Wednesday 2 March 2016

SASTRA BUKANLAH SAMPURAGA BAHASA



SASTRA BUKANLAH SAMPURAGA BAHASA
Oleh : Muhammad Raudah Jambak, S.Pd*


A.    PROLOG

Balai bahasa sebagai lembaga yang mengurus masalah bahasa (termasuk sastra) di daerah sebagai bagian dari Pusat Bahasa. Sedangkan bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; Bahasa juga merupakan percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun, budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). Sementara, sastra adalah cara dalam memperlakukan bahasa itu dengan lebih baik.
Sedangkan sastrawan adalah manusia (makhluk cerdas) yang porsi fisik dan psikisnya tentu berbeda dengan makhluk yang lain. Kecerdasan itulah yang membuat manusia (sastarawan) mampu menjadi seorang kreator. Sebagai seorang kreator,  manusia mampu menjadikan peristiwa di sekitarnya menjadi kata, menjadi makna, menjadi sesuatu. Termasuk menjadi ruh karya seni (sastra) maupun karya budaya. Dan manusia (sastrawan)  bisa menafsirkan ‘sesuatu’ itu menjadi apa dan siapa saja. Tentu masing-masing punya dasar pemikiran yang berbeda.
Dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional manusia, bahasa memiliki peran sentral dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua hal dalam kehidupan. Selain membantu mengenal dirinya, juga diharapkan membantu dalam mengenal budayanya dan budaya yang lain. Juga mampu mengemukakan gagasan dan perasaan. Berpartisipasi dalam masyarakat, serta menemukan atau menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.

B. MEMILAH RANAH BERSASTRA SASTRAWAN (DI) SUMATERA UTARA

Beberapa waktu belakangan ini santer sastrawan-sastrawan muda Sumatera Utara menjadi topik yang menarik  dalam sebuah perbincangan.  Hal itu acap muncul dalam omong-omong sastra mulai dari meja warung kopi sampai di meja hijau calon sarjana, juga sampai di meja kerja para peneliti, dll.  Wah.
Sebenarnya, sebagaimana yang kita ketahui, Sumatera Utara masih tetap mendapat tempat di jagat sastra Indonesia. Hal itu terbukti ketika nama Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sori Siregar, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Hamsad Rangkuti, dsb, masih tetap menjadi bahan perbincangan sampai sekarang.
Perbincangan yang selalu ditelurkan seolah tidak pernah habis-habisnya menyebabkan muncul kecumburuan sosial sastrawan tertentu (dalam hal ini sastrawan yang kurang mendapat tempat) di kalangan sastra nasional.
Berangkat dari persoalan tersebut rasanya sah-sah saja pemikiran seperti itu selalu muncul ke permukaan. Dekade Amir Hamzah mungkin sudah usai, tetapi demammnya sampai sekarang belum lerai. Masa Chairil Anwar sudah habis, tetapi auranya masih be lum terkikis.
Uniknya terlepas dari persoalan itu semua muncul sebuah pertanyaan, bagaimana dengan sekarang? Apakah ada sastrawan Sumatera Utara yang mendapat lirikan, bahkan tempat di singgasana sastra nasional? Atau bagaimana dengan penghargaan untuk sastrawan? Siapa yang pantas? Yang sudah meninggal? Atau yang masih hidup? Yang muda yang berkarya? Atau yang tua yang masih sibuk dengan nostalgia kata-kata?
Seorang A. Rahim Qahhar sering berujar, bahwa beliau dan Damiri Mahmud adalah layar terakhir yang berusaha bertahan dalam gejolak gelombang keterpurukan sastra di Sumatera Utara, khususnya. Untuk melaju menuju medan juang sastra nasional. Dan sekarang mungkin berada di pundak Hasan Al Banna.
Pernyataan ini ada kemungkinan benar. Artinya, ketika kita melihat produktivitas sastrawan yang berlangsung mandeg di kancah sastra nasional, beliau muncul sebagai penjaga marwah sastrawan Sumatera Utara. Demikian juga halnya Damiri Mahmud. Produktivitas yang tidak mengenal mati seolah menjadi pemicu bagi sastrawan di Sumatra Utara untuk sama-sama berjuang maju.
Hanya saja yang perlu kita tilik dari persoalan ini adalah siapa lagi angkatan beliau-beliau yang tetap terus eksis? Kita mungkin sedikit berfikir berkerut kening. Rintik tetes di dahi menyudahi daftar terakhir yang sulit kita jumpai.
Lalu, bagaimana angkatan setelah beliau? Ingatan kita tentu sampai pada nama-nama, seperti Idris Pasaribu, Tagor Anaxetianoor, Choking Susilo Sakeh, Harta Pinem, Romulus ZI. Siahaan, Afrion Mahyuddin, Yulhasni, YS. Rat, Saiful Hadi Jl, Suyadi San, Thompson HS, Ezra Dalimunthe, Washa S. Nasution, Teja Purnama, Aisyah Bashar, Hasan Al-Banna, Sartika Sari, Safrizal Syahrun, Ilham Wahyudi, Julaiha,  Wahyu Widji Astuti,  Maulana Satria Sinaga, dst, (mungkin masih banyak lagi yang terlewati). Dari deretan beberapa nama ini tentu kita akan melihat sesuatu yang menakjubkan.
Menakjubkan, maksudnya produktivitas yang mereka miliki (sempat) masih kita rasakan. Kita tidak pernah lupa dengan Bokor Hutasuhut, Ali Sukardi, AA. Bungga, BY. Tand, Lazuardi Anwar, NA. Hadian, R. Effendi KS, Sulaiman Sambas, Maulana Samsuri Darwis Rifai Harahap, Herman KS., dsb.     
Menakjubkan dalam artian bagaimana sosok sastrawan muda itu memastikan dirinya berada di singgasana sastra nasional dengan tulisan-tulisannya yang terus muncul di KOMPAS, TEMPO, SUARA PEMBARUAN, REPUBLIKA, HORIZON, SUARA MERDEKA, GONG, dsb.
A. Rahim Qahhar memang harus terus berangkulan dengan Damiri Mahmud. Idris Pasaribu masih melesatkan peluru. Hasan Al-Banna, Ilham Wahyudi, T. Sandi Situmorang, Embar T. Nugroho juga Wahyu Widji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Zuliana Ibrahim, Sartika Sari, Maulana Satria Sinaga, dll,  masih belum lelah menanam bom-bom waktu. Walau sesekali Ys. Rat masih menggeliat di waktu-waktu tertentu. Afrion masih bergerilya dengan dirinya. Atau Thomson HS dengan opera bataknya. Termasuk dengan Mihar Harahap, Teja Purnama, Saiful Hidayat, Hidayat Banjar, Harta Pinem, Syaiful Hadi Jl, Romulus ZI Siahaan yang diharapkan menjadi singa tidak hanya beberapa waktu yang silam? Kita yakin mereka masih mengumpulkan nuklir sastra di lemari-lemari besi.
Tulisan-tulisan yang pernah muncul (dan masih mentas sampai sekarang) ke permukaan, seperti puisi, cerpen, novel, kritik sastra dan naskah drama, diharapkan terus menggugah perjuangan sastra di Sumatera Utara. Yulhasni pernah ‘berbagi’ pendapat dengan Afrion. Pun, Darwis Rifai Harahap, Budi P. Hatees, Hidayat Banjar dan T. Agus Khaidir terus mengasah belati kritik?
Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk menggurui. Atau sekadar daftar nama-nama. Kita hanya diajak untuk menggugah persoalan-persoalan yang sedang berlangsung di rumah sastra Sumatera Utara. Memang dulu pernah ada FKS, OOS yang tetap bertahan, KSI yang terus memahat dunia jungkir balik sastra, atau Komunitas HP yang (katanya) sering kehabisan pulsa, dsb.
Barangkali perlu ada beberapa hal yang perlu kita sikapi. Kekuatiran redupnya cahaya di rumah sastra Sumatera Utara, mungkin terlalu banyak tangan yang merasa mampu untuk mengalirkan cahaya yang lebih terang. Tetapi, persoalan yang terjadi selalu berhenti di dermaga kata-kata, debat kusir, atau perasaan curiga. Mengira-kira tanpa ada pertimbangan yang valid.
Pujian yang lahir dan mengalir selalu ditujukan bagai orang-orang tertentu, kelompok-kelompok tertentu, atas dasar like and dislike. Padahal mereka adalah kekayaan yang masih kita miliki. Kekayaan yang harus kita jaga. Kekayaan yang harus kita bina. Tanpa harus pilih kasih. Objektivitas masih diselimuti subjektivitas yang berlebihan.
Hanya saja kenyataan di belakang layar, kita masih selalu mengatasnamakan diri pribadi. Kita lebih mementingkan kelompok kita. Kita masih sibuk bernostalgia dengan masa lalu yang secara jujur kita katakan medan perjuangan yang harus kita kuasai sudah berbeda. Mengapa kita tidak bergandengan. Melangkah bersama untuk mengucapkan selamat tinggal debat kusir! Selamat tinggal kemunafikan!
Mari, bersama kita bisa. Demi kemajuan sastra di rumah sastra kita. Pernyataan kalau tidak karena saya musti patut dibuang jauh-jauh. Diganti dengan kalau bukan kita yang memegang layar sastra saat ini siapa lagi?
Sebuah perjalanan pada akhirnya akan sampai juga pada tujuannya. Terkadang tujuan itu seperti analogi yang agak sulit kita terjemahkan. Karya merupakan tujuan akhir dari sebuah perjalanan bersastra. Bukankah lebih baik meramu hidangan di dapur karya nyata daripada berenang-renang di angin lisan kata-kata?

C. BALAI BAHASA JANGAN SAMPAI MENYEMAI LALAI RASA

Setelah kita menimang dan menimbang, hasil karya sastra para sastrawan tentu kita perlu pustaka inventaris sebagai rumah sastra tempat berdiam. Sekaligus pusat rujukan dan sosialisai tidak hanya sekolah tetapi juga masyarakat umum. Dalam hal ini  Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara yang sebelum tahun 2012 bernama Balai Bahasa Medan, menjadi surga yang nyaman untuk menabung faham.
Dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah, Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara harus selalu melakukan terobosan yang hasilnya dapat dibuktikan baik secara fisik maupun nonfisik. Selanjutnya dalam berbagai hal Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara diharapkan juga tak akan pernah kehabisan “bensin” dalam menjalin kerja sama yang baik dengan beberapa lembaga yang terkait, baik yang berada di kota provinsi maupun yang berada di daerah, seperti, lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga-lembaga pusat informasi (media cetak dan elektronik), dan lembaga-lembaga pendidikan (sekolah/perguruan tinggi negeri dan swasta), termasuk juga bekerja sama dengan lembaga atau organisasi-organisasi yang bersentuhan dengan kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan.
Termasuk dalam mewujudkan lembaga penelitian yang unggul dan pusat informasi serta pelayanan tidak hanya di bidang kebahasaan, tetapi  juga tidak menganaktirikan kesastraan dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang berwibawa dan bahasa perhubungan luas tingkat antarbangsa.
Berdasarkan tupoksi, Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara diharapkan tetap bersinergi secara seimbang dalam melaksanakan penelitian, pengembangan, dan pembinaan, serta pelayanan kebahasaan dan kesastraan di daerah. Pun, dalam  melaksanakan kebijakan teknis Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bidang pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia, merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis di bidang pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia di daerah, dan dalam bekerja sama dengan pemerintah daerah demi merumuskan kebijakan teknis di bidang kebahasaan dan kesastraan daerah, Balai Bahasa  tidak hanya bergerilya di luar, juga berbenah di dalam. Tidak hanya sekadar proses meneliti, tetapi juga aplikasi. Tidak hanya berkutat pada teori, tetapi juga berkubang dalam praktik. Tidak hanya orang-orang terdekat, tetapi apa dan siapapun yang mampu menebar benih manfaat. Intinya, adalah keseimbangan.
 Berdasarkan hal di atas, penulis melihat geliat Balai Bahasa sudah mulai menabuh genderang untuk itu. Mengayuh perahu pengembangan bahasa dan sastra walau tidak hanya riak, tetapi juga gelombang trik dan intrik di dalam dan di luar harus dihadapi secara kekeluargaan. Mulai dari penelitian, workshop, festival/lomba, melahirkan duta-duta bahasa dan pemberian anugerah, serta berbagai kegiatan dan kebahasaan telah dilakoni. Tidak hanya kerjasama secara kelembagaan, tetapi juga dengan individu pun sudah menjadi bagian upaya yang mulai mendarah daging.
Wajar pergolakan di sana-sini sudah menjadi menu sehari-hari yang harus dinikmati. Hanya saja yang perlu menjadi PR bersama adalah bagaimana sastra tidak dianggap menjadi ‘Sampuraga’ bahasa. Bagaimana menjadikan sastra sebagai anak kandung bahasa yang kembali mengakar-membumi. 
Di awal sudah disampaikan bagaimana Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sori Siregar, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Hamsad Rangkuti, dsb, juga bagaimana sastrawan setelahnya, masih tetap menjadi catatan, dalam ingatan generasi mendatang. Bagaimana (akar) karya-karya sastra tradisional/moderen tidak lepas dalam catatan buku-buku pelajaran di sekolah (di Sumatera Utara), tanpa harus mengenyampingkan (karya) sastrawan (nasional) di luar Sumatera Utara.
Lalu pendataan dan sosialisasi karya ke sekolah-sekolah di (kabupaten/kota)  Sumatera Utara yang dimiliki oleh  para  sastrawan, seperti karya-karya Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.
Atau, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, YS. Rat,  Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Jones Goeltom, Hidayat Banjar, Malubi, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.
Selain dari karya fiksi, Balai Bahasa perlu mendata ulang sekaligus merangkum kembali esai-esai yang ada di Koran, majalah atau buku dari sastrawan Sumatera Utara
sebagai pelopor sastra modern Indonesia. Dan saat ini ‘mumpung’ geliat kepengarangan Sumatera Utara makin ramai, terutama puisi dan Cerpen, diharapkan Balai Bahasa Sumatera Utara bisa lebih mengusahakan seintensif mungkin menumbuhkembangkan kegiatan-kegiatan semacam pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku menjadi semakin  marak dilakukan. Termasuk genre sastra yang banyak ditulis selain puisi dan cerita pendek, yaitu  penulisan novel, yang memerlukan waktu cukup lama dan dukungan dana yang besar.

