Kuberi Kau Sayap Buat Kita Arungi Semesta
Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan.
Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:
Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus dimensi tempat kau terbiasa menari,
Abadikan harum aroma tubuhmu:
Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kaki mu yang lembut, bergesekan bilah kaca atau hunus duri, mereguk alir peluhmu:
Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut memohon diri
Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:
Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu, di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam hidangan dongeng dan legenda
Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:
Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan
Ruap asap jagung bakar, yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan
Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara kepentingan dan kebanggaan
Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu Siang dan Malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya. Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam
Pada bahuku yang aduh, engkaupun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air
Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya
Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian
Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku
Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan
Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban. Pada bentangan langit paling luas ku ajak kau terbang sambil menyanyikan semesta, menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:
belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita arungi semesta, bersama
medan,08
SEORANG GADIS WARNET
Seorang gadis busung dadanya duduk di sebelahku
Bajunya berwarna hitam, ketat, dan ah, mengkilat
Tatap matanya tajam menembus ruang tanpa batas
Kilatan cahaya menerkam-terkam birahi dendam
Seorang gadis busung dadanya melirik padaku
Bajunya berwarna hitam, tersingkap, dan ah, mengkilat
Tatap matanya tajam menembus degup gemas dadaku
Kilatan cahaya menggumuli nafsuku diam-diam
Tidurlah Perempuanku
Mari kita lumat malam separuh ini, sebab
Esok matahari mulai mencubiti kulitmu yang
Putih itu, bersama debu yang hibuk menggumuli
Tubuhmu yang memadat, menantang, Perempuanku
Tidurlah!
Usah lagi kau kunyah pikiran itu jadi darah daging
Tentang payudara yang dijual setengah harga atau kemaluan
Yang terus-menerus disesaki lalat-lalat berkepala hijau
Matahari pasti terbit
Matahari pasti terbenam
Tak usah risau, semua pasti akan berakhir, Perempuanku
Malam ini, mari kita cicipi bulan bercahaya garang
atau bintang yang sedang berkejar-kejaran dengan mimpi
Anak-anak kita tentang nilai raport yang diperjual-belikan
Atau kelulusan yang diinstankan
Tidurlah, Perempuanku!
Kita akan rangkaikan larik-larik puisi abadi dalam rahimmu
Sepanjang mati lampu yang tak pernah jemu, dan tak usah
Kau risau sebab derasnya arus waktu yang membenamkan
Resah sepanjang sejarah sejak Hawa, Zulaikha, atau Cleopatra
Digantikan Marlin Monroe,Winnie Mandela atau Madonna
Tidurlah!
Kita lumat malam separuh ini
Matahari pasti terbit
Matahari pasti terbenam
2007
Sepasang do’a
Sepasang do’a terbang menembus jendela kaca
Sementara angin tersedu-sedu dalam rindu
Pada monument luka ini kupahatkan selembar daun
Yang gugur, rebah di atas tanah yang pasrah
Satu persatu usia gugur, rebah di atas pusara basah
Tombak itu menghunjam ke dada berkali-kali
Duri-duri terus-menerus menempel di kaki
Ah, betapa waktu tak pernah sudi menunggu
Harum lembut aroma kenanga berganti bau gelora
Aroma kamboja, dan sebelum waktu menjemputku
Di atas sajadah, bersama untaian zikir yang merindu,
Dan air mata segala duka, kulepaskan segera
Sepasang do’a terbang menembus jendela kaca
2007
Ling Ling Namaku
Lama sudah kita menjaring cerita
Tentang budaya dan perbedaan warna
Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu
Menyatukan segala-menyatukan rasa
Ah, apalah artinya sebuah nama katamu
Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya
Tentang sebuah harkat maupun pembuktian
Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu
Aku terlahir di negeri ini
Ling Ling namaku
2008-02-07
PEREMPUAN DI POJOK RUMAH SAKIT BERLANTAI TIGA
: fragmen-fragmen penyembuhan
Di pojok rumah sakit berlantai tiga
Detik maut pelan-pelan mengukir nisan memipih-pipih umur kami
Setiap tetes air mata yang jatuh adalah harapan yang perlahan menjauh
Sakit kami seolah menghunuskan napas yang semakin aus
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh
Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah jiwa yang lara tenggelam di dasarnya
Melumpurkan debu-debu kesakitan yang meradang
Pada raga di kurung masa ke masa
Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah angin mengirimkan lembut lengannya
Membawa segala aroma-aroma telaga surga
Dari kepedihan seluas samudera
Jika tenyata hidup selalu di genang air mata
Maka hapuslah lara kami, hanguskan duka kami
Biar jadi debu, biar jadi abu yang dihanyutkan
Sungai-sungai hati menuju muara cinta
Jika ternyata hidup selalu di genang air mata
Adakah tempat untuk membangun dermaga
Tempat kapal-kapal kami membangun rumah
Menyusun segala rencana menuju ke pulau bahagia
Padahal pernah kami serahkan utuh-utuh hati kami, padamu
Tetapi kau balur jiwa kami sepenuh empedu
Mata kami yang berpijar, berbinar
Tetapi padamu kau susun kelam, buram
Kami berpikir kau adalah pengobat hati
Ternyata kau bakteri yang menanam nyeri
Aduh, ibu
Bersebab narkoba kami celaka
Aduh, bapak
Bersebab narkoba kami merana
Aduh, tuhan kami
Kami terlanjur lupa memaknai diri
Dulu ketika hidup kami di belenggu ragu
Siapa lawan dan kawan kami tak tahu
Dulu ketika cinta di gunting putus asa
Tak ada tempat berbagi suka dan duka
Dulu ketika segalanya hilang entah ke mana
Psikotropika seolah sahabat berbagi duka
Ternyata setelah berbagi setia berlama-lama
Lara hati membara sepanjang usia
Membelenggu jiwa
Menumpuk derita
Membisa racunnya
Di pojok rumah sakit berlantai tiga
semoga maut enggan menjemput umur kami
Setiap tetes do’a membasuh adalah harapan yang berlabuh
Sakit kami adalah sampan-sampan sebuah pengakuan
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh
Medan, 01-09
AKU PENARI
To. D. Kemalawati
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut.
Pada wajahku terpaut
Aku telah kalah. Dan tarianku dibusur peracik sirih yang luka
Aku memilih seudati gemuruhnya kutepuk ke dada sendiri.
Dan tujuh penari dengan sanggul kerucut, dengan riak tumpul dililit melati menganyun puan di resah nganga. Seurune kale dan rapai dabus yang mendayu menawarkan gerak panjang yang gelisah. Para penari meracik sirih, tawarkan ranub masaknya.
Aku terpesona pada hijau daun sirih, pada pinang yang terkepit dan pada cengkeh yang memata. tertata dalam ceurana.
Entahlah, pinto Aceh angkuh menghalang pandang. Tanpa penyangga. Di lampu hias bergantung, rantai besi menyisip misteri.
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut.
Pada rahasia terpaut
Walau kalah, aku tetap memilih seudati alirnya kukayuh di darah sendiri. Dan tarianku tarian peracik sirih yang bebas pada segala.
Ah!
Medan , 2007
Ah, Kediaman
pada matamu yang teduh
semesta tersentuh
begitu meninabobokkan
menetramkan kediaman malam
gairah kata berhamburan
pada sebuah rahasia
yang sulit diterka cuaca
laiknya embun yang menitik
waktu terasa begitu mengulat
perlahan menari bersama irama
jarum jam yang patah
hausku membuluh
mengerang hasrat berabad-abad
lalu sepanjang kediaman
rasa semakin tersentuh pada
tatap matamu yang aduh
menghadirkan irama gangga
di setiap alirnya
lalu, anganku menggemuruh
di setiap ukiran senyummu yang ampuh
merapalkan segala lena
di debur ombak dadaku
kau seperti sengaja menyiapkan dermaga
tempat berlabuhnya para petualang
merapatkan kapal-kapal semegah pesiar
dari laut-laut sebuas pemangsa
dan, ah, kediaman setelahnya
medan, 08
Sebab hanya Muak
Dalam mulut kepala telinga hidung mata rambut masuk
Terkunyah-kunyah berbau sumur berbangkai
Bahu berkaki pada dada berpinggang
Pusat punggung masuk ke dalam perut
mengunyah usus basi
lalu, tapak kaki menempel di jidat tenggelam
dalam lumpur telinga di antara tungir penebar aroma
dalam mulut bahu berkaki tapak menempel
bercampur dubur kadaluarsa meniupkan
angin buritan
tungkai menari-nari sendi kulit ada pada kelopak kuku
jari gigi menyelip di kornea mata lidah melilit
sampai membukit sakit
tungkai tumit membelit sembelit terkomat kamit pahit
terjepit paha selangkangan sepenuh beban kemaluan
di seputar buah dada tapak pipi dagu lancip
kelopak bibir di bulu mata terdampar di alis
rambut yang bertanduk paru-paru
jantung menyerbu hati menembus arteri
berpeluh limpa sebab kunjungan trombosit
berlari sepasang anak rambut tentang
perseteruan lengan dan tangan dan kumis berjanggut
di najis mulut di najis telinga di najis hidung
di najis mata di najis rambut di najis dubur
di najis segala najis
ah, akulah si bahu berkaki tungkai
pada dada berbuah pinggang sebab kawah pusat
di muntah punggung di muntah perut di muntah mulut
di muntah usus di muntah tapak tapak kaki
di muntahan segala muntah
lalu, najis memuntahi muntah
muntah menajisi najis
ah, muak segala muak
medan, 08
Kurambit Lundu di Ruang Rindu
Hampir saja kurambit di tanganmu mengukir
Peta buta kesejarahan di belukarnya dada
Atau sempitnya hati?
Siang ini waktu bertubuh lundu
Liat melewati lapis demi lapis
Tubuh yang berlulut
Aha, inikah rantai itu
Mengikat gerah yang berdarah-darah?
Ajari Aku Melagu Rindu
Maka, kutapaki kesejarahan ini
Di antara nyanyian tanpa partitur
Tetapi waktu masih saja belum berpihak
Ia menina-bobokkan segala lena
Pendar cahayapun serasa semakin samar
Merayap pelan di lorong-lorong hati, maupun
Di ruang-ruang yang kehilangan penghuni
Namun, cintaku tak terbuat dari garam
Lenyap begitu saja tertimpa hujan
Perempuan Itu Adalah Ibu
perempuan yang merintih sedih
bersama derai tangis hujan itu
adalah ibu, yang memberi susu,
pada ku – pada kita
perempuan yang menderu-deru
pada hidup yang memburu debu
adalah ibu, yang mencetak kepribadian
tidak hanya kita, tapi semua anak-anak bisa
medan, 06
Mengabdi Pada Ibu
Ibu, begitu sarat luka yang berdarah pada telapak kakimu
bersebab aku yang tak mengerti betapa jauh hati yang telah
engkau langkahkan
adakah yang lebih berat bagimu, selain menimang anakmu
mendidiknya dan mungkin durhaka ketika dewasa? atau
aku yang tak tahu malu, membiarkanmu terpasung
menghanguskan kata?
Ibu, begitu tabahnya dirimu mengeram sabar pada hati
bersebab aku yang selalu menghalalkan segala cara
demi keinginan yang tak terduga, pada segala
air matamu telah menenggelamkan angkuhku
isakmu mengguncang dadaku, jiwaku
amarahmu membakar segala
aku mengerti, Ibu
sebuah pengabdian yang kuberikan belumlah cukup
memulihkan air matamu, isakmu, amarahmu
yang sempat membentur batu-batu
mungkin hanya waktu yang mampu menyulam ragu
menjadi rindu dalam mengayuh harapan, mencapai
pulau impian
doakanlah, Ibu
semoga lembar waktu telah mengajarkan
bagaimana cara membangun pagar cinta
yang paling sederhana.
Medan, 05
Tentang Ibu yang Tercinta
Ibu sudah berapa angka kasih sayangmu
Yang kau berikan kepadaku
Hatimu seperti rembulan di malam hari
Dan matamu bercahayajika menatapku
Ibu ketika kau berbicara halus seperti angin
Yang terbang meluas di ujung awan
Ibu ketika kau memegangku dingin seperti
Hujan yang turun dari langit
Ibu ketika kau menciumku deras seperti
Lautan yang terus berombak
Semangatmu kuat sekali seperti petir, Ibu
Cinta dan kasih sayangmu sejuk seperti embun, Ibu
Tatapan matamu begitu bercahaya, Ibu
Setiap hari dengan sepeda motor yang dibawa ayah
Kau mengantarkan aku dan adik ke sekolah
Terkadang aku dan adik malas bangun
karena masih mengantuk lalu kau dengan lembut
membisikkan lagu kasih-sayangmu ke telinga kami
Terkadang aku dan adik malas mandi karena takut
Kedinginan,Tapi kau dengan mesra menyiram
Air cinta ke tubuh kecil kami
Terkadang aku dan adik malas pakai sepatu,
Malas pakai baju, malas sisir rambut, malas
Berbedak, dan malas semuanya kau beri kami hadiah
Ciuman ke pipi kami sambil berbisik tentang cita-cita
Kami yang selalu berubah-ubah itu, seperti jadi presiden
Yang ingin memimpin negeri ini dengan bijaksana
Jadi Dokter yang ingin mengobati orang-orang miskin
Yang tidak punya uang
Jadi hartawan yang ingin membangun
sekolah untuk teman-teman
Tapi Ibu, aku heran ketika kami menolak bercita-cita
Ingin jadi pejabat , engkau tertawa
Kami katakan tak mau sebab sering masuk tivi karena
Kasus korupsi, melarikan uang rakyat miskin, juga
Meninggalkan hutang untuk kami
Dengan bijaksana kau katakan
tidak semua orang sama
Ibu, kami bingung, lalu kami berdo’a
Lebih baik kami bercita-cita agar kami
Bisa seperti dirimu
Terimakasih Ibu,
Aku mengantuk mau bobok dulu
Besok kalau terlambat sekolah
Nanti dimarahi Bu guru
Do’a kan agar aku dan adik menjadi anak
Yang berbudi dan baik hati
SEORANG ANAK BERTANYA PADA IBUNYA
“Apakah di luar sana ada perang, Bu?”
seorang anak bertanya pada ibunya
matanya berwarna suram terpaku pada Ibu
yang baru saja kehilangan anak perawan dan
suami tercinta
“Apakah suara yang memekak itu suara azan, Bu?”
seorang anak bertanya pada ibunya
wajahnya yang kelam ia sembunyikan pada ketiak ibu
yang baru saja bertayamum dari dinding bungker, sebab
wudhu’nya telah mengering
“Apakah Sharon dan Bush pernah tinggal kelas, Bu?”
seorang anak bertanya pada ibunya
lengan mungilnya meraih ujung baju sekolahnya
menghapus lendir di hidung dan peluh dari panas
yang menyepuh
“Apakah seterlah ini kita boleh makan, Bu?’
seorang anak bertanya pada ibunya
pandangannya meredup, samar-samar
ia melihat ibunya bersujud di antara kabut
Sampai terlelap tanyanya tak pernah terjawab
medan,06
Waktu Bukanlah Ibu Yang Mengandung, Ternyata
Waktu bukanlah ibu yang mengandung, ternyata
Dia adalah ranjau yang ditanam di antara rimbunan
Bunga-bunga atau diantara perbukitan pasir dan gurun
siap meledakkan kepala siapa saja, mengepung sisa
usia
lalu setiap rapal do’a-do’a nyatanya hanya sekadar
bius yang selalu setia mematikan rasa. Tak ada lagi kepedihan
apalagi kesakitan. Antara langkah dan undur hanyalah kelopak
mimpi yang telah lama ditiup angin. Sementara jarum kematian
masih menggumam, mengancam dengan senyuman
dan nyatanya tak sempat lagi mengukir bibir dengan takbir
sebab, karat telah lama tengkurap pada hati. Tubuh terasa
sehelai benang melayang. Tetapi masih tetap terdengar
angin semilir menggilir zikir. Dan pada telinga masih tertangkap
sepatah, Allah
medan,2007
NAK
Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu mewujudkan
Cita-citamu menjadi dokter yang mengobati
Negeri yang sedang sakit ini, pahami semua
Mata pelajaran, jangan hanya hitung-hitungan saja
Sebab pikiranmu nanti akan tertanam
Sekadar keuntunganmu pribadi
Buta dengan kerugian orang lain
Boleh, Nak
Kau boleh jadi jaksa, apalagi jadi hakim
Tapi hati-hati, sebab kau akan tergelincir
Hanya untuk mempermainkan hati nurani di balik
Gelar yang kau pugar, dan jika masih begitu
Lebih baik kau jadi pedagang saja yang jelas
Ukuran timbangannya, itupun jika kau pedagang kecil
Seandainya kau pedagang besar, maka kau akan merepotkan
Pemerintah dengan kerugian yang milyaran
Siapkan dirimu jadi pemimpin, Nak
Sebab banyak pemimpin yang lebih siap
Jadi anak buah, pesuruh atau pecundang
Dalam pikiran mereka rakyat bukan apa-apa
Jika negara adikuasa yang mengerdipkan mata
Agama hanya jadi rawa-rawa penghalang
Akal bulus keinginan mereka menaikkan tarif
Setinggi-tingginya,menghukum maling ayam
Dengan cara yang paling jahanam
Sementara pelaku korupsi masih diberikan
Hukuman bergaransi
Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu menjadikan kita
Manusia berakal budi-berhati mulia
dalam setiap detik mengalirlah do’a-do’a
memohon kepada sang pencipta
karena dialah yang layak sempurna dipercaya
PADAMU IBU
Padamu aku sampaikan, ibu
Bantu aku dengan doaa-doamu
Agar mulus jalanku menapaki
Hidup yang penuh dengan duri
Padamu aku sampaikan, ibu
Ikhlaskan aku mencari hidupku
Agar lekas langklahku sampai
Pada cita-cita yang hendak dicapai
DENGAN SEIKAT ZIKIR MAWAR INI
apakah yang dapat kukatakan
selain mengungkapkannya dengan
seikat kembang atau setangkai zikir mawar, Kekasih
atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti penanda hati
apakah yang dapat kulakukan
selain menyusun butir-butir rindu
menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih
entahlah warna cinta yang bagaimana lagi
yang patut kutorehkan di kanvas hati
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti pecinta sejati
medan,08
DALAM DIAM KU TASBIHKAN CINTA
mungkin ini hari dan minggu yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a
adakah luka yang begitu menganga sehingga
tercipta jurang diantara perbedaan menganga
atau aku yang kurang pandai membaca
perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah sama berjanji-sama mendaki
adakah dendam yang begitu membatu sehingga
terpahat lereng terjal dilangkah menganga
atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki
dalam perjalanan hati?
Medan,08
AKU RUKUNKAN CINTA KITA BUKAN SESIAPA
usah kau sulam segala ragu, sebab
aku rukunkan cinta kita bukan sesiapa
sebab, kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka
aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi kekasih abadi
bagi para musafir lata yang kehausan cinta
dari perjalanan sebuah pencaharian yang tak jemu
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA
jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa
jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma
medan, 2008
AKULAH SANG PENJAGA CINTA
akulah itu sang penjaga cinta yang menanam
segala bunga penuh warna-sesegar aroma
di taman hatimu seteguh asmara
akulah sang penjaga cinta yang menyiram
segala bunga menghapus kerontang jiwa
di taman hatimu yang paling suci
medan, 2008
MENJARING TASBIH AIR MATA
Telah pun kujaring tasbih air matamu
Pada kedalaman laut yang paling haru
Gemuruh di dadamu mengundang cemasku
Demi menahan terjangan-terjangan gelombang
Langit sekadar membagi nasihat
Bagaimana cara membaca gerak cuaca
Awan adalah musafir yang mencatat angin
Sepanjang rahasia kesunyian sebuah perjalanan
MEDAN,2008
PELAYARAN SAJADAH
Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Medan, 2008
BIAS MATAHARI PAGI
apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika
dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita
apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya
pada sisa tangis di jendela matamu
malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rumputan.
apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun
kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan
pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut
atau kau telah terjerumus dalam kobaran api cemburu? Matahari telah membenam
di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya
SAJAK JAM DINDING
Butir detik jatuh satu-satu di bingkai matamu, melintasi menit
yang bertengger di bibirmu. Ada angin mengetuk hatimu
Menyesak jantung di ruang rasamu
awan enggan berlari, udara berputar-putar sendiri
matahari begitu sayu di atas sungai segala luka
mengalir sampai muara yang sesak oleh kabar duka cita
Butir airmatamu jatuh satu-satu menatap jam dinding pada senja
surut perlahan mengaduk-aduk sepi hatimu. Waktu setia menunggu
dentam-dentam langkah jam sepanjang almanak. Seperti embun yang menetes
menganak sungai pada pualam pipimu berputar mengelilingi waktu
mencari celah, berputar pada ruang yang menyimpan segala keabadian itu
SUNGAI HATIMU
entah langkah keberapa detik kaki
menyeret tumpukan cerita berangkai.
gunung-gunung sibuk menantang matahari.
pohon-pohon risau menghalau cahaya pagi
sungai-sungai asyik bermain-main sendiri
dan aku ingin sekali merendamkan diri
pada sungai hatimu sejenak meninggalkan mimpi
sungai hatimu yang sejuk meredam segala dendam
membungkam luka segala prasangka segala
Di sungai ini. Teduh mendengar tembang irama kenang
ada percikan kecipak air. Ada hembusan sesejuk angin
dingin menggigil pada bingkai cerita yang belum usai
api terbakar pada langkah yang sudah-sudah
pada rumah.tak berdinding. Tak berjendela
entah langkah kaki ke berapa detik sunyi menyeret ruang
di setiap peristiwa rindu yang bermain-main di siang malamnya
aliran sungai hatimu
MENYENTUH GERAI RAMBUT HUJAN SORE INI
Menyentuh gerai rambut hujan sore ini
aku kenangkan dirimu, kekasih
ada rasa yang tak sempat terkatakan
tentang sebuah negeri yang jauh
dan di ruang lengang seperti ini
kusulam rindu-dendam yang belum sempat
terbayarkan
PEREMPUAN GULA-GULA
terlalu manis hidup yang tercicipi
terlalu nikmat hasrat yang terteguk
dan sekarang
kau pun merasakan
kebahagiaan itu
hanya batu
di dadamu
komunitas home poetry, 2009
medan-sumatera utara
PAGIPAGI SEKALI EMAK MEMBANGUNKANKU
dan pada detik ini
rusukku persis patah
dan pada detik ini
dadaku jelas membelah
dan pada detik ini
sekujur tubuh rubuh
sebab, pada detik ini
emak memuntahkan serapah
SEORANG GADIS KECIL DAN POLISI YANG BERDIRI DI LAMPU MERAH
merah bola matanya
naik turun jakunnya
komatkamit mulutnya
mematung menatap jalan raya
lampu merah menyala
saatnya bekerja
komunitas home poetry, 2009
medan-sumatera utara
SEBATANG ROKOK DI ATAS MEJA PADA RUANG BERJELAGA
ruang itu sunyi
seperti air yang berhenti mengalir
meja itu berdebu
ada pena tergeletak di atas kertas
penyair menyimpan lelap
sebatang rokok membakar sajak
di atas asbak
NENEK JAMILA MENGUNYAH-KUNYAH SIRIHNYA
mungkin derak suaranya
mungkin derit pintunya
mungkin bunyi kentutnya
mungkin suara pipisnya
mungkin nada dengkurnya
mungkin denging telinganya
mungkin klutuk periuknya
mungkin rerak rumahnya
mungkin alunan serapahnya
mungkin dentam sunyinya
mungkin bara rindunya
mungkin pluit ajalnya
mungkin runtuh debunya
mungkin perih hatinya
mungkin deru jantungnya
mungkin buram matanya
mungkin retak bibirnya
mungkin mungkin
nenek jamila yang tengah
mengunyahkunyah sirihnya
alah, mak
GADIS KECIL YANG MENUNGGU
Di gerbang mesjid
Seorang gadis kecil menunggu rindu
Kidung takbir di bibir yang getir
Entah fitri yang ke berapa
Zikir mengalir
Di gerbang mesjid
Seorang gadis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
GADIS KECIL PENJUAL KORAN
Di simpang sepi
gadis kecil duduk sendiri
Mendekap setumpuk Koran
Di dadanya
Sementara senja terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu persatu
gadis kecil terduduk sendiri
Tanpa pembeli
Tanpa pembeli
Di simpang sepi
Lalu lalang tak ada lagi
KEPADA ADIK KECILKU
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
DI SIMPANG JALAN RAYA
gadis kecil bertubuh dekil
Dengan kaleng di tangan bernyanyi
Lagu anak jalanan
Memandang kaca jendela mobil
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Di dalam mobil
Di balik jendela kaca
Gadis kecil bergaya centil
Muntahkan donat dari mulutnya
Tiba-tiba jendela kaca terbuka
Si mami membuang segala sisa
Termasuk beberapa receh
Dari saku celana
Lampu hijau menyala
Menghalau masa lampau
gadis kecil pinggir jendela
Gadis kecil simpang raya
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Jalan raya
AKU CINTA KAU BUKAN SESIAPA
usah kau sulam segala ragu, sebab
aku cinta kau bukan sesiapa
kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka
aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi ibu dari anak-anak kita
yang kelak akan menggantikan kita menjadi
pangeran dan putri dari segala kerajaan cinta
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA
jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa
jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma
medan, 2008
AKULAH SANG PENJAGA CINTA
akulah itu sang penjaga cinta yang menanam
segala bunga penuh warna-sesegar aroma
di taman hatimu seteguh asmara
akulah sang penjaga cinta yang menyiram
segala bunga menghapus kerontang jiwa
di taman hatimu yang paling suci
medan, 2008
BUNGA-BUNGA
ulang tahunku dua hari lalu
begitu berkesan
ibu membelikan aku bunga
segera kuberi nama
“steffany”
tapi, anehnya di sekolah
teman-teman juga memberi bunga
aku bingung memberi tanda
selalu saja kuberi nama
“steffany”
Aku jadi lupa yang mana melati, lily
Atau mawar berduri
Semuanya jadi kuberi nama
“steffany”
LUKISAN RAMBUTMU PADA KIBAR SENJA ITU
lukisan rambutmu merebak rindu di antara lulur debu
meretas gairah di antara bilurbilur biru di bawah remang
cahaya yang memburu waktu, ah aku seolah menemu
lakumu dalam dekapan diam tetapi nganga itu seolah
mencair di antara mimpimimpi semu
kemarilah !
biar kita kejar bias matahari di antara rintik gerimis senja
yang mengucur di kaca jendela menggelitik rasa kita
kau tentu mengerti betapa hasrat memiliki tak pernah
berhenti
dan tembang malam perlahan melintas dari jembatan senja
yang berkibar di antara kibar lukisan rambutmu mewarta
segala cinta, maka cuaca bukanlah penghalang segala cinta
dari segala tariantarian yang meliuk di antara lukisan rambutmu
pada tatap mataku yang menunggu
KAKIMU YANG MELANGKAH ADALAH
kakimu yang melangkah adalah tapaktapak yang membekaskan
segala sejarah di atas kering rumputrumput itu menyibak segala
rahasia yang tersembunyi di tepian trotoar berdebu dan irama
knalpot jalan raya yang menembus telinga para musafir jalanan
menembus segala tuju yang masih semu
kakimu yang melangkah adalah retakretak dadaku yang rerak
di antara tanahtanah membatu mencuri serpihan cinta yang
melayang seolah debu menembus dindingdinding angin
yang dingin menggigilkan segala hasrat yang sempat membara
dan lunglai bersama gugurgugur daun yang jatuh ke bumi
kakimu yang melangkah adalah getar segala debar yang terkapar
dari resah segala gelisah meliukkan hati yang gundah tentang
sebuah hasrat yang terpendam menembus dindingdinding diam
yang mewarta segala cerita menembus loronglorong hatimu
menembus kisikisi hatiku yang penuh kesumat berdebu
SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN
entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi
dari pohon setua hembusan sedingin angin
warna buramnya sesunyi kalender yang
kelelahan disetubuhi beribu rayap
pengab !
waktu melesat begitu cepat
berkeliling merengsek masuk di celah-celah
reranting dan cabang. Begitu gagap
entah daun yang ke berapa gugur di diri
memilah warna matahari yang menembus
ke segala ruang dan lorong sesunyi titik
air yang menitis di atas lantai lunglai
sansai !
Puisi-puisi Ilham Wahyudi
Stasiun, Lelaki dan Kemurungan
Kurasa pelan-pelan kita mulai saling melupakan
Seperti suara gerbong kereta yang berderak menjauh
Meninggalkan stasiun: rinduku masih menggelegak
Di sana
Di stasiun itu dulu kutemukan bagian nasibmu –
Pelan-pelan kini telah pula menjadi bagian
Dari nasibku – tergeletak berantakan; telanjang
Dan suaramu yang serak mencuri kesadaranku
Sebenarnya apa yang kau inginkan dari perjalanan panjangmu
Sehingga kau terus saja mengutuk perjumpaan kita
Bukankah suara serakmu itu yang menggoda kelakilakianku?
Kurasa kau telah keliru menafsirkan pelukan dan ciumanku
Membayangkanku sebagai Rocco Siffredi yang jalang di depan kamera
Tersenyum dan sesekali mengerang menahan gelinjang
Tetapi, sayangku aku lelakimu
Lelakimu yang dulu merampok kemurungan di stasiun itu
Takkan pernah berniat meningalkanmu sekalipun kau tergeletak
Di stasiun yang lain menunggu Rocco Siffredi menggendongmu
Menuju sorga: rinduku masih menggelegak di sana
Medan, Desember 2008
Ilham Wahyudi
Jejak Jenjang
kembali kutelusuri jejak jenjang kakimu. melewati sejumlah senja yang cahayanya
menjorok di kedua mataku. sejuta mantramantra pun kulaburkan di tiangtiang tinggi tebingtebing hatimu. sementara di jurang paling dalam hati; aku berendam mencari barisbaris senyummu yang karam bersama purnama jingga.
barangkali pertemuan bagi kita adalah penawar sekaligus racun yang mematikan.
sajakku yang sintal telah pula melahirkan berkilokilo doa dan airmata
seperti kerakkerak ingus yang mengering di kedua lubang hidungmu yang runcing. namun waktu melalui jejarinya yang purba siap menggagahi bangunanbangunan mimpi.
dan kita ternyata masih belum juga puas memuntahkan seluruh kesedihan.
ada yang menggores tertinggal menjadi luka di antara ruangruang kenangan:
sebuah kerinduan yang limbung diterjang kecemasan malam. aku membangunnya
kembali dengan kepal tinju keyakinan.
ada yang membatu bertapa menjadi berhala dipuja kemurungan:
cinta yang sesat diselubungi warnawarna kelam. aku membilasnya
dengan pelangi yang paling indah.
sewaktu nanti yang entah pada musim yang kapan
kuingin kau kutemui. mencebur dalam lautan ciuman.
sepanjang waktu dan sebening kerlip matamu.
Medan. Desember 2008
KAPAL BUAT IBU
Ibu, kelak aku besar nanti
aku akan membuat sebuah kapal, untukmu
kapal yang lebih besar dari yang pernah dibuat nuh
untuk istrinya, anakanaknya, umatnya
dan seluruh binatangbinatang hidup di dunia saat itu
kapal yang akan membawa kita mengelilingi
pulaupulau selatselat samuderasamudera
bahkan benuabenua yang belum pernah kau bayangkan
atau kau dengar namanya selama hidupmu
kapal yang akan menampung segala keluhkesah kita yang abad
sehingga wajah kita yang pucat tak lagi mengenal kemurungan
aku tahu ibu, engkau ingin sekali pergi ke ujung dunia
kau percaya kalau di sana tuhan menyembunyikan tulangtulang
ayah yang tenggelam saat bertarung melawan gelombang
yang sinis pada ketangguhannya menakluki laut membelokkan angin
percayalah ibu, aku anakmu lakilaki yang kau besarkan dengan kepal tinju
dengan keringat yang mengucur dari dindingdinding dahimu bagai hujan lebat
akan mewujudkan seluruh mimpimimpimu yang selama ini mengantung
di langitlangit kamar kita yang bocor dilumat usia
sekalipun aku harus menghabiskan seluruh sisa hidupku membuat kapal itu
ibu, tak ada di dunia ini yang lebih membahagiakan bagi seorang anak lakilaki
selain ia dapat melihat senyuman mengembang bangga di wajah ibunya
senyuman yang nyata surga di dalamnya
senyuman yang menumbuhkan bungabunga harum
sungaisungai yang jernih dari kedalaman cinta
senyuman abadi yang tak luntur usianya di hati, selamanya
Medan. Februari 2009
Ilham Wahyudi
JANGAN KUTUK KAMI
jangan kutuk kami jadi batu
apalagi anjing pincang, Bu
kami sedang belajar menanam buah;
menangkap ikan dan menanak nasi
kami tak lagi menyembah apapun yang
bapak-bapak kami sembah
setiap hari kami susun kembali
remah-remah yang masih tersisa
sepanjang malam kami bongkar
kepala kami yang rusak tercemar limbah pabrik
mata kami tak pernah lagi memancarkan bunga-bunga api, Bu
mulut dan hati kami juga telah kami install ulang. Kami berdenyut;
kami bukan robot, Bu. Bukan!
Jangan kutuk kami jadi batu apalagi anjing pincang, Bu
jangan!
Medan. 2009
Menjadi Ibu
Bulan desember adalah perempuan yang menangis
Yang tangisannya memenuhi selasar rumahmu
Tetapi pintumu tak pernah penuh dengan pertanyaan
Dan yang dingin tetaplah menggigil di sudutnya
Hampir bisa kupastikan kau masih sendirian
Menunggunya pulang dengan seikat penawar kecemasan
Hal ini bukanlah hal baru bagimu
Sebab sejak kepergiannya kau selalu berupaya menjadi ibu
Ibu adalah segala sesuatu yang indah
Sedangkan kau sesuatu di luarnya
Bulan desember adalah perempuan yang menangis
Dan kau belum juga selesai menerjemahkan arti tangis
Seperti ia yang lupa di mana letak langkah jalan berpulang
Medan, 2009
Rumah Ibu
Rumahku rumah kayu
Berhias kandang ayam dan pokok jambu
Jika petang Ibuku menendang lagu
Menunggu Ayah si jantung ungu
Rumahku rumah rindu
Tempat memutus keluh dan riak ragu
Sepanjang remaja masa usiaku
Tak sekali pun jua aku menggerutu
Walau Ayah tak kunjung kutemu
Rumahku rumah nan syahdu
Meski hidup kara adalah batu
Aku dan Ibu ‘kan terus melaju
Seperti air menuju hulu
Seperti puisiku menuntun rindumu
Medan. 2010
Januari ke Maret
: buat perempuan yang kubakar catatan hariannya
Aku yang dulu pernah sengaja menerakakanmu adalah lelaki hitam keriting dengan lutut gemetar menahan cambukan silam kelam yang berloncatan dari kitab kitab masa lampau sepenuhnya rusak parah di rindang rambutmu yang mengalir ke seluruh sulur sulur tubuhku—sebagaimana tawa yang kau senandungkan di setiap simpang pertemuan kita. Baik yang terbaca mata waktu atau yang menyusut beringsut di halaman halaman catatan harian.
Aku—sekalipun tidaklah pernah berniat—yang mencoret jendela hatimu dengan pisau paling tajam sejauh ini hanyalah batang rokok terbakar tarikan nafas yang memburu menikamkan luka lain pula; dan pada tarikan terakhirnya tergeletak di antara gelas gelas kaca yang menyisakan ampas kopi. Seseorang kemudian meludahiku sebab masih ada sedikit bara di ujung jantungku.
Aku yang mulai tak tembus angin malam sekiranya harus menjumpaimu di musim yang paling beku sekalipun telah siap menjadi kayu bakar agar kau tetap sehangat matahari pagi, ( saat itu aku pernah menjemputmu dengan wajah yang dipenuhi bedak dan kepala yang banjir minyak rambut—baunya sampai ke pasar ikan di belakang rumahmu) dan bila telah kau penuhi matamu dengan seluruh cahaya kegembiraan; berangkatlah menjumpai masa depan yang gemilang cemerlang terbentang.
Dipergantian antara siang ke senja ini aku bertamu dalam pikiranmu—semoga kau sedang duduk manis menonton televisi atau mendengar saluran radio kesukaanmu sehingga kau merasakan ketukan jariku yang mulai berlepasan meremas dosa—mengajakmu membenamkan seluruh puing puing kelam yang masih menempel di pagar halaman batinmu: januari ke maret kita jauhkan.
“Aku dan kau yang sempat saling memuja pada januari ke maret adalah sebuah purnama yang lain pula.”
Medan, 11 Januari 2009
Sakitku Kambuh Lagi Malam Ini
Bulan; mengingatmu malam itu seperti bocah belasan tahun
yang baru mengerti seluruh rahasia malam. menghitung setetes
demi setetes butir sirup yang bergulir lambat dalam tenggorokanku
juga cahaya lampu yang tiba-tiba saja redup di teras rumahmu
seketika aku telah menjadi matahari pagi.
Bulan; betapa lelakinya aku malam itu
padahal kau juga telah tahu kalau perban khitanku baru seminggu
yang lalu kulepas. kadang rasa ngilu itu masih sering muncul menggodaku
seperti rindu: tajam dan berdarah
Bulan; masih ada yang kita sembunyikan malam itu
di balik bola mata itu. saat mulut kita berusaha menyusun dialog yang ragu
ayahmu buruburu merampasmu masuk. dan mimpi meremas jemarimu
hilang bersama bisingnya suara pemanggangan putu bambu
“oh aku rindu bulan
sakitku kambuh lagi malam ini”
Medan, November 2008
– “oh aku rindu bulan, sakitku kambuh lagi malam ini”: salah satu bait puisi saut sitompul dalam puisi sepanjang kaki lima.
Perempuan Kebaya Putih Berselendangkan Pelangi
entahlah, sulit sekali rasanya aku
mengingat namamu setiap kali membayangkan kau
berjalan mengenakan kebaya putih sore itu
selepas gerimis berselendangkan pelangi
dan bukan hanya karena sebuah nama
aku tekad mencuri minyak rambut ayah
juga parfum milik ibu—lalu berjam-jam berdiri
menunggumu lewat pekarangan rumahku
sambil sesekali mencuri pandang; bahkan
harum bedak yang selalu kau pakai masih
melekat di kerah leher kemejaku.
“ternyata lebih mudah mengucap janji dari pada
mengingat sebuah nama,” suatu kali kau berucap
sambil tertawa setelah aku bertanya namamu
untuk yang kesekian kali—tentunya. tapi namamu
serupa malam; begitu gelap.
entahlah, selalu saja aku membayangkan diriku berjalan
di sebelah bahumu sambil terus bercerita tentang kedunguanku
yang tak juga dapat mengingat namamu; perempuan
kebaya putih berselendangkan pelangi.
“aku rindumu
kusaja yang rindumu!”
Medan, Oktober 2008
Perempuan di Bangku Taman di Bawah Bulan
I
Malam semakin mengental di rambutmu
Bintang-gemintang diamdiam berbisik
ekornya berputar-putar seolah memberi petuah
Berhentilah menunggu lelaki ikal bergelombang itu tualang cinta
ia takkan datang walau lumut menyelimuti mulutmu yang berbuih
kota ini sudah sangat tua mengendong tubuhmu. sedangkan bangku-bangku
di taman itu telah lama berhenti menerjemahkan rahasianya.
Matamu semakin terang tetapi takkan mampu menyinari
jalannya yang panjangpanjang; membawanya kembali ke hadapanmu.
hidung mancung dan bibir tipismu juga takkan sanggup menjadi peta
ke mana ia akan berderak.
Baginya hidup adalah angin, Kayya. menyelinap di telingamu lalu hinggap
di tengkuk Kayya-Kayya yang lain. terus dan terus saja seperti itu.
sedangkan bagimu sendiri hidup adalah nasib buruk.
mematung dengan mulut yang penuh doadoa
Kota kita semakin kantuk berdiri
Rumah-rumah di perutnya menggigil kedinginan
Lampu-lampu sempoyongan menelan angin malam
Jalan-jalan di kakinya gelisah menunggumu lewat
sementara tukang bandrek langganan kita mendengkur
sendiri di depan rumahmu; jatuh cinta pada senyumanmu
Kayya, perempuan kau perempuan sintal menggoda
berlari sepanjang malam dalam mimpi-mimpi lelaki
senyummu manis merona inspirasi bagi pecinta
dipuja di mana-mana. Entahlah, mengapa Tuhan meletakkan
senyuman di wajahmu?
Kayya, perempuan kau perempuan lentik memesona
akan kuberikan separuh dunia ini jika itu cukup
kuciumkau sepanjang juta tahun. kupelukkau setebal milyar bulan
dan jika itu belum juga cukup, akan kugulung alam semesta berserta waktu
lalu kubungkus dengan seluruh darah dan dagingku
katakan, Kayya apa yang kau mau?
Di atas pucat bulan yang mengerang memelototimu
Kelelawar-kelelawar lapar bertebangan mencari makan
sesekali suarasuara anjing memadu-padankan malam.
hidungku tersumbat menahan dingin. aku bergetar
mencintaimu dari balik jendela kamar
apakah kau menyadari hal itu, Kayya?
wajahmu tak henti-hentinya menarinari di manik-manik mataku
mengajakku bercinta, tapi jariku kosong saat menyentuh pipimu
jantungku tersedak menahan rindu.
Kayya, bagaimana lagi meyakinkankau kalau aku bersungguh-sungguh
menunggumu kembali pulang dengan senyum yang Tuhan letakkan di wajahmu
memandikankanmu dengan sinar bulan tapi bukan di bangku taman yang kelu
menyisir rambutmu dengan seluruh nasibku tapi bukan menunggu lelaki itu tualang cinta
sehingga kau pun tahu kalau rindu tak mampu lagi membuatku menangis.
Mengapa kau seperti itu, Kayya?
angin bukanlah wujud yang mampu kau petik
seperti dosa yang bersembunyi dalam darah dan daging kita
Gerimis berguguran di matamu
membentuk sungai-sungai yang mengalirkan darah-darah hitam
menenggelamkan tubuhmu. menghanyutkanmu ke laut-laut keputus-asaan
kau mengiraukan sampanku yang terombang-ambing mengejar bayangmu
dan aku, Kayya, bukanlah lelaki tualang cinta yang putus asanya lalu berbelok
mengejar Kayya-Kayya yang lain. atau barangkali menyumpahmu lalu menertawakan
nasibmu.
tapi aku adalah lelakimu lelaki yang bersumpah pada satu sumpah, Kayya
mencintaimu dengan seluruh nasib baik maupun nasib buruk.
Suara suara azan mengejutkanku
mengantarku pada hari yang entah beratus ribu berganti
sedangkan kesetian telah menjadi ritual yang tak berujung
namun kau masih saja membatu di bangku taman itu, Kayya
mematung seperti berhala. sementara sebentar lagi kota kita
akan berdetak memburu sorga. memuja benda-benda.
Mau kemana kau, Kayya?
II
Bulan menggelantung lagi di luar jendela
malam setengah telanjang membuka rahasianya.
Aku membakar rokokku yang berbau dupa. tapi, Kayya
kau masih seperti berhala.
Dadaku gempul menghisap rindu dalam balutan tembakau dan cengkeh
menahan atom atom cinta yang mulai merangkak menepi.
namun sumpah takkan pernah kujilat lagi, Kayya
sebab aku bukan lelaki tualang cinta.
III
lalu mulai lagi kuraba bayang-bayang merah wajahmu
melukiskannya di dinding-dinding hatiku
walau pun usia telah menghadiahkanku aleksia
yang menyerang butir-butir darahku.
hitam. gelap. buta.
IV
Kayya, mencintaimu dan menunggumu bertapa sama halnya dengan berjalan di gugusan bintang-gemintang yang tak pernah selesai diraba ilmu pengetahuan dan manusia.
Maka ijinkan aku menyusuri bintang-gemintang itu. mungkin di sanalah tempatmu selama ini – menungguku menjemputmu. membungkus semesta.
Medan, Desember 2008
Saat Menjemputmu di Stasiun Nanti
saat menjemputmu di stasiun nanti
aku akan memakai celana pendek dan bertelanjang
dada saja. biar kau percaya kalau di losmen malam itu
aku benar benar birahi dan serius ingin bergumul
sampai pagi.
selalu—setiap kali senja mulai menyombongkan dirinya
aku sering lewat di gang sempit; di dekat rumahmu, itu
tempat dulu pertama kali aku memberanikan diri
memegang dadamu,”ayo buktikan ucapanmu!” kau menantang.
dan kau tau? sejak saat itu entah sudah berapa kali
aku bertemu pembunuh, perampok, penjudi, bahkan
koruptor kelas kakap di negeri ini sudah merasakan
lembutnya pijatan jemariku.
sekarang—saat menjemputmu di stasiun nanti
aku akan merampas janjimu sore itu,”sabarlah,
nanti setelah kepulanganku kita akan bergumul
sampai lututmu bengkok,” kau tertawa; dadaku
bergemuruh bagai badai menahan electron elektron
yang berlepasan dalam tubuhku.
ayo buktikan ucapanmu!
Medan, Oktober 2008
Setelah Hujan Subuh Itu
setelah hujan subuh itu yang menenggelamkan
kecerian kita pada apa saja selain perpisahan.
aku selalu membayangkan diriku bersandar
di punggungmu. menggulunggulung rambutmu
yang bergelombang. memintaku menyiapkan
air hangat. memijit seluruh tubuhmu sampai
kadang kau tertidur dalam air.
kudengar ada bayi yang tenggelam mati jatuh dari kasur; di televisi
ibunya menangis menyesali; tak sadarkan diri berhari hari.
tapi, aku sepenuhnya sadar membiarkan kau menguasai seluruh
kisahku. kudengar juga ada ketakutan akan miskin yang mewabah
di bursa saham. tapi aku telah menggadaikan diriku menjadi
bagian dari seluruh nasibmu.
dan,
setelah hujan subuh itu yang menenggelamkan
kecerian kita pada apa saja selain perpisahan.
aku tak lagi menemukan potongan potongan nasibku
terselip di paragraf paragraf kisahmu. kini kita
seperti turis turis asing yang gagap memegang sebuah peta.
meraba dan terus saja meraba nasib!
Medan, Oktober 2008
Di Matamu
di matamu; aku sedang memahat purnama
cahayanya temaram bak senjakala
menembus semak rambutku yang basah
ditimpa gerimis
di matamu; aku akan mencipta danau
yang airnya tak pernah puas kuteguk
kuselami dasarnya, dan kutulis namaku
di sana
(bawalah aku ke mana pun kau pergi
seperti awan yang tak pernah lupa pada hujan
seperti gincu merah yang tak pernah
luntur di bibirmu)
di matamu; aku akan menanam pohon pohon
agar kelak menumbuh bunga bunga
yang harumnya tercium sampai ke lembah lembah
hatimu
di matamu; aku sedang mendirikan jembatan jembatan
di mana aku bisa lalu-lalang di atas sungai sungaimu
memangkul sayur, dan buah buah segar
kesukaanmu
(katakanlah padaku apa yang kau suka
seperti bayi yang tak mau lepas dari puting ibunya
seperti penyair yang tak mau lepas dari penanya)
di matamu
aku masih menunggu!
Medan, 17 Agustus 2008
Kota Para Pemimpi
apakah kau masih ingin pergi ke sana, sayang?
kota yang selalu diceritakan banyak orang itu
sambil kau terus berharap dapat bertemu
para peri dan tujuh kurcaci kembar
kita begitu dingin seperti es di ujung bumi
gelisah di atas altar kerinduan, dan
tersesat dalam kebisuan yang menutupi wajah
kita masih gamang tegak berdiri menatap hari yang samar samar
gugur bagai bunga yang kering cahaya
di-injak-injak lalu lebur dan berai di tanah
malam pun semakin dingin; anjing anjing masih terus menggonggong
menjaga malam yang segera usai
bila mungkin aku ingin mengajakmu ke sana
ke kota mimpi yang membuat kita tertidur
dengan tangis, tawa, dan senyumnya yang mesra
bila mungkin aku ingin bersetubuh
dengan burung burung, dan bunga bunga itu
lalu tidur di samping maut tanpa perlu merasa takut
bulan letih berjaga semalaman
saat pagi menyapa kota, kota kita, kota para pemimpi
Purnama di Musim Hujan
Adakah yang kau sisakan dari pertemuan kita kali ini untuk kukulum di mulutku yang megap menahan sejumlah batang-batang gigi yang rapuh? Musim hujan kali ini aku sudah tidak lagi berdiri selurus tahun-tahun yang lalu. Mataku mulai kabur membaca lekuk-lekuk purnama di pipi merahmu. Tanganku juga tak kuat lagi menggenggam derasnya gelombang merindu yang menghimpit dadaku. Aku menjelma renta setelah tinta surat terakhirmu memutih seperti awan yang selesai memuntahkan seluruh kesedihan langit.
Adakah yang kau kenang dari perpisahan kita waktu itu sebagai oleh-oleh kecil yang bisa kau habiskan setiap kali kau merasa keroncongan dalam tidur-tidurmu? Hujan selalu membuatmu ingin menemuiku—menarikku ke dalamnya lalu pelan-pelan meraba bilik-bilik rahasia yang tersembunyi di dalam butir-butirnya—tapi kau tak pernah mau untuk tetap berdiri di sampingku, (menuntaskan janji) mendengarkan aku membacakan seluruh rahasianya. Kau juga selalu menghindar dari tatapan mataku yang tersesat mencari kolam jingga—aku ingin sekali berenang mandi cahaya di dalamnya—setiap kali aku menanyakan prihal purnama di pipimu yang merah itu.
Adakah yang kau sembunyikan perempuanku dari kisah kita ini setelah kita berulangkali melewati sejumlah musim hujan yang deras? Kita seperti sepasang kucing kampung yang selalu berkeringat—terkena percikan air hujan—setiapkali kita menyusun tiang-tiang mimpi kita yang terseret di parit-parit masa muda. Tapi kau—kita pada akhirnya—terus berusaha menegakkan tiang-tiang itu kembali. Dan ternyata kita memang belum mampu mendirikannya: kita cerai di ujung butir terakhir hujan itu
Adakah yang kau inginkan dari pertemuan kita kali ini perempuanku selain memintaku menghapus seluruh nasibmu yang menempel dalam setiap paragraf kisahku? Aku limbung mengabulkan permintaanmu; karam bersama purnama di musim hujan.
Medan, Januari 2009
Wajah Merahmu
Di langit tak kutemukan wajah merahmu di bilik-bilik awan
yang menyembunyikan butir-butir air hujan; hanya halilintar
kedinginan dan titik-titik pelangi yang berserakan tanpa warna—
kesepian di sana. Pelan-pelan aku turun ke hutan-hutanmu
meraba setiap jengkal sudut-sudutnya yang lembab tertimbun
embun pagi. Namun tak jua kutemukan wajahmu; hanya binatang-
binatang buas yang kelaparan dan pohon-pohon tua yang lelah
berdiri gemeletar menyimak aku berkisah tentang kau yang mencuri
sebagian nasibku—aku berhenti sesaat: mengeja bayang-bayang
wajah merahmu yang tersapu kabut senja.
Hujan jatuh tak beraturan; halilintar meraung-raung kegirangan;
hutan ini semakin lembab menggendong tubuhku yang digenangi
rindu. Aku semaput. Di langit pelangi tak jadi muncul. Besebab malu
warnanya sepucat wajahku.
Medan, Januari 2009
Di Pinggir Danau
di pinggir danau ini
dulu kau mengajariku berbicara dengan gerimis
mengartikan indahnya kesunyian, mewarnai pelangi
dan melukiskan matahari di air
serupa ibu yang dulu mengajariku kata demi kata
di pinggir danau ini
dulu sama sama kita membaca bahasa angin
bergelut dengan kupu kupu, menghitung butir air
yang berkejaran kesana-kemari
lalu terbaring dengan nafas yang terengah-engah
di pinggir danau ini
kini kau tertidur dengan sepotong senyum, dan
segenggam mimpi yang mengabut di udara
kemudian jatuh berantakan di tanah
di pinggir danau ini
kutaburi bunga bunga untukmu
sekedar menyapamu yang asik bermain
dengan kurcaci kurcaci langit
Jakarta, 09 Mei 2008
Di Sebuah Jalan di Depan Rumah Makan Padang
I
seorang pincang berdiri di depan rumah makan padang
kakinya telanjang. matanya hampir kuncup menunggu sisa sisa
makan siang yang telentang di meja di antara gelas kaca
yang salin padang. tak tau makan apa ini siang.
tak jauh di seberang jalan depan rumah makan padang
ratusan orang muda dengan almamater biru lngit turun di jalan
berteriakteriak. ada juga yang menyanyi atau mungkin juga
mengiba. “kaum tua telah menjarah nasib kita,” seorang muda
dengan almamater biru langit berbisik pada kawannya.
sementara itu di dalam sebuah salon kecantikan pinggir jalan di sebelah
rumah makan padang, seorang wanita paruh baya linglung memilih warna
rambut yang berkejaran di bibir mata berbingkai kaca. memaksa entah
terpaksa. hijau, merah, biru, dan warna emas. “ah, kayaknya saya lebih
pantas dengan warna darah. maaf, maksud saya warna merah,” suaranya
melambai di lantai.
debu mengental di aspal jalan.
II
“tunggu, nasinya jangan dibuang dulu, buat saya saja,” kata si pincang
pelan mengiba. dua hari tak kenal makan cuma lapar betah di badan.
“turunkan harga sembako sekarang juga. gantung koruptor yang menjarah.
rakyat butuh makan bukan janji-janji,” orang muda dengan almamater
biru langit riuh menjerit di jalan depan rumah makan padang.
ban-ban karet bekas hampir habis terbakar
langit gelap dihiasi awan yang bunting tujuh bulan.
III
lalu si pincang menyusun langkah di jalan yang mulai basah
orang muda mengiringinya dengan lagu mendidih darah
memenuhi langit yang kini gerah. dan si pincang pun terus berjalan
tanpa arah. melewati wanita berambut merah yang pucat takut di jarah;
seperti bocah. dengan sisa segenggam tenaga si pincang menyeberang jalan
berhenti di bawah jembatan layang. terkapar memeluk lapar.
langit tak tahan. hujan tak beraturan.
Medan, 28 Mei 2008
Akhirnya
akhir dari semuanya akan berakhir di sini
tempat yang dulu biasa kita singgahi bila birahi
ingin bermain dengan lidah; menukar ludah
dengan ludah. lalu malu malu melepaskan pakaian.
di sini; orang orang telanjang lalu lalang.
sebenarnya tak pernah aku berharap akan berakhir di sini
sebab selalu akan membuatku merasa memilki cinta
padahal dari setiap desahan dan eranganmu
kau terus menyuntikan racun ke tubuhku. dan kini;
racun itu menjadi nafas dan air liurku.
Medan, Oktober 2008
Sampai Nafas Putus-Putus
aku ingin berbaring di dadamu
mengeja detak jantungmu yang tak beraturan
cemas menungguku yang lambat
lalu mengusapnya hingga berangsur normal
aku ingin bergelut di spreimu
menyimak tatapan matamu yang biru
dimana aku bisa berenangrenang di dalamnya
melewati helai demi helai bulu matamu yang berbaris
serupa kumpulan manusia yang mengantri minyak tanah
aku ingin mendengkur di ranjangmu
merasakan jemarimu menjambakjambak kepalaku
hingga rohku melayang-layang di udara
aku ingin menggendongmu sampai ke pintu kamar mandi
menunggumu selesai membersihkan diri
dan kemudian menyiapkan sepiring nasi goreng
segelas susu coklat kesukaanmu
aku ingin mengajakmu pergi ke pasar pagi
membelikan sepotong kebaya putih
sehelai kain batik, sekotak bedak wangi, selusin gincu
warna-warni, dan sepasang sepatu hak tinggi
aku ingin menghadiahkanmu rumah baru
dimana nanti kau akan memandikan bayi-bayi lucu
yang rambutnya bergelombang. yang matanya bersinar serupa bulan
aku ingin menghisap candu hidup bersamamu
mematahkan takut yang telentang
membelokkan angin. memelototi matahari.
aku ingin tidur di sampingmu
dengan seluruh senyum yang kumiliki
sampai nafasku putus-putus di ranum dadamu!
Medan, 02 Juni 2008
Puisi Karya: Arif SM
Perempuan Pada Sebuah Rumah
:(menanti sang pujaan hati)
kemarin ia terus merapal-rapal ayat tuhan
ruang lindap yang menusuk berbau
meruang di dalam tubuhnya
sedang di luar sana serupa mawar mekar
berkelip secantik mutiara
diperbincangkan dengan sekerat roti tawar
berteman segelas besar bir atau anggur merah
subhanallah
allahuakbar
kemarin ia terus menitik embun
jatuh di sebalik pelupuk matanya
merangkul kerut pada pipi
lalu meliuk-liuk mengitari dagu dan leher
ia tak boleh berpejam mata
sebab air bah dari matanya akan membanjir seluruh keruh
yang tergurat di wajahnya,
hingga esok pagi
ia terus menanti sang pujaan hati kembali
dari kembaranya, sang suami tercinta belum juga kembali
namun bibirnya tetap basah dengan dzikir-dzikir illahi
astaghfirullahal`adziim alladzi laa ilaahaillallahu walhayyulqayyum wa atubuilaih
sungguh mohon ampunkan taubatku ya illahi rabbi
kemarin ia bermimpi pula
tentang seorang lelaki kekar idaman
berototkan jiwanya, bernafas kasih
pada kursi di ujung lorong ruang ia bercerita
mengeluh jiwanya, meraung-raung dalam sunyi
walau parau suaranya terjepit sembari masih tilawah tak lepas dari bibirnya
hingga petang menenggelamkan matahari
sang pujaan hati belum kembali
kemarin ia tak melahap sarapan pagi
apalagi godak pada larut malam ini
ia hanya memahami rintik di luar sana
pandangannya jauh menelusup di balik jendela
nanar penuhi ruang mata
kusam sahabat setia, lusuh teman berkeluh
kali ini ia ingin bercumbu dengan sebuah harap
yang hanya Ia yang kan penuhi
allahu ya rabb
sang pujaan hati telah pulang abadi
menjumpai sang khalik
sang hyang tunggal
sang Maha
sang Penguasa Jagad Raya
adakah esok kelam menemaninya lagi?
atau barangkali resah masih ingin bergumul?
sungguh, ia begitu tegar menanti sang suami pujaan hati
itulah wanita shalihah yang ditunggu surga
Medan,
Di Atas Rel Kereta Aku Berdiri
rumahku dari bara memukau jiwa
sejuta merah putih melambai-lambai di puncak muara
aku menunggu sebuah harap yang melangkah
menanti keringat yang menempel di gemetarnya dahi seorang jenius
di atas rel kereta berjalan jua harap yang sama
seperti semula pula, aku melingkarkan pita merah di kepalaku
kain putih tak bernoda kuikatkan pada pangkal lengan
aku masih berdiri di atas rel kereta
masih kusapu bagian-bagian luka yang menganga
kehormatan bangsaku dirampok bajingan-bajingan yang paling rakus
kemanusiaan dijadikan nanah iblis yang meraung-raung dalam gelap
sampai pada senja merah aku masih terus dirampoki
apa yang masih kumiliki ?
ah, penat benar resah ini
seluruh sendi terasa encok di sana-sini
teringat akan kisah marsiti seorang penjaja tubuh tepi jalan
yang dirampas kehormatannya oleh seorang jahannam berjubah putih
bangkit !
bangkit kataku !
teriakkan dengan lantang, berdiri !
marsiti hanya berdiri di atas rel kereta
meradang jiwanya ditertawai anak-anak kecil berbaju lusuh
ia tak lagi seorang dara jelita yang dihembus rambutnya oleh desir angin
kini, ia hanya seorang hina yang mengembarakan hidupnya
pada celah-celah tirai yang rusak
aku masih berdiri di atas rel kereta
tak ada arti rezim baru yang memulangkan diktator kerumahnya
satu dasawarsa hanya hilang dalam hitungan
pagi tadi adik kecil dan sudara-saudaraku
masih tersedu membuka pintu rumahnya
terisak-isak membuka jendela
bahkan meraung dalam kamarnya sendiri
lapar masih jadi teman akrab mereka
sementara kaki-kaki bersepatu, atau mereka yang mengenakan dasi
terus saja merapatkan barisan
ingin menggempur wajah-wajah yang gelisah
aku masih berdiri di atas rel kereta
aku sudah terlena di atas sini
ketika seluruh peluh yang hilang pulang dalam jiwaku
aku membangunkan seluruh resah
seluruh kesah
lalu kubimbing masuk dalam rumah baraku yang memukau jiwa
sejuta merah putih masih melambai berlomba dengan desir angin
aku masih menanti harap yang berlari
menunggu keringat yang menempel di gemetarnya dahi seorang jenius negeri ini
aku masih berdiri di atas rel kereta
Medan, 2009
Gerimis Padang Panjang
Kemarin gerimis lagi,
terus melipur kalbu namun gigil belum terasa ke kulit
hanya menembus tulang di sebaliknya
Putih perak mengkilap–kilap
jalanan terjal naik turun dan kadang berkelok–kelok
gerimis kemarin masih berasa hingga kini
jalanku masih menyisakan sedikit lelumpur yang naik–naik
membercak bulat–bulat di celana wasit sewarna langit saat itu
Rupanya langit tak henti menangis
mungkin hatinya tersayat–sayat ketika tawar–menawar miniatur
atau barangkali
tersandung batu sewaktu mencari randang bareh
di pasar Ateh
Langit makin buram, tanda siang kadaluwarsa
bukannya syair–syair tuhan dikumandang
namun gelak tawa menghias sembari menawar lapan–lapan
;angin semilir mengalir mewarnai perjalanan getir
sesampai simpang empat tak ayal anyangan datang
liar mata nanar membumihanguskan pemandangan
sekeliling tak dijumpai sedikit air
alih–alih mengumandang takbir
jalan berputar berkeliling–keliling, ngilu terasa pekat
sebuah pintu bergambar perempuan di ujung jalan
jadi akhir pencarian
ah, penat masih berukir di jidat
kini bukan hanya pekat, berdua menyusuri seratus anak tangga
membeban berat pada lengan tak berlemak
sedang dua perempuan di atas tersenyum–senyum
membolak–balik sobekan kertas menghitung–hitung keuntungan.
pada anak tangga paling akhir, mereka tertawa puas
padangpanjang-medan, 2008
Sayap Air
menulis sajak pada air tak beriak
serupa cerita dulu pada ibu
segumpal rindupun mengendap dalam-dalam
oh…rupanya malam berubah kelam
siangpun malu menampakkan terang
hanya pagi yang melahirkan merah di timur
“matahari akan lahir lagi hari ini”
sayap-sayap air mengepak
riak yang malu-malu mulai unjuk gigi
sedikit resah membenam didalamnya
menyulut hempasan
masih belum berupa rangkulan
sekumpulan air menerjang bebatu di ujung jalan
perlahan memang, namun berlobang
Medan,
Gadis Berwajah Purnama
wajahmu sepurnama malam itu
mengayunkan gelombang angin
hingga tak kau kenali lagi aku
yang menyepi pada sudut-sudut berbiku
menangkap sebuah angan yang aku sendiri tidak tau apa itu
wajahmu sepurnama malam itu
sayap-sayap yang kemarin membentang
hanya kuyu dibasuh sepi
yang ujungnya runcing seruncing belati
dan kau terduduk tak bersandar
pada dinding retak sewarna kelabu
wajahmu sepurnama malam itu
debu-debu bersayap purnama
berkilauan cahayanya
kau menoleh ke kiri
menjadikan kanak-kanak membenak dalam pikiranmu
cahaya itu rupa-rupanya palsu
kelam lebih terasa kental di matamu
terang tak lagi bersahabat
wajahmu sepurnama malam itu
pagar bintangpun begitu renggang
seperti bumi dan langit ke tujuh
begitu jauh, namun menghisapmu perlahan
hingga tak sadar kau terbangun
di tengah-tengah malam
wajahmu sepurnama malam itu
bulat berbinar-binar
namun angin membawa awan yang menggumpal-gumpal
menutup binaran terang purnama
malam semakin buram saja
kau mengendap rasa itu
sambil menitikkan airmata
Medan, 2008
Selamat Pagi Ibu Guruku
selamat pagi ibu guruku
pagi ini kulihat secercah semangat menyemburat
dalam wajahmu
dan sesungging senyum kau tebarkan
pada semua anak didikmu
selamat pagi ibu guruku
semoga segelas teh manis panas pagi ini
membuatmu tak kuyu hari ini
selamat pagi ibu guruku
dengan menyapamu pagi ini
membuat umurku bertambah setahun lagi
selamat pagi ibu guruku
sebuah tatapan kecil matamu
buat aku terdiam tak berkata
sadar kalau kaos kakiku tak putih pagi ini
sadar aku berbaris tak memakai dasi atau topi
sadar kalau aku terlambat bangun, pagi ini
sadar kalau aku lupa mengerjakan PR lagi hari ini
selamat pagi ibu guruku
lalu kau berlalu membawa dukaku bersamamu
membawa sukaku bersamamu
sambil kau menyeruput teh manis panas
di atas mejamu
dan kau tersenyum padaku
selamat pagi ibu guruku
tak ada kata lain yang pantas kulontarkan untukmu
tak ada senandung indah yang pantas kunyanyikan untukmu
hanya sekedar ucapan terima kasih
ditambah sesungging senyum tiap hari
dan prestasi tertinggi tahun ini
selamat pagi ibu guruku
medan, 07
Puing !
hari kesepuluh berdiam aku dalam rumah-Nya
dinding-dinding terasa dingin
menyebar pada seluruh tubuhku
aku perempuan sampah berbau busuk menyengat
seluruh pasang mata menajiskan aku
menyudutkan aku dengan pandang sinis
jijik berkelebat dalam jiwa mereka
beberapa jenak aku terdiam menutup mata
merapal-rapal ayat tuhan
walau bertubi tanya berkelana dalam tempurung otakku
“apakah Tuhan masih menganggap hamba perempuan durja,
dimana nista dan nestapa dijadikan teman dalam hidupnya”
kalimat itu terus saja bergumul dalam kepalaku
arrahmaanirrahiim
arrahmaanirrahiim
arrahmaan
kalimat itu terus menghantuiku
tak mau ia meninggalkan aku sendiri
Maha penyayang lagi Maha pengasih
allah ya rabbi
aku sudah tak utuh
puing jadi rupaku saat ini
senja tak lagi hangat
malam semakin tak bersahabat
reruntuhan sikap jiwa manusiaku telah berhambur
ditiup angin berdebu
menempel pada dinding-dinding bisu
aku terus merapal
subhanallah
allahu akbar
airmataku menitik
suara-suara itu semakin jelas
kudengar anak-anak menangis
kudengar perempuan merintih-rintih
kudengar pekik
kudengar gemuruh seperti aum
bahkan kudengar suaraku sendiri
dengan penuh samsara
“ampunkan hambamu ya Allah,
ya rahmaanurrahiim”
lalu, aku membuka mataku
tak ada sesiapa di dalam
matahari sudah meninggalkanku
begitu lama
keluar dari rumah-Nya
dunia masih senyap
malam masih saja menjejak sepi
Medan, 2008
Perempuan Berbaju Putih Itu, Kekasih
masih kuingat nestapa yang membelenggu
atau pada surat yang dulu basah
sekedar memberitahu pada langit
atau pada cahaya terang
mungkin juga pada awan kelabu yang bergerak-gerak
bisa jadi pada kabut yang dulu menggelegar jiwaku
masih kuingat sesaat sebelum nafasku tersengal
menapak sebelah mata jalan yang bertanjak
mengerikil jejalanan, kulalui tanpa alas
menyapu kabut menerjang puaka
masih kuingat tangan-tangan burammu
tangan mungil kelam yang menyeka andamku
sebelum mata terlelap terpejam berjam-jam
kecupan hangat pada kening basah
setelah berpeluh kerinduan kau tabur bersama luka
masih kuingat akan rerumput hijau
dimana tempat melepas hangat yang kian panas
pusara kasih yang masih lembab
tempat bermain mengayuh kereta angin
masih kuingat guratan-guratan pada tangan mungilmu
yang kau katakan
: “laci itu melukaiku lagi”
padahal kau ingin bunuh diri
dengan sebilah silet tajam
yang kau hujam berulang-ulang pada nadi yang berderak darah
masih kuingat pohon rindang
tempat kuajarkan beberapa kalimat tentang cinta
“i love you”
atau sebuah kalimat duka
“really i love you, now”
sungguh cinta itu belum pudar sebelum masanya
hingga kinipun masih kusimpan figura rindu
yang membawa lamunku pada sebuah duka lama
masih kuingat sebuah tanda cintamu
yang kugadai pada seorang makelar
agar dapat kulupa sesegera akan kau wahai luka
atau aku hanya berkamuflase pada bingkai cinta semuku
masih kuingat sebuah balon berwarna
yang kupecahkan, kuledakkan bersama sukaku
kurobek-robek dengan angin nafsuku
kukoyak-koyak bersama sembilu
sungguh, cintaku hanya berpindah tempat saat itu
ohoi… tergerai airmataku menahan luka
sungguh masih kuingat jelas, sayang
itu ialah kita yang bermain-main dalam gelap
saling melahap malam, bersuap-suap
saling memenungkan nasib pada tahun-tahun berikut
ingin bersanding pada sebilah papan atau pelaminan
sungguh, masih kuingat semua rindu
semua luka bermula suka
semua perih bermula kasih
semua rindu bermula padu
semua kecut bermula saling merajut
semua angin yang menyapu bukit cintaku padamu Medan
Perempuan Itu, Kau
mereka masih berteriak
mereka pun tak luput membicarakan kita
nyiur-nyiur itu masih melukaiku
aku, masih terendap di sudut kamar
memandang figuramu, di balik jendela
aku menitik satu-satu
menggambar gerimis, sunyi
suara itu masih gema
namun kau, masih di sana
figura itu bergambar kau
menyeringai senyum padaku, aku tersenyum
malah sumringah pada figuramu
namun, kau hanya pada figura
ah… langkahku gontai
menyelam di atas keramik biru
serupa waktu itu, kau menarik lenganku
menari di atas laut, masih beku aku
aku berlomba dengan waktu
masih menatap figura
“aku rindu kau, yang menawan sukmaku”
ah, kau perempuan yang sangat aku harapkan
Medan, 2007
Perempuan Yang Merindu Terduduk Pada Kursi Goyangnya
sudah kukatakan pada seumpama hutan
jangan lagi bermuram durja
pada langit, perempuan itu berkata
“tak ingin aku bermalam pada gelap,
hingga esok matahari tak menampakkan wajahnya”
sayup tak lagi terdengar,
suara parau yang mencekam
lebih kerasan tinggal di telinga
betah menabuh gendang batang bambu tua
perempuan itu masih belum lelah mengayuh kursi goyangnya
padahal letih sudah bosan bernaung pada kerut wajahnya
gumpalan rindu yang terbakar dulu
masih membentuk liuk-liuk pada kening dan pipi
ohoi…
rembulan yang terang benderang
gemerlap malam ini tak dapat pupus
lenyap segitu rupa, hilang di antara sesal
ah, mengapa perempuan itu masih terdiam
serupa batu bergantung di bawah lereng
melerai segala harap yang dulu padu
mendendangkan kidung-kidung nestapa
merayap pada kulit-kulit kasar
lalu meresap di sebalik tanah
perempuan itu masih belum lelah mengayun tangannya,
tangan sepuluh dasawarsa
yang bergelinjang menapak malam sendirian
menunggang di atas pelana kematian
terjerembab mengena kerikil tajam
berdarah-darah
kini perempuan itu tetap bersemedi pada kursi goyangnya
merangkai lagi harap yang lepas tanpa pamit
lelaki itu tak berharap banyak pada lingkaran nafasnya
hanya bersandar pada sebuah kursi tua
ia juga berharap cemas: esok ia tak lagi punya jiwa
hanya sebuah tanya masih terhatur kini
medan, 2008
Gadis Biru atau Merah
Sebuah lencana lantunan kasih pada kehidupan memesona
Cinta yang bertenaga membawaku pada sebuah pilihan hidup yang bebeda
Dimana kasih dan sayang melebur membentuk kanal kecil di ujungnya
Lantas benci dan nestapa di sisi lain yang menunggu hujan datang
Menyuburkan ladang-ladang tandus mereka
Biru atau merah hanyalah sebuah pilihan yang membawaku pada sebuah kehidupan yang gelaplah jadi teman atau sebuah nuansa kabung yang melucuti tubuh
Atau barangkali sesuatu yang berlawanan, suatu potret-potret kekuatan yang mencengkram bahu keindahan lalu dibawa pada sebuah harap berupa topeng kemiskinan
Biru atau merah mungkin juga berupa penebusan dosa, dimana biru ialah surga dan merah adalah neraka
Kau tak memilih maka putih akan menyelimut dalam relung-relungmu
Hampa dan senyap jadi teman sepanjang hari yang menemani setiap fenomena hidup yang kau jalani
Atau mungkin juga biru atau merah hanyalah rangkaian kata tak bermakna
Seperti adi bersepeda tak berantai, ia terus mengayuh namun sepedanya tak bergerak walau sesenti
Lantas, apa sebenarnya merah dan biru !
Aku terus mengeja merah dan biru, me..ra..h.. merah ! bi..ru.. biru!
Lalu kucoba merapalnya padahal bibirku kering bagai ladang tandus yang tak pernah terpercik air walau setetes
Biru atau merah jadi spektakuler ketika dibawa berlari bersama angin
Biru atau merah jadi sebuah liku-liku ketika merapalnya dengan niat busuk
Biru atau merah jadi liar ketika matahari sudah tak penuh
Biru atau merah jadi sebuah mimpi ! atau memang hanyalah mimpi
Biru atau merah …apa maumu ?
Medan, 2008
Ado Ado Bae*
ado ado bae
dak sabar bermain api
akhirnyo terbakar, legam menyulut raga
ado ado bae
biso bae waktu berputar terbalik
menuruni anak tanggo yang curam
ketiko daun-daun gugur satu-satu
dak ado yang peduli padanyo
pado rerumputan
atau air yang mengaliri hutan adat
tercemar oleh tangan-tangan usil
melayu tuo melayu mudo
samo-samo berjingkat di atas arang panas
samo-samo menyusuri sungai adat penuh luko
melayu tuo melayu mudo
hutan rindang penuh pepohonan
penuh ranting dan dedaunan
menepilah!
sesungging senyum terlihat terpakso
sedikit resah menggeluti jiwa
sumpah pado alam
sumpah pado dedaunan
pada akar pepohonan yang lahir di atas tanah ulayat
ado ado bae
perusak suka di tanah sarolangun, bangko atau muarabungo
atau hanya sekedar menjejakkan kakinyo
merapal ayat penuh nista
di bumi muarasabak yang merebak wangi
namun busuk teraso
sumpah pada alam
ado ado bae
perusak suka
di tanah muaro jambiku
medan, 2008
Sajak – Sajak Djamal
Moral
Kemarin aku melihat moral bergelantungan
pada etalase – etalase toko
harganya tak mahal kawan
harganya hanya dua ribu rupiah
dan itu sungguh mudah di dapatkan
terkadang harganya masih bisa dirabat
namun, pada saat itu kenapa kau tak tertarik pada moral
kau lebih tertarik pada perempuan yang mengenakan
rok panjang belahannya hampir menyentuh bokong
seharga duaratus dua puluh dua juta rupiah
dan kau membelinya dengan kartu kredit
bahkan dengan sertipikat rumah
dan kau memutuskan untuk menunda membeli moral
kau abaikan hutang menumpuk
kau lalaikan iwad pernikahan
Medan, 2009
Cerita Tentang Rahim
Seonggok rahim muncul dari sebuah tong sampah
dekat pelabuhan sebuah kota tua
“adakah anda kehilangan rahim” seorang bayi menjerit
sementara di sudut gedung mewah ada perempuan muda
menangis karena kehilangan rahim sebab ia telah pergi
“siapa laki-lakiku”
di antarnya ada pulahan lelaki yang pernah menina bobokkan aku
hingga aku terbang kebulan
jangan kau hadirkan aku ke dunia
melewati sepi vagina
sementara aku tak pernah bertemu dengan lindap udara
saat melewati lubang suci
“aku rahim siapa” jerit bayi pada derasnya angin
adalagi rahim yang berkeliaran di bawah etalase sebuah ruko
“aku ingin malam ini tampil lebih elegan, seperti waktu dulu,
ketika ribuan lelaki membungkuk di bawah kakiku”
“sembilan bulan yang lalu aku memintal sebuah angan
dalam rahimmu” sayang kau bukan janin yang lucu. aku tak ingin
kau tumbuh besar menjadi manusia yang serakah. tak ada lagi tempat buatmu
“di tong sampah sebelah pelabuhan aku berkelahi dengan kecoa
bahkan tikus busuk, di sana aku meringkuk”
di bawah cahaya lampu kapal, rahim itu menacari bapaknya
Medan, 2007
Ada Baiknya Kulepas
Ada baiknya kulepas kulit bawang satu demi satu
agar mudah aku mengirisnya
hingga meleleh air mata
dan berbekas oleh noda
hingga aku puas menyelesaikan satu bagian rasa
meski pisau mengoyak tangan hingga berdarah
ada baiknya ku gerus duri di tangan
setelah aku mengagumi mawar putih
yang tak pantas ku pegang
sakit tangan terluka namun cukup untukku
hingga mengucur darah menghampar
sebuah nama, lalu patah
aku pamit dari hatimu seperti pengembala
hingga aku tak tahu siapa diriku
sebab begitu mudah ku lepaskan pelukan
bahkan tanganku tak mau menadah segaris belas kasihan
aku ingin pergi tanpa beban pedih
tanpa bayang-bayang wajahmu
tanpa kenangan bersamamu
bibirmu adalah rasa rindu yang tak sempat kucium
Medan, 2009
Musafir
Rembulan saja tak cukup menghidangkan cahaya
pada perjalanan senja kita sayang
kau selalu mengatakan itu
pada setiap detik lamunku
taukah kau tentang tikungan yang kita lalui
bersama anyir cibiran
mampukah kita melalui setapak jalan
yang terang dengan secercah cahaya rembulan
mampukah kita menepis segala cibir
yang perlahan menghembusan aroma anyir
sayang, bukankah kau pernah berbaring
pada puing mentari
lihatlah jingga mentari sore ini
menyajikan menu penuh ceria
mengapa kau katakan rembulan saja tidak cukup
padahal mentari menyisiri hari tanpa rembulan
aku ingin sendiri sampai aku menemukan
yang ingin berjalan dengan secerca sinar rembulan
Lampung, 25 April 09
Kehadiranmu
Satu waktu kau menjadi lautan
semut hitam mengarungi batinku
satu waktu kau menjadi permadani
menerbangkan segala gundah
kali ini kau menjadi hujan
menyiram segala ladang gersang
malam ini kuharap kau gemintang
terang menyinari jalan
meluaskan cahayamu menerangi mimpiku
Medan, 2009
Kepada Wanita Impian
Lamunku terbang bersama gelap malam
naluriku berlari mencari jati diri
mendekap kerinduan yang telah lebur
akankah ada harapan pada hari yang akan datang
kepada wahai wanitaku
kuukir niatku pada lembaran awan
kuminta lembayung mengantar kepadamu
tentang rindu yang selalu memacu di kalbu
kusangkutkan cintaku di sudut rembulan
pada sebuah hati yang tertahan
diantara nyanyian batin
yang perlahan mengharap akan kisah itu
kapankah engkau akan bersama
segaris senyum penyejuk jiwaku
menentramkan hati gelisahku
mengarungi cerita dalam latan hidupku
di batiku tak ada keindahan yang datang
dan aku tak akan pernah pasrah
dalam penantian
tak pernah berhanti mencintaimu
mekipun tak menemukan jalan yang terang
Medan, 2008
Masihkah Kita Mengharap Rembulan di Malam Hari
Baru saja aku terdiam menunggu malam yang kian gaduh
dihantam gemuruh, sebab tertikam sebuah kata yang tak kunjung
menghadap
saat rembulan mulai mendendangkan sebait demi sebait cahayanya
tak satu huruf pun yang terucap dalam diri anak manusia
siang ini matahari mulai mengaji dan mengajari kita
tentang apa yang bisa kita lakukan
dalam meniti sebuah jalan dan sebongkah angan
usai berkelahi dengan debu
jangan sesekali menyapu mata dengan anak jari
sebab hanya setetes air yang akan menerangi langkah-langkah
menuju dermaga bahagia
angin berhembus semilir kian hari
setangkup janji kian membukit di dalam hati
secerca luka kian mengaga di depan mata
sejejak langkah yang tak pernah terbuka
aduhai, masikah kita mengharap rembulan di malam hari
mengharap mentari terbit pagi ini
mengharap angin berhembus lagi
mengharap janji yang tak pernah di tepati
aku adalah anak negeri yang selalu duduk sendiri
sambil memegang sebilah belati
dan sebuah keladi sampai aku mati
Rumah Puisi, 2008-02-28
Cinta Tak Terlerai
Aku adalah waktu yang selalu termangu di ujung malam
angin berdesir lembut di bait-bait bibir tipis
sangat menggelitik hati perawan
semangatnya menebar wangi melati meneduhkan hati sang hawa
menggelayut di tiap-tiap sudut jiwa yang merana
diam-diam ia menelusuri setiap relung hati perawan
lihai melahap hati-hati resah
larut di suasana malam yang semakin tajam
hinggap menepi dan tak mau pergi
sungguh, kelerai ia namun enggan berpisah
kutepis ia dan masih saja bertahan
hingga terjadi pergulatan aku dan angin
yang menetaskan perselingkuhan angkuh
ah, ia menepi di sudut kalbu
menghancurkan kesombongan
pergulatan raga terlarang
namun pautan hati siapa menghalang
jangan,jangan
aku hanyalah waktu yang tercabik-cabik malam
sebab diam-diam butiran dosa merayap
masuk, dan menjadi bunga yang berbau bangkai
entah ini dosa atau bukan atau hanya sebuah penghianatan
pada sebuah sahwad yang telah habis kureguk rakus
bersama rembulan
di sana tak memiliki logika atau akal sehat
apalagi sebuah perundingan
diam-diam aku mencoba untuk berdamai dengan akal sehat
namun tak juga menemukan titik tengah
menyesal, apakah aku menyesal
pada bayang-bayang bulan telah mengajakku terbang
menuju sebuah rumah di puncak nirwana
ah, aku benci
aku buta
Medan, 2008
Kekasihku Menggila di Cakrawala
: Iryani
Jangan pernah kembali sayang, sebab pekat wajahmu
mulai muncul di garis cakrawala
jangan kemari sayang, rerumput akan mengering
bila kau menapakkan kaki yang telah lama terbakar cahaya
lupakah kau dengan janji yang kita gariskan
di tiap ranting pohon bahwa kita akan hidup bersama
sampai kita renta
sayang, memang hening
saat kau tak lagi duduk di hatiku
apabila malam tiba, aku rindu dengan dendang
telepon selulerku sebab di sana kita selalu membisikkan
kata cinta hingga rembulan berselimutkan mentari
tahu kah kau sayang, hari ini kembali di ujung waktu beku
kukunyah ketan hitam yang menjadi kebangganku
usai aku meninggalkan kotamu
sayang, biarlah aku bersama lamunku
biarkan aku bersama hamparan hijau masa lalu
yang selalu kunyanyikan untukmu
aku tak tahu jalan pikirmu
yang aku tahu hanya menunggu hadirmu
walau harus menitiskan air mata untukmu
Medan, 2009
“Kehadiranmu Memang Ditunggu”
Kurebahkan diriku di tengah gumpalan cahaya
duduk di sekelilingku embun malam yang hening
sebab malam ini aku akan
menjadi jamuan buat mereka
doa pembuka dirapal
dari sungut ketua hingga rombongan
mengikuti lalu doa-doa bergema dalam ruang tamu
sunyi, senyap hingga kuterlelap
pasrah pada mau mereka
di tengah rembulan yang hampir tak bercahaya
aku bersenandung dalam hati
menghibur lara
sembari kugoreskan pena
tentang sebuah janji yang tak pernah nyata
aku terus bersenandung tentang kepedihan
setelah satu jam, aku entah berada di mana
kulihat ketua iris nadiku darah mengucur
ramai-ramai tamu nampung lalu mereguknya
mereka tertawa walau sungut amis
dan mereka iris tubuhku memakan daging, hati, otak, jantung
katanya buat anjing penjaga rumah
ruang ini kembali sunyi
kau datang bersihkan yang berserak lalu membakar
tulang-tulang
kau panggil-panggil aku
kau mau aku masuki wadahmu,
kau tak ingin sendiri tanpa lukaku
lalu dalam sebuah keheningan
aku merasuki dirimu dan aku menjadi kamu
kamu adalah aku
aku hidup kembali dalam ragamu
Medan, 2009
TENTANG KITA
Kejujuran adalah kata yang membawa kita
pada tingkat bahagia
sayang untuk apa kemarin kau berada dalam pelukku
kalau kau masih ingin menyakitiku
untuk apa kau minta aku mencintaimu kalau kau
tak pernah memiliki cinta dariku
jangan kau lontarkan janji cinta untukku
sebab aku tak ingin janji-janji cinta
sayang aku melihat tak ada kejujuran di hatimu
pernah kutanyakan kejujuran padamu
kau malah menetiskan air mata
yang membuat aku memeluk
dan mendekap erat tubuhmu
jangan kau sakiti aku
sebab aku tak ingin melukaimu
jangan kau tanya tentang cinta padamu
kalau kau tak mencintaiku
sayang kau pernah menjadi yang terbaik untukku
sampai hari ini kau masih tetap yang terbaik
kini semua telah kau lunturkan
sayang, kau selalu ada di hatiku untuk selamanya
selamat tinggal sayang
selamat menikmati jalanmu yang penuh dengan
bunga-bunga
sebuah kehidupan yang kau impikan sedari dulu
selamat tinggal sayang
selamat tinggal
aku bukanlah lelaki yang kau impikan
Sunggal, 07 Pebruari 2008
Kepada Ibu
Ibu,
mari kita bina hidup
di depan laut
yang telah terbentang
sebab, di sana
rerumputan menari-nari
ibu, mari kita sambung
hidup ini
di depan laut yang
bernyanyi untuk kita
Medan, 260707
Aku Bocahmu, Ibu
Ibu, aku anakmu
yang tidak mampu menyusu
karena putting pertiwi telah kering
Ibu, di sini putramu
hanyut dalam tangisan pilu
walau kutahu
suara ini tak merdu
Ibu, akulah putramu
yang tak mampu lagi menahan
setiap sakit di tubuh ini
Nov. 08
Maafkan Aku Mak
Sebab malam ini aku tak di sisimu
merajut rembulan dan menyusun kata canda
aku tahu mak, kau pasti telah menanti
ketukan pintu dariku
yang ku panjatkan dengan senyuman
mak, aku ingin kau terus tersenyum
walau aku tak dekat di sismu
mak, berdoalah untukku saat kau usai
menggelar sujud-sujudmu
mak, aku pernah janji tuk membelimu sebuh tv
untuk temanmu berbagi tawa ataupun meniti sunyi
mak, aku pergi dari sisimu malam ini untuk
meniti angan yang aku impikan
dan aku janjikan padamu
mak, aku alpa malam ini mebawakan
seikat doa untukmu
Sunggal, 2008-05-28
Rubiah
Di negeri yang subur Rubiah disidang
Terseret kasus pembunuhan
Budak yang selalu menjunjung norma ini
Rubiah gadis yang lugu
Telah menyeberang ke negeri Kangguru
Dengan harapan kelak akan menenteng kelambu
Untuk sang ibu
Rubiah gadis yang ayu, di wajah terdapat
Sederetan senyum warisan ibu
Rubiah menyebrang kenegeri Kangguru
Dengan harapan yang baru
Aduhai, Rubiah !
Tak mendapat kelambu
Apalagi harapan baru
Ah, Rubiah
Mendapat belenggu
Dari negeri Kangguru
Medan, 2008-04-20
“Dari Rahim Siapa Aku Terlahir”
Ah,
aku mulai jenuh, hidup di pinggir danau keruh hitam
tanpa seekor burung berkicau
dan perahu hitam yang berbau busuk
sebab telah tertanam bangkai-bangkai
di mana biru pohonku yang terpacak pada bibir danau
di sana angsa merah selalu menari
di pinggir bukit kelabu ia mengadu
dari rahim siapa aku terlahir?
sebab ketika ibu memperkenalkan aku dengan bumi
aku langsung mencium bau busuk
langit jingga dimana akukan hidup
bersama damai juga
tawa mesra
Medan, 2008
Dialog Bulan
Entah kapan bulan akan bosan meminta sinar pada matahari
ketika malam datang bulan telah terang dengan senyuman
dan matahari selalu menyandarkan diri dengan penuh kelembutan
merah yang menyelimuti rembulan adalah matahari
keduanya saling bertatapan, “mengapa kita ditakdirkan bersama?”
kelak kita akan berpisah
“bulan, suatu saat kau akan rindu kehadiranku”
“aku tahu, aku butuh sinarmu”
“tapi aku ingin mandiri”
“kita takkan mampu hidup tanpa teman,
pasti kita saling membutuhkan !”
hujanpun mendayu dengan mesra
menumpahkan segala hasrat yang terpendam
“bulan,
rasakanlah belaian lembut hujan itu,
pasti kita kan merindukan sejuknya senandung hujan !”
Medan, 2008
Untuk Ibu yang Entah Dimana
Sederet tangis bayi pecah di deretan sampah
bersama resah yang semakin menusuk
bertemankan bau semakin membusuk
“dimana ibu” dalam tangis sang bayi
dalam kesunyian ibuku berkata
“ah, kau bukan anak yang tercipta dari seorang saja
sebab telah beribu perjaka yang pernah tidur tepat di sisiku
kau bukanlah anak yang kuidamkan
“ibu, aku tak ingin hadir ke dunia ini” kelak,
resah juga sunyi akan menggelayuti
juga malamku berselimutkan dedaun kering
berbantalkan asa yang tak pernah membasah
pernah aku bertanya kepada entah
dalam permbaringan kebusukan
“dari rahim siapa aku terlahir”
tapi, aku berharap
dari rahim yang suci aku terlahir
Medan, 2008
Kau Hadir Bersama Kupu-kupu
Siang ini kau hadir di pelupuk mataku
berkendera kupu-kupu putih
dan senyummu mengepak di setiap langkahnya
jiwaku tenang, saat kau mengunjungi ruang kosong hatiku
ahai, puan nan ayu
andai kau selalu mengunjungi sepiku
maka akan subur tanah melayu
jika kau menjadi pengantinku
takkan kubiarkan kumbang menghisap manis madumu
dalam langkahku ada bayang tari persembahan
menyambut entah
ada gejolak merontah entah pada siapa
namun akan tetap kusentuh sirih
dalam sajian penghormatan itu
sebagai pengganti rinduku padamu
mukin kau adalah sang pemilik cintaku
namun kau tak patut menyertakan cintanya untukku
dengan apa aku harus meraih cintaku
yang telah lama kau pegang
dengan sekuntum mawar telah kupanjatkan
dengan setapak langkah perjuangan telah kujalani
dengan setetes air mata telah aku alirkan
dengan sejuta kata telah aku lontarkan
dengan berbait doa-doa telah aku panjatkan
dengan janji-janji telah aku kabulkan
kau hadir siang ini dengan kupu-kupu pitih
apakah itu untukku
bila saja kau merasakan kerinduan seperti
aku merindumu maka akan terbangun istana
dalam hidup kita
walau isinya hanya selembar puisi dan sepiring cinta
gadisku, kau hadir bersama kupu-kupu putih itu
dengan senyum dan sebuah harapan
apakah itu buatku
kelak aku akan bersenandung buat putriku
tentang cinta juga tentang penantian
agar ia paham makna sesungguhnya
Medan, 2009-08-08
Rembulan Masih Berdiri
Rembulan masih berdiri menatap bumi
sementara kubah mesjid raya berderai air mata
tentang cerita anak jalanan
yang hobi menjajakan sepenggal cerita kota medan
di sudut bebunga sepasang insan melepas rindu
di lantai 7 segerombolan pejabat sedang melepas baju
letih, lemah, menghitung uang dalam koper
sementara di atas pepohonan dedaun masih asyik menari
berirama hambusan angina
dan burung-burung berkicau mengikuti rentak lagu angina
adakah diantara kita yang tahu
bahwa sepasang anak berharap sesuap nasi di sudut trotoar itu
ah, gaduh suara gemuruh kelakson menjerit
di antara telinga simiskin yang menanti sepenggal jawaban
dari tangan bertengadah menjulang ke langit
apa yang ia dapatkan, hanya setetes air hujan
lalu ia reguk untuk melanjutkan hidup
lihat. lihatlah sepasang insan itu
mereka asyik bercerita
entah apa yang mereka ceritakan
mereka tertawa hingga menitiskan air mata
sementara dihadapan mereka
segerombolan anak-anak riang bermain
bersama tawa ia pecahkan segala kegundahan
membuang semua cerita tentang kemiskinan.
Medan, 2009
Puisi – puisi Hasan Albanna
Rindu|1
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur jarak
selain dengan rindu?
aku terkenang saat langit jingga pernah menanggalkan
gerimis merah jambu
kita kehilangan setangkai payung
tubuh sewarna pudar
tapi degup cinta di celah dada
senyala saga
benar, tak pernah aku-kau mampu menebak
kapan secengkram jarak menyeret kita
dari bangku taman
uh, usia pertemuan tak lebih dari sepagut ciuman
yang tergesa
dan tak bergaram
kau tahu, betapa menakutkan tersuruk
di beranda rindu
tiada kibas lampu
tiada telunjuk waktu
siut daun akasia menjelma kelebat
sembilu
mengelupas kenangan dan cinta aku-kau
yang belum rampung
o, mengapa bulan sabit di langit malam
seperti lengkung senyum yang kecut
dingin dan menjengkelkan
ah, aku terperangkap di rimbun sepi
senantiasa
semacam candu
tak berpenawar
tak tertakar
kekasih, dengan apa aku-kau mengukur rindu
selain dengan jarak?
Medan, 2007
Rindu|2
pada tembok kenangan kita tak mampu
menggurat sekerat alamat—lihat, surat-surat cinta
terlantar, menjelma hujan
menjelma lumut
ah, aku sering merinding, menggelepar
dengar, lolong rinduku memanjang
dari dada yang berlubang
seperti sayup sayatan
semacam seretan luka
kekasih, kau tahu, kabut rindu kian menebal
jalan menuju bukit janji—masa bersua
menerjal, melulu batu
melulu ngarai
maka ketika derit engsel mengabarkan kecemasan
ke punggung pintu
aku paham mengapa ladang cinta
dipenuhi ilalang
juga bangkai belalang
begitulah kekasih, aku kini tugu rindu yang terbengkalai
pula kau adalah penziarah
yang dikhianati arah
yang ditinggalkan langkah!
Medan, 2007-2008
Rindu|3
demikianlah kekasih, pada pusaran rindu yang kian memabukkan
aku senantiasa menggigil
memanggil-manggil
namamu
mengail-ngail
cintamu
melacak-lacak
wangi tubuhmu
cuma kenangan durhaka
yang tidak melahirkan kerinduan!
maka, hei, aku terkenang sepojok taman usang
di belakang kota
kursi-kursi gelisah, bunga-bunga basah
aku-kau lelah
menerjemahkan kerumitan cinta
dan betapa getir secangkir air mata
tapi dari mana muasal suara pecahan kaca
kalau tidak dari lorong dada?
dan ketika hujan kembali berderai
melerai pertengkaran
tanah-batu berpagut, rerumput bersidekap
aku-kau bergegas
menyingkirkan serpih kenangan
yang pernah mengoyak telapak kaki
tapi mengapa selekas itu matahari
menyalip hujan?
maka kekasih, pada kelokan rindu yang makin licin
aku sering terjerembab
menafsir-nafsir
degup dadamu
menaksir-naksir
keranjang cintamu
menggapai-ngapai
lambai tanganmu.
Medan, 2007-2008
Rindu|4
demi air mata yang tergelincir malam ini, tolong
pulangkan saputangan ke sepintal benang
sebab isak ibarat puisi yang sedang menggali makna
lantas tinggal menunggu, seberapa tangguh aku-kau
menanggungkan tombak rindu yang menancap
di dada kelabu
kabut telah menjelma tungku
bulan seperti gorden yang camping
tidak semestinya aku-kau terperangkap dalam kebekuan
semacam ini. mulut jangan tertambat
bayangkan kau adalah sekerat kata yang terluka
betapa pedih terkunci di lembab laci
kau tahu, sepasang telingaku adalah dua goa
yang setia merangkul rahasia
percakapan musti mengangkut segala kalimat
meski tanpa titik koma
dan kekasih, bersegeralah aku-kau meracik
sebuah malam menjadi sungai rindu?
penuh kelok dan kicau air
kelak aku-kau mencebur diri, mandi kenangan
sambil menyaksikan lelehan hujan kabut
dan batu-batu yang berciuman.
Medan, 2008
Cuma Satu Gelas di Atas Meja
aku-kau sama mereguk anggur cinta
dari gelas yang cuma satu
di atas meja
kau tahu kekasih, dua bekas bibir aku-kau
yang tertinggal di lingkar gelas
menggeliat, lantas menempuh
ciuman panjang
yang menagih selimut, ranjang
serta memesan malam yang bergelimang hujan
o, katakan, adakah yang lebih mendebarkan
dari buah-buah cinta yang kembali belia
dan segar
di dada yang menjelma keranjang
sehingga begitu mudah bagi kita melukis selokan
menjadi sungai yang jelita
maka ketika gelas kosong, jangan sangsi!
mari membayangkannya sebagai kamar yang liar
dan samar
atau sebagai taman rahasia di atas awan
tempat kita merancang cita-cita
dan mewujudkan keajaiban cinta!
dan aku-kau sama menafsir debur bahagia
dari hidup yang cuma sekali
di atas dunia
Medan, 2008
Kepada Cinta|1
sebentar. kau mungkin akan berkata:
“tentu sangat mudah bagi lelaki
untuk menyemburkan kalimat jatuh cinta
seperti lelaki yang dengan leluasa kencing
di keramaian kota!”
tapi kau tahu, aku mengenakan
tubuh pantai bukan seperti membalutkan
selingkar handuk ke pinggang
dapatkah kau bayangkan ketika aku menyusun diri
dari butiran pasir selama ribuan hari?
lalu saat matahari menelusuri tangga senja
dan angin padam di pangkal malam
kau kuumpamakan laut bergaun cahaya
laut yang menggoda
dan menyurukkanku ke remuk mabuk
maka sebagai lengkung pantai yang jantan
aku tiupkan sebisik puisi cinta
melalui keheningan yang sempurna
o, akulah tubuh pasir yang berdesir
dan bersimbah kelip-kelap ungu
ai, tapi aku gagal mendapati laut
mengirimkan riak lembut ke lengan pantai
laut tak berdebur, tak bergelora
tak menghambur ke landai pantai
cuma dingin, dingin. tak ada ingin
maka perkenankan aku menjadi
pantai yang gontai
menggadai diri ke sebingkai lukisan murah
biarlah aku pasir yang mengutuk diri
menjadi sepencil batu di haribaan sahara.
Medan, 2008
Kepada Cinta|2
dengan hati yang demikian tentram
telah aku ketam jati pilihan
menjadi rumah cinta sewarna mangga muda
kokoh namun meneduhkan
pernah aku membayangkan kita
sebagai sepasang pencinta yang enggan
ke luar rumah selain untuk memetik buah
dan berkejaran di pekarangan
ah, aku tahu kau pasti sering melonjak
seperti seorang gadis kecil
menerima bando baru dari ibu
inilah keajaiban cinta!
inilah keajaiban cinta!
teriakmu berkali-kali
tapi entah dengan hati yang macam apa
mengapa kau jelmakan rumah cinta kita
sebagai serongsok keranda yang pitam
rapuh dan menakutkan
katakan, adakah pernah kita
berangan sebagai pencinta yang seharian
menyendiri sambil merawat kamboja
dan mengukir nisan
ampun, akulah tubuh yang linglung
seibarat seorang anak lelaki
yang diusir ayah dari rumah
inikah muslihat cinta?
inikah muslihat cinta?
tanyaku dalam hati.
Medan, 2008
Surat Cinta
dan kau kembalikan surat-surat cintaku yang lampau!
(di bawah kopak bunga kusaksikan
remuk kupu-kupu)
“cinta adalah pertikaian dusta,” katamu dalam kelelahan
dan terseret arus sedu
cinta memang gugusan jurang atau jejal tebing curam
tapi untuk apa titian kita bentang
kalau yang terdengar hanya kumandang perang
(oleh siapa?)
katakan, bagaimana langkah kaki hendak
menjejak sama
kalau telunjuk hati memilih jalan berbeda
maka tujuan bercecabang! burung-burung berhinggapan
lantas kausembelih dengan amarah
yang gagal
berpercikan darahnya ke sesiapa saja
benar, musim bisa saja berubah haluan, tak terduga
tanpa teraba radar indera
serupa kau, entah musabab apa
memulangkan surat-surat cintaku yang lampau
(tapi kini, aku enggan membacainya!)
Medan, 2003
Mawar
beribu kisah cinta telah kubaca; picisan dan heroik
selalu ada yang mesti terluka
air mata mendanau
atau darah yang tercurah
bersebab berulang aku tertusuk
kabarkan kepadaku, adakah mawar yang tak berduri?
selain itu, aku suka gairah merah, mekar kelopak
dan segar wanginya
tapi serupa lelumut pada bebatu
yang tidak semata disebut pengganggu
maka mawar
jangan lagi menyayat jantungku!
Medan, 2003
Kepada Perempuan yang Menimang Rindu
yang pernah memantik cumbu-rayumu
adalah lelaki sembilu
yang pernah menuai peluk-rebahmu
rupanya lelaki bertatap batu
tapi yang melesat dari hangat rahimmu
kausebut lelaki madu
tak sempat bergelayut di buah susu
sebab harus berlayar ke laut waktu
maka kaulah ibu
yang hanya menimang-nimang rindu
yang meninabobokkan kecamuk pilu
sambil berjaga-jaga biar lidah tak kelu
anakku lelaki madu, kapan kembali?
igaumu seperti perahu rapuh di laut sepi
yang dicecap ombakbuihnya ialah ikan-ikan basi
dan karang tak berhati
lalu, ya, segala harap dikulum liuk api
hangus catatan mimpi
oi, yang memijak tunas janji
ke mana ia sembunyi?
apalagi, selain pada keruh sunyi
kau teramat setia mendulang sebiji
dua biji puisi
padahal kian memutih janggut hari
: siapa peduli?
Pekanbaru-Medan, 2006
Percintaan yang Menyiksa
kitapun meranjang tanpa kelambu
malam bagimu
adalah abu yang diterbangkan tungku
dari gugusan pilu
kita hanya menuntaskan sungut nafsu
ucapmu dengan gerutu
lalu pada temaram lampu
terdengar denyut bom waktu!
Medan, 2003
Pada Akhirnya
pada akhirnya aku lepaskan kata perpisahan
dari makna sesungguhnya
seperki kata cinta yang terpaksa dikubur sejak lampau
sebab aku bersimbah luka kini, berlimpah duka
kelak perjalanan ini bernama ketenangan
setenang dedaun menikmati gugurnya
pada akhirnya aku harus melangkah tanpa makna apa-apa
tanpa dijajah kata
sehingga pengembaraan tidak paham sebuah kejatuhan
ah, aku terlampau lelah menjadi pihak yang kalah
oleh perpisahan atau cinta
serupa apa kemenangan yang musti dijelang
adalah rahasia yang tak mampu disingkap
meski dengan sajak benderang sekalipun
maka pada akhirnya, aku tak harus berwujud kata.
Medan, 2002
Teka-teki Cinta
bis melaju
hujan baru saja berderai dari langit abu-abu
sepanjang jalan pohonan kiri kanan melantunkan lagu
udara sejuk dan hijau
di dadaku yang haru telah rebah perempuan biru
bis memacu
hendak ke mana menuju
siapa yang tahu?
sebab perjalanan begitu mahir menyimpan segala liku
serupa perempuan di dadaku yang tak tertafsir waktu
ah, senja menjingga
rupanya tiada menjawab perihal misteri cinta.
Medan, 2003
Perempuan dan Riwayat Dendam
aku mengenang kau, wahai perempuan
semacam dahan cinta yang menjulur dari tubuhku
tapi betapa setia kau merawat benalu dendam
aku tak obah
sejulang pohon bersimbah daun-daun api!
o, sedang doa-doa tak mampu menagih hujan
segala meregang, segala melepuh
aku memuji kau, aduhai perempuan
seperti tangkai melati yang kutanam di bawah jendela
tapi mengapa kau acap berwangi mawar?
kau ibarat
sekuntum kembang berkelopak belati!
ini muka memampang kisah-kisah durja
senantiasa sayatan, juga garis-garis luka
maka kini biarkan aku menjelma seringkih kuda
yang merimbunkan hutan
tanpa kelembutan sungai
tanpa matahari yang tampan
tak mengapa kau seru aku sebagai kuda
yang kepayahan!
bukankah kau terpaksa mengenakan tubuh rusa
yang menebus dahaga
ke mulut harimau
ke senapan pemburu
maka katakan, apa rasanya menjadi rusa
yang menggelepar?
Medan, 2008
Dendam Rindu
pada belati, entah siapa yang menitipkan rindu
untukku
adakah kau o yang datang dari masa lalu?
lunaskah dengan cucuran darah
dari liang lambungku
yang sejak lampau dirobek waktu?
ah, koyak sekalian kantung udara di hulu jantungku
agar di tubuhku tumbuh tungku nafsu
yang menyalakan rumpun api
pada kerinduan yang ungu
untuk apa amarahmu sewarna biru
kalau segenggam benci juga yang tersimpan
di situ
kini semua abu-abu
segala kelabu.
Medan, 2003
Selamat Tinggal
sua dan cerai senantiasa cerita manis
yang datang dari abad-abad lampau
lantas mengapa mengumbar tangis
tiada mampu itu menakluk waktu!
memang, dengan suah air mata kita pernah
membayangkan sebuah perpisahan
betapa ketakutan kita
tapi pada akhirnya, kekuatan apa
yang sanggup menampik
amboi, selamat tinggal
tanggalkan segala kenangan yang memantik siksa
lalu sesudah kini, rindu ialah sajak tak bermutu
maka buang segala sedu
sampai jumpa
sebab ini kisah bukan semata kita yang punya
ah, melulu, bagiku pertemuan
adalah perjalanan yang melelahkan
dan perpisahan ini
adakah pengkhianatan yang menyakitkan?
mampuslah kita!
Medan, 2002-2003
Fragmen Cinta
kita baru saja usai bertengkar di siku jalan itu
udara tak menghembuskan isyarat apa-apa
selain hujan kecil, seperti kaki mungil
yang membikin kita mengigil
adinda, sejak kapan kita kehilangan kelakar
sehingga cinta bagi kita adalah rumah kertas
yang mudah terbakar
begitu banyak kenangan, tapi tak mampu
mengajak kita berdamai
“berhentilah menyalahkan keadaan,” katamu
dengan segegas kepergian
dan hangus amarah yang menyengat
senantiasa begitu!
ah, apa yang dapat kita selesaikan
kalau bait baru pertengkaran acap kita siapkan.
Medan, 2003-2005
Hujan, Melon, dan Alkisah Cinta
aku membayangkan daun-daun yang bersimbah hujan
semacam irisan melon
di dalam kulkas: malu-malu
tapi menebar kerling ke penjuru dada
menagih hangat rahang dan kerongkongan
serupa kau?
aku terkenang ketika kau pernah tiba
dengan pisau cinta yang ditumpulkan lelaki
di masa silam: riwayat cinta
yang senantiasa menetaskan telur-telur luka
tak lebih dari selingkar janji yang mengingkar jari
siapa kau?
aku tak menyimpan segenggam pelipur duka
karena tanganku pun berdarah
oleh duri mawar: kelopak bunga
cuma mampu menyelubungkan noda
tapi tak kuasa sewangi sorga
pergi kau!
Medan, 2008
Sajak Cinta di Dermaga
angin laut memantul di tiang-tiang kapal
parau dan letih
napas garam adalah musafir yang berputar-putar
langit menjelma gadis yang pendiam!
sedang nyala lampu-lampu dermaga
adakah semacam lelaki kumal yang kesepian?
sebatas mengabarkan matahari segera karam
ke dasar malam
demikianlah, sejak lampau aku ingin meniru ketabahan
jangkar kapal; patuh dalam tualang
setia dipanggil pulang
tapi hai, tubuhku masih juga dipahat dari alur api
menghanguskan kenangan di pencil kepala
memusnahkan asa di haribaan dada
adakah riwayat diri tinggal sekerat hari
atau sejengkal tali?
perempuan adalah pengacau hidup, kataku
lelaki cuma budak kelamin, balasmu
aku kutuk kalian sebagai tugu pertengkaran, sindir camar
alah, perahu rinduku senantiasa terperangkap
di antara cinta dan dendam
terombang, gamang
seperti ombak yang acap ditolak pundak dermaga
ke rahim samudera.
Medan, 2008
Sajak Pertengkaran
engkau bertampang jelita
tapi bermata curiga
maka sebut saja itu angin malam
lebih lihai menjelajahi hatimu tinimbang diriku
bangku taman pemangku yang gemulai
aku perayu yang kaku
engkau bersenyum permata
tapi berlidah cuka
lantas katakan saja, aku pengkhianat kecil
pada tualang kasih, pada arung cinta
aku pecundang di tubuh rindu
di kujur janji.
Medan, 07-08
No comments:
Post a Comment