Kolam di Pekarangan
/1/
daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. Ia ingin sekali bisa merindukannya. Tak kan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya perlahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkasnya sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting dan hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang dikolam itu diperingatkan entah oleh siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang. Ia pun bergoyang kesana-kemari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
*
ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.
*
ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.
/2/
ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerh karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil kelihatan sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada daun jatuh. Ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak kesana kemari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada disitu dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur kemana pun. Air tidak punya pintu.
*
kadang kala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.
*
merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.
/3/
air kolam adalah jendela yang suka menengada menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dan menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kuatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk dipinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kaian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yng dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.
*
ia kini dunia.
*
tanpa ibarat.
Sajak karya : SapardinDjoko Damono
Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan.
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta.
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu :
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain ......
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa.
Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit :
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku.
Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !
Puisi : Ajip Rosidi
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi dilengkungkannya
Tubuhnya lolos di tiap liangsinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadean
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
'Mantri polisi lihat kemari!
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak rujibesi!
Berpandangan wedana dan mantra polisi
Jante, jante Arkidam!
Elah dibongkarnya pegadaean malam tadi
Dan kini ia menari'
'Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi'
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu
'Mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!'
Hidup kembali kalangan, hidup kembali penjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya seloki ke sembilan likur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantra polisi berdiri di sisi kiri:
'Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!'
Digisiknya mata yang sidik
'Mantri polisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak'
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Terbenam tubuh mantra polisi di dasar kali
'Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jag!'
Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruas tulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tk ditklukannya?
Mulutnya manis jeruk garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jnte terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tngsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang
'Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!'
'Datang siapa yang datang
Kutunggu diatas ranjang'
'Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?'
Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang'
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
'He, lelaki mata badak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?'
Berpaling seluruh mata ke belakang
Djante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
'Kejar jahanam yang lari!'
Jante dikepung lelaki satu kampong
Di lingkungan kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
'Keluar Jante yang sakti!'
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
'Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?'
'Jante? Tak kusua barang seorang
Masih samar dilorong dalam'
'Alangkah eneng bergegas
Adakah yang diburu?'
'Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!'
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakan dirinya
'he, lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?'
Berpaling lelaki kea rah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya
Jante Arkidam
(Karya Ajip Rosidi)
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi di lengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian, di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadaian
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
‘mantri polisi lihat ke mari!
Bakar mejajudi dengan uangku sepenuh saku
Wedanan jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak rujibesi!’
Berpandangan wedana dan mantripolisi
Jante, Jante; Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi
Dan kini ia menari!’
‘Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya
Batang pisang,
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi’
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang
Sepatu
‘mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!’
Hidup kembali kalangan, hidup kembali
Penjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki kesembilanlikur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantripolisi berada di sisi kiri
‘Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!’
Digisiknya mata yang sidik
‘Mantripolisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak’
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali
‘Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!’
Teriaknya gaung di lunas malam
Dan Jante berdiri di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana yang tidak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruastulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tak ditaklukkannya?
Mulutnya manis jeruk Garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu injuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
‘Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!’
‘Datang siapa yang jantan
Kutunggu di atas ranjang’
‘Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?’
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang’
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
‘hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?’
Berpaling seluruh mata kebelakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
‘Kejar jahanam yang lari!’
Jante dikepung lelaki satu kampung
Dilingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
‘Keluar Jante yang sakti!’
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
‘Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?’
‘Jante tak kusua barang seorang
Masih samar, di lorong dalam’
‘Alangkah Eneng bergegas
Adakah yang diburu?’
‘Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!’
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakannya dirinya
‘Hei lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?’
Berpaling lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya.
______________
Alkisah, Jante Arkidam adalah seorang jagoan (atau bisa disebut preman atau residivis) yang sangat disegani dan ditakuti. Dia adalah momok bagi si kaya dan institusi penyimpan harta. Meski disimpan serapat mungkin, tapi usaha itu tak berguna, karena dialah Jante Arkidam.
Dia sangat sakti, terbukti dari penggambaran, “Tajam tangannya lelancip gobang.” Bahkan, “Dinding tembok hanyalah tabir embun. Lunak besi di lengkungannya. Tubuhnya lolos di tiap liang sinar.”
Dan pada suatu malam, beraksilah dia. “Malam berudara tuba. Jante merajai kegelapan. Disibaknya ruji besi pegadaian.” Setelah itu, dia pun berpesta pora sambil sesumbar memanggil-manggil mantripolisi dan wedana.
Dengan takut-takut, mantripolisi dan wedana saling berpandangan. Dengan sedikit tak percaya, mereka berkata, “Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi/Dan kini ia menari!” Bahkan selanjutnya Arkidam malah balik menantang, “Aku, akulah Jante Arkidam. Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang. Tajam tanganku lelancip gobang. Telah kulipat rujibesi.”
Meski demikian, tak ada yang berani menangkapnya. Pesta dan perjudian pun tetap berlanjut dengan dimeriahkan tarian ronggeng. Sloki demi sloki minuman keras ditenggaknya. Hingga ketika dia telah mabuk dan tak sadarkan diri, barulah maling sakti itu diringkus.
Kala terbangun dari mabuk, mantripolisi telah berada di sisi kirinya. Kedua tangannya telah diborgol dan dia pun hendak dijebloskan di bui Nusa Kambangan. Dendam Arkidam pun memuncak kepada mantripolisi yang telah menangkapnya secara tidak jantan.
Namun, sebelum habis hari pertama, Jante pilin ruji penjara. Dia minggat meniti cahya. Dan tak berselang berapa lama, terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali. Mati. Sambil berdiri di atas jembatan, Jante berteriak lantang memecah pekatnya malam, “Siapa lelaki menuntut bela? Datanglah kala aku jaga!”
Jante adalah orang yang ditakuti bagi para lelaki. Tapi bagi kaum hawa, dia adalah pujaan. Bahkan, tak terkecuali janda mantripolisi yang baru saja dibunuhnya. Entah kenapa, hati janda yang baru ditinggal mati itu melunak kepada pembunuh suaminya. Dia rela memberikan semuanya kepada Jante, tak terkecuali kehormatannya.
Malam merambat pelan. Jante tampaknya tak bisa nyenyak tertidur, walaupun ada yang menemaninya. Tiap kali bunyi lonceng dari tangsi polisi berdentang, dia selalu terjaga. Dan pada dentang yang kelima, Jante tergeragap. Janda mantripolisi yang menemaninya semalaman tak rebah di sisinya. Dia berkhianat. Senyampang kemudian, berdegap langkah mengepung rumah. Didengarnya lelaki menantang, “Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!”
Maka saling tantang pun terjadi di antara dua kubu. “Datang siapa yang jantan. Kutunggu di atas ranjang.”
“Mana Jante yang berani hingga tak keluar menemui kami?”
“Tubuh kalian batang pisang. Tajam tanganku lelancip pedang.”
Setelah itu, suasana berubah senyap. Tak ada satu pun pengepung yang berani masuk rumah. Malam makin mencekam bagi mereka. Dan tiba-tiba, pecah suara dari lain arah, “Hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas. Jante Arkidam ada di mana?’
Berpaling seluruh mata ke belakang. Ternyata Jante Arkidam telah lolos dari kepungan. Ia berlari memasuki kebun tebu. Maka, lelaki sekampung yang tadi mengepung rumah pun berlari mengejarnya. Mereka berbalik mengepung kebun tebu itu.
Di lorong dalam kebun tebu, Jante bersembunyi. Dengan kelihaiannya dalam menyamar, kini dia telah berubah bersanggul menjelma gadis yang catik. “Alangkah cantik perempuan yang lewat,” kata salah seorang lelaki, “Adakah ketemu Jante di dalam kebun?”
“Jante?” dia buka suara, “Tak kusua barang seorang. Masih samar, di lorong dalam.”
“Alangkah Eneng bergegas. Adakah yang diburu?”
“Jangan hadang jalanku. Pasar kan segera usai!” ucap Jante dengan nada wanita.
Jante pun dapat lolos dari kepungan. Bak lolos dari lubang jarum. Setelah jauh Jante melangkah, kembali dijelmakannya dirinya. Dia pun berteriak mengejek orang sekampung, “Hei lelaki sekampung bermata dadu. Apa kerja kalian mengantuk di situ?”
