Wednesday 2 March 2016

Bocah Penari Reog Ponorogo



Bocah Penari Reog Ponorogo
Oleh Ilham Wahyudi


“Pak, yok kita nonton reog,” rengek anak itu kepada bapaknya. Sudah tiga hari ia demam karena kerinduannya pada kesenian reog. Tak pelak Sardi (46) pun segera mengantarkan anak keempatnya itu ke tempat ia dan teman-temannya berlatih kesenian reog, kenang Sardi.
Adalah Yoga (10) bocah yang tinggal di Lorong Pandawa Karang Rejo Pasar II, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat itu yang merengek-rengek minta diantarkan melihat seniman reog berlatih. Saat itu usianya masih empat tahun. “Si Yoga itu waktu kecilnya kalau dengar musik reog dia langsung saja nari,” ungkap Sardi pada Medan Bisnis.
Berbeda dengan anak-anak seusianya, Yoga ternyata lebih senang menghabiskan waktu luangnya untuk berlatih menari reog. Tapi bukan berarti ia tak suka bermain dengan anak-anak lain. Sebab setiap ia menari tarian reog, maka kawan-kawannyalah yang memainkan musik. Walaupun alat musik yang mereka mainkan seadanya, seperi: saron dan kotak gabus. Namun tak sedikitpun mengurangi semangat Yoga berlatih.
Memang, sejak usia empat tahun Yoga sudah senang menari-nari sendiri. Apalagi jika mendengar alunan suara dari alat-alat musik reog. Inilah yang akhirnya membuat Sardi nekad membelikan anaknya itu topeng Reog Ponorogo. Bagaimana tidak, di tengah himpitan ekonomi yang serba pas-pasan, Sardi yang sehari-harinya berprofesi sebagai pencari rumput itu harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membeli topeng Reog Ponorogo.
Harga satu topeng Reog Ponorogo tidaklah murah. Bayangkan saja, satu lembar bulu merak bisa mencapai Rp 6.000. Itu pun harus pesan dulu dari Jawa. Nah, karena keterbatasan biaya dan tempat pemesanan yang jauh, Sardi akhirnya menganti bulu merak dengan bulu ayam. Namun soal harga, bulu ayam ternyata juga tak kalah mahal dibanding bulu merak. Harga satu bulu ayam Rp 5.000. Sementara itu, satu topeng Reog Ponorogo yang berukuran besar, biasanya memiliki sekitar 2000 helai bulu. Sedangkan untuk ukuran kecil, yang sering dipakai Yoga berjumlah 300 helai bulu.
Menyukai kesenian reog sejak kecil, Yoga bukanlah satu-satunya anak di kampung itu. Sepupunya Rizky (12) juga menyukai kesenian reog. Dimulai dengan hanya melihat-lihat Yoga berlatih, pelan-pelan Rizky pun tertarik pula belajar menari reog. Kini mereka berdua menjadi penari reog yang cukup populer di kampungnya.
Beruntung pagi itu Medan Bisnis berkesempatan menyaksikan Yoga dan Rizky sedang bersiap-siap sebelum berangkat ke sebuah acara resepsi pernikahan. Selesai memakai baju khas pemain reog, semua perlengkapan pertunjukanpun dinaikkan di becak bermotor. Hari itu mereka akan bermain disebuah acara resepsi pernikahan yang tak jauh dari rumah.
Tidak seperti kelompok reog yang biasa dimainkan oleh orang dewasa, Yoga dan Rizky hanya mengunakan alat seadanya. Tidak ada gong, gendang, tipung, serompetan, angklong dan kenong. Seperti yang sering dipakai kelompok reog dewasa. Semua peralatan musik tersebut telah digantikan oleh sebuah kaset CD yang berisi lagu dengan judul Singo Manunggal.
Sebagai penari reog yang populer di sekitaran kampung, Yoga dan Rizky sering pula diundang pada acara-acara ulang tahun dan sunatan. “Kalau acara sunatan biasanya dibayar Rp 250 ribu. Sedangkan ulang tahun paling sedikit Rp 100 ribu,” kata Sardi. Sementara itu untuk pertunjukan pada acara resepsi pernikahan yang sebentar lagi mereka mainkan, Yoga dan Rizky biasanya dibayar sekitar Rp 350 ribu.
Honor yang Yoga dan Rizky dapati dalam sekali pertunjukan ternyata bisa saja bertambah. Apalagi kalau mereka menari dengan semangat. “Kadang-kadang saweran dari penonton bisa sampai Rp 50 ribu,” sambung Sardi. Namun, itu semua terkadang bisa buyar jika hujan turun saat mereka sedang pertunjukan. Pasalnya jika hujan, pertunjukan yang biasanya sering dilakukan outdoor itu terpaksa harus dihentikan. Hal ini tentulah membuat kesempatan mendapatkan saweran, pun hilang.
Selain menambah uang jajan, penghasilan dari bermain reog yang didapati Yoga dan Rizky ternyata juga cukup untuk membantu keperluan sekolah. Paling tidak, sejak kecil mereka sudah belajar mandiri. Begitupun, Sardi tidak pernah memaksakan Yoga dan Rizky untuk harus selalu bisa tampil.
Ditanya untuk apa uang yang didapat dari menari, dengan polos Rizky menjawab, “Untuk beli sepeda, biar mamak naik sepada,” jawabnya tersenyum. Sedangkan Yoga yang usianya lebih muda dari Rizky hanya menggelengkan kepala saja ketika ditanya hal yang sama.

Medan, 2010






No comments: