Karya M. Raudah Jambak
Indonesia, Indonesia
di negeri ini aku dilahirkan
di negeri ini aku dibesarkan
di negeri ini aku menggapai
segala impian
segala harapan
segala cita
dan cinta
Indonesia, Indonesia
engkau adalah taman terindah
ibu yang paling ramah, penuh
kasih dan sayang
dalam suka
maupun duka
Indonesia, Indonesia
adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur,
adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan
adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur
adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan
Indonesia, Indonesia
laksana obat penghilang perih luka-luka
tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam
danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka
dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam
Indonesia, Indonesia
barisan semangat sepanjang carnaval
anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal
kekasih segala pujaan, membenam segala gombal
Indonesia, Indonesia
merah darahku
putih tulangku
di tubuhku
kita menyatu
padu
Medan, 10-12
MENJAGA INDONESIA
Karya M. Raudah Jambak
Mungkin tak pernah terpikirkan
entah berapa helai daun yang gugur di halaman rumah kita
dan membusuk, atau hangus begitu saja di gunungan sampah
yang berhari-hari kita biarkan. Pun, ketika ia terseret di arus banjir
dan terdampar di kehilangan pandangan kita
Adakah terbaca setumpukan debu
yang menebal di datar kaca jendela, bersebab
kemarau dan bising lalulalang jalan raya. Padahal
tanpa sadar ia selalu menari di hadapan kita, ketika kita
berpatut-patut diri sebelum berangkat kerja
Lalu sempatkah terhitung
berapa usia ruang depan rumah kita yang membiarkan
tetamu datang dan pergi, serta gelas yang terjatuh dikarenakan
keriangan anak-anak berkejaran di seputar meja. Termasuk perempuan
yang kemudian dikatakan istri, dikatakan ibu, berebut kisah laksana setrika, selalu berpindah
dari kasur, dapur dan sumur. Juga lelaki yang tercatat sebagai suami, tercatat sebagai bapak
memungut kisah dari rumah sampai rumah
begitulah Indonesia
ia menyediakan diri sebagai apa saja
dan mungkin tak pernah terpikirkan, terbaca, atau terhitung
tentang daun-daun, debu atau justru sebagai rumah, tempat orang-orang
memungut istrirah
Indonesia adalah rumah kita
yang penuh dengan sesak sampah
yang penuh dengan riuh debu-debu
yang penuh dengan tamu-tamu
datang dan pergi
Indonesia adalah rumah kita
yang berpagar, yang berubah-ubah warna dindingnya
yang bagian-bagiannya dihancurkan kemudian
dibangun kembali
Indonesia adalah rumah kita
yang menyimpan begitu banyak cerita
dan sepatutnyalah kita
jaga
Medan, Mei 2012
MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA?
Karya M. Raudah Jambak
Masih merdekakah kau Indonesia
setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya
dalam kaleng rombeng
recehan angka milik pengemis belia
yang mendendangkan kidung lara
bersama hembusan dupa dari opelet tua
masih merdekakah kau Indonesia
ketika musyawarah berubah dari mufakat
menjadi siasat
ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat
ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan
dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa
Masih merdekakah kau Indonesia
dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya
karena matamu telah dibutakan
dan mulutmu disekat rapat-rapat
serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa
Masih merdekakah kau Indonesia
padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata
dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka
Masih merdekakah kau Indonesia?
Komunitas HP, 2002
INDONESIA BERKACA
Karya M. Raudah Jambak
telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa
telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas
segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan
nurani-hanya penghias demi investasi
telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya
lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa
apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata
do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang
gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)
telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa
Medan, 2001
SEBAB PAHLAWAN NAMAKU
Karya M. Raudah Jambak
Di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir
Dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan
Segala tetes air mata di pualam pipinya
Tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia
Setua misteri yang beralis segala teka teki
Dan memberi namaku Pahlawan
Bukan aku yang meminta nama segagah itu
Bukan aku yang memaksa untuk ditabalkan
Bukan aku yang terpaksa atau bahkan rela
Merengek-rengek agar semua orang tahu
Tidak ada Pahlawan selain aku
Aku tidak harus mati dulu
Apalagi mengumpulkan kartu tanda penduduk
Atau mengumpulkan kartu keluarga sekian ribu
Bahkan harus PEMILU agar ibu menuliskan
Kata Pahlawan di keningku
Ooi, Aku bangun jiwa raga ini
Aku bangun cita-cita ini
Aku bangun negeri ini
Dengan nurani
sebab pahlawan namaku
Ooi, Tak harus kutempuh cara yang sama
Tak harus kutempuh jalan membabi buta
Tak harus kutempuh menikung suka-suka
Tapi kususuri cara yang sesederhana jiwa
sebab pahlawan namaku
Ooi, Sebab aku terlahir
di dalam negeri penuh rahasia dari seorang ibu
yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata
di pualam pipinya,
Maka pahlawan namaku
Bogor, 2008
AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
Karya M. Raudah Jambak
/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging
Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan
Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.
Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak
/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!
Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba
Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!
/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010
PUISI-PUISI M.RAUDAH JAMBAK
MALAM YANG
Malam bertandang
Lampu jalanan menjajakan cahaya
Senyum para bocah tertinggal di simpang
Peradaban kota
Malam datang
Langit menawarkan jubah hangatnya
Kerdip mata para bocah tersangkut di awan
Gumpalan kata
Malam mencari siang
Di lampu jalan yang menjajakan cahaya
Di langit yang genit mengerdipkan matanya
Kata semakin asing
Dibising kota-kota
Dilelap mimpi para bocah
Yang mengunyah segala resah
Segala gelisah
Medan,2009
PENYAIR ADALAH
Penyair bukan sekadar
Bermain-main di kubangan kata-kata
Dia lebih kepada pencerahan ruang jiwa
Bagi peradaban demi peradaban
Bagi sejarah demi sejarah
Penyair adalah kamus kesaksian
Dari berjuta macam derita
Sepanjang bencana yang selalu
Datang bertandang tidak hanya di pusat-
Pusat peradaban manusia tetapi juga pusat jiwa
Penyair adalah sang pembawa pencerahan
Bagi siapa saja untuk siapa saja
Bukan sekadar bermain-main kata
Atau sekadar mengusung slogan-slogan
Yang beraura murka
Penyair adalah kita!
PUISI-PUISI M.RAUDAH JAMBAK
SEPASANG CICAK
Sepasang cicak kedapatan bersetubuh
Di atas periuk dapurku, sekali waktu
Ketika tutup tutupnya terbuka
Dia menjatuhkan kotorannya
Disaat istriku menjaring airmatanya
Yang mengalir deras untuk menghilangkan
Dahaga anakanakku
Sepasang cicak kedapatan bersetubuh
Di atas kuali tungku dapurku, sekali waktu
Ketika kutanak airmata istriku, dia terjatuh
Dan jadi lauk bagi anakanakku
Sepasang cicak yang pernah
Kedapatan bersetubuh di dapurku
Telah menjadi darah
Telah menjadi daging
Bagi lumat jiwa kami
medan, 2009
PUISI-PUISI M.RAUDAH JAMBAK
AKU PENARI
To. D. Kemalawati
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut.
Pada wajahku terpaut
Aku telah kalah. Dan tarianku dibusur peracik sirih yang luka
Aku memilih seudati gemuruhnya kutepuk ke dada sendiri.
Dan tujuh penari dengan sanggul kerucut, dengan riak tumpul dililit melati menganyun puan di resah nganga. Seurune kale dan rapai dabus yang mendayu menawarkan gerak panjang yang gelisah. Para penari meracik sirih, tawarkan ranub masaknya.
Aku terpesona pada hijau daun sirih, pada pinang yang terkepit dan pada cengkeh yang memata. tertata dalam ceurana.
Entahlah, pinto Aceh angkuh menghalang pandang. Tanpa penyangga. Di lampu hias bergantung, rantai besi menyisip misteri.
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut.
Pada rahasia terpaut
Walau kalah, aku tetap memilih seudati alirnya kukayuh di darah sendiri. Dan tarianku tarian peracik sirih yang bebas pada segala.
Ah!
Medan , 2007
Dalam rumah selalu saja terdengar
Suara angin yang mengetuk-ketuk pintu
Mengisyaratkan sebuah pertemuan
Melewati waktu-waktu merindu
Tentang meja perjamuan
Dalam rumah menitik tangis hujan
Dengan irama yang berbeda pada
Atap rumah atau jendela kaca
Membawa kita pada sebuah cerita
Yang tak sampai pada kesimpulan
Tak pula berkesudahan
Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiranku
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun melayu
Baru saja peluh mengaliri di sepanjang bantaran dahi
Menyusuri lubuk pori-pori yang memalung, menenung
Di gemuruhnya dada, di antara kita
Pada temaram taman hatimu menghembuskan
Aroma lelah melintasi rimbunan semak-semak basah
Alahai, kepak tik tak terbang melesap di sekujur isak
Meneteskan lara yang selalu kembara,
Membebaskan kata-kata
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Pada jejak-jejak perjalanan
Mari menafsir malam dalam kelam
Mencatat sumringah senyum rembulan
Mencatat tiap kerdipan bintang-bintang
Membiaskan goresan cahaya
membariskan jejak kaki
Melintasi dedaunan dan ilalang
Lalu bermuara ke padang-padang
Berterbangan dihembus lembut angin kenangan
Bawakan aku sajak-sajak embunmu
Seperti pertama kali kita ber temu
Pada taman yang tak ber zaman
Pada waktu yang tak ber ruang
Kita bebaskan kembara bersama angin
Seperti kemarin
ada gerai rambutmu tertahan derap langkah
kaki hujan yang berlari menembus segala sepi
dan kau masih juga menunggu pada rindu
yang terus membatu dari waktu ke waktu
menggenggam hasrat di setiap titik-titik tertahan
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
PULANG
Sedingin udara sekelam malam
Kau masih juga menyulam waktu
Menadahkan tangan dengan tubuh
Yang gemetaran dan gigil tulang
Menunggu pulang
Bulan menggantung awan mengambang
Hatimu masih sekeras batu karang
Sepanjang jalan dengan temaram cahaya
Kau tertahan pada beban dendam diam
Menuju pulang
CATATLAH
Catatlah berapa kali gelombang
Datang bertamu mendebur debar
Membuncah yang mengambang
Menahan segala menebar kabar
Catatlah berapa kali sajak
Menggelombangkan rindu
Menghamburkan kata-kata
Segala gelegak dada
Catatlah berapa kali do’a
Diterbangkan sengguk suara
Diteteskan berjuta butir air mata
Dari carut-marut wajah dunia
SURAT I
Kuterima suratmu saat embun
Menetes di pucuk-pucuk daun
Isinya selalu tentang bencana
Dan luka yang tak pernah usai
Datang dan pergi tanpa permisi
Jerit tangis gemuruhkan badai
Mengusung segala papa yang
Tiba-tiba saja datangnya
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
SURAT II
Kuterima suratmu yang menjelma
Muara segala air mata dari aliran
Sungai sepanjang derita, padahal
Aku rindu danau kabarmu yang
Mengalirkan air dari telaga do’a
Sepenuh bahagia
JEJAK PERJALANAN
Lalu sebuah perjalanan kata menapakkan
Jejak pada tanah keterasingan
Di saat pena kehabisan tinta segala peristiwa
Yang catatannya sempat tertinggal di bawah
Pengab bantal
: temaram lampu teplok menarikan sepi
Angin yang tiba-tiba menampar daun jendela
Melepaskan geram pada riuh sengketa kata
Padahal waktu telah cukup lama merentangkan
Jaring-jaring kalender dan patuk pelatuk waktu
Yang seketika mendatangkan segala debar
: temaram lampu teplok membenam cahaya,
ah!
SUNGAI BARA
Di alir sungai sekering ini, bara
Mencatatkan amarah tak sudah-sudah
Mendekap segala peta beribu cerita
Ada rintik menetes di bukit pipimu
Dan sebentang kaca di telaga mata
Yang hampir meruahkan almanak
Dari dasar lepuh cemburu di didih
Jiwamu
TARIAN ANGIN
Dan tarian angin sedingin pagi
Telah pun membawa putik bunga
Bersama pucuk daun muda ke padang
Segala kembara
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
DENGKUR MATAHARI
Matahari masih mendengkur seolah
Tafakkur di balik meditasi gemawan
Dari musim ke musim
Tapi, ia tak juga melahirkan tunas-tunas
Dari kehangatan setua lengang udara
Justru terbawa arus sungai yang lama
Kehilangan gairah telaga tempat berenangnya
Para pecinta di bawah gairah purnama
SEMERDU LAGU KEKASIH
Semerdu seruling
Kau bentang kan sejuk padang savana
Bersama terian semilir angin
Dan kelembutan lagu kasihmu
ANGIN KERING
Angin berlubang di sumbat telinga
Dan bara dada yang menyala
Warnanya merah saga
Gerah terasa
LUKA PENDOSA
Resah membau di dada para pendosa
Nada-nadanya terasa sumbang
Mengundang segala nyeri
Menggoda luka
Malam mengundang angin yang berlubang
Bersama resah yang membaui pendosa
Geram air mata meneteskan dendam
Menjelmakan pedang-pedang
airmata
HUJAN II
Hujan sedang bermain kejar-kejaran
Di halaman depan, disaksikan anakku
Yang terdiam di kusamnya kursi rotan
Ada dendam di matanya, sebab hujan
Telah mengusir teman-temannya pulang
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
HUJAN III
Hari ini anakku sedang berdamai dengan hujan
Mereka bermain kejar-kejaran di halaman
Sebab, ia lelah menunggu temannya
Yang tak juga datang-datang bertandang
Aku terduduk di kusamnya kursi rotan
Dengan segala cemas yang tak berkesudahan
HUJAN IV
Hujan, anakku dan temannya saling kejar
Di halaman depan, begitu kuyub dan berlumpur
Mereka memang sudah sepakat sebelum pulang
Menunggu hujan datang bertandang,
Membiarkan ngangaku selebar cengang
HUJAN V
Hujan telah menyerangku dari belakang
Memukulku bertubi-tubi, ketika aku melarang
Anakku dan temannya sedang bermain kejar-kejaran
Sebelum hujan datang bertandang, persis ketika
Aku memindahkan jemuran ke ruang belakang
HUJAN VI
Hujan menderas di mataku, anakku, dan temannya
Ketika banjir telah mengepung dari halaman
Sampai ruang belakang, tak ada lagi kejar-kejaran
Apalagi jemuran yang tak sempat terpajang, dan
Kursi rotan yang kusam melayang di atas genang
HUJAN VII
Hujan meratap di halaman mengajak anakku
Bermain kejar-kejaran
Anakku menggerimiskan tangis ingin mengajak
Hujan bermain kejar-kejaran
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
SEPASANG MATA I
Sepasang mata bertatapan
Mengalirkan sungai tak bertuan
Menuju muara penuh gejolak luka
SEPASANG MATA II
Sepasang mata bertatapan
Menggerimiskan hujan diam-diam
Menyeret gugur daun ke ujung selokan
SEPASANG MATA III
Sepasang mata bertatapan
Menciptakan galau segala danau
Membenamkan ikan-ikan ke dasarnya
SEPASANG MATA IV
Sepasang mata bertatapan
Meneteskan tangis tak habis-habis
Menghanyutkan penyesalan tak berkesudahan
SEPASANG MATA V
Sepasang mata bertatapan
Menciptakan telaga dari curah awan
Membiarkan kita diam-diam merindu dendam
DAN
Dan ia pun menulis sebait kenyataan
Tentang perjalanan hidupnya yang penuh dusta
membacakan dusta hidupnya secara nyata
DALAM RUMAH I
Dalam rumah selalu saja terdengar
Suara angin yang mengetuk-ketuk pintu
Mengisyaratkan sebuah pertemuan
Melewati waktu-waktu merindu
Tentang meja perjamuan
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
DALAM RUMAH II
Dalam rumah menitik tangis hujan
Dengan irama yang berbeda pada
Atap rumah atau jendela kaca
Membawa kita pada sebuah cerita
Yang tak sampai pada kesimpulan
DENGAN SEIKAT ZIKIR MAWAR INI
apakah yang dapat kukatakan
selain mengungkapkannya dengan
seikat kembang atau setangkai zikir mawar, Kekasih
atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti penanda hati
apakah yang dapat kulakukan
selain menyusun butir-butir rindu
menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih
entahlah warna cinta yang bagaimana lagi
yang patut kutorehkan di kanvas hati
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti pecinta sejati
DALAM DIAM KU TASBIHKAN CINTA
mungkin ini hari dan minggu yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a
adakah luka yang begitu menganga sehingga
tercipta jurang diantara perbedaan menganga
atau aku yang kurang pandai membaca
perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah sama berjanji-sama mendaki
adakah dendam yang begitu membatu sehingga
terpahat lereng terjal dilangkah menganga
atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki
dalam perjalanan hati?
Medan,08
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
AKU RUKUNKAN CINTA KITA BUKAN SESIAPA
usah kau sulam segala ragu, sebab
aku rukunkan cinta kita bukan sesiapa
sebab, kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka
aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi kekasih abadi
bagi para musafir lata yang kehausan cinta
dari perjalanan sebuah pencaharian yang tak jemu
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA
jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa
jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma
medan, 2008
Puisi-puisi M. Raudah Jambak
AKULAH SANG PENJAGA CINTA
akulah itu sang penjaga cinta yang menanam
segala bunga penuh warna-sesegar aroma
di taman hatimu seteguh asmara
akulah sang penjaga cinta yang menyiram
segala bunga menghapus kerontang jiwa
di taman hatimu yang paling suci
medan, 2008
MENJARING TASBIH AIR MATA
Telah pun kujaring tasbih air matamu
Pada kedalaman laut yang paling haru
Gemuruh di dadamu mengundang cemasku
Demi menahan terjangan-terjangan gelombang
Langit sekadar membagi nasihat
Bagaimana cara membaca gerak cuaca
Awan adalah musafir yang mencatat angin
Sepanjang rahasia kesunyian sebuah perjalanan
Medan,2008
PELAYARAN SAJADAH
Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Medan, 2008
PUISI PUISI M. RAUDAH JAMBAK
DI TROTOAR PINGGIR PAJAK
Inang-inang berkumpul
tak mencium busuk
dan amuk debu jalan raya
dagangan menggelepar
sebab rezeki terkapar;
Ah, ada suara sirene
yang menampar-tampar
2008
PURNAMA MENELENTANG TELANJANG
Sepotong mata
menyelinap, menembus lubang kunci
meraba-raba tubuh purnama
yang telanjang di atas ranjang
angin menamparnya diam-diam
Sepotong mata
memaki angin, mengejar
menikam dengan dendam
yang paling tajam
2008
KEMARAU
Tanah mengering
dari sungai matanya
Rindunyapun mengering
Bebatuan menumpuk
di atas kerikil-kerikil pasir
Daun mengering
hidup tinggal menumpuk debu
2008
KEMARAU -2
sebab kering hujan enggan bertandang
sebab gugur daun-daun angin menapar garang
sebab gerah sejuk pun ogah ke rumah
maka, tersenyumlah di kemarau hatiku
tapi kau masih sekeras bebatuan
tapi kau masih mengunyah diam
dan kau bersukutu dengan debu
menyerangku
diam-diam
2008
SEGALANYA JADI puisi
Lewat kaca jendela,
aku melihat mega berlayar
arungi samudra sampai muara
Kulihat sejumlah peristiwa
Pertemuan hati;
Amir Hamzah nyanyi sunyi
dzikir mengeja Illahi
Hamzah Fansuri bercakap-cakap
dengan angin
perihal mustika puisi
sampai tirakat merpati
Tampak serombongan Santo melantunkan
puja-puji dan doa-doa bagi keselamatan dunia
Malaikat serta Bidadari
meniupkan gita hawa murni
Lewat tembang
para Resi, Sufi, Rahib, Bhiksu,
Pendeta dan Wiku menyatu jadi satu
Mengalunkan damai bagi semesta
mengikuti jalan rohani sambil meniti sepi
mengaliri udara menghidupi jagat raya
menelusuri jalan sutera para pencinta
memasuki kisah penyair pengembara
membuka kunci semesta, amboi
sambil menyapa penghuni nirwana
dan mengetuk pintu rahasia
langit Nya
"Tapi siapa yang tahu,
waktu saat itu membeku!"
(Melalui kisi-kisi diatas jendela
terpaan sinar pagi terangi hati
melalui cermin jiwa, hati berkaca
untuk mengaji hal ikhwal melati)
Asal mula segala amsal
segalanya jadi
KEBERANGKATAN YANG TERTUNDA
ada seribu tanda tanya menghujam di benak
ketika mendung lindap mengendap atas kota
setia menemani saat sendiri
menjelang keberangkatan yang tertunda
tak tahu mana yang mesti dialunkan:
kinanti, megatruh atau durma?
atau barangkali kita mesti kembali bungkam
seperti hari-hari yang telah berpacu
UNTUK KITA
Kita terlahir dari huruf yang dicipta sang Penyair
Digoreskan pena takdir dalam secarik kertas putih
Rumah kita adalah buku-buku yang dibaca dunia
Disimpan dengan rapih jauh dari kotoran debu
Kita berjumpa di antara himpitan sajak
Engkau menjadi kata aku menjadi kata
Dan bahasa cinta menjelma seketika
Kita berjumpa di antara himpitan sajak
Engkau menjadi bahasa aku menjadi bahasa
Kita terus dibaca dan dipelihara
MENUNGGU
telingamu ditumbuhi lumut
matamu juga mulutmu
setelah siang malam kau duduk diam di kursi itu
setelah berhari-hari hujan khusyuk mengguyurmu
selepas kudatangi kamu dalam mimpi malam lalu
mendekap tubuh dinginmu, mencium bibir bekumu
dan mengatakan sesuatu yang tak mampu kau dengar
membuatmu salah mengira
bahwa diriku, kekasih yang sejak dahulu
kerap meninggalkanmu
akan mendatangimu kembali
di sebuah taman yang sama dalam mimpi
mengulang asmara, bercinta dalam deras hujan
yang teramat kau suka
sia-sia
itulah sebenarnya kalimat
yang tak pernah kau duga
yang membuatmu kini menjelma lumut
menungguku di taman maut
MENUJU CAHAYA
Waktu yang kita daki
kadang jauh kadang rapuh
angin memiringkan keyakinan
pada setiap bibir anak tangga
meruah darah di rongga dada.
Hati kita labuh dengan waktu
direngkuh kisah yang jatuh
di sepanjang usia yang luka.
Waktu adalah jalan menuju cahaya
diiringi peluh juga air mata
sebagai ibu dari beribu doa.
MAKA BACALAH
Detakmu
Mengingatkan kematian
Rahasimu
Mengirimkan ketakutan
Wajahmu
Wajah kita
Yang saling mengalahkan!
PUISI PUISI M. RAUDAH JAMBAK
SEORANG GADIS WARNET
Seorang gadis busung dadanya duduk di sebelahku
Bajunya berwarna hitam, ketat, dan ah, mengkilat
Tatap matanya tajam menembus ruang tanpa batas
Kilatan cahaya menerkam-terkam birahi dendam
Seorang gadis busung dadanya melirik padaku
Bajunya berwarna hitam, tersingkap, dan ah, mengkilat
Tatap matanya tajam menembus degup gemas dadaku
Kilatan cahaya menggumuli nafsuku diam-diam
MUNTAH 1
Berkali kutelanjangi waktu sepagi ini
Kuguyuri dengan ramuan air bunga beraroma
Ah, ia tak tunduk juga
Mungkin dengan sentuhan sabun ia jatuh
Tapi, aku merasa tertantang dengan kegarangannya
Kupulas, kulibas, dan kubilas
Ah, akhirnya
Ia pun lemas
MUNTAH 2
Tubuh itu melintas tepat di pandangan mataku
Aku diam. Tetapi, mataku justru tak mau pejam
ikuti gelombang yang menendang-tendang perlahan
Rambutnya melambai hendak dibelai ditiup angin
Aku masih diam. Tetapi, tanganku liar di angan
raba pendakian yang terus mengguncang-guncang
Ampun, tubuh itu berhenti dan mempermainkan
Rambutnya di pandangan mataku dan tangan yang meraba
Tak berhenti diam. Ah, sekalian biar kuselesaikan.
FITRI
Telah kuterima benih rezeki
di baris-baris senandung takbir
memanen dan menuai segala amanah
walaupun dari sebutir rimah-rimah
para pongah
Di Kota Ini
Di kota ini, para migran menembus
Gunung-gunung salju dari sejarah
Yang paling dingin
Di kota ini, cahaya temaram dalam diam
Orang-orang kerontang berebut air
Sampai tetes paling akhir
Di kota ini, tahun bersambut pada
Suasana yang paling haru, rumah-rumah
Merapat mencari hangat
2008
Di Awal Lebaran
Di awal lebaran fakir miskin berbanjar
Orang-orang cemas, orang-orang gemas, sebab
zakat-zakat mungkin raib dari brankas
2008
Puisi puisi M. Raudah Jambak
Ketupat Lebaran
Kurayakan lebaran seteguh dada
Dan senandung takbir berirama
Pada rumah yang merapat berbanjar
Kurayakan lebaran bersihkan satwasangka
pada danau hati dan telaga jiwa
curiga membungkus kepala
Dan langit, dan bumi dan manusia
Tercatat pada telapak do’a
Begitu memesona
THR
Entah karena miskin atau gairah pesta
Di setiap hati para bocah
Genggam tangan dengan erat, maka
Akan kau genggam lembaran mata angka
Dan beberapa dekap paket cinta
2008
Minal Aidin Wal Faizin
Lama sudah kita menjaring cerita
atau mungkin dosa dan segala satwasangka
Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu
Menyatukan segala-menyatukan rasa
Ah, apalah artinya sebuah perayaan katamu
Dengan canda. Tapi, bagiku perayaan bukan sekadar ria
Tentang sebuah harkat maupun bahagia yang tertunda
tetapi ia adalah kesungguhan sebuah cinta.
maafkan aku kalau terlalu sering bercanda
minal aidin wal faizin
Ada Beda antara Kita
Usah resah maupun gundah tentang sebuah
Perbedaan antara kita. Apa itu salah?
Justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan
Bukan topeng dari cinta yang dipaksakan
Kita memang lahir dari keluarga yang berbeda
Kita memang lahir dengan warna kulit yang berbeda
Kita memang lahir pada lingkungan budaya yang berbeda
Tapi, tahukah kau bahwa kita masih punya hati
Yang menyatukan segala beda antara kita
Dengan cinta
2008
Akhir Ramadhan
Setelah mendapatkan rahmat
setelah mendapatkan pengampunan
dan terbebas dari api neraka
maka,. atas nama cinta
Gunung-gunungpun berubah gudang-gudang
penuh makan dan minuman beraneka
Tanah, air dan api menyatu
Angin tergugu menunggu
Setelah mendapatkan pengampunan dosa
maka, sudah kodratnyalah dosa dipanen pendosa
tanpa basa-basi luka
2008-02-07
Selamat Hari Lebaran
Takbir diagungkan,
Mari samakan langkah
Membangun negeri tempat
Kita lahir dan dibesarkan
menyambut segala kemerdekaan Iman
7 Februari 2008
Berilah Air Dari Tangan Keikhlasan
berilah air dari tangan keikhlasan,maka
kita akan selalu dicurahkan kemudahan
sebab, kasih tanpa syarat adalah
hidup yang penuh kedamaian
pada manusia
juga Tuhan
medan,06
Aku Hanya Menitipkan Bunga Ini Untukmu, Sahabat
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. tanamlah ia pada vas
hatimu yang bersemu biru
sebab, hanya ia yang mampu mewarnai hidup
agar lebih indah dan merona
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. rawatlah ia dengan
segenap kasih sayangmu
sebab, hanya ia yang mampu memberi kesegaran bagi hidup yang mengharu biru
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu, ya setangkai bunga
cinta berwarna kedamaian
medan,06
Masa Depan Manusia
masa depan manusia adalah
pucuk dedaunan di puncak pepohonan
yang menghijau
sebab energi pupuk kebersamaan
bersih dari racun curiga
dan satwasangka
masa depan manusia adalah
buah ranum di reranting pepohonan
yang rimbun
sebab siraman segar air kebersamaan
mengalir dari mata air yang bersih
dan bening
masa depan manusia adalah
angin sejuk berhembus pada
pepohonan hati kita, makhluk
penjaga sah kelestarian hidup
dan kehidupan
medan,06
Demi Masa
aku kejar matahari tenggelam agar aku
tidak merasakan malam,
aku kejar kehendak hatiku untuk
kebahagiaanku,
tanpa sadar sekelilingku bukan siang lagi
aku pandang esok hari dengan sebuah ambisi
padahal aku hidup hanya beberapa jam lagi,
aku lupa mengucap syukur pagi tadi,
sekarang aku sudah mati dan tidak mampu
untuk menata hari depanku sekali lagi
aku lupa tersenyum,
sekarang mulutku sudah terkatub
aku lupa bertegur sapa,
sekarang aku diam bahasa
kisahku sudah selesai
hari ini adalah masa depanku
seharusnya aku peluk istriku
dan mencium dahi kedua anakku
sambil berjalan mampir kerumah ayah, ibuku
tapi, kisahku sudah selesai
kisahmu belum,
saat kau baca jeritan hatiku ini
hari ini, hari esok, mungkin milikmu,
jangan sia-siakan
pakai lututmu, pejamkan matamu, teduhkan hatimu,
mintalah Tuhan menuntunmu.
Siklus
Pernah kita beria di gelinjang kekanakan yang menggemaskan dengan celoteh tak bermakna.
Lalu bergolak dengan decak nakal keremajaan hidup oleh setumpuk kejahilan;
Trus tegak berlenggok menapak detak waktu yang masih terus berjajar kian banyak menyusur kedewasaan batas -batas hari yang tak mau surut.
Selalu ada cerita bergilir melintas di lorong nafas hidup tanpa mau permisi karna dia memang punya ruang untuk berlakon.
Kau dan aku mungkin lelah melonggok ke kisi peristiwa dengan tanya yang tak bersahut.
Galau, cemas, bingung dan takut adalah geliat angin yang mengusap jemarinya sebentar lalu pergi karna tersapu tawa.
Kadang memang tinggal mengendap di dada menoreh atau malah mencabik rasa.
Tapi mereka bukan keabadian yang memberi janji.
Karna di tiap simpang hidup yang luput dari pelupuk asa, selalu ada kuntum dari suatu janji bergantung dilipatan lutut dan tangan yang bergumam pada renungan doa.
Janji itu guratan pena Kudus dari tangan yang pernah terpaku, berlumur darah penebusan.
Suatu janji "Aku menyertai engkau senantiasa sampai pada akhir jaman.
PUISI PUISI TINA APRIDA MARPAUNG
SIBOLGA, DI HARI YANG FITRI
kita seperti kehilangan alamat pulang
selalu kembali di jalan ini
bahkan setelah khutbah usai
kita bergegas menuntun tubuh kita
kembali ke muasal segala luka
ruang-ruang kerja
ruang-ruang yang kehilangan bahasa
ruang-ruang yang kehilangan rasa
SIBOLGA SELEPAS SUBUH
Burung-burung aneka suara
berkicau
menyambut matahari
yang terbit dalam diriku
beterbangan di kepalaku
beterbangan dalam hatiku
membuat ruang di dalam dada
untuk wadah wajahmu yang fana
jangan sampai terjadi lagi
semua ini
tertimbun longsoran gunung
dalam diri
DI SAMPING MUSHALLA, SIBOLGA
Janganlah kembali tidur
karena tidur lebih berbahaya
dalam tidur setan bisa menyusup sanubari
membisikkan kata-kata jahat
agar hati kita gelap, akal sehat terlelap
tuhan pun menjadi samar - antara ada dan tiada.
Tetaplah terjaga dan berdoa
teror yang membuat kita terlena
dan terasa mengeringkan darah kita
akan terbang dan musnah
setelah adzan subuh bergema
lantas kita banting daun pintu - berangka 13.
PUISI PUISI TINA APRIDA MARPAUNG
SIBOLGA, DI HARI YANG FITRI
kita seperti kehilangan alamat pulang
selalu kembali di jalan ini
bahkan setelah khutbah usai
kita bergegas menuntun tubuh kita
kembali ke muasal segala luka
ruang-ruang kerja
ruang-ruang yang kehilangan bahasa
ruang-ruang yang kehilangan rasa
RUMAH TANPA DZIKIR
Kapan tak ada cinta mengalir
Dalam rumah tanpa dzikir
Ikhlaskan hatimu berwudhu
Biar laku mantap tawadu
Cinta bukanlah eros semata
Bukan cuma nafsu dan dusta
Tapi juga dzikir dan pikir
Maka rumah adalah surga
Tempat rahman dan rahim
Allah diparkir
SEBUAH PERINGATAN
Kuberi kau jarak
Antara kenangan dan cinta
Antara maut dan syahwat
Kita meronta
Menerkam badai
Diterkam badai
Antara cinta dan syahwat
Mendekam harapan dan khianat
Kitapun gemetar. Kitapun gemetar
Di bibir surga dan neraka
Kita terkapar
PUISI PUISI TINA APRIDA MARPAUNG
TUAN CAHAYA BULAN
Tuan Cahaya Bulan, menyusuplah
ke saku bajuku. Hitunglah harga diriku
jangan kauhitung harga pakaianku
Buatlah tubuhku berkilau seperti sosokmu
Tuan Cahaya Bulan, petikkan
untukku sekuntum bintang
Bawalah padaku, semat di keningku
Aku yang mencintai sunyi, buatlah
gemerlap bagi bumi. Hingga bagiku
sendiri, tak ada yang lebih berarti
Dari kesetiaan dan istiqomah
di jalan ilahi
KASIDAH KETABAHAN
Sekian lama embun bertahan di pucuk daun
kini terpelanting, pecah ke udara gelisah
beribu tahun penyair menanti makna puitik
setetes embun yang sanggup berembesan
kekeringan yang lama melanda di jiwa
tetap tabah, berharap air memercik di hati
mengalir harapan kehidupan menyadari
Seperangkat senyum selalu menggelantung
di awang-uwung, lempar ke padang gersang
kemarau kemarin masih sisakan jerit perih
kini makin pekikkan rasa yang ternyata
hanyut dalam kesedihan demi kesedihan
terseret duka lara sangat menyayat, betapa
penyair tetap tabah: kata berubah makna
PUISI PUISI TINA APRIDA MARPAUNG
TARIAN SEMBAHAYANG
Seekor kupu-kupu dengan sayap bermotif cinta aisyah
sembahyang mengitari jagat perasaan yang tenang
Bunga kebaikan bermandikan
cahaya dhuha yang menari
di taman ibrahim
Seekor kupu-kupu menemukan isyarahnya
yang pasrah menjelang hinggap pada bunga
yang berkah itu, dinikahkan serbuk sari
doa-doa yang bertabur bagai mazmur
Dari luar pagar seorang lelaki yang pasti
mengintip geraknya, memahami senyum cahaya sebelum
kehidupan benar-benar milik sepasang pengantin
yang dirindukan hujan
SEPERTI SEMUT
Ibadah mereka ibadah semut-semut
yang berjalan di gelap malam
menangkap rahasia syair. Membaca cahaya
Rummi mengaji di atas batu. Khidir di laut
Hadi di dering jam
mengeja nama-nama. Kalimat cinta
yang berbinar bagai mata kanak-kanak
Ibadah mereka ibadah semut-semut
bersujud mengungkai kecewa
menyerahkan airmata. Nyawa di ujung rela
seperti Ismail menebus mimpi Ibrahim
Mereka tak takut pada malam. Tasbih sunyi
sambut datangnya sungai cahaya. Mencari
keharuman bumi ilahi
Ibadah mereka ibadah semut-semut
yang mengembara dan mencari
ayat-ayat kiamat di daun-daun di batu-batu
Jika hujan tiada merekalah yang menangis sama-sama
Jika cahaya tiada merekalah yang matanya awas sama-sama
membangun simpuh dan doa-doa
Ibadah mereka ibadah semut-semut
yang tak peduli pada angin. Simpati pada hembusan
rindu. Dingin cuma isyarah. Mereka tak takut
sejarah buruk kerna tergelincir dalam syair
sebab hati mereka damai menyalami dosa-dosa
Angkasa. Memahami tuhan yang mahagila
PUISI PUISI TINA APRIDA MARPAUNG
DI MAKAM
aku tumbuh
dari tanah yang hina
kelemahanlah kodratku
o kekasih
ziarahkan aku
kepada cahayamu
aku debu
mengabut di semestamu
mendung dan kemuraman
selalu menyertaiku
entah esok
akankah kulihat cahaya
kekasih,
bukalah ladang-ladang cahayamu
di sekeliling rumahku
aku ingin menanam cinta,
kasih dan kepasrahan
biar nanti tumbuh
jadi pohon rindang di mahsyar
tempat bereteduh manusia
yang kepayahan dan kepanasan
dan pohon-pohon itu
adalah wujud
kasih, cinta dan perlindunganmu
aku hanyalah debu
mengabut mengitari cahayamu
kekasih,
ziarahkanlah aku
kepada cahayamu!
PUISI PUISI TINA APRIDA MARPAUNG
WAKTU MARPANGIR
Bersijingkat naik, ke ubun-ubun,
segala kisah yang pernah kausebut
sebagai gairah, di luka sungai
yang burai satu-satu benang kebayanya.
Aku lebai, mengucap baris-baris sampan
sebagai alif, sebagai penunggu tuhan yang arif.
Bahkan untuk sedulang kembang,
telanjangmu bagiku hanya bayang,
hanya debar yang meregang di sendi,
di gerak sepi yang pura-pura mati.
Diamlah di sini,
untuk hari yang berlari dari genggaman,
dari ketakutanmu pada kecut malam.
Orang-orang di sekitar pasti terbenam,
memeluk petang sebagai bayi sawan
yang menagis di sepanjang pelabuhan.
Irama itu,
para lelaki bertahlil, kaudengar yang
diam-diam bersijingkat ke ubun-ubun?
Yang kita lawan adalah hitungan jam.
Seluruh ketakterdugaan melanun di
gemuruh putih yang bangkit dari
punggung pulau.
Mereka datang bergelombang,
mengusung patahan-patahan sauh
dari kekelaman yang jauh.
Bergoyanglah laut, dalam diri,
di dasar kabut birahi, di negeri
yang diselimuti setitik api.
Untuk terbelah, menjadi limau,
sepasang risau yang dihalau
ke tengah surau, kita gugup dalam
mimpi buruk yang kerap merayap
ke segenap gelap. Tak ada sebab
untuk merintih di pundak kekasih,
meracau pada masa depan yang
tersisih. Dan yang bersijingkat naik,
mulai menyusuri kerut sungai di
belahan kebayamu, satu-satu memburai
barisan alif yang bergoyang di jantungku.
Kau lihat, ada petang berlepasan
dari genggaman.
No comments:
Post a Comment