Mereka terperanjat. Lagi-lagi maling itu bisa dengan mudah melepaskan diri dari kepungan. Jante lari dalam gelap, meniti muka air kali, dan tiba di persembunyiannya.
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Kurban Ismail
seandainya aku tetap
menjadi kamu
maka, kunikmati percik
kilat pisau ayah
di leherku
sebab di tubuhmu,
pengorbanan bermula
semacam lorong waktu :
ia jembatan menuju surga
segala keikhlasan purba
seandainya Tuhan
tak menarik tubuhku
ia akan menjadi darah daging,
menjelma sajakku yang paling abadi
di aliran darah
yang paling sunyi
2013
Kisah kurban
adalah Ismail
menjelma Qibas
dihunus pisau
adalah Qibas menutupi,
ketelanjangan ismail
pasrah
adalah kurban,
yang membekaskan jejak
keikhlasan ibrahim
di pagi yang paling sexsi
adalah ibrahim,
membekaskan jejak
pada kilau pisau
dan simbah darah
adalah aku
yang berkisah, tentang
ismail yang menjelma Qibas
ibrahim yang menjelma Qibas
aku yang menjelma Qibas
pada pikirmu
yang Qibas
2013
Hujan Mata
Hujan meneteskan matat-mata.
Mata-mata menggenang dirinduku.
Berkecipak pada hulu.
Gemericik di hilir.
Mengantar perahu kertas.
Menuju Nuh.
(2013)
Mata Hujan
Ia terus mencari
Mata-mata kerontang
Melukiskan sungai
Pada kenang.
Pada Nuh
(2013)
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Perahu Nuh /1
Nuh kehilangan perahu
yang tersisa hanya kertas.
Maka, atas kuasa Tuhan,
Ia sulap kertas itu.
Menjadi perahu
Perahu Nuh/2
Bila Kana’an datang
Katakan Nuh telah menunggunya.
Tak perlu mencari bukit.
Tak usah menetap di Gunung.
Sebab perahu telah selesai
Walau dari kertas yang masai.
(2013)
Bukit Kertas
Kana’an meracik bukit
dari kertas-kertas bekas
tempat ia berdiri
menantang
“Mana banjirmu!” nyala apinya,
Kana’an menyulap bukit
Jadi makanan, sebab banjir
Membuatnya kelaparan.
(2013)
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Kata Hujan
Istri Nuh menderaskan kata
Hujan dan angin kencang
Menderu dari mulutnya.
Tak sempat ia berlari
Menyelamatkan diri;
Ia tenggelam
Dalam mulutnya.
(2013)
Angin Kencang
Angin mabuk
Memuntahkan hujan,
Hujan mabuk
Memuntahkan banjir
Banjir mabuk
memuntahkan sajak-sajak.
Yang tersangkut
Di perahu Nuh
(2013)
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Doa Hujan
Tuhan yang baik
Jangan biarkan Nuh
Tenggelam dimataku.
(2013)
Keringat Hujan
Sebenarnya hujan telah lama henti
Tapi keringatnya tak pernah henti
Melayarkan perahu Nuh.
Sebenarnya hujan kelelahan,
Tapi keringatnya tak pernah segan
Menenggelamkan Kana’an.
Membekaskan sejarah
Pada tanah
(2013)
Siklus Hujan, Rindu Dan Kau
hujan berlari mencari perlindungan dimataku
tetapi, diam-diam mengalir membanjiri rindu
rindu membuncah dicelah-celah hujan mataku
tetapi, entah mengapa alirnya mencuri bayangmu
bayangmu terlukis pada kanvas bulan merah jambu
tetapi, ia menjelma sungai mengalirkan arusnya ke hulu
hulu hilir adalah titik permulaan dan awal perjumpaan
tetapi, di garis tertentu ia menguap di muara samudera awan
awan pada hulu, hulu pada bayang, bayang pada rindu, rindu pada hujan
hujan tak pernah lelah menumpahkan gerimis-gerimis waktu ke sekian
menemu kau, menemu Nuh
(2013)
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi. Direktur Komunitas Home Poetry. Antologi Puisinya Seratus Untai Biji Tasbih (1999).
No comments:
Post a Comment