah Annisa Maariz dan Suyadi San sebagai pembicara. Dalam diskusi itu, sempat muncul polemik, ketika Suyadi San menyebut, sastrawan Sumut, masih belum dianggap di kancah nasional. Indikasinya dari beberapa pertemuan sastrawan yang sifatnya skala nasional, sastrawan Sumut, hanya datang sebagai peserta pasif. Selain itu, di forum-forum yang sama, peserta (sastrawan) Sumut jarang diunjuk sebagai penyaji. Suyadi membatasi kajiannya pada 1 dekade terakhir. Ia pun menggugat beberapa sastrawan senior yang dulu sempat punya nama di nasional dan rajin menyumbangkan kritik dan pemikirannya melalui media massa.
Salah satunya Damiri Mahmud, yang kebetulan juga hadir di acara itu, selain juga Maulana Syamsuri, Sulaiman Sambas dan lainnya.  "Kemanakah Anda selama ini?" tanya Suyadi.  Tak pelak, Damiri harus mengakui, bahwa beberapa tahun terakhir, ia memang tak produktif, bersebab faktor fisik dan phisikis, seiring usia. "Sumut kehilangan "jubir" sastranya di tingkat nasional." Kata Suyadi. Tapi Sugeng, yang seorang mantan redaktur budaya salah koran di Medan, menyanggah istilah "jubir" itu. "Sastra tidak membutuhkan jubir, karena karya itu sendiri yang akan bicara. Yang harus dibenahi para sastrawan Sumut adalah semangat entrepreuner dalam berkarya," tegas Sugeng.
Kesan yang sama ditunjukkan Mihar Harahap. Baginya, kegelisahan Suyadi adalah kegelisahan semua pelaku sastra, tidak hanya di Sumut tapi juga di hampir semua daerah. Hal ini merupakan wacana lama yang memang tak kunjung tuntas. Namun Mihar tidak setuju dengan istilah lokal-nasional dalam sastra. Apa itu sastra nasional, siapa itu sastrawan nasional? Apa itu sastra lokal, siapa itu sastrawan lokal?  Karenanya Mihar menekankan sastra jalur kedua, sebagaimana dimunculkan Esten Mursal, yang menjadikan lokal sebagai basis sehingga mengurangi dikotomi sentralis.
Tentang politik sastra, Mihar mengajak peserta untuk lebih jeli mengkaji, makna dan acuan dua kata itu, seperti tertera dalam makalah. Sebelumnya, soal ini ditanggapi serius oleh Ali Yusran yang mengatakan, tak ada sastra yang tak politik. Perbedaannya soal tujuan, apakah demi nilai-nilai kemanusiaan universal atau kepentingan sekelompok orang. Diskusi sempat memanas ketika Sakinah yang terinsipirasi buku "Politik Sastra" yang ditulis Saut Situmorang itu,  mengetengahkan contoh kasus Pram, yang secara implisit disebut Sakinah sebagai korban politik sastra. Bahkan Damiri di awal-awal sempat mengajak peserta diskusi untuk lebih luas melihat persoalan yang dialami Pram dalam kesusasteraan nasional.
Sakinah juga memberikan pandangan, bahwa perluasan pemaknaan atas politik di dalam sastra Indonesia melalui politik sastra semakin merebak setelah adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komperhensif mengenai napak tilas dan sejarah sastra Indonesia. Politisasi pemerintah atas karya sastra sebenarnya tidak hanya berdampak pada kehidupan sastrawan yang melahirkan karya, namun juga berimplikasi pada kehidupan sastra Indonesia yang di dalamnya termasuk sejarah, kritik dan teori sastra.
Menurut Sakinah, politik sastra Indonesia tidak lagi membicarakan tentang upaya dan langkah menuju pengembangan dan pembinaan ke arah yang lebih baik. Politik sastra Indonesia dijelaskannya mulai melirik nasib karya-karya sastra yang telah dipolitisasi pengusaha, serta dampaknya dalam sejarah sastra Indonesia.
Distorsi pemaknaan atas istilah politik sastra Indonesia ini, sebenarnya terjadi seiring perubahan waktu dan sejarah yang mengikuti. Akan tetapi pengkajian terhadap problematika tidak akan pernah berhenti tanpa solusi. Sebagai contoh tetralogi pulau baru karya Pramoedya Ananta Toer yang mencerminkan sejarah kehidupan Indonesia masa kolonialisme pada masa rezim orde baru berkuasa karyanya ditarik dan dimusnahkan secara sengaja.
Pada diskusi hangat siang itu juga sempat dibahas bahwa sastra harus tetap berpolitik, tetapi politik sastra adalah yang baik, mendidik dan menghibur. Hadirnya sebuah karya sastra seperti puisi, pada diskusi juga dibahas saat ini lahir sangat banyak tetapi kehidupan masyarakat tetap hidup pada tahap ketelanjangan, mural, spritual dan nurani yang tidak bekerja lagi.
Sebenarnya hal-hal negatif seperti itu lahir dari banyaknya penulis manja. Tatkala memasukkan tulisannya di media cetak, seorang penulisa saat ini tidak malu untuk  menanyakan kapan tulisannya akan dimuat. Dan contoh muram seperti itu dijelaskan pada diskusi yang rentan untuk dikritik.
Dari pernyataan-pernyataan yang terlontar, tentu kita dapat memberikan pandangan, bahwa sastra dan politik sebenarnya akan hadir dan mengalir dengan sendirinya. Tidak hanya di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan di dunia sekalipun. Pertanyaannya adalah apkah sastra di arahkan kepada hal-hal yang negatif ataukah positif? Jika positif siapapun yang menjadi pelakunya mungkin tidak akan menjadi persoalan. Tetapi, jika negatif, maka hal ini yang harus diwaspadai. Sedikit mempelintir ungkapan mantan seorang Presiden Amerika, jika politik itu kejam, maka sastra yang akan menghaluskannya. Bukankah demikian?



No comments: