Wednesday 2 March 2016

MELONGOK SENI DARI ZAMAN KE ZAMAN



MELONGOK SENI DARI ZAMAN KE ZAMAN
Oleh : M. Raudah Jambak, S.Pd

Banyaknya seni pertunjukan yang ditampilkan dekade 2000-an di Sumatera menandakan betapa Sumatera Utara tak pernah kehabisan kreativitas. Berbagai naskah, kelompok dan kepentingan turut mewarnai, bahwa Sumatera Utara, Medan khususnya, selalu akan memberikan warna dalam perjalan seni di lingkungan manapun.
Mungkin, kita masih ingat dengan Pertunjukan Teater D’Lick Teater team, Merdeka, Siklus, Nasional, Anak Negeri, Generasi, LKK, Alif-LKCSN, SiSi, O, Komunitas Home Poetry, Rumah Mata, dll. Dengan pertunjukan Raja Tebalek, Mentang-Mentang dari New York, Maling Menuntut KeaDILAN, MOA, Perempuan, Tamu Terakhir, Indonesia Undercover, Tiurmaida, Cinta Tanah Air, Cublis, Celah, Pasung,  Rintrik, Keparat dan sekarang Paranoia, Lawan Catur, serta Jendela-Jendela (yang terakhir ini akan ditampilkan di Lampung), dll. Baik itu di acara lomba, festival, atau Pertunjukan Tunggal, di antaranya Parade Teater, Festival Teater, maupun Sabtu Ketawa, dll.
Selain dari seni pertunjukan moderen, seni pertunjukan rakyat juga tak kalah gencarnya. Lihat saja penampilan Teater Anak Negeri di Padang, Pertunjukan Mahasiswa Pasca Sarjana Unimed di Taman Budaya Sumatera Utara beberapawaktu yang lalu, Kelompok Informasi pembangunan dalam pertunjukan Obrolan Pembangunan KOMINFO, Pertunjukan Rakyat acara KOMINFO Tebing Tinggi yang tampil di solo, Opera batak, serta penampilan Teater Bangsawan yang nanti juga akan tampil di Solo dalam rangka Temu Budaya Nasional.
Ada kebanggaan yang tidak pernah putusnya ketika Medan, Sumatera Utara, masih terus menggeliat dalam bidang kepenulisan, pertunjukan, Film (diantaranya Film berbahasa Batak), dll. Kebanggaan itu mungkin diantaranya, bahwa seniman Sumatera Utara tidak lagi adu urat, adu suara, tetapi lebih mengedepankan kepada karya, tidak hanya moderen juga tradisi. Diantaranya adalah Teater bangsawan. Kerinduan masyarakat terhadap pertunjukan seni tradisi ini seolah melepas lelah dari segala kepenatan segala macam intrik politik, kejahatan maupun kesibukan dunia kerja.
Pertunjukan seni tradisi seperti teater Bangsawan adalah jus segar yang mampu menetralisir itu semua, walau perbedaan pandangan serta penanganan selalu menjadi bahan pembicaraan yang hangat sesuai zamannya.
Pertunjukan seni yang disebut sebagai Teater Bangsawan biasanya adalah kesenian yang menggabungkan musik, lagu, tari dan laga. Peralatan musik yang mengiringi pementasannya terdiri atas: biola, akordion, gendang, gong dan tambur. Sesuai dengan namanya, yaitu Bangsawan, kostum yang digunakan adalah tata rias yang menyerupai orang-orang di kalangan Bangsawan. Sedangkan, perlengkapan pendukungnya menyesuaikan dengan ceritera yang ditampilkan, karena patokan yang khusus tidak ada.
Sebagaimana cerita rakyat lainnya, teater Bangsawan memiliki pakem yang sudah dirumuskan. Biasanya dengan urutan, misalnya : (1) pentas dibuka dengan lagu-lagu dan tarian pembuka yang mengisahkan ceritera yang akan dimainkan. Sebagai catatan, setiap kelompok biasanya mempunyai lagu pembuka tersendiri yang sekaligus menjadi ciri khasnya; (2) peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya diikuti dengan pergantian layar; terkadang diselingi dengan lagu atau nyanyian yang berisi ceritera yang akan dimainkan pada adegan berikutnya; dan (3) pentas ditutup dengan lagu dan tarian penutup.
Ketika seni pertunjukan ini sedang berlangsung, maka lagu-lagu yang mengiringinya, disamping lagu-lagu yang sering dinyanyikan dalam joged atau tarian Zapin, adalah lagu-lagu Stambul Dua, Stambul Opera, dan Dondang Sayang. Sedangkan, ceritera yang dimainkan antara lain: 1001 Malam, Rakyat Melayu, Dongeng India dan Cina, dan Hikayat Melayu. Setiap ceritera terbagi dalam beberapa babak atau adegan. Dan, setiap adegan diselingi dengan sret atau selang waktu untuk menceriterakan apa yang akan terjadi pada adegan berikutnya. Jadi, semacam pengantar agar para penonton mengetahui apa yang akan disajikan adegan berikutnya.
Para tokoh pemainnya terdiri atas: Sri Panggung (diperankan oleh pemain yang tercantik yang akan menjadi primadona panggung), anak muda, raja, permaisuri, menteri, hulubalang, saudagar-saudagar, inang-dayang, dan pelawak yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai Khadam. Bahasa yang dipergunakan adalah Melayu dengan dialek Riau-Kepulauan, dengan tata cara istana atau bangsawan. Berikut ini adalah penggalan dialog antara Dayang dan Hadang dalam sebuah pementasan Bangsawan.
