Sunday, 29 September 2019

PUISI LINGKUNGAN HIDUP


PUISI M. RAUDAH JAMBAK
SUNGAI PENGEMIS
1.
Seorang pengemis duduk di pusat kota
menggenggam terompet yang dibuang
oleh pemiliknya. Jalanan mulai sunyi.
Seorang pengemis duduk di simpang kota
meniup terompet yang basah terimbas
air hujan. Suaranya tersekat.
Seorang pengemis duduk di tiang
lampu jalan raya yang mati arusnya,
pengendara satu-satu. Bibirnya membiru.
2.
Pada malam tahun baru ini, para pengemis
mengais rezeki dari sisa terompet yang ditinggalkan
para pejalan kaki. Hujan baru saja reda, meninggalkan
segala sisa.
sepanjang malam pengemis itu menahan
gigil tulang, memungut segala bekas di jalanan.
Pesta baru saja usai, menjejakkan segala mimpi
yang terburai.
Lalu perlahan ia pergi meninggalkan sisa nasib
yang tak sempat dikutip. Di simpang jalan,
lampu merah tak jua padam di antara langkah
yang tertahan
3.
dan perlahan suara malam senyap
meninabobokkan bulan di peraduan.
Suara terompet dan jerit petasan sedari
tadi telah dibungkam.
Menjelang pagi seorang pengemis
membangun kepingan mimpi. Bersama
tumpukan sisa hujan yang perlahan
meninggalkannya di sepanjang selokan
4.
Di antara pagi
Pengemis kecil duduk sendiri
Mendekap sisa hujan
Di dadanya
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu per satu
Pengemis kecil duduk sendiri
menumpukkan sisa nasib
mengumpulkan kepingan mimpi
dalam nyenyak tidurnya




5.
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
6.
Pengemis kecil bertubuh dekil
menyanyikan senandung sunyi
lagu dari segala kepedihan
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Pengemis kecil bertubuh dekil
Menghalau masa lampau
Tentang bulan dan matahari
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Sepanjang jalan raya
7.
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu rindu
Sisa mati lampu dan deru segala hujan
Entah tanggal yang ke berapa
Zikir mengalir
Di simpangsimpang jalan raya
Seorang pengemis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
8.
Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiran
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun melayu
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Pada jejak-jejak perjalanan
9.
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengumpulkan sampah
Yang ditinggalkan peradaban kata-kata
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu tahun baru
Seorang pengemis kecil mengutip sampah kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
Komunitas Home POETRY, 2008

KEPADA ORANG-ORANG TERCINTA
- dan di sinilah akhirnya syuhada itu berumah
1/
Bumi yang tertatih, tersungkur lalu merayap
di kepala melalui lorong telinga
Tubuhnya yang mulai membusuk
melahirkan berjuta belatung sepanjang liurnya
aku saksikan berjuta kornea mata, terkatup
Menghisap huru-hara segala luka-luka
dan ada rasa kesakitan yang tak terbaca
pada dada
2/
Bumi yang tertatih, antara parau rongga dan
hujan air mata membenam segala sembab
tubuh yang membusuk membingkai peristiwa
aku saksikan lelap tidur kanak-kanak, berselimut debu-debu
membau anyir sungai-sungai darah mengabarkan sisa
Amboi, segala hanya menyulam darah dan air mata
3/
Bumi yang tertatih, debar jantungnya adalah pertanda,
Debur isaknya meluluh lantakkan segala jiwa-jiwa
Lubang pori-porinya longsorkan segala.
4/
Bumi yang tertatih ,
Api membakar dimana-mana, siapa menghanguskan siapa
Tangis membanjir dimana-mana, siapa menenggelamkan siapa
Duka terhidang dimana-mana, siapa memakan siapa

Bumi yang tertatih, rotasinya berputar tak terduga

Medan, 07-09
BIAS MATAHARI PAGI
apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika
dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita
apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya
pada sisa tangis debu-debu di jendela matamu
malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rerumputan.

apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun
kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan
pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut
atau kau telah terjerumus dalam limbah berbau? Sementara ia membenam
di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya

DI ALIRAN SUNGAI
di aliran sungai ini
tak kuharap kau menyaring debu-debu
pun mungkin ceracau knalpot tua
hirup lah aroma birahi kesumat
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa nisan. Hanya saja di aliran sungai ini,
aku haru pada pekat airmu. haru pada senandung lapar zikir lumpur di liat bebatuan
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah yang menghanyutkan
dan
rauplah
lalulalang aroma
segala pembusukkan
2008
Kuberi Kau Sayap Buat Kita Arungi Semesta
Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan.
Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:
Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus dimensi tempat kau terbiasa menari,
Abadikan harum aroma tubuhmu:
Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kaki mu yang lembut, bergesekan bilah kaca atau hunus duri, mereguk alir peluhmu:
Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut memohon diri
Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:
Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu, di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam hidangan dongeng dan legenda
Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:
Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan
Ruap asap jagung bakar, yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan
Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara kepentingan dan kebanggaan
Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu
Siang dan Malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya
Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam
Pada bahuku yang aduh, engkaupun luruh
Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar
Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air
Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya
Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian
Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku
Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan
Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban
Pada bentangan langit paling luas ku ajak kau terbang sambil menyanyikan semesta, menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:
belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna
dan kita arungi semesta, bersama

medan,08














DOA SUNGAI KESEPIAN
1.
Di dalam ruang dadaku ada irama degup
yang menarikan jantung dengan irama tertahan.
Mendesah seperti tangkai ranting patah.
Irama itu kadang naik-kadang turun
menembus lorong-lorong di ujung telinga
mengiringi larik terakhir sebelum senandung
yang lesap terbawa angin.
Irama itu berhamburan pada sesak irama
pada degup dada yang menembus lorong
di ujung telinga yang berseberangan. Ada
isak yang mendesak butir embun jatuh
pada lembar waktu dan cucaca.
Lalu suhu udara yang berbeda membawa
irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang
akan mengantarkanmu pada alam, alam
yang sulit kau baca.
Dan akhirnya seperti yang telah kau duga
sebelumnya irama itu adalah lagu
dengan irama tembang kenangan
sebagai sebuah salam perpisahan.
2.
Aku tersedak dadaku menafsirkan detak
seluruh irama dari degup yang berbeda
menyatukan irama debar pada tembang
yang hampir tak terbaca
Aku tersedak merindukan lagu sukacita
memenuhi segala rasa bahagia yang pernah
dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan
aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama
kelumu menghardik harapku,
aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi
mulutku begitu kaku.
Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.
3.
Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau
kabarkan seperti sekawanan daun
yang gugur ke bumi.
udara dingin itu melahirkan beribu gunung es
di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku
yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil
tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap
ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.
Lalu bongkahan es itu perlahan mencair
Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur
Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.
Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan
sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan
suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya
yang lain ke negeri yang lain.
Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang
lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai
penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku
yang menghantarkannya pada degup isak
dari irama kebadian.


No comments: