Sunday, 29 September 2019

BERMULA DARI INTRINSIK LALU EKSTRINSIK Oleh : M. Raudah Jambak


BERMULA DARI INTRINSIK LALU EKSTRINSIK
Oleh : M. Raudah Jambak
Ketika seseorang bertanya pada saya, ketika acara Omong-Omong Sastra di UISU Jalan Puri (Minggu, 15/04) lalu, bagaimana karya sastra yang baik itu? Saya agak tercenung. Apalagi ketika ia mengisahkan sebuah hal tentang karyanya dikritik oleh seorang kritikus. Dan kritikus itu mengatakan bahwa karyanya belum fokus, masih mentah dan terkesan menggurui. Demi mendengar semua itu, saya mentransfer beberapa pesan padanya tentang sastra.
Sastra adalah bangunan besar bagi puisi, prosa dan naskah drama. Sebagai sebuah bangunan tentu ia harus memiliki fondasi yang terukur dan kuat. Jika fondasinya tidak terukur dan kuat, maka tentu kara sastra sebagai sebuah bangunan yang kuat itu akan rubuh, bahkan hancur.
Struktur atau fondasi dari bangunan sastra itu tentunya adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Mungkin juga kita mengenalnya sebagai struktur batin dan fisik di dalamnya. Effendi mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sunguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Aminuddin, 2004:35). Cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai unsur yang sangat kompleks, antara lain (1) unsur keindahan, (2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai renungan keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai kompleksitas permasalahan kehidupan; (3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana, serta (4) unsur intrinsik yang berhubungan dengan karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks (Aminuddin, 2004: 38).
Puisi misalnya, ia memiliki keambiguitasan yang luar biasa. Tidak semua orang dapat memahaminya dengan cara pandang yang sama. Maka unsur intrinsik (struktur batin) dan unsur ekstrinsik (struktur fisik) perlu dipahami lebih mendalam. Pradopo (1987:7) mengatakan bahwa puisi itu adalah karya sastra yang mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan,yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Waluyo (1987:25) mengatakan Jika dipaksa untuk memberikan definisi puisi yang sangat sukar dirumuskan, kira-kira seperti berikut. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa melalui pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
Struktur adalah sesuatu yang disusun dengan cara atau pola tertentu untuk menjadikan suatu bentuk. Struktur puisi adalah sesuatu unsur yang disusun dengan cara tertentu sehingga menjadi sebuah puisi. Struktur fisik puisi adalah unsur-unsur yang disusun dengan sehingga membentuk puisi secara fisik atau yang dapat dilihat oleh mata.
Selanjutnya (Naskah) drama. Untuk yang satu ini kita harus mampu membedakan drama sebagai sebuah pertunjukan dengan teks-teks drama yang tertulis. Sebagai sebuah pertunjukan kita masih dapat meninjau dari segi artisktik dan non-artisitiknya. Sementara tinjauan teks ia memiliki wilayah yang berbeda.
Karya sastra prosa dan drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Akhirnya, kita sebelum bergelut dan menentukan pilihan harus memahami secara kuat tentang pemahaman kita terhadap fondasi bangunan sastra ini. Mungkin kita akan lebih memilih puisi tinimbang prosa, atau malah lebih asyik menulis naskah drama.
Tidak ada yang lebih sulit atau lebih mudah. Atau merasa lebih baik puisi daripada cerpen, cerpen dibandingkan naskah drama, dst. Ia memiliki kekuatan masing-masing. Bukan hanya sekadar berdasarkan selera, tetapi ada hal-hal lain yang harus kita pertimbangkan. Pada intinya berkaryalah. Biarkan pembaca menilai atau mengkritik. Sebab, sebuah karya yang lahir dan telah dipublikasikan, berarti sudah menjadi hak pembaca untuk memberikan penilaiannya. Biarkan karya itu menemukan takdirnya sendiri. Apakah tercatat di etalase ‘megah’ sastra. Atau kemunginan paling buruk, di tong sampah yang berkarat dan lapuk sebelum waktunya. Yang penting belajar dan terus belajar. Bukankah belajar merupakan sebuah proses bagaimana kita bertahan hidup?
*Penulis adalah Guru Bahasa/Sastra dan Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi

No comments: