Maha Ada di Suka Duka Jiwa
Cerpen: M. Yunus Rangkuti
Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali. Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka. Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa justru melupa di saat Suka telah kembali berada. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?” Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?”
“Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.”
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi tanya.
“Duka, bantulah daku menemukan Suka.”
“Bukankah seluruh yang berada di sekitarmu adalah Suka?”
“Daku menginginkan Suka dalam sebentuk penuh pesona.”
“Berupayalah Jiwa.”
“Upaya bagaimana daku lakukan? Daku merasa sebegitu hampa.”
“Selalulah mengingat pada Maha.”
“Bagaimana caranya?”
“Bersamaku kau kan selalu mengingat.”
Jiwa pun berjalan bersama Duka. Melangkah menyusuri sungai, menempuh rimba belantara, mendaki perbukitan, dan menuruni lembah. Berhari, berbulan, bahkan bertahun. Lalu pada satu waktu di satu tempat datar meluas, Jiwa akhirnya bersua Suka yang pernah mempesonanya. Jiwa dan Suka kembali bersatu.
***
Waktu terus berlalu. Jiwa bertebaran di mana-mana. Saling berlomba memperebutkan Suka. Sesama Jiwa bertikai, berperang, dan saling bunuh untuk mendapatkan Suka Demi Suka Jiwa kembali melupa Maha. Berkali Maha menegur Jiwa melalui Duka, namun hanya sesaat Jiwa mengingat Maha.
Jiwa merasa telah memiliki Suka sepenuhnya. Jiwa justru menganggap telah mencipta Suka. Untuk itu Jiwa berhak sepenuhnya akan keberadaan Suka. Jiwa telah melupakan perjanjiannya di hadapan Maha.
Jiwa kecewa, ketika Maha mengambil sebagian atau sepenuh Suka darinya. Ketika Maha menebar Duka, Jiwa merasa teraniaya. Jiwa tak bias menerima. Bagi Jiwa Duka hanyalah fenomena biasa yang segera sirna. Ketika Duka berkepanjangan, Jiwa berkeluh resah. Jiwa tak bisa menerima. Jiwa protes, mempertanyakan Maha:
Maha,
Duka ini milikmu
Mengapa daku harus merasa?
Maha tak lagi langsung berkata mengingatkan Jiwa. Maha tak lagi menegur lewat kata-kata. Sejak awal Maha telah memperingatkan Jiwa. Bagi Maha segelintir Jiwa yang mengingat, adalah lebih utama. Merekalah Jiwa-Jiwa mulia. Jiwa-Jiwa yang kelak berhak menikmati Suka sepenuhnya.
Ingatlah Jiwa,
Ketika Duka engkau rasa
Sesungguhnya aku menyapa
Mengapa engkau melupa?
Maha tetap mempertahankan Duka pada Jiwa. Melalui Duka, Maha memperingatkan Jiwa yang berlomba memperebut Suka. Bermanja atau justru membanggakan Suka. Entah mengapa, berjuta Jiwa tak juga bisa menerima akan Duka. Di kala Suka Jiwa melupa Maha, di kala Duka Jiwa mempertanyakan Maha.
“Maha, Maha! Mengapa Duka selalu mendera?”
Jiwa selalu merasa Duka jadi penyebab terengutnya Suka. Di kala Duka kian terasa, Jiwa-Jiwa berlomba enyahkan Duka. Seakan Duka tiada dan tak perlu ada. Bukannya memakna, mengapa tercipta Duka. Mengapa Maha Hadirkan Duka?
Satu waktu jiwa kembali bertanya pada Maha:
Di mana engkau
Rupa tiada*
Jiwa sebenarnya tak merindu Maha. Jiwa tak bisa menerima kehilangan Suka. Entah kenapa, Jiwa sebegitu mudah melupa atau tak menerima bahwa Maha adalah segalanya. Maha berada di mana saja. Pada Suka maupun Duka. Maha ada di Suka Duka Jiwa.
Medan, 0508
* dari Padamu Jua, Amir Hamzah
M. Yunus Rangkuti, lahir di Medan 21 Maret 1966. Cerpen-cerpennya dimuat di Surat kabar Analisa, Mimbar Umum, Global, Bisnis Indonesia dan Mingguan Swadesi. Bergiat di Forum Kreasi Sastra (FKS) Medan.
No comments:
Post a Comment