ELIDAWANI LUBIS
Violet Rinduku
Violet rindu lilitkan urat nadi
hingga mengakar jerat hati
buat nafas tersendat enggan mengepak sayap
saat tatap tangisnya melepas senyumku
Oh malam… violet rinduku
ku mendamba keriuhan tawanya
mengenang dekapan dikala syahdu
dan merebahkan mimpi pada pangkuanku
sampai kukembali dari dalam kembara
setelah lama meresah
salah dijiwa meninggalkannya
Meredupnya Matahari
Jangan kembali bawa cinta
yang telah memar terbalut panasnya api cemburu
karena matahari telah meredup
tetutup kabut gelap
saat saksikan kumbang menggoda
mawar akan hatinya yang mulai mekar akan sinar cintanya
Kemilau Mata Safirmu
Ku menggantung pada sehari bulanmu yang muram
menangkis hayalku pada impian semu
hingga ku meragu lepqaskan genggaman
saat fantasi cinta taburi wewangian
melebihi harumya nafasku
Ya Rabb…
mungkinkah air pasang mampu
mendongkarak bendunagan cinta
yang telah lama tersemai oleh janji
setelah ia terbagi pada yang lain
Ya Rabb…
semoga derail ombak kan setia suburi taman hatiku
tuk tetap menatap mata safirmu
Muhabbah Sufi Dari-Nya
Dipenghujung penantian
masih kusimpul rapi syair rindu itu
dalam bara amuk yang tak terbias panasnya
karena cemuru pada-nya
saat kau memilih mencintai-nya
melebihi kasihku
tapi ku masih genggam erat janjimu
setelah kau lepaskan rindumu dipangkuan-nya
mengukirkan cinta abadi dalam dekapan-nya
kaupun akhiri penantianku
dengan memberikan tongkat sufi dari-nya
sebagai maharmu
Sangkur Saudara Seharim
Harga-harga melangit
tak ada unag
tak ada sembaku
hanya peluru bedil terus bayangi tiap lagkah
membuat diri terpukau pasrah
karena sangkur saudara serahim
membidikkan luka yang dalam
Oh, ibu
kini kusekarat menepis gelsah
karena beribu pasang mata tersengat gagap
mengais-kais makanan
beradu kuat melalap mangsa
ditangan saudara serahim yang kini penjajah
suara daging peluru pu menggorok tiap nadi
Puisi Aidi fitri
Lamaran
Aku dikemas dalam kotak
Dengan pakaian pergi ke kantor
Seperti aku ditemukan di TKP
Dalam kereta api yang kutumpangi
Saat itu aku ingin menemui kasih
Kasih yang menunggu hampir sepuluh tahun
Kiranya sudi menerima maaf
Karena aku harus menemui istri yang melamarku
Mekipun mas kawin yang kuterima
Hanya berupa seperangkat kain putih
Maret, 2007
Metamorfosis
Aku bertempat tinggal pada satu bangunan
Bangunan yang terbuat dari keping-keping emas
Yang ku ambil dari harta peninggalan-Mu
Aku hanya mau menikmati kelezatannya
Tanpa perduli dari mana emas itu kugali
Lumpur, kotoran hewan
Melekat pada organ-organku
Tak ada yang mampu mencium aroma tubuhku
Hanya emas berkilau yang terlihat
Dengan sedikit air
Kubasuh, ku usap kemudian kubersihkan
Mengubur kelezatan hidangan dunia
Dan meletakkan kembali kepalaku
Di atas sajadah-Mu
Maret, 2007
Setiaku
Perlahan jemarimu menusuk kotak hitam itu
Dengan terbata-bata, tapi tanpa keraguan
Ia mengolah, mengaduk kata dalam satu adonan
Kau memang seorang pujangga andalan
Komentarku menatap dia
Aku tetap tak berpaling darinya
Bukan hanya aku, sebatang rokok ikut juga mendampingi
Kakanda, sungguhpun kau tak mampu memutar kepalamu
Seperti tak ada makhluk disamping
Meskipun ini hanya permainan imajinatif
Sebagai kekasih, aku tak ingin menyendat
Karena ini akan menghantankanmu pada
Terminal kemajuan
April, 2007
Pengembalian Aku
Kita sudah dirikan satu bangunan
Kau arsiteknya dan aku penanam modal
Dalam kurun waktu singkat
Masyarakat melihat hasil kerja kita
Tanpa ragu-ragu, mereka mengakui
Ketika bangunan itu meluap namanya
Aku beranjak dan menemukan arsitek yang lain
Meninggalkanmu dalam bangunan yang belum selesai
Pondasi yang tak begitu kokoh
Tapi hasil rancanganmu membayangi waktu kerjaku
Sedangkan rancangannya menantiku
Terbelenggu dalam kemelut
Kau masih saja berharap aku tak berpaling
Menyelesaikan program yang telah kita sepakati
Lamaran-lamaran itu terus mengahampiriku
Jadwal-jadwal yang kita susun kau jadikan umpan
Kontrak yang belum dibayar dendanya pun kau lampirkan
Aku tak mampu tinggalkan bangunan yang hampir roboh itu
Roboh karena aku tergiur bayaran dari arsitek lain
Arsitek yang belum kukenal wataknya
Dan aku kembali padamu
Arsitek yang mampu membuatku tertawa dalam sedihku
Dengan segala kekurangan dan kesalahan
Terimakasih telah menerima keberadaanku
April, 2007
2. PUISI KARYA : ALI RAHMAN KABAN
Merantau Ke Atap-Atap Langit
Dari napasmu yang mengambang ku temukan sejarah menggumpal-gumpal terbawa angin, seperti arak-arakan kerbau merumput pada bahu dan ketiak batu. Di pucuk-pucuk bukit di jalur setapak menuju rumah pinus masih tetoreh jejak daun murbai yang tak habis dim amah larva-larva sutra menguning lalu kering di genggaman tanah.
Sehabi gerimis kitapun meneruskan perantauan, berjalan dari satu kota ke desa harapan, dari satu kampung menuju pedalaman. Namun belukar kedamaian terlampau jauh untuk kita rambah suara-suara gergaji, buldoser yang tak pernah mati bagai mambang mengejar, memburu, dan mengusir pergi.
Sehabis hujan kitapun meneruskan perjalanan, menyusuri pinggang dan dada batu, menuju lembah-lembah gelap bermukim di rahim ibu. Bila musim mimpi tiba di depan tungku api di sela anak-anak tertawa dan berlari engkau bercerita tentang legenda kita, tentang Hang Tuah penunggang kuda, tentang Putri Hijau cantik jelita, tentang gemulai zapin laksmana dan tentang mereka yang sanggup menggadai hidup rakyatnya.
Dari napasmu yang mengambang, ku temukan sejarah menggumpal-gumpal terbawa angin seperti arak-arakan tubuh merantau kea tap-atap langit.
2007
Dua Ekor Semut Di Bibir Cangkirku
Seekor semut tersesat di bibir cangkir
terpeleset masuk dalam genangan kopi
aku pun tertunduk haru memandang seekor semut lain
mencoba menggapai lengan rekannya yang mulai tenggelam
dan terjatuh dalam genangan kopi pahitku
mungkin mereka sepasang kekasih
yang tinggal menunggu hari pernikahannya
atau mungkin itu istrinya ynag sedang menunggu hari bersalin bayinya
atau mungkin semut itu anaknya
yang sedang mencari nafkah untuk ibunya
sebab ayahnya tak pernah kembali
karena tersesat di cangkir puisi
2008
Hikayat Merga Kaban
Aku hanya ingin duduk disampingmu, anakku
sambil menikmati secangkir kopi pahit
dan bercerita tentang kisah yang selalu di ucapkan bolangmu padaku
Air bergulung batu-batu berbisik tentang getirnya buih-biuh pecah dan terbelah lalu hilang dalam kedamaian bukit-bukit
Dahulu leluhur membuang moyangmu ke dasar arus lau biang
ia di tempatkan di atas sebuah peti dan hanyut sampai ke desa pernantin
salak anjing membawa petani memungutnya
Mengapa moyang di buang pa?
Sebab moyangmu lahir di wari belah purnama raya
hari ketika raja-raja lahir
sebab moyangmu turunan hulubalang
anak mberu raja-raja
Mbelo cawir rimo mungkur
manuk megara i datas ndiru
er tabas guru pakpak pitu sendalanen
ngabarken berita enggo lahir perlawanen
Tak pantas ia disini, sibayak sari nembah akan hilang
pemberontakan akan terjadi, wabah penyakit tak dapat diatasi
sawah lading kering, kerbau dan ternak akan mati
buang, buang bayi itu, usir dia dari urung ini
Sarune duka ditiup keteng keteng pilu di palu kulcapi di hatimu nande, kulcapi dimatamugendang guru bergema menyayat luka
riak-riak air menderu menggulung galau hatimu
uis gara di pundakmu nande se merah anakmu
2007
3. PUISI KARYA: RAKHMAT RIZALDI
Ode Pada Langkah Terakhir
(Petik kecemasan)
Kidung malam kian terasing
setangkai kegelisahan terselip di matanya
ada sepi berirama ketika sumbang bicara
adakah malam yang tak terlewati
saat cahaya menyetubuhi senja
seok langkahnya tertatih iba
bagai pemabuk tuak
lantang mengaku raja dewa
kidung malam kehilangan gurat wajahnya
hatinya hancur
sebuah kepercayaan menancapkan belati
tepat dijantungnya
tubuhnya bergetar nafasnya tengah tersengal
hanya mata tetap terjaga
membawa kegelisahan entah kemana
Medan, 27 Nop ‘06
Katamu Bulan Kehilangan Mahkota
Desir bayu merunduk kalbu
menafsirkan nada tanpa irama
gaduh lesung perawan desa
sayup terdengar saat kau bisikkan
sebait kerinduan di depan beranda
padahal kita baru saja terlupa
apa sesungguhnya cinta
kini aku harus mengukir puisimu
pada lembah batu karang
mengubah cakrawala menjadi senja
sehingga kau tahu
aku masih melukis malam dengan tangan kelam
kita terjaga
pada gemercik air yang membicarakan dosa-dosa
katamu
bulan telah kehilangan mahkota
Medan, 20 Nop ‘06
4. PUISI KARYA : PINTA RAHMA R. PULUNGAN
Masihkah
Ketika gundah membingkai gulana
teringatku lafaz menghiba
Ya rab, masih kau terimakah rengkuh taubatku?
sementara aku masih terjerembab
dalam ruang nista
yang diselimuti panas neraka
Ya rab, jikalau bibir ini
tiada lagi mampu mengoyak rasa ampunmu
masihkah ada jurang-jurang curam yang harus ku seberangi
demi meraih taubat dalam liang kuasamu?
Ya rab, jikalau raga ini
masih terlalu rapuh memanjat singgasana maafmu
masihkah ada bintang gemintang
yang harus ku petik
untuk lafazkan asmamu?
Sajak Rindu
Ku tertatih menapaki lorong-lorong duri
pedih perih menyayat-nyayat azimat hati
akankah merah menjadi liangan kalbu
ketika rindu menyeruak menelusuk di randu-randu waktu
Patahan nafas satu persatu merangkak
menuruni liang paru
kurasakan hangatnya
seperti udara yang menjuntai-juntai di raksana kuasa
amboi adakah lagi kurasakan
seikat rindu yang tak lagi meregang kalbu
Ketika perih tak lagi terasa
mungkin disitulah akhir semua derita
Ketika mawar menyirapkan wangi
takkan tampak lagi patahan kalbu di telan duri
Aku lahir dari linag-liang sempit
yang rapuh dimakan waktu
dan lumat ditelan asa rindu
Entahlah
Terseok ku tatap langkahnya
Bermodal sekerat pita suara
senandung pelipur
di balik asa berdendang getar
pada bibir tipisnya yang pudar
Masihkah ada lagi gelak tawa
yang membahana
atau adakah lagi sepenggal cinta
yang sekedar tunggu, harap menanti
di tugu-tugu pergantungan?
Entahlah…
Surat Untuk Teman
Teman,
terimakasih atas kesedianmu
mendengar kepedihan hatiku selama ini
Terimakasih atas setangkup gurauanmu
sebagai pelipur dahaga sedihku
Terimakasih atas lengkung senyummu
tempatku bertahan dalam berpijak
Dan,
terimakasih pula untuk torehan luka
yang pernah kau percikkan di hatiku
ketika tahu
Aku…
Puisi M. Ardian
Textku
Textku jatuh, di atas hijau marun
Urat-uratnya punya cerita
Dari tiap ujungnya jatuh bersama serasah rindu
Angin berbau manja membelaiku
Menyapu pundak, alam berdendang
Akh….
Bukan dirimu kutemukan disini
Lukisan ini ,akan ku bawa texk buatmu
kE KAMU
Kepastian itu akan mendatangimu
Bersayapkan mimpiku sendiri
Berjalan begitu perlahan hingga embunpun akan membeku
Lebih dari rerumputan yang tak tumbang diterpa badai
Bahkan layaknya bunga-bunga pkul empat pagi yang bermekran
Takkan cukup memunajatkan semua cinta ke kamu
Lebih dari itu kasih
Bukan pengakuan tapi ketulusan berlapis
Berhelai ,berhujan ataupun berhalilintar sangat deras
Mengoyak-ngoyak jeruji keraguan
Karena itu aku kekamu
Cukup rasakan dan hirup beberapa nafas
Maka lambat laun getaran itu akan menyampai ke tempolong hatimu
Hanya waktu bermasalah saat ini hingga tiba
Maka ke kamu aku
Stabat,04 nov 07
BATU CINTA(aek nauli)07
5. PUISI KARYA : IDA RAHMADANI SIREGAR
Tuhan Aku Malu
Duhai Tuhanku,
bagaimana aku akan mengatakan kepadaMu
aku malu
malu malu
malu aku
malu malu
aku
padaMu!
Tapi, aku harus dan harus mengatakan
iya, tidak,
tidak, iya,
aduh, bagaimana ini!
Ah, Pasti Engkau terbahak geli melihatku
karna engkau tahu
apa yang ku tahu
Jan ‘08
EPISODE CINTA BUTA
Begini tuan!
aku akan datang padamu
saat malam bugil
tanpa cahaya bulan
tanpa kerlip bintang
tanpa angin
tanpa hujan
agar kau puas
menikmati keindahanku
tanpa bersembunyi
dibalik tirai-tirai
nafsu kelabu
feb’08
PERJALANAN PANJANG
Lelah mengukur jarak
Lelah menunggu waktu
Lelah menatap jendela bisu
Lelah menerka cerita
Lelah menanti tiba
Ah, aku lelah dalam perjalanan ini !!!
ALS, Jan ‘08
DI KAMPUNG HALAMANMU I
Mengapa kau mengundangku
datang ketempatmu
hingga aku harus pulang
membawa bongkahan rindu-rindu
brengsek…!!!
kau robek memoriku
tuk merindu lagi dan lagi
manis kenangan
di kampung halamanmu
Padang panjang, Jan ‘08
DI KAMPUNG HALAMANMU II
Kapan lagi saudara
kau ajak aku menatap keindahan sang gunung merapi
nan menjulang gagah perkasa berpayung kabut-kabut putih
melenggang anggun diatas hamparan hijau permadani
mendengar dendang-dendang hujan
meliuk mendekap-dekap dingin
menatap ngarai-ngarai keabadian
berselimut bening embun
mendaki setapak kenanganmu
memeluk air mata kerinduan
menyapa senyum termanis
sehangat canda tawa
di kampung halamanmu?
Sungai puar, Jan ‘08
Filsafat Senyum
Senyum itu suka
senyum itu luka
senyum itu duka
senyum itu cinta
senyum itu asa
senyum itu do’a
senyum itu bahagia
senyum-senyum
itu
gila! Mar ‘08
EPISODE MUSIM KERING
Hujan kali ini tiada berkunjung
angin pun tiada singgah
melenggangkan tubuh ke bumi
tanah merintih kehausan
sesekali akar-akar
mendecap-decap sisa liur
berharap tersangkut di batang- batang
lendir tenggorokan
hanya dahan mencoba tegar
melawan sang panas meraja
membakar terus membakar
perlahan daun-daun kering kerontang
membugil
mati!
Jan, ‘08
Menanti Pagi
Terlalu lama sang malam menjemput pagi
hingga bosan terlalu pekat untukku
menghitung derap-derap
langkah hentakan kaki
sang waktu
serasa menanti sang bayi turun kebumi
resah gelisah menerka-nerka
episode perjalanan ini
pagi cepatlah engkau kembali!
ALS, Jan’08
KELOK DUA BALEH
Kelok
Patah
Kelok
Patah patah
Kanan
Kata kata
Kiri
Kata kata
Kelok
Kata patah kata
Uuueeekkk
Muntah !!!
ALS, Jan’08
6. PUISI KARYA: EMASTA E. SIMANJUNTAK
Tapak Seribu Malam
Ku kayuh lentera imaji cinta
Dengan tapak-tapak melaram dan beradu
Nuansa waktu yang rapat mengekang
Rajut kekokohan tapak bersama tekad
Riak letih mencuat disisi sukma
Menggaungkan kepenatan akan jala-jala hari yang melumuriku
Ku raih jemari malam yang beralun di focus mata
Jadi panduku di malam temaram
Bersama malam ku tapaki jengkalan hidup
Ku ingin berdiri dalam dunia imajiku
Bergelut di dalamnya
Persembahkan tarian sukaku
Menjangkit pohon imaji cita yang kurangkai rimbun
Melukiskan cita di kanvas hidup
Hingga menjadi asa yang bercahaya
Oh…semuanya
Akankah dapat
Tapak-tapak meringis
Tapi semuanya akan kuraih
Bersama tapak dalam seribu malam
11 Maret ‘08
Kepadamu Wahai… Pewaris Negeri
sekuntum senyum kehidupan
melahirkan anak-anak bangsa
sang maha
mahkotakan jiwa dan raga yang utuh dan tidak bercela
tapi tiada yang tahu
apakah itu akan raib bersama debu musim ini
Langit masam mengintai
anak-anak bangsa bermain di bawah naungannya
mainkan dolanan-dolanan tua sejarah negeri ini
dolanan-dolanan pelezat dan pencekik hidupnya
Anak-anak bangsa adalah pewaris negeri ini
mereka memepermainkan api yang tiada mereka pahami
mereka ciptakan dunia sendiri yang memerihkan sembilunya
mempermainkan suap dan sogok demi sesuap asa
menjadikan dirinya penganut paham korupsi di segala aspek
Anak-anak pewaris negeri ini
ciptakan etika yang bobrok
tetapi alngkah perihnya
mereka didukung pemimpin yang goblok
Anak-anak bangsa yang memiliki hati nurani
terjepit dan termakan api permainan
mereka berusaha menyuarakan kebenaran
tetapi mereka ditekan kezaliman pemimpin
tiada yang perduli
hanya caci dan tekanan yang mereka terima
hingga air mata menjadi makanan keseharian
kepadamu wahai pewaris negeri
akankah engkau tetap bersemayam dalam sejarah yang bobrok ini?
tiadakah hatimu tersentuh tuk merubah negeri ini?
akankah engakau akan tetap meneruskan sejarah pemimpin kita yang goblok?
Kepadamu wahai pewaris negeri ini
lupakah engkau akan kitab suci hidup ini?
tiadakah engkau ingat akan kasihnya
yang berkoraban untukmu
atau kankah engkau tetap menyibak gulanan
dalam sukmanya?
dan tetap tiada peduli
hingga dunia raib menjadi debu-debu yang tak berinang.
29 Feb’08
7. PUISI KARYA: ARIF S. M
Kubawa Puisiku
Kubawa puisiku menyusuri sungai aek godang
ku bawa berlari disekitar alaman na bolak
lantas ku tuntun ia berkelok-kelok
melalui sembilan-sembilan
hingga padang panjang
di pengkolan yang terakhir,
berniat kami pulang esok hari ke kota asal
tak ayal perutku terasa mual
lantas aku berbaring di atas busa tak berbantal
juga tak beralas
Padang panjang, 2008
Inilah Dia
Inilah kasih yang dapat menembus luka
Inilah sayang yang dapat merangkul asa
Inilah cinta yang dapat menaungi resah
Inilah kita yang tak pernah tau bahwa singkat juga bermakna
Sumpah pada bumi dan langit
Medan, ‘08
Rasa Yang Hilang
Ketika rasa itu datang
dengan cepat ia hinggap dalam dada
seolah terpatri namun sementara adanya
ketika rasa itu hilang
juga dengan rasa yang sama
rasa itu juga terbang
memuai bersama aromanya yang busuk
berbau tak enak
Medan, ‘08
Cerita yang hilang I
Purnama memerah lagi
angina membawa gumpalan kabut bergeser
dari tempat purnama bertengger
bulat penuh bercahaya
sinar putih merajai malam
biasnya membuat aku terpekur
di dalam gubuk dekat sungai kecil
air masih beriak
membawa lamunanku keatas
membuncah sampai purnama memerah
lukaku masih terasa hangat
mataku menatap sesekali
purnama memerah lagi
Panyabungan, 2008
Cerita Purnama II
Purnama meredup mala mini
Riak air kulalui dengan nafas tersengal-sengal
Berteriak seorang anak kecil
Pada temannya di bawah sungai
Magargar sudena*
Riak air semakin deras
Teriakan itu memudar bersama sepaoi angina malam
Aku terdiam
malam terus menelan purnama hingga fajar
Panyabungan, 2008
*luruh semua
Tilawah Tiga Ayat
Ku lantunkan tilawah tiga ayat pada sembahyangku
sembari bertekuk lutut mengahadap kiblat
menundukkan kepala dalam-dalam
Kulantunkan tilawah tiga ayat pada sembahyangku
berkaca mataku menatap ayatmu
aku mengadu menangis sendu
tak sanggup aku menahan iar mata rindu
Allohu Ya Rabb
pada tiga ayat tilawah terakhirku
izinkan hambamu
melantunkan lagu baiyati atau nahwan dengan mengelu namaMu
Medan, ‘08
Berdesir Darahku Menahan Rindu
Berdesir darahku menahan rindu padaMu
mengiba hatiku akan ampunanmu
Ya Illahi Rabbi
Ya Rahmaurrahim
Berdesir darahku menahan rindu padaMu
menggelung-gelung jiwaku yang hina
menghempas-hempas aku dalam lubang bimbang
menetes air mataku akan masa lalu
akankah taubatku kan kau terima
atau kau lemparkan aku dalam kawah penuh lahar
Tuhan penguasa sekalian alam
Allahu Ya Allah
ingin aku menatap langit cerah di hatiku
terang benderang menguasai jiwaku
Berdesir darahku menahan rindu padaMu
Medan, 2008
RANTAU BADAK
Muara Papalik menjadi polemik
Bergelayut anak-anak negeri sibuk mencari identitas
Yang sudah ada namun hilang ditelan bumi
Muara Papalik menjadi polemik
Pemekaran Merlung, Tanjab Barat mengejutkan hati
Rantau Badak menjadi ibu kota
Segala aspek dikenang, diukur satu-Saturday dinamisasi ditimbang dengan seutas benang
Efektivitas mulali direntang, menyusuri belahan anak jalan
Tak tau ia di timur sana para petani sedang kebingungan
Seluruh bibit deserang ulat dan pentil yang tak jelas
Entah dari mana datang, entah dari mana ia pulang
Muara Papalik jadi polemik
Di timur sana, berjuta orang sedang menanti jawaban
Atas luka yang diderita
Ribuan hektar lahan terancam punah
Terancam penyakit ulat gerayak
Batangnya patah, daun-daun berserak di atas tanah merah
Tak lagi bersisa
Muara Papalik jadi polemik
Kapan akan kau sesali
Medan, 2008
ADO ADO BAE*
Ado ado bae
Dak sabar bermain api
Akhirnyo terbakar, legam menyulut raga
Ado ado bae
Biso bae waktu berputar terbalik
Menuruni anak tanggo yang curam
Ketiko daun-daun gugur satu-satu
Dak dao yang peduli padanyo
Pado rerumputan
Atau air yang mengaliri hutan adat
Tercemar oleh tangan-tangan usil
Melayu tuo melayu mudo
Hutan rindang penuh pepohonan
Penuh ranting dan dedaunan
Menepihlah!
Sesungging senyum terlihat terpakso
Sedikit resah menggeluti jiwa
Sumpah pado alam
Sumpah pado dedanunan
Pada akar pepohonan yang lahir di atas ulayat
Ado ado bae
Perusak suka di tanah sarolangun, bangko atau muarabungo
Atau hanya sekedar menjejakkan kakinyo
Merapal ayat penuh nista
Di bumi muarasabak yang merebak wangi
Namun busuk teraso
Sumpah pado alam
Ado ado bae
Perusak suka
Di tanah muaro jambiku
Medan, 2008
*ada-ada saja
8. PUISI KARYA: TENGKU MARNI ADRIYAH
Surat Untuk Suami
(Penghormatan kepada Alm. M. Guntur S)
Apa yang harus ku katakana sayang?
pagi itu kau begitu tampan
tersenyum
kau patahkan beberapa kuntum mawar
“untuk seseorang” ucapmu berbinar
Bergegas tumpangi gelombang
Indahnya janjimu sayang
kau sunting mawar pada tangan maut di kedalaman
“untuk janjikau:, teriakmu
Allahu Akbar
Apa yang harus ku tangisi sayang?
Salsabillah itu lebih pantas untukmu
daripada perigi tua dimataku
senyum bidadari milikmu sayang
mereka lahir dari bening jiwamu
Tugasku belum selesai sayang
tapi, ingat
kau tak perlu khawatirkan aku
Stasiun sepi, bulan ketiga ‘07
Sekotak Embun Untuk Kakak
(Sebuah kado ulang tahun tuk kak Ita)
Sepanjang malam kunyalakan lilin
dan kukirimi kau doa
ketika fajar bersiap-siap
kulukis wajahmu
pada sisa cahaya bulan
Apa kabarmu kak?
berkotak-kotak embun telah kuantar
subuh tadi
ku susun dekat jendela kamarmu
harapku, bila kau terbangun di usia baru
bulir embun kan jatuh
tepat mengenai rasa sesal yang kerap menggeluyutimu
apa kabarmu kak?
malam nanti setelah semua hati
menghujanimu denagn berbungkus-bungkus kasih sayang
aku ingin meniup lilin untukmu sendiri
itupun jika kau tidak keberatan
Stasiun sepi, bulan ketiga ‘07
Jingga I
(Halaman tentang ibu)
Mengenal da memilikimu adalah anugerah
aku malam sepi meranggas
dan kau selalu temai aku
kadang berbilur rupa sering juga gemerisik suara
Hatimu warna kaca
aku begitu sering ikut menangis di dalamnya
selalu ada yang membuatmu terluka
karena tatap yang berlomba
menusukkan belati padarapuhmu
juga lisan yang bertaring tajam yang memamah kekuatanmu
Kau jadi begitu penakut, jingga
bahkan untuk sekedar menatap lurus ke depan semenjak kau miliki dia
ya, lelaki itu
Stasiun sepi, Mei 2007
Jingga II
(Halaman tentang ibu)
Dulu kau adalah karang
tegakmu sempurna
tak oleng meski cercah dan puji memukulimu
sering hujan panas memukulimu
kau tetap karang
karang yang indah
senja mana pula yang tak jatuh hati padamu, jingga
bahkan dia
ya, lelaki itu
Kau jadi keeping berserakan
ketika lelaki itu meminangmu menjadi istrinya
kalian begitu sempurna
Stasiun sepi, Mei 2007
Jingga III
(Halaman tentang ibu)
Kau lari menjauh
tak ingin ada senja yang salah mencintaimu
kadang kau sembunyi di tirai malam
pernah menyamar jadi siang yang garang
tapi kau tetap jingga
Dan dia selalu dapat menemuimu
Kau lelah berlari
kini kau sering bercumbu pada rasa bersalah
cinta memang luar biasa, jingga
bukan kau yang menahan tanggis
kau hanya menuainya
Stasiun sepi, Mei 2007
Aku Memang Pulang
(untuk kakanda T. Marni Ritawati)
Kemarin aku memang pulang, kak
tapi aku hany sampai di beranda
kulihat sisa tawaku bertahun lalu
tergantung di sudut langit rumah
kemarin aku memang pulang, kak
tapi kau cuma berdiri di depan pintu
mendung yang kuciptakan bertahun lalu
tersaput satu, dua bahkan hampir tiga garis pelangi
peolangi-pelangi itu membuatmu
tersenyum kan kak?
hingga aku begitu takut
tatapanku akan kembali hadirkan hujan
dan…
satu atau mungkin dua garis pelangi
akan lukai hatimu
kemarin aku memang pulang, kak
untuk kutipi sisa tawa kita bertahun-tahun laluy
diam-diam aku bawa pulang
Stasiun sepi, Mei 2007
Kumpulan Puisi Putri Indah Yani
Dialog dengan-Nya
Dialog denganNya begitu mengesankan
Kata pun tak mampu mengukir keindahanNya
Merekahnya bunga
Menghijaunya daun
Menjalarnya akar
Salah satu tandanyaa
Mahluk mungil terlahir
Tercipta kemolekan di setiap nafas dan tangisnya
Surga dunia begitu terpancar
Sangat jelas
Bola mata, senyuman itu berbicara
Seruan mulai diperdengarkan
Khusyuk, lembut terdengar
Sebagai syukur menyempurnakan
Dialog dan rahmatNya
Terdengarlah seruan perdana
Sang Tuhan
Allahu akbar, Allah…Akbar…
Allahu akbar, Allah…Akbar…
Senandung Februari
Kini waktuku
Guliran detik, menit, jam, hari, minggu, bulan
Kesempatan
Mereka tak mengerti
Waktuku ini
Mereka membuatku gundah, takut
Mereka berselimut dalam waktuku
Selimut kasih, sayang, cinta yang mereka rajut
Mereka tak mengerti
Waktuku yang mereka agung-agungkan
Waktu temanku kemana mereka semua?
Mengapa sunyi? Mengapa tak ada selimut itu?
Jikalau kutemukan, mengapa selimut itu menipis
Teman, aku sama denganmu
Waktuku, waktumu
Adalah kesempatan
Mereka yang tak mengerti
Hamba yang Bingung
Seperti seekor capung hinggap di dedaunan
Hambapun terdiam
Menatap dengan samar
Hamba berpikir sejenak
Dunia fana…
Tetapi, jeruji mengurungku
Hamba berkenan berteriak
Tu’ menyapa hambanNya di seberang
Mulut itu tak bervolume
Tapi geraknya begitu bersemangat
Hamba terus bersemangat
Terus…terus…terus…
Ujaran hasrat bergema
Tuhan… hamba lelah, gagal
Tenggorokan hamba telah gersang
Kini tinggallah sebuah kebisuan hamba
Bukan kebisuan hati
Karna hati tetap semangat tu’ bertanya
“Apa ini Tuhanku?”
Kumpulan Puisi Ade Irma Suriani
“Atau”
Akukah yang mengejar? Atau
Dia yang mengerjar;
Rongga ini; gila; dingin menimpa
Selalu diisi; kosong hampa
Badan akan telungkup
Dengan satu lengan pincang
Biarlah punggung yang menantang
Neon diatas kepala tanggung ini
Toh, manusia juga,
Walau entah apa itu,
Akukah yang mengejar?
Atau; diam saja disitu
Segala yang Ganjil
Seperti tiada pernah ditunggangi dosa,
Mereka leluasa kemana-mana
Ada yang membawa bunga,
Dalam keranjangnya
Ada yang menjingjing
Anjing;
Peliharaan yang menyalakan
Sirna cahaya di waktu malam
Begitu buta dan polos
Menyembunyikan si maling
Dan para pendusta
Namun, siang juga adalah musuh
Dimana dosa juga ditumpuk
Seluruh..
Kemudian malam menggenapi
Segala yang ganjil
Kumpulan Puisi Eva Ardianai Nasution
RENUNGAN KOSONG
“Bukankah kita; akan pergi?”
pertanyaan ini selalu mengusik;
Dan jadi dentuman di sisik-sisik
Otakku;
Membuat nafas tertahan; dan sisa udara
Mengendap di rongga dada
Kemudian; pandangan samar
Ke depan; perlahan kosong pikiran
Sejauh waktu berjalan adalah
Ular yang melilit kita;
Tak perduli; bergerak atau diam
Makin meremuk dia;
Dan memendam
Meskipun merontah;
Waktu tiada letih manahan kita;
Kita memang akan pergi
Namun, yang celaka, sampai lagi-lagi
Belum tahu dia akan kemana nanti
Dan dia terus saja digelitiki
“Bukankah kita akan pergi?”
RINGKIH BERCAMPUR LIRIH
Tak ada yang baru disini
Hanyalah ringkih senyap ke senyap
Yang menciptakan sela;
Yang siap ku tangkap dan
Ku cerna lagi
Aku sudah mengatakan perang
Dengan mimpi
Sedang bantal dan guling
Di atas kepala telingaku betah
Bersepi-sepi
Tak ada yang baru di sini
Kecuali ringkih
Bercampur suara lirih
ANTARA SERIBU DUKA
Antara seribu duka
Ada duka yang bernyawa
Lantang bangun jiwa
Resah bangun ia menyapa
Sesat gulita malam
Malam tanda renungan
Antara lelap dan zikirnya
Cerita atas duka
Pada-Nya
Saat-saat gerbang hati tak mau
Beri serpihan sinar untuknya
Antara seribu duka
Ada duka yang bernyawa
Pada hamparan sajadah
Sujud meminta derma
Adakah jalan
Menuju
Tobatnya
Pemuja Malam
Kumpulan Puisi Zulhiddin Matondang
KEMANA PERGI ENGKAU CARI
Telah berganti malam demi malam…
Hawa jingga beranjak membayang lalu hilang
Berpuluh kali, kini alam liar telah pula bisu…
Seakan larut…Hanyut
Lantas itukah yang kalian sebut hidup?
Sesederhana itukah jiwa-jiwa yang hidup?
Hanyalah berjalan mengikut putaran waktu..
Terikat dan berkubang dalam nafsu..
Tanya sekali lagi, itukah hidup?
Gelap…mata seakan buta melihat sekitar, seolah-olah bumi ini maya…
Bisu…seolah bibir dijahit benang-benang tak kasat mata..
Hati hanya merintih dari biliknya yang tersembunyi, tak punya jawaban..
Sentakkan sadar…, tapi itulah sebenarnya Diri..
Seperti ada laba-laba yang berotot dan berwajah beku..
Sedang menyulam sarang-sarangnya yang kusut
Sampai tiada satu bilik tersisa untuk ditutupi
Pekat, kusut, mengawal agar tiada setitikpun loloskan cahaya.
Malam tak pernah mengeluh untuk berganti nama..
Bulan terlampaui, waktu tak bisa dicegah, terus meninggi…
Terperangkap penat…lelah dan akhirnya menyerah.
Lelah hati menanti, hari yang dinanti
Saat mutiara dari dinding hati
Membentuk kristal-kristal yang menghidupkan nurani, meski telah lama suri
Pelan dan perlahan beringsut dalam gelap.
Yang terabaikan…
Yang lama terpinggirkan..
Yang ditelantarkan..
Datang dari tempat asing dengan suara-suara yang getarkan jiwa
Ketuk pintunya…
Dan tanyakan padanya yang teronggok sepi disudut hati,
Dia yang terbawa sunyi..
Iman mu…
Dia telah lama merindu untuk melihatmu melantunkan ayat-ayat suci.
Dia telah lama menanti, untuk menuntunmu kembali ke jalanMu,
Kejalan cinta Mu,
Ya Rabbi…
Puisi Larut, 28 januari ’08, 18:15 WIB
BINGKAI DUA SETENGAH TAHUN
Masih tak terlintas untuk beranjak pergi
Masih juga tertulis kisah seperti waktu-waktu yang telah lalu
Bercerta dengan udara, menghabiskan waktu di hadapan potret itu
Berharap…penuh harap, seperti tahu Dia mendengarku dan diam-diam terbang
Menembus dinding untuk mengisahkannya dengan derai tawa…
Belum hinggap rasa jemu…ia terbang dan hanya melintas diatas kepala
Mungkin si pengecut itu tak berani pada kesetiaan tertinggi yang terpahat disini
Menanti….
Menanti wujudnya menyembul untuh dari balik pintu.
Dalam diam hati sudah tahu, dia masih menjawab walaupun tak ingin terlihat.
Dua setangah tahun Dia telah lalui disitu…
Di dinding berwarna biru, dan sedari mula setia menemani dengan senyum..
Bingkainya mengukir ketegaran
Memahat cinta satu musim yang bersemi sepanjang hidup
Guratan-guratan indah yang saling mengejar dan meraih..
Tidak terasa usia terhabiskan, dalam menunggu
Masih mananti…
Tak terbilang berapa matahari lagi akan pergi
Sumpah sudah dan akan tetap terpatri seperti monumen dalam hati
Monumen untuk dia kunjungi…
Dia punya ruangan yang lebih besar selain bingkai segi empat tempatnya kini
Karenya yakin dia pasti akan kembali
Menghitung masa diantara mata yang nanar memandang…
Kembali menunggu, dia yang terbingkai di depan mata
Mengulum seulas senyum…
Puisi Larut, 04 Februari 2008, 18:05 WIB
PERJAKA DAN PEPOHONAN YANG BERKOLONI
Pepohonan berkoloni dalam belukar sunyi
Sebagian mereka rukuk…
Sebagiannya lagi bersemangat dan berlombaa menjangkau langit,
Tapi sebagian mereka telah renta, lalu mati termakan usia..
Lapuk…dan membusuk…
Disela mereka serangga-serangga perkasa sibuk berlalu lalang, terbang.
Mungkin tak sadar telah tersasar, terlena digoda angin yang menuntunnya dengan mantra
Untuk melayang-layang.
Wajah-wajah mereka pias seperti kebingungan, tetapi tak ada waktu untuk berputus asa.
Serangga-serangga mungil penguasa alam raya.
Sungguh kalian adalah salah satu keajaiban yang turun dari langit..
Yang menari-nari di titian pelangi sampai tiba dan mempercantik bumi..
Capung yang terbiasa terbang sendiri…
Lebah-lebah yang menciptakan pasar melayang
Rama-rama yang menghibur dengan lukisan sayap bak mahakarya
Semut-semut berceloteh dengang mulut berisi.
Atau kodok yang bekidung dalam dunianya yang sepi…
Dan belalang-belalang yang sudah melegenda sebagai penghuni lorong-lorong rahasia
Di balik hamparan rerumputan atau savana….
Tapi tak lama nyanyian alam telah berubah menjadi ironi..
Dari antara batang-batang yang berselimut lumut..
Dan tak jauh dari batu-batu yang bercinta dengan kecupan lembut..
Berjalan perjaka yang telah lelah dalam lembab…
Menengadah pada langit mengadukan dan mempertanyakan cintaa…
Hatinya memerah cukup parah.
Kesendiriannya seperti layar yang terbentang mengisahkan masa lalu..
Dimana cinta tak lagi diakui sebuah karunia..perih.
Mengenang gadis yang kini cekikikan dipinggir jalan.
Memilih menjajakan surga, nun jauh di bawah gemerlap lampu-lampu kota.
Ia ingin tinggal disini…mengubur kegagalan dan mengasingkan diri.
Mencoba berbaikan dengan serangga-serangga dan liar yang menyengat dalam sepi.
Menghilang sebagai pagar kawat sampai urat-uratnya berkarat dan sekarat…
Tak terlintas lagi waktu untuk mendengar gurau manja dari anak-anaknya kelak,
Baginya itu sudah ilusi..
Tiada.
Puisi Larut, 11 Februari 2008, 18:06 WIB
KUMPULAN PUISI REFINA DESRITA
TAHU DIRI
Ditengah riuhnya kicauan
Dikeheboan gemerincingan
Yang aku ingin malah siulan
Namun sayangnya hendakku tak laku
Pita tenggorokannya enggan bergetar
Hanya tuk sekedar suara tanpa nada
Apalagi lebih dari itu
Aku buta seni
Tak mampu membaca not-not nada
Yang dia ungkap lewat rasa
Aku bukan pengkritik sastra
Tak ku mengerti
Bait-bait puisi maya
Aku hanya seonggok olahan bunyi
Yang basi
Medan, 2007
TAQWA
Kuangani cumbuan kasih-ya yang agung
Ku ingin rangkulan lindung-Nya yang hangat
Ku damba hembusan ayat-ayat suci surgawi
Dari-Nya yang ku taqwa
Medan, 2008
RESAH
Galau intai siangku
Resah hantui malamku
Sosok itu mengabur
Hampir hilang bentuk
Bukan untukku ia nanti?
Atau malam berganti
Di gelap dan sadarku berucap lirih
Dengan hasrat miliki
Medan, 2008
EGOISKU
Terlintas seberkas bimbang
Di malam berkabut
Raga merengsa
Desah letih beban jiwapun mengiring
Apakah ini ujian
Atau memang aku yang terlalu berkarat jelagat
Medan, 2007
PENAT
Sesak di dada
Ditenggorokan
Dan semua urat-urat saraf
Itu yang ku rasa saat ini
Indra lihatku pun
Lelehkan bening-bening kepenatan
Tuhan, cinta itu menakutiku
Medan, 29 sep 2007
PASRAH
Kala diamku tak lagi memacu
Kala bisingku tak lagi menderu
Kala pagutku tak lagi hangatkanmu
Tinggalkan aku
Karena aku tak mau jadi bebanmu
Walau itu ketakutanku
Mei 2007
ENTAH APA
Sayangku mendekap semu
Dan berucap ingin meramu rindu
Aigh…
Sudahlah
Jangan berpuisi lagi
Aku muak
Mual dan ingin muntah
Namun kenapa
Yang keluar kembali aksi-aksi itu
Mei 2007
JAUHI AKU
Pergi!
Jauhi mimpi
Jangan jadi setan yang bayangi hatiku lagi
Hush!
Menjauhlah
Tanpamu asa itu kan tercapai
Pergilah jejeran onak
Jangan jadi aralku lagi.
Juni 2007
CINTAKU
Aku mencintainya bahkan dalam gelap dan kabut
Aku merinduimu bahkan hingga tertangis
Aku mengharap bahkan menunggumu
Hingga batas jenuh yang entah ada atau tidak
Maret 2008
BUNDA
Bunda…
Aku udah di kaki langit
Dengan sekarung doa
Bertetes-tetes air asin di kulit
Yang mulai keriput itu
Berpuluh sunggingan tak bermakna
Dengan pesawat awan
Kemarin aku berangkat
Atas izinmu
Aku ingin ke angkasa
Menuju bintang dan
Memetik buah yang tak berpohon itu
Bunda…
Garis-garis senja usia makin jelas saja
Jangan teteskan lagi untukku
Tengadahlah bunda…
Aku butuh senyuman untuk kuat
Aku butuh beratus doa lagi
Sebagai bahan bakar pesawat awanku
Tunggu aku pulang bunda…
Karena bintang itu untuk bunda.
Medan, 3 syawal 1428
JENUH
Hambar walau di bibir keasinan
Nirapun mulai terasa pahit
Getaran itu mulai melemah
Sedang kebekuan, kian menjadi-jadi
Aku meraba dalam terang
Tapi masih tersilap arah
Tinggiku bahkan sudah jinjit
Namun dia tetap tak tergapai
Bukan aku yang kalah
Tapi angin yang hampir robohkan
Tugu kemenanganku
Aku masih bertahan
Walau dalam jiwa yang sekarat
Medan, 8 Nov 2007
KUMPULAN PUISI APRI AMELIA
Andai Kutahu
Terpikir dan terpikir lagi
ketika terbaca rajutan kata-kata puitis
terselip di balik
cerita-cerita fiktif
yang terlahir dari jalinan imajinasi.
Memang,
aku bukan mereka
yang dapat melahirkan kata-kata bersayap bagai pesulap
namun, sepenggal izinkan aku
setitik seperti mereka
meniti jarum waktu
antarkanku ke aura tawa keberhasilan
mengais ilmu menapaki lereng-lereng kata
sembari menempah sawah ladangku
hingga jiwa tak lagi berteduh dalam raga
hingga kutahu esok kan jadi apa
Juni 2007
Membisu Waktu
Hatiku tersayat tingkahmu yang membisu tak menentu
ingin kurubah waktu yang berputar berbalik ke arahku
mengulang lagi canda tawa bersamamu
walau kau tak pernah merayu.
diammu berisyarat peduli padaku
tapi itu dulu
Pakam, 27 Oktober 2007
Sungai Puar
Hijaunya hatiku
sehijau mendaki merapi
menapaki lereng-lereng penggapaian sungai Puar
maaf,
aura kepiawaianku memanggil namamu
tak lulus dinilai alam
mendaki merapi dengan mi goreng pedas
bersandingkan suguhan kopi panas,
wah, sejarah yang tak terlupakan.
Mengenang Padang, Januari 2008
Rantingmu Tak Jua Rapuh
Hingga kini,
kau masih menggenggam nafas
meniti jarum waktu menghindari setumpuk jenuh
walau akar mimpimu tak jua menyatu
hidupmu adalah pencarian dan pemecahan masalah
namun, kau tak pernah mengeluh tak pernah mengalah
biar bertumpuk kendala biar bertimbun tanya!
Cinta Rakyat, Menjelang Hari Kartini 2008
Topeng
Berjuta topeng tak kan sia-sia
asal kau cerdas memasangnya di wajah!
Maaf,
namun aku tak cerdas!
Rahim Bui-I
Ketika rahim bui lahirkan pelangi
bersandingkan awan
beratus mata melempar senyum renyah menyambut senja
pernah, kita berenang di telaga tangis
dan lelah mengunyah matahari meniti hawa aspal
acap kali rindu mengetuk angan.
tiba juga hari itu,
pukul tiga pada Maret kita lakonkan kepiawaian
yang terjalin dalam raga
walau dalam gedung kokoh namun tak megah
walau dalam jeruji imaji
usai itu kita mengecap tengguli
namun kerikil bersemayam di hati bunda!
Kali kenangan 18M06, 2008
Rahim Bui-II
Akhirnya,
angin mimpi tercapai jua
walau bukan raga yang melakonkan sandiwara
rahim bui lahirkan pelangi
bersanding awan episode ke dua
tetap sama
sama-sama mendayung senja
namun dalam gedung kokoh juga megah
memang bunda telah tetapkan ranting keyakinannya
namun akar kami tak bisa menyatu
menuju angan semu
Kali kenangan, 2008
KUMPULAN PUISI ELFRIATI SIREGAR
Dapatkan Cinta?
Dapatkah cinta senyumkan langit
Jika benar adanya
Aku ingin biruku kembali
Walau masih ada ungu dan abu-abu
Menyambut temaramku
Dapatkah cinta senyumkan langit
Jika ya
Aku ingin uraian nada itu
Masuk dalam kalbuku
Bersihkan kesatu
Jingga hatiku yang lusuh
Untuk menghiburku dalam lekuk takdirnya
20 Maret 2007
“ Hati Bicara ”
Aduhai hati yang tak pernah mengabdi
Yang terbungkus oleh jemari lara
Bergelar fatamorgana
Dan terperangkah buih di lautan
Hendak kemana aku in
Lelah berputar di duniaku
sendiri ……
Wahai tempat kami mengabdi
Kirimkan matahari
Pada hatiku yang kelam in
Hingga angin pagi tak segan menyapaku hair ini
Bu……!!!
Disana aku bersandar
Seperti malaikat yang selalu ada
Senantiasa memandu langkah
Dan derak sukmaku
Wajahnya hiasi kelam malamku
Bak lampion cinta membentuk diriku
Dan saat-saat kesalahan datang bertumpu
Garis bibirmu sinari redup jiwaku
Namun……
Saat tangisnya meledak layu
Retak jiwa karenanya
Bu…!!!
Kau cahaya hidupku
30 Januari 2007
Elfriati Siregar
KUMPULAN PUISI IRMA
DOA
Di atas sejadah tanganku mengadah
Ku meminta lepaskan dia
karena ku sudah rela dia pergi
mungkin itu jalan yang baik baginya
atau datangkan luka baru
dan dia menderita
lalu menyayat nadinya
Lkk Unimed, Februari 2008
MASA KECILKU
Duh terkenang masa kecil itu
saat aku makan permen lollipop
lompat tali lalu jatuh
apalagi main hujan dicubit ibu
Akh..kapan lagi ku nikmati masa kecilku
Delitua, April 2008
KERINDUAN AKAN TUHAN
Panggil aku ya!Rabb
luruskan jalanku yang berkelok ini
aku ingin kembali kepada-Mu ke jalan cahaya itu
yang semilyar orang kagum karenanya
Ya!Rabb jadikan aku kekasih-Mu
di dunia yang penh neraka ini
agar aku bertaqwa
dan jadikan aku kekasih-Mu
untk dapat duduk di singgasana firdaus-Mu
Aku lelah dan tiada daya upaya
mencari kekasih dunia
yang membuatku ke neraka
sebongkah otakku lelah berpikir yang tiada berguna
tiada yang bisa meluruskan jalanku
selain Engkau ya!Rabb
dan jadikan aku benar-benar layak sebagai kekasih
yang mendampingi-Mu di sisi-Mu
Lkk Unimed, 2007
JANGAN TANGISI AKU
Jangan tangisi aku
karena aku akan pergi meninggalkanmu
dan kenangan indah kita dulu
Aku tidak tahan
Batinku meonta, aku ingin menerimamu
tapi sekali godaan itu dating
agar menyuruhku meninggalkanmu
Entah apa yang terjadi?
Apa aku tidak bisa menerima kekuranganmu?
padahal aku sendiri ingin mereka yang dating
menerima kekuranganku itu
tapi aku sendiri tidak mampu menerima
kekurangan mereka
Maafkan aku
aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan
Ku mohon jangan tangisi aku
karena aku akan meninggalkanmu
Delitua, 2007
TERAKHIR DIA NIKMATI FAJAR
Di bibir pantai
kaki kecil itu terus melangkah
menyusuri riak-riak air yang membasahi
setiap telapak kakiknya
hingga Matanya tidak berkedip memandang fajar terbit
yang perlahan-lahan mulai terbuka
dan tidur malamnya
dan sedikit-demi sedikit ombak
menerjang bagian tubuhnya
matanya terus menatap ke cahaya mentari itu
Apakah hari ini, hari teakhir untuk hidupnya?
Lalu ia jatuh tertarik deburan ombak besar
Ke laut lepas dan mati…
Delitua, Februari 2008
PUISI CHAIRIANA
Palsu
Wajah-wajah cantik penuh kemunafikan
Tawa-tawa riang penuh kutukan
Sopan santun penuh kepalsuan
Kesetiaan penuh kebusukan
Tapi…
Manusia nikmati itu semua
Bumbu kehidupan mereka bilang
Ya
Nikmati saja
Hingga suatu saat kau akan menjadi seperti mereka
Munafik
Palsu
Busuk
Ya
Nikmatilah
Kawan..!!
Baca
Baca hatiku
Dan
Kau kan mengerti
Akhir
Dari sebuah
Episode
ini
Medan, 21 Februari 2005
Enggan
Kita ?
Maksudmu ?
Aku dan kau ?
Maaf..
Aku sedang tak ingin bercinta..!!
Medan, 21 Februari 2005
Dia
Sejak hadirnya seorang dia
Setiap hari terasa bahagia
Sejak perginya seorang dia
Setiap hari terasa hampa
Sejak dia dan dia ada
Aku merasa bagai di surga
Medan, 28 Februari 2005
…….
Biarkan aku mencintaimu karena dirimu
Bukan karena mereka
Aku tau apa yang kurasa
Jadi..
Sia-sia bila kau larang aku untuk mencintaimu
Apa adanya…
Medan, 02 April 2005
??
Jika waktu tak mampu mendewasakan kita
Akankah kau tetap menjadi belahan jiwa..??
Medan, 16 Mei 2005
Ecoutez
Nurani takkan berdusta
Tentang siapa sebenarnya yang kau puja
Maka….
Dengarkanlah ia
Sebelum kau kehilangan..
Medan, 12 Juli 2006
!!!
Muak kurasa !
Berada diantara manusia
Yang telah melihat
Kelamin lawan jenisnya !!!
Medan, 23 Juni 2006
….?
Hentikan geliatmu sejenak
Duduk disini dihadapanku
Aku ingin tau…
Apakah kau masih akan ada untukku
Saat matahari tak lagi terbit dari timur ?
Medan, 25 Mei 2006
Aku Harap
Aku harap
Aku adalah mereka yang bahagia
Aku harap
Aku adalah mereka yang dicinta
Aku harap
Aku adalah mereka yang tertawa
Aku harap
Aku adalah mereka yang mencinta
Ternyata..
Baru kusadari bahwa
Aku adalah lebih dari mereka
Sejak kau ada…
Medan, 10 Januari 2007
Syukur
Nikmatilah pagimu kali ini
Agar kau tak sesali
Jika suatu saat
Kau pergi tanpa permisi..
UNIMED, 14 Setember 2007
“……”
Jika kau bertanya
Kapankah aku merasa hidup ?
Jawabnya hanya Satu
“ Saat aku melihatmu “
Jika kau bertanya
Kapan aku merasa sedih ?
Jawabnya hanya Satu
“ Saat aku tak mendengar suaramu “
Jika kau bertanya
Kapankah aku merasa ingin mati ?
“ Adalah jika aku tak mampu lagi melihatmu dan mendengar suaramu ”
Medan, 28 Desember 2007
…??!!!
Aku tlah kehilangan
Tanpa sempat kutemukan
Apa sebenarnya yang kucari…??!!!
Medan, 24 Januari 2008
Belahan Jiwa
Semalam aku telah melihatmu
Aku sudah cukup bahagia
Seperti ada ikan-ikan kecil
Melompat-lompat dihatiku
Sudah cukup jauh aku berkelana
Tapi mengapa hanya kau yang kupuja ?
Aku tak peduli jika kau hanya diam..
Yang aku tau
Saat-saat untuk bertemu denganmu..
Adalah sebuah melodi indah yang selalu tercipta tanpa direncana
Dan untuk kau yang disana
Tetaplah menjadi melodi jiwaku
Hingga senja…
Medan, 23 Mei 3005
Jika Saja
Jika saja…
Aku bisa memuntahkan isi perutku
Diwajahmu..
Sudah kulakukan sejak dulu
Sampai matahari terbit dari baratpun
Aku belum bisa maafkanmu
Darahku sudah mengering
Menunggu..
Hanya untuk seonggok daging busuk sepertimu..
Aku hanya seorang perempuan
Yang tak ingin mencium amis tubuhmu
Walau kau bersujud dikotoranku
Maaf….!!!
Aku sudah Muak..!!!!
Tebing Tinggi, 18 Juli 2007
Biodata
Chairiana lahir di Pabatu, 2 Februari 1984, lulusan dari Fakultas Bahasa dan Seni, jurusan Bahasa Prancis selesai tahun 2008. Berawal dari mengikuti unit kegiatan teater LKK UNIMED, semakin mencintai seni dan sastra.
Pernah menjadi pembawa acara pada AMUK TEATER di UNIMED 2003-2006, tokoh ibu dalam Romeo dan Juliet karya William Shakespierre dengan sutradara Yeni Amalia, pemain musik dalam kabaret karya Indra Fredian pada pagelaran busana Tata Busana Tahun 2004, penata make up pada Amuk Teater Sumatera Utara 2003-2007, aktif sebagai seksi giat pada orientasi Teater LKK UNIMED 2003-2006.
Kegemaran menulis puisi sudah dirasakan sejak duduk di bangku SMU, hanya saja karena kurang percaya diri menyurutkan niatnya menulis. Penulis yang menjadi idolanya adalah Habiburrahman El Shirazy, Remisilado, Taufik Ismail, Kahlil Gibran, Djenar Maesa Ayu, Rieke Diah Pitaloka, Sitor Situmorang, Hasan Al Banna.
NASKAH DRAMA
H O T
Karya : Ida Rahmadani Siregar
Nyonya : ( keluar dari kamar sambil menguap karna baru bangun tidur). Sudah pagi rupanya, tak terasa sudah pukul 11, tadi malam tidurku enak sekali, aku bermimpi ada disuatu tempat yang sangat indah. Ah, kebanyakan mimpi aku ini, kemana lagi perginya semua orang di rumah ini, kok sepi ya? bi Munah, bang Hot..!!! (teriak memanggil)
Bibi : Iya nyonya..sebentar.., lagi nyiapin sarapan! (teriak dari dapur)
Nyonya : Dasar pembantu malas, jam segini sarapan pagi belum siap juga! Bang Hot kemana lagi perginya? Bang Hot..bang Hot..(teriak memanggil) bi Munah.. bang Hotku kemana bi?
Bibi : Iya, nyonya…! (teriak dari dapur)
Nyonya : Iya, iya, cepat kesini bi…! (geram karna tak juga datang)
Bibi : aduhnya pagi-pagi kok sudah marah-marah nanti cepat tua !
Nyonya : Biarin, bang Hot kemana, kemana bang Hot bi? Pagi-pagi sudah tidak kelihatan batang hidungnya! (marah)
Bibi : Bibi gak tahu! Dari tadi pagi bibi sibuk di dapur terus.
Nyonya : Bagaimana bibi ini! seharusnya bibi tau kemana perginya bang Hotku yang ganteng itu. Nanti kalau dia macam-macam dan kenapa-kenapa siapa yang susah?
Bibi : Bibi..!
Nyonya : apa, emangnya bibi bininya apa? (marah)
Bibi : iya, eh..bukan.. (latah)
Nyonya : ah, gak ada tapi-tapian! Sudah sana masak lagi di dapur! (menyuruh pergi kedapur)oia, bibi masak apa hari ini?
Bibi : masak kesukaan tuan dan nyonya.
Nyonya : apa itu ?
Bibi : semur jengkol dan sambal pete.
Nyonya : oia, bagus sekali! Memang bibi pualing muantep sedunia! (memuji kesal)
Bibi : siapan dulu dong nyonya, bi Munah…..! (merasa bangga)
Nyonya : bi Munah sudah berapa kali saya bilang. Saya paling tidak suka jengkol dan pete. Mau saya pecat ya, ganti…!!! (teriak marah)
Bibi : iya, iya nyonya!! Aduh, hampir copot ini bibi punya jantung. (kaget). Dasar nenek pelet pantesan lakinya gak betah di rumah! (mencela pelan)
Nyonya : heh.. apa kamu bilang tadi bi? (merasa dicela)
Bibi : tidak nyonya, tidak apa-apa. (takut ketahuan)
Nyonya : sudah cepat sana! Kemana lagi perginya bang Hotman Maratua Sinaga? Pagi- pagi sudah keluyuran entah kemana. Mau minta dihajar dia! (resah dan marah)
Tuan : selamat pagi sayangku cintaku! (datang dengan senang)
Nyonya : selamat pagi, selamat pagi! (mencibir dan marah)Bagus ya pagi-pagi sudah keluyuran entah kemana!
Tuan : Bagaimananya sayangku ini. inikan hari minggu, jadi abang pergi berolah raga, biar badan abang sehat! Seperti pepatah yang mengatakan Mensana Inconpore sano. Artinya di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Sekalianlah abang singgah ke pasar tadi membeli sayur dan buah!
Nyonya : alah alasan! paling-paling abang pergi menggoda gadis-gadis yang lagi berolah raga di taman. Iya kan? (nggak percaya dengan apa yang dikatakan)
Tuan : Kenapa sayang, kok marah-marah, nanti cepat tua. Kalau kamu tua dan abang masih muda terus bagaimana? (berusaha mengelak)
Nyonya : terus,terus apa? Abang mau mencari bini lain lagi, iya! Dasar laki-laki maunya senak saja. Mentang-mentang lagi zamannya poligami, seenaknya saja mau kawin lagi, gitu!
Tuan : Bukan sayang, bukan seperti itu!
Nyonya : Terus apa,apa..! Dasar laki-laki buaya darat! (membentak)
Tuan : jangan keras-keras nanti malu sama tetangga! (takut)
Nyonya : Biarin!
Tuan : tidak semua laki-laki bersalah padamu. Contohnya aku bukan buaya darat tapi……
Nyonya : tapi kucing garong. (cepat menyambung). Sama saja!! Abang kira saya tidak tahu bagaimana tabiat abang selama ini. abang sudah mulai bertingkah aneh dan mulai macam-macam!
Tuan : macam-macam, maksudmu? (bertanya curiga)
Nyonya : bang, kemarin bu Zainab bilang kepada saya kalau abang mencoba mengganggu anak gadis yang kos di rumahnya, Terus tadi pagi pasti abang pergi menggoda gadis-gadis lain lagi iyakan? (meyakinkan dengan curiga)
Tuan : bukan sayang, itu semua bohong. Fitnah!! (membela diri)
Nyonya : ah, tidak ada alasan. Mulai sekarang abang tidak boleh keluar rumah, kalau mau keluar harus ijin dari saya. Dan mulai sekarang abang harus membantu semua pekerjaan bi Munah mencuci, menyapu, semuanya!!!
Tuan : aduh sayang! Cukuplah..itukan pekerjaan bi Munah. Lagi pula itukan pekerjaan perempuan. Abang malu, nanti semua tetangga akan menertawakan abang! (mengelak)
Nyonya : Tidak, tidak pake alasan lagi. Kalau aku biarkan terus nanti abang akan makin menjadi-jadi, dan saya tambah malu ! (menekankan marah)
Tuan : seperti ini jadinya kalau emansipasi wanita sudah mulai digalakkan! Seenak hatinya saja menyuruh suaminya, dunia memang sudah terbalik! (menyerah menggerutu)
Nyonya : abang bilang apa tadi? (bertanya curiga)
Tuan : tidak, tidak ada! (mengelak)
Nyonya : abang kira saya tidak dengar apa yang abang bilang!
Tuan : kalau abang diperlakukan seperti ini, apa kata dunia! (teriak)
Nyonya : jadi abang tidak senang. Berarti abang sudah tidak sayang lagi, sudah tidak cinta lagi. Abang mau kalau kita cerai! (tidak mau kalah)
Tuan : Bu..bu..bukan seperti itu maksudku..(lemah)
Nyonya : abang jahat !(menangis masuk kedalam kamar)
Tuan : aduh, gawat ini, gawat!! Bisa bahaya, bisa perang dunia ini! bagaimana ini?
Bi…bi munah..! (teriak memanggil)
Bibi : iya, tuan …kenapa tuan ? (berlari dari dapur)
Tuan : gawat bi gawat !
Bibi : apanya yang gawat tuan? (bertanya heran)
Tuan : Nyonya bi, nyonya menangis lagi.
Bibi : ya ampun ! tidak ada kerjaan lain apa selain menangis, merajuk, marah-marah.
Tuan : bibi tahukan kalau dia sudah menangis 3 hari 7 malam baru mau keluar dari kamar. Pusing kepala saya bi. Susah saya jadinya!
Bibi : tuan yang sabar ya.. nyonya memang aneh. Kalau menangis seperti anak kecil, kalau marah seperti mak lampir, mukanya seram lagi. Susah juga saya tuan lihatnya pusiiingngng!!!
Tuan : Bi..
Bibi : sabar ya tuan hot..sabar!
Nyonya : bang…bang hot…!! (memanggil dari dalam kamar)
Bibi : tuan, nyonya memanggil tuan dengan begitu mesra!
Tuan : biarkan sajalah dia seperti itu bi, paling-paling dia mau memarahi saya lagi.
Bibi : tidak tuan. Ini suara nyonya yang lain dari biasanya. Suaranya begitu lembut.cepatlah tuan masuk kekamar. Mana tahu pagi-pagi nyonya meminta jatah..
Tuan : Iya, bibi benar! Kalau begitu saya masuk kekamar…iya sayang, abang datang..
Bibi : Iya cepat tuan ! kasihan tuan Hot dari hari kehari dimarahi nyonya terus. Ia diperlakukan bukan seperti layaknya seorang suami api malah diperlakukan seperti pembantu. Tuanpun tak bisa melawan. Kalau tuan melawan dan marah- marah kepada nyonya, tuan tidak akan mendapat harta warisan dari orang tuanya, apalagi dari mertuanya yang kaya raya itu yang sifatnya sama kayak nyonya. Waduh. Tuan bisa jadi gelandangan nanti. Makanya tuan sangat sayang pada istrinya walaupun nyonya galak kayak mak lampir. Aduh… kasihan tuan……!ah, kamar lagi senyap. Itu berarti nyonya sudah berhenti menangis dan nggak marah-marah lagi, artinya mereka berdua sedang, uiiik..,uiiik…, uiiik…,ah, bibi gak mau dengar pamali! Mudah-mudahan tuan sukses melancarkan seranganya. Terus tuan punya anak. Wah rumah ini bisa jadi tambah ramai..bibi kedapur dulu ah…
Nyonya : (suara dari dalam kamar) pergi sana, cepat siapkan air hangat, saya mau mandi. Jangan lupa ambilkan handuknya juga, cepat…!!!
Tuan : Iya, iya sayang..! (keluar dari kamar)
Bibi : Bagaimana tuan sudah lancar?
Tuan : (bergegas ke dapur )
Nyonya : Cepat bang, airnya jangan panas tapi juga jangan dingin!
Bibi : Kasihan tuan, seperti anjing yang selalu menggonggongi kucing. Tuan menjadi suami yang takut pada istri.
Nyonya : Eh, bibi kok malah enak-enakan disitu. Cepat bantuin!
Bibi : Iya, iya nyonya.
Tuan : Sudah siap sayang..
Nyonya : (bergegas ke kamar mandi)
Tuan : Dosa apa yang telah kulakukan hingga aku harus mendapat istri semacam dia. dulu sewaktu masih pacaran dia baik sekali kepadaku, semua dia yang melayani. Sampai keluargakupun menyuruhku untuk cepat berumah tangga. Sampai- sampai kalau aku tak mengawininya aku tak akan mendapat harta warisan sepeserpun. Oh, Tuhan! Kalau cerai tak mungkin. Mau jadi apa aku nanti. Bisa-bisa aku jadi gelandangan.
Nyonya : Kenapa pula abang menangis..?
Tuan : Bagaimana aku tidak menangis, istriku tak pernah menyayangi aku..
Nyonya : Ah, perasaan abang sajanya itu!
Tuan : Istriku sayang, pernahkah engkau menyadari kalau aku ini suamimu.
Nyonya : Loh, kalau abang bukan suamiku jadi abang suami siapa ?
Tuan : Bukan seperti itu..! memang kiamat sudah dekat. Perempuan jadi laki-laki, sampai suamipun menjadi istri. Setiap hari dimarah-marahi.
Nyonya : Janganlah abang berkata seperti itu, aku sangat sayang dan cinta kepada abang.
Tuan : kalau seperti itu kenapa engkau selalu marah-marah, sampai aku tak bisa berbuat apa-apa.
Nyonya : Karena abang selalu pulang larut malam, kata tetangga abang selingkuh sama wanita lain. Hancur hatiku ini bang!
Tuan : Sumpah mati itu semua fitnah. Kalau engkau tidak percaya belahlah dadaku!
Nyonya : Aku tak mau dimadu, aku tak mau abang selingkuh, aku tak mau dipoligami. Abangkan tahu sekarang ini lagi ngetrennya poligami, aku tak mau abang seperti itu, apalagi macam-macam. Aku sayang, aku cinta sama abang.
Tuan : Senang sekali hati abang mendengarnya. Tak salah lagi abang punya istri semacammu yang cantik dan baik hati. Tapi maukah engkau berjanji tidak akan marah lagi?
Nyonya : Iya..
Tuan : Kalau begitu, hanya engkau isriku seorang yang paling aku sayang dan aku cinta. Selamanya...
Nyonya : Suamiku…!(Tersipu malu)
Tuan : Istriku……!(tersipu malu)
Selesai
KUMPULAN CERPEN
PASAR JONJONG
Oleh: Hasan Al Banna
K
abut menelungkup! Derik jangkrik mendaki kegelapan, juga menuang kelengangan. Sepasang mata Ompung Luat begitu awas menuntun kakinya menyusup juga ke tandas tulang. Ou, lelaki 76 tahun itu mendapatkan dirinya jauh lebih rerak dair usianya. Ia usap wajahnya yang berpipi cekung, seperti meraba lengkung lesung yang dangkal dan lapuk. Sambil menghalau batuk yang menggedor dada, Ompung Luat meraih sarung yang melingkar di leher, lalu diselubungkan ke tubuhnya yang geletar.
Dingin masih menunggang malam. Di sela jari Ompung Luat, tembakau bakkal dibalut daun biobio tersisa duapertiga. Tapi ia jentikkan begitu saja linting rokok kegemarannya it uke sebalik belukar. Sebab, selain tak membekaskan rasa hangat, sudah berulang dinyalakan, selalu padam oleh guguran embun malam. Bahkan loting Ompung luatgeretam sumbu berminyak lamputak mampu lagi memercik. Dan iya, mamantik sepetik api ke pucuk rokoknya serupa hsrat yang berkarat.
Entah apa yang bersih keruh di lubuk kepala Ompung Luat. Usai Isya tadi, ia, Amang Salohot, dan Marapande pergi ke rumah kepala kampung, Jabinore. Mereka menebar jala upaya untuk kesekian kalinya. Mana tahu Jabinore mau menukar arah pikiran: batal menjual kebunnya di belakang madrasah! Dan mungkin jadi, segalanya menjadi lain. Meski genggaman harapan itu akhirnya hangus menjadi legam angan. Harapan rontok, berserak, umpama daun-daun kerontang kehilangan pokok.
“Maaf, tak ada lagi wewenangku mengubah kesepakatan tempo hari.” Kalimat itulah yang dilontarkan Jabinore dengan mimik yang marau. Berarti ia angkat tangan! Maka Ompung Luat, Amang Salohot, dan Marapande pun bergegas menyurut langkah. Dan selama perjalanan menjemput jejak pertama, hanya ruap rokok dan sengap napas isi percakapan mereka. Ketiganya menitip suara ke perut gulita. Pun ketika berpisah di sebuah jalan bercabang, tak hendak mereka menagih kata-kata. Hanya ngguk belaka tandap melepas simpul sua.
Kesepakatan soal keberadaan pasar jongjong memang sudah seminggu yang lalu tercapai. Lantas, ya, tinggal menunggu waktu, sesegera mungkin ditunaikanlah kesepakatan itu. Tetapi ada saja riak kenangan yang menghentak benak Ompung Luat. Riak yang kemudian berpusar deras, lalu mengombakkan sebuah tekad: kelangsungan pasar jongjong! Meski jika berhadap-hadap dengan mata hukum, gelung ombak tersebut terpental susut.
Pasar jongjong, sebuah pasar kecil di pekarangan madrasah. Madrasah, bangunan kayu berpekarangan tidak lebih dari sebidang lapangan voli. Memiliki empat lokal belajar. Satu ruangan besar sebenarnya, tapi disekat dengan beberapa papan tulis berkaki sehingga mencipta beberapa lokal. Di belakang madrasah melintas parit berair jernih. Dua bangkai pohon kelapa sepanjang dua meter menjadi penghubung terjal antara mandrasah dengan kebun pisang milik Jabinore.
Di madrasah tersebut, para murid setingkat SD belajar mengaji dan ilmu agama, dituntun guru-guru belia tamatan pesantren tersohor, Purba BaruMandailing Natal. Pagi, madrasah diisi murid SD yang sekolahnya masuk siang, dan begitu sebaliknya. Madrasah itu beridiri jauh sesudah pasar jongjong berlangsung. Kalau hendak mengenal saksi hidup pasar jongjong, Ompung Luat dan Nek Arse orangnya. Mereka berdua, serta mendiang Haji Mahot dan mendiang Mursalim yang mula kali memulai aktivitas pasar jongjong. Segalanya berawal dri ketaksengajaan.
Suatu pagi 28 tahun, lampau, Ompung Luat memundak sekerangjang ikan sepat tangkapannya. Sepat-sepat itu ia perangkap ketika ia dan istrinya bermalam di sawah, menunggu bunting padi yang ranum. Pagi itu ia bermaksud pulang, sekadar menjemput bekal untuk malam berikutnya. “Bawa saja ikan-ikan itu pulang,” teriak istrinya sambil mengusir burung-burung yang menghinggapi pucuk-pucuk padi, “Entah kau kasihkan sama si Rumondang, atau bagikan sajalah ke hombar balok, sama tetangga-tetangga kita itu.” Ompung Luat menjawab dengna anggukan.
Mungkin untuk mengerat penat, ia rehat tepat di tahan yang kosong milik Haji Mahot. Beberapa warga melintas, saling bertegur, lantas pergi menjinjing tiga-empat ekor sepat. Ompung Luat menolak imbalan uang yang mereka sodorkan. Ya, karena niat semula sepat-sepat itu untuk dibagikan, bukan dijual. Tapi orang-orang tetap meninggalkan uang di sisi krangjang. Hampir tamat semua sepat. Tinggal untuk Rumondang saja, putrinya yang sudah berkeluarga, tinggal tidak jauh dari rumah mereka.
Nah, beriring masa, setiap berpapasan dengan Ompung Luat, orang-orang sering bertanya soal sepat. Maka jika berada di sawah, dan terselip waktu luang, Ompung Luat rajin menjerat sepat. Kemudian ia menuju tanah kosong, menunggu orang-orang memintas, lalu menyodorkan ikan. Ia tetap tak menagih upah, tetapi mereka selalu menyelipkan uang ke saku baju Ompung Luat. Kadang tak lama berdiam di situ, berlalu pulang ia. Tapi, andai terperogok warga, Ompung Luat memindahkan jinjingan sepat ke tangan orang-orang kampung.
Tapi pernah sekeranjang sepat bawaannya tak berkurang seekor pun. Rumondang dan tetangga hanya menjumput satu-dua ekor. Sisanya banyak bermatian pula. Ketimbang mubazir, Ompung Luat mengolahnya menjadi ikan sale. Ya, sepat-sepat itu direbus berbumbu, lalu diasapi sedemikian rupa di atas bara sampai warnanya coklat kehitaman. Bara jangan sampai menjulurkan lidah api. Karena ikan-ikan itu hanya boleh ditanak oleh kepul asap. Kalau hendak dimakan, ikan sale bisa digoreng atau digulai terlebih dulu. Oi, sedap kali rasanya itu.
Ikan sale tersebut tak tersisa ketika Ompung Luat menggelarnya di tanah Haji Mahor, keesokan pagi. Maka, meski tak setiap hari, Ompung Luat pun ketagihan menjala ikan sale. Kemudian hari, Nek Arse turut menjual sayur-mayur tanamannya. Haji Mahot si empunya tanah tak keberatan pula. Bahkan ia pun sering menjual hasil ladangnyakelapa dan ubi. Datanglah Mursalim, membawa telur-telur yang ditetaskan ayam kampung piaraannya.
Ompung Luat akhirnya rutin menyale ikan air tawar, dan menjajanya di tempat biasa. Sejak istrinya sakit-sakitan, lalu meninggal, ia tak kerasan lagi mengurus sawahanya yang luas. Ia serahkan itu pada Rumondang dan menantunya. Untuk mendapatkan ikan, ia tak turun tangan lagi menangkapnya. Kalau tak dipesankannya sama menantunya, ya, ia beli dari kampuang sebelah. Belakangan, Ompung Luat juga menjual gadapang, ikan kering penyedap sambal tuktuk khas Tapsel.
Kian ramailah tanah milik Haji Mahot itu. Warga sering menyebut pasar jongjong. Mengenai itu, Ompung Luat si penciptanya. “Kan waktu itu, Cuma sebentar-nya aku berdiri di situ, eh datang orang menawar ikanku. Ya, jadi kubilanglah pasar berdiri, pasar jongjong!” begitu kisah Ompung Luat mengenang kegelian peristiwa tempo hari. Wargapun senang dengan pasar jongjong. Maklum, pasar kecamatan berjarak tiga kilo meter dari kampung itu. Jauh kali rasanya kalau hanya untuk membeli sayur atau rencah gulai.
Pasar jongjong berlangsung setiap pagi. Lepas subuh, dan berakhir sebelum oleng matahari menebas batas lohor. Sebelas tahun berlalu, berdirilah madrasah. Itu atas prakarsa orang-orang pasar jongjong. Dana pembangunannya pun kebanyakan berasal dari sumbangan mereka. Pengelolaan madrasah diserahkan kepada Haji Mahot. Ia kan pemilik tanah, juga hatobangon, tetua kampuang yang dihormati. Begitupun, ia di bantu Ustad Tajuddin yang tamatan IAIN untuk mengurus tenaga pengajar dan materi belajar untuk murid-murid mengaji.
Jadi, di pekarangan madrasahlah akitivitas pasar jongjong berlanjut. Sesama mereka, tidak ada tempat permanen untuk menggelar lapak. Saling berpindah tiap hari. Tapi mereka tak pernah bertikai. Mereka menggelar dagangan seadanya, hanya lapak-lapak plastik pasang-buka. Tenda-tenda dipasang untuk menghalang sengat panasj, atau menghindar dari hujan. Tenda-tenda di topang galah, dan ditambatkan pada jejeran paku yang menancap sembarang di dinding madrasah. Semak, tentu. Bersampah, apalagi. Tapi usai berdagang, pekarangan madrasah akan kembali bersih.
Mmh, jika diperhatikan, kebanyakan orang-orang pasar jongjong sudah renta. Mereka tak mampu lagi menghambur pelu di sawah-ladang. Kalaupun ada yang berusia muda, hany satu-dua. Itupun para wanita yang tak ikut bertani berladang. Pasar jongjong sangat berarti bagi mereka. Tapi sumpah, mereka tidak akan tersandung lapar jika pasar jongjong tidak ada! Bagi mereka, pasar jongjong tidak semat luap uang. Tengoklah, mereka punya sawah-ladang yang lapang dan ternak yang berpinak. Keturunan mereka pun tetap setia memamahi gembur tanah. Andai tidur-makan saja di rumah, harta mereka pun tak akan berontang.
Dan memanglah, bagi mereka pasar jongjong bukan soal untung rugi. Buktinya, kalau dagangan tersisa sedikit, pantang di bawa pulang, musti dibagikan. Kadang mereka tak berjualan jika ada warga yang tertimpa kemalangan. Bahkan hari jumat pasar jongjong kosong. “Hari raya kecil,” kata mereka. Ah, pasar jongjong hanya semacama alasan bagi mereka untuk tetap bersua, merajut cerita, bertukar lara, bersilang ria, bahkan menyetor amal.
Belakangan, madrasah berfungsi sebagai balai pertemuan, untuk pengajian kaum ibu, acara maulid, isra mikraj, dan rapa naposo nauli bulung (lajang-gadis kampung). Pendek kata, orang-orang kampung turut menggunakannya untuk kepentingan beragam. Tapi begitupun, kalau ada atap madrasah yang koyak, atau dinding melunak, merekaorang-orang pasar jongjongyang biasanya lebih bersegerah memperbaikinya. Pula tiap tahun, tepatnya setiap pergantian ajaran baru, orang-orang pasar jongjong bergotongroyong mengecat madrasah, meski hanya dengan cat kapur yang gampang pudar.
Terus pula, di pasar jongjong, setiap hari mereka kumpulkan uang ikhlas, semacam iuran, begitulah. Itu digunakan untuk mengaji guru-guru madrasah. Kepada para murid memang ditagih bayaran, namun tidak pula di paksa. Bisa dikatakan, lebih dari separoh murid-murid tersebut belajar secara Cuma-Cuma. Maka, bukankah kelangsungan madrasah tergantung orang-orang pasar jongjong? Tapi jawaban mereka begitu lugu, “Itukan untuk anak-cucu kami juga,” Mmh, pasar jongjong, rumah kebahagiaan yang tak terhingga bagi penghuninya.
Maka tak terbayangkan jika pasar jongjong tiba-tiba raib dari rak hari mereka. Kenangan puluhan tahun bakal menyerpih. Lalu, matahari esok mereka bercahaya pitam. Terlebih-lebih Ompung Luat, si penemu pasar jongjong. Semua beranjak dari kabar murah, tapi akhrinya membikin terperangah. Bah! Katanya pihak kecamatan akan membongkar madrasah. Di lokasi itu tetap madrasah yang akan dibangun. “Semacam madrasah percontohanlah”, kata Pak Camat. “Pokoknya kita bikin permanen, betingkat, dan tentulah lebih besar dari sebelumnya,” sambung beliau. Dan akhirnya keterperangahan itu adalah kepastian soal pasar jongjong akan dijungkal, digusur!
Orang-orang pasar jongjong bak disihir, tumpat alir pikir. Memang, mereka sempat lega ketika Ompung Luat mengaku masih menggenggam salina surat wasiah Haji Mahot. Isi surat bersegel itu menjelaskan bahwa tanah lokasi madrasah dan bangunan madrasah diwakafkan untuk kemaslahatan orang kampung. Termasuk untuk orang-orang yang berjualan di pasar jongjong. Surat inilah senjata terakhir yang diharapkan mampu membenamkan niat Pak Camat.
Tapi surat itu tidak bermanfaat ketika beradu khasiat dengan sertifikat tanah yang dikantongo pihat camat. Rupanya, tanpa sepengetahuan orang-orang pasar jongjong, anak-anak Haji Mahot telah menjual tanah tersebut. Haji Mahot memiliki tujuah anak, semuanya menetap di perantauan. Istri Haji Mahot, sudah lebih dulu meninggal, berselang dua tahun. Beberapa hari setelah Haji Mahot meninggal, mereka menjual seluruh harta orang tuanya untuk memudahkan pembagian warisan. Termasuklah itu tanah madrasah dan pasar jongjong.
Keadaan kian tak menguntungkan ketika pemuka kampung yang lain ikut-ikutan mendukung. Termasuk Jabinore yang rela menjual kebun pisangnyadi belkang madrasahkepada pihak kecamatan. Tanah Jabinore itu termasuk dalam rencana pembangunan madrasah baru. “…orangtua-orangtua kami, bapak-bapak, begitu pula ibu-ibu, alim ulama, saudara-saudara, dan tuan guru kami, ini demi nama baik kampung dan masa depan generasi muda kita. Nian Allah membalas keikhlasan hadirin semua…” Begitu bunyi pidato Pak Camat ketika acara penandatanganan kesepakatan antara pihak kecamatan dengan warga berlangsung di kantor kecamatan. Ada riuh tepuk tangan, perjamuan makan, juga uang yangkatanyasudah dibagi-bagikan?
Tapi lalu, orang-orang pasar jongjong memilih meraba sengak dada. Bagi mereka menyulam ketabahan lebih bermanfaat ketimbang meletupkan kekecewaan, bahkan amarah. Pun mereka, sejak dulu, tidak punya watak berontak.
Subuh beranjak. Matahari terbit sejejak. Kabut masih mengapung. Di sekitar madrasah, ada gunungan pasir dan batu sungai. Bata tersusun setinggi dada. Puluhan sak semen tergeletak tak beraturan, menyemak. Bahkan material lain juga sudah berjejal. Kayu-kayu tinggi-tegap menancap mengelilingi lokasi pembangunan. Hari ini madrasah sudah mulai libur, entah sampai kapan. Tapi orang-orang pasar jongjong masih diperkenankan berjualan untuk terakhir kali.
Ompung Luat menggelar lapak. Aroma ikan sale dan gadapang mengail selera. Orang-orang pasar jongjong juga menggelar jualan, seperti biasa. Apa adanya. Tapi tak ada sapa yang menghela di antara mereka. Langit senyap. Suara-suara gelap. O, Tuhan, mengapa pagi ini sorot mata mereka begitu hampa, mulut mereka dikepit luka? Mereka memang menggelar dagangan. Tapi sungguh yang tergelar Cuma kehampaan belaka.
Kehampaan yang sempurna!
Medan, 2006
KUMPULAN CERPEN APRI KARTINI
Cerpen karya Apriani Kartini
GALUH
Galuh, ya itu hanya sebuah nama seseorang. Tapi dibalik itu ada sesuatu pada dirinya, Galuh. Seperti itu pula nama yang dikenal oleh teman atau orang yang mengenalnya, meski entah siapa nama asli yang dianugerahkan kedua orangtuanya. Tapi tak ada yang ambil pusing tentang nama asli atau itu sekedar nama yang lebih keren. Siapa tahu kalalu nama aslinya terdengar kampungan atau norak!! Jadi dia malu memperkenalkan nama aslinya, tapi… ya memang tak ada yang ambil pusing dengan nama itu. Galuh…
Mungkin menarik kalau aku bercerita tentangnya. Karena ada sesuatu dibalik nama dan dirinya. Aku dan dia begitu dekat, bahkan sangat dekat hingga terkadang orang disekitar kami terlihat iri, mereka sangka kami sepasang sejoli yang selalu bergandengan kemana dan dimana saja. Tapi, sekali lagi aku katakan kami hanya teman dekat, bahkan sangat dekat. Tak ada hal yang kami sembunyikan. Ya… dengan kata lain kami sama-sama tahu siapa dan apa yang terjadi diantara kami beruda, tapi ya… yang namanya Galuh tetap ada sesuatu pada dirinya.
Dua minggu lalu kami berkumpul dengan teman-teman lain, untuk sekedar melepas kesumpekan dengan mendengar para dosen yang menjelaskan mata kuliah dalam diktat, setelah itu memberi segundang tugas, membuat makalah dan tetek bengek yang lain. Saat kesumpekan membludak dalam otak maka tidak ada salahnya kalau merilekskan pikiran, berkumpul dengan teman yang sama-sama sumpek untuk mencari kesenangan.
Namanya Galuh, ya… pasti tetap ada sesuatu pada dirinya, rambutnya yang lurus sebahu, dengan mengenakan jaket dan celana jeans lusuh itu sudah sangat cukup menarik perhatian perempuan yang bahkan belum kenal sebelumnya. Dan… sial!!! Setelah berkenalan malah mereka lengket dengan Galuh, jelas Galuh tak menolak, saat mereka mencium pipi bahkan mengulum bibirnya, malah ia membalas cumbuan itu lebih dahsyat, sial!!! Itu dilakukan di depan mata… ah…. Sudahlah. Ya… Galuh, dia tidak akan tahu kalau sebenarnya aku cemburu. Meski begitu ia tidak pernah mengetahui kecemburuanku. Kami tidak punya ikatan yang istimewa, tapi bila kami melakukan hal-hal yang… ya…begitulah!! Itu karena senang sama senang dan tentunya nafsu yang tak tertahankan. Dan setelah itu kami tidak pernah membahasnya.
Akhirnya malam berlalu, ya…. Menjelang pagi semua orang bubar tidak kecuali kami berdua.
Ponsel Galuh berdering. Setelah berbicara dengan si penelepon ia lantas ngeluyur pergi tanpa pamit, atau apalah sekedar basa-basi agar aku tahu kalau dia pergi ada urusan. Selang tiga jam ia baru kembali, siapa sangka saat ia pulang membawa makanan, buah dan minuman. Ya… cukuplah untuk berdua, setelah perut kenyang, aku baru ingat dari mana ia dapat uang untuk membeli semuanya.
Ternyata dia lebih dulu bercerita siapa yang menelepon lantas buru-buru pergi. Setelah mendengar ceritanya aku langsung bangkit dari sofa menuju ke arahnya dan… aku menatap wajahnya, dekat, lebih dekat hingga aku mencumbu bibirnya. Ia membalas cumbuanku sambil berbisik aku katakan “dasar Galuh gila!!”. Tadi ia bercerita bahwasannya yang menelepon tadi adalah tante yang banyak duit tapi merasa sepi, ya … tentu saja Galuh menghilangkan kesepian tante itu dengan sekejap. Yang namanya Galuh pasti tetap ada sesuatu pada dirinya.
Mungkin pekerjaan ini terlalu asyik untuk dilakoni bagi seorang Galuh, hingga dia pun semakin sering melakukannya, dan anehnya kenapa aku sedikitpun tidak cemburu atau paling tidak menyuruhnya untuk berhenti melakoni pekerjaan itu. “Ah… entahlah, dasar gila.” Hanya itu saja yang dapat aku katakan setiap dia bercerita tentang pengalaman bersama tante yang sepi. Atau… yang ada dibenaknya hanya bagaimana caranya agar perut tidak keroncongan dan berfoya-foya dengan teman lain sambil mencumbu perempuan yang baru ia kenal saat itu. Sudahlah tetap ada sesuatu pada dirinya.
Akh… kenapa tiba-tiba aku rindu pulang kampung? Tanpa pikir panjang aku langsung bicara pada Galuh mengenai rasa rindu akan aroma kampung. Ya… yang namanya Galuh, dia hanya senyum tanpa kata. Dan itu pertanda bahwa ia setuju. Pagi-pagi sekali kami menuju stasiun kereta api, Galuh membeli tiket lantas memberinya padaku. O ya… ia juga memberi beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, untuk ongkos katanya.
Lantas ia langsung pergi tanpa menoleh ke belakang dan… tanpa cium sekedar salam berpisah, atau… bisa saja ia berkata “aku akan rindukanmu”, tapi ia tak lakukan itu, ya… namanya Galuh, masih tetap ada sesuatu pada dirinya. Sepanjang perjalanan dalam kereta, aku teringat tentang Galuh, sebenarnya kami telah menjadi teman sejak kecil saat di kampung dulu kami sering pergi bersama. Hanya saja ia pergi ke kota sejak ia tak mampu lagi melihat derita ibunya dan ayahnya. Setiap hari hanya mabuk dan setelah itu memukuli ibunya. Ayahnya tak pernah mau perduli dengan keadaan anak-anaknya yang trauma melihat ibu dan ayahnya, termasuk Galuh. Tapi, bukan berarti setelah dia pergi lantas putus komunikasi, ia malah sering mengirimiku surat berisi segudang cerita di kota.
Ya, akhirnya kami bertemu juga setelah aku kuliah di kota, tapi saat itu aku hampir tidak mengenalnya, sebab dia telah banyak berubah baik style berpakaiannya juga tubuhnya yang semakin kekar, “gila!” Aku langsung dibawanya ke rumah dan kami tinggal berdua, hanya berdua, dekat lebih dekat dari sebuah persahabatan yang biasa saja. Ya… namanya Galuh. Tetap ada sesuatu pada dirinya.
Galuh Dewi, ya Galuh…Galuh. Perempuanku.
S E L E S A I
IBU, DENGAN APA AKU MENYUSUINYA?
Ditulis oleh Indra YT
Genggaman tangan ibu begitu erat. Dari situ dapat kurasakan kesakitan yang dideritanya dan perjuangan hidup matinya. Jika aku baru pertama kali menyaksikannya mungkin separuh nyawaku sudah terbang tak tentu arah. Erangan nafas ibu begitu menghujam jantungku. Aku hanya dapat membalas dekapan tangan ibu di telapak tanganku.
Ayah yang sejak setengah tahun lalu mengadu nasib di negara tetangga tak tahu bagaimana anginnya. Tinggallah aku dan ibu yang mungkin bertambah satu lagi. Ibu masih berjuang untuk mengerang, mengejan bahkan untuk bernafas. Mbok Kandis yang hanya diam dalam melaksanakan ritualnya menambah kebisuan malam yang penuh dengan rintihan.
Genggaman tanganku masih membalut tangan ibu yang takkan kulerai hingga prosesi ini selesai. Selama tujuh tahun aku hidup di dunia ini sudah tiga kali aku terlibat langsung dalam adegan yang menurutku mematikan. Sudah tiga kali pula aku menyaksikan serah terima benda yang dikeluarkan ibu dengan berlumur darah oleh ayahku. Ibu yang terkulai lemah tak mampu mencairkan hati ayah yang membatu. Padahal imbalan yang kami terima tak seberapa. Ibu hanya tidak akan memulung selama beberapa minggu. Aku dapat merasakan apa yang bercokol dalam hati ibu. Wajahnya yang tidak ikhlas, matanya yang berpeluh, desahan nafasnya yang mengamuk.
Nafas ibu semakin menderu seperti puting beliung, genggaman tangan ibu semakin mengikat seperti lilitan ular akan mangsanya. Aku mulai panik. Ini berbeda. Biasanya aku hanya menyapu butiran air dikeningnya. Kali ini aku harus menyeka air yang mengalir dari matanya. Seharusnya ibu senang karena ayah tidak ada untuk menyerahkan separuh nyawanya kepada orang lain.
Mbok Kandis yang membisu mulai mengeluarkan suara yang menurutku tanda kepanikan. Tanpa melepaskan genggaman ibu, aku mencoba membaca goresan-goresan wajah Mbok Kandis. Di sana terlihat bahwa Mbok Kandis putus asa, tidak mampu menyelesaikan prosesi ini. Aku menatapnya penuh harap. Mbok Kandis berusaha lagi. Aku tak tahu apa yang dilakukan Mbok Kandis di balik kain yang menutupi selangkangan ibu.
“Sungsang!” Sekilas terdengar suara angin di telingaku sekaligus desiran darahku mengalir seribu kali lebih cepat. Aku tidak tahu apa artinya tapi dari raut wajah Mbok Kandis yang begitu ketakutan dan wajah ibu yang begitu kesakitan, aku yakin ini berbahaya.
Aku hampir menangis. Kuciumi ibu yang terus-menerus mengerang kesakitan. Dia mulai menatapku. Dan aku tak mampu berkata apa-apa. Entah dia mendengar atau tidak, dalam hati aku terus memberi semangat. Matanya mulai terkatup dan genggamannya mulai melemah. Sesaat semuanya menjadi ricuh berusaha menyadarkan ibu. Aku menggenggam, meremas, menggosok-gosok tangan ibu. Sementara Mbok Kandis menyebarkan bau-bauan yang amat sangat menyengat.
Ibu masih tidak sadarkan diri. Aku diguncang kepanikan yang luar biasa. Tubuhku gemetar sama rasanya ketika aku tidak makan selama dua hari. Butiran bening mulai mengucur dari kening Mbok Kandis. Batinku terus merajut doa pada Yang Kuasa. Aku menyesali permintaan ibu untuk dibawa kemari karena dari awal aku sudah merasa sangat khawatir padahal prosesi serupa yang terdahulu dilakukan di tempat ini juga. Tapi aku juga tak dapat berbuat apa-apa karena terlalu sulit bagi orang-orang seperti kami untuk dapat menembus gedung putih.
Usaha kami menyadarkan ibu tidak sia-sia. Prosesi itu berlanjut kembali tapi dengan erangan yang menyiratkan kesakitan yang begitu dahsyat. Baru kali ini kulihat ibu begitu tersiksa. Ibu mengejan, memekik, dan merapatkan giginya sekuat-kuatnya. Ruh dan jasadku seakan terpisah karena tak sanggup mendengar teriakan ibu. Apakah ibu juga merasakan sakit yang sama ketika melahirkan aku? Apakah ibu-ibu lain juga harus menderita ketika harus melahirkan anak-anaknya? Dan aku, apakah ketika nantinya akan melahirkan anak-anakku juga harus tersiksa? Aku tak sanggup membayangkannya.
Usaha ibu berhasil. Seonggok daging berbalut ari-ari dan lumuran darah telah keluar dengan diiringi tangisan merdu. Aku lega, dan ibu terlihat lebih tenang. Ibu sibuk mengatur nafasnya yang mengalir satu per satu. Mbok Kandis pergi entah kemana membawa bayi itu.
Kembali kusapu kening dan pipi ibu. Aku mulai membersihkan selangkangannya dari cairan-cairan merah berbau amis yang muncrat entah kemana. Aku heran, sesuatu yang ganjil terjadi. Mengapa darah ibu mengalir begitu derasnya seperti mata air yang mengalir di belakang rumahku?
Aku panik. Malam yang kelam telah menelan Mbok Kandis. Barisan paduan suara binatang malam menghambat pendengaranku akan tangisan bayi yang dibawanya. Di ambang pintu aku hanya memandang hitamnya awan yang menutupi bulan dan putihnya wajah ibu yang sendu dan sayu. Untunglah Mbok Kandis segera kembali dengan bayi yang didekap kuat dengan jarik usang. Melihat keadaan ibu, Mbok Kandis langsung menyerahkan apa yang ada di tangannya kepadaku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, biasanya ayah yang langsung menggendongnya dan memberikan kepada orang lain.
Ibu terkulai lemas dan nyaris tidak ada kehidupan diwajahnya. Aku mendekati ibu tanpa menghiraukan Mbok Kandis yang sudah kehabisan akal dan tenaga untuk membantu ibu. Mata ibu terbuka. Tanpa tenaga ia berusaha meraih bayi dalam gendonganku. Kusambut tangan ibu dan menggenggamnya. Aku mengerti apa yang dikatakannya lewat mata pilunya.
Waktu seolah berhenti. Untuk beberapa saat aku terpaku menatap wajah ibu yang putih pucat. Guratan-guratan kesedihan yang selama ini dipangkunya hilang sudah. Penderitaan-penderitaan yang selalu ditelannya sirna sudah. Tinggallah aku yang akan memikulnya. Tanpa tetesan embun dan kucuran peluh dari mataku, aku menyaksikan ibu tanpa perlawanan meregang nyawa. Teringat aku pada pesan ibu yang terakhir.
“Ibu, dengan apa aku menyusuinya?”
S e l e s a i
Cerpen Apriani Kartini
SENANDUNG DI BALIK TIRAI
“Pak, kalau aku sudah besar boleh ya Pak aku nyinden, kayak mbak yang itu. Aku suka Pak. Kepingin ditengok orang ramai di beri tepukan tangan. Boleh ya Pak!”
“Boleh-boleh saja. Asalkan rajin-rajin latihan biar suaramu lebih bagus, merdu, betulkan Ndung?”
* * *
Malam bertabur bintang, dibaluri sinar purnama. Indah benar, sama ketika aku diajak bapak nonton wayang orang di balai desa. Waktu itu terang bulan. Sepulangnya, aku digendong bapak, diangkat didudukkan di bahunya sambil menengok langit malam. Usiaku enam tahun waktu itu.
“Wah, Pak! Kenapa kita diikuti terus sama bintang-bintang.”
“Ya biar saja bintangnya ngikuti Ndung. Jadinya kan terang.”
“Iya ya, Pak.” Aku menghitung bintang-bintang, sayup-sayup kudengar bapak nembang beberapa syair lagu jawa. Aku jadi senang. Pelan-pelan kuikuti bapak nembang. Lagi enak-enaknya nembang mulutku menganga lebar, hidungku mengembang.
“Wah, sudah ngantuk ya Ndung?” Aku mengangguk. Lantas bapak memindahkan aku dari bahunya, kini aku berada tepat di dadanya. Bapak begitu gagah dengan kumis dan rambut panjang yang disisir rapi ke arah belakang dengan hiasan ikat rambut. Perlahan mataku terpejam, bapak masih asyik nembang. Aku semakin pulas dalam dekapannya.
* * *
Namaku Senandung, entah dari mana asalnya aku diberi nama seperti itu. Pa`de Sulam dan Bu`de Sulasmi yang mengurusku sejak usia tujuh tahun, mereka menyekolahkanku hingga selesai sampai SMA. Menurut cerita orang-orang yang tinggal satu paguyuban dulu aku dititipkan untuk belajar nyinden sekalian. Kalau sudah mahir di berbagai tempat dari desa ke desa, tapi setelah dititipkan aku tidak pernah dijenguk siapapun bahkan oleh orang yang menitipkanku. Tapi bukan aku saja yang bernasib seperti itu, banyak gadis-gadis yang tinggal di sini bernasib sama. Larasati juga seperti aku. Tampat kami bercerita, mengadu, bercanda biasanya sama Mbok Yem, ia sudah berpuluh tahun bekerja dengan Pa`de dan Bu`de. Mbok Yem suka ngemong, sering mengelus kepalaku kalau aku sedang sedih.
Aku masih ingat sekali perlakuan Pa`de dan Bu`de waktu pertama kali aku datang, mereka baik. Aku diajarkan bagaimana menjadi sinden yang mempunyai suara nyaring, bukan itu saja aku juga diajarkan tari-tarian bahkan terkadang aku ikut ambil peran dalam sebuah pertunjukan wayang. Itu saat aku berusia sepuluh tahun. Semakin hari gerakan dan suaraku semakin bagus banyak penonton yang terkagum-kagum. Tapi lama kelamaan saat usiaku beranjak dewasa Pa`de dan Bu`de tidak seperti dulu lagi. Mereka sangat berbeda sekarang. Baik dan ada yang terselubung di balik itu semua.
Ya… usiaku sekarang menginjak dua puluh satu tahun, dan Bu`de terlau banyak menuntut.
“Ndung, cepat sedikit dandannya! Sepuluh menit lagi kita berangkat, jangan sampai terlambat. Inget ya… ini hajatan besar. Kamu tahu toh? Malem ini kita beri pertunjukan dan suguhan yang paling mantap ini kan acara pesta anaknya lurah desa seberang. Ndung cepet yang laen pada nuggu!!” Bu`de mulai rewel.
“Iya Bu`de. Sebentar lagi siap.” Jawabku singkat
“Ati-ati ya Ndok.” Mbok Yem mengelus kepalaku dan aku mengangguk.
Semalem suntuk panggung menyajikan pertunjukan wayang, tari-tarian sampai tembang-tembang apik. Tapi percuma saja. Ya… meskipun ini pesta perkawinan anak lurah tetap saja yang menonton aki-aki bangkotan. Kemana semua pemuda di kampung ini? Apa sudah tidak doyan? Tapi kenapa tuan rumah menyuguhkan yang demikian ini? Ah! Sudahlah yang pentingkan dibayar. Semua pertunjukan telah selesai disajikan. Semua teman-teman istirahat termasuk aku. Tiba-tiba Bu`de menghampiri.
“Lho…lho… apa ini, kok malah enak-enakan. Hayo… naek lagi Ndung. Pak lurah kepengen denger satu tembang lagi. Hayo… yang maen musik mana? Wes cepet!” Kami semua menghela nafas. Ya mulai lagi nyindennya. Kuperhatikan raut Pa`de dan Bu`de begitu sumringah, tertawa terbahak-bahak bersama pak lurah. Bu`de mengacungkan jempolnya sambil tertawa genit.
Ya… akhirnya semua selesai tamu-tamu pulang, pengantin masuk kamar. Teman-teman sudah duduk di pick up bersiap pulang. Tinggal aku yang belum naik, Bu`de memanggil.
“Ndung! Kenalin ini pak lurah yang punya hajatan. Hayo dong Ndung, disapa, disalamin!” Aku hanya senyum lantas pak lurah menarik tanganku.
“Ayo, sini-sini. Jangan malu-malu cah manis. Ini sedikit untukmu.” Tangannya menyelipkan lembaran rupiah ke balik bajuku tepat di dadaku. Aku mengelak. “E…. jangan malu-malu, hayo terima.” Ia menarik tanganku meletakkan lembaran rupiah di telapak tanganku.
“Dasar orang tua edan.” Gerutuku dalam hati.
“Lho, kok diem saja Ndung. Bilang terima kasih sama pak lurah.” Bu`de memecah suasana. Aku hanya diam dan beranjak pergi.
“E… lho-lho. Kok minggat.” Celetuk Pa`de. “Maaf ya Pak. Barangkali Senandung kecapean.” Sambung Bu`de.
Aku duduk di sebelah Laras, “Diapain kamu Ndung?” Tanya Laras. Tapi tak kujawab. Kami semua pun kembali ke paguyuban bersama.
Sampai di tempat, aku langsung masuk kamar. Berganti pakaian membersihkan muka, lantas merebahkan seonggok tubuh lelah. Tanpa terasa berurai air mataku. Teringat taburan bintang dan sinar purnama ketika bapak menggendongku.
“Pak, kapan kita nikmati malam berbintang dan baluran purnama sambil nembang bersama?” Kuangkat tubuhku. Kubuka lebar jendela. Kupandangi langit. “Pak aku menyesal.”
“Ndung, kenapa?” Laras mengejutkanku. “Eh… kenapa kamu Ndung. Ada apa, ha? Ayo sini ceritakan padaku.” Laras mencoba menghibur tapi aku menggeleng. “Ya sudah kalau ndak mau cerita. Ayo tidur. Kita kan sudah terlalu lelah jadi mesti jaga kesehatan dengan tidur yang cukup.” Kututup jendela. Kumatikan lampu kamar. Remang-remang cahaya masuk lewat sela-sela jendela. Kucoba memejamkan mata tetapi selalu teringat wajah bapak. Tangan kekar bapak masih terasa di tubuhku. Dulu ia sering menggendongku, bahkan pernah memandikanku. Dan aku tak pernah mengenal siapa ibu. Bapak pun tidak pernah bercerita tentang ibu. Uraian air mata semakin deras. Aku mulai sesunggukan. Nasib apa yang kuterima ini.
“Pak, dimana sekarang. Kenapa tak pernah melihatku?”
“Ndung… bangun!” Aku terperanjat, terdengar gedoran dari arah pintu.
“Ya Bu`de.”
“Cepat mandi! Ndak perlu beres-beres. Karena sebentar lagi ada tamu yang datang menemuimu.” Bu`de langsung nyerocos.
“Siapa yang akan datang Bu`de?”
“Ah, tidak usah banyak tanya. Nanti Bu`de jelaskan.” Jelasnya.
Aku langsung mandi. Kubasuh seluruh tubuh. Aku jadi teringat lagi ketika masih kecil. Bapak memaksaku mandi padahal aku malas. Bapak marah, diseretnya aku ke sumur diguyurnya tubuhku.
“Hu… adem pak.” Bapak tersenyum. Terkadang aku kepingin keluar diam-diam agar aku bisa jalan-jalan sambil memandang sekilas, siapa tahu ada sosok lelaki berkumis dan berambut panjang diikat. Ya… bapak. Apa bapak masih seperti dulu. Gagah! Tapi aku tak pernah berani untuk keluar. Pa`de selalu memantau gadis-gadisnya.
“Mana Senandung. Kenapa lama sekali mandinya. Ini sudah datang tamu istimewa” dengan sigap Bu`de memanggilnya. Suara Pakde begitu keras sepertinya sengaja agar aku mendengarnya.
“Ndung, cepetan. Sudah datang tamunya. Sudah, jangan lama-lama dandannya.” Bu`de masuk ke kamar memanggil. Lantas aku menuju ke ruang tamu. Aku masih bertanya-tanya siapa gerangan yang datang. Apa mungkin bapak? Aku jadi sumringah. Tubuhku dingin, jantungku berdebar tidak karu-karuan. Bapak, seperti apa wajahmu sekarang. Apa masih berkumis atau rambutmu telah memutih.
“Sini-sini. Cepat duduk yang manis. Sebentar lagi tamunya masuk. Beliau masih di luar dengan Pa`de.” Bu`de membuyarkan lamunanku. Jantungku dag-dig-dug tidak mampu memandang ke depan.
“Ayo, silakan Pak. Nah, ini Senandung sudah menunggu.” Pa`de mempersilakan tamu itu masuk dan duduk. Aku belum berani melihatnya.
“Masih ingat sama saya Ndung?” Suara itu seperti pernah kudengar, ya… suara itu. Kuperjelas dengan mengangkat wajahku. Ternyata lurah yang punya hajatan kemaren. Ada apa ya? Apa mau mengadakan hajatan lagi?
“Ndung, masih ingat toh! Ini pak lurah.” Bu`de mempertegas jawabanku. Kedatangan pak lurah ternyata mau melamarku. Sialan. Sudah bau tanah masih kegatelan. Tapi kenapa Pa`de dan Bu`de tidak menolak. Aku tidak diberi kesempatan ngomong. Tiba-tiba Pa`de dan Bu`de meninggalkanku sendiri. “Ndung, kamu mau jadi istri saya?” Dia mulai mendekat, memegangi tanganku.
“Tidak!” Kujawab ketus sambil menarik tanganku.
“Kenapa? Daripada nyinden terus sampai tua, paling-paling nantinya kamu juga kawin dengan laki-laki yang seprofesi denganmu. Sama saya kamu bisa senang, dihormati.” Pak lurah semakin menjadi-jadi. Mulai mengelus rambutku. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Aku beringsut dari duduk.
“Tidak, saya tidak mau.”
“Ya, sekarang kamu boleh mkir-mikir. Saya tunggu jawabannya satu minggu lagi.” Pak lurah lantas pergi.
Besok paginya, Pa`de dan Bu`de memanggilku. Mereka menekankan bahwa aku tidak boleh menolak. Sebab aku harus membalas budi. Balas budi? Memang, tapi selama ini aku sudah membalas budi mereka dengan nyinden di berbagai tempat dan setelah itu mereka tidak pernah memberiku uang hasil nyindenku. Apa ini? Bahkan sekarang pun aku tidak bisa menolak. Masa depanku mereka yang menentukan? Tidak!
“Maaf Pa`de, Bu`de. Saya tidak mau! Saya rasa ini sudah jelas. Jadi tolong bilang sama pak lurah, saya tidak mau.” Pa`de dan Bu`de marah, Bu`de menyatakan aku tak tahu diuntung.
Apa ini? Tak tahu diuntung. Malam tak bertabur bintang, sabit hanya remang meredup. Kucari-cari bintang itu di sela awan malam. Bapak… aku mesti apa? Air mataku berurai.
“Ndok, yang sabar ya…” Mbok Yem mengelus kepalaku.
“Kenapa jadi seperti ini Mbok?” aku mencoba bertanya semoga si mbok mau bercerita. Ternyata Mbok Yem mau bercerita dan ia pun ternyata mengerti dengan pertanyaanku. Mbok Yem mulai ceritnaya. Kala itu masih pagi sekali mentari menyapa daun-daun, tetes embun mulai mengering. Ada seorang lelaki gagah, berkumis berambut panjang. Brojo namanya, dulu ia salah satu pekerja disini sebagai pemain musik. Gadis-gadis disini memanggilnya Kang Mas. Dulu ia punya kekasih Sundari namanya. Mereka hampir saja melangsungkan pernikahan. Banyak juga yang iri pada mereka. Meerka begitu mesra seperti tidak mau dipisah.
Di pagi lainnya, pintu paguyuban terbuka lebar. Waktu itu Brojo akan membersihkan tanaman di depan. Ia mendengar tangisan bayi yang begitu merintih, dicari-cari, di depan pintu, tidak ada. Di semak-semak. Tidak ada. Ia kelilingi halaman itu. Semakin keras saja rintihan itu. Ah! Ternyata di balik pohon jati. Diangkatnya bayi itu. Putih, ayu, pipinya berlesung, dibawanya ke dalam. Warga paguyuban berkumpul mengerumuni Brojo. Semua senang. Ya, yang tidak senang ya sepasang suami istri. Sulam dan Sulasmi. Mereka menolak mengurus bayi itu. Repot katanya. Tapi Brojo tidak keberatan untuk mengurus anak itu. Setiap malam terdengar tembang-tembang apik. Si bayi nampak senang, bayi itu Senandung namanya.
Air mataku mengalir deras. Aku bukan anak bapak?
“Mbok, Brojo nama bapakku. Bayi itu aku kan mbok?” Aku berurai air mata memperjelas cerita.
“Iya Ndok. Itu kamu. Brojo nama bapakmu.” Si Mbok mengelus kepalaku, aku tidur dipangkuannya.
Mbok Yem mengatakan, bahwa bapak sangat menyayangiku lebih dari apapun. Bahkan Sundari calon istrinya cemburu karena merasa diacuhkan hingga akhirnya Sundari meninggalkan bapak tanpa alasan yang jelas. Pernikahan kandas di tengah jalan. Bapak tidak pernah perduli gadis yang dicintai meninggalkannya. Ia memilih mengurusku. Sampai pada akhirnya bapak mulai tidak disenangi Pa`de dan Bu`de karena melalaikan pekerjaan di paguyuban hingga ia harus dikeluarkan tidak boleh tinggal disini lagi. Bapak bingung harus apa, bagimana nasibku kelak. Bapak memohon agar mereka mau mengurusku, bapak bersimpuh di hadapan Pa`de dan Bu`de. Semula mereka tidak mau tapi karena bapak bersimpuh, meratap akhirnya mereka mau dengan syarat tidak boleh menemuiku dan harus pergi jauh dari sini. Ya. Bapak menitipkan nasibku pada Pa`de dan Bu`de. Hinga aku harus menerima nasib dan membalas budi.
Setelah semua diceritakan, mau tidak mau aku harus mau dinikahkan dengan lurah bangkotan itu. Lagi-lagi Mbok Yem mengelus berusaha menenangkan. Air laut tidak mungkin kering, asinnya akan dirasa, menikah? Harus aku terima.
Hari ini tepat seminggu. Lurah itu datang lagi dan aku harus siap. Kulayani semua kemauannya. Ia juga berkata akan membuat paguyuban ini lebih maju. Ya.. baguslah! Terakhir kali aku mengajukan syarat, aku meminta dibuatkan pertunjukan yang hebat dan besar. Semua desa harus dengar tentang pertunjukan ini, semua orang harus dengar, lihat tanpa terkecuali Brojo, bapakku. Lurah itu menyanggupinya.
Tiba di hari yang sudah ditentukan, orang-orang ramai menyesak di balai desa. Mulailah pertunjukan, di balik tirai kuperhatiakn satu per satu orang-orang yang menonton menikmati pertunjukan. Tapi tidak juga kulihat sosok Brojo, bapakku. Mana mungkin ia tidak tahu disini ada pertunjukan besar, pertunukan suguhan dari tempat ia bekerja. Tempat ia menitipkan anaknya. Di balik tirai pula air mataku berurai tiada henti melantunkan tembang yang ia lantunkan waktu menghitung bintang bersama. Bapak kenapa tidak datang, ini terakhir kali kita bisa menghitung bintang atau menengadahkan wajah menikmati indahnya purnama. Bapak kenapa tidak datang, aku minta restu, bapak aku mau bertanya kenapa menyerahkan nasibku pada mereka. Inikah nasib yang kau inginkan untukku. Bapak aku hanya mampu menangis sambil bersenandung di balik tirai, menunggu kau jeput.
CERPEN K’CEK
Menunggu Yawan
24 April 1998
Aku melihatnya di pinggir sungai. Dia sudah 16 tahun, menarik. Hari ini ia mengenakan rok pendek warna salam, atasannya kaos putih motif bunga mawar di bagian atas dada kanannya. Rambut sebahu itu berlomba menciumi wajahnya, ulah angin. Ia menatapku sekali-sekali, tersenyum. Ge..er pikirku. Di sampingku ada dadang, aku yakin walau kakinya bercumbu air, matanya tak henti menikmati kehadiran Kee.
Kee, satu kampung denganku. Hanya sejak ia berumur enam tahun ia sekolah di kota lain. Agak jauh memang, karna itu cuma setahun sekali ia pulang, lebaran Aidil Fitri. Entah kanapa kepulangannya kali ini, membuatku jadi berselimut tatapannya. Sungguh aneh, aku tidak pernah mengalaminya.
“ Wan, aku rase makin bepase aje si Kee.” jantungku berdenyut melebihi jatah normal, sungguh aku tak ingin Dadang tau semua ini.
“ Iye,” aku coba acuh. “ Aku rasenya galak sama die.”
Aih, kali ini sepertinya aliran darahku tersendat. Kee, telah memetik hatiku, walau aku tak pernah tau entah di sudut mana ia jatuhkan. Bagaimana ini?.
“Tapi Wan, setelah kupike-pike rasenye die cadek ndak same aku. Manelah mungkin die ndak, aku ne buruk kali mungkin die keleh.”
“Usah kate giye, hati urang e cadek sape peh yang tau,”
“Udah tau aku Wan, maleh aku mengharapkan mukzizat. Wan, die lebih cocok same engko, serasi. Malam kang kite ke rumah die, cemane?”
Apa yang harus kukatakan Kee, aku seperti mendapat undian jutaan sekaligus akan dihukum pancung nanti malam.
19 Maret 1999
Heri terlelap di sampingku, pelan kubuka dompetnya. Ada tiga foto dengan tiga orang yang sama. Rindu memaksaku untuk mencuri, tak sopan memang.
24 Februari 2000
Apa kabarmu, Kee? Kulihat kau memakai selendang merah jambu, berada di shaf paling depan. Tentu saja anak anak kampung kita berbisik-bisik melihatmu. “Makin bepase aje,” kudenggar Iin berbisik. Tidak berlebihan rasanya kalau kubilang, pagi ini telah turun putri bulan, usia mu 19. Kau menatapku, Kee, perasaan apa ini? Aku berusaha menolaknya sungguh. Pengecutkah aku Kee? Jika sampai detik ini masih belum pernah menyapamu. Dua tahun lewat, Heri, adikku sudah lebih dulu mengetuk pintu rumahmu.
11 Januari 2001
Assalamualaikum Wr.Wb.
Bang, maaf kalau Kee sedikit meminta waktu abang. Hanya sekedar memendar rasa, tanpa bermaksud untuk menagihnya. Seharusnya perempuan menunggu kan? Tapi menunggu bagiku adalah selalu menerka apakah ada celah di hati untuk sekedar berkenalan. Tak berani Kee lancang merengkuhnya, apalagi memilikinya. 24 April 1998, Kee coba mengirim salam melalui tatapan, tapi Kee lupa bahwa tatapan hanya bisa diterjemahkan untuk dua orang yang hatinya telah ditakdirkan bertaut, ternyata itu bukan kita. Akhirnya Kee hanya bisa memeluk mimpi karena asa telah meleleh dari sela-sela jari.
Tak perlu khawatir bang , hujan pasti akan selalu menghadirkan jawaban. Kee berharap malam ini hujan turun walau abang tak pernah mengirim jawabannya. Terima kasih untuk rasa yang indah,untuk rindu yang sakit. Bagi Kee abang mendekati sempurna dan Kee terlalu biasa. Abang terlalu indah untuk Kee kenal tapi mungkin, tidak untuk Kee miliki.
Wassalam
Kee
Kee, membaca suratmu seperti menerima beribu-ribu tusukan jarum. Aku tak tau lagi bagian mana yang sakit. Apa ini yang disebut cinta datang pada waktu dan orang yang salah. Akh, Kee begitukah rumitnya cinta.
Tak usah khawatir Kee, telah kupadu keberanian mulai dari tepi sungai itu. Suatu hari nanti, aku pasti akan berdiri didepan mu. “Kee, aku pun mencintaimu, sangat.”
22 Desember 2002
Kee berjalan menghindariku. Sejak surat itu ia sepertinya malu bahkan hanya untuk sekedar menatap mataku. Kini, ia jadi perempuan dewasa, makin menarik. Akh, andai saja aku mampu meminangnya, Kee akan terus menemaniku menghabiskan waktu. Tunggu Kee, tunggu aku punya keberanian. Bersabarlah Kee, karena kemana pun aku melangkah, kau adalah perhentian terakhirku.
13 November 2004
Oka Keumala Syarif, aku mencintaimu hari ini,esok selamanya.
Yawan
16 0ktober 2005
Aku Kee perempuan yang menunggu cinta pertamanya datang. Beribu kali bumi berotasi tapi ia masih jauh dari pandanganku. Namanya Yawan, lelaki yang tak pernah bicara, tapi begitu banyak kesan yang ia tinggalkan. Lewat isyarat matanya, aku belajar mencintai, mencoba bersabar, tapi yang paling sakit aku belajar untuk tidak memiliki.
Begitu mudah orang mengumbar kata “cinta tak harus saling memiliki” mereka tak tau rasanya sakit. Hingga begitu lama aku menunggu, aku tak pernah tau apakah Yawan akan datang menemuiku. Terlalu lama memang, tapi aku masih mampu bertahan. Berharap suatu hari nanti ada tempat untukku dihatinya. Mimpi Kee aku tau aku cuma bermimpi. Yawan semakin jauh, aku takut mengejarnya. Takut ia akan lari dan aku tak bisa lagi menatapnya.
Sampai detik ini aku sadar, ternyata hati Yawan tak pernah menoleh kepadaku. Sebulan lagi ia pergi. Terlarang bagiku untuk mencintainya lagi.
13 November 2005
Hingga besok hari pernikahan ku Kee, keberanian itu belum juga terkumpul. Dan aku tak punya waktu lagi untuk mengungkapkannya. Balasan surat untukmu kutanam disini, di tepi sungai tempat aku melihatmu tersenyum. Tempat kau panahkan rasa tepat mengenai hatiku. Ingat Kee aku mencintaimu, sesempurna aku tak mampu memilikimu.
Tuk seorang “Wan”
Bepase = Cantik
Galak = Suka
Cadek = Tidak
Keleh = Lihat
CERPEN K’SARIFUDDIN
Disampaikan dalam MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Binjai 2006
WAK TOENG
Oleh : Sarifuddin Lubis
Sudah seminggu ini Wak Toeng terlihat gelisah. Makanan kesukaan dengan gulai ikan Jurung hasil pemberian tetangga yang disediakan istrinya nyaris tak disentuhnya. Bacaan penuh dengan premium call perempuan-perempuan cantik yang biasa ia baca di warung Wak Somad pun tak lagi memancing seleranya. Wak Toeng terlihat kuyu dengan perawakannya yang kecil sedikit membungkuk dan rokok nipah di sudut bibirnya yang tak lagi menyala. Saban pagi dan petang Wak Toeng berusaha membunuh gelisahnya. Rumahnya yang beralaskan tanah, berdindingkan tepas, dan beratap rumbia yang sudah mulai lapuk seperti ikut larut dalam gelisah Wak Toeng.
Sebagai tetangga, terus terang aku jadi tertanya-tanya. Selama ini Wak Toeng tidak pernah segelisah itu. Wak Toeng hanyalah seorang penjaga kubur dengan kehidupan yang sangat memprihatinkan. Namun karena kesungguhannya dalam bekerja, warga selalu memberi sumbangan seperti pakaian, makanan, atau kadang-kadang sedikit uang.
Orang-orang kampung yang keluarga atau kerabat mereka dikuburkan di tempat kami pastilah mengenal sosok Wak Toeng. Setiap kali para peziarah hadir di sana, maka setiap kali pula Wak Toeng pun akan ada di sana. Ada-ada saja yang dikerjakannya, mulai dari ikut mencabuti rumput-rumput kecil di sekitar makam sampai ikut menbersihkan dinding makam yang hijau berlumut. Karena itu pula setiap peziarah akan ikhlas memberikan uang alakadarnya. Berapapun yang yang diberikan kepadanya, ia selalu tersenyum dan tidak akan pernah menolak pemberian itu.
WT-01
WT-02
Namun kadang-kadang ada juga yang tidak suka dengan perilaku Wak Toeng. Mereka beranggapan kalau Wak Toeng hanyalah mencari kesempatan mendapatkan uang. Wak Toeng dianggap pengemis dengan modus operandi baru.
“Sudah makan Wak?” kataku sambil menghampiri Wak Toeng di sebelah rumahnya. Wak Toeng tidak menjawab. Entah dia tahu kedatanganku atau tidak, aku tidak tahu. Yang kulihat Wak Toeng memandang kosong ke depan. Tatapan matanya seperti bulan muram. Daun nipah di bibirnya tinggal satu setengah sentimeter yang tak lagi menyala. Daun nipah itu telah hancur dalam gigitan Wak Toeng. Udara mendung sore itu seperti ikut gelisah memandang Wak Toeng. “Wak, sudah makan?” ulangku lagi sambil memukul pelan bahunya. Ia kaget.
“Oh, Kaunya ?” katanya dengan logatnya yang kental. Ia memandangku sejenak kemudian diam lagi. Wak Toeng mengambil mancis cantik berwarna emas dari saku celananya. Beberapa saat kemudian daun nipah itu telah berganti dengan daun nipah yang baru. Wak Toeng menghirup dalam-dalam daun nipah itu. Wak Toeng sedikit terbatuk-batuk. Asapnya kemudiian mengitari kami. Aku sedikit menghindar dari asap rokok itu.
“Kenapa Wak kutengok gelisah kali dalam beberapa hari ini?” kataku kemudian bertanya.
“Nggak tahu lagilah aku. Kau kan tahu bagaimana aku selama ini?”
“Iya, kenapa rupanya?” tanyaku tak mengerti.
“Rupanya, sudah begini pun hidup Wak ini, masih saja orang yang dengki”.
“Dengki kek mana, Wak? Tanyaku tak mengerti.
“Dengkilah. Coba Kau pikir. Wak ini sudah lima belas tahun menjaga kuburan itu. Tangannya menunjuk ke arah kuburan yang berada tak jauh di depan kami. Wak Toeng kemudian bercerita tentang pengalamannya menjaga kuburan mulai dari ia masih muda. Tak disangka, Wak dengan kehidupannya yang prihatin itu ternyata memiliki pengalaman yang banyak selama mengelola kuburan itu. Wak Toeng mengatakan kalau ia punya kenalan seorang jenderal. Katanya seorang
WT 03
jenderal pernah datang berziarah ke kuburan itu. Ketika pulang sang jenderal kemudian memberi Wak Toeng uang yang tidak sedikit. Wak Toeng pernah pula kedatangan artis terkenal dari ibukota yang kebetulan keluarganya juga dimakamkan di situ. Artis dangdut berwajah cantik yang kebetulan perokok itu kemudian menghadiahinya sebuah mancis. Dengan bangga Wak Toeng menunjukkan mancis yang katanya berharga mahal itu. Banyak lagi pengalaman Wak Toeng selama membersihkan kuburan itu.
“Lalu kenapa Wak begitu gelisah akhir-akhir ini?” Aku bertanya setelah Wak Toeng menyudahi kisahnya.
“Itulah masalahnya. Semalam aku dengar pengurus kenaziran kuburan kita ini akan rapat”.
“Kalau rapat kenapa rupanya, Wak?” Aku bertanya heran.
“Itulah. Kau tidak mengerti juga!” Aku jadi bingung. Gaya bicara seorang sarjana sudah aku buang jauh-jauh hanya sekadar ikut dalam dunia Wak Toeng. Tap aku malah dianggap tidak mengerti apa-apa. Padahal aku memang benar-benar tidak mengerti maksud Wak Toeng.
“Aku benar-benar tidak mengerti maksud, Wak!”
“Aku bakal diberhentikan!”
“Ah?! Maksud Wak?”
“Ah, bodoh kalilah Kau. Aku bakal dipecat dari pekerjaanku selama ini.”
Aku terdiam. Bagaimana mungkin ada pemberhentian terhadap seoarang Wak Toeng yang berprofesi sebagai penjaga kuburan. Aku jadi geli. Aku tersenyum.
“Senyum pula Kau. Jangan-jangan Kau juga ikut senang kalau aku dipecat, ya?” Wak Toeng memandang tajam ke arahku. Aku jadi tidak enak.
“Jangan salah sangka Wak?!” Aku mencoba memberi pengertian. “Aku hanya tidak mengerti bagaimana mungkin kalau Wak yang hanya , maaf, seorang penjaga kuburan bisa dipecat. Cari gantinya bukan gampang Wak?!”
WT-04
“He, jangan anggap remeh Kau. Kau pikir pekerjaanku tidak laku?”
“Maaf, Wak! Aku kan sudah minta maaf!”
“Kau tahu, kalau aku dipecat, di belakangku sudah banyak yang antri menunggu pekerjaan ini. Kau lihat si Sudir, Arul, apalagi si Dul, dari dulu ia mengincar pekerjaanku”.
“Kalau mereka tak cocoklah Wak. Mereka itu semuanya malas kerja. Jadi seperti apa kuburan kita ini kalau mereka menggantikan Wak. Bisa-bisa sebulan saja, kuburan ini sudah hutan belantara. Kalau masalah kerja, nggak memujilah, Wak masih nomor satu,” kataku kepada Wak Toeng. Aku berharap Wak Toeng akan senang mendengar pujianku. Tapi Wak Toeng malah kembali menatap kosong ke depan. Aku merasa kalau Wak Toeng benar-benar sedang hancur. Tidak pernah-pernah aku melihat Wak Toeng sesedih ini. Aku jadi ikut sedih.
***
Rapat kenaziran itu benar-benar telah dilaksanakan. Aku kebetulan berada di sana untuk menemani oomku yang kebetulan ikut sebagai nazir kuburan. Sebuah kejutan buatku. Rapat itu layaknya sebuah pemilu saja. Wak Toeng diberhentikan karena sebagian anggota mengatakan Wak Toeng telah memalukan kenaziran. Wak Toeng seringkali menerima pemberian dari para peziarah bahkan kadang-kadang seperti mengharapkan sekali pemberian itu dengan menunggui para peziarah selesai berziarah, padahal setiap bulan Wak Toeng sudah menerima gaji tetap dari pengurus yang jumlahnya memang tidaklah banyak. Wak Toeng sudah berkali-kali diingatkan, namun tidak juga berubah.
Setelah melalui proses pemilihan langsung dengan beberapa calon, maka terpilihlah Si Dul penjaga kuburan yang baru. Setelah rapat selesai, aku diminta oomku menjemput Wak Toeng untuk pemberitahuan hasil rapat sekaligus memberi uang pesangon kepada Wak Toeng. Dengan berat hati kulaksanakan juga tugas itu. Aku tidak malas untuk pergi tengah malam tapi berat hatiku karena
WT-05
harus menyampaikan sesuatu yang pasti membuat Wak Toeng sedih bukan main. Ketika sampai rumah Wak Toeng, beliaunya tidak ada padahal waktu itu sudah pukul sebelas malam.
“Kemana katanya, Wak?” tanyaku kepada Wak Kiah, istrinya.
“Nggak tahu. Kami sudah cari kemana-mana tapi tidak ada!” Wak Kiah terlihat gelisah. Aku jadi kasihan. Kami terdiam sejenak. “Tapi, apa mungkin di gubuk kuburan, ya?” Wak Kiah bertanya tak percaya.
“Ayo kita lihat, Wak!” ajakku.
Aku bersama Wak Kiah dan anak tertua Wak Toeng pun berangkat ke kuburan. Di kompleks kuburan itu ada sebuah gubuk yang biasanya tempat istirahat Wak Toeng kalau kepanasan siang hari. Aku ragu Wak Toeng ada di sana, karena ini sudah tengah malam. Tetapi Wak Toeng ternyata memang berada di sana. Dalam kegelapan malam dengan menggunakan senter yang tak cukup terang kulihat Wak Toeng tidur terlentang. Wak Kiah membangunkan Wak Toeng dengan memanggil-manggil namanya. Tak ada sahutan. Wak Kiah terus memanggil. , Suaranya sudah mulai diiringi tangisan. Aku jadi ikut cemas dan khawatir. Aku raba nadi di pergelangan dan leher Wak Toeng. Dingin dan tak berdenyut. Aku kaget bukan main.
Aku memberitahu Wak Kiah dan anaknya. Kedua anak beranak itu menangis sejadi-jadinya di kompleks kuburan di tengah malam yang dingin itu. Aku hanya bisa memandang kosong tak percaya dengan apa yang terjadi. (Kota Rambutan Malam Hari)
Pernah dimuat di Harian Waspada, Minggu, 13 Maret 2005
Saripuddin Lubis
Jl Pandega Lk. 1 No. 52 Binjai 20715
HP 0816 311 8486
Cerita Pendek Untuk Teater LKK Univ. Negeri Medan
Lelaki Yang Tersenyum
Cerpen: Sarifuddin Lubis
KESEKIAN kali kulihat bayangan ayah di antara lelaki di warung Wak Geuh. Aku tentu saja tidak berani menemui bayangan itu. Bukankah ayah telah dikabarkan ikut dimakamkan secara massal di Aceh Besar selang beberapa hari setelah cobaan besar itu melanda kota kami. Kabar kepergian ayah sendiri aku dapat dari mantan muridnya. Mungkinkah ia salah menandai rupa ayah? Ataukah ini mukjizat? Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Kami sekeluarga benar-benar telah mengikhlaskan ayah untuk pergi selama-lamanya. Teman-teman ayah yang tersebar di sepanjang penjuru nusantara pun telah begitu banyak memberikan perhatian dan dukungan moral yang sangat berarti bagiku.
“Bagaimana kabar ayah? Kalau ada apa-apa kabari ke Yogya ya!” Itu bunyi SMS yang kubaca waktu itu di handphone peninggalan satu-satunya milik ayah. “Pak Munar, gimana kabarnya Pak? Mudah-mudahan Allah tetap bersama kita!” Bunyi SMS yang lain dari Pak Saleh, teman ayah dari Lombok ikut pula kubaca. Belakangan aku dapat kabar kalau Pak Saleh telah pula dipanggil Sang Khalik dalam usia yang lebih muda dari ayah. Banyak lagi SMS yang aku baca di handphone ayah.
Aku hanya bisa membalas SMS itu dan mengatakan kalau ayah sampai saat ini belum ditemukan disertai derai air mata. Namun sebagai anak tertua ayah, aku berusaha menghapus air mata itu walau tetap tak mampu aku bendung. Apa lagi ketika kubaca balasan SMS dari sahabat-sahabat ayah yang memberi dukungan moral yang luar biasa itu. Ah, betapa Maha Besar Engkau Ya Allah yang telah memberikan begitu banyak sahabat kepada ayahku.
Setelah kabar tentang ayah positif diketahui, aku pun mengabari semua
Hlm. 1
Hlm. 2
kerabat dekat dan sahabat-sahabat ayah yang nomornya masih tersimpan baik di handphoe ayah. Nomor-nomor itu tetap aku simpan dengan baik, aku tak ingin mengganggunya apalagi menghapus memorinya.
Di antara gelap gulita dan suara binatang malam di sudut kampung Langprit aku kembali mendekati warung Wak Geuh. Aku berharap malam ini aku menemui bayangan itu. Aku tak mau hidupku terus gelisah di antara bayang-bayang yang mirip benar dengan ayah tersebut.
Kulirik jam tanganku di antara gelap malam. Sudah pukul sembilan malam, . berarti sudah hampir satu jam aku berdiri di sini. Aku sadar kalau tak baik bagiku keluar malam-malam seperti ini. Aku perempuan! Apalagi orang-orang yang minum kopi dan bermain catur di warung Wak Geuh adalah kaum lelaki, hanya Wak Geuh lah perempuan di warung itu, itu pun sambil ditemani suaminya. Tapi perasaanku yang lain mengalahkan perasaanku sebagai seorang perempuan. Aku benar-benar ingin mengetahui bayangan itu.
“Assalamu’alaikum anakku!” Darahku tiba-tiba saja kurasakan mengalir sangat deras. Alirannya sangat jelas kurasakan menjalar di bawah lapisan kulit-kulit tubuhku. Suara itu begitu jelas aku kenal.
“Wa’alaikum salam!” Aku menjawab salam ayah sambil aku membalikkan badanku. “Ayah….?” Sapaku dengan masih menggigil tak percaya.
“Ya…….aku adalah bayang-bayang yang selalu kamu tunggu kan?” Ayah menarik badanku, kemudian memelukku dengan hangat sekali. Kurasakan betul pelukan ayah yang begitu lama sudah kurindukan. Ayah yang selalu melindungi ibu, aku, dan adik-adikku dengan kepak sayapnya.
“Ayah….bukankah….ayah….!” Ayah tersenyum sambil menutup mulutku dengan jari telunjuknya.
“Maya, ayo kita ke warung Wak Geuh!” Aku mengangguk saja. Aku dan ayah kini telah duduk di warung itu. Kulihat orang-orang di warung itu tak satu pun yang kaget melihat kedatangan ayah. Masing-masing melemparkan senyumnya kepada
Hlm. 3
ayah, akrab sekali. Sepertinya mereka telah sering bertemu di warung itu. Rasa gelisahku masih saja hinggap dalam pikiran dan hatiku.
“Bagaimana kabar ibumu?” Ayah bertanya sambil menuangkan kopi panas di gelasnya ke piring kecil tepak gelas itu.
“Ibu baik”, jawabku sambil mencoba mengikut cara ayah menuangkan teh, namun tanganku terasa panas. Cepat-cepat ayah membantu menuang teh panas ke piring kecil milikku. Aku tersenyum memandang ayah. Dengan sisir belah tengah dan kumis tipisnya ayah ikut tersenyum menatapku. “Sejak kepergian ayah, kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Kami kemudian diboyong ibu ke tempat saudara kita di Lhokseumawe”
“Ibumu perempuan yang tangguh Mahya!” Ayah tampak sedih. Tapi dari raut wajahnya tampak ayah begitu bangga kepada sosok ibu.
“Ya, Yah. Ibu selalu berusaha menenangkan kami supaya mengikhlaskan ayah. Ibu juga tidak mau menggantungkan diri terlalu besar kepada saudara. Ibu bertekad untuk menghidupi kami dengan baik!”
“Adik-adikmu bagaimana, anakku?” Ayah berusaha mengatur emosinya. Namun antusias ayah untuk mendapat kabar tentang kami begitu besar. Aku melihat tatapan mata berisi kerinduan yang mendalam ayah kepada keluarganya.
“Endra dan Ahda baik-baik saja ayah. Awalnya sama seperti Mahya, Endra dan Ahda juga sempat frustrasi yang tak tertahankan. Panik, gelisah, putus asa, semuanya membaur jadi satu. Tapi untunglah kami tidak sendirian. Begitu banyak yang memberi perhatian. Keluarga, kerabat, dan juga sahabat-sahabat ayah!”
“Sahabat-sahabat ayah?”
“Handphone ayah terus berdering. SMS begitu banyak yang masuk dan sebagian dari SMS yang masuk itu katanya sahabat-sahabat ayah. Dering dan SMS yang masuk itu tidak kalah jumlahnya dengan perhatian untuk Aceh dari segala belahan tanah air dan penjuru dunia ketika cobaan itu melanda kota kita ayah!” Ayah tampak diam. Kulihat air mata menetes di pipi ayah. Matanya basah oleh air mata.
Hlm. 4
“Mahya, kalau mereka menghubungimu lagi. Salam hangat buat mereka. Teruslah berdo’a buat ayah!”
“Ayah…? Kenapa ayah berkata begitu? Bukankah ayah akan kembali kepada kami? Ayah nyata kan?” Aku mengguncang-guncang badan ayah. Kualihkan pandanganku ke orang-orang di warung Wah Geuh. Orang-orang di warung itu tampak tersenyum.
“Mahya, ayah harus kamu ikhlaskan. Ayah tidak lagi nyata di alam dunia ini!”
“Lalu kenapa ayah ada di sini. Beberapa hari ini Mahya terus melihat bayang-bayang ayah melintas di warung Wak Geuh ini. Lalu sekarang kita bertemu?”
“Anakku, pertemuan ini adalah anugerah Allah yang harus Kamu syukuri. Kadang bayang-bayang memang dapat mengganggu jalan hidup kita. Jadikan bayang-bayang ini buatmu untuk melangkah. Esok masih panjang jalan yang akan Kau tempuh. Berdo’alah!” Ayah kemudian pergi dan hilang di antara kegelapan malam. Begitu cepat ayah menghilang. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku tersentak dari tidurku. Suara azan sayup-sayup terdengar olehku. Rupanya hari telah Shubuh. Aku teringat mimpi malamku yang kurasakan tidak seperti mimpi. Di tanganku masih tergenggam handphone peninggalan ayah. Aku baru ingat kalau tadi malam aku membaca SMS-SMS sahabat-sahabat ayah yang telah membawaku tidur bersama mimpiku. Aku ingat semua mimpi itu. Aku meraba mataku yang masih basah. Aku kemudian tersenyum. Sebelum aku mengambil air wudhu untuk sholat Shubuh, aku kirim SMS satu per satu untuk sahabat-sahabat ayah. “Jangan lupa do’akan ayah pagi Shubuh ini!” Dari Mahya.
(Buat Mahya dan Saudara-Saudara kami, demi keihklasan hati di Kahju)
Otobiografi Penulis
Saripuddin Lubis, Lahir di Tiga Juhar 12 September 1968. Beristrikan Novianti (juga guru dan aktif menulis) dan dikaruniai satu putra Shalman Al Farisy Lubis dan satu putri Nurul Afifah Lubis. Menamatkan Diploma Tiga Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Medan. Kemudian menyelesaikan Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Padang 1994. Aktif menulis cerpen, artikel sastra, artikel pendidikan, esei, dan puisi di Harian Singgalang dan Haluan Padang, Mingguan Canang Padang, Koran Kampus Ganto, dan Harian Pelita Jakarta (semasa aktif). Aktivitas kepenulisan sekarang dilanjutkan di Harian Waspada dan Analisa Medan. Salah satu cerpennya terpilih dalam cerpen terbaik Depdiknas Jakarta dan dimuat dalam antologi Nyanyian Terakhir (2003). Cerpen lain dimuat dalam antologi Denting (2006), Kado Ulang Tahun Perkawinan (2006), dan Medan Sastra (2007). Finalis Lomba Keberhasilan Guru Dalam Pembelajaran demham tajuk menulis Tk. Nasional di Jakarta Tahun 2002, 2004, dan 2006. Mengikuti Dilkat Sastra Daerah Tingkat Nasional 2001 di Bogor. Mengikuti Diklat Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) Tingkat Nasional 2005 di Bogor.
Selain itu juga aktif berteater. Pertama sekali mengenal teater di sekolahnya SPG Negeri 1 Medan. Setelah itu masuk sekaligus ikut mendirikan Teater LKK IKIP Medan (Unimed). Setelah itu hijrah ke Padang dan masuk Teater Kampus Selatan IKIP Padang (UNP), dan Teater Jenjang Padang. Juga menulis naskah drama sekaligus menyutradarainya. Bermain teater di TVRI Stasiun Medan, Taman Budaya Medan, Taman Budaya Padang, Peksiminas di TIM Jakarta, dan Festival Istiqlal Jakarta. Meraih beberapa penghargaan lomba baca puisi di Medan dan Padang, Aktor Terbaik dalam Lomba Akting Parfi Sumbar 1991, Lomba Akting Liga Film Mahasiswa Medan 1990, Juara Pertama Lomba Monolog Se Sumatera Barat 1993.
Pengangkatan pertama sebagai penerima Ikatan Dinas dari pemerintah di SMA Negeri 1 Sijunjung Sumatera Barat tahun 1995 a.d. 1999.. Sekarang profesi tetapnya sebagai guru untuk membina mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Binjai. Selain itu mengajar di STKIP Budidya Binjai. Di sela-sela tugas sebagai guru juga aktif membina Bengkel Menulis dan Sastra “Bianglala” di Binjai yang sudah berprestasi tingkat Nasional.
Alamat Tinggal : Jalan Pandega Gg. Penddidikan 52 Lk. 1 Tanah Merah,
Binjai 20715
Email : loebiez_s @ yahoo.com
CERPEN INDRA YT
IBU, DENGAN APA AKU MENYUSUINYA?
Ditulis oleh Indra YT
Genggaman tangan ibu begitu erat. Dari situ dapat kurasakan kesakitan yang dideritanya dan perjuangan hidup matinya. Jika aku baru pertama kali menyaksikannya mungkin separuh nyawaku sudah terbang tak tentu arah. Erangan nafas ibu begitu menghujam jantungku. Aku hanya dapat membalas dekapan tangan ibu di telapak tanganku.
Ayah yang sejak setengah tahun lalu mengadu nasib di negara tetangga tak tahu bagaimana anginnya. Tinggallah aku dan ibu yang mungkin bertambah satu lagi. Ibu masih berjuang untuk mengerang, mengejan bahkan untuk bernafas. Mbok Kandis yang hanya diam dalam melaksanakan ritualnya menambah kebisuan malam yang penuh dengan rintihan.
Genggaman tangaku masih membalut tangan ibu yang takkan kulerai hingga prosesi in selesai. Selama tujuh tahun aku hidup di dunia in sudah tiga kali aku terlibat langsung dalam adegan yang menurutku mematikan. Sudah tiga kali pula aku menyaksikan serah terima benda yang dikeluarkan ibu dengan berlumur darah oleh ayahku. Ibu yang terkulai lemah tak mampu mencairkan hati ayah yang membatu. Padahal imbalan yang kami terima tak seberapa. Ibu hanya tidak akan memulung selama beberapa minggu. Aku dapat merasakan apa yang bercokol dalam hati ibu. Wajahnya yang tidak ikhlas, matanya yang berpeluh, desahan nafasnya yang mengamuk.
Nafas ibu semakin menderu seperti putting beliung, genggaman tangan ibu semakin mengikat seperti lilitan ular akan mangsanya. Aku mulai panik. In berbeda, biasanya aku hanya menyapu butiran air dikeningnya. Kali in aku harus menyeka air yang mengalir dari matanya. Seharusnya ibu senang karena ayah tidak ada untuk menyerahkan separuh nyawanya kepada orang lain.
Mbok Kandis yang membisu mulai mengeluarkan suaras yang menurutku tanda kepanikam. Tampa melepaskan genggaman ibu, aku mencoba membaca goresan-goresan wajah Mbok Kandis. Disana terlihat bahwa Mbok Kandis putus asa, tidak mampu menyelesaikan prosesi in. aku menatapnya penuh harap. Mbok Kandis berusaha lagi. Aku tak tahu apa yang dilakukan Mbok Kandis di balik kain yang menutupi selangkangan ibu.
“Sungsang !” sekilas terdengar suara angin di telingaku sekaligus desiran darahku mengalir seribu kali lebih cepat. Aku tidak tahu apa artinya tapi dari raut wajahnya Mbok Kandis yang begitu ketakutan dan wajah ibu yang begitu kesakitan, aku yakin in berbahaya.
Aku hampir menangis. Kuciumi ibu yang terus menerus mengerang kesakitan. Dia mulai menatapku. Dan aku tak mampu berkata apa-apa. Entah dia mendengar atau tidak, dalam hati aku terus memberi semangat. Matanya mulai terkatup dan genggaman tangannya mulai melemah. Sesaat semuanya menjadi ricuh berusaha menyadarkan ibu. Aku menggenggam, meremas, menggosok-gosok tangan ibu. Sementara Mbok Kandis menyebarkan bau-bauan yang amat sangat menyengat.
Ibu masih tidak sadarkan diri. Aku diguncang kepanikan yang luar biasa. Tubuhku gemetar sama rasanya ketika aku tidak makan selama dua hair. Butiran bening mulai mengucur dari kening Mbok Kandis. Batinku terus merajut doa pada Yang Kuasa. Aku menyesali permintaan ubu untuk dibawa kemari karena dari awal aku sudah merasa sangat khawatir padahal prosesi serupa yang terdahulu dilakukan ditempat in juga. Tapi aku juga tak dapat berbuat apa-apa karena terlalu sulit bagi orang-orang seperti kami untuk dapat menembus gedung putih.
Usaha kami yang menyadarkan ibu tidak sia-sia. Prosesi itu berlanjut kembali tapi dengan erangan yang menyiratkan kesakitan yang begitu dahsyat. Baru kali in kulihat ibu begitu tersiksa. Ibu mengejan, memekik, dan merapatkan gigunya sekuat-kuatnya. Ruh dan jasadku seakan terpisah karena tak sanggup mendengar teriakan ibu. Apakah ibu juga merasakan sakit yang sama ketika melahirkan aku? Dan aku, apakah ketika nantinya akan mel;ahirkan anak-anakku juga harus tersiksa? Aku tak sanggup membayangkannya.
Usaha ibu berhasil. Seonggok daging berbalut ari-ari dan lumuran darah terlah keluar dengan diiringi tangisan merdu. Aku lega, dan ibu terlihat lebih tenang. Ibu sibuk mengatur nafasnya yang mengalir satu per satu. Mbok Kandis pergi entah kemana membawa bayi itu.
Kemabli kusapu kening dan pipi ibu. Aku mulai membersihkan selangkangannya dari cairan-cairan merah berbau amis yang muncrat entah kemana. Aku heran, sesuatu yang ganjil terjadi, mengapa darah ibu mengalir begitu derasnya seperti mata air yang mengalir di belakang rumahku?
Aku panik. Malam yang kelam telah menelan Mbok Kandis. Barisan paduan suara binatang malam menghambat pendengaranku akan tangisan bayi yang dibawanya. Di ambang pintu aku hanya memandang hitamnya awan yang menutupi bulan dan putihnya wajah ibu yang sendu dan sayu. Untunglah Mbok Kandis segera kembali dengan bayi yang didekap kuat dengan jarik usang. Melihat keadaan ibu, Mbok Kandis langsung menyerahkan apa yang ada ditangannya kepadaku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, biasanya ayah yang langsung menggendongnya dan memberikan kepada orang lain.
Ibu terkulai lemas dan nyaris tidak ada kehidupan diwajahnya. Aku mendekati ibu tampa menghiraukan Mbok Kandis yang sudah kehabisan akan dan tenaga untuk membantu ibu. Mata ibuterbuka. Tampa tenaga ia berusaha meraih bayi dalam gendonganku. Kusambut tangan ibu dan menggenggamnya. Aku mengerti apa yang dikatakannya lewat mata pilunya.
Waktu seolah terhenti. Untuk beberapa saat aku terpaku menatap wajah ibu yang putih pucat. Guratan-guratan kesedihan yang selama in dipangkunya hilang sudah. Penderitaan-penderitaan yang selalu ditelannya sudah sirna. Tinggallah aku yang akan memikulnya. Tampa tetesan embun dan kucuran peluh dari mataku, aku menyaksikan ibu tampa perlawanan meregang nyawa. Teringat aku pada pedan ibu yang terakhir.
“Ibu dengan apa aku menyusuinya?”
S e l e s a i
BIODATA K’APRI AMELIA
BIODATA
Afri Amelia lahir di Cinta Rakyat, kecamatan Percut Sei Tuan, 1 April 1986. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia stambuk 2004. Ketakyakinan akan kemampuan dalam disiplin ilmu yang dipilih memotivasinya ikut dalam proses berteater.
Masuk Unit Kegiatan Mahasiswa(UKM) Teater LKK Unimed sejak awal masuk kuliah tahun 2004. Pernah mementaskan beberapa naskah diantaranya: pementasan perdana naskah “Sudah” karya Bakdi Sumanto, sutradara Sarmadan pada Amuk Teater Sumut (ATSU) V thn 2005 di VIP Room Serbaguna Unimed; mementaskan naskah “BUI” karya Indra YT, sutradara Apriani Kartini di TBSU thn 2006; dramatisasi puisi “Aminah” karya Rendra pada acara Ulang Tahun Teater Generasi di TBSU; menari pada pembukaan pementasan Tunggal “Terus Mencari” Teater LKK Unimed.
Pernah menjuarai beberapa perlombaan diantaranya: juara III lomba parodi pada Pergelaran sastra program SP-4 jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia Unimed; juara harapan I lomba musikalisasi puisi Pekan Raya Sumut 2006; juara harapan III parodi dan juara harapan I lomba visualisasi puisi pada Gelegar Bulan Bahasa jur.Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed 2007; juara I lomba baca puisi tingkat remaja Desa Saentis 2006; juara harapan I lomba baca puisi pada Gebyar Seni Budaya Islam (GESBI) IV Kecamatan Percut Sei Tuan 2007.
Gemar mengikuti seminar pendidikan dan pelatihan-pelatihan penulisan dengan keinginan karyanya dimuat di surat kabar demi menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia yang baik. Saat ini sedang berproses menabung kata. Beberapa penulis yang menjadi idolanya adalah Hasan Al Banna, Raudah Jambak, Suyadi San, Syaifuddin Gani (Kendari), Indra Tranggono, Korry Layun Rampan, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Dewi Sekar.
KADO PERSELINGKUHAN
Karya : Safinatul Hasanah Harahap
Para pelaku : Iyem
Togar
Setting yang digunakan adalah ruang tamu yang cukup sederhana dengan satu bunga di atas meja dan juga terdapat perabot lain yang tidak terlalu banyak. Di bangku panjang duduklah Togar yang sedang membaca koran dengan memakai kaos oblong dan sarung. Sementara Iyem yang memakai baju tidur merah jambu datang dari kamar lalu mengusuk pundak Togar.
Iyem : Mas…
Togar : Mmm…
Iyem : Bagaimana?
Togar : Bagaimana apa?
Iyem : Janji mas?
Togar : Janji?
Iyem : Iya!
Togar : Yang mana?
Iyem : Yang itu.
Togar : (berfikir )Itu mana?
Iyem : Kado ulang tahun yang tertunda itu. Di ulang tahun saya bulan lalu, mas pernah berjanji akan memberikan kado. Mas bilang, apa saja yang saya minta akan diberi. Mas sudah tau apa kado yang saya inginkan. Mana? Sampai sekarang ndak mas penuhi (merengut)
Togar : O….
Iyem : O…? O…mas bilang?! Heh..(merengut)
Togar : E…h, kok merengut?! (merayu) Iya, aku janji akan memberikannya. Tapi tidak sekarang ya?
Iyem : Kapan?
Togar : Nanti.
Iyem : Nanti kapan?
Togar : Kalau aku sudah sanggup memberikannya.
Iyem : Tapi kapan mas sanggup? Saya ndak mau menunggu lagi. (merengut)
Togar : Tenang aja.
Iyem : (merengut) Tenang..tenang!!
Togar : Adu…h
Iyem : Kenapa mas?
Togar : Tiba-tiba kepalaku sakit.
Iyem : Lho..tunggu saya belikan obat dulu.
Togar : Tak usah, kepalaku sakit karena kilau intan kesayanganku meredup. Kilaunya tak terlihat malam ini.
Iyem : Intan?
Togar : Iya, intan. Intan itu ada disampingku saat ini.
Iyem : Mana?
Togar : Kaulah intan itu sayang.
Iyem : Gombal.
Togar : Kaulah intanku. Ayolah tersenyum. Senyum..
Iyem : Sudahlah mas, saya serius. Setiap saya menanyakan itu mas selalu bilang “Iya. Nanti kalau mas sudah sanggup”. Pokoknya saya mau kado itu diberikan dalam minggu ini. Harus!
Togar : Tapi, sa..
Iyem : (memotong) ndak ada tapi..tapi..
Togar : Ye…m
Iyem : Apa?
Togar : Untuk memenuhi peremintaanmu itu perlu waktu. Tidak secepat itu.
Iyem : Selama ini mas sudah saya beri waktu. Apa sebulan itu belum cukup mas? Saya sudah capek begini terus. Ndak ada kejelasan.
Togar : Iya, tapi yem.
Iyem : Mas memang pengecut!
Togar : Apa?
Iyem : Pengecut, pengecut, pengecut!
Togar : Yem…
Iyem : Mas memang pengecut!
Togar : Yem, aku ingatkan. Aku tidak suka dibilang pengecut.
Iyem : Itu memang kenyataan. Mas pengecut!
Togar : Diam kau!!!
Iyem : (menangis)
Togar : Maaf intanku, aku khilaf.
Iyem : Mas sudah ndak sayang lagi (menagis)
Togar : Bukan.
Iyem : Iya. Buktinya ini. Mas lebih memilih perempuan itu daripada saya. Pantas saja mas ndak mengusahakan kado itu, ternyata mas sudah mencintainya.
Togar : Bukan begitu yem..
Iyem : (menangis) Dia memang lebih muda dari saya. Lebih segar. Jadi, pantas saja mas lebih memilihnya. Aku ini kan daun yang sudah layu sedangkan dia masih hijau dan segar. Dia sering keluar masuk salon. Sedangkan saya, memijak halaman salon saja tidak pernah.
Togar : Bukan begitu yem. Aku masih mencintaimu. Aku tak bermaksud berbuat kasar padamu. Kau kan tau, aku tidak suka dibilang pengecut. Aku tak suka direndahkan.
Iyem : (menangis)
Togar : Ya sudah. Jangan nangis lagi. Aku janji akan memberikan kado itu secepatnya.
Iyem : Seandainya saja mas bisa tegas seperti Handoko.
Togar : Handoko?
Iyem : Dia bisa bersikap tegas dengan orang tuanya, meyakinkan orang tuanya, dan mempertahankan pilihannya. Akhirnya dia dan Tina pun menikah. Andai saja, dulu mas bisa seperti itu. Pasti kita akan….
Togar : (memotong) yang lalu biarlah berlalu. Tidak usah diungkit-ungkit. Pokoknya, aku janji akan memberikan kado itu secepatnya. Sekarang kamu senyum ya. Oh…atau begini (Mengambil buku dan meletakkan di atas kepala) SAYA BERSUMPAH AKAN MEMBERIKAN KADO ULANG TAHUN IYEM YANG TERTUNDA SECEPATNYA!
Iyem : (tersenyum) Mas ini, seperti anggota dewan yang lagi sumpah jabatan saja.
Togar : Nah..Kalau dari tadi senyum begitu kan kelihatan cantik.
Iyem : Gombal.
Togar : Aduh, jadi malu. Mas ketauan lagi menggombal. Kamu kan memang tidak cantik.
Iyem : Tu kan!
Togar : (tersenyum) Aku kan belum siap ngomong. Maksudku, kamu tidak cantik. Tapi sangat cantik dan manis.
Iyem : Gombal.
Togar : Iya benar. Kamu memang sangat cantik dibalut baju merah jambu ini.
Iyem : Gombal.
Togar : Ye…m.
Iyem : Mmmm…
Togar : Mmmm… Ye….m. Kita kekamar yuk. Aku sudah tidak tahan. Kan sudah lama kita tidak ketemu.
Iyem : Pantas tadi ngegombal, ternyata ada maunya. Ndak mau ah.
Togar : Kamu tega melihat mas keringat dingin begini. Ayolah Yem, aku tak tahan lagi.
Iyem : Mmmm….
Togar : Ayolah Yem, aku sudah beli rasa kesukaanmu. Pisang.
Iyem : (tersenyum manja)
Mereka berdua pergi ke kamar dan dibalik siluet terlihat apa yang akan mereka lakukan. Tapi tiba-tiba telpon berdering
Iyem : Mas…telpon berdering.
Togar : Biar aja
Iyem : Angkat dulu. Nanti penting.
Togar : Biar aja
Iyem : Angkat dulu mas.
Togar : (keluar kamar sambil merengut) Mengganggu. Malam-malam begini menelepon. Halo (membentak). Eh mama, ada apa ma?...Apa? Lagi di jalan? Ha..? 5 menit lagi sampai rumah?! Kok tiba-tiba? Oh…tidak apa-apa ma. Yem…Yem....
Iyem : Ada apa mas?
Togar : Istriku pulang malam ini. (ke kamar)
Iyem : Bagus.
Togar : Apa?
Iyem : Biar dia melihat aku ada di rumahmu.
Togar : Adu…h, kau harus pulang Yem.
Iyem : Ndak. Pokoknya, malam ini semua harus terbongkar. Ini kesempatan supaya mas memberikan aku kado itu secepatnya.
Togar : Jangan sekarang Yem.
Iyem : Ndak. Pokoknya aku ndak mau pulang. Aku mau mas menepati janji mas secepatnya. Aku mau kado itu secepatnya. Aku mau perceraian kalian secepatnya. Dan ini kesempatan emas mas. Coba dulu mas berani menentang orang tua mas untuk ndak dinikahkan dengan pariban mas itu. Pasti ndak akan seperti ini.
Togar : Ye….m
Iyem : Ndak!
Togar : Ye..m
Iyem : Pokoknya ndak. Saya akan tetap di sini sampai istri mas pulang.
Togar : Iyem kau harus pulang. Aku janji akan memenuhi janjiku secepatnya.
Iyem : Ndak! Aku mau di sini.
Togar : Adu….h, Ye..m (sambil mondar mandir dan bingung)
Tiba-tiba suara klekson berbunyi dan terdengar suara salam dari luar. Suara salam yang diucapkan istri togar yang sah Lalu Togar pun panik..
TAMAT
BIODATA SAFINATUL HASANAH HARAHAP
BIODATA
Safinatul Hasanah Harahap lahir di Medan, 12 Januari 1986. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia stambuk 2004 di Universitas Negeri Medan.
Pernah mementaskan beberapa naskah diantaranya: pementasan perdana naskah “Tanpa Pembantu” kemudian disusul dengan naskah “Di Ujung Malam Episode Nenek” karya Aprion dan “BUI” karya Indra YT. Selain itu juga pernah mengisi acara dalam bentuk pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan dramatisasi puisi di kampus Univrsitas Negeri Medan maupun di luar Kampus Universitas Negeri Medan. Dan juga pernah menari pada pembukaan pementasan Tunggal “Terus Mencari” Teater LKK Unimed.
Pernah menjuarai beberapa perlombaan diantaranya: juara III lomba parodi di Pekan Raya Sumatera Utara tahun 2006; juara harapan III parodi dan juara harapan I lomba visualisasi puisi pada Gelegar Bulan Bahasa jur.Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed 2007.
No comments:
Post a Comment