Friday, 23 May 2008

Agenda Temu Sastrawan

Jambi, Tuan Rumah
Temu Sastrawan Indonesia 2008



Provinsi Jambi mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah pelaksana Temu Sastrawan Indonesia Pertama pada 7-11 Juli 2008. Kegiatan itu juga dikaitkan sebagai salah satu program menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Indonesia/Visit Indonesia Year (VIY) 2008 dan Visit Jambi Year (VJY 2009).
Ketua Umum Panitia Pelaksana Temu Sastrawan Indonesia, Mualimah Radhiana, seperti dikutip Antara di Jambi, Jumat lalu mengatakan, temu sastrawan Indonesia 2008 merupakan kegiatan yang amat penting bagi para sastrawan dalam rangka mengagendakan Kongres Sastrawan untuk membentuk forum bersama dengan melibatkan ekologi sastra (sastrawan, kritikus, media, dan penerbit) guna mencapai estetik sastra Indonesia.
Selain itu, akan dilaksanakan pula workshop penulisan esai/kritik sastra serta panggung apresiasi dan wisata budaya ke situs Candi Muarojambi, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, penerbitan buku antologi, dan pameran/bazar.
Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi nantinya akan mengambil tema "Kemandirian, Kebersamaan, dan Keharmonisan". "Tema itu penting agar para sastrawan Indonesia bersama ekologi sastra Indonesia memiliki kekuatan dan mampu memberi solusi mengenai tidak sehatnya ekologi sastra Indonesia saat ini," kata Mualimah yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi itu.
Sementara itu, sastrawan Jambi Dr Sudaryono MPd yang juga ketua panitia pelaksana Temu Sastra Indonesia mengatakan, dasar pemikiran pertemuan sastrawan Indonesia di Jambi karena saat ini telah terjadi krisis multidimensi seperti politik dan budaya, termasuk sastra Indonesia.
Ekologi sastra Indonesia kini kian memudar, tidak seperti dulu yang banyak menghasilkan karya sastra seperti syair, cerpen, novel, dan skenario cerita film yang berbobot.
"Kritikan sastrawan terkemuka Indonesia masa dulu, seperti Chairil Anwar dan HB Jassin, kini jarang ditemukan, atau bahkan hanya sebatas cerpen," ujar Sudaryono seraya mengingatkan bahwa pada satu hingga dua dasawarsa silam, HB Jassin dengan kritik sastranya, "Kerakap di Atas Batu, Hidup Enggan Mati Tak Mau", berhasil membuat sastra Indonesia tumbuh harmonis.
Kongres sastra Indonesia di Jambi akan menampilkan 10 sastrawan Indonesia, yaitu Dr Katrin Bandel, Prof Dr Suminto A Sayuti, Todung Mulya Lubis, Prof Dr Abdul Bari AZ SH, Nirwan Dewanto, Pamusuk Eneste, dan Ahmadun Y Herfenda. Kemudian Acep Zam-zam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwy, Eddy Utama, Dr Haris Effendi Thaher, Prof Dr Hasanuddin WS, Dr Maizar Karim MHum, Korrie Layun Rampan, dan Prof Dr Sunaryono Basuki. (Ami Herman)




Agenda Temu Sastrawan
Indonesia 2008 di Jambi
Oleh: Sudaryono


Sabtu, 17 Nopember 2007
Ada beberapa agenda penting yang perlu kita perhatikan terkait Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2008 di Jambi. Agenda itu secara fundamental berkaitan dengan beberapa persoalan yang mendesak dicarikan solusinya. Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran sebagai ekologi yang tidak sehat. Artinya, masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) terkesan berjalan sendiri-sendiri dan terpisah oleh adanya jurang yang membatasi kebersamaan dan saling pengertian.
Bahkan, 'bentrok' dan perselisihan paham di antara mereka melahirkan kegelisahan tersendiri. Ingatlah perseteruan antarkomunitas sastra akhir-akhir ini, polemik yang melibatkan media massa, langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra, dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra. Tidak sehatnya ekologi sastra Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang harus dijadikan wacana penting dalam mengurus rumah tangga sastra Indonesia mutakhir.
Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat, sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra arus bawah dan seterusnya dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya. Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan.
TSI 2008 mewadahi dan menyediakan fasilitas untuk membangun rumah tangga sastra Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan sehingga tercipta ekologi sastra Indonesia yang kondusif.
Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra dan diangkat di atas panggung wacana dalam iklim yang demokratis. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan ("Bhineka Tunggal Ika"). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi. Dengan tampilnya identitas lokal yang beragam maka sastra Indonesia mutakhir akan memberikan tawaran-tawaran tematis dan capaian estetis yang menyemarakkan denyut kehidupan sastra Indonesia. Identitas keindonesiaan dapat dibangun berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia.
Selain keberagaman, anggota rumah tangga sastra Indonesia (sastrawan, kritikus, media, dan masyarakat) masing-masing perlu memiliki kedinamisan yang mandiri. Kedinamisan dan kemandirian ini memiliki arti penting ketika, misalnya, ada sebagian sastrawan yang 'ditelikung', diintimidasi, dikekang kebebasan kreatifnya, dipinggirkan oleh pihak-pihak lain (pemerintah, pimpinan redaktur koran, organisasi tertentu, pemilik media) memiliki kekuatan advokasi dan pembelaan secara adil dan berimbang. Kedinamisan dan kemandirian anggota rumah tangga sastra Indonesia akan memberikan iklim kondusif kedinamisan kehidupan sastra secara demokratis dan jauh dari sikap-sikap otoriter yang kelewat batas.
Muncul gagasan, mungkin para sastrawan bersatu dalam suatu wadah seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Aliansi Jurnalistik Independent (AJI), Ikatan Keluarga Pengarang Indonesia (IKAPI) yang memiliki keharmonisan? Dengan keharmonisan dimungkinkan sastrawan Indonesia memiliki bargaining power dan bargaining position yang lebih baik. Mungkin para sastrawan perlu melakukan kongres untuk membicarakan "wadah" dan sekaligus menuntaskan ketidakharmonisan. Dalam kaitan ini, melalui temu sastrawan Indonesia yang dihadiri oleh para pelaku sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) minimal dapat disepakati perlunya agenda forum sastrawan secara kontinyu.
Ekologi sastra tidak sehat, antara lain disebabkan tidak berfungsinya kritik sastra. Realitas menunjukan bahwa kuantitas penerbitan karya sastra tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra hadir dalam bentuk catatan pengantar atau catatan penutup sebuah buku sastra. Sepeninggal H.B. Jassin kinerja kritik sastra belum menampilkan hasil maksimal. Dalam hubungannya dengan minimnya kritikus sastra, dipandang perlu melaksanakan whorkshop penulisan esai/kritik sastra yang diikuti penulis muda berbakat, guru, mahasiswa yang telah biasa menulis di media massa.
Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra perlu dijembatani melalui Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazzar. Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazzar dapat menampilkan atraksi keberagaman, kemandirian, kedinamisan dan keharmonisan sastra Indonesia dalam paket performance.
Dalam garis besarnya agenda Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi direncanakan sebagai berikut:
(1) Kongres Sastrawan: membicarakan (a) kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama (sastrawan, kritikus, media, penerbit, apresiator); (b) pemetaan capaian estetik sastra Indonesia, (c) keberagaman genre, gaya ungkap, dan kreativitas, dan (d) regenerasi sastrawan. Peserta kongres: Sastrawan (3 generasi), Kritikus, media massa, penerbit, dan undangan khusus. Kongres ini direncanakan 2 hari.
(2) Workshop penulisan esai/kritik sastra: memfasilitasi para penulis muda berbakat, guru sastra, dan mahasiswa untuk mampu menulis kritik/esai sastra. Peserta berkisar 20-30 orang. Waktu whorshop di hari ketiga.
(3) Panggung Apresiasi: menampilkan sastrawan undangan khusus (penyair dan cerpenis Indonesia terpilih), menampilkan keberagaman seni di setiap kota/kabupaten dalam provinsi Jambi, dan sanggar-sanggar seni di kota jambi. Selain itu, memberi ruang bagi olah kreativitas sastrawan kota lain (Padang, Riau, dll) yang dibatasi jumlahnya. Panggung Apresiasi ini digelar selama tiga hari di tempat yang representatif.
(4) Wisata Budaya: wisata budaya ini dimaksudkan untuk memberikan sajian keberagaman yang dimiliki Provinsi Jambi kepada peserta. Mereka misalnya diajak ke situs Candi Muaro Jambi, Pusat batik/kerajinan, kawasan batanghari, Museum, Monumen, dsb. Waktu wisata budaya disesuaikan situasi.
(5) Penerbitan Buku Antologi: menerbitkan 2 buku, yakni: (1) Puisi, cerpen, dan esai sastrawan Indonesia yang dipilih berdasarkan seleksi dan (2) buku puisi sastrawan muda Sumatera. Buku-buku ini dijadikan cenderamata bagi seluruh peserta Temu Sastrawan Indonesia.
(6)Pameran dan Bazaar. Pameran dan bazaar ini dimaksudkan untuk menampilkan keberagaman karya sastra di dukung oleh penerbit-penerbit buku di Indonesia.
Pelaksana Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi dan didukung oleh Pemerintas Daerah, dan instansi terkait lainnya yang dalam pelaksanaannya dibentuk panitia (berasal dari komunitas sastrawan/ seniman/budayawan/akademisi).
Pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia direncanakan selama 3 (tiga) hari pada minggu pertama Juli 2008. Temu Sastrawan Indonesia 2008 bertema "KEBERAGAMAN, KEDINAMISAN, DAN KEHARMONISAN EKOLOGI SASTRA INDONESIA".dengan sub-sub tema berikut:
1)Membangun rumah tangga sastra Indonesia yang mandiri dan harmonis dalam satu forum bersama sastrawan Indonesia;
2)Sastra, sastrawan, dan keberagaman dalam ekspresi dan apresiasi;
3)Regenerasi sastrawan;
4)Menata hubungan sinergis antara sastrawan, kritikus, media massa, penerbit, dan masyarakat. ***

No comments: