Oleh : M. Raudah Jambak
I hear something coming,/Something like a motor-cycle,/Something horrible with pistons awry,/With camshafts about to fill the air/With redhot razot-y shrapnel./At the window, I see nothing./Correction: I see two girls./Playing tennis, they have no/Voices, only the muted thump/Of the ball kissing the racket,/The souns of a snowball/Hitting a snowman, the sound//Of a snowman’s head rolling/Into a river, a snowman with/An alarm clock for a heart/Deep inside him. Listen:/Someone is bearthing.//Someone has a problem/Breathing. Someone is blowing/Somoke through a straw./Someone has stopped breathing./Amazing. Someone broke/His wrist this morning,/Broke it into powder./He did it intentionally./He had an accident//While breathing./He was exhaling/When his wrist broke./Actually//It’s a woman breathing./She’s not even thinking/About it. Shes’s thinking/About something else.
(Breathing, James Tate)
Suatu ketika, sebelum tidur, saya membuka buku para penyair dalam dan luar negeri. Setelah membuka lembar demi lembar tatapan saya bertubrukan dengan sebuah puisi BREATHING karya James Tate. Adapun James Tate lahir pada tahun 1943 di Kansas City, Amerika. Tahun 1967 ia menjadi juara pertama dalam Yale Younger Poets Competition dan menerbitkan antologi puisi pertamanya berjudul The Lost Pilot. Kemunculan Tate di akhir ’60-an bersamaan dengan merebaknya paham postmodernisme di Amerika, terutama yang berkenaan dengan manifesto dalam pop art (seni pop) yang mempertanyakan hakikat seni tinggi dan seni rendah . Oleh karena itu, tren yang berkembang ketika itu, neo surealisme, absurd, dan dadaisme, mempengaruhi karya-karya Tate—seorang penyair muda yang liar, imajinatif, dan intuitif untuk membebaskan bahasa dari sistem ketatabahasaan konvensional. Sejak 1970, Tate menjadi dosen sastra di Universitas Massachusetts di Amhert.
Berkali-kali saya baca untuk meyakinkan, bahwa Tate sebagai penyair yang liar belum saya temukan. Saya melihat kesederhanaan. Kesederhanaan cara pandang seorang penyair terhadap sesuatu yang kemudian ia tuangkan lewat karya yang namanya puisi. Sama halnya ketika Hamsad Rangkuti menuliskan sebuah cerpennya yang berjudul MAUKAH KAU MENGHAPUS BEKAS BIBIRNYA DI BIBIRKU DENGAN BIBIRMU. Pun MALAM LEBARAN-nya Sitor situmorang. Juga puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang menyebar ke seantero jagat sastra Indonesia, bahkan dunia.
KESEDERHANAAN, akhirnya saya menyimpulkan, adalah BOM.Bukankah BOM berasal dari unsur yang sangat sederhana? KESEDERHANAAN itu ZERO, dari kosong kembali ke kosong. Dan menurut KBBI, bahwa kesederhanaan itu adalah hal (keadaan, sifat) sederhana. Dalam linguistik berarti syarat pemerian kebahasaan yang didasarkan atas pendekatan uraian (dengan ketuntasan dan kehematan).
Lantas sebuah pertanyaan apakah keberhasilan sebuah karya dalam hal ini puisi adalah disebabkan oleh kesederhanaan ? Mungkin salah satunya. Karena Puisi adalah ungkapan rasa spontanitas dari penulisnya, sehingga dapat mengejutkan pembacanya karena merasakan hal yang sama dengan penulisnya. Itulah BOM. Persoalannya apakah kebutuhannya untuk perang atau perdamaian yang barang tentu tidak bisa dilepaskan. Semacam ungkapan Patriotisme adalah buah dari kejahatan. Tergantung sudut pandang kita tentunya.
Kesederhanaan itu tentunya tidak hanya sekadar konsistensi, arisan kata-kata, diksi, gaya bahasa, dsb. Mungkin bisa lebih dari itu, atau tidak lebih dari dua. Bisa saja justru ambiguitasnya yang terlalu wah. Sehingga muncul pernyataan, Aku mengerti perkataanmu, tetapi aku tidak mengerti maksudmu. Atau aku mengerti maksudnya, tetapi aku tidak bisa menjelaskannya (mengatakannya). Mungkin juga aku tak mengerti perkataanya, tetapi aku bisa menjelaskannya. Semacam perjalanan uap air dan menjadi hujan, Dalam perjalanannya dari atmosfer ke luar, air mengalami banyak interupsi. Sebagian dari air hujan yang turun dari awan menguap sebelum tiba di permukaan bumi, sebagian lagi jatuh di atas daun tumbuh-tumbuhan (intercception) dan menguap dari permukaan daun-daun. Air yang tiba di tanah dapat mengalir terus ke laut, namun ada juga yang meresap dulu ke dalam tanah (infiltration) dan sampai ke lapisan batuan sebagai air tanah.
Begitulah perjalanan kata-kata yang menunggang media bahasa menjadi sebuah puisi. Sebagai sebuah puisi saya melihat upaya itu dalam BUMI BICARA, antologi puisi empat (bukan) penyair perempuan (biasa) ini. Hal ini dapat kita lihat dari diksi, pencitraan, kata konkret, majas, bunyi (struktur fisik), perasaan, tema, nada, dan amanat (struktur batin). Dan itu terangkum pada puisi-puisi Soesi Sastro, Ria N. Telaumbanua, Martha Sinaga, dan Free Hearty.
Dari 25 buah puisi Soesi Sastro, kita melihat bagaimana kepribadian seorang Soesi Sastro yang energik, spontanitas dan blak-blakan. Tetapi sekali waktu ia ingin menjadi sesuatu-to be something. Kita lirik puisinya yang berjudul-Aku ingin menjadi pohon.
engkau melarangku hidup
lihatlah pijakan kakiku tertutup
beton menindih daratan
nadi akar terkatung-katung
perut bumi sepi belatung
batu tanah pasir tak jabat tangan
aku ingin menjadi pohon
memberi arti
meski tumbuh di awan dan lautan
Betapa kuat keinginan seorang Soesi, disebabkan besarnya kecintaan terhadap sesuatu, sehingga ia rela meski tumbuh di awan dan lautan. Ia pun merasa kepedihan dalam kerinduan, betapa batu tanah pasir tak jabat tangan. Kata-kata, seperti kaki, nadi, perut, tangan, tentu mengingatkan kita tentang kerinduan seorang tunanetra yang ingin hidup biasa dan wajar. Aku tahu kau ada di situ, tetapi mengapa kau tak tahu ada aku di sini. Siapa yang buta di antara kita. Sebuah paradoks kehidupan, kontradiktif perasaan.
Pun termasuk kita melihat, bahwa seorang Soesi tak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan. Baginya setiap waktu dan ruang adalah momen. Kita lihat puisinya yang berjudul, Layar Kaca Terkoyak. Ungkapan seperti pertempuran wicara, kenyang mata, atau layar kaca koyak, menandakan rasa geram yang luar biasa sehingga tidak diperlukan normatif kata-kata. Atau perobahan rasa kata semacam kenyang mata.
Spontanitas dan gelegak batin seorang Soesi pun tertuang pada puisi-puisi lainya, seperti : Di Ujung Daun Ada Cinta, Tuai Tua Cinta, Jangan Salahkan Aku, Sawah Tak bertanah, Nyanyi Rindu Tanah Jawa, Bumiku Bicara, Lupa Asal, Agra dan Cinta, Bandung Tanpa Api, Muara, Gangga Berbisik, Bulan Terbelah Tiga, Surau Kita Berbedakah, Kembalikan Tanah Rumput, Di Kelopak Tulip Cinta Terselip, Ketika Putih Meragu Merahmu, Laskar Tanpa Etika, Wajah Bangsa di Sudut Kelurahan, Asapa Kian Akrab, Malam Semakin Dewasa, Untuk Apa, Layar Kaca Koyak, Paskah Senyap, Pergi Mu, dan Aku Ingin Menjadi Pohon. Pada puisi-puisinya ini Soesi lebih memilih menampar dengan senyuman.
Lain kesederhanaan Soesi, lain pula kesederhanaan Ria N. Telaumbanua. Membaca puisi Ria mengingatkan saya pada Rabindranath Tagore. Tagore ada menulis, Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di tempat petani melulu tanah yang keras. Di tempat pembuat jalan meratakan batu. Di situlah Tuhan. Bersama mereka Tuhan berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Bangkitlah dari samadi. Hentikan meronce bunga dan membakar setanggi. Meski pakaian tuan lusuh dan kotor. Cari Dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan.
Sajak gubahan Rabindranath Tagore, pujangga besar India, di atas merupakan cermin kepekaan terhadap hidup dan alam yang sarat dengan kebajikan teosofis. Kearifan teosofi mengajarkan bahwa Tuhan bisa ditemukan di mana-mana. Tuhan bisa dijumpai saat petani membajak dan menggaru sawah. Saat kuli bangunan memecah batu penjuru. Saat peternak menyabit rumput. Saat buruh bekerja di pabrik. Saat bakul berjualan di pasar. Pendeknya, kehadiran Tuhan mudah dirasakan dalam kegiatan riil eksistensial yang sepintas terkesan tidak ada kaitannya dengan hidup religius dan bakti.
Dalam beberapa pernyataan, misalnya, filsuf Nietzche ada mengatakan, bahwa , Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat. Berani menghadapi kepedihan yang disertai rasa malu. Memiliki daya pegas untuk tetap berkembang melampaui risiko sebagai konsekuensi pilihan hidup. Mengambil hikmah dari kemalangan menuntut pengakuan akan fakta tragis tapi indah: bahwa tidak semua masalah memiliki solusi dan tidak semua perbedaan bisa didamaikan.
Kehidupan manusia modern terlanjur dipenjara house (bangunan gedung yang sumpek dan gerah), bukan bersemayam di hunian yang membuat krasan dan betah (home). Termasuk dalam kerangka mistisisme konkret, mengandung sugesti perihal mendasarnya kebutuhan manusia akan ruang batin untuk hening. Dalam kata-kata William Shakespeare, Mampu menanggung penderitaan yang bersemayam di jantung kreativitas. Pendeknya, manusia yang senantiasa didera suasana hiruk pikuk gaduh, harus terlatih dan memiliki keberanian untuk melepas beban hidup.
Mari kita memelihara harapan, agar harapan itu tetap bersemayam. Bukankah harapan itu yang membuat kita tetap bertahan? Godspeed or Goodspeed, of course.
Puisi adalah wadah kecil yang mampu menampung semesta. Dan ketika ia sudah dilahirkan, maka ia adalah milik pembaca. Anakmu bukanlah anakmu, ia adalah milik Sang Hidup, kata Kahlil Gibran. Lalu bagaimana mengajak? Apakah dengan hujatan. Bagaimana memberi apresiasi? Apakah dengan kritikan (yang membabibuta?). Sebagai wadah yang kecil deskripsi dalam puisi juga menjadi jembatan bagi pembaca untuk masuk ke pulau pesan. Sebuah karya yang berhasil adalah karya yang pesannya sampai kepada pada pembaca, bukan sekadar gagah-gagahan, lalu bersembunyi di balik topeng licencia phoetica tentunya dengan pencitraan dan gaya bahasa di dalamnya.
Dari 25 puisi Ria N. Telaumbanua, acapkali kita temukan repetisi dan reduplikasi kata dan ungkapan. Misalnya, Berdamai dengan tanah/Berdamai dengan hutan/Berdamai dengan segala makhluk (Air, BB), dll. Ia menjadi semacam rapalan yang bukan mantra. Ia adalah penguatan. Ia adalah penegasan. Artinya, secara psikologi Ria lebih memilih sesuatu yang lebih pasti dan memastikan. Tak sekadar mendengar dan membaca, tetapi juga langsung masuk ke dalam wilayah kejadian, apakah ini reward atau punishment, bahkan mungkin katarsis. Sebab-akibat? Pameo yang telah mendarah daging. Atau apalah namanya. Kita serap puisinya yang berjudul, Abadi. Selagi masih ada kampung aceh/Tipu aceh masih ada.......//...selagi masih ada orang kampung keling/janji keling masih ada....
Ia akan menjadi sambungan baris kalimat yang panjang, misalnya, selagi masih ada cinta/cinta kasih masih ada. Selagi masih ada cinta/ cita-cita akan tetap sama. Selagi masih ada cinta/ mengapa kita harus bicara derita......dst. pun pada,.... Karena tubuh hanya serpihan debu/mengapa memilih menjadi batu? Tetapi Ria adalah seorang perindu. Rindu sesuatu yang begitu harmoni, kita simak Senandung Gelisah Si Anggrek Hutan.
Sayup terdengar suara dari loronglorong hutan
Berdenting magis mengaliri awan
Bagai alunan seruling si penggembala
Menggertak sanubari membakar sukma
Riak pilu berbias ratapan
Bagai suara peri bersedusedan
Berdendang gelisah membiuskan fikiran
Ada nyanyian dari balik pohon
Seolah berbicara diantara tepisan angin
Inilah aku
Lihatlah diriku
Hampirilah aku
Gelisahku kian liar menderu
Biarkan apimu membakar tubuhku yang membeku
Sentuhanmu merekatkan remuk tulangtulangku
Cintamu akan menyuburkan rahimku
Kekasihku, bukalah hatimu
Jangan biarkan maut menjemputku
Jiwaku menangkap bisikmu, hai bintang kecilku
Tetesan air tubuhmu mengaliri darahku
Engkau rangkaian lukisan Sang Bayu
Yang menggayut indah menutupi benalu
Ku kan datang menjawab panggilanmu
Membuka setiap celah gerbang rumahmu
Menyibakkan semua rumput liarmu
Agar gemilang cahayamu merasuki setiap kalbu
Agar setiap orang membasuhmu dengan madu
Dan melumurimu dengan sejuta rindu
Gelisahmu kini adalah gelisahku
Deskripsi suasana dan perasaan coba dihadirkan Riadalam Senandung Gelisah Si Anggrek Hutan. Ia ingin bercerita betapa manusia dan alam, saling membutuhkan. Bahkan bisa menjadi sebuah kesatuan, one for all, all for one. Diksi Jiwaku menangkap bisikmu, hai bintang kecilku seolah ia ingin bermonolog dan bercerita bahwa kita bisa saling berbagi. Bisa saling mengisi. Termasuk Engkau rangkaian lukisan Sang Bayu, kata yang berangkai dengan kata rangkaian, lukisan, dan Sang Bayu merupakann pilihan kata yang harus kita cermati benar-benar. Wah, betapa pada akhirnya kita harus berfikir kembali persoalan lisencia phoetica. Mungkin apakah persoalan pemakluman atau tidak. Atau malah ironi kata-kata dan bukan akrobatik kata-kata.
Penggunaan istilah terkadang membuat penulis atau pembicara selalu khilap dengan makna dasar dari kata-kata yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca atau pendengar mencoba memahami dan memaklumi pemaknaan yang tertuang itu. Bombastiskah? Atau ambigu? Dalam pembicaraan bahasa memang ada yang disebut dengan polisemi yang berarti satu kata banyak arti, tetapi dia tidak terlepas dari makna dasarnya. Berbeda dengan homonim yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama tetapi berbeda arti, hanya saja tidak ada hubungan dengan makna dasarnya. Ada juga yang kita sebut dengan sinestia yaitu perobahan nilai rasa pada pancaindera.
Hal-hal yang berkenaan dengan persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah tata bahasa. Tetapi ketika kita masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu memiliki pemahaman yang berbeda pula. Di wilayah sastra, terutama puisi, bahasa hanya sebagai media. Ia lebih cenderung kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan tersurat. Namun demikian etika, estetika, dinamika, dan logika tentu tidak bisa kita kesampingkan.
Wilayah-wilayah seperti ini yang menyebabkan seorang penulis atau pembicara selalu luput memahaminya. Misalnya, ketika seseorang membahas persoalan bahasa tentu ia harus masuk ke dalam wilyah tersurat dalam hal pemaknaan. Namun, ketika ia mengkaji persoalan sastra tentunya ia pun harus masuk ke dalam hal-hal tersirat, terutama persoalan ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka akan muncul pro-kontra pemahaman.
Pro-kontra pemahaman ini yang sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki perannya sendiri, jika dibandingkan dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan bahasa isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda wilayah pemahaman. Bahasa tulisan masuk kepada tataran konsep. Sementara bahasa lisan dan isyarat masuk kepada wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa tindakan ini tentu bisa kita pilah-pilah lagi ke wilayah yang berbeda pula.
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobatik kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobatik kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati, pada beberapa waktu yang lalu. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan.
Mungkin untuk memahami puisi-puisi ini kita perlu membaca A. Teew, tergantung pada kata, terlebih dahulu. Jika kita bicara persoalan postmodenism, hermeneutika, atau yang diusung Derrida, tentu sangat memusingkan. Nah, puisi-puisi Ria, seperti : Air, Fakta=Kepentingan, Sabda Ilahi, Ketika Bumi menangis, Malam Malam Jahanam, Tuhan pencipta Keseimbangan, Tidak Ada lagi, Aids Stadium Akhir, Ritual, Fenomena Ulat bulu, Danau Toba Bermuram Durja, Kisah Akumulasi Toksin, Anggur Dan Zaitun, Abadi, Derita Pohon Karet, Indonesia Kaya Bencana, Gagal Panen, Senandung Gelisah Si Anggrek hutan, Transformasi Sang Rajawali, Pray And Rain, Jangan Lari Dari Ku, Misteri Dibalik Gempa Nias, Bunaken, Berubahlah, dan Buang Kesombongan, lebih terasa mainstreamnya di lingkungan yang sangat dekat dengan penulisnya sebagai seorang dokter.
Dengan gayanya Soesi Sastro berjibaku dengan puisi-puisinya, Ria N, Telaumbanua menyetubuhi puisi-puisinya, begitupun dengan Martha Sinaga. Martha Sinaga berwisata kata. PUISI tentu kita semua mengenalnya. Minimal pernah membacanya. Tapi jangan lupa ada hal-hal terpenting disadari atau tidak harus ada pada puisi. Tema/makna (sense), Rasa (feeling-latar belakang sosial-psikologi), Amanat/tujuan/maksud (itention), dll. Sebagai struktur batinnya.
Bangunan puisi secara batin mungkin kurang lengkap rasanya jika tidak dilengkapi secara fisik. Misalnya, tipografi, diksi, imaji, dsb. Karakteristik akan memberi kekuatan-kekuatan lain atau muatan-muatan lain dalam puisi. Bisa saja dalam bentuk muatan lokal, aliran, eksperimen, dst. Selain itu etika, estetika, dinamika, atau logika tidak perlu dipungkiri akan mewarnai puisi itu.
Sartre pernah bertutur, seseorang disebut pengarang bukan karena ia telah mengatakan sesuatu, melainkan karena ia telah memilih untuk mengatakan dalam suatu cara tertentu. Seseorang dikatakan pengarang, bila ia telah memilih medium untuk mengatakan sesuatu (ide maupun intuisi).
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi penulis. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) – yang menurut saya – tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya itu dapat mencapai puncak imanen karena ia telah melalui proses katarsis.
Hal yang terpenting, karya itu dapat menggambarkan banyak hal tanpa harus menghujat. Karya sastra(puisi), meskipun bersifat sosial kontrol, tetap saja dengan pendekatan humanistis, sehingga memungkinkannya jadi universal. Sebab, sesugguhnyalah esensi sastra(puisi) untuk membawa pembacanya kepada proses katarsis (penyucian diri).
Beberapa waktu yang lalu begitu merebaknya harvest di kalangan remaja dalam puisi. Lalu sekarang kita diajak untuk masuk ke wilayah teenlit dalam cerpen sebagai pengganti short short story. Perkawinan mengatasnamakan inovasi atau kreativitaspun bermunculan. Apakah itu puisi sebagai puisi. Puisi berwajah cerpen. Cerpen berwajah puisi. Esay puisi. Puisi esay, dsb. Pun termasuk lokal, etnis, dsb, sehingga pembaharuan kata-kata klise semacam pameopun bermunculan sehingga istilah kontemporer meluncur ke permukaan. Hal itu sah-sah saja ketika diksi itu kita olah dengan daya ungkap yang khas milik penulisnya sendiri, tanpa harus terpengaruh daya ungkap penulis-penulis pendahulu yang telah menjadi ikon di tengah-tengah masyarakat (pembaca) sastra, terkhusus puisi. Gemuruh di gunung semua tahu/gemuruh dihatiku siapa yang tahu. Atau rambut sama hitam dalam hati siapa tahu.
Menarik kalau kita meninkmati prosodi tersendiri dari Martha Sinaga, tetapi ia begitu menikmati ‘kehati-hatiannya’ kita kutip bait puisinya,..... Gugus waktu menghampiri/susunan itu berlalu dalam sunyi/satu/dan satu..... (Kan Kau Kah?).
Kehati-hatian Martha sayangnya jadi cair dengan adanya diksi kata-kata atau kalimat di bait terakhir puisi-puisinya yang menurut saya terbilang kuat dalam bentuk semacam haiku daripada beraroma balada pada 25 puisi-puisinya. Apakah ini persoalan keniscayaan, subjektifitas, dan mungkin relativitas.
Pandangan relativitas begitu merasuk kepada persoalan selera. Sehingga muncul pernyataan, itukan menurut dia-bukan saya. Hm... Aku rindu rumah yang menyeruakkan bau tanah,/kala gerimis menetekinya/aku rindu jambu yang ibu beri pagar bambu/karena ibu jemu, buahnya selalu kuganggu/daun hijaunyapun harum kucumbu/....
Sebagai sebuah karya bermakna ganda, keambiguitasan puisi menjadi tantangan tersendiri bagi pekarya untuk menyampaikannya kepada pembaca. Bagaimana kursi tidak hanya sebagai kursi, tetapi ia bisa menjadi simbol kekuasaan. Atau kita ingin menulis tentang kursi tanpa harus mencatatkan kata-kata kursi di dalamnya. Dan tetap fokus. Begitu juga dengan merah, selain sebagai warna, bisa juga sebagai ungkapan marah, tanda berhenti, semangat, dsb.
Maman S. Mahayana ada menyinggung Sejumlah Masalah dalam Apresiasi Puisi. Maman mengatakan, bahwa Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pe-mahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat kita tarik dari perwu-judan teks itu sendiri; pilihan katanya, rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhu-bungan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan berkaitan de-ngan pemikiran atau ekspresi yang ditawarkan; makna semantis berkaitan dengan keda-laman makna setiap kata dan acuan-acuan yang disarankannya. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan makna yang menyertai di belakang puisi bersangkutan.
Berdasarkan pernyataan itu kita menulis untuk siapa? Diri sendiri atau masyarakat? Lantas bagaimana pilihan kata pada teks? Lalu bagaimana dengan puisi esai yang sedang digelontorkan itu? Perlukah catatan kaki pada puisi? Kemudian bagaimana dengan puisi-puisi Martha yang begitu meriah dengan istilah-istilah yang mungkin daerah tertentu tak begitu faham yang ingin menikmati puisi ini ? Saya menangkap justru Martha mencoba mentrans-misikan istilah-istilah itu menjadi dapat dipahami, iya ke? Mari kita teropong puisinya , Menyanyah.
Jelak-jelak di tatap hari
Galau merebak di setiap sisi
Meracau, mengumpat, menimbun alergi
Nuansa perih menyilet jati nafas negeri
Dari tingkap gedung nyanyian pemangsa mendayu
Di lantai yang lain debat usang mematahkan hati
Arif pikir,
Langkah santun
Mengembangkan payung kebajikan tak kunjung muncul
Terkulai menjadi jenasah di kastil tertutup
Solot hati merekah darah
Terburai kata di tiang surga
Mengobral janji di gardu hari
Menghambur teori di atas peluh si miskin
Menyanyah lagi menyanyah
Tak kuasa mengambil waktu untuk berdoa
Karena diri kuat di singgasana
Tak mampu mencintai
Tak celik itulah nikmat Sang Ilahi
Menyanyah terus menyanyah
Tak lagi memiliki kekuatan mendengar
Selain kata diri
Tirani persetubuhan kekuasaan dan harga marwah
Menyanyah lagi menyanyah
Menyanyah, pada puisi itu paling tidak mengisyaratkan sesuatu yang membungkus kekesalan. Demikian ungkapan yang bernada sama pada puisi : Terik Negri Santun, Bermarwahkah?, Kantong Kerakusan, KTP Nusantara, Perisai Itu, Geladak Ompong, Kantong Kerakusan, Kerlip Transaksi Tubuh, Senyum Keranda Negeriku, Derap Hujan Desember, Obral Birahi, Tirai Latar Altar, Jilat Api kemanusiaan, Lidah Bisa Lumpur, Pukau Sakau Bakau, Menyanyah, Adam Bukan Tuan-kah?, Gerimis Di Ujung Kaca, Kan Kau Kah?, Alfa dan Omega, Narwastu-Mas-Mur, Rongga Kebatilan Itu, Bumi Penuh KemuliaanNya, Remuk namun Tak Berkicai, dan Amsal Samosir untuk Ria Novida. Maka paling tidak,....topi-topi diangkat untuk karyamu/eulogi cawan emas patut untukmu......lalu Pinjar tanglung kau taburkan perempuan/Di aliran air jantung bumi ibumu.....
Tentu kita sepakat bahwa puisi sebagai karya fiksi tidaklah sama dengan berita. Daya ungkapnya tentu penuh dengan derai imajinasi. Tetapi bukan berarti ia menjadi gelap dengan hamburan diksi. Justru ia menjadi semakin kuat dengan bingkai kiasan sarat maknawi. Lantas, apakah kita harus membebaskan kata-kata untuk merenangi muara makna. Tergantung kata, boleh juga tergantung kita. Itulah gaya. Itulah daya. Intuisi penuh di dalamnya. Dan sebagai sebuah gaya, membuat kita boleh menusuk ke dada filsafat.
Bicara filsafat, memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Istilah filsafat mulai dikenal pada zaman Yunani kuno, berasal dari kata philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebenaran. Jadi orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang cinta kebenaran. Untuk mencapai kebenaran seseorang harus mempunyai pengetahuan. Sese-orang yang mengetahui sesuatu, dapat dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu tersebut menurut dirinya sendiri, meskipun apa yang dianggapnya benar itu belum tentu benar menurut orang lain.
Masyarakat primitif menganut pemikiran mitosentris yang mengandalkan mitos guna menjelaskan fenomena alam. Perubahan pola pikir dari mitosentris menjadi logo-sentris membuat manusia bisa membedakan kondisi riil dan ilusi, sehingga mampu ke-luar dari mitologi dan memperoleh dasar pengetahuan ilmiah. Ini adalah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti serta mempertanyakan dirinya dan alam raya.
Mungkin demikian halnya pandangan Free Hearty memandang hal ini pada 26 puisinya. Katanya, bulan ini kita mematri/janji tanpa hati/kita akan baik-baik saja/semua terkendali/semua tak akan terkendala....(Bulan Berjanji Sepi). Kita bisa melihat ada bungkusan lain di sini, sebuah ironi atau sebuah ekspresi kelugasan.
Ekspresi kelugasan merupakan indikasi kepolosan, sekaligus merupakan karakter yang tumbuh berkembang di kelas sosialnya. Informasi dalam potret sosial masih dalam kawasan realita. Para penyair adalah pewarta informasi ini kepada masyarakat luas dari berbagai lapisan, termasuk para pemegang teguh kekuasaan. Juga sebagai juru bicara tentang suara masyarakat kebanyakan yang hidup dalam ketidak- berdayaan. Informasi yang disampaikan-pun tanpa ada penyamaran dan rekayasa. Investigatif seporting dengan sungguh-sunguh telah dilakukan, sehingga kadar akurasi berita tidak perlu diragukan, baru dan actual. Berita tentang pengundulan hutan, dsbnya, bukan hanya pemaparan kondisi budaya penyair dan kepenyairannya yang terlanjur identik dengan kehidupan kaum grassroot, namun telah mengglobal. Ketika kekecewaan men-jadi tema-tema actual, menjadi bahan diskusi, menjadi materi proyek pembangunan, bahkan menjadi harga diri suatu bangsa. Dan penyair pun mencoba berpartisipasi dengan membangun komunitas bahasa puisi penindasan dan ketidakberdayaan dengan inspirasi realitas keseharian.
Sayangnya, mayoritas orang awam mengatakan bahwa puisi hanya menawarkan secawan mimpi-mimpi penuh dusta. Sejak Plato, selalu saja anggapan itu menyatakan bahwa kegiatan menciptakan puisi melulu sebagai keisengan yang akan menjauhkan manusia dari kenyataan (Dahana,2001). Apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh sebuah (karya sastra)? Sebuah jawaban yang optimis barangkali juga hadir sejumput harapan dan realitas yang mendudukan puisi sebagai karya sastra penggerak. Bahkan, sastra juga dianggap sebagai sesuatu yang memiliki peran tertentu; sebagai agen perubahan (agent of change). Padahal puisi hadir tidak akan terlepas dari realitas yang telah melingkupi kehidupan dan latar belakang yang menyebabkan kelahirannya dari sastra yang diciptakan oleh seorang penyair.
Di sinilah kemudian muncul sebuah pretense yang kemudian menempatkan puisi sebagai sebuah media untuk memasukkan segala sesuatu yang menyebabkan puisi sarat dengan kepentingan. Padahal tidaklah demikian adanya. Meskipun puisi tidak akan pernah terlepas dari realitas kehidupan dan latar belakang serta kondisi-kondisi cultural pengarangnya, namun dalam kerangka yang lebih konkret, ia hadir dengan dua sisi: kenikmatan dan pendidikan (Mahayana dalam Isdriani, 2003). Dalam arti lain bahwa estetika tetap menempati posisi yang amat signifikan di dalamnya. Ia tidak bisa terlepas dan melepaskan diri begitu saja dari sastra (puisi). Seperti kata Free, Matahari Jatuh ke Pangkuan/Meredup dan melayu dalam pelukan/Melindur di senyapnya malam//Bulan menatap tajam/Cemburu kehilangan peran/Yang jatuh dipelukan malam/...
Sebagai alat perjuangan tak berdarah, puisi hanya berusaha dan berupaya menyentuh atau "membu-nuh" hati yang paling dalam. Sebab ketakberdayaan memang hal yang menjadi persoalan dasar bangsa kita. Angka perusakan dan pengundulan hutan tiap tahun kian meningkat, sehingga perlu jarak renung dengan mencerna realitas untuk meraih keutuhan kemanusian bahwa ketidakberdayaan yang menimpa kawasan hutan sudah sedemikian akut. Pada bagian inilah sebenarnya tugas penyair, terus menerus secara sukarela memperjuangkan nasib lingkungan hidup, masa depan hutan. Kita simak pada puisi, Nyanyian Pagi.
Pagi nan ramah. Aku melaju penuh gairah
Mataku nanar mencari arah
Seonggok besi yang dibentuk indah
Menghantarku melangkah membelah kemacetan ibukota
Aku tak hendak membandingkan
Bangsaku yang ramah tamah
Alamku yang menawan indah
Bumiku kaya melimpah ruah
Dengan negara yang sumringah,
Cerdik pandai dan penuh gairah,
Lewat nyanyian dan silat lidah
Lalu semua, kepada mereka berpindah
Ini negaraku, Bangsaku dan cintaku
Kalau tenggelam dan terbenam
Maka aku ada bersamanya
Karena cinta kadang memang aneh
Menjadi aneh di negeri Santo dan Santri
Rakyat tak kehilangan gairah
Meski ditipu mentah-mentah
Rima dan irama menjadi kekuatan lain ketika persajakan dikedepankan. Musikalitas puisi akan merasuk, menjadi kenikmatan sendiri bagi pembaca. Inilah pembungkus kata. Inilah gaya. Memilah dan memilih kata yang melahirkan estetika. Seperti puisi, Ada rindu. Aku rindu suara nenek/Yang menghalau ayam/Menjemur padi di halaman/Sambil riang berdendang/dalam syukur tak terbilang/Dan senyum tak pernah hilang....
Jika kita merasuk lebih ke dalam, maka kita akan menemukan bagaimana bulukuduk akan berdiri. Bagaimana anak-cucu kita nantinya pada suatu ketika akan melihat hamparan padi, kebun, hutan ,dsb, hanya ada pada lukisan. Hutan-hutan pohon akan berganti dengan hutan gedung pencakar langit. ...kusemai benih damai/agar tak kenal arti lerai//...kubawakan nenek bunga sekeranjang/senyumnya mengembang, polos dan senang....
Bangunan-bangunan puisi terasa lebih lengkap dan pariatif pada puisi-puisi Free Hearty. Seperti : Bulan Berjanji Sepi, Ajarkan Aku Agar Paham, Yang Jatuh, Platonik, Benih Damai, Selingkut Kata, Lukisan Alam, Bunga Setaman, Estafetlah, Rutinitas, Siulan Sunyi, Nyanyian Pagi, Aku Masih di Sini Menanti, Zombie, Kita Saling Butuh, Pergilah Bila Hati Tak Lagi Berarti, Rindu Kita, Anakku, Go Green, Akuilah dia, Ada Rindu, Tikam Jejak, Kembali ke Rahim Ibu, Sejarah Kita Dalam Kota, Pesona Melaka, Siklus, dan Lelah.
Pada akhirnya, kita dapat merasakan bagaimana antologi puisi BUMI BICARA ini bukan sebagai antologi puisi biasa dan ia sebenarnya tidak hanya sekadar bercerita tentang pengrusakan hutan, tetapi ia bisa bercerita tentang peperangan antara yang kuat dan lemah. Mungkin antara pejabat dengan masyarakat. Lelaki dan perempuan. Tua Muda, dsb. Maka seperti kata pantun, Bukan titik yang membuat tinta/tapi tinta yang membuat titik/Bukan cantik yang membuat cinta/tapi cinta yang mem-buat cantik. Atau gurindam, kalau anak tidak dilatih/sudah besar orangtuanya letih.
Demikian semoga bermanfaat.
Komunitas Home Poetry, 7 September 2012
Disajikan dalam bedah buku Antologi Puisi BUMI BICARA. Gedung Laboratorium USU Fak. Ilmu Budaya
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar dalam Memahami Bahasa Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Aveling, Harry, terj. Wikan Satriati. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: Indonesiatera.
Benson, Eugene, L.W. Conolly. 1994. Encyclopedia of Post-Colonial Literatures in English. London & New York: Routledge.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa.
Eddy, Nyoman Tusthi. 1991. Kamus Istilah Sastra Indonesia. Ende: Nusa Indah.
Friebert, Stuart, David Young. 1989. The Longman Anthology of Contemporary American Poetry. New York & London: Longman.
Kostelanetz, Richard, ed. 1964. Contemporary Literature. New York: Avon Books.
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening.
Malna, Afrizal. 1990. Kumpulan Puisi: Yang Berdiam dalam Mikropon. Jakarta: Medan Sastra Indonesia.
——————. 1995. Kumpulan Puisi: Arsitektur Hujan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II, Bangkabelitung), Pulau Marwah (TSI Tanjung Pinang), Akulah Musi (Temu Penyair Nusantara, Palembang). Sinetron, Film, maupun IKLAN. Kegiatan yang di kuti selain di Medan-Sumatera Utara, PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki, Panggung Idrus Tintin, Riau, Taman Budaya Banda Aceh, Taman Budaya Lampung, Solo, Panggung Penyair Se-Asia Tenggara, Tanjung Pinang,dll. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar/Majalah Nasional/buku di Malaysia, Radio Nederland, Cyber sastra,dll. Sering menjuarai berbagai lomba selain lomba baca/cipta puisi, cerpen, lawak, dongeng, proklamasi dan juga Teater lokal, nasional maupun Asia tenggara. Tarung Penyair Asia Tenggara dinobatkan sebagai unggulan I. Termasuk lima besar Lomba Cipta Puisi Nasional, Bentara Bali Post. Selain masuk sebagai pengurus di beberapa organisasi seni, sastra dan budaya, ia aktif juga dalam kegiatan lainnya termasuk dunia politik. Sering didaulat sebagai Sutradara, juri dan pembicara, atau narasumber terkait. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED, juga sebagai Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur di Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com
BUMI BICARA, BUKAN ANTOLOGI PUISI BIASA
M. Raudah Jambak
Disajikan dalam bedah buku antologi puisi Bumi Bicara Fakultas Ilmu Budaya USU
Medan
2012
No comments:
Post a Comment