Dayang: “Manelah Panglime Hadang nih? Sudah bermain-main di taman tak ade. Sebentar lagi kalau Tuan Puteri sudah datang kemari pasti akan murke kalau melihat Panglime Hadang tak ade. Bencilah same die. Pak Hadang, Pak Hadang, o…Pak Hadang. Kemane aje wak nih?”
Hadang: “Lagi sibuk betul aku, patik…e salah, e…sesat. Jalan-jalan ke taman larangan nih, nyari-nyari jelutung. Untunglah ada Mak Inang di belakang nunjuk sane tu…tu..hah…baru sampai”.
Pesan yang ingin disampaikan dalam berbagai cerita yang disuguhkan adalah seorang raja akan dihargai oleh rakyatnya apabila bijaksana, sebagaimana ungkapan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Melayu, yaitu: Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah dan Hukum adil kepada rakyat, tanda raja beroleh inayat.
Pemain (pelakon) seni pertunjukan ini terdiri atas: Sri Panggung dan anak muda yang merupakan tokoh utama, raja, seorang khadam, dan beberapa peran pembantu raja, menteri, hulubalang, inang-dayang, dan pengukuh lakon lainnya. Jadi, jumlahnya jika ditambah dengan pemain musik kurang lebih 20 sampai dengan 25 orang.
Durasi pementasannya bergantung pada ceritera dan waktu yang tersedia. Sedangkan waktu pementasannya pada malam hari. Pada mulanya seni pertunjukan ini tampil dalam rangka mengisi acara-acara upacara lingkaran hidup individu (khitanan dan perkawinan), hari-hari besar agama Islam, dan hari-hari nasional seperti peringatan hari kemerdekaan Indonesia, serta peringatan-peringatan lainnya. Namun, dewasa ini hanya terbatas pada hari kemerdekaan saja, itu pun tidak selalu. Dengan kata lain, bergantung pada pemerintah daerah setempat, baik di kecamatan, kabupaten, maupun propinsi.
Berbeda dengan seni pertunjukan modern, seni pertunjukan ini tidak memerlukan sutradara, walaupun setiap group mempunyai seorang pemimpin. Satu hal yang mesti ada (terbuat) adalah tempat para pemain berlaga (panggung). Panggung sebuah pementasan yang disebut sebagai Bangsawan ini dilengkapi dengan layar berlapis yang disebut dengan layar stret. Layar-layar tersebut dibubuhi dengan lukisan istana, taman, hutan (pemandangan alam) dan lain sebagainya. Maksudnya untuk menggambarkan situasi dan kondisi di mana sebuah dialog atau perseteruan terjadi. Jadi, jika suatu peristiwa terjadi di istana, maka layar yang ditampilkan adalah yang berlukisan istana, dan seterusnya.
Nah, masa dan zaman berkembang. Kita lihat saja sekarang semacam Overa Van Java, perpaduan tradisi dan moderen seolah menjadi rumusan yang baru, dan sepertinya terus dipertahankan oleh pihak manajement. Atau seperti yang dilakukan  Garin Nugroho dalam Opera kontemporer adaptasi dari film Opera Jawa, yang diproduksi Tropentheater dengan iringan gamelan pimpinan Rahayu Supangga berlangsung selama dua jam tanpa jeda.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Rizaldi Siagian, bahwa  seorang penulis Hungaria, Ladislao Székely, dalam karya semi-autobiografinya, Tropic Fever: The Adventures of a Planter in Sumatra (1985), mendeskripsikan keterlibatan kreativitas artistik dan kreativitas bisnis dalam menghidupkan kota Medan sekitar seratus tahun yang lalu. Pengalaman tuan kebun yang tinggal di tanah Deli selama enam belas tahun (1902-1918) dan terakhir tinggal di “Kwala Batu” (kemungkinan Pabatu sekarang (?)), sangat menolong untuk melihat bagaimana sesungguhnya dunia kesenian di Medan masa itu.
Ia menggambarkan di daerah pemukiman orang China (kemungkinan di sekitar Jl. Semarang, Kanton) terdapat gedung teater yang disebut “Bangsawan”. Suasananya ramai, dipenuhi pengunjung dan pedagang China, Tamil, Bengali, Arab, Eropah, dan penduduk asli Sumatera Timur, Melayu. Ada penjual buah termasuk penjual teng-teng (buah segar yang sudah dikupas), tukang sepatu yang bekerja 24 jam, dll. Medan saat itu sudah sibuk; boleh dibilang tumbuh dan berkembang oleh para pendatang yang sebagian besar juga tercatat sebagai pelaku sejarah perbudakan yang terburuk dan dikritik sejarahwan Anthony Reid sebagai “prestasi […] kapitalisme internasional [yang melahirkan] kesengsaraan […] mengerikan” itu (Székely, Reid, 1989:v).
Seni Pertunjukan Tradisi, memang adalah sebuah kerinduan yang selalu kita harapkan kehadirannya, tetapi mau tidak mau ia memang harus tergerus dan beradaptasi dengan perkembangan zamannya. Termasuk dalam hal ini teater bangsawan, setuju atau tidak setuju selain langkah-langkah yang sudah baku, ia harus beradaptasi (bukan takluk) dengan pertunjukan moderen, seperti sutradara, skrip, setting, tata cahaya, dll. Bukankah begitu?

*Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry 




No comments: