Saja-sajak Akidah Gauzillah
( )
TANAHKU SEPI
tanahku sepi, menjangkau angin
di langit berlayar. telah habis serpihan
waktuku berpaling. namun segalanya
hanya mengarungi sia di medan senja
bayang-bayang tak mau pergi, melengkung
siluet. lagu-laguku berkaca di sana
tak peduli bulan menutupi malam
sepi yang sia-sia, merambahi malam
hingga aku pun tidur di pangkuan yang
kosong dan tertawa lagi dalam mimpi
berjalan dari langit ke langit
November 05, 2005
KEINGKARAN
terlalu banyak janji tak bisa ditunaikan
terlalu banyak harapan terhamparkan
daun-daun berserakan tak tersapu
dan angin pun pergi entah ke mana
yang berdiri di sini hanya panorama
kediaman
November 05, 2005
KEPADA JO
jangan menangis, jangan
walau air mataku telah berlari
menuju karang laut
tapi hatimu
biarlah menjadi gurun tak berbasah
menunggu hujan di taman kaktus
dan buah-buah berguguran di musimnya
esok akan ada yang datang
menghampirimu kala kau berbaring
tetapi bukan air mataku
November 05, 2005
PERJALANAN
deru kereta itu menungguku
padahal napasku telah berakhir
di ujung jalan, seberang danau
sebelum mencapainya
hidup seperti teh pahit, saat kau
mereguknya perlahan-lahan
dan biarkan tenggorokanmu bernyanyi
menarikan puisi dahaga
yang kau rindukan pada hijau
danau itu
segalanya terus berawal dan berawal
menjemput kematian semusim semi
tak terkira kita akan mengemasnya
sebelum malam tiba
aku tak tahu lagi kebebasan
yang mengepak burung-burung
bersarang di dada ini
meninggalkan gerbong-gerbong
yang terus berkejaran
mencari sepotong pintu hati
di keping jiwa
November 05, 2005
DEPRESI ANAK NEGERI
Aku kehilangan kata
untuk menggoreskan luka jiwa
yang biasanya menjadi grafik keresahan
Termenung di putaran waktu
apakah ada sedikit guna
merangkaki kebimbangan melewati musim-musim
dengan sekian ton dilema yang membusuk
sedang asa terus meradang
buta waktu pagi, siang, sore, dan malam
hanya terpaan panas matahari dirasa
hanya gemerlap bintang terdengar
dari pekik norak bocah-bocah
kampung abad ini
Depresi ini merampas kekayaan
tak bernilai sejak terpeti di nurani keluguan
hingga terpikul oleh ambisi kemudaan
lalu terguncang badai dunia yang disambut
meriah kanibal-kanibal globalisasi
aku tercincang di meja judi mereka
sebab aku bukan siapa-siapa
cuma seorang anak negeri yang suka
berteriak kemalu-maluan:
"Ibu Pertiwi, dalam setiap desah nafasku
terhembus kekayaan cita-cita dan energi
semangat anak bangsa
walau di telapak tangan ini hanya terlihat
selembar lima ribuan hasil menjual koran
untuk membayar SPP."
LAGU
kamar mayat ini,
aku berbaring di kehidupan,
jauh memandang lukisan
kosong, tak mengalun warna-warna
seperti Jamal D Rahman bernyanyi
pada piring-piring
dan aku membisikkan kenangan
tentang laki-laki kota
yang menciptakan not-not jiwa
di garis-garis bermediasi
atas nama fenomena
jalan cinta tak sebatas ruang yang
tertutup keabadian tahta sang derita
menunggu Hitler mengulurkan pedang
ke leher kekasih
dan aku tersenyum damai merentangkan tangan
bernyanyi, "oh, sayang, oh, sayang."
lalu terkuburlah di sini, pada nisan-nisan
kejiwaan yang terlepas dari analisa
riset dokter-dokter jiwa
menghembuskan napasku pada derita
yang tertawa di jendela pagi
dan tangis yang mengulum-ngulum senyum
di tepian malam, melayang-layang
antara Cikini dan kota-kota tua
kubuang hamparan puisi sepanjang jalan
merayapi merpati putih hingga ruh-ruh ini
menggelepar pada nyanyian
yang membungkus kenangan
satu ketenangan harapan
tak terbagi-bagi di antara kesadaran
luka yang neurosis
mendesis-desis
dan aku pun berakhir
sebagai lagu diri
Akidah Gauzillah dikenal sebagai cerpenis dan penyair yang sangat berbakat. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra pusat dan daerah, seperti Media Indonesia, Republika, Kompas, dan Majalah Sastra Horison. Sajak-sajaknya juga terkumpul dalam buku seri antologi puisi Surat Putih (Risalah Badai, 2001/2002), antologi cerpen Sastra Senja (Dewan Kesenian Jakarta, 2004), antologi cerpen Mencintaimu (Logung Pustaka, 2004), kumpulan cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara (Pusat Bahasa, 2005), kumpulan cerpen tunggal Bila Bintang Terpetik (Beranda Hikmah, 2004), dan Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia/ (Risalah Badai, 2005).
GEMA::Kesadaran
Akidah Gauzillah
Halaman sebelumnyaLalu, di manakah peran Tuhan? Siapa sebenarnya yang membutuhkan atau dibutuhkan? Jika kejahatan dan kebaikan memang salah satu pasangan alamiah sepanjang keabadian atau kebahagiaan dan penderitaan memang tak pernah bisa tersisih salah satu untuk selamanya, apakah demikian pula tiada bedanya hidup dengan Tuhan atau tanpa Tuhan? Jadi apa yang diributkan orang-orang beragama tentang definisi kebenaran dan paling benar? Tidakkah segalanya hanya akan kembali pada satu muara: kebutuhan hidup yang diakui?
Seorang penyair yang juga kawan saya, Binhad Nurrohmat, suatu sore dalam percakapan biasa, mempertanyakan, mengapa Tuhan itu ada? Sebenarnya, jika kita jujur, sejak kecil pun pertanyaan itu telah bermain di alam pikiran kita, tetapi kita senantiasa terjebak pada perasaan Malin Kundang bila membiarkannya hidup dan berkembang seperti halnya fisik kita. Kita mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manis itu di buku-buku, di klab-klab studi, bahkan hingga ke perguruan tinggi tetapi kita cenderung lupa membuka kesadaran kita sendiri; apakah kita yakin secara sadar untuk memilih apakah Dia ada dalam hidup kita atau kita menciptakannya untuk ada? Dan jika, kesadaran kita menolaknya, yakinkah kita bahwa stabilitas mental kita akan terjaga dengan pilihan itu?
We have no choice, if no choose to choice.
Sanggar Hati, Maret 2005
Akidah Gauzillah. Lahir di Cibubur, Jakarta Timur, 20 Desember 1977. Selama ini menulis karya sastra di Horison, Media Indonesia, Syir’ah, Muslimah, Cakrawala, Puteri, dan aktif di media diskusi mejabudaya, Taman Ismail Marzuki. Buku-buku yang telah terbit antara lain antologi puisi komunal perempuan penyair SURAT PUTIH I dan II (Risalah Badai, 2001/2002), antologi cerpen Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003), antologi cerpen Indonesia Mencintaimu (Logung Pustaka, 2004), antologi cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara (Pusat Bahasa, 2005) dan kumpulan cerpen tunggal Bila Bintang Terpetik (Beranda Hikmah, 2004).
No comments:
Post a Comment