D. EPILOG
           
            Di Sumatera Utara nama-nama, seperti Hamzah Fansuri, Merari Siregar,  Amir Hamzah, Armijn Pane,  Chairil Anwar, Sitor Situmorang,  Iwan Simatupang, Damiri Mahmud, A. Rahim Qahhar, BY. Tand, dll,  berhasil memacakkan karya-karya mereka, menjadi milik bangsa Indonesia. Juga  Wilem Iskander. Putra Mandailing yang berkesempatan mengenyam pendidikan sampai ke negeri Belanda. Karya-karya Wilem Iskander yang nama kecilnya adalah Sutan Sati itu, tetap mengingatkan saudara-saudaranya di tanah Mandailing agar tidak bodoh dan terus belajar dan belajar.
Willem Iskander yang disekolahkan ke negeri Belanda dan meninggal dunia dinegeri yang menjajah tanah kelahirannya, Mandailing, perjuangannya sebagai seniman pendidik. Jerih payah Willem Iskander, masih tetap dihargai oleh saudara-saudaranya di Tano Bato. Dia dinobatkan sebagai pionir pendidikan bumiputra.
Di tahun 50-an sampai 60-an, tersebut nama Iwan Simatupang sebagai pembaharu ‘prosa’Indonesia di zamannya. Novel yang dia ciptakan tidak banyak. Setelah Chairil Anwar dan Amir Hamzah, karya-karya Iwan Simatupang yang anak Sibolga, Sumatera Utara dari kawasan Tapanuli Tengah itu, banyak dibahas oelh penulis-penulis ternama.  Iwan adalah penulis generasi majalah Siasat, Siasat Baru, Zenith, Mimbar Indonesia dan Sastra. Kesemua majalah itu sudah tidak terbit lagi.
Kebesaran Iwan Simatupang sebagai sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara memang menarik untuk dikaji sampai kapanpun. Masih adakah di toko-toko buku, tiga novel Iwan Simatupang yang irrasionil itu?
Kini abad serba digital. Penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam karena tak mampu bersaing Damiri Mahmud, Darwis Rifai Harahap, Idris Pasaribu, Maulana Samsuri,  masih terus bekarya walau usia mereka tidak lagi muda. Kita juga tidak lupakan A. Rahim Qahhar, Ali Sukardi, Aldian Aripin, Z. Pangaduan Lubis, Taguan Hardjo, Zam Nuldyn, Bahtar Sy, Djas, Lahmuddin Mane, Ahmad Samin Siregar,  dll.
Penerus sastra Sumatera Utara, dari angkatan Shafwan Hadi Umry, Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Darma, Mihar Harahap, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul nama-nama sastrawan muda seperti Hasan Albana, Sartika Sari, Syafrizal Sahrun dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran ‘budaya’ surat kabar yang ada di Sumatera Utara. Mampukah karya-karya mereka menjadi fenomenal di khazanah sastra Indonesia?
Sumatera Utara punya banyak khazanah sastra. Sastra adalah anak kandung dari bahasa. Ia bukanlah Sampuraga Bahasa. Dan Balai Bahasa Sumatera Utara diharapkan tidak hanya sekadar Pustaha inventarisasi data-data, tetapi juga traktor penggerak demi kembali meningkatnya nilai-nilai karakter budaya generasi muda kabupaten/kota di Sumatera Utara, pun Indonesia. Demikian.

Komunitas Home Poetry, September 2015


Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemaen Pendidikan Nasional.
Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Majalah Bobo, Ngompol
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi, Yogyakarta: UGM
Press.
Tarigan, Henri Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Wellek, Rene and Austin Warren.1965. Theory of Literature. New York: A
Harvest Book Harcourt, Brace and World, Inc.
mraudahjambak.blogspot.com

 M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Jatuh cinta dengan teater sejak di ESEMPE. Lalu melamar teater LKK di IKIP 1993. 1994/1995 ditunjuk sebagai ketua Teater LKK IKIP Medan, kemudian melahir kan beberapa nas kah dan pementasan baik sebagai pemain, kru, atau sutradara(radio, TeVe, ikLan, fiLm dan panggung). Penggagas festival DKOKUK LKK IKIP MEDAN (1995). 1995 ikut membidani SANGGAR TEA TER GENERASI MEDAN dan pernah tercatat sebagai pengurus angkatan I (bid. DIKLAT). Bergabung juga di PATRIA 1995. Beberapa kali diajak bergotong ro yong oleh bebe rapa kelompok teater di Medan, seperti : PATRIA, NUANSA, NASIONAL, IMAGO, MERDEKA, ANAK NEGERI, BLOK, GENERASI, Dan Lupa Lagi. Beberapa kali me menangkan festival baik sebagai pemain, artistik, penu lis naskah, dan sutradara. Sebagai pengamat tetap PARADE TEATER PELAJAR dari 2003 s/d 2006 ditunjuk Aso siasi Teater Sumatera Utara. Juri tetap festival teater (DKOKUK) sampai 2005. Melatih teater di beberapa sekolah sampai sekarang. Instruktur Acting D’WIN DOWS PRODUC TIONS sampai 2008. Riwayat pementasan serius setamat sekolah sejak 1993 di LKK IKIP (sekarang UNIMED) Medan. Tampil dalam TASSEMATA di TBSU 1994. 1995 menyutradarai SANG PENYAIR di Taman Budaya Sumatera Utara. ABRA KA DAB RA di pentas tertutup TIM Jakarta, 1996 dalam rangkaian Pekan Seni Mahasis wa tingkat Nasional.  MENYIBAK TIRAI MASA DEPAN 1997 di Pardede Hall. WA JAH KITA 1998 di hotel GARUDA PLAZA Konvention Hall. TRAGEDI AL-HALLAJ  di Hotel Tiara Konvention Hall 1999. PE TANG DI TAMAN di TBSU 2000. PEJUANG 2000 di Departeman Pariwisata, Seni dan Budaya Pematang Siantar. MARNI di TVRI Medan 2001. TANAH GARAPAN di TVRI 2002. Mengikuti workshop MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Perge laran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog ANJING MASIH MENGGONGONG (2004). Menyutra darai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Suma tera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. 2006 JODOH PARADE TEATER SUMUT di TBSU. 2007 menyutradarai PEREMPUAN TANPA KEPALA di TBSU. 2008 JODOH SABTU TERTAWA ALA KAMPUSI di TBSU. Menyutradarai TIURMAIDA 08/09 di TBSU.  Di 2009 dalam CUBLIS di TBSU terlibat sebagai Co- Sutradara-bersama penulis/pemain Hasan Al-Banna, dalam rangkaian Jaringan Teater Se-Sumatera di LAMPUNG. Dll. Saat ini selain di FKS, HISKI, SIAN, AGBSI, HSBI dan GENERASI juga membidani Komunitas Home Poetry (Komunitas HP-1997) sekaligus sebagai Ketua Umum, juga bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Di perguruan dan Univeristas Panca Budi (Fakultas Agama Islam dan Fakultas Filsafat). Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera   Utara, Jl.Perintis Ke  merdekaan No. 33 Me dan. Alamat rumah: Jl. Murai batu e. 10, Kompleks rajawali indah-Sunggal-Medan. Kantor: SMK Panca Budi – 2,   Jl. Gatot Subroto km 4,3. E-Mail: mraudahjambak@plasa.com. – mraudahjambak@yahoo.com. Pandangan hidupnya belajarlah tanpa henti, maka engkau ada. Lebih baik berkarya daripada mencela. Karya akan menjadikanmu ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, dan kesombongan akan menghancurkannya perlahan. Ingat sejarah akan terus mencatat.







No comments: