Tuesday 15 April 2008

NOVEL Hidayat Banjar : Penjaga Mata Air

Bab Satu

Taman Sorga

Tak terlihat air condition (AC) di ruangan maha besar, luas dan megah itu, tetapi suasana demikian sejuk dan nyaman. Pepohonan berdaun lebat, di tengah ruangan mengalir sungai berair jernih. Dari pohon-pohon di pinggir sungai menetes butiran-butiran embun bagai kristal putih-putih ke dalam sungai. Lelaki berjongkok dan mencelupkan tangannya ke dalam sungai, lalu dicicip air sungai dari tangan kanannya. Ah... nikmatnya, air bening itu membawa rasa yang sama sekali tak dikenalnya. Serasa susu, anggur, manisan, entah apalagi, ia tak tahu. Yang ia tahu dan rasakan hanya rasa nikmat.
Tempat tersebut sama sekali tak dikenalnya: serba indah dan gemerlap, wewangian yang sangat menggairahkan, wanita-wanita cantik, pelayan-pelayan yang ramah tamah, siap menerima apa saja keinginan tamu. “Apakah aku tamu di sini hingga mereka wajib melayaniku. Tempat apa ini?” bisik Valent di dalam hatinya. Pepohonan dan sungai semua berada di dalam ruangan besar, indah, megah dan agung. Bukan lukisan, tetapi sebenar-benar pohon, sebenar-benar sungai, sebenar-benar wanita molek.
Entah siapa yang membawanya, tiba-tiba saja ia sudah berada di tempat tersebut. Rasa kaku, salah tingkah, dan berbagai ragam perasaan imperioritas lainnya menggayuti benaknya.
Ditatapnya lurus meja perhelatan yang memanjang di pinggiran sungai di bawah pohon, penuh berisi berbagai makanan lezat dengan aroma membangkitkan selera siapa saja. Bahkan ada pula makanan yang tak pernah sama sekali dilihatnya apalagi merasakannya. Berbagai minuman, anggur memabukkan dari berbagai merek terkenal dan jenis yang ada di dunia, bahkan yang sama sekali tak pernah dikenalnya – baik dalam mimpi sekalipun – ada di meja tersebut.
Wanita-wanita cantik, yang dari penampilannya mudah diduga adalah perawan ting-ting dengan senyum manis menyambut dan mengajaknya berdiri dari jongkok di pinggir sungai. Si wanita mempersilakannya duduk. “Ayo Bang Valent,” ini semua memang disajikan buat Abang, bahkan diri kami. Valent tak menyahut, ia masih disergap keanehan. “Apakah aku sedang bermimpi?” bisik hatinya lagi.
Ruang serba mewah, lampu gemerlap, pernik-pernik hiasan, ornamen di dinding ruang, jalusi di bagian atas dinding, sama sekali tak pernah dilihat, tak dikenalnya. Dicubit kulitnya, terasa sakit. “Ah aku tidak sedang bermimpi. Tetapi, seorang pun dari para penyambut – wanita-wanita, ah tidak, mereka adalah para bidadari yang sangat menawan – dan hadirin di situ tidak dikenalnya. “Di manakah aku?” tanyanya lagi di dalam hati.
Valent tentu saja merasa aneh dengan kegemarlapan ini. Selama hidup, ia sangat bersahaja dan low profile. Begitu pula, kondisi kantornya tak mencerminkan kemegahan serta kemewahan sedikit pun. Sangat berbeda jauh dengan ruang tempat ia berada kini.
Ia dilahirkan di sebuah desa yang belakangan berubah jadi kota. Masa kanak dijalaninya bersama orang-orang desa yang sederhana. Begitu juga semasa SD (sekolah dasar), ia sempat menjalani hidup di panti asuhan. Itu pulalah sebabnya, Valent sangat dekat dengan kehidupan orang-orang desa dan rakyat kebanyakan. Ini bukan berarti ia tak punya akses kepada pejabat.
Dalam ketakmengertian, cahaya kuning keemasan muncul dari jalusi bagian utara ruangan setentang dengan penglihatannya. Spontan gadis-gadis muda melihat ke sana, para hadirin pun menyaksikan dengan seksama.
“Selamat datang di negeri kami Saudara Valent,” terdengar suara dari cahaya kuning keemasan itu yang perlahan-lahan mewujud lelaki ganteng berbadan kuda dengan sayap di kiri kanannya. Valent tak juga menjawab, ia masih setengah berdiri dan tak percaya dengan kondisi yang ada di hadapannya. “Sedang berada di manakah aku?” tanyanya lagi di dalam hati.
Tiba-tiba lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya tersenyum dan kemudian tertawa renyah. “Saudara Valent, kini Anda berhak menjadi warga negeri kami,” katanya.
Valent masih diam. Pikirannya bermain, negeri apakah ini, jika dilihat dari hedangan di atas meja, melukiskan suatu keadaan yang sangat wah. Tamu-tamu yang hadir memperlihatkan bahwa mereka adalah kaum bangsawan atau petinggi negara, pengusaha dan sejenisnya. Seumur-umur, baru kali ini ia menghadapi perhelatan dengan kemewahan yang tiada tara tersebut.
“Orang-orang mengatakan negeri kami ini adalah sorga,” kata lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya.
“Demikian mudahkah masuk sorga,” spontan kata-kata tersebut terlontar dari bibir Valent yang kemudian dipersilakan duduk oleh bidadari-bidadari.
“Ya, sangat mudah. Tapi kebanyakan manusia justru memilih jalan ke neraka meskipun dengan bersulit-sulit. Tidakkah Anda pernah membaca riwayat seorang pelacur masuk sorga hanya karena memberi minum seekor anjing yang akan mati karena kehausan?” Valent terdiam, ia menimbang-nimbang antara perbuatan dosa dan pahala yang pernah diperbuatnya. Rasanya tak pantas ia menerima kemahabaikan Tuhan yang memasukkannya ke sorga tanpa perhitungan antara amal kebaikan dan kejahatan.
“Siapa Anda?” tanya Valent.
“Aku adalah malaikat penghitung amal kebaikan dan kejahatan,” jawab lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya. Hadirin dan para bidadari tersenyum manis.
“Apa pantas aku berada di sini, bersama orang-orang suci, orang-orang tak bedosa?”
“Yang hadir di negeri ini tidak hanya orang-orang suci dan tak berdosa, juga orang-orang yang menyadari hakikat kebenaran yang termanifestasi dalam tindakan keseharian berisi kasih sayang.
Seperti kau dan pendahulu-pendahulu selalu berkata bahwa akhirnya yang benar juga yang menang. Benar sekali. Tapi orang-orang peragu akan bertanya: kapan? Lalu kalian menjawab kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar,” ungkap lelaki yang menyebut dirinya malaikat. Para hadirin di perhelatan itu manggut-manggut.
“Nah, kembali kepada riwayat pelacur masuk sorga, apakah sebanding perbuatannya yang setiap hari berzina – sebelum timbul niat bertobat – dengan hanya memberi minum seekor anjing, binatang yang suka menjilat? Tidak! tidak akan sebanding. Tetapi kasih sayangnya yang begitu besar, yang begitu tulus, sehingga seekor anjing pun ia tak tega teraniaya, mati dalam keadaan kehausan. Lalu ditimbanya air dari sumur yang ditemukannya di dalam perjalanan menuju tempat pertobatan. Kemudian, air sumur tersebut diberikannya kepada si anjing sehingga lepas dari maut karena keahausan.
Anda adalah salah seorang dari sekian banyak orang yang mau menjaga mata aitr kehidupan. Setiap hari jiwa raga, Anda serahkan kepada dunia pendidikan dan perbaikan lingkungan. Sebagai dokter kesehatan Anda sebenarnya dapat hidup bermewah-mewah, tetapi hal itu tidak Anda lakoni. Justru Anda memilih hidup sebagai guru yang memberikan mata air pengetahuan kepada generasi penerus bangsa.”
Seiring dengan itu, jari telunjuk lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya diarahkan ke dinding di sebelah selatan, di mana posisi Valent berada. Dari jari telunjuk itu memancar cahaya yang kemudian sampai di dinding terlihatlah gambar kehidupan Valent keseharian. Jari telunjuk kanan lelaki ganteng dengan tubuh kuda tersebut berfungsi seperti infokus. Valent mundur dan mengambil posisi agar dapat melihat film dirinya diputar pada acara perhelatan tersebut.
Terlihat suasana kantornya yang sangat sederhana. “Nah, Anda sebenarnya dapat hidup bermewah-mewah dan mempraktikkan hedonisme, tetapi tidak Anda lakukan. Justru uang yang Anda miliki dari kerja keras mendidik anak-anak agar terbebas dari kobodohan, Anda manfaatkan untuk perbaikan lingkungan,” lanjut lelaki yang mengaku malaikat.
Ditampilkan pula bagaimana perjuangan Valent bersama rakyat wilayah gunung dan aparat menghentikan pencurian kayu. Mereka tangkap tukang sinso, tukang tebang kayu. Namun dalang intelektualnya tak juga dapat ditangkap, tukang sinsolah yang divonis bersalah dan harus menjalani hukuman penjara. Dan Valent merasa berkewajiban menafkahi tukang sinso dan keluarganya selama di dalam penjara.
Uniknya ketika akan menghadap bupati wilayah gunung untuk minta pertangungjawaban atas kerusakan hutan di wilayah itu, justru dirinya ditodong oleh Sudarto – pengusaha kayu –dengan senjata api di perut kanan. Perkara penodongan itu, kemudian menghiasi halaman surat-surat kabar di daerahnya. Uniknya lagi, ketika masalah tersebut sampai ke persidangan, putusan pengadilan bebas untuk Valent dan bebas pula untuk Sudarto yang menodong.
“Semetinya, jika Anda memang tak terbukti ditodong, tentu Sudarto yang bebas, Anda menerima hukuman karena telah mencemarkan nama baiknya. Begitu pula sebaliknya, jika Anda tak terbukti ditodong, tentu Sudarto harus merasakan hukuman, sedangkan Anda bebas. Tetapi karena sang hakim telah berkonspirasi dengan pejabat daerah yang ikut bermain kayu sama para maling, maka ia buatlah vonis aneh tersebut.
Orang-orang seperti sang hakim, pencuri kayu, pejabat yang tak peduli terhadap lingkungannya, jangankan masuk ke negeri kita ini, mecium aromanya saja pun tidak. Mereka-mereka, hanya pantas jadi penghuni kerak neraka,” tandasnya.
Film kemudian di putar ke arah banjir dan longsor akibat rusaknya lingkungan. Terlihat mayat-mayat berjejer, rumah-rumah porak-poranda dan kekacauan lainnya.
“Lihatlah, mereka – para pencuri kayu – ikut pula membantu korban. Bukankah ini sebuah kamuflase, kemunafikan? Sementara, begitu banjir-banjir, longsor-longsor dan lainnya menerpa ibu pertiwi, justru orang-orang seperti Anda yang diteror oknum petugas dengan cara mengikut-ikuti ke mana pergi, mobil ditabrak dari belakang, pegawainya dipengaruhi agar merusak sistem kerja, jika tak mau ditakut-takuti, diancam dan kemudian saat naik sepeda motor ditabrak oleh oknum, lokasi bimbingan belajar Anda dikepung oknum petugas.
Lalu ketika diadukan pengepungan itu, petugas tempat Anda mengadu tak mempercayai. Malah ketika organisasi guru mempertanyakan secara resmi tentang kasus pengepungan itu, juga tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Tidak sampai di situ, seorang petugas dengan sengaja menjebak salah seorang manajer bimbingan yang Anda kelola agar mecantumkan logo institusi keamanan di borosur mereka, kemudian dikasuskan dengan dakwaan memakai logo tanpa izin. Perbuatan-perbuatan naif demikianlah yang mengantarkan mereka ke neraka, petugas yang seharusnya mengayomi dan melindungi justru berbuat keji,” tekannya.
***
Pagi menjelang siang itu, Valent diundang oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) untuk menjadi salah soerang narasumber membicarakan strategi gerakan anti pencurian kayu. Ia memang menyetir sendiri mobilnya. Jarang sekali ia memakai supir, kalau tak terpaksa atau pergi ke luar kota. Di sampingnya Hiban AS, yang selama ini kerap ikut dalam gerakan adovokasi hutan.
Sampai di simpang kampus, ketika akan membelok ke kanan, sedikitnya ada lima mobil mengikuti mereka. Di gerbang kampus, mobil yang dikendarai Valent mulai dipepet. Hiban memberi sinyal pada Valent agar hati-hati. Lelaki berkacamata itu mengangguk. “Tenang saja Bang, ini bukan lagi penguntitan, melainkan intimidasi,” tukasnya.
Tiba-tiba sebuah mobil Atoz menyalip dari kiri dan tak mempedulikan gundukan (polisi tidur) yang membentang di ruas jalan. Begitu sampai di depan mobil Valent, Atoz berhenti secara mendadak. Tentu saja Valent kewalahan, dan dengan satu kecepatan refleks, stir mobil Solunanya dibanting sekuat tenaga ke kanan. Secara dadakan dari belakang melaju cepat Kijang Inova, tercampaklah mobil Valent ke beram kanan kemudian membentur pohon sawit yang ditanam di pembatas jalan. Benturan sangat keras itu, membuat Valent dan Hiban tidak sadarkan diri.
***
“Tempat ini sangat mewah, aku belum siap menerimanya,” ungkap Valent. Para hadirin
di negeri sorga itu keheranan. Bidadari-bidadari merayunya agar mau menetap di negeri itu.
“Orang-orang seperti Abang memang berhak mendapat ini semua,” ungkap para bidadari.
“Kalau boleh memilih, aku mau kembali ke negeriku, kerja belum selesai, belum apa-apa. Orang-orang belum dapat mempertimbangkan arti emat-lima ribu nyawa yang terkapar dalam banjir dan longsor,” jawabnya dengan meminjam kalimat penyair Chairil Anwar dalam Antara Kerawang dan Bekasi.
“Sungguh sayang, Anda tak memanfaatkan kesempatan emas ini,” kata lelaki yang mengaku malaikat pula.
“Iya, ayolah bergabung bersama kami,” kata para hadirin pula. “Kehidupan di sini abadi, tak ada pertikaian, tak ada rasa sakit, rasa sepi, rasa takut, putus asa, dan lainnya. Semua hanya kenyamanan,” sambung mereka.
“Izinkan... izinkan... izinkan aku kembali ke negeriku,” jawab Valent setengah berteriak. Tim dokter dan perawat, melihat dan mendengar suara Valent tersenyum. “Masa krisisnya sudah lewat,” ungkap salah seorang dokter yang kemudian meminta rekannya memanggil orangtua dan istri Valent. Rekan-rekan yang membezuk diminta untuk tetap menunggu di luar.
Melihat tubuh Valent dibalut perban, Ibu, istri, dan anak perempuanya sesenggukan.
“Nakku, kenapalah kau memilih jalan berliku,” kata si Ibu sembari mengelus kepalannya yang dipenuhi balutan perban. Valent hanya menatap tak mengerti. “Di mana aku? Di mana negeri sorga itu?” tanyanya.
“Anda di rumah sakit,” jawab salah seorang dokter iba.***
















Bab Dua

Air Mata Deleng Ganjang

Lanskap alam pegunungan begitu indah. Anak-anak gembala terlihat akrab dengan alam, berenang bersama kerbau di air yang jernih berlatar gunung kebiru-biruan. Indah, ya, indah sekali. “Sampai kapan ini bisa bertahan,” bisik Valent di dalam hatinya.
Selanjutnya, lelaki 40-an itu berbisik dengan dirinya sendiri: Betapa indah alam Kabupaten Karo ini, dihiasi dua gunung berapi yang gagah perkasa: Sinabung dan Sibayak. Bila kita menatap dari bukit Gundaling seolah-olah fatamorgana berkata: inilah tanah sorgawi.
Tanahnya subur, hutannya lebat, hawanya sejuk, airnya bening, masyarakatnya ramah dan kekerabatan Mergasilima, Rakucitelu, Tutur Siwaloh, Perkade-kaden Sepuluhdua Tambah Sada.
Rakyat Kabupaten Karo hidup dari hasil pertanian dalam alam pariwisata yang masih menjunjung seni dan budaya dikenal ke mancanegara sebagai penghasil sayur-mayur, buah-buahan dan bunga-bungaan. Tetapi, jika masuk ke perut rimba betapa terasa kelestarian alam tidak terpelihara. Adalah wajar tanah yang subur dan sejuk berubah jadi gersang dan mengerikan.
***
Segerombolan masyarakat: kaum lelaki, wanita, tua dan muda berjalan gagah melintasi jalan yang masih terdiri dari lempung. Terhoyong-hoyong di truk yang bagaikan ikan asin dijejal sedemikian rupa, tak mereka rasakan. Ini dilakukan agar air mata Deleng Ganjang jangan terus menetes. Jika mereka dapat menghentikan air mata Deleng Ganjang, tentu akan berubah jadi mata air. Maka kehidupan pun akan berjalan sebagaimana adanya, seperti dulu saat hutan-hutan masih lestari.
Beberapa di antaranya mengikatkan bendera merah putih di sebatang kayu dan mengibar-ngibarkannya ke udara. Tekad mereka bulat sudah: hutan harus diselamatkan. Mereka mengendarai beberapa truk fuso menuju Deleng Ganjang.
Alam bagi bagi sebagian besar masyarakat Karo merupakan bagian dari nafas kehidupan. Karena itu masyarakat Desa Barusjahe sekitarnya satu kata, satu tindakan melestarikan alam sekitarnya.
Mereka sampai di ujung desa dan karena tak mungkin ditempuh oleh truk fuso, perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki. Sepertinya rerumputan dan daun-daun pohon bernyanyi riang menyambut kehadiran mereka. Udara pagi yang sejuk, tak membuat mereka menggigil. Dengan semangat bendera merah putih, masyarakat Barusjahe sekitarnya meninjau lokasi perambahan hutan Deleng Ganjang.
Penduduk Barusjahe, Tigajumpa, Kubucolia, Serdang, Sukajulu dan Pertumbuken secara serentak berkumpul di Desa Pertumbuken, melihat dengan mata kepala sendiri perambahan hutan yang dilakukan di Deleng Ganjang untuk dijadikan bahan pengaduan kepada pihak legeslatif dan eksekutif di Kabupaten Karo.
Di tengah hutan Deleng Ganjang, di pinggiran jalan yang belum beraspal, masyarakat merlihat beberapa drum, mungkin sebelumnya digunakan untuk tempat bahan bakar para pekerja. Masyarakat sepakat, jika dengan dalih pembangunan dilakukan penebangan hutan secara liar antara Desa Pertumbuken dengan Serdang, harus dilawan. Terlihat dua truk kingkong – lengkap dengan nomor polisinya – yang di atasnya terdapat kayu gelondongan seakan tak bertuan.
Harapan mereka agar setiap kegiatan yang sifatnya merusak ekosistem di seputar kabupaten dihentikan.
Unjuk rasa secara damai ini dilakukan karena sangat… sangat cemas sekali jika penebangan liar di areal hutan lindung Deleng Ganjang tidak dihentikan, maka mata air yang mengalir ke desa-desa mereka akan mengering, berubah jadi air mata. Terlihat ranting-ranting berserak dan beberapa batang kayu di jalan tanpa aspal tersebut. Ada juga beberapa bekas penebangan kayu berdiameter kurang lebih 1,5 meter. Terlihat pula seorang lelaki sedang menebang kayu dengan sinso, tapi begitu tahu masyarakat – berjumlah ratusan orang – datang, segera menghilang di rimbunan hutan.
Pembukaan jalan dilakukan melalui hutan belantara, diyakini bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi hanya sebagai topeng untuk kepentingan sesaat bagi orang-orang tertentu.
Ratusan warga, tua maupun muda terus berjalan kaki menembus Deleng Ganjang yang terkesan porakporanda. Ada tempat pemujaan dan beberapa warga setiba di tempat itu melakukan ritual suci di bawah salah satu pohon besar. Di bawah pohon itu, terdapat semacam bale-bale terbuat dari susunan kayu, di sinilah perembahan diletakkan.
Sebagian masyarakat menaiki truk kingkong kemudian berkumpul di seputar truk. Usai berdoa di bawah keramat Deleng Ganjang, para pemuja ikut berkumpul di seputar truk kingkong. Mereka merencanakan temuan tersubut akan dilaporkan ke Polres Karo dengan membawa truk serta kayu di atasnya sebagai barang bukti.
Mereka bercakap-cakap sejenak, kemudian berdoa meminta kekuatan lahir dan batin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar Sang Pencipta memberikan kesadaran pada penebang liar tidak memperkaya diri sendiri tanpa mempedulikan penderitaan orang banyak.
“Kami masyarakat Barusjahe sekitarnya menyatakan kebulatan sikap kepada penguasa-penguasa kabupaten supaya merasakan bagaimana penderitaan masyarakat. Kami memang telah mengenyam sedikit dari hasil kemerdekaan ini. Air minum telah sampai ke rumah kami, namun jika perambahan hutan tidak dihentikan, kami pasti kekeringan. Para pemimpin kasihanilah kami. Janganlah seenaknya saja memperkaya diri sendiri. Kami harapkan kepedulian Bapak terhadap penderitaan masyarakat Barusjahe sekitarnya,” tutur orang yang dituakan. Kemudian mereka berorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan.
“Kami dari masyarakat Desa Sukajulu, kami telah meninjau ke lapangan pembukaan jalan dari Desa Buntu sampai ke Desa Serdang. Kami telah melihat pembukaan jalan ini sebagian menyalahi peraturan. Menurut kami sebenarnya pembukaan jalan ini tidak harus melalui hutan lindung. Tapi nyatanya dibuat melalui hutan belantara. Pembelokan jalan ini dilakukan dalam rangka perambahan hutan di lokasi mata air PAM (Perusahaan Air Minum) yang mengalir ke Desa: Sukajulu, Barusjahe, Sukanalu, Tigajumpa, Kubucolia. Jika dilakukan penebangan kayu di kawasan ini, maka mata air akan kering. Oleh sebab itu, masyarakat sangat keberatan. Di samping itu, pembelokan jalan melalui hutan hanyalah dalih mencuri kayu. Untuk itu, kami harapkan pembukaan jalan melalui hutan harus dihentikan,” demikian tokoh masyarakat Desa Sukajulu yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorakan.
“Para pemimpin, mohon kasihanilah kami karena kami akan kekeringan air,” sambung seorang ibu pula.
“Kami mendaki gunung ini karena kami telah kekeringan air. Oleh karena itu mohon jangan lagi menebangi kayu,” tutur ibu yang lain.
“Jangan tebangi kayu, kami sudah tua tidak mampu lagi ke lembah mengambil air,” lanjut ibu yang lebih tua.
“Atas nama orangtua Barusjahe, kami pinta jangan menebang kayu lagi. Kasihanilah kami, jangan lanjutkan penebangan kayu seperti ini, agar air kami tidak kering,” tambah ibu yang lain lagi.
“Kami ibu-ibu dari Barusjahe mengharap pengertian, pembangunan jalan yang berdampak penebangan kayu secara liar, kami sangat keberatan,” kata ibu berikutnya. Kemudian bersama-sama mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Terlihat seseorang mengibar-ngibarkan sang saka merah putih.
Usai meneriakkan kata: merdeka... merdeka... merdeka, mereka menyanyikan lagu daerah yang bunyinya:
Lit lenna perjuma deleng
Lit senna rabina deleng
Anak imbo... anak imbo sikena ranjo
Artinya:
Ada bedanya petani hutan
Banyak duitnya tapi pencuri kayu
Anak siamang... anak siamang terkena jerat
Seterusnya mereka bergerak, ada yang menuju arah pulang, ada pula yang menelusuri hutan.
Kecemasan mereka, kecemasan kita semua. Memang benar, bila hutan tanpa kayu tak ubahnya hidup tanpa jiwa. Tanah jadi retak, ilalang jadi kering. Hidup dan jiwa juga menjadi kering. Pasti tak akan terdengar lagi burung-burung bernyanyi dan mungkin hanya air mata yang kita wariskan kepada anak cucu kita. Siapa yang bertangung jawab atas peristiwa ini.
Dua orang lelaki mondar-mandir dan kemudian berdiri di sebatang kayu hasil tebangan liar, mengamati kondisi hutan yang rusak. “Inilah di antara kayu yang ditebang berjarak 40 meter dari badan jalan,” tutur seorang dari dua lelaki tadi.
“Dan, tampak jejak-jejak kerbau penarik kayu balok tersebut,” lanjutnya.
“Apakah ini yang disebut lahan tidur? Katanya 10 meter dari badan jalan. Ternyata 50 meter. Di bawahnya – kira-kira 30 meter adalah mata air,” tutur lelaki yang lain lagi.
Jiwa siapa yang tidak terguncang menatap kayu dipotong-potong. Hati terasa teriris, merintih dan menangis. Khayalan terbang jauh ke depan. Muncul potret-potret cucu, cicit kita dikerumuni lalat-lalat hijau karena sakit-sakitan kurang makan.
Beberapa lelaki menyusuri hutan. Ada pula keping-keping papan berserak.
Camkanlah! Bukan hanya kita yang berhak hidup. Mereka juga lahir untuk hidup. Alam Kabupaten Karo yang indah tetapi dirusak olah orang-orang rakus. Jalanan lebar yang dibuka diyakini sebagai alasan membuka lahan tidur.
Terlihat pula mata air yang disalurkan dengan pipa dari sepotong bambu. Air ini dimanfaatkan para penebang kayu untuk minum dan bertanak panganan. Sipongang mbuk-mbuk – sejenis siamang – terdengar bersahut-sahutan.
Seseorang berteriak seperti membaca puisi: Bila hutan lebat habis dibabat, mata air akan menjadi kering, anak-anak sungai hanya tinggal kenangan. Tiada lagi ikan-ikan yang menari, tiada lagi hawa sejuk. Tanah subur berubah jadi gurun. Hidup menjadi gencar, jiwa hangus terasa terpanggang. Karena itu, wariskanlah mata air buat anak cucu kita, bukan air mata
Ada pula sungai kecil mengalir deras dengan air yang bening. Beberapa lelaki duduk di batu sungai. Pikiran mereka menerawang ke masa depan yang kian suram, jika perambahan hutan tidak dihentikan. ***













Bab Tiga

Provokator

“Apa dambaan seorang tahanan, kawan? Bebas meghirup udara di alam luas? Ah...itu kemewahan, impian yang muluk, impian orang-orang yang tak menghayati makna proses, makna perjuangan. Bagiku kawan, di luar dan di dalam sama saja. Sebab, jiwa manusia merdeka tak dapat dipenjara oleh apa dan siapa pun. Penjara bagiku adalah universitas yang paling baik.” lelaki 40-an itu berkata sendiri di dalam hatinya.
Malam bartambah malam, lonceng di gardu penjagaan berdentang satu kali, pertanda dinihari telah memeluk. Dokter Valent menatap wajah-wajah tulus rekan seperjuangannya, beberapa orang desa, lelaki-lelaki sederhana, petani-petani jeruk, yang tak pernah bermimpi muluk-muluk, harus meringkuk di sel tahanan hanya karena mempertahankan kelestarian hutan.
Kalau nelayan memposisikan laut sebagai sumber kehidupan, rakyat di wilayah itu bergantung pada hutan. Sedih juga hatinya, tapi ia kuatkan saja. “Ini bagian dari proses perjuangan yang entah kapan akan berakhir.
***
Di tempat yang disucikan masyarakat desa itu, beberapa pengunjuk rasa berdoa meminta kekuatan agar keramat Deleng Ganjang turut serta mendukung mereka menyelamatkan hutan. Sebagian pengunjuk rasa mengantarkan sesajen seperti serangkai pinang, sirih, kelapa muda, telur ayam, daun-daunan bergelar ‘penyayang’, sirih tiga rupa, beras empat marga, cimpa tujuh jenis, dan beberapa kain putih bersama ayam merah.
Rapalan-rapalan dibacakan. Terkadang mereka bersujud, membungkuk dan menyembur-nyemburkan sesuatu dari mulutnya. Aroma kemenyan dan bunga-bungaan berbaur dengan uap lembab pegunungan. Siulan burung-burung, dan bunyi-bunyian hewan rimba memerdui suasana yang kian magis.
Semula perlahan, lama-kelamaan makin meninggi dan kian riuh. Ketika para pemuja pohon besar itu sampai pada puncak esktase dan nyaris tak sadarkan diri, tiba-tiba terdengar suara ras dari salah satu ranting pohon besar, kemudian disusul bunyi bum. Sesosok tubuh jatuh, bagai nangka busuk menimpa tempat pemujaan. Sementara dua kawannya masih di atas pohon berteriak-teriak ketakutan.
Menyaksikan itu, dokter Valent yang menggantungkan stetoskop karena begitu cintanya pada pendidikan serta pergerakan, Pertua Tarigan, dan orang-orang desa yang ada di seputar itu terperanjat. Seketika mereka bergegas menyaksikan sosok tubuh yang terjatuh. Sebagian lagi membantu menurunkan dua sosok yang berteriak-teriak di atas pohon besar itu. Para pemuja lainnya yang masih berdoa sontak bangkit. Makin riuhlah suasana di pagi menjelang siang itu.
Sosok tubuh yang terkapar di altar persembahan dengan kepala berdarah dan beberapa tulang patah, dibopong ke mobil yang mereka parkir di bawah sekitar 2 kilometer, selanjutnya dibawa ke desa untuk pertolongan pertama. Sedangkan yang dua orang lagi – setelah berhasil diturunkan dari pohon besar itu – terus saja mencerecau, bagai orang kesurupan. Beberapa orang yang tadi berdoa di pemujaan coba membantu dengan membaca rapalan-rapalan, cerecau kedua orang itu berhenti. Tapi, apa yang terjadi, kedua orang itu tiba-tiba saja gagu, tak bisa bicara. Apabila ditanya, jawabnya hanya dengan tertawa-tawa, kemudian dibawa juga ke desa.
***
Sejak pagi ratusan masyarakat gunung dari beberapa desa berkumpul. Kaum lelaki, wanita, tua dan muda menyatu dengan tekad: hentikan penebangan liar. Beberapa di antaranya mengikatkan bendera merah putih di sepotong kayu. Kemudian mereka mengendarai beberapa truk fuso, pick up, dan lainnya menuju Deleng Ganjang. Sang Dokter menyatu dalam aksi massa itu karena tak tahan menyaksikan kondisi tanah leluhurnya yang kian hari kian porakporanda.
“Lihatlah kayu-kayu itu dirambah dengan sesukanya,” tutur Pertua Tarigan – setelah mereka sampai ke wilayah yang dituju – kepada Sang Dokter dan rombongan lainnya sembari menunjuk kondisi Deleng Ganjang yang hutannya sudah tak karu-karuan. Dokter Valent menatap Pertua lamat-lamat, garis-garis perjuangan terpancar di wajah lelaki 50-an itu. Hatinya ngilu menyaksikan kondisi Pertua dan masyarakat lainnya. Tangan-tangan kekar dan berurat itu, kini tidak hanya berhadapan dengan keterpurukan harga jeruk dan sayur-sayuran lainnya, pun para maling kayu yang merusak sendi-sendi kehidupan.
Truk fuso, pick up dan kendaraan lainnya mereka tinggalkan di ujung desa. Perjalanan tak mungkin ditempuh dengan kendaraan karena jalanan yang licin. Selanjutnya mereka berjalan kaki menelsuri jalanan tanpa aspal yang baru dibuka itu. Sepertinya rerumputan dan daun-daun pohon bernyanyi riang menyambut kehadiran mereka. Dengan semangat bendera merah putih, masyarakat dari beberapa desa seputar Deleng Genjang berdemo ria di belantara hutan.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua kilometer, dari kejauhan terlihat dua truk kingkong roda delapan yang di atasnya terdapat kayu gelondongan. Begitu mendengar suara orang beteriak-teriak, orang-orang yang ada di atas truk kingkong melompat turun, berlari menuju rimbunan rimba. Mobil dan kayu gelondongan yang ada di atasnya ditinggal begitu saja seakan tak bertuan.
Unjuk rasa secara damai ini mereka lakukan karena sangat… sangat cemas sekali jika penebangan liar di areal hutan lindung Deleng Ganjang tidak dihentikan, maka mata air yang mengalir ke desa-desa mereka akan mengering. Terlihat ranting-ranting berserak dan beberapa batang kayu di jalan tanpa aspal tersebut. Ada juga beberapa bekas penebangan kayu berdiameter kurang lebih 1,5 meter.
Pembukaan jalan – yang kerap disebut jalan tembus – dilakukan melalui hutan belantara bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi hanya sebagai topeng untuk kepentingan sesaat bagi orang-orang tertentu. Mengapa tidak, jalan tembus dari Desa Serdang menuju Desa Buntu itu, dapat dilakukan tak sampai 3 km saja, tetapi diputar ke pedalaman hutan, yang akhirnya mencapai 9 km. Di samping pemborosan, pun merusak ekosistem. Beberapa mata air jadi mati, kayu-kayu besar pun habis ditebangi.
Ratusan masyarakat terus berjalan kaki menembus Deleng Ganjang yang porakporanda. Sampai di tempat pemujaan, sebagian warga melakukan ritual suci di bawah pohon besar. Di sepanjang jalan baru 9 km tersebut terdapat suatu tempat yang dikeramatkan warga masyarakat seputar Deleng Ganjang. Dokter Valent, Pertua dan sebagian orang hanya menyaksikan saja upacara pemujaan tersebut sampai peristiwa mengejutkan itu terjadi.
Usai membereskan sosok tubuh yang terjatuh dari pohon serta dua orang yang tiba-tiba jadi gila, upacara demo dilanjutkan oleh sebagian masyarakat. “Kami masyarakat Desa Barusjahe sekitarnya menyatakan kebulatan sikap kepada penguasa-penguasa kabupaten supaya merasakan bagaimana penderitaan masyarakat. Kami memang telah mengenyam sedikit dari hasil kemerdekaan ini. Air minum telah sampai ke rumah kami, namun jika perambahan hutan tidak dihentikan, kami pasti kekeringan. Para pemimpin kasihanilah kami. Janganlah seenaknya saja memperkaya diri sendiri. Kami harapkan kepedulian Bapak terhadap penderitaan masyarakat Desa Barusjahe sekitarnya,” tutur orang yang dituakan di Desa Barusjahe. Kemudian mereka berorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan.
“Kami dari masyarakat Desa Serdang, kami telah meninjau ke lapangan pembukaan jalan dari Desa Buntu sampai ke Desa Serdang. Kami telah melihat pembukaan jalan ini sebagian menyalahi peraturan. Menurut kami sebenarnya pembukaan jalan ini tidak harus melalui hutan lindung. Tapi nyatanya dibuat melalui hutan belantara. Pembelokan jalan ini dilakukan untuk memudahkan perambahan hutan. Padahal di situ ada lokasi mata air Perusahaan Air Minum (PAM) milik Pemkab yang mengalir ke desa-desa. Karena perambahan hutan, maka mata air akan kering. Oleh sebab itu, masyarakat sangat keberatan.
Pembelokan jalan melalui hutan hanyalah dalih ‘mencuri kayu’. Untuk itu, kami harapkan pembukaan jalan melalui hutan harus dihentikan,” demikian tokoh masyarakat Desa Sukanalu yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorakan.
“Para pemimpin, mohon kasihanilah kami karena kami akan kekeringan air,” sambung seorang ibu pula.
“Kami mendaki gunung ini karena kami telah kekeringan air. Oleh karena itu mohon jangan lagi menebangi kayu,” tutur ibu yang lain.
“Jangan tebangi kayu, kami sudah tua tidak mampu lagi ke lembah mengambil air,” lanjut ibu yang lebih tua.
“Atas nama orangtua Desa Barusjahe, kami minta jangan menebang kayu lagi. Kasihanilah kami, jangan lanjutkan penebangan kayu seperti ini, agar air kami tidak kering,” tambah ibu yang lain lagi.
“Kami ibu-ibu dari Desa Barusjahe mengharap pengertian, pembangunan jalan yang berdampak penebangan kayu secara liar, kami sangat keberatan,” kata ibu berikutnya. Kemudian bersama-sama mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Terlihat seseorang mengibar-ngibarkan sang saka merah putih.
Usai meneriakkan kata: merdeka... merdeka... merdeka, mereka menyanyikan lagu daerah.
***
Sang Dokter dan masyarakat terus menelusuri jalan yang baru dibuka dan memasuki perut rimba Deleng Ganjang itu. Pihak pemerintah kabupaten mengatakan pembukaan jalan tembus Desa Serdang dengan Desa Buntu tersebut dalam upaya menembus keterisolasian desa. Tapi anehnya, kenapa pembukaan jalan baru tersebut harus 9 kilometer, padahal bisa dilalui hanya dengan 3 kilometer saja. Kemudian ada pula jalan-jalan arteri yang semuanya mengarah ke pohon-pohon besar.
Ada lelah memang dirasakan Dokter Valent menelusuri jalan tak beraspal dan sesekali menerobos rimba tersebut yang terkadang mendaki dengan kemiringan mencapai 40 derajat. Tapi, ini ia lakukan agar mata air rakyat tak berubah jadi air mata.
Tiba-tiba belasan polisi dengan senjata laras pajang sampai di rimba itu dan melompat ke depan Sang Dokter serta Pertua Tarigan dan tiga pemuka masyarakat. Lima orang di antaranya menodongkan senjata kepada Sang Dokter, Pertua Tarigan dan tiga pemuka masyarakat. Sementara yang lain mengalungkan gari ke tangan Sang Dokter, Pertua dan tiga pemuka masyarakat.
“Anda-anda ditahan dalam sangkaan memprovokasi masyarakat, sehingga menimbulkan korban, seorang tewas dan dua lagi masuk rumah sakit jiwa,” ketus salah seorang polisi, mugkin komandannnya. Sementara polisi yang lain menodongkan senapangnya kepada masyarakat.
“Jangan coba-coba bereaksi, kami tak segan-segan melepas peluru,” sergah salah seorang polisi. Selanjutnya Dokter Valent, Pertua Tarigan dan tiga pemuka masyarakat digiring ke mobil patroli polisi yang diparkir sekitar lebih kurang dua kilometer dari tempat itu. Bagai penjahat saja, mereka diseret setengah paksa dalam tangan digari untuk naik ke mobil patroli polisi.
***
Angin dinihari demikian menyejukkan. Tapi Sang Dokter tak menggigil meski tanpa jaket. Hangat jiwanya mengalahkan dinginnya cuaca dan dinding penjara. Sesekali terkenang juga ia akan anak perempuannya yang semata wayang dan istri tercinta nan cantik. “Ini perjuangan sobat!,” desahnya pada diri sendiri. Angin pun lewat begitu saja.

- Deleng Ganjang (bahasa Batak Karo) = Bukit atau tebing tinggi.





Bab Empat

Dibebaskan

Banyak sudah cerita tentang pohon besar di Deleng Ganjang itu, tetapi sebagai alumunus fakultas kedokteran – yang menggantung stetoskop karena hasrat menjadi guru – lelaki yang lahir dan dibesarkan dari keluarga intelektual, tak mudah percaya ataupun tak percaya mengenai sesuatu hal, sebelum fakta empiris yang berbicara. Orang-orang desa, kerap menginformasikan kepadanya apa-apa yang pernah terjadi di pohon besar berdiameter berkisar 2,5 hingga 3 meter tersebut.
Pohon besar yang tumbuh di belantara Deleng Ganjang diyakini sebagai ‘induk’ dari pohon-pohon lain. Tingginya puluhan, bahkan mencapai ratusan meter ke atas. Tak ada yang pasti tentang seberapa besar dan tingginya pohon yang di bawahnya ada tempat pemujaan tersebut. Yang kerap didengar lelaki itu, peristiwa-peristiwa unik sering terjadi di seputar pohon tempat pemujaan itu.
Pernah suatu kali seorang penebang kayu terpelanting bersama sinsonya ketika mencoba menggergaji pohon yang kerasnya nyaris menyerupai baja tersebut. Seketika gergaji si tukang sinso patah, dirinya terpelanting jauh membentur pohon lain, dan tewas seketika dengan kepala pecah. “Keramat Deleng Ganjang marah,” cerita orang-orang padanya.
Sebagai seorang guru, lelaki itu mendengar saja semua cerita-cerita orang desa tentang pohon besar, para pencuri kayu yang tak pernah jera, juga kegelisahan masyarakat jika keramat Deleng Ganjang marah. “Sekarang saja sudah banyak penyakit yang menimpa tanaman-tanaman dan kita. Lalat-lalat perusak jeruk, hama tanaman, longsor, mata air yang kian mengecil bahkan mengering, dan lain sebagainya,” cerita seorang petani jeruk padanya.
Sebagai seorang guru yang alumnus fakultas kedokteran, lelaki itu terbiasa berpikir rasional. Orangtua lelakinya yang dokter, ibunya yang kepala bidan, serta abang juga kakaknya yang dokter dan insinyur, membuat lelaki itu tak mudah percaya atau tak percaya dengan sesuatu. Baginya, sebelum fakta empiris yang berbicara, sesuatu itu tetaplah ada dan enak jadi cerita saja.
***
Angin siang menjelang senja di kota kabupaten dataran tinggi itu tak mampu memberi kesejukan orang-orang yang bergerombol membawa bara di dada masing-masing. Ribuan masyarakat berosarak-sorai meneriakkan yel-yel agar penebangan hutan dihentikan. “Hutan dibabat, kami merana. Jangan wariskan air mata, tapi mata air kepada anak cucu kita,” teriak mereka yang memadati halaman kantor kepolisian resor (polres) setempat hingga tumplek blek ke jalan raya. Truk kigkong berisi kayu gelodongan yang dibawa dari belantara Deleng Ganjang – yang tadinya diharapkan masyarakat sebagai barang bukti – terbiarkan begitu saja.
”Kenapa kami rakyat yang dipersalahkan. Kenapa Bapak Pertua, dan pemuka-pemuka masyarakat serta Valent yang ditahan? Kenapa maling kayu tak ditangkap,” teriak mereka makin histeris. Matahari yang membakar ubun-ubun tidak dipedulikan. Arus lalulintas terpaksa dialihkan, karena jalan raya di depan kantor polres tersebut dipenuhi oleh massa pendemo.
Para petinggi di kabupaten itu heboh, rapat singkat tertutup pun dilakukan. Sementara Pertua Tarigan, Valent dan tiga pemuka masyarakat mendekam di sel polres tersebut dengan tuduhan memprovokasi masyarakat yang menyebabkan tewasnya seorang penebang kayu dan gilanya dua orang kernetnya.
Sepoi angin gunung tak mampu menyejukkan suasana terik yang dipancarkan matahari. Ditambah berjubelnya masyarakat yang memadati halaman dan seputar kantor polres hingga ke jalan raya, suasana panas makin terasa menggerahkan. Bara yang ada di dada mereka tinggal menunggu membakar segala yang menghadang.
Target mereka, Pertua Tarigan, Valent dan tiga pemuka masyarakat dibebaskan. Kemudian penebangan liar atas nama pembukaan jalan tembus itu dihentikan dan pelaku-pelakunya diproses secara hukum.
***
Seorang anggota polisi mendatangi sel tempat Valent, Pertua Tarigan dan pemuka masyarakat ditahan, kemudian mengajak Valent untuk berbicara empat mata. Semula Valent menolak, tetapi setelah mendapat penjelasan, akhirnya mengikuti petugas polisi ke sebuah ruang.
“Bagaimana kalau Bapak Valent dan keempat Bapak lainnya menandatangani surat penangguhan penahanan?” petugas polisi menawarkan kemungkinan agar Valent, Pertua Tarigan dan ketiga pemuka masyarakat tersebut dapat dilepas.
“Daripada dilepas dengan penangguhan penahanan, saya lebih baik dipenjara ini. Saya selaku aktivis berkeyakinan, jiwa manusia merdeka tak dapat dipasung oleh apa dan siapa pun, ia tetap berada di alam bebas. Penebang kayu itu mati karena terjatuh dari pohon, bukan dibantai masyarakat sebagaimana sudah saya jelaskan. Kedua kawannya jadi gila, bukan pula kami yang harus bertanggung jawab. Jadi, kalau saya dan kawan-kawan menandatangai surat penangguhan penahanan ini, berarti kami menerima tuduhan sebagai provokator,” tandas Valent. Di luar, masyarakat semakin bertambah banyak, berteriak-teriak kian riuh.
Akhirnya, petugas polisi kembali menghadap komandannya dan Valent balik ke selnya. Seterusnya petugas polisi tadi menemui Valent, Pertua Tarigan, dan ketiga pemuka masyarakat. Petugas polisi itu mengatakan, mereka akan dilepas tanpa syarat. Cuma diminta kepada mereka agar menenangkan masyarakat seterusnya pulang kembali ke desa masing-masing. Valent dan rekan-rekan setuju.
Begitu Valent, Pertua Tarigan dan kedua pemuka masyarakat ke luar dari sel dan berada di halaman polres tersebut, masyarakat menyambut dengan yel-yel: hidup Valent, hidup Petua Tarigan, hidup rakyat, selamatlah hutan!
Setelah masyarakat tenang, Valent menaiki stage yang biasa dipakai untuk upacara, apel pagi dan lainnya.
“Saudara-saudara, Bapak Ibu, teman semua, hutan berfungsi untuk menyerap, menyimpan dan mengalirkan air ke mata air. Akar-akar kayu adalah ‘alat’ sirkulasi air yang tak mungkin tergantikan dengan apa pun.
Dari hasil penelitian, setiap meter kubik humus dengan ketebalan 25 atau 30 cm, mampu menyimpan air 300 liter dan untuk membuatnya butuh waktu 10 tahun. Dengan demikian, betapa besar jumlah air yang tidak dapat disimpan karena kerusakan hutan di kabupaten tempat leluhur saya dilahirkan ini.
Menurut taksiran saya, kerusakan hutan di kabupaten ini sudah mencapai 26.000 hektar. Itu berarti 26.000 hektar humus mengalami kerusakan, yang sama dengan 26 juta meter kubik humus rusak. Dampaknya 78 miliar liter air tak dapat diserap dan disimpan dengan baik.
Bukti ini dapat kita lihat beberapa tahun terakhir banjir besar melanda kota-kota dan daerah yang mengelilingi kabupaten sebab sungai-sungainya berhulu di daerah kita ini. Dari kejadian itu dapat kita maklumi betapa pentingnya melindungi hutan, agar tidak menimbulkan bencana kemanusiaan,” Valent berapi-api.
“Saya pikir saya lebih bagus berada di dalam penjara, daripada diminta berhenti memperjuangkan hutan. Makanya kita perlu melakukan perlawanan agar dapat mewariskan mata air ke anak cucu, bukan air mata. Perjuangan mewariskan mata air semata untuk kepentingan kita umat manusia, bukan untuk dan jadi apa-apa.
Melihat kenyataan di kabupaten kita ini, saya bersama rakyat akan terus berjuang melawan perambahan hutan secara liar. Sebab, di samping kezaliman-kezaliman lainnya, perambahan hutan secara liar – menurut saya – adalah juga kezaliman yang secara sistematis akan memiskinkan serta memarjinalkan rakyat. Terakhir, mereka akan membangun koloni usaha di sini dengan membeli tanah rakyat murah-murah.
Hari ini seseorang mati karena terjatuh dari pohon dan dua orang mengidap kelainan jiwa karena kemasukan jin hutan, kok kita yang harus bertanggung jawab. Apakah Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara, ada memukul orang yang mati itu?”
“Tidak!” jawab masyarakat setempat.
“Karena itu, saya, Pak Pertua Tarigan, dan tiga Bapak ini tidak mau menandantangani surat penangguhan penahanan karena kita tidak bersalah. Kalau surat itu ditandatangani, berarti kita menerima tuduhan sebagai provokator,” tandas Valent.
“Betul,” teriak masyarakat.
“Bapak polisi sudah membebaskan kita karena memang memahami kondisi sebenarnya, apakah kita bisa berjanji akan pulang ke desa masing-masing tanpa keributan?”
“Bisa! Kami siap pulang dengan tenang dan damai. Cuma, polisi harus berjanji untuk mengusut tuntas pelaku perambahan hutan sampai dalangnya,” teriak masyarakat.
Spontan kepala polisi resor (kapolres) tersebut muncul di tengah-tengah masyarakat, “saya berjanji akan mengusut tuntas pencurian kayu di kabupaten kita ini berikut aktor intelektulanya. Masyarakat diminta bersabar dan dapat pulang kembali ke rumah masing-masing dengan tenang,” janjinya.
Tapi, sampai kepala polres itu dipindahtugaskan ke kepolisian daerah (polda) janji itu tak pernah terealisasi. Masyarakat menanam sendiri lahan yang sudah porakporanda. Pohon kayu besar tempat pemujaan pun makin berdiri gagah.***































Bab Lima

Pencurian Kayu dengan Modus Coorporate Farming

Terlihat mobil Taff GT menuju hutan. Jeruk kini berdahan kering, cabai daunnya keriting. Fungisida dan pupuk tidak terbeli lagi. Bawang mati muda, tomat diserang wereng, Terlihat bangunan gedung baru, hampir rampung. Disebabkan pembangunan Kabupaten Karo kurang terarah. Mungkinkah aku mampu menyekolahkan anak, kata hatiku. Terlihat plank bertuliskan: Komplek Coorporate Farming – Kelompok Tani – Tambar Malem Desa Kacinambun Kec Tiga Panah. Telan pinang bulat tujuh buah, obat pusing. Terlihat plank bertulisan: Penghijauan Kopi Arabika, Arabbica Cafe dengan background gunung yang kebiru-biruan. Kalau bodoh, wajar ditipu orang, kata petir. Aku kebingungan dan tercengang mendengarnya. Terlihat bedengan tempat pembibitan beratap seng tanpa dinding. Kemudian aku teringat, kayu telah habis dibabat pencuri. Terlihat broti berukuruan 3 X 5 cm dengan panjang kurang lebih 3 meter. Valent dan rekan sedang memandang kondisi alam. Dengan alasan demi kesejahteraan rakyat, rupanya memperbesar perutnya. Ulahnya membuat rakyat bersimbah air mata. Terlihat Valent, rekan dan masyarakat setempat. Siapa tempat kami mengadu? Yang memiliki kharisma. Menghentikan pencuri kayu yang sangar (Terlihat Valent menunjuk kepingan-kepingan papan hasil olahan. Jangan pekak, jangan diam orang yang terpilih dan orang besar. Kabupaten Karo Simalem kini tinggal nama. Terlihat Valent berdiri di atas gelondongan kayu bersama masyarakat setempat. Bila hutan punah anak cucu kita pasti hidup menderita. Makan bertengkar, karena beras tidak terbeli. Padi kering bagaikan dibakar. Gunung Kidul dan Kerawang jadi saksi agar kita menyadari. Sungai-sungai dan sawah mereka telah mengering. Terlihat gelondongan kayu dengan diamter kurang lebih 2 meter. Kita juga akan hancur, bila tidak serius mengatasinya. Terlihat Valent berbincang dengan masyarakat setempat.
Valent : Nama Bapak Ise. Ise gelar Bapak.
Warga : Tangsi Prangin-angin.
Valent : Tangsi Perangin-angin. Jadi, dulu di sini adalah kayu semua, ternyata digarap oleh bupati dan kayunya ditebangi.
Dengan proses-proses penebangan hutan yang dilakukan oleh Pemkab Kabupaten Karo, saya yakin dalam tempo lima tahun, kabupaten ini runtuhlah. Terimakasih. Terlihat pemandangan alam tanah Karo yang indah.
Dari mobil Taff GT terdengaer lagu Iwan Fals: Raun buldozer, gemuruh pohon tumbang...dst. Terlihat proses pembangunan Coorporate Farming. Beberapa lelaki membenahi susunan broti. Terlihat pula orang-orang membawa broti dengan mobil jenis jeep, bak terbuka. Ada pula alat-alat berat (beko) untuk mengorek tanah. Pipa-pipa terbuat dari fiber, barak-barak pekerja. Kemudian terlihat seorang warga memasuki kawasan hutan).
Taff GT yang dikendaraai oleh Valent – karena tak dapat lebih jauh menerobos perut hutan – diparkir. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Terlihat Hiban AS, kolomnis berbagai surat kabar, peminat masalah lingkungan hidup, menatap rimba pinus yang mulai merenggang dan meranggas tinggi dengan daun berwarna kekuning-kuningan. Hutan dibabat dengan topeng coorporate farming. Ada pula Rail Ginting, wartawan Harian Perjuangan berbincang-bincang dengan tukang potong kayu.
Selanjutnya, terlihat Valent merangkul Tangsi Perangin-angin dengan latar belakang hutan dan mobil Taff GT.
Valent : Saya kini berasama masyarakat di hutan rakyat hasil penanaman tahun (Melihat ke Tangsi) tujuh puluh.
Tangsi Perangin-angin : Tujuh lima.
Valent : Tujuh lima. Ternyata dirambah secara semena-mena atas alasan pembukaan Coorporate Farming oleh bupati. Jadi, dalam hal ini kepada seluruh orang Karo yang ada di republik ini dan luar negeri termasuk semua orang yang cinta akan lingkungan, supaya mau, bagaimana caranya bisa kayu di kabupaten ini tidak lagi dibabat.
Kalau kita lihat kayu-kayu besar habis dirambah sehingga akan mengakibatkan pemanasan dunia, perubahan ekosistem, hasil-hasil pertanian tidak akan tumbuh.
Tiap inci perut rimba pinus terus disusuri Valent dan rekan.
Valent berdiri di sebatang kayu gelondongan di antara serakan gelondongan lainnya (Terdengar suara sinso): Ini dengan alasan Coorporate Farming, sebenarnya mereka mau merambah hutan. Kalau kita lihat, ini adalah hutan lindung Sigratnempu, di bawah kawasan Leuser.
Betapa mengerikan yang mereka lakukan ini. Bagaimana nanti mata air anak cucu kita, bagaimana nanti pertanian di Tanah Pegunungan. Dan dengan tingkat ketinggian ini, kabupaten ini akan runtuh. Terimakasih.
Valent di samping bonggolan sisa penebangan: kelihatan hutan yang di pinggir jurang pun – kalau besar – mereka tabas. Ini hutan (Menunjuk bonggolan berdiameter lebih kurang 3-4 meter yang di atasnya salah seorang warga setempat berdiri) sudah ratusan tahun. Makanya saya bilang tadi ini berasal dari hutan lindung, mereka tak peduli.
Jadi, kalau kita tak melawan mereka, apalah nasib kita nanti. Karena kita bukan hanya untuk kita. Kita untuk anak cucu kita (Menunjuk hutan yang masih tersisa). Kelihatan juga yang di pinggir jurang. Dan, mereka sudah siapkan panglongnya. Terimakasih. (Terdengar suara sinso makin kuat, pertanda jarak antara Valent serta rekan dengan pemotong kayu makin dekat).
Terlihat Rail Ginting sedang berdialog dengan salah seorang dari dua pemotong kayu. Kelihatan pula mesin pemotong (sinso)-nya.
Rail Ginting : Abang ini namanya Anthony Ginting. Dan yang mengambil kayu ini bupati. Bupati mana Bang (Melihat ke arah Anthony Ginting) – Sinar Peranginangin atau DD Sinulingga?
Anthony Ginting : Sinar Peranginangin. Untuk bahan-bahan rumah yang di atas.
Rail Ginting : Jadi bupati langsung menyuruh.
Hiban AS : Sudah berapa lama ini, Pak? Bapak orang Karo ini?
Anthony Ginting : Laubalang.
Hiban AS : Laubalang ya, Pak?
Rail Ginting : Marga Ginting. Anthony Ginting ya, Pak (Melihat ke arah Anthony yang secara spontan mengangguk).
Hiban AS : Berapa Umur?
Anthony Ginting : 40 tahun.
Hiban AS : Sudah berapa ton, Pak?
Anthony Ginting : Baru sedikit.
Hiban AS : Baru tiga hari ya? Yang di sana bukan Bapak?
Anthony Ginging : Nggak tahu.
Hiban AS : Nggak tahu Abang, ya? (Terlihat merek sinso itu: STIHl dan Rail Ginting mencuci tangannya di mata air).
Rail Ginting : Inilah mata air Gunung Sibuaten yang dibutuhkan masyarakat Kutabaru. Dengan hutan dibabat begini, mata air akan kering. (Terlihat Valent dari ketinggian menuju tempat di mana Rail Ginting, Hiban AS, masyarakat setempat dan tukang potong kayu berada).
Hiban AS : Jadi upahnya Pak Valent, limaratus ribu per ton.
Valent : Per ton?
Hiban AS : Dan orang ini katanya baru tiga hari.
Valent : Itu ada rantenya Rael (Menunjuk ke tepi jurang).
Rail Ginting : Rante apa?
Valent : Rante itu.
Rail Ginting : Itulah dari sini orang itu tadi.
Valent : Tadi sudah direkam Abang ini ngomong.
Rail Ginting : Abang ngomong dulu sama dia. Awas jatuh (Terlihat papan-papan usai diolah dengan sinso, dari kayu gelondongan. Sinso itu sendiri terletak di atas papan-papan itu. Valentino sampai di bawah).
Valent : Abang ise gelar ndu. Marga kai?
Anthony Ginting : Ginting.
Valentino : Jadi ise sinyuruh?
Anthony Ginting : Bupati.
Valent : Ja kam suruhna?
Anthony Ginting tak menjawab dengan jelas.
Valent : Menurut pengakuan Bapak ini yang menyuruh Bupati Kabupaten Karo, Sinar Peranginangin. Bapak ini dijemput hari... Jumat. Yang membawa mobil adalah Alamsyah Peranginangin sampai ke sini.
Sementara menurut Bapak ini kayunya digunakan untuk Coorporate Farming. Sementara menurut masyarakat Desa Kacinambun, Sabtu malam ada lewat kayu dua truk Valent melihat Tangsi Peranginangin yang spontan mengangguk.
Berarti, inilah akal-akalan bupati untuk menghancurkan Kabupaten Karo.
Terlihat salah seorang warga setempat mengenakan baju usai mandi dari mata air yang disalurkan dengan pipa. Hiban AS menanyai pemotong kayu yang lain di tempat yang lain lagi.
Hiban AS : Dari mana Bang?
Penebang Kayu : Dari Toba
Hiban AS : Sudah berapa hari Bang?
Penebang Kayu : Lima.
Hiban AS : Siapa nama Abang?
Penebang Kayu tak menjawab.
Terdengar suara senandung: Alangkah baiknya nenek moyang kita. Rimba dan hutan dilestarikannya (Terlihat kayu-kayu pinus yang sangat jarang meranggas tinggi, hidup segan mati tak mau) agar kehidupan makhluk hidup di bumi, hidup bagaikan meminum susu dan madu.
Alangkah sedih dan hina generasinya berubah bagaikan duri. Gunung yang indah habis dibabat. Mata air jadi mengering. Rakyat kecil menangis menyendiri. Sebaiknya hijaukan kembali seluruh hutan dan rimba yang gundul agar anak cucu kita tidak mati karena derita.
Usai meninjau, tim mengadukan temuan itu ke Polres Karo. Mengadu pukul 15.30, tetapi tim dan aparat kepolisian turun menjelang malam. Terasa upaya memperlambat, agar ada alasan tak menemukan barang bukti.
Suasana malam. Terlihat cahaya-cahaya senter.
Valent: Setelah kami menemukan tukang sinso yang saya ketemukan di Hutan Lindung Sibuaten, kami bersama masyarakat, langsung melapor ke kantor polisi Polres Kabupaten Karo, ke Pamapta.
Bersama tokoh masyarakat dibuatlah pengaduannya. Kami mengadu jam setengah empat. Kemudian polisi turun ke lapangan bersama kami jam tujuh malam. Kemudian turun ke lapangan bersama kami jam tujuh malam. Kemudian kami turun di daerah yang disebutkan tukang sinso di pinggir jurang, di mata air untuk Kecamatan Munthe, Desa Silimakuta dengan menggunakan senter pada jam delapan malam.
Sekarang semua data ada di Polres Kabupaten Karo. Kita tunggu tindakan Polres. Yang pasti, masalah pencurian kayu ini bersangkut-paut dengan uang, pistol, dan kekuasaan. Kalau kekuasaan mau memihak rakyat dan kemerdekaan dalam rangka mewariskan yang terbaik buat anak cucu termasuk mata air yang akan kita wariskan, seharusnya Polres sudah bisa menangkap pelaku-pelaku dan dalang intelektual pencurian kayu di Kabupaten Karo ini.
Valent dan rekan, polisi-polisi, masyarakat setempat menyusuri gelap malam itu dengan penerangan senter. Valent menjelaskan kenapa ia melakukan advokasi ini, semata karena dampak pencurian kayu sangat menakutkan. Juga dijanjikannya akan menyerahkan CD yang sudah dishooting tadi sebagai barang bukti. Dikatakan bahwa orang yang melakukan penebangan hutan tersebut pun ada di dalam CD.
Kayu yang mereka temukan di gelap malam itu – menurut Valent – berasal dari hutan lindung. Tukang sinso mengatakan pada Valent, yang menjemputnya bupati dan Alamsyah Peranginangin.
Disebutkan pula, pengakuan masyarakat air mereka telah kering. “Kan tak mungkin tiba-tiba kering, pasti ada sebabnya,” papar Valent.
Karenanya, kalau polisi mau bersama-sama ke atas, sedikitnya 500 ton gelondongan kayu akan ditemukan. Jika ditangkap, menurut Valent, inilah kasus yang terbesar setelah Lombok. “Orangnya jelas, tempatnya jelas, pengakuannya jelas. Di Lombok, Kadis Kehutannya sudah ditangkap,” tandas Valent.
Diungkapkan Valent, keberadaan Coorporate Farming hanya kamuflase untuk menghabiskan hutan lindung, sembari menunjukkan keadaan hutan. Disebutkan pula, kayu-kayu itu diolah di tempat.
Telihat Valent menyenter hutan dan berkata: “Pokoknya, dari sini kayu-kayu besarnya sudah habis. Dan mereka menaikkannya memakai rante. Ada rantenya, pakai rante mereka tarik. Jadi, kalau kayu ini tumbang, Pak, ini 50 meter kiri-kanan hancur, semakin besarnya”.
Terus mereka menelusuri rimba. Terdengar nyanyian hewan malam.
Selanjutnya pembicaraan dilakukan di warung yang ada di seputar Coorporate Farming tersebut.***















Bab Enam
Demo ke Kantor DPRD

Tindak lanjut keberatan masyarakat Barusjahe sekitarnya atas perambahan hutan lindung Deleng Ganjang, mereka sepakat, demo diarahkan ke Kantor DPRD Kabupaten Karo. Dari pagi halaman kantor DPRD Karo yang agak luas terlihat ramai. Gedung bertingkat dua itu, kemungkinan tidak sanggup memikul beban kehadiran masyarakat. Terlihat Valent bersama-sama massa pendemo. Terlihat orang-orang membawa karton-karton yang bertulisan mengecam perambahan hutan, bupati dan muspida (musyawarah pimpinan daerah) setempat. Ada yang berjongkok, duduk, ada yang berdiri, dan ada pula yang berada di bak truk atau mobil puck up.
Valent ikut serta bersama masyarakat Barusjahe sekitarnya menyampaikan sikap dan aspirasi kepada DPRD setempat. Terlihat pula pegawai, petugas dan aparat dari dinas-dinas terkait.
Selanjutnya Valent, sebagian masyarakat, wartawan dan pihak terkait lainnya memasuki Ruang Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Karo. Masyarakat memang sebagian besar tinggal di halaman kantor DPRD.
Pihak pendemo menduduki kursi dengan meja panjang yang berada di sebelah kiri arah pintu masuk. Sedangkan unsur pemerintah daerah di posisi kanan.
Setelah semua menduduki kursi masing-masing, dimulailah dialog yang diawali oleh Ketua DPRD. Katanya sembari mendekatkan alat pengeras suara: pertama-tama, kami atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Karo ini mengucapkan terimakasih dan rasa hormat yang tulus atas kedatangan Bapak-bapak dan Ibu-ibu sebagai utusan dari masyarakat Barusjahe dan sekitarnya yang pada hari ini datang ke kantor dewan ini secara tertib. Dengan rasa hormat atas keberadaan Bapak-bapak dan Ibu-ibu dan Saudara-saudara sekalian, di mana dewan ini memang tempatnya untuk Bapak-bapak dan Ibu-ibu menyampaikan aspirasi atas sesuatu atau segala hal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Terlihat pula Kadis Kehutanan dan Staf Pemkab Karo lainnya. Di luar, di halaman Kantor DPRD terlihat dan terdengar masyarakat bernyanyi serta bersorak-sorak. Panas yang mulai menggigit tak jadi halangan penyampaian aspirasi tersebut. Malah, suhu udara di Kabupaten Karo yang kian meninggi, merupakan pemicu bagi masyarakat untuk berjuang. Sebab, jika hutan habis, niscaya ekosistem terganggu. Kabupaten Karo yang dingin dan sejuk akan berubah jadi panas.
Kata Ketua DPRD: Kami bersama anggota dewan yang hadir pada saat ini terutama Komisi B serta bupati, yang mewakili instansi terkait. Atas penyampaian usul dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu serta Saudara-saudara, sekali lagi kami ucapkan terimakasih. Memang begitulah yang kita harapkan agar apa yang mestinya Bapak dan Ibu sampaikan bisa disalurkan ke dewan ini.
Untuk itu, kami persilakan dan sebelum bupati yang diwakili oleh dinas terkait, kami beri kesempatan kepada para Bapak dan Ibu serta Saudara sekalian untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan melalui dewan ini. Kami persilakan.
Yang mewakili masyarakat Barusjahe: Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami masyarakat Desa Barusjahe dan sekitarnya melaporkan kepada Bapak Dewan bahwa setelah melihat, menyurvei kondisi hutan lindung di kawasan yang lazim disebut Deleng Ganjang telah dirusak, dirambah dengan dalih pembukaan jalan tembus antara Desa Pertumbuken dengan Desa Serdang yang panjangnya sembilan kilometer, lebar badan jalan 9 meter yang katanya untuk pemanfaatan lahan tidur.
Maka dengan ini kami masyarakat Barusjahe menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menerima program pemerintah yang sifatnya untuk menyejahterakan rakyat yang berwawasan lingkungan.
2. Menghentikan penebangan/perambahan hutan sekaligus penutupan proyek jalan tembus tersebut.
3. Mohon mereboisasi kembali hutan yang sudah dirusak, yang kritis di sekitar tapal batas kehutanan.
Alasannya:
1. Kami masyarakat Desa Barusjahe mendukung program pemerintah yang sah dan benar-benar teruji kejujurannya.
2. a. Mengingat hutan lindung yang ada di sepanjang jalan tersebut adalah daerah tangkapan air yang mengaliri pipa ke Desa Barusjahe sekitarnya.
b. Karena pembukaan jalan tersebut lebih banyak mudharatnya dari manfaatnya.
c. Sepanjang jalan yang dilalui jalan tembus tersebut hanya sebagian kecil yang menyentuh lahan tidur yang sesuai dengan rencana semula.
3. Mengingat lahan krisis di sepanjang tapal batas kehutanan adalah tangung jawab
pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan terkait yang dibantu oleh
masyarakat.
Demikianlah surat laporan dan protes ini kami sampaikan kepada pimpinan dewan untuk ditanggapi dan ditindaklanjuti secepatnya demi menjaga timbulnya hal-hal yang tidak diingini semua pihak.
Atas perhatian dan tanggapannya kami ucapkan terimakasih. Semoga senantiasa Tuhan menyertai kita semuanya.
Hormat kami seluruh masyarakat Desa Barusjahe, Sukajulu, Sukanalu, Kubucolia, dan Tigajumpa. Terimakasih.
Ketua DPRD: Terimakasih atas penyampaian mengenai keberatan masyarakat Desa Barusjahe dan sekitarnya atas pembukaan jalan Pertumbuken-Serdang sepanjang 9 km yang melalui Deleng Ganjang di mana dalam penyampaiannya masyarakat Desa Barusjahe menyatakan bahwa Deleng Ganjang merupakan daerah tangkapan air untuk Desa Barusjahe.
Untuk itu sementara kami telah mendengar dan menerima penyampaian aspirasi yang Bapak Ibu sampaikan. Untuk itu terlebih dahulu kami ingin meminta kepada bupati yang diwakili oleh Ketua Bappeda.
Ketua Bappeda: Anggota DPRD dan juga Bapak Ibu sekalian peserta rapat pada hari ini. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama kita ucapkan puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa yang meridhoi kita berkumpul di tempat ini untuk mengikuti rapat dengan masyarakat Barusjahe sekitarnya yang menyampaikan aspirasi kepada DPRD dan juga Pemda Kabupaten Karo.
Pada kesempatan yang baik ini, perlu sedikit saya jelaskan, sesuai dengan permintaan pimpinan bahwa proyek pembukaan jalan Pertumbuken-Serdang adalah Proyek Nasional TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) ke-70.
Yang mana tahun ini di Sumatera Utara hanya tiga tempat yang mendapat. Dan ini diprogramkan pada tiga tahun lampau dan dilaksanakan pada tahun ini. Adapun tujuan dari proyek ini adalah akan membuka keterisoliran desa dari Pertumbuken ke Serdang. Salah satu tujuannya meningkatkan tarap kehidupan rakyat dan memungsikan hubungan lalulintas dan juga untuk membuka lahah-lahan. Kita melihat bahwa di sana banyak lahan-lahan yang tidak terbuka karena jalan ke sana tidak ada. Itulah pemikiran dasar dari TMMD ini waktu dicanangkan tiga tahun lampau.
Adapun yang tadi telah diterangkan, kurang lebih 9 km dengan lebar 8 meter. 30 meter dari hutan. Proyek TMMD ini sebelum dilaksanakan, kita telah sosialisasikan ke Kampung Pertumbuken dan Kampung Serdang. Berulang kali kita adakan pertemuan, sosialisasi, baik malam maupun siang dengan Dandim, begitu juga Panglima. Dan dalam pertemuan tersebut kita libatkan semua pihak, Dandim, unusur TNI, Kapolres juga Anggota DPRD Kab Karo.
Kita adakan diskusi dengan masyarakat di sana. Dari hasil rapat kita beberapa kali, mereka antusias. Kita sepakati bersama, tokoh masyarakat menunjuk jalan yang bisa dilalui.
Jika secara teknis kita tak dapat melaluinya kita alihkan ke tempat lain tapi dengan seperti yang kita sepakati. Karena secara teknis ada yang memang tidak bisa kita lalui dengan buldozer, atau beko.
Jadi makanya kalaupun ada lahan yang mungkin di tengah terkena, mereka tak problem, mereka setuju. Dan dalam hal ini mudah-mudahan selama ada kegiatan malah masyarakat Pertumbuken ikut bergotong royong setiap hari bersama petugas TMMD sejumlah 120 orang. Terimakasih.
Ketua DPRD: Atas keterangan yang diberikan oleh Ketua Bappeda tadi disinggung bahwa dalam sosialisasi sebelum Proyek TMMD pembukaan jalan tersebut dilaksanakan satu setengah bulan, dewan ini juga telah menugaskan Komisi B dan Komisi A langsung meninjau lapangan termasuk ditugaskan untuk memonitoring ke tengah-tengah masyarakat, apakah TMMD ini benar-benar sudah dilaksanakan secara benar.
Dan seperti Bapak Ibu sekalian ketahui kita dari DPRD sudah berulang kali turun ke lapangan dan dalam pelaksanaan seperti yang dikatakan Ketua Bappeda bahwa anggota DPRD ada yang ditugaskan langsung memonitor ke tengah-tengah masyarakat atas ekses yang mungkin ditimbulkan atas pembukaan jalan tersebut. Dan kemungkinan-kemungkinan apakah ada perambahan hutan atau ada dampak akibat pembukaan jalan tersebut, seperti yang Bapak Ibu sekalian kemukakan, akan mengganggu aliran air ke Desa Barusjahe karena lokasi Deleng Ganjang yang dilalui pembukaan jalan merupakan daerah tangkapan air ke beberapa Desa Barusjahe dan sekitarnya.
Di mana tadi secara jelas, Ketua Bappeda telah menjelaskan dan untuk itu kiranya kami harapkan lagi kepada Kepala Dinas Kehutanan atas masalah yang terjadi saat ini akibat dari penyampaian masyarakat yang menyatakan bahwa di sepanjang jalan yang dibuka TMMD tersebut terjadi perambahan hutan. Untuk itu, kami harapkan dapat diberikan penjelasan. Dipersilakan.
Kadis Kehutanan: Dalam kesempatan ini saya memberikan penjelasan-penjelasan menyangkut masalah lokasi kemudian pelaksanaan di lapangan, mungkin sekaligus nanti alternatif apa yang akan kita ambil dalam pertemuan ini.
Karena demikian banyak kita berkumpul, apalagi warga kita di luar. Ini adalah salah satu demokrasi yang kita wujudkan di kabupaten ini. Karena yang kami hadapi – paling tidak masalah Kabupaten Karo ini – kok kita bawa ke Medan. Ini kan lucu.
Jadi, ini Pak Ketua mengumpulkan kita di sini untuk mengambil jalan ke luar penyelamatan hutan tersebut.
Pertama dari segi lokasi mungkin dapat saya jelaskan bahwa lokasi TMMD ini adalah antara Pertumbuken dan Serdang. Dulu desa itu buntu. Pada waktu saya dulu mula-mula kerja, masih buntu.
Kita yang berkumpul di sini, jadi baik juga terlibat dalam pelaksanaan reboisasi. Saya masih ingat, lokasi ada seluas 265 hektar, tanah masyarakat yang diserahkan kepada pemerintah c/q kehutanan untuk direhabilitasi jadi lingkungan hidorlis.
Kemudian TMMD ini adalah Program Nasional, berarti program yang harus dilaksanakan pemerintah, katakanlah antara TNI dengan daerah, alternatif bagaimana agar daerah terisolasi ini bisa dikembangkan untuk membangun sarana utama, di samping juga TMMD ini adalah bantuan sosial, karya bakti ataupun untuk hal-hal lain yang diinginkan oleh masyarakat, ini tujuannya.
Bapak dari Bappeda menjelaskan bahwa ini sudah dimusyawarahkan. Memang potensi itu adalah Desa Pertumbuken dan Serdang. Tepat sekali memang seperti dinyatakan oleh utusan dari masyarakat bahwa lokasi ini adalah hulu Lau Guren. Jadi, banyak cabang-cabang sungai di atas yang semua mengalir ke persawahan modren yang membutuhkan air bersih.
Memang tepat sekali areal hutan alam tersendiri sangat terkenal wilayah hidrolis yang nantinya bermuara ke Wampu. Jadi sebenarnya orang Medan pun bisa ngomong. Seperti waktu banjir di Medan kita jelaskan saja masalahnya. Kita pun berterimakasih karena kita duluan memunculkan masalah, baru orang lain.
Jadi lokasi ini sebenarnya yang secara kesan pertama, kami dari kehutanan memang masih hidrolis, sehingga, kalau memungkinkan, misalnya jangan dari kawasan hutan lindung.
Tapi, sepanjang kita secara musyawarah dan kepentingan bersama tentu secara ekspansi kita juga mendukung apa pun program pemerintah.
Jadi, pertanyaan-pertanyaan – tuntutan masyarakat – mungkin di dalam pelaksanaannya ada hal-hal yang berkembang di lapangan sehingga menimbulkan suatu ketidaksenangan, itu wajar-wajar saja.
Secara teknis sebenarnya kalau di pihak kehutanan bahwa jalan yang dibuka ini melalui bimbingan. Artinya, ada dua saksi kita ikut saat sewaktu melihat satu hektar, ep, satu kilometer. Yang membawa sifat alam ada 3 km.
Ini memang sebenarnya, kalau dari segi teknis kehutanan, jalan itu juga diperlukan kehutanan untuk pengawasan, untuk mereboisasi dan untuk mengawasi hutan.
Tapi kita secara seloroh pula dengan Dandim mengemukakan dibukanya jalan memang dapat untuk pengamanan hutan tetapi kemungkinan juga memperlancar pencurian kayu.
Jadi inilah hal yang kita sepakati bahwa apa-apa yang sebenarnya terjadi adalah tetap tangung jawab bersama.
Kalau menyangkut pendapatan sebenarnya kawasan hutan alam, itu sebenarnya termasuk Tahura, jadi pengawasannya sama-sama dengan provinsi.
Secara prosedur sebenarnya bahwa TMMD ini seharusnya Dinas Kehutanan Provinsi pun dilibatkan. Cuma karena di era otonomi kayak-kayaknya sudah terputus. Sehingga kekuasan tak jelas.
Dari perencanaan itu harusnya melinatkan Dinas Kehutanan Provinsi yang berwenang menangani Sibayak I... Sibayak II. Di dalam prosedur dikaitkan juga dengan kabupaten berkaitan rute jalan yang dilalui TMMD menembus kawasan hutan beberapa kilometer dulu.
Sebelum ditebang, dibikin taksasi dulu berapa frekwensinya sehingga diketahui mana yang bisa ditebang dan mana pula yang tidak. Pengolahan kayu memang terpisah karena tiap kayu yang dikeluarkan harus pakai dokumen SKHH (Surat Keterangan Hasil Hutan). Dokumen itu akan diberikan oleh tingkat satu. Jadi sepanjang pengesahan belum ada dari tingkat satu, jadi itu tidak mungkin dikeluarkan.
Cuma, masalah yang kita hadapi kayu sudah tumbang, itulah makanya kita musyawarahkan bagaimana jalan keluar. Karena semula memang, kami secara kebijaksanaan bahwa masih menyerahkan, kepentingan kayu itu untuk masyarakat.
Itu makanya ada hal yang perlu kita sepakati bahwa biaya untuk ini pun sebenarnya, mungkin belum ada. Jadi, itu harus dibicarakan. Kadang-kadang demikian kita sekurangnya berpikir bahwa ada kebijakan, tetapi bagaimana menanggulangi. Tapi, secara proporsional, itu harus dimusyawarahkan.
Ketua DPRD: Sebatas itu di luar ketentuan tentang pembukaan jalan, yaitu sepanjang jalan 8 meter, ee, sekitar 8 meter, 9 dan 10 meter kiri kanan, kalau saya tidak silaf. Dan pada ketika itu daerah meminta agar apabila ada kayu di kawasan tersebut yang ditebang agar kayu itu dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, dan tidak ada ke luar.
Jadi demikian Saudara Kepala Dinas Kehutanan, di mana DPRD melalui Komisi B telah melakukan peninjauan ke lapangan sesuai dengan laporan, kesimpulan yang diperoleh oleh Komisi B di lapangan, di mana yang pertama penebangan kayu di sepanjang jalan masuk, masih di batas kewajaran.
Kedua perlu dibuat kesepakatan antara pihak Pemda dan masyarakat berkaitan pembukaan jalan baru dari Desa Pertumbuken ke Desa Serdang atas penebangan hutan tersebut.
Ketiga, hasil penebangan kayu di sepanjang jalan masuk antara Desa Pertumbuken dan Desa Serdang digunakan untuk kepentingan rakyat. Jadi sama dengan sebelumnya di mana pada waktu itu, pada pembukaan TMMD tersebut yang dihadiri oleh Ka Staf Kodam I Bukit Barisan dan pada acara penutupan TMMD tersebut kami menekankan kepada Bupati Karoagar kesepakatan yang kita ambil untuk ini tentang pembukaan jalan yang dibuka oleh TMMD sepanjang 9 km tersebut betul-betul tidak merugikan.
Ketua Komisi B DPRD: Terimakasih Saudara Ketua. Yang saya hormati Bapak-bapak Ibu sekalian. Sesuai dengan hasil kunjungan ke lapangan Komisi A dan B DPRD Kabupaten Karo di mana sebelumnya tadi Saudara ketua telah menyampaikan beberapa kesimpulan. Namun ini lebih baik saya jelaskan agar lebih mendetail.
Jadi, kesimpulan pertama, penebangan kayu di sepanjang jalan baru, kami simpulkan masih di batas kewajaran dengan alasan sesuai dengan informasi jalan tersebut di mana adanya penebangan kayu di sepanjang jalan, kami kira masih di batas kewajaran karena sesuai informasi kehutanan 10 m sampai 20 m, itu masih dapat kita tolerir.
Kesimpulan yang kedua, perlu dibuat kesepakatan antara pemerintah kabupaten dengan masyarakat dalam arti kesadaran tersebut di mana pembukaan jalan itu nantinya semata-mata bukan untuk penebangan kayu namun betul-betul untuk sarana peningkatan pertanian.
Kami kira inilah inti dari pertemuan kita ini sidang kabinet, tujuannya bukan untuk perambahan hutan.
Yang ketiga, hasil tebangan itu, sangat ironis kami kira, kalau itu kita cincang, karena itu bisa kita jadikan masukan untuk masyarakat.
Namun ini kan kita serahkan kepada masyarakat, apakah itu bagi masyarakat Barusjahe, Pertumbuken atau Serdang. Saya kira itulah yang perlu kita simpulkan pada hari ini. Saya kira itulah yang kami dapat dari lapangan Saudara Ketua. Terimakasih.
Ketua DPRD: Kita dapat sama-sama mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Ketua Bappeda dan Kepala Dinas Kehutanan serta Ketua Komisi B tentang apa yang disampaikan oleh masyarakat Desa Barusjahe dengan harapan kita semua telah memaklumi secara jelas apa yang terjadi di lapangan dan perlu bukti itu.
Sebelum sidang kami skors, kami beri kesempatan kepada wakil masyarakat Desa Barusjahe untuk memberikan tanggapan selanjutnya, kami persilakan.
Muliadi, Wakil Masyarakat Barusjahe: Ya, terimakasih pada Bapak Pimpinan Dewan. Di sini kami sedikit bertanya terlebih dahulu kepada Ketua Komisi B dan Komisi A yang terjun ke lapangan. Tadi benar Tim Komisi B dan Tim Komisi A menyatakan bahwa penebangan itu sesuai dengan ketentuan berlaku dan penebangan 10 meter persegi.
Jadi, di sini kami ingin bertanya kepada Komisi B, apakah memang menurut pendapat Saudara dari Komisi B: apakah sesuai dengan tujuan pembukaan jalan ini. Sebab, menurut tujuan adalah untuk mensejahterakan rakyat dengan terlebih dahulu pembukaan lahan tidur. Jadi, sepanjang yang kami lihat di area dari ujung jalan, ee, dari Pertumbuken sampai ke Desa Serdang, bahwa lahan tidur tidaklah seberapa disentuh daripada pembukaan jalan. Sebab kami lihat dari sebelah kanan dari Pertumbuken adalah jurang dan dari sebelah kiri adalah lahan tidur yang tidak seberapa, dan sesampainya di atas – di puncak – ada sedikit di situ sebagai pemujaan masyarakat.
Jadi, kalau kami lihat, lahan tidur tidaklah seberapa dibandingkan panjang jalan tersebut. Sebab, kalau kita melihat dari segi pembukaan lahan tidur, bisa kita tangkap, pembukaan jalan ini bisa sepanjang 3 km, tidak memerlukan sepanjag 9 km. Yang kami sebut adalah pembatasan antara kehutanan dengan masyarakat, yaitu yang disebut dengan Tapak Kuda, dan tanda-tanda tersebut sampai sekarang masih ada di tempat. Termakasih.
Ketua DPRD : Untuk itu yang langsung meninjau ke lapangan kami serahkan ke Komisi B. Hadirin bersorak-sorak.
Ketua Komisi B: Terimakasih. Sesuai dengan apa yang kami lihat di lapangan, bahwasanya, teknis seperti apa yang dikatakan ketua, namun demikian inti dari pertemuan kita agar tidak melebar. Intinya, jalan pintu, kita buat kesepakatan. Yang perlu diperbuat Bapak-bapak kesepakatan apa. Kesepakatan itu kita buat yang tujuannya jangan untuk perambahan hutan.
Jadi saya kira itu yang perlu Bapak tuntut, karena masalah kayu itu Pak, terus terang, saya juga tida menguasainya. Jadi saya kira yang bisa saya bantu, yang bisa saya jelaskan hanya masalah kesepakatan yang bisa kita buat tersebut. Saya kira demikian, terimakasih.
Ketua DPRD : Pertemua kita ini, kita lanjutkan dalam keadaan sidang diskors saja, agar kita bisa lebih terbuka, lebih rileks, ya, supaya kita jangan tegang. Saya lihat Valent sudah mulai tegang dia. Jadi kita skors saja sidang ini, masih dilanjutkan. Terimakasih, sidang kita skor dengan resmi. Ketua DPRD Karo menokokkan palu tiga kali ke meja.
Setelah sidang diskors.
Ketua DPRD : Kepada Bapak-bapak, Ibu sekalian yang ingin menyampakan saran dan pendapat, tapi saya rasa, maaf saya sangat tertegun dan tertarik ketika para Ibu Bapak dan Saudara sekalian mengatakan tadi bahwa – kita ini saya rasa sudah sepakat dengan apa yang Saudara katakan bahwa kita tidak ada menghambat program pemerintah, bahkan kita menunjang tiap program pemerintah. Terimakasih, dipersilakan.
Valent : Jadi sebenarnya, saya mau ikut hutan ini sejak 17 Agustus lalu, saya pulang ke kampung saya juga sudah kering karena di atasnya dirambah dengan sepotong surat berstempel. Saya tidak tahu Dinas Kehutanan, yang pasti masyarakat kabupaten ini mendukung pembangunan.
Kalaulah jalan itu bisa 3 km, kenapa harus 9 km. Ini saya lihat cara-cara pencuri kayu dari kabupaten lain dipindahkan ke Kabupaten Karo ini. Jalan-jalan untuk menghancurkan hutan. Jadi, saya punya dokumen yang di Barusjahe. Nanti Bapak Ketua DPRD bisa lihat dokumen apa ini.
Ini kebetulan Bapak ini orangtua saya, kawannya Bapak saya mendiang. Valent menunjuk ke arah Bon Purba, Ketua DPRD Kabupaten Karo. Ayah saya dulu bersekolah karena Kabupaten Karo ini subur. Bisa dia jalan 20 km, pulang sekolah dia ngemong. Yang saya takutkan, tambah ke depan kabupaten ini tak bisa buat apa-apa. Kabupaten ini bisa hidup dari tiga hal: pariwisata, pertanian dan satu lagi pendidikan. Masyarakat di dalam dan di luar ruang rapat paripurna berosak-sorak. Dan semua ini hanya bisa terselenggara, kalau ada hutan.
Sementara soal humus, sudah seratus persen nol. Kalau Bapak-bapak jalan, itu kayu-kayu merana karena humusnya sudah habis. Akibat itu, ulat menyerang jeruk, itu sudah pasti. Walau ada ahli hutan kita, itu tidak pakai hati nurani. Dia pakai bahasa-bahasa yang intinya untuk mengaburkan masalah demi kepentingan dia.
Saya sendiri pernah diajaknya ke Penang dan lain-lain. Saya bilang tidak. Kenapa? Ini masalah anak cucu kita, bukan kita saja. Dan saya terus terang, mungkin Bapak-bapak di sini kenal saya. Saya tidak ada vested, atau maksud yang lain-lain.
Bapak-bapak ini (menunjuk warga Barusjahe) datang ke kantor saya dalam keadaan mereka sedih karena airnya sudah tidak ada. Dan saya bilang, kita tak boleh menghambat program pemerintah (masyarakat di luar ruang rapat terus bersorak dan bertepuk-tepuk). Tapi lucu, kalau bisa 3 kilo, kita harus buat 100 kilo, supaya hutan-hutan ini habis. Ini yang lucu, dan ini cara-cara pencuri kayu dari kabupaten lain.
Kenapa saya bilang begitu, di Riau sekarang banjir, 400 ribu KK mengungsi, siapa nanti yang bertangung jawab ini. Sementara Sunggal banjir gara-gara perambahan hutan di Lau Gedang, siapa yang bertanggung jawab itu? Berapa orang yang mati?
Dan, untuk membangun hutan, saya kira Pak Kadis Kehutanan sudah mahir, itu tidak bisa setahun, paling tidak 30 tahun, itu pun kalau jadi. Dan di Kabupaten Karo ini, tidak ada izin untuk penebangan hutan. Ini sudah pasti (masyarakat di dalam ruang rapat dan di luar berosrak-sorak).
Jadi sekarang, marilah kita pakai hati nurani kita. Karena menurut saya yang namanya putra daerah itu saya bagi tiga.
Yang pertama, putra daerah yang mengatasnamakan diri putra daerah untuk cari makan dan merampok di daerahnya, itu yang pertama. Yang kedua, adalah putra daerah yang tidak mau tahu sama sekali. Dan yang ketiga adalah putra daerah yang punya maksud baik membangun daerahnya. Itu tiga hal.
Jadi saya yakinkan kepada Ibu Bapak anggota dewan yang terhormat. Ya, karena saya agak sedikit stres seperti yang dikatakan orangtua saya tadi, kenapa? Saya melihat, kenapa rakyat kita ini menderita, kenapa tidak kita pikirkan jalan yang lebih baik. Kenapa tidak kita pikirkan. Kalau ini, bisa Bapak tonton CD (memperlihatkan CD kepada hadirin) ini, 80 meter kiri kanan, hutannya dirambah. Dan itu, dikuatkan, termasuk di sini ada nomor-nomor plat mobilnya. Ini saya serahkan pada Bapak Kepolisian.
Jadi (hadirn bersorak dan bertepuk tangan kian riuh) sekali lagi saya ingatkan, saya rela satu orang meninggal daripada satu batang kayu ditebang (hadirin – di dalam ruang rapat maupun di luar – kian riuh). Kalau ada yang mau menebang, saya bilang pada Bapak-bapak ini, ajak saya. Saya akan peluk batang itu, supaya saya yang disinso. Kenapa? Karena kita tak bisa hidup tanpa hutan.
Maka saya bilang di dalam tulisan saya (memperlihatkan naskah artikel kepada hadirin) yang diterbitkan beberapa koran: Hutanmu, Hutanku dan Hutan Kita, betapa negara-negara yang merambah hutannya menyesal. Menyesal mereka, tidak bisa buat apa-apa lagi. Dan ini hanya mengayakan individu. Dan saya yakin karena – kebetulan sebagian besar anggota dewan ini adalah orangtua dan Bapak-bapak saya – mereka pasti punya idealisme yang baik.
Dan kawan-kawan yang di luar – orangtua saya juga – mari kita jaga dengan tertib, kita ikuti program. Dan nanti – kalau tidak, misalnya gara-gara pembangunan ini menjadi miskin – mari kita datang ramai-ramai ke sini. Karena ini – seperti kata Bapak Ketua DPRD tadi adalah tempat pengaduan kita. Cuma sekali lagi saya tekankan, daripada satu batang pohon kayu jatuh di kabupaten ini, saya memilih Saudara saya meninggal satu orang. Karena kayu adalah hidup kita. Tanpa itu, kita tak bisa hidup, ia kan?!
Masalah hutan di sini, saya tadi dengar dari Bapak-bapak DPRD. Sebenarnya, kalau dijalankan program tanpa penyimpangan, sebenarnya tak ada masalah. Tapi karena penyimpanganya luar biasa. Itu bukan lagi 10 meter Pak, 80 meter kiri kanan dirambah. Jadi bagaimana rakyat ini mau bertani.
Dan, saya yakin, jangan sekali-sekali di kabupaten ini terjadi kasus di sebuah kabupaten di Jawa. Saya ketuk hati nurani Bapak-bapak.
Di Kerawang dulu, waktu saya kecil, terkenal sebagai lumbung beras. Ternyata karena perambahan hutannya luar biasa, daerah itu tandus. Sekarang saya serahkan kepada Bapak-bapak untuk menjawabnya.
Jadi, kalau kita mau kabupaten ini untuk hari ini, saya jawab, silakan rambah. Tapi kalau kita mau kabupaten ini untuk anak cucu kita, lebih bagus satu Saudara kita meninggal daripada satu batang kayu jatuh.
Kalau Bapak dari pihak berwajib mau melihat ini, tidak susah, CD sudah ada, bahkan plat mobil dan panglongnya ada di sini (Valent memperlihatkan CD kepada hadirin). Jadi, kalau ada orang Kabupaten Karo ini yang melindungi perambah hutan, saya anggap itu orang yang pertama tadi: mencari makan mengatasnamakan orang Kabupaten Karo untuk merampok.
Terimakasih. Kalau ada ucapan saya salah, saya mohon maaf (di dalam ruang rapat dan di luar, masyarakat berosak-sorak, bertepuk-tepuk sembari menyebut: hidup Valent, hidup Valent, hidup Valent).
Ketua DPRD : Terimakasih.
Valent : Yang saya hormati, orangtua saya, Bapak Ketua DPRD, kawan-kawan, Bapak-bapak saya di DPRD yang saya hormati, kemudian para Kadis, Pak Bupati yang saya hormati, tolonglah mulai hari ini, jangan satu batang pohon pun jatuh. Kalau tidak – saya terus terang – tidak lagi mau bertangung jawab atas keamanan. Kenapa? Mengerikan buat saya. Kampung saya cukuplah jadi contoh. Nanti Bapak Kadis Kehutanan bisa saya bawa ke sana, betapa ngerinya Lau Jandi itu, saya bawa Bapak ke Pernantin, sawah-sawah itu tidak bisa diairi.
Kita jangan buat ini seperti daerah lain. Sampaikanlah ini pada Pak Bupati. Sampaikanlah ini pada panglong-panglong itu, sampaikanlah. Bukan apa-apa, ngeri saya melihat Saudara-saudara saya tak bisa berladang, ngeri.
Kalau misalnya, mereka dipajaki 100 kali lipat, saya tak open. Dan saya lihat Saudara-saudara saya yang orang Kabupaten Karo ini tidak ada mau menghambat pembangunan sedikit pun. Tapi, jangan atas nama pembangunan mereka tak bisa bertani, sedih itu, Pak. Kalau Bapak-bapak mau, Bapak pergilah ke kampung, sedih itu.
Bagaimana kalau itu mesti terjadi sama anak cucu kita. Biarlah Kabupaten Karo ini, sekarang kita sehat, anak kita sehat, cucu kita sehat, sampai cicit kita.
Dan, Berastagi itu, terkenal sejak sebelum kita merdeka sebagai kota pariwisata. Mari kita bangun. Kita bisa hidup bukan hanya dari tebang kayu. Tapi kita bisa hidup dari pariwisata, dari pertanian, dari pendidikan.
Saya pikir marilah kita kembali ke Kabupaten Karo Simalem, mari kita jaga adat kita. Tanpa hutan, kita tak punya adat. Bagaimana orang kampung saya bisa buat ‘tawar’, bagaimana orang kampung saya buat adat-adat yang lain. Karena, dari hutan muncul adat, mari kita jaga hutan kita. Tolonglah, dan ini permintaan tolong saya kepada Bapak-bapak dewan terhormat, kepada para pejabat-pejabat. Dan saya kalau jadi Bapak – daripada saya disuruh berkhianat kepada hutan lebih baik mundur dari jabatan saya. (Hidup Valent... hidup... hidup teriak hadirin).
Nanti Bapak tanya pada orang desa ini – saya katakan – nanti selesai ini, lupakan nama saya, karena saya tidak pernah kepingin jadi apa-apa. Tapi, kalau Saudara saya tidak bisa bertani, saya akan kembali ke kampung saya untuk berjuang. Terimakasih, selamat siang.
Ketua DPRD : Saya akan memberikan sedikit penjelasan dan tanggapan kepada Saudara-saudara sekalian dengan rasa hormat dan terimakasih kami sampaikan kepada Saudara-saudara sekalian atas penyampaian yang Bapak Ibu sampaikan, terutama penyampaian yang disampaikan Saudara dr Valent yang sangat berapi-api menanggapi perambahan hutan.
Kami jelaskan kepada Saudara-saudara sekalian bahwa dewan ini tidak pernah merekomendir untuk perambahan hutan. Malahan, kalau Anda lihat dewan ini beberapa kali kami membuat surat kepada eksekutif dan instansi terkait termasuk aparat kemanan untuk menghentikan perambahan hutan yang jelas-jelas memang akan menyengasarakan masyarakat ke depan.
Untuk itu Saudara-saudara sekalian seperti yang Saudara katakan dan meminta kepada kami untuk berpikir dan membuat secara nurani, itu benar-benar kami katakan. Sekali lagi meminta kepada pihak eksekutif dan aparat terkait lainnya, termasuk aparat keamanan untuk tidak lagi melakukan perambahan hutan.
Kami tidak menuduh pihak-pihak yang telah melakukan penebangan secara liar. Tapi kami meminta agar tidak ada lagi penebangan-penebangan liar, bukan hanya di daerah Barusjahe, tapi di seluruh Kabupaten Karo.
Dan kami akan sangat terbuka atas penyampaian Saudara-saudara sekalian atas akibat dari adanya penebangan liar atas hutan terlebih-lebih hutan sebagai daerah tangkapan air untuk masyarakat sekelilingnya. Kami katakan tangkapan air, sebab Saudara sekalian tidak hanya untuk air minum.
Dan untuk itu, sekali lagi dengan hormat kami katakan kepada Saudara-saudara sekalian bahwa dewan ini tidak pernah merekomendir bahkan meminta kepada aparat terkait untuk menghentikan penebangan-penebangan liar.
Apakah saya rasa di antara kita sekalian ini tidak pernah mengadakan penebangan liar? Karena sebenarnya untuk mencegah penebangan liar dan pelestarian hutan, tidak harus menjadi tangung jawab pemerintah, tapi justru tanggung jawab kita semua.
Maka untuk itu, kalau dikatakan pembukaan jalan baru antara Pertumbuken dan Serdang yang sengaja itu kita elakkan untuk penebangan kayu, tujuannya. Kalau itu, secara teknis nanti akan dijawab oleh pihak eksekutif. Tapi, secara politis dan moral, apabila dalam pembukaan jalan tersebut sebagai sandiwara, sampai saat ini masih ada penebangan kayu, kami segera akan memerintahkan dihentikan untuk tidak adanya lagi penebangan kayu, sekarang ini.
Dan, kalau dikatakan, agar semua tanggapan Bapak-bapak itu agar penebangan kayu dihentikan dan kiranya pembukaan jalan itu disalahgunakan tadi sudah saya katakan, bahwa pada awalnya pembukaan TMMD dan Penutupan TMMD, saya garisbawahi, saya tekankan agar tidak ada penebangan liar di luar batas toleransi pembukaan jalan yang telah disampaikan oleh Bappeda dan pihak Kodim pada waktu itu.
Dan sebenarnya yang saya katakan bahwa pembukaan jalan tersebut tak ada unsur politis, selain sebenarnya yang saya ketahui menurut penjelasan bupati bahwa pembukaan jalan itu untuk membuka keterbelakangan, di mana masih sekitar jalan baru tersebut adalah melalui lahan tidur yang perlu dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Jadi, sekali lagi, untuk DPRD ini, sejak awal sudah jelas seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Ibu sekalian. Merekomendir? kadang-kadang ada isu, tapi Bapak Ibu juga harus sadar bahwa orang-orang di DPRD ini bukan malaikat, yang sekejap bisa melakukan apa yang kita kehendaki bersama. Tapi minimal melaksanakan tugas-tugas pengawasan yang dilakukan pihak eksekutif.
Anggota DPRD : Terimakasih kepada Ketua DPRD, kemudian kepada anggota-anggota dewan terhormat, warga masyarakat Barusjahe sekitar, eksekutif.
Selanjutnya berbahasa Karo yang kira-kira menyatakan, masing-masing kita punya pandangan masing-masing. Karena itu, ia menganjurkan untuk membentuk Tim Khusus yang terdiri dari: DPRD, Eksekutif, Tim Teknis.
Di samping ini saya juga menyarankan agar Tim Teknis yang saya maksudkan ini adalah termasuk elemen-elemen masyarakat untuk terlibat secara langsung. Saya pikir, pimpinan dewan harus membantu Tim Khusus.
Anggota Dewan yang lain berdialog dengan masyarakat yang intinya, tidak akan ada lagi penebangan hutan. Jika ada, disikat bersama-sama. Hadirin bertepuk tangan riuh.
Anggota Dewan : Kita minta kesepakatan pada masyarakat, jangan seperti yang lalu-lalu, entah bagaimana, entah bagaimana, mundur mereka, sehingga kita yang terjepit (Hadirin riuh, masyarakat merasa lucu dengan penjelasan anggota dewan tersebut. Karenanya, mereka bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan).
Masyarakat Barusjahe : Kami tidak akan mundur.
Pendapatan Tarigan, masyarakat: Maysarakat Barusjahe, kalau ada apa-apa, kita serahkan diri pada polisi.
Anggota DPRD yang lain : Kita siap mengamankan Kecamatan Barusjahe.
Masyarakat Barusjahe : Sesuai dengan keterangan anggota dewan, kami masyarakat Barusjahe, menginginkan penebangan dihentikan, Pak. Jangan hanya diucapkan. (dr Robert Valentino Tarigan SPd memperlihatkan naskah kepada masyarakat Barusjahe).
Terjadi dialog dalam bahasa daerah antara anggota DPRD dengan masyarakat yang intinya akan diambil kesempatan yang ditandatangani Ketua DPRD.
Utusan masyarakat lainnya: Setelah saya mendengar apa yang disampaikan eksekutif dan masyarakat, kayaknya ini sebuah konsultasi publik yang gagal. Kenapa? Karena pembangunan jalan itu hanya menghubungkan dua titik saja, tanpa punya manfaat buat masyarakat. Karena itu, kegiatan kita ini jangan rutinitas saja. Harus ada keputusan politik dan keputusan hukum, yang pada satu titik, jauh lebih terasa manfaatnya.
Jadi, bukan hanya menggunakan dua titik saja dengan alasan keterbelakangan. Konsultasi hukum ini memang betul-betul gagal. Jadi, jangan dipolitisasi bahwasanya telah ada sosialisasi kepada masyarakat, ini juga tidak betul (betul... betul, sahut masyarakat).
Jadi, kita minta dengan segala hormat agar dewan mengambil keputusan politik dan keputusan hukum pada hari ini, tidak ada penundaan dan jangan menghubungkan jalan itu saja. Itu saja dulu, terimakasih.
Ketua DPRD: Kami berjanji membuat secara maksimal tentang tuntutan masyarakat. Salah satunya – keputusan itu – paling lambat seminggu. Karena sebenarnya mekanisme dewan ini – untuk menuntaskan sesuatu – harus melalui rapat pimpinan.
Aku pernah mendapat informasi dari masyarakat Barusjahe keberadaan plank-plank tersebut – dan salah satu di situ katanya, saya memang tak melihat, entah di CD ini nanti – plank di situ juga ada: tanah ini milik bupati (tidak ada, jawab seseorang yang disahuti oleh yang lain secara bersama-sama: tidak ada, sembari mengoyang-goyangkan tangan mereka yang terbuka).
Dan, langsung saya tanyakan bupati pada waktu itu, dan dia tidak tahu sama sekali. Ada yang menginformasikan kepada saya, saya tanya langsung beliau karena saya takut yang begini begini nanti, masyarakat yang ribut. Yang sebenarnya memang tidak ada? (Tidak ada, jawab hadirin).
Dan mengenai program yang Saudara katakan itu, bupati sendiri yang menginformasikan itu kepada saya bahwa ada anggota masyarakat yang mempertanyakan kepada bupati dari mana dia mendapatkan hak atas tanah itu. Kok di sana ada plank yang mengatasnamakan beberapa orang. Dan bupati katakan pada saya bahwa, dia jawab dia sendiri tidak tahu sama sekali dan tidak pernah lihat. Jadi untuk itu, sebagai masukan, kami ucapkan terimakasih.
Jeda sesaat, kemudian Ketua DPRD: Jadi, marilah para Ibu Bapak dan Saudara-saudara sekalian, dan Bapak anggota dewan terhormat, dalam keadaan sidang diskor tadi, maka perkenankan kami mencabut skor kembali, terimakasih.
Peserta sidang menuruni anak tangga gedung DPRD Kabupaten Karo, satu per satu ke luar gedung. Halaman Gedung DPRD ramai kembali. dr Robert Valentino Tarigan SPd di tengah-tengah masyarakat. Beberapa kaum ibu dan bapak menyalami Valent. Salam itu, disambut oleh hangat.
Di halaman gedung DPRD Kabupaten Karo, salah seorang yang mewakili masyarakat dalam bahasa daerah meminta masyarakat Barushaje, Tigajumpa, Sukajulu, Kubucolia, dan Sukanalu agar kokoh dalam pendirian. Karena, unjuk rasa yang mereka lakukan, semata agar penebangan dihentikan karena mata air mereka kering (Hidup... hidup... hidup, pekik masyarakat sembari bertepuk-tepuk tangan. Terlihat juga Valent bertepuk tangan dan tertawa kecil menyaksikan kekompakan masyarakat).
Valent: Lebih bagus kita yang ditebang daripada kayu, seperti yang saya katakan tadi. Permintaan saya, kita lakukan semua dengan tertib, kita taat hukum. Kalau kita melanggar hukum, mari kita serahkan diri kita ke polisi. Kan lebih bagus kita di dalam, ditahan polisi daripada sawah kita kekeringan (Hidup...hidup...hidup teriak masyarakat sembari bertepuk-tepuk tangan).
Jadi begini saja, saya mohon doa restu Bapak Ibu supaya kita semua bisa sehat-sehat, terimakasih kepada Bapak-bapak, Ibu dan Saudara sekalian (Terlihat juga Gedung DPRD Kbupaten Karo lama yang tinggal puing sisa kebakaran. Nampak pengawalan polisi yang cukup baik). Dan masyarakat pulang dengan tertib. ***


































Bab Tujuh

Kunjungan Anggota DPR RI

Empat anggota DPR RI, masing-masing Nuah Torong (Komisi IV), H Muhammad Utoyo (Komisi IV), H Mudahir (Komisi VII), dan Ngarang Sembiring (Komisi III) menyusuri rimba Deleng Ganjang. Bersama sekitar 200 masyarakat, keempatnya menyaksikan alam Kabupaten Karo yang indah, tetapi beberapa sisinya telah dirusak demi kepentingan mengambil kayu secara tidak sah.
Di antara keempatnya yang terlihat agak ringkih adalah H Mudahir. Begitupun dengan semangat – setelah malamnya menginap di salah satu hotel di Berastagi – ia dan keempat rekannya berjalan tegap-tegap. Ngarang sembiring yang berperut agak buncit pun tak jauh beda. Sementara Utoyo yang atletis serta Nuah yang agak kecil dan langsing jelaslah lebih gesit menerobos rimba Deleng Ganjang.
Unjuk rasa damai masalah perambahan hutan lindung Deleng Ganjang bergema ke mana-mana. Getarnya sampai juga menyentuh wakil-wakil rakyat di Jakarta. Dalam robongan terlihat Valent, beberapa wartawan media cetak dan elektronik serta masyarakat berbaur jadi satu meninjau lokasi perambahan hutan, mengadakan komunikasi tatap muka dengan masyarakat Barusjahe sekitarnya. (Terlihat gubuk tempat pengolahan kayu. Tim berbincang-bincang di depan gubuk tersebut).
Mengingat perambahan hutan merupakan proses penghancuran kehidupan anak cucu kita, maka masyarakat Karo sangat benci, sedih terhadap penebangan liar. (Terlihat masyarakat menyalami Tim Anggota DPR RI. Seseorang menyanyikan lagu O Tanah Karo Simalem yang biasa dilantukan Tiovanta Pinem. Masyarakat juga menyalami dr Robert Valentino Tarigan SPd dan rekan-rekan).
Sebagai penawar hati yang luka buat masyarakat Desa Barusjahe sekitarnya dan Tanah Karo umumnya, Valent berjanji akan memotori reboisasi di Tanah Karo dengan motto: jangan wariskan air mata buat anak cucu kita, tetapi wariskanlah mata air buat mereka. Seperti orangtua kita yang mewariskan mata air dan hutan buat kehidupan kita (Pendapatan Tarigan, tokoh Barusjahe memperlihatkan peta pembukaan jalan kepada HM Utoyo dan Tim dari DPR RI).
Masyarakat, Tim DPR RI, Valent dan rekan-rekan menyanyikan lagu Indonesia Raya di rimba Deleng Ganjang tersebut. Meski bersahaja, lagu itu dinyanyikan dengan khidmat yang diderijeni seorang wanita separo baya mengenakan sarung, tanpa alas kaki. Usai itu, sama-sama meneriakkan: merdeka!
Pertua Pendapatan Tarigan: Mengucapkan terimakasih atas kesediaan Tim DPR RI datang ke mari, juga Valent dan rombongan, para wartawan yang ikut meliput pada hari ini, kami masyarakat Barusjahe mengucapkan selamat kepada Bapak atas kehadirannya ke daerah ini.
Beberapa kali diadakan pertemuan di hutan ini, itu adalah perjuangan melestarikan hutan, lingkungan hidup kita yang telah banyak oknum-oknum yang tidak bertangung jawab untuk kepentingan pribadi mereka merambah hutan ini.
Dan kami masyarakat Barusjahe mohon kepada Bapak supaya ini dapat Bapak tuntaskan dari Jakarta dan Medan, supaya penebangan-penebangan liar tidak diteruskan. Mohon kami supaya jalan ini ditutup karena ini adalah satu-satunya mengundang, merusak kehidupan. Nggak panjang lebar kami berbicara. Kami mendengarkan saran dari Bapak. Terimakasih, mejuah-juah kita krina.
Nuah Torong: Kami Anggota DPR RI, aku sendiri gelarku Nuah Torong, asalku Kabajahe nari. Aku mewakili DPR dari Tanah Karo nari di Jakarta untuk mewakili kam krina, aku wakil ndu.
Bas kesempatan enda, kubaba temanku Jakarta nari, Pak Utoyo, ia Komisi IV, Komisi Bidang Pembangunan Jalan Kimpraswil Inprastruktur, sesuai ras ndu dalan endu. H Mas Utoyo ia Jawa Tengah nari Wakil PDI Perjuangan (Utoyo mengucapkan mejuah-juah: merdeka! – Hidup PDI, teriak masyarakat pula).
Kemudian H Mudahir, ia bas Komisi Waluh nari, Komisi membidangi masalah Lingkungan Hidup, ia wakil mas PDI Perjuangan Nusatenggara Barat nari, sengaja kubaba ke jendae (Merdeka, teriak Mudahir sembari mengangkat kepalan tangan kanannya ke udara).
Peteluken, kupetandaken Karo asli tapi wakil Jawa Tengah nari, gelarna pakena Ngarang Sembiring, ia bas bidang Kehutanan nari Komisi Telu. Jadi ia mekari simbuena nyerap masalah-masalah enda, erkite-kiteken, ia masalah Kehutanan enda ia wakil PDI Perjuangan nari bas Jawah Tengah nari.
Ngarang Sembiring : Bujur, kukateken perlengkape diriku gelarku dikateken Ngarang, Sembiring Karo-karo Sitepu.
Nuah Torong : Antusiasme masyarakat memperjuangkan masalah lingkungan hidup begitu besar. Jadi, setelah mendapat CD dan membaca surat-surat kabar, beberapa kali aku berkomunikasi via telepon ras dokter Robert Valentino Tarigan, jadi sepakat kami membawa masalah ini jadi persoalan DPR Pusat. Sudah kuucapkan dengan menteri, sepakat kami untuk memperjuangkan masalah ini. Makanya kita berkumpul di sini, kubawa tiga teman.
Ngarang Sembiring, tepat sekali untuk menangani masalah ini. Nanti akan dibicarakan dengan Menteri Kehutanan, bagaimana isi hati masyarakat.
HM Utoyo : Salam sejahtera bagi kita semua. Selamat siang. Saya sangat berterimakasih atas undangan Pak dokter Valent, sehingga bisa bertemu dengan masyarakat, khususnya dari Barusjahe. Ini adalah pertama kalinya saya berkunjung ke Barusjahe, walaupun saya berkali-kali ke Medan.
Dan, tadi oleh Bapak ini (menunjuk Nuah Torong) saya diberi gelar kehormatan marga Barus (Hadirin bertepuk tangan, di antaranya berteriak: hidup Barus).
Ngarang Sembiring : Jadi, kami atas nama fraksi mengucapkan banyak terimakasih kepada masyarakat di sini karena telah bersedia berjuang untuk menyelamatkan hutan. Memang sekarang ini hutan harus diselamatkan. Beri bernapas, instruksi presiden. Pemerintah menginstruksikan, masalah hutan: berilah bernapas. Tanyakan, bisa dipotong atau tidak. Itu artinya, pilih. Tidak sembarang potong.
Usai meninjau hutan Deleng Ganjang, Tim DPR RI, Valent, rekan-rekan wartawan dan masyarakat berkumpul di Jambur Barusjahen Desa Barusjahe Kecamatan Barusjahe.
Valentino : Lebih baik kita berladang satu hektar di lokasi yang hutannya masih terjaga daripada lima hektar di tempat yang hutannya sudah tidak ada lagi.
Begitu juga soal humus, karena habis dicuri, bukan saja tanahnya tidak subur, sekarang di Tanah Karo ini, lalat hama jadi masalah.
Saya pernah tinggal di Kabajahe tahun 73-an. Waktu itu tidak sulit mencari kol yang beratnya lima kg. Sekarang bagaimana? Artinya, hutan itu harusnya untuk kita hari ini, untuk kita besok, dan untuk kita yang akan datang.
Masyarakat : Minta jalan ditutup kembali, dan lahan tidur yang telah dirambah direbosiasi kembali.
Masyarakat yang lain : Masyarakat berharap masalah ini dibicarakan di Medan dan Jakarta.
Setengah hari mereka habiskan waktu menyusuri jalan-jalan yang dibuat cukup besar walau belum beraspal. Bahkan di antara jalan-jalan besar tersebut terdapat pula jalan arteri yang mengarah ke kayu-kayu besar. Maka, wajarlah mereka menilai banyak hal yang harus dipertanyakan menyangkut pelaksanaan proyek pembangunan jalan tembus yang menghubungkan Desa Pertumbeken-Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Sebab, setelah dilaksanakan peninjauan ke lapangan, terlihat memang ada perambahan hutan yang mengatasnamakan proyek jalan.
Hal itu diungkapkan keempat anggota dewan di hadapan lebih kurang 300 masyarakat Barusjahe sekitarnya di Jambur Barusjahe, Kabupaten Gunung, siang menjelang sore, selepas makan siang bersama.
“Setelah melihat langsung ke lapangan, kami berkesimpulan kita harus menganggap pembangunan jalan tembus ini adalah proyek gagal sehingga harus ditutup dan areal hutan lindung yang telah dirambah harus dihijaukan kembali,” kata Nuah Torong yang merupakan anggota DPR dari daerah pemilihan Sumut. Menurutnya, hal yang menjadi pertanyaan di benak anggotan dewan itu antara lain adalah soal lokasi jalan tembus itu. “Kalau bisa hanya 3 atau 4 km, kenapa harus dubuka jalan 9 km, ini yang perlu dijelaskan. Begitu juga soal dana proyek ini, dari mana? Kalau dari APBD, sampai sekarang APBD Karo saja pun belum disahkan,” lanjutnya.
Sementara Ngarang Sembiring yang anggota Komisi III DPR (membawahi bidang kehutanan) itu menyatakan rasa simpatinya kepada masyarakat Barusjahe yang berani menentang aksi-aksi perambahan hutan lindung di Deleng Ganjang itu.
Sembiring juga mempertanyakan, mengapa pelaksana proyek jalan tembus itu berani membuka jalan di areal hutan lindung Deleng Ganjang tanpa ijin Menteri Kehutanan. “Ini yang kita pertanyakan”.
“Sementara program pemerintah sekarang adalah lestarikan hutan dan berikan hutan bernafas. Kok di sini malah hutan lindung pun dirambah,” katanya.
Menurut HM Utoyo, selalu anggota DPR Komisi IV yang juga membawahi bidang pembangunan jalan dan kimpraswil (permukiman dan prasarana wilayah) sebenarnya ide pembangunan jalan tembus Desa Pertumbeken-Serdang itu cukup baik. Tapi pada kenyataannya, jalan itu hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan merugikan masyarakan banyak.
Tentu merugikan masyarakat banyak kalau hutan lindung itu jadi gundul dan masyarakat dari 5 desa di bawahnya jadi kekeringan.
Setelah mendengar keluhan dan tuntutan masyarakat Barusjahe, keempat anggota dewan itu kemudian sepakat bahwa aspirasi masyarakat Barusjahe akan diperjuangkan secara politis dengan memberikan tekanan kepada pihak Pemkab Karo dan Dinas Kehutanan Sumut untuk meninjau ulang proyek.
“Soal ini akan kami bawa ke Jakarta dan dikonsultasikan kepada Menteri Kehutanan. Tapi kami harap, usaha kami secara politik ini, juga diiringi dengan upaya berupa aksi dari masyarakat,” ujar Nuah Torong.
Sebelumnya, Nuah Torong menjelaskan latar belakang kedatangan keempat anggota dewan itu ke Kabupaten Karo atas undangan dr Robert Valentino Tarigan SPd yang bersama masyarakat Barusjahe bergabung untuk menuntut dihentikannya aksi perambahan hutan lindung di proyek jalan tembus itu.
“Setelah kami lihat rekaman CD (compack disc) dan klipping koran soal perambahan hutan itu, kami merasa sudah harus melihat langsung ke lokasi,” paparnya.
***
Unjuk rasa damai mayarakat Barusjahe sekitarnya di Kantor DPRD Kabupaten Karo sudah dilakukan. Masyarakat pun sudah menyampaikan keluhan ke anggota DPR RI, juga ke DPRD Sumut, pelaku perambahan hutan belum juga ditangkap.
“Janganlah kamu diam para penguasa. Jangan lupa dan kunjungilah kami sekali-sekali. Camkanlah bagaimana sengsaranya hidup kami,” teriak seorang warga sembari menatap jalan lebar memanjang. Sejauh mata memandang adalah hutan pinus yang sebagiannya porak-poranda. Di sebelah kanan jalan terlihat tumpukan kayu pinus disusun rapi, menunggu diangkut.
“Segala makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama kami. Semua menangis tersedu-sedu akibat orang rakus masa kini,” lanjutnya dan mengamati akar-akar kayu, sisa-sisa penebangan. Terlihat pula tunggul kayu kemerah-merahan mengisyaratkan belum lama ditebang. “Ini akibat hidup yang mementingkan diri sendiri untuk tujuan uang,” tambahnya. ***































Bab Delapan

Rapat di Pemkab Karo

Ruang Rapat Pemkab Kabupaten Karo dipenuhi masyarakat, muspida, serta para wartawan. Ruang rapat yang luas itu memang sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Meja panjang yang di atasnya terdapat pengeras suara untuk tiap orang, dalam posisi berhadap-hadapan antara masyarakat dan pemerintah setempat.
Valent: Nama saya dr Robert Valentino Tarigan. Saya mewakili masyarakat Desa Barusjahe. Jadi, saya membawa sebuah peta dan CD (Memperlihatkan pada hadirin) bahwa di sana terjadi perambahan hutan yang luar biasa, termasuk di dalam hutan itu ada panglong, di CD ini jelas.
Dan, kalau Bapak-bapak nanti tidak percaya, kita lihat, dan buka mata, kemudian tidak dipengaruhi unsur lain. Kalau kita pakai kata hati nurani dan mata yang cerdas, mau meninggalkan mata air buat anak cucu, bukan air mata, pasti kita melihat bahwa itu perambahan, termasuk ada sebuah jalan ke arah Simalungun untuk melarikan kayu-kayu. Jadi itu seperti jalan Sudirman, ya kan, ada jalan-jalan arterinya yang masuk ke dalam hutan.
Masyarakat tidak akan pernah menghambat sebuah pembangunan, tidak akan pernah. Dan, saya seorang guru. Kalau itu menghambat pembangunan, kewajiban saya menyampaikan ke masyarakat ini, sebuah kebenaran.
Tapi kalau jalan yang bisa 3 km – nanti kita lihat – harus dibangun ke arah 9 km dan melewati kayu-kayu besar, ada apa? Dan ini melalui jalur hutan lindung. Saya meminta kepada Kepala Dinas Kehutanan Karo, tentu yang lebih tahu UU No 41 Tahun 1999. Dan saya minta kepada masyarakat, mari kita class action-kan. Ada semua sanksi hukumnya karena pembukaan hutan lindung harus atas seizin Menteri Kehutanan, tidak bisa sembarangan. Ya... itu jelas.
Dan saya yang menghormati sebagai panglima kita, TNI sebagai pengayom kita, saya pikir kita lebih baik bicara yang benar. Jadi, masyarakat ini tidak mau menghalangi siapa pun. Cuma, masyarakat ini perlu jaminan mata air. Mari kepada Bapak-bapak – apalagi tadi Bapak ada bilang – bahwa penduduk Barusjahe, saya Desa Juhar, kampung ibu saya di Marike, mari kita beri kepada anak cucu kita mata air, jangan air mata.
Dan, kalau ini dibiarkan, perambahan hutan besar-besaran, bukan hanya di Barusjahe, di Pernantin, di Kutakendit, termasuk tanah-tanahnya dijual setelah dirambah, iya kan. Ini nanti saya yakin Bapak-bapak akan meninggalkan air mata kepedihan. Coba lihat di luar negeri sana, bagaimana hutannya habis, apa yang mereka bisa buat. Sementara kabupaten ini hanya bisa hidup dari tiga hal: dari pertanian, dari pendidikan dan dari parawisata. Tanpa hutan kita tak bisa buat apa-apa. Jadi sekali lagi, saya serahkan ini kepada Bapak, supaya Bapak pelajari, dan kalau ada misalnya yang lain, boleh Bapak berhubungan dengan masyarakat ataupun saya.
Dan sekali lagi saya pertegas pada rapat ini, masyarakat tidak menghambat pembangunan. Bukti kami tidak menghambat pembangunan, kami tidak mengundang yang lain-lain, kami undang wakil-wakil dari pusat sana. Kebetulan dari sipil-sipil untuk melihat langsung dengan mata kepala sendiri.
Saya bisa undang yang lain, pejabat-pejabat saya bawa, tak masalah, supaya orang melihat, karena ini yang terpenting adu fakta, bukan adu debat.
Terimakasih, selamat sore, kalau saya – maaf kebetulan saya anak Bapak karena saya masih seumur jagung, darah masih setampuk pinang. Kalau saya salah, saya mohon maaf. Tetapi tak usah sangsi, alamat saya jelas, kapan saya dipanggil, saya siap. Terimakasih, selamat sore, Tuhan memberkati kita semua (Hadirin bertepuk tangan. CD dan peta itu diberikan Valent kepada Sekda Pemkab Kabupaten Pegunungan. Valent dan Sekda bersamalam, kemudian kembali ke tempat semula).
Dandim: Saya jelaskan di sini bagaimana sebenarnya TMMD ini. TMMD ini bukan tahun sekarang diajukan. Kalau tak salah dua tahun lalu, masih Dandimnya Pak Tampubolon. Diajukan Pemda yang mana yang mau dijadikan TMMD.
Warga Tigajumpa: Nama saya Tumpal Tarigan, Desa Tigajumpa, umur sudah lewat 60 tahun. Jadi saya sampaikan di sini berhubung hadir di sini Asisten II, Pak Sekwilda, Bapak Dandim, dan Kepala Dinas Kehutanan. Kalau kita lihat Pak ke lokasi, sudah beberapa kali, ini menyangkut kehidupan, hutan lindung ini menyangkut kehidupan antara lain Desa Barusjahe, dari situ minum, Tigajumpa pun begitu, Sukajulu pun dari situ, Kubucolia juga begitu, Sukanalu juga begitu, itulah kebutuhan air. Jadi, kalau hutan, di hulu-hulu hutan itu penebangan, di hulu air minum itu. Lalu masyarakat bagaimana?
Kita bukan mau menghambat pembangunan, tidak ada niat kami menghambat pembangunan.
Saya siap mati Pak. Biarlah saya mati Pak, saya sudah tua, asal anak cucu saya bisa hidup. Siapa menanggung, jika generasi muda jadi miskin Pak.
Masyarakat yang lain: Kami masyarakat tidak ada niat mau menghambat program pemerintah. Tidak ada (Berdialog dengan hadirin, yang dijawab: iyalah). Namun kami mohon, program pemerintah ini tujuannya semata-mata, betul-betul sesuai kepentingan masyarakat umum.
Ini TMMD membuka jalan dari Pertumbuken ke Desa Serdang. Ini masyarakat belum melihat apa efek samping dari program tersebut. Dan nanti bagaimana sumber air minum masyarakat Desa Barusjahe, dan Kubucolia.
Yang kedua – seperti yang dibicarakan sebelumnya tadi – di mana sumber air minum yang diresahkan. Jadi ini saya, sebab pembukaan jalan tersebut kami melihat 10 meter di kiri kanan jalan itu sesuai peraturan. Tapi, 30 meter ke dalam ada penebangan kayu, saya melihat langsung.
Kami tidak mengambinghitamkan siapa-siapa. Namun efek sampingnya, nantinya ini sudah terjadi pencurian humus. Dan pencurian humus, sebelum pembukaan jalan itu pun sudah ada. Apalagi sudah ada jalan itu. Makanya kami sangsikan merembes. Jadi masyarakat meminta, kiranya pembukaan jalan itu dapat dialihkan. Tidak lagi melalui hutan utama, tepi melalui lereng-lereng gunung. Dari sinilah – menurut kami – baru betul-betul berguna buat masyarakat.
Masyarakat lainnya: Yang masih jadi pertanyaan bagi kami di mana tadi dari Komsi IV, Komisi B DPRD Kabupaten Karo menyatakan bahwa mereka belum pernah dilibatkan di dalam masalah pembangunan jalan dari Desa Pertumbuken ke Serdang.
Jadi, yang kami pertanyakan di sini, DPR Komisi IV mengapa sampai wakil kami tidak dilibatkan? Ini satu Pak.
Kemudian tadi dari tim peninjau di lapangan yang mengatakan masih dalam batas-batas yang wajar. Sementara kami tadi membaca koran Pak (Meminta pada rekannya koran dimaksud) di koran terbitan pagi ini, peninjauan dari Anggota DPR Pusat menyatakan bahwa pembukaan jalan itu dalam keadaan yang kurang benarlah, begitu. Mohon maaf, misalnya ada yang kurang mengena di hati Bapak. Ini Pak di sini, bahwa mereka menyatakan bahwa jalan itu Pak ditutup.
Ini yang menjadi pertanyaan bagi kami Pak, mengapa sampai demikian. Kemungkinan sekali anggota tim yang menijau itu tak disebutkan masyarakat dilibatkan, tapi mengapa tak melibatkan masyarakat: Barusjahe, atau Sukajulu, Sukanalu, yang sering menunjukkan pembangunan ini tak sebenarnya.
Kemudian, mengenai laporan dari Dinas Kehutanan bahwa pimpinan sidang menyatakan ada tiga desa yang mengesahkan, saya saja tak jelas desa mana.
Anggota DPRD: Bahwa yang di sini, gerakan di sini melulu masalah kayu. Kenapa masalah kayu? Karena kayu itu adalah sumber mata air. Dan air itu adalah sumber kehidupan bagi kita.
Jadi kami dari masyarakat sekaligus mewakili Kabupaten Karo ini, mohon dengan sangat agar semua yang telah dibicarakan dalam sidang, mohon ditanggapi. Mohon sangat... sangat, ditanggapi karena kita telah sama mendengarnya, apa hasil kesepakatan beberapa desa dari Kecamatan Barusjahe dengan hasil kerja TMMD, ini sudah hampir siang malam.
Dan ini ada msayarakat dari Barusjahe mengatakan bahwa di sekitar sumber mata air ini juga ditebang kayunya. Ini sudah betul-betul di luar daripada TMMD yang diutarakan Dandim tadi. Ini hendaknya, dengan sangat kami dari anggota dewan, mohon ditanggapi, siapa kira-kira pelaku dari penenbangan-penebangan liar yang telah terlaksana di daerah Kecamatan Barusjahe ini (Hadirin bertepuk tangan). Mohon kita semua menanggapi. Jangan kita hanya memberikan janji-janji dan angin-angin sorga tapi dilaksanakan. Inilah permintaan kami, mungkin teman-teman yang lain juga senada dengan saya, mohon pada teman saya utarakan, silakan.
Anggota DPRD lainnya: Terimakasih Pak. Sesuai dengan apa yang telah diutarakan oleh Bapak dari Tigajumpa, Pak Tarigan, yang mana katanya, sampai sekarang masih ada penebangan di hutan, dekat air. Kami harapkan pada Pemda Kabupaten Karo agar segera menindaklanjuti dan mengadili, menugaskan pihak keamanan untuk melihat, apakah memang itu, memang benar-benar ada terjadi. Ini kami agendakan Pak.
Yang seperti yang diutarakan oleh Pak Karo Sitepu di sini kami kira bagus juga, memang kami kira. Bapak ini dulu ikut sosialisasi, begitu Pak. Ya... jadi ini perlu kiranya dicatat oleh pihak eksekutif sehingga kita itu tidak membohongi diri kita sendiri begitu Pak.
Yang ketiga, Bapak dari Sukajulu yang katanya meminta reboisasi. Namun demikian Pak, saya kira dalam masalah ini harus mengajukan solusi, seperti apa yang tadi diutarakan oleh Pak Valent di mana beliau menyatakan bahwa mendukung program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian penebangan hutan, sungguh sangat ditentang oleh orang Karo.
Kalau misalnya Pemda Karo mengadakan komitmen dengan masyarakat, DPRD sebagai saksi bahwasanya penebangan hutan tidak kan ada tapi ini dalam keadaan tertulis. Itu kira-kira sebagai solusi yang bisa agar ini tak berlarut-larut. Apa Pemerintah Kabupaten kira-kira siap mengeluarkan suatu keputusan, keputusan rapat ini yang saksinya DPRD, bahwasnya TMMD bukan untuk penebangan liar. Terimakasih Pak.
Staf Pemkab : Bahkan di Gunung Leuser pun. Ini jadi bertengkar yang dari Tk I dan dari Langkat, ini melalui hutan. Tak masalah itu sebenarnya. Cuma saja jangan menjadi akan mempermalukan, artinya eksesnya tadi yang mempengaruhi lingkungan. Jadi ini memang ada terkesan seolah-olah Kabupaten Karo ini sudah demikian beratnya.
Bahwa kemaren saya juga ada seminar masalah air di provinsi. Dikatakan bahwa banjir di Medan akibat perambahan hutan, pengambilan humus di kabupaten ini (Hadirin ribut, suara jadi tak jelas). Kalau masalah banjir yang di Medan bukan dari Kabupaten Karo ini (Hadirin makin ribut). Ini karena aliran sungai Lau Biang dan Sei Wampu. Jadi saya bilang, kabupaten ini sudah dari dulu sudah seperti daerah Bandung sana, sudah ada kerusakan sedemikian rupa. Jadi kalau memang mau tidak banjir Sei Wampu, bukalah bendungan seperti Jati Luhur di daerah putusannya, saya bilang. Di sana bendungan itu, 1 km luasnya dan sangat dalam.
Sekda Pemkab : Kita jaga side efeknya. Jadi nanti, begini Pak, jadi ini nanti mempunyai suatu kesimpulan atau tindak lanjut yang tegas nanti. Ini kan kita tadi sepakat akan kita bawa dalam rapat Muspida. Sebelum sampai rapat Muspida, nanti barangkali dengan tim teknis.
Memang kok selama ini, bagaimana kita mau mengambilnya. Kita sudah sama sepakat. Cuma teknis ini saja menindaklanjutinya teknik yang kita sampaikan. Karena tadi disampaikan sudah ada truk kingkong apa semua. Ini yang jadi rumit, ini kan perlu. Pak Valent sudah sampaikan (memperlihatkan CD yang disampaikan Valent pada hadirin) saya belum pernah lihat ini. Pak Tanjung (Maksudnya Dandim) juga belum pernah lihat. Dengan visual begini kan bisa kita lihat. Jadi barangkali nanti di tingkat tim, demikian juga dari Komisi B nanti, jadi sama-sama melihat ini, baru kita buat kesimpulan, baru kita sampaikan, bagaimana selanjutnya.
Ini barangkali yang perlu kita sepakati pada hari ini. Pastilah Bapak tadi mau dan setuju, harus. Kalau memang nanti merasa perlu, kita tingkatkan dari segi Amdal. Kalau memang nanti dari segi konservasinya, kita lakukan. Karena kita ini sama-sama tim ahli dalam lingkungan, itu barangkali. Karena kita sama-sama ahli. Saya sendiri juga ahli lingkungan.
Hanya saja kita juga harus tahu, apakah memang seperti yang disampaikan tadi (Suara tak begitu jelas) karena sudah berkali-kali mengadakan pertemuan ahli hutan, selalu demikian. Saya juga orang Kabupaten Karo, kita juga tidak mau disebut sebagai perambah hutan, terus kita tidak mau.
Jadi ini barangkali yang bisa kita simpulkan pada hari ini, kita sepakati, karena ini jadi masukan yang kita sampaikan ini (Pendapatan Tarigan, Pertua dari Barusjahe interupsi dengan mengangkat tangan tetapi tidak digubris oleh Sekda Kabupaten Pegunungan). Saya kira kita sepakati (Tak begitu jelas) kita sendiri belum tahu. Kita rapat lagi secara teknis. Karena bagaimanapun kebijkan itu di pimpinan. Jadi dengan demikian, Bapak Ibu sekalian, saya kira Pak Dandim... Pak Dandim ada lagi yang mau disampaikan Pak. Jadi saya kira kalau tidak ada lagi yang mau disampaikan, saya kira kita tutup pertemuan kita ini. Kami akan meneruskan, solusi apa sebagai alternatif. Saya kira demikian, selamat sore. (Hadirin bersalam-salaman. Terlihat Valent bersalaman dengan Dandim dan kemudian bercakap-cakap). ***



















Bab Sembilan

Pertemuan di Gedung DPRD Sumut

Seterusnya pertemuan berlanjut di Gedung DPRD SU: Komisi I dan II, Muspida Tk I dan II serta masyarakat Barusjahe yang didampingi Valent. Terlihat Victor Simamora, Ketua Komisi I DPRD SU, Nailul Amali, Kapolres Tanah Karo, Kepala Dinas Kehutanan Tanah Karo, rekan-rekan wartawan dan lainnya. Posisi rapat dibuat melingkar. Di paling ujung ruang dipersiapkan kain terpal putih untuk wadah bagi infokus. Pada setiap meja juga tersedia pengeras suara sehingga memudahkan siapa saja untuk memulai percakapan. Apabila ditekan tombol, maka lampu merah menyala, terdengarlah bunyi tuts pertanda yang bersangkutan akan memulai pembicaraan.
Amran YS, Anggota DPRD SU : Apa gunanya pertemuan ini. Bupati tidak datang, Dinas Kehutanan pun menjelaskan dengan tidak resmi.
Anggota DPRD SU yang lain : Kalau tidak ada penjelasan resmi, sebaiknya Pimpinan Sidang mempertimbangkan untuk menskor sidang ini sampai ada penjelasan resmi dari bupati.
Valent : Muspida Tk II Karo dan Muspida Tk I yang saya hormati. Lagi yang mewakili Dinas Tk I Sumut, masyarakat, Bapak-bapak dan para rekan wartawan.
Perlu saya jelaskan di sini, perjuangan hutan di Karo menyangkut banyak hal. Tapi pada prinsipnya semua data ini didampingi oleh masyarakat sekitar situ. Dan, Karo merupakan mata air untuk Deli Serdang, untuk Medan, untuk Binjai, dan untuk Langkat. Misalnya, kita tak pernah mau buka, banjir di Tebing, itu bukan karena Tebing-nya, itu perambahan hutan di Gunung Simbolon. Saya sudah susuri ini.
Kemudian, kita juga tak pernah sadar, kering sawah di Deli Serdang, akibat perambahan hutan di sini (Valentino menunjukkan lokasi yang ditayangkan infokus dengan inpramerah), ini mata air Deli Serdang ini dari Deleng Ganjang.
Persoalan hutan, ini menyangkut uang, kekuasaan, dan satu lagi yang namanya kekuatan. Jadi ini, ini saja persoalannya. Jadi sebenarnya, Kalau mau Dinas Kehutanan Tk I, Muspida Tk I, dan Bapak-bapak DPR mau, pasti selesai.
Sekarang terjadi kemiskinan: tomat tidak tumbuh, cabe tidak tumbuh, jeruk diserang lalat seperti penelitian Profesor Damanik, eh Doktor Damanik, ahli kehutanan dari USU yang mengambil tesisnya di Amerika, ini semua karena perambahan hutan yang secara besar-besaran.
Dan Karo, kalau begini caranya paling lama 10 tahunlah akan jadi Gunung Kidul. Dan masyarakat selalu dituduh. Padahal bukan, pelakunya sudah jelas ini, cuma tidak mau saja menindaknya. Masalahnya di situ.
Perambah hutan di Sumut itu ada lima, hanya lima ini, lima orang tak lebih. Cuma kita tak mau, kan begitu. Selalu pihak keamanan, bila kita adukan hari ini, sebulan lagi baru menangkapnya. Jadi bagaimana. Makanya saya bilang tadi, perambahan hutan ini, selalu begitu. Padahal, presiden sudah bilang: tolonglah berikan hutan beristrahat.
Jadi gambar ini, ini sebenarnya – kalau kita lihat – ini jalan melalui hutan lindung, ini tanpa izin meteri. Kalau kita lihat CD (Menunjuk dengan inpramerah ke layar monitor) nampak bahwa kayu-kayu ini diangkut ke luar, nampak truknya, panglongnya pun ada.
Sebenarnya jalan ini, bisa melalui lahan tidur dua tiga kilo ya kan. Dan paling hebatnya, Pemkab tidak menanggapi. Padahal kemaren, saya ketemu Dandim, gak mungkinlah ABRI itu masuk ke mari, mana la pula tahu. ABRI itu ditunjuk oleh pemerintah.
Persoalannya, kenapa tak ditangkap. Jadi kita, janganlah kalau ada apa-apa, institusi yang disalahkan. Akibat kita menyalahkan institusi tadi, kalau masyarakat tak percaya pada hukum, kita juga yang susah.
Sebenarnya...jadi mungkin beberapa pejabat ini tak peduli dia dengan lingkungan akan datang. Dia hanya peduli untuk dirinya hari ini. A... inilah dia, jadi saya sudah ngomong dengan Pak Dandim, dia bilang apa: tanami saja Len, itu bupati kok yang tunjuk. Tapi, AMD ini kan nggak, katanya.
Jadi, kalau saya melihat itu, ABRI itu lain ya, kalau diminta bantuan, ya dibantunya. Ya, itu memang fungsi, ya kan. Fungsi ABRI itu, bukan pula ABRI ini yang menunjuk jalanya. A... ini yang perlu saya luruskan karena – selaku bangsa Indonesia – saya menghormati ABRI. Tanpa ABRI kita tak mungkin bisa mempunyai bangsa ini. Inilah dia kira-kira (Seseorang menyebut TNI AD, Valentino pun mengatakan pula: ya, TNI Angkatan Darat).
Jadi ini melalui hutan lindung, nah di sini ada mobil-mobilnya. Sebenarnya bila melalui lahan tidur, a... ini dia (menunjuk layar monitor dengan inpramerah) jadi pemborosan biaya, biaya kita buat. Makanya ini adalah rencana pencuri kayu di Riau dipindahkan ke Karo.
Sebenarnya, informasi kepada Bapak-bapak sekalian, di Riau ada anak SD kelas V masih buta huruf karena mereka ekonominya tak ada lagi. Mereka sangat tergantung hutan.
Anggota DPRD Karo : Bapak-bapak di Tk I ini tidak usah banyak bercerita. Saya harapkan DPRD Sumatera Utara harus melihat dengan nyata dan harus turun ke lapangan, apa yang terjadi di Karo (Hadirin bertepuk tangan) sehingga kita tidak perlu melihat, memberikan keterangan-keterangan secara modern selalu.
Mari kita bijaksana, apa yang terjadi, dan baru disimpulkan. Jangan di ruangan ini dan di forum ini keputusan. Sekiaranya ada kejadian di Kabupaten Karo, Bapak-bapak tidak tahu, apa itu Karo. Saya rasa dari sana melihatnya. Dan Bapak selalu berurusan dengan Gubernur Sumatera Utara, kami yang seharusnya berurusan dengan Beliau dan mereka ini (Menunjuk masyarakat).
Dan berulang kali kami nyatakan bahwa ini tidak benar. Kembali saya sebutkan di ruangan ini bahwa ini tidak benar. Tapi, masalah hukum yang harus ditegakkan di sana, itu bukan urusan ... urusan DPR.
Tapi, bila kita tidak pernah menghubungi publik bahwa Karo itu begini. Ingat itu, kalau ada perambahan hutan, tangkap pelakunya. Dan kita tak pernah memberikan apa pun, rekomendasi apa pun yang tidak dibolehkan.
Amran YS : Saya mau tanya – menurut penilaian Saudara – berkali-kali sudah dijelaskan oleh pers, kesimpulan Saudara, ada nggak perambahan hutan di Karo?
Anggota DPRD Karo : Ijinkan saya memberikan penjelasan. Perambahan hutan di Karo ada (Hadirin bertepuk tangan riuh). Saya tidak sependapat, yang saya tidak sependapat, jumlah perambahan itu secara otentik. Saya melihat masih ada manfaat hutan di Karo.
Amran YS : Pertanyaan kedua, bahwa menurut Saudara, tadi mengajak dewan dan DPR Karo turun ke sana, itu adalah satu kemungkinan. Menurut Saudara, benar-benar ada tidak terjadi tindakan mafia di Tanah Karo. Sebagai Anggota Dewan, penilaian Saudara, yang bermain ini mafia, pengusaha-pengusaha atau bupati.
Anggota DPRD Karo : Jadi begini, beberapa kali telah diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada pemer intah, Pemerintah Karo. Pemerintah Karo itu kan orangnya kita tidak tahu, sebagai lembaga politik kita kan tidak tahu siapa orangnya. Tapi memang ada anggapan itu, tapi siapa mafia.
Saya pikir di Indonesia tidak ada mafia. Tidak ada mafia di Indonesia. Nanti marah Bapak Kapolres itu. Tapi, kalau bilang ini mafia, terimakasih kalau memang ada mafia. Di sini ada pejabat pemerintah ini. Bapak, ada mafia? Tangkap Pak!
Anggota DPRD SU lainnya : Kapolres harus segera memanggil Bupati Karo ke DPRD. Sebenarnya Pak Kapolres yang terhormat, akibat ini semua, kalau ada penduduk yang mengejar Bapak, Bapak tangkaplah orang-orang yang bersalah itu. Karena apa pun ceritanya, Bapak-bapak mungkin lihat, dengar.
Untuk itu semua saya minta ke Bapak, periksa bupati dan Ketua DPRD Karo. Kita sebagai wakil rakyat, wajib menyuarakan kepentingan rakyat.
Saya pernah pulang kampung. Dulu kampung saya merupakan sumber air – Desa Cinta Rakyat – sumber air sekurangnya untuk sepuluh desa. Sekarang, Bapak Kapolres yang terhormat, kalau pesta, terpaksa mereka membeli air. Bayangkan, sedih nasib kampung saya itu.
Jadi, kalau ada hutan, jangan main di sini, apa kepentingannya untuk rakyat.
Irwansyah dari Kepolisian : Ada empat kasus di Kabupaten Tanah Karo ini yang ditangani Polres Tanah Karo, perambahan – kalau itu dikatakan perambahan hutan – di Siosar, di Kutakendit, di Barusjahe, dan di Kacinambun.
Keempat kasus ini masih dalam pendalaman. Sebagai informasi karena sidang ini secara terbuka, bahkan Pak Amran coba mengarahkan kepada seseorang, nampaknya juga belum ada kesepakatan kita untuk mengatakan itu. Itu artinya problema-problema di dalam rangka penyidikan. Karena penyidikan dalam kasus bersifat rumit, katakanlah koorporatif karena yang akan kita lihat ini adalah seberapa jauh kebijaksanaan semua keputusan politik membawa dampak terhadap tindak pidana.
Ini, ini persoalannya yang akan kita selesaikan. Sebagaimana seseorang yang membawa ganja, membawa ganja adalah mengenai dirinya sendiri terhadap sesuatu yang terlarang.
Yang coba kita angkat ini adalah masih ada kebijakan alternatif yang menjadi dasar terjadinya pembukaan jalan di Barusjahe, terjadinya perambahan hutan yang dilindungi dengan adanya ijin. Begitu juga dengan dalih adanya investor yang akan menggunakan lahan tertentu bagi pengembangan usaha.
Oleh karena itu, sebagaimana yang sudah dikemukakan tadi bawah waktu ini kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk memperoleh masukan-masukan itu. Jadi sekilas nampaknya ada simpul-simpul yang akan bisa membantu Polres Tanah Karo, kita mohon mengemukakan.
Selanjutnya, berbicara mengenai penyelidikan, itu junto projustisia, di sana langkah-langkahnya, mengamati, memeriksa, mengitrogasi, melakukan wawancara. Jadi ini mesti dipilah-pilah yang mana calon tersangkanya, yang mana yang akan dijadikan saksi. Apabila semua proses penyelidikan itu benar selesai, maka akan masuk ke tahap penyidikan. Dan di sini akan ada penahanan, siapa yang akan ditahan dan lain sebagainya.
Kapolres Karo: Kami dari Polres Tanah Karo bukan memberikan bantahan atau membiarkan berbagai permasalahan yang terjadi di Kabupaten Karo. Jadi, kami juga telah menangani – dalam hal ini sebagaimana yang disampaikan Bapak Irwansyah tadi – ada empat permasalahan.
Mungkin kita sudah melihat, mendengar dan menyaksikan beberapa CD yang disampaikan oleh Bapak dr Valentino SPd. Itu juga kita jadikan bahan.
Kami mulai dari yang pertama, masalah TMMD yang ada di wilayah Barusjahe. Ini permasalahan utama, ini naik ke permukaan dari kasus yang kami tangani, masyarakat Desa Barusjahe, Desa Sukajulu, dan Desa Kubucolia Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo sebagai delegasi masyarakat yang dipimpin oleh dr Valentino Tarigan SPd dalam orasinya menuntut agar penebangan hutan di Barusjahe untuk pembukaan jalan yang membuka antara Desa Pertumbuken-Desa Serdang yang dilakukan oleh TMMD, dilakukan reboisasi di daerah tersebut.
Yang kedua, masyarakat Desa Barusjahe, Desa Sukajulu dan Desa Kubucolia Kecamatan Barusjahe merasa keberatan atas pembukaan jalan tembus tersebut yang merupakan sarana untuk terjadinya perambahan huta Deleng Ganjang yang berakibat Desa Barusjahe, Desa Sukajulu, dan Desa Kubucolia menjadi kekeringan karena mata air tidak mengalir lagi, itu permasalahan.
Yang pertama terjadi di Barusjahe dan kami juga perlu menginformasikan, baru bertugas kurang lebih empat bulan. Dan ini kejadian sebelum kami di sana. Namun kami selaku aparat penegak hukum dan pelayan masyarakat.
Pertama-tama, Proyek TMMD, program pemerintah yang dilaksanakan oleh TNI atas perintah Pangdam I Bukit Barisan pertanda 002 KS yang didelegasikan pada Kodim 0022 Tanah Karo untuk mencari lokasi TMMD di Kabupaten Karo. Selanjutnya pihak Kodim melakukan kordinasi dengan pihak Pemda Karo. Kemudian dalam hal pembukaan jalan Desa Pertumbuken dan Desa Serdang Kecamatan Barusjahe kemudian dilakukan peninjauan lokasi dan koordinasi dengan masyarakat Desa Pertumbuken, Desa Serdang dan Desa Barusjahe. Penyampaian masyarakat, setuju untuk Proyek TMMD di sekitar lokasi kritis sepanjang 7 km dengan lebar 8 meter.
Namun, dalam pelaksanannya tidak sesuai dengan hasil kesepakatan karena mengalihkan pembukaan jalan di atas lokasi lahan kritis yang merupakan kawasan hutan lindung yang ditumbuhi kayu hutan. Sehingga masyarakat Desa Barusjahe keberatan dan membentuk aksi keberatan, kita sudah lihat apa yang disampaikan Saudara dr Robert Valentino.
Selanjutnya sewaktu dilakukan pengecekan di tepat kejadian pembukaan jalan TMMD bersama dengan petugas Dinas Kehutanan dan tokoh Brastagi Leo Barus dan Maruli Pardosi berikut empat orang tokoh pilihan masyarakat Desa Barusjahe, nama-anama tokoh tersebut dalam Surat Pernyataan di atas segel memang menyatakan lokasi di atas yang baru dibuka antara Desa Pertumbuken dengan Desa Serdang sebagian telah memasuki hutan lindung 1 km dan luas 10 hektar, tergambar dalam peta.
Jadi kami tidak akan menutup-nutupi, tidak ada membilang. Kami sudah bicarakan dengan pimpinan sidang tidak penegakan, tapi pelaksanaan daripada instruksi presiden.
Selanjutnya sepanjang jalur jalan yang baru dibuka di wilayah sekitarnya tidak ada ditemukan masyarakat yang melaksanakan perambahan maupun penebangan kayu. Dan secara keseluruhan kayu-kayu bekas perambahan dan penebangan dalam pembukaan jalan masih tertumpuk di tepi jalan dan bahkan sudah membusuk.
Berikutnya, secara geografis, lokasi yang dikerjakan oleh TMMD berada di wilayah Desa Pertumbuken-Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, namun dengan terlaksananya pembuatan jalan tersebut, masyarakat Desa Barusjahe, Desa Sukajulu, Desa Tigajumpa, Desa Kubucolia Kecamatan Barusjahe keberatan dengan dalih pembuatan jalan telah memasuki areal hutan lindung yang dapat mengundang pelaku pencurian kayu. Ini merupakan batas-batas. Tapal batas desa, tapal batas hutan lindung, tapal batas hutan produksi. Ini tergantung kepada Dinas Kehutanan, bukan pada kami.
Selanjutnya masyarakat Desa Barusjahe, Sukajulu, Tigajumpa dan Kubucolia Kecamatan Barusjahe meminta Pemda melalui Pemuda KPS dari Medan maupun massa dari Permata GBKP Medan yang diperkirakan kurang lebih seribu orang meminta pembukaan jalan tembus dari Desa Pertumbuken-Serdang ditutup dengan cara reboisasi.***





Bab Sepuluh

Meninjau Siosar

Valent di kawasan hutan pinus yang porakporanda: Saya melakukan perjalanan pada hari Minggu ke Siosar Kecamatan Munte dengan tujuan melihat pencurian kayu yang sepertinya disetujui oleh Pemkab Kabupaten Pegunungan karena jalan-jalan di situ dibuat oleh Pemkab.
Jadi, tujuan saya meninjau, pertama karena Siosar adalah merupakan daerah tangkapan air Danau Toba. Kedua, karena berbagai penyakit yang sudah timbul di Tanah Pegunungan yang dulu tidak ada, seperti lalat yang menyerang buah-buahan dan pertanian.
Ketiga, perubahan ekosistem yang mengakibatkan tanah pegunungan tidak bisa lagi tumbuh tomat dan cabai.
Dan yang keempat adalah timbulnya hama penyakit di markisa, timbulnya ulat buah yang menyerang akar-akar pepohonan.
Hutan lindung Siosar adalah hutan pinus yang direboisasi pada tahun 70-an merupakan daerah tangkapan air Danau Toba yang sekarang dirambah. Jadi kira-kira sudah lebih 1.000 hektar yang dirambah.
Yang membuat kita bingung, kenapa mereka tidak ditangkap? Padahal kalau kita lihat tidak ada ijin di sana. Kalaupun ada, paling ijin bupati 100 hektar. Jadi sebenarnya dengan melihat perambahan hutan di Pegunungan (terlihat tunggul-tunggul pinus sisa-sisa perambahan hutan), sebenarnya Bupati Karo dengan Kepala Dinas Kehutanan dan yang menangani proyek di Siosar harus sudah di dalam penjara.
Apalagi saya melihat di sekitar itu ada jalan-jalan arteri yang menuju hutan lindung, di mana kayu-kayu besar ke luar dari situ, dari hutan lindung tersebut. Dan saya melihat bahwa kayu-kayu besar tersebut disembunyikan di semak-semak. (Hasil peninjauan Valent tersebut direkam di dalam CD).
Dari kejauhan terdengar surdam – sejenis seruling khas Kabupaten Pegunugan yang sendu dan mendayu-dayu.
“Beginilah jadinya bila raja hutan pencuri kayu tak tersentuh hukum,” ungkap Valent kepada rekan-rekanya yang ikut meninjau hari itu. (Terlihat rombongan dr Robert Valentino Tarigan SPd dengan mobil Taff beroda besar menghadapi medan yang sulit). Kayu habis dibabat dan dibakar. Bongkahnya dibongkar, membuka jalan mengembangkan penebangan liar.
Menatap perambahan hutan secara liar, jiwa dan raga rakyat Karo tentu terasa terbakar tetapi mereka lebih banyak diam. Gentar melawan singa kayu, buas dan sangar.
Di kala penebangan liar tersiar di surat kabar, para penguasa dan wakil-wakil rakyat mulai gemetar. Si pembuka tabir ditodong si mata liar tapi si korban penodongan tetap maju dengan tegar.
Siapa wakil-wakil rakyat yang benar? Dia mewakili nurani bersinar memperjuangkan nasib rakyat maju tak gentar, walau harus dengan pengorbanan yang besar. Bila dibiarkan, singa kayu tetap liar.
Musim penghujan lapisan tanah terkikis habis dibawa air. Bila kemarau tiba, Tanah Pegunungan panas bagaikan dibakar. Mati... semua akan mati terkapar.
Tiada lagi bunga-bungaan yang mekar. Tiada lagi buah-buahan merekah dengan segar. Mata air akan kering, mati terbakar. Ratusan ribu rakyat akan haus dan lapar. Semua hancur, habis ditelan bencana besar (Terlihat Rail Ginting – Wartawan Harian Perjuangan menatap kayu-kayu pinus yang berserakan tak karuan akibat penebangan liar).
Gunung runtuh dan tanah longgar. Bila hujan akan habis terkikis. Menghanyutkan segala yang ada. Bila kemarau, tanah akan retak dan pecah. Sungai dan pancuran akan mengering, tiada lagi tempat berpijak. Andai bisa, hal ini jangan terjadi (suara surdam menyayat-nyayat hati. Terbayanglah kondisi Tanah Pegunungan Simalem yang akan berubah jadi gersang).
Penyebab punahnya Deleng Siosar adalah ulah penipu dan pencuri kayu yang tidak mempedulikan penderitaan orang lain. Baginya suatu kepuasaan, makan dalam derita orang lain. Mencuri baginya sudah merupakan hal yang biasa. Yang penting hidupnya jadi gunung uang.
Suara gergaji pemotong kayu yang menjerit tidak berhenti. Air mata kayu dan seluruh satwa tiada berhenti. Seharusnya Marga Silima telah datang menghalangi.
Takut, semua jadi takut. Tiada yang berani di garis depan. Penduduk desa telah kecut, bagaikan balam terkena jerat. Mereka tidak tahu, kehancuran hutan adalah awal dari penderitaan (Terlihat panglong dan barak pemondokan penebang hutan pinus reboisasi Siosar – barak-barak dan panglong itu tak terawat. Terlihat pula mobil Hardtop lengkap dengan nomor polisinya. Di belakangnya ada pula truk kingkong. Terlihat Valent menunjuk kondisi hutan yang meranggas kering. Ada pula tumpukan kayu pinus tersusun rapi di sampingnya menunggu diangkut).
Terlihat lanskap hutan pinus hancur, batangnya meranggas tinggi nyaris tanpa daun.
Terlihat kepingan-kepingan papan berserakan. Selanjutnya Valent bersama masyarakat Barusjahe sekitarnya berkumpul; ada yang jongkok, duduk dan berdiri di sebatang kayu besar yang diketemukan disembunyikan oleh pencuri kayu di semak-semak.
Nyanyian surdam tak terdengar lagi. Awal tebal juga pergi mengungsi. Jejak-jejak harimau mendidik anaknya tiada lagi. Ini semua terjadi karena kayu habis dicuri. Hanya menunggu hari, Kabupaten Pegunungan dapat didiami. Kini telah terasa panas, tiada seperti dulu lagi. Yang peduli dihabisi seperti tiada lagi. Dimana tokoh pemuda dan masyarakat saat ini? Mungkinkah kamu jadi sesepuh bila tidak berbuat baik. Jangan takut, kami berdiri di belakangmu.
Bila kami memiliki kekuatan, kami tidak menunggu kamu. Mohon lepaskan kami dari derita ini. Kami telah parau meminta tolong saban hari, jawablah, apa kata Bapak terhadap kami..?
***
Terlihat rombongan DPRD, Dinas Kehutuanan Tk I Sumut, Valent, masyarakat dan wartawan meninjau kondisi hutan. Valent terlihat berbincang-bincang dengan Kadis Kehutanan Tk I Sumut, Ir Prie Supriadi MM.
Valent menceritakan tentang pengalamannya meninjau hutan Kacinambun yang kayu-kayunya diolah di hutan itu. Diceritakan juga soal pengaduan ke Polres Tanah Karo serta tukang potong kayu yang bernama Anthony Ginting. Orang Polres bilang, tukang sinso berada di Jakarta, nyatanya di kampungnya. “Padahal ada pengakuan Anthony, yang menyuruhnya adalah bupati,” kata Valent.
Tangsi Perangin-angin pun melaporkan, dulunya hutan itu milik masyarakat, tetapi kenapa sekarang diportal.
Valent menlanjutkan informasi, bahwa dulunya itu tanah rakyat, kemudian diserahkan ke pemerintah daerah, agar hutan pinus tersebut dikelola dengan baik.
Ketika akan memasuki kawasan hutan, seorang wanita menghadang rombongan. Terjadi perdebatan kecil. Kemudian, pembicaraan dilanjutkan ke warung.
Si wanita mengatakan, kawasan itu milik Kelompok Tani Tambar Malem. “105 hekter sudah hak milik, 20 hektar pinjam pakai dari Pemkab Pegunungan,” paparnya.
Victor M Simamora, Ketua Komisi II DPRD SU menjelaskan bahwa mereka adalah tim yang melakukan peninjauan.
Si wanita menjelaskan bahwa petani yang tak mampu diberi kesempatan memiliki lahan dengan sistem pinjam pakai dari Pemda. Disebutkan juga bahwa Coorporate Farming tidak ada kaitannya dengan bupati.
Lalu, ketika Valent menanyakan soal pencurian kayu, si wanita menjawab memang orang selalu mengait-ngaitkan pencurian kayu dengan bupati. “Masalah penebangan kayu itu, saya tidak tahu,” paparnya.
Victor M Simamora mengungkapkan, memajukan petani, itu adalah hal yang baik, tetapi jangan merusak hutan. “Coorporate Farming ini tak kan ada artinya jika hutan dirusak,” tandas Victor.
Victor mengingatkan juga, jangan sampai hancur Kabupaten Pegunungan, Medan, Deli Serdang, Langkat dan sebagainya, hanya karena kepentingan sekelompok orang. Kemudian Victor meminta, izin apa yang digunakan oleh si wanita memakai lahan itu untuk Coorporate Farming. Dijawab si wanita, besok akan diberikan.
Victor pun mengenalkan satu per satu rombongan. Dari DPRD Tk I Sumut ada 12 orang. Lalu, diperkenalkan pula Prie Supriadi, Kadis Kehutanan Tk I Sumut. Si wanita memperlihatkan identitasnya dan kemudian dibacakan oleh seseorang: Ranta Sari Dewi.
Kemudian salah seorang masyarakat mengungkapkan kekecewaannya karena lahan mereka yang diserahkan kepada Pemkab Karo, ternyata dijual kepada pihak lain. Masyarakat Desa Sukamaju merasa kecil hati karena pengelolaan tanah mereka tidak becus. Seluas 200 hektar tanah mereka dikelola dengan tidak benar. Sejak 1996 tanah mereka digarap oleh orang Kacinambun dengan kekuatan preman. Itu makanya mereka mengadu ke DPRD Tk I, Polda, Kodam, juga ke instansi yang ada di Tk II.
Valent mengatakan, bahwa Siosar merupakan hutan penyangga dia minta petani jangan mau mengerjainya. Sebab, masalah ini sudah diadukanya. Nanti, petani yang jadi korban. Jawab petani, 196 hektar hutan pinus yang ditanam masyarakat diserahkan pengelolaannya kepada Pemda.
Usai itu, rombongan berjalan kaki melakukan peninjauan. Salah seorang mengumpamakan, jika rumah ibadah yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah, kemudian dijadikan hotel, wajarlah kalau masyarakat marah.
Sampailah mereka ke kawasan hutan yang sudah porakporanda. Terlihatlah kayu-kayu berserakan. Valent menyampaikan kepada masyarakat agar berembuk, untuk melakukan reboisasi. Untuk itu harus dibuat tapal batas, antara lahan pertanian dan hutan penyangga.
Kepada seorang yang bernama Dewa, Valent berujar: Dewa tak ada ampun lagi ini (Sembari menunjuk hutan yang habis dibabat). Terlihat selang-selang panjang yang merupakan saluran mata air. Yang bernama Dewa melakukan pendakian sembari memoto. Valent menunjuk ke atas dan berkata kepada Prie Supriadi: Di atas sana kayu semua, kata Bang Victor. Dulu rakyat berladang dari mata air ini. Sekarang begini, ya menjeritlah.
Menurut perhitungan Valent, 600 hektar hutan pinus itu sudah rusak.
Terlihat wartawan televisi sedang menshooting rombongan.
Prie Supriadi : Mestinya proyek ini distop dulu sambil menunggu proses hukumnya.
Darwan Fritz : Kelompok tani itu, orang-orangnya keluarga bupati, adiknya, iparnya, dan lain-lain.
Valent : Perambahan sudah berlangsung lima tahun. Masyarakat tak mengadu karena airnya masih ada. Sekarang air mereka sudah kering, tanaman tak hidup lagi.
Rombongan berdialog dengan Ratna Sari Dewi.
Soal kondisi hutan, si wanita mengaku tak mengetahuinya. Begitu juga soal-soal penebangan, dan mata air yang disalurkan lewat selang (pipa) serta sedotan air. ***










Bab Sebelas

Penangkapan Perambah Hutan di Kutakendit

Salah satu wilayah perambahan hutan Karo adalah Kutakendit Kecamatan Mardinding yang merupakan KEL (Kawasan Ekosistem Leuser). Beda dengan di Kecamatan Barusjahe – yang modusnya pembuatan jalan – kerusakan hutan di Kutakendidit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing.
Dengan alasan menampung suku terasing, dibukalah perkampungan di Kutakendit. Masyarakat Karo umumnya mengetahui tidak ada suku terasing di kabupaten itu. Suku terasing yang dimaksudkan adalah para pencuri kayu di bawah koordinasi Sinar Perangin-angin. Mereka – karena takut terhadap penindakan hukum – melarikan diri dari Riau.
Semula mereka ditempatkan di Medan. Setelah hutan terbuka bagi penampungan mereka, dibawal satu persatu kepala keluarga ke Kutakendik. Belakangan sekitar 120 KK penghuni hutan Kutakendit tersebut. Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Karo. Dengan demikian jelaslah Pemkab Karo terlibat merambah hutan lindung tanpa izin Menteri Kehutanan.
Warga setempat tentu saja keberatan hutan mereka dirambah. Sebab, secara langsung maupun tidak, kerusakan hutan memengaruhi hasil pertanian mereka. Maka wajarlah masyarakat Karo menuntut para pelaku kerusakan itu segera ditangkap dan diseret ke meja hijau.
Advokasi pun dilakukan oleh masyarakat yang didampingi oleh dr Robert Valentino Tarigan SPd. Semula gerakan memang hanya seputar Tanah Karo. Perlahan, tapi pasti, gerakan menyebar sedemikian rupa. CD-CD pun beredar ke berbagai tempat, bahkan ke luar negeri. Begitu juga dengan berita-berita di media massa, terus mengangkat masalah ini ke permukaan.
Pada 17 September tahun itu, Valent mengadu ke Poldasu ikhwal perambahan hutan di Tanah Karo dengan bukti CD, kliping koran, dan lain sebagainya. “Bukti yang otentik harus ada seperti mesin potong (sinso), pelakunya, kayu, dan lainnya, barulah bisa diproses secara hukum,” tutur polisi yang menangani pengaduan Valent.
“Kalau begini cara polisi menangani pengaduan masyarakat, apa jadinya hutan kita hari ini kedepan?” Tanya Valent sedikit berang.
“Di mata hokum kita, foto, rekaman kaset ataupun VCD, DVD dan lainnya, itu bukan merupakan barang bukti. Benda-benda itu, hanya merupakan alat Bantu pembuktian,” terang petugas Poldasu.
“Kalau begitu sebaiknya polisi ikut sama-sama ke lapangan agar dapat melihat secara pasti. Karena peristiwa di Kacinambun, yang orangnya jelas terekam dalam CD – wajah maupun mananya – namun setelah diadukan ke Polres Tanah Karo, kasusnya tak tentu rimbanya. Saya ketika itu mengadu pukul 14.30, tetapi polisi baru mau turun bersama kami saat malam menjelang. Bahkan ketika itu, polisi menakuti-nakuti tim kami, bahwa di hutan itu banyak ularnya serta jurangnya dalam-dalam,” kata Valent pula.
Karena tim kami bersikukuh, kata Valent lagi, akhirnya polisi Tanah Karo – ketika itu – mungkin setengah terpaksa, mau juga turun ke lokasi. Meski di gelap malam, hanya diterangi sentir, terlihat juga kayu-kayu besar tergeletak di jalan. Cuma, pelakunya (tukang sinso) tak lagi ditemukan.
“Berdasarkan peritiwa di Kacinambun itu, saya berharap kepada Poldasu agar berkenan sama-sama turun ke Kutakendit,” pinta Valent yang mengemukanan timnya direncanakan turun pada 18 September.
“Agar tak sia-sia, begitu tim Pak Valent turun dan melihat ada penebangan, segera menghubungi kami,” pinta petugas Poldasu.
Akhirnya Valent dengan timnya turun ke Kutakendit tanpa petugas kepolisian. Pagi-pagi sekali, Valent dan tim sudah berangkat dari Medan menuju Tanah Karo. Mendekati Kabanjahe, Valent menghubungi Rail Ginting.
Usai sarapan di Kabajahe, tim langsung menuju Tiga Binanga dan selanjutnya menuju hutan Kutakendit. Mobil Taff GT ditiggal di kediaman penduduk. Mendekati hutan terdengar suara Sinso. Benar adanya, Kawasan Ekosistem Leuser tersebut telah porak-poranda.
Lalu, Rail Ginting dan Hiban AS ditugaskan mencari warung Telkom karena HP tidak punya sinyal. Begitu menemukan warung Telkom, Rail ditemani Hiban AS melaporkan hasil penemuan itu kepada pihak Poldasu.
Karena diperhitungkan tidak memungikinkan turun pada saat itu juga, Kompol M Butarbutar berjanji malamnya tim dari Poldasu akan sampai di Berastagi. Maka, sebagian tim Valent pun bersepakat tinggal di Berastagi, guna menanti datangnya petugas Poldasu.
Malam itu Hiban AS menginap di kediamn Rail Ginting di Desa Singa. Sementara Valent dan kawan lainnya pulang ke Medan. Tak lama setelah makan malam, Rail Ginting dihubungi petugas polisi via HP agar bertemu di Bersatagi. Segeralah Rail dan Hiban berangkat dari desa Singa menuju Berastagi dengan Taff GT roda besar.
Setelah petugas Poldasu datang – di sebuah warung tenda, tim pun mengatur rencana penyergapan penebangan kayu secara liar di hutan KEL tersebut. “Sekitar pukul 10.30 besok, Kompol M Butarbutar komandan kami sampai di Berastagi. Kalau boleh, Abang berdua sampai di Bersatagi ini sebelum pukul 10.00,” pinta kedua petguas polisi kepada Rail dan Hiban.
Esoknya, usai sarapan, Hiban dan Rail berangkat dari desa Singa menuju Berastagi. Tak seberapa lama menunggu, Kompol butar-butar pun tiba di tempat yang dijanjikan. Selanjutnya disepakati, langsung menuju Kutakendit.
Di Polsek Tiga Binanga, tim penyergapan singgah sejenak. Kemudian tim dari Medan dan Polsek Tiga Binanga turun bersama-sama ke Kutakendit. Kedua tim mengendarai Taff GT dan Jeep Willis tahun 60-an dengan ban yang memang sudah dipersiapkan menghadi Medan berat.
Begitu tim tiba di lokasi, terdengar suara sinso menderu-deru. M Butarbutar dan pasukannya pun mengeluarkan pistol. Rupanya, agak ke lembah sedikit, para penebang kayu sedang beraksi menumbangkan kayu yang berdiamter kurang lebih 1,5 meter.
“Jangan bergerak, matikan mesin, dan angkat tangan,” sergah Butarbutar yang diikuti oleh pasukannya. Mesin sinso masih menyala, karenanya Butarbutar menembakkan pistolnya ke udara. Spontan mesin mati, dan para pekerja melepaskan benda-benda tajam dari dan kemudian mengangkat tangan ke atas. Pasukan pun bertindak cepat menggiring perambah naik ke atas, selanjutnya dibawa ke Polsek Tiga Binanga dengan kendaraan Jeep yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga cocok untuk kendaraan ke hutan.
Ya, di Jumat (19/9) itu, Kompol M Butarbutar, Aipda Ramlan Barus, Aipda Dahlan Ginting, Briptu Chairuddin Barus bersama masyarakat yang peduli hutan termasuk tim dr Robert Valentino, berhasil menyikat lima pekerja (tukang sinso) yang sedang merambah hutan. Mereka yang tertangkap antara lain Alex Ginting, Herman, Dami Ginting, Mesin Ginting, Kliwon dan seorang mandor bernama Robert Sembiring. Para perambah ini mengolah kayu menjadi broti dan papan di lokasi hutan.
Keenam perambah hutan tersebut diboyong beserta dua unit mesin potong (sinso) sebagai barang bukti. Tiga orang dari mereka di boyong ke Poldasu beserta satu unit sinso dan tiga orang lagi dititip di Polsek Tiga Binanga, Tanah Karo.
“Dengan luasnya lokasi yang berhasil dirambah itu, berarti kegiatan ini telah berlangsung lama,” tutur Kompol M Butarbutar. Kata Butarbutar, karena penebangan kayu itu ternyata dalam kawasan hutan lindung, maka tak ada alasan, mereka harus ditahan. “Kita tidak peduli siapa yang menyuruh, yang jelas pekerjaan itu telah melanggar peraturan,” tandasnya lagi.
Kompol M Butarbutar menambahkan, pada awal rombongan memasuki lokasi, ia merasa bangga dengan adanya pembangunan jalan yang begitu besar ke desa terpencil di Tanah Karo ini. “Alangkah sejahteranya masyarakat bila pembangunan sampai ke desa-desa. Namun, setelah sampai di lokasi, hutan lindung telah porak-poranda, khayalan saya berubah,” ungkapnya.
Ketika dimintai keterangan, salah seorang pekerja menyatakan dia telah lama bekerja di sana dan mengolah kayu balok menjadi papan dan broti, semua itu untuk bahan bangunan. “Sudah pasti ada dalang intelektuannya. Jadi kita bukan hanya ingin menangkap tukang sinso saja tetapi ingin membuka tabir ini sampai ke akar-akarnya. Kita tidak akan melihat latar belakang pelakunya, yang jelas siapa saja yang melanggar hukum harus kita proses sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Kompol M Butarbutar lagi.
Namun sejauh mana proses penyelidikan dan penyidikan, tidak diketahui. Yang pasti, hingga menjelang akhir tahun berikutnya, tak seorang pun dari “dalang intelektual” yang dimaksudkan diproses secara hukum. ***



Bab Duabelas
Ditodong di Teras Kantor Bupati

“Kita setuju reboisasi, tetapi soal menutup jalan harus persetujuan Muspida serta pihak legislatif,” ungkap Bupati Karo Sinar Perangin-angin, di hadapan masyarakat Barusjahe yang didampingi Valent siang itu. Kehadiran masyarakat Barusjahe ke ruang keruang kerja bupati guna menuntut janji yang diucapkan bupati dua hari sebelumnya. Ketika itu ada tiga hal yang dijanjikan, yaitu menutup kembali jalan sepanjang 9 Km, mereboisasi hutan lindung yang dirambah dan membuka pabrik juice untuk dikelola masyarakat.
Ternyata bupati mengingkari janji yang telah diucapkannya sendiri dan telah diekspos oleh media-media massa terbitan Medan. Keberatan bupati menutup jalan sepanjang 9 km yang digunakan untuk merambah kayu Barusjahe itu, karena takut panglima marah.
“Pembukaan jalan itu merupakan program TMMD (TNI Manuggal Masuk Desa). Jadi, kayu-kayu yang diangkut truk kingkong, merupakan penebangan untuk membuka jalan program TMMD, bukan hasil curian,” cerita bupati bertubuh kurus tinggi dan berkacamata ini.
Mendengar hal ini, Valent menangkis, bahwa program TMMD hanya 28 hari saja. Pembukaan jalan seterusnya dilakukan oleh Pemkab Karo. “Kayu-kayu ditebangi dan diangkat dari Deleng Ganjang itu setelah program TTMD selesai,” jelasnya
“Kalau bukan untuk mencuri kayu, kenapa jalan yang seyogianya 3 Km dibuat menjadi 9 Km, dan 80 meter ke dalam hutan ada panglong tempat peracipan kayu. Kondisi ini sudah dilihat oleh anggota DPR RI pada tanggal 7 Juni lalu. Jadi, janganlah Bapak-bapak mencari-cari alasan. Kalau memang tidak ada keinginan mereboisasi kembali hutan yang dirambah serta menutup jalan yang merugikan masyarakat tersebut, ya katakan saja terus terang. Jangan ada dusta di antara kita,” tandasnya.
Memang sepertinya bupati dan aparat terakit tak ingin memenuhi tuntutan masyarakat Barusjahe sebagaimana yang dijanjikan. Sebab sebelumnya – ketika utusan masyarakat Barusjahe: Rifin Tarigan, Zakaria Tarigan, dan Pendapatan Tarigan yang didampingi Valent sampai ke kantor Bupati Kabupaten Karo, mereka tak mendapatkan surat yang diharapkan.
Padahal, jika bupati berkenan membuat surat untuk reboisasi dan penutup jalan, masyarakat bersedia mencari bibit dan menanam sendiri. Jangankan surat yang dijanjikan, bupati dan perangkatnya pun tak berada di tempat. Masyarakat mendapat informasi, bupati dan perangkatnya sedang menghadiri pertemuan di DPRD Karo.
Rombongan pun menuju kantor DPRD. Setelah menunggu beberapa saat, terlihatlah Ir Juki S Tarigan beserta rombongan ke luar dari ruang pertemuan. Sementara bupati tidak terlihat.
Lalu dengan perantara Valent, rombongan menpertanyakan tentang janji bupati yang akan mengeluarkan surat tentang reboisasi serta menutup jalan yang telah dibuka sepanjang 9 Km.
“Tak segampang itu. Semuanya harus ada mekanismenya. Kalau penghijauan, itu di atas tanah rakyat (ulayat – red), tapi kalau reboisasi harus konsultasi dulu dengan pihak terkait dan ijin menteri,” jelas Juki.
“Kalau merambah hutan lidung dengan alasan membuka jalan, tak perlu ijin menteri. Lalu kenapa untuk reboisasi haru ada ijin menteri,” tanya Valent.
“Pokoknya, kalau reboisasi ada mekanismenya, tak bisa begitu-begitu saja,” tandas Juki.
“Tapi kan Pak Bupati telah berjanji,” jawab Valent.
“Bupati itu tahu apa. Dia pun banyak melakukan kesalahan,” sergah Juki sembari berjalan meninggalkan kantor DPRD Karo.
“Kalau begitu, kita kembali menghadapi bupati,” kata Valent.
Rombongan pun meninggalkan gedung DPRD dan menuju ke kantor bupati. Sesampainya di kantor bupati, setelah memarkir mobil masing-masing, Valent berjalan di depan, di sebelah kirinya agak ke belakang berkisar setengah meter mengikuti Rail Ginting, wartawan Perjuangan, sedangkan di sebelah kananya, juga agak sedikit di belakang, ada Hiban AS, kolomnis berbagai surat kabar, yang turut terlibat dalam advokasi hutan di Kabupaten Karo itu.
Di belakang Rail dan Hiban ada utusan masyarakat Barusjahe: Rifin Tarigan, Zakaria Tarigan, Pendapatan Tarigan, dan Thomas Tarigan. Valent, Rail, Hiban dan masyarakat melangkah menuju kantor bupati. Sejurus kemudian Sudarto yang bertubuh tinggi dengan rambut putih menggunakan jaket partai yang pernah berkuasa selama 32 tahun ke luar dari kantor bupati.
Sudarto yang pengurus partai tangan kanannya melambai, isyarat agar Valent mendekatinya, sementara tangan kiri lelaki berjaket kuning memegang pistol. Setelah Valent dan Sudarto mendekat nampak wajah keduanya menegang, seakan menahan sesuatu yang akan ke luar.
“Bapak kok membawa-bawa senjata,” sergah Valent.
“Saya kan sering keluar masuk hutan, mau apa kau he,” jawab Sudarto sembari menodongkan senjatanya ke perut sebelah kanan Valent.
“Kalau Bapak mencuri kayu, nanti dibakar masyarakat,” ketus Valent.
“Kutembak kau nanti,” ancam Sudarto yang Ketua Bakom PKB (Badan Komunikasi Perekat Kesatuan Bangsa) itu tertawa-tawa sinis.
“Nanti membal, justru pelurunya bersarang di perut Bapak.”
Rail, Hiban dan masyarakat melihat kejadian segera merapat. Tapi ternyata Sudarto hanya gertak sambal saja, sejurus kemudian dia menuju kendaraannya. Ketika itu Ir Juki S Tarigan tiba bersama rekan-rekannya di halaman parkir kantor bupati yang luas. Sudarto pun berbincang-bincang dengan Juki. Entah apa yang mereka cakapkan, Valent, Rail, Hiban dan masyarakat tidak mendengarnya.
Saat mendekati Valent, Juki berujar, “Itu bos saya”, sembari menunjuk ke arah Sudarto. Timbullah pertanyaan di hati masyarakat, apakah perambahan hutan di Kabupaten Karo ini ‘direstui’ oleh partai berseragam kuning ini?
Setelah duduk beberapa saat di ruang tunggu kantor bupati, Valent, Rail, Hiban dan masyarakat dipersilakan masuk. Dalam perbincangan, ikhwal Sudarto membawa senjata api ini, diinformasikan kepada bupati, tetapi Sinar tidak memberikan tanggapan apa-apa. Sepertinya memang keberadaan Sudarto dengan senjata api di tangan itu merupakan skenario untuk menakut-nakuti masyarakat Barusjahe yang didampingi Valent.
Dalam dialog yang berbelit-belit itu, Sinar Perangin-angin dengan nada emosi mengatakan, bahwa ia jadi bupati karena dipinang oleh PDI Perjuangan, bukan atas ambisi pribadinya.
“Kalau soal kekayaan, ekspor saya jalan terus kok. Saya punya Land Cruiser dan mobil mewah lainnya. Justru setelah jadi bupati, uang saya yang ke luar dan capek,” ceritanya.
Masyarakat terkejut mendengar penjelasan bupati tersebut. Kemudian mengungkapkan bahwa kehadiran mereka bukan untuk membuat repot bupati, melainkan karena mata air mereka kering. Dan soal perambahan hutan bukan isapan jempol saja. Jelas terlihat truk kingkong dan panglong penadah kayu tersebut.
Selanjutnya, bupati menghubungi Kapolres Karo AKBP Drs DL Tobing, yang tak lama kemudian hadir di ruang kerja Bupati Tanah Karo.
Setelah berbincang-bincang, Valent mengungkapkan tentang Sudarto yang membawa senjata api tersebut. “Itu tidak boleh. Sipil memang boleh memiliki senjata tetapi bukan untuk dipamerkan,” tandas DL Tobing.
“Lalu soal pendongan?” tanya Valent.
“Hak Anda untuk mengadukannya,” jawab Tobing.
Soal gerakan masyarakat yang didampingi Valent, Tobing meminta agar jangan dipolitisir. “Mari kita selesaikan masalah ini secara bersama-sama, sehingga kondisi Kabupaten Karo yang kondusif tetap terpelihara,” harapnya.
Akhir pertemuan, meskipun tak disepakati oleh masyarakat realisasi reboisasi dijanjikan bupati menunggu APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) ditetapkan. Masyarakat pun ke luar dari ruang bupati kerja Bupati Karo dengan kondisi kecewa dan hampa. “Janji tinggal janji,” ungkap mereka.
***
Soal restu Golkar terhadap Sudarto dibantah oleh H Amas Muda Siregar SH Sekretaris DPD Tk I Partai Golkar Sumut. “Soal membawa senjata atau merambah hutan tidak diatur oleh Golkar. Itu urusan pribadi yang bersangkutan. Tugas Golkar mengatur orang-orang untuk menjadi penguasa yang legitimate,” ujar Amas ketika diwawancarai Rail didampingi Hiban AS.
Amas Muda Siregar menandaskan, jika ada orang-orang Golkar yang melakukan hal-hal berkaitan dengan pelanggaran hukum, itu merupakan tanggung jawab pribadi. “Kalau Sudarto mau membawa senjata api, mau bunuh diri, itu urusannya sendiri. Golkar tidak mengurus itu, apalagi merestui. Silahkan saja yang berwajib melakukan tugasnya,” tandas Amas di Sekretarit Golkar Jalan Wahid Hasyim, Medan.
***
Kabupaten Karo terdiri dari 13 Kecamatan dengan luas 212.725 hektar. 30 persen lebih dari luas itu adalah kawasan hutan. Namun kini kondisi hutannya sudah porakporanda. Warga yang peduli terhadap hutan, menuntut para pelaku kerusakan itu segera ditangkap dan diseret ke meja hijau.
Advokasi pun dilakukan oleh masyarakat yang didampingi Valent. Semula gerakan memang hanya seputar kabupaten. Perlahan, tapi pasti, gerakan menyebar sedemikian rupa. CD-CD pun beredar ke berbagai tempat bahkan ke luar negeri. Begitu juga dengan berita-berita di media massa, terus mengangkat masalah ini ke permukaan.
Demikianlah advokasi dilakukan untuk wilayah-wilayah dimaksud, hingga suatu hari, Sudarto menodongkan pistolnya ke arah perut kanan Valent di teras Kantor Bupati Karo. Selanjutnya, penodongan itu diadukan Valent ke Polres Pegunungan. Karena kurang mendapat respon, Valent kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Kabupaten Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan Valent atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara split ini disidangkan bersamaan antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valent juga sebagai terdakwa.
Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Karotersebut, mulai disidangkan sekitar September dan pembacaan vonis April tahun berikutnya, dengan hasil bebas murni untuk Valent dan bebas murni pula untuk Sudarto.
Atas permintaan Valent, Kejaksaan Negeri Pegunungan selanjutnya melakukan kasasi.
Memori kasasi pada bulan Mei diajukan ke PN Pegunungan untuk diteruskan ke Mahkamah Agung, dan Kontra Memori Kasasi selesai Juli, akte tanda terimanya, seminggu kemudian, ditandatangani oleh Nirwan Sembiring SH. Yang menyerahkan Kontra Memori Kasasi adalah Kaliasa Sitinjak SH, Penasihat Hukum Valent.
Anehnya hingga November tahun berikutnya Permohonan Kasasi tersebut tak juga dikirimkan PN Pegunungan ke Mahmakah Agung. Ketika Valent, penasihat hukum dan rekan-rekan mempertanyakan kenapa belum dikirim, Nirwan Sembiring SH Panitera/Sekretaris PN Pegunungan mengatakan, Juru Sita PN Kabanjahe tak masuk-masuk kantor sehingga Surat Pemberitahuan untuk Mempelajari Berkas Perkara yang wajib disampaikan kepada terdakwa tak ada.
Kepada Valent, Nirwan mengatakan ia bekerja berdasarkan perintah atasan. Kalau atasan
mengatakan jangan dikirim karena alasan juru sita tak masuk-masuk kantor, Nirwan mengaku hanya ikut saja. Lalu ketika Valent mendesak, Nirwan memerintahkan agar mempertanyakan masalah itu kepada Kepala PN Pegunungan Brutus SH.
Setelah Valent mempertanyakan hal tersebut kepada Brutus, Kepala PN Karo ini berusaha mengelak. “Berapa rupanya Bapak dibayar maling kayu itu, sehingga untuk mengirimkan berkas kasasi saja tak bisa,” sergah Valent ketika itu kepada Brutus. Selanjutnya Kepala PN Karo meminta Valent bersabar dan mempertanyakan masalah tersebut kepada Nirwan.
Merasa dibolak-balik sedemikian rupa, akhirnya Valent mengatakan, jika memang Permohonan Kasasi tersebut tidak akan dikirim ke Mahkamah Agung, buatlah suratnya, biar jelas. “Hak Bapak untuk menjatuhkan vonis saya hormati. Tolonglah hak saya untuk kasasi juga Bapak hormati,” pinta Valent.
Terjadi perdebatan sengit. Seiring dengan itu, supir pribadi Kepala PN Karo marah-marah, terkesan melarang Valent dan kawan-kawan masuk ke kantor PN Karo. Karenanya Valent mengingatkan bahwa PN itu bukan kantor milik pribadi, melainkan milik negera, yang siapa pun pencari keadilan berhak memasukinya.
Saat Valent mengemukakan bahwa kejadian itu akan ia lapor ke Ketua Pengadilan Tinggi
(PT) Sumatera Utara di Medan, supir pribadi Kepala PN Pegunungan menyatakan tidak takut. “Kepada yang lebih tinggi pun saya tidak takut,” tutur oknum supir Kepala PN Pegunungan tersebut.
Akhirnya – setelah beradu argumentasi tentang hak meperoleh keadilan sesuai dengan
perkataan Jaksa Agung bahwa keadilan untuk rakyat kecil jangan sampai dibeli oleh orang kaya dan para cukong – maka pada November tersebut, PN Karo menyiapkan Surat Pemberitahuan untuk Mempelajari Berkas Perkara Nomor 274/Pid.G/2003/Pd.Kbj. Berkas yang ditandatangani Jhonny Heri Jonson Juru Sita PN K Pegunungan tersebut, juga harus ditandatangani Valent.
Mereka (pihak PN Pegunungan) berjanji berkas Permohonan Kasasi itu paling lambat
November tersebut dikirim ke Mahkamah Agung.. ***













Bab Tigabelas

Kembali Demo ke DPRD

Massa pendemo berdoa di halaman Gedung DPRD Karo. Terlihat polisi-polisi berseragam lengkap dengan perisai dan pentungan melakukan pagar betis, berhadap-hadapan dengan massa. (Dari salah satu taperecorder kendaraan pengunjuk rasa terdengar lagu Oh Tanah Karo Simalem, yang dinyanyikan oleh Tiovanta Pinem. Masyarakat memamerkan karton-karton yang bertuliskan protes terhadap penebangan hutan, salah satunya: Dewan Ompong. Kemudian masyarakat bernyanyi: lit lenna....dst.. Pantun-pantun berisi protes disampaikan. Terlihat Valent bersalaman dengan Anggota-anggota DPRD Karo, pihak keamanan dan pejabat pemkab. Terlihat para Anggota DPRD berdiri berhadap-hadapan dengan massa – membelakangi para polisi – ada juga Bon Purba, Ketua DPRD).
Valent : Saya hanya pendamping. Karenanya jangan pendamping yang bilang. Bapak-bapaklah yang menyampaikan, apa yang dialami. Sebab, saya berharap, jangan ada dusta di antara kita (Hidup... hidup, teriak massa). Jadi, kalau saya yang ngomong, nanti bisa dusta. A... ya kan, tapi kalau Bapak-bapak yang ngomong, itulah kenyataan.
Saya mohon, karena saya kebetulan ikuti mendampingi Bapak, kalau bisa kita sesama orang Karo dan yang hidup di kabupaten ini, kita jagalah kenyamanan dan keamanan. Tapi, apa yang Bapak Ibu rasakan, banci blasken.
Karena menurut etika juga, Bapak-bapak inilah wakil dari Bapak-bapak Ibu sekalian. Mari kita jaga, ada anak beru, ada kalimbubu. Karena yang di tempat ini juga wakil-wakil kita, tapi yang paling penting mereka ini adalah Saudara-saudara kita. Apalgi yang di depan ini – kalau bagi saya pribadi, pribadi ini – sahabat saya (Masyarakat bersorak).
Jadi, curi kayu, buat jalan katanya. Jalan bisa 3 km, jadi 9 km. Kek... keknya kutengok – orang Karo ini – pikirnya bodoh semuanya. Padahal saya ini orang yang berasal dari Kabupaten Karo, sarjana, sarjana saya ini, ya kan? Terimakasih, selamat siang, mejuah-juah. Tuhan memberkati kita semua (Valent memberikan mikropon kepada salah seorang pendemo).
Masyarakat Barusjahe : Kami mohon dengan hormat, mohon hadirkan Bapak Bupati Kepala Daerah Tk II Kabupaten Karo dimohon di depan kita (Masyarakat, Bapak-bapak, Ibu-ibu serta anak-anak bernyanyi: Lit lenna... dan seterusnya – hidup rakyat, teriak pendemo).
Pendapatan Tarigan : Kusampaikan salam perjuangan, perjuangan demi hutan. Suaraku, suara hati, harapan inspirasi hati. Wakilku, wakil rakyat, seharusnya kau merakyat. Wakilku, wakil rakyat, bertopeng menampung amanat, amanat penderitaan rakyat, cerminan hati rakyat, tapi kau khianat. Wakilku, wakil rakyat, mengapa hutanku terbabat. Wakilku, wakil rakyat, hatiku tersayat, hutanku terbabat.
Ketua DPRD : Atas perkenannya Saudara-saudara para Ibu Bapak dengan selamat bisa sampai di kantor dewan ini untuk menyampaikan aspirasi. Untuk itu sebelumnya kami dengan rasa hormat yang tinggi, walaupun pada saat yang bersamaan dilaksanakan Rapat Paripurna Dewan. Tapi, untuk menghormati para Ibu Bapak dan Saudara-saudara sekalian, kami skors sidang selama satu jam untuk memberikan kesempatan kepada Saudara-saudara sekalian menyampaikan aspirasi di kantor dewan ini.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati, saya minta, karena sesuai dengan permintaan Saudara-saudara untuk di tengah-tengah kita juga hadir Bapak Bupati Kabupaten Karo, untuk itu, saya minta kepada Saudara sekalian agar dalam melaksanakan penyampaian aspirasi ini berlangsung secara tertib dan aman. Karena terlebih-lebih kita sebagai orang Pegunungan – apa yang dikatakan Saudara Valent tadi – bahwa kita ini semuanya terikat dalam Mergasilima, Tutursiwaloh. Denda adikukateken Mergasilima, pasti saling terkait. Dan kita pe di samping harus menjunjung tinggi supremasi hukum juga harus menjunjung tinggi budaya dan adat kita (Terlihat Bupati berdiri di samping Ketua DPRD).
Terimakasih dan selamat berada di tengah-tengah kita, kami ucapkan kepada bupati (Masyarakat ribut). Lagi mohon perhatian kita bersama agar selama berlangsung acara penyampaian aspirasi atau mungkin dialog, sekali lagi kami harapkan agar tertib. Karena – apa pun – kalau penyampaian dalam keadaan tidak tertib, semuanya akan berakhir tidak tertib. Karena kita – saya rasa – karena kebanyakan dari Saudara-saudara sekalian, saya kenal betul, bahkan berjuang bersama-sama saya. Saya sangat hormat kepada Saudara-saudara sekalian. Dan saya tahu persis keberadaan Saudara-saudara sekalian.
Masyarakat Tigajumpa : Kami masyarakat Barusjahe sekitarnya hendak menyampaikan aspirasi mengenai perambahan hutan. Yang terhormat bupati, ketua DPRD dan aparat keamanan. Kami masyarakat Tigajumpa ingin menyampaikan aspirasi kami.
Telah berkali-kali kami sampaikan keluhan kami tentang Deleng Ganjang. Kami sangat menyadari bahwa hutan sangat penting bagi kehidupan kami. Tetapi keluhan kami, hingga kini tidak ada realisasinya. Untuk itu kami perlu ketegasan yang tersurat dari Bapak-bapak.
Harapan kami hutan itu dihijaukan kembali untuk kehidupan kami beserta anak cucu (Karena hari sangat panas, seseorang memberikan payung pada Valent agar dipakainya. Tetapi payung itu diberikannya kembali kepada orang tersebut). Jalan yang baru dibuka jadi beban buat kami. Karena merupakan peluang bagi pencuri kayu. Selama ini kayu di hutan tidak ada yang ditebang. Kalaupun ada untuk rumah adat. Tidak pernah kayu itu dijual. Tapi, bila jalan tidak ditutup mungkin kayu akan habis dicuri.
Karena kami bukan orang yang berpendidikan, bagi kami tidak ada positifnya jalan itu. Mari kita buat kesepakatan, agar jalan itu dihijaukan kembali. Karena kami minta suatu ketegasan dari Pemerintah Daerah dan DPRD agar kembali direboisasi. Kami masyarakat Tigajumpa telah bersiap gotong royong menghijaukannya.
Pendapatan Tarigan : Masyarakat Barusjahe minta tutup jalan dan hijaukan. Perambahan hutan di Kabupaten Karo, menurut pengamatan kami, 3 – 4 tahun terakhir, sudah ada 8 (delapan) lokasi.
Untuk itu kami imbau kepada seluruh masyarakat, kita bersatu menuntut perambahan hutan.
Masyarakat Desa Sukajulu : Pelestarian harus dibina dan jangan lagi diteruskan pembukaan jalan. Seluruh hutan di Kabupaten Karo yang telah gundul kami harap dihijaukan kembali. Hanya inilah tuntutan kami dari masyarakat Desa Sukajulu, terimakasih.
Persatuan Ginting, Mewakili Mamre : Kami mewakali Mamre/Kaum Bapak masyarakat Barusjahe telah berulang kali menyampaikan aspirasi kepada Bapak-bapak dan Anggota Dewan tentang masalah pembukaan jalan tembus antara Desa Serdang dengan Pertumbuken. Kami minta suatu ketegasan. Karena dialog, kami kira tidak ada lagi artinya.
Kini, kami minta suatu ketegasan, bisa atau tidak jalan itu ditutup kembali. Kami sudah lelah menghadapi masalah ini terus-menerus, kasihanilah kami.
Mewakili Moria Kaum Ibu : Kami mewakili Moria/Kaum Ibu masyarakat Barusjahe, kami harap kayu yang sudah ditebang jangan diambil, dan yang hidup jangan ditebang. Dan jalan yang telah dibuka kami minta ditutup. Hal ini kami tuntut, karena mata air penduduk Barusjahe sekitarnya di hutan itu. Bila kayu dibabat habis, kami akan kekeringan air.
Pendeta Antony Sitepu : Kami telah berulang kali meninjau hutan tersebut. Jalan yang telah dibuka tidak ada manfaatnya. Untuk itu kami mohon hijaukan. Kami harap kita gotong royong mereboisasinya supaya Bapak-bapak panjang umur.
B Purba : Dan telah beberapa kali dibicarakan dalam rapat Muspida. Dan Muspida sendiri telah datang di Desa Barusjahe untuk berdialog dengan masyarakat. Saudara-saudara telah diterima oleh bupati. Pada kesempatan ini permintaan Saudara-saudara yang penyampaian-penyampaiannya sangat kami hargai.
Bupati : (Dipayungi oleh staf) Kehadiran Bapak dan Ibu suatu kebahagiaan bagi kami. Karena harapan Saudara-saudara sama seperti yang kami harapkan. Dalam hal ini kita perlu musyawarah mufakat masalah penghijauan dari dulu kita sepakat. Masalah hutan dan jalan mari kita ambil kata sepakat.
Dengan munculnya reformasi terjadi gonjang-ganjing di sana-sini. Lebih banyak orang bicara daripada berbuat. Bila kita lebih banyak bicara daripada bekerja, segalanya akan sia-sia.
Kini kami tantang kamu untuk berbuat baik. Untuk berbuat baik mari kita lakukan sesuai dengan yang ada. Mari kita lakukan musyawarah di kemudian hari dengan melibatkan pemuka-pemuka masyarakat. Mengambil suatu keputusan tidak perlu orang banyak tapi cukup 3 atau 8 orang.
Saya mengaku Pemerintah Daerah memiliki banyak kekurangan. Kekurangan kami semua tolong dicatat. Masalah ini sebenarnya baru satu minggu saya terima dengan resmi. Namun sudah kami persiapkan masalah reboisasi dan hutan. Dan, aspirasi Saudara-saudara sudah kami terima dan setelah ke luar anggaran kita musyawarahkan dan bagaimana kita membuat penghijauan.
Masalah air juga telah dipersiapkan dana. Untuk itulah kami rapat bersama Anggota Dewan. Kami harap bersabar menunggu keputusan. Siapa pun tidak berani mencuri kayu tanpa terlibat penduduk desa setempat.
Valent : Jangan ada dusta di antara kita, kenapa? Saya melihat anak saya di rumah – kebetulan saya ada anak yang masih kecil – kalau saya janji, tiga hari lagi beli sepeda. Kemudian tiga hari lagi saya dilihatnya berleha-leha, nonton sama istri saya, tak saya belikan, ngamuk la dia ini.
Alam kita sudah kering. Saya informasikan kepada seluruh masyarakat, Anggota Dewan dan Pak Bupati, mari kita stop kalau ada truk kayu. Jangan kita biarkan satu batang kayu pun lepas dari bumi Karo ini, termasuk yang lewat.
Dan, saya di Kantor Bupati, saya malah dikeluarkan senjata tajam, senjata tajam itu pistol (Valent memperagakan dengan tangannya yang menggambarkan seseorang memegang pistol) bukan pisau. A... beginilah dia (Diperagakan pula pistol itu menempel di perutnya). Dan saya – terus terang – sebentar (Dari deretan bupati ada yang berteriak bohong) – kok bohong, ada saksinya. Dan, saya tidak takut (Massa bertepuk tangan dan berteriak: hidup... hidup), kenapa? Karena yang kita hadapi adalah kebenaran, perjuangan mata air kita, ya kan? Dan itu kalau nanti, ini kalau Bapak Bupati berkenan, banyak saksinya masyarakat.
Dan kedua (Mengangkat tangan sembari mengacungkan dua jari) kita yakini apa kata Pak Bupati dan nanti anggota dewan dari fraksi-fraksi, ya kan, karena mereka adalah wakil kita. Dan sekali lagi saya tekankan, kalau masalah pencurian kayu di Kabupaten Karo, itu merajalela.
Kampung saya Juhar itu ada, Raja Payung Bangun, Kaban, a... memang mungkin ada sepuluh di antara kita... sepuluh... sepuluh di antara kita yang menikmati duit kayu itu. Tapi dia tidak tahu anak cucunya.
Memang kalau kita lihat alam Karo ini. Kalau kita tebangi hutan kayu ini, kita kaya raya, sampai kapan? Sampai tiga tahun?
Ini seperti ayam bertelur emas. Jatuh telurnya tiap hari. Pemiliknya tidak sabar, dipotongnya ayamnya, hilanglah. A... makanya kepada kawan-kawan di sini, marilah – karena kita telah memberikan surat kepada anggota dewan dan Pak Bupati, karena kata Pak Bupati tinggal seminggu, kita bersabar. Saya rasa masyarakat bersabar.
Kepada anggota dewan yang terhormat, supaya masyarakat ini tenang, tolonglah – kalau bisa dibantu membuat pernyataan memang Saudara setuju mata air masyarakat ini tidak kering, ya kan Pak.
Jadi kita dengar tanggapan Bapak Ketua DPRD dan fraksi-fraksi yang kita dengar jangan sampai mata air kita kering. Masalah mata air adalah masalah anak cucu, terimakasih.
Kalau nanti ada yang bilang saya bohong, ya kan, Bapak-bapak ini saksi, pegawai-pegawai Pemda saksi, ya kan, bukan saya di situ.
Dan kedua ada ini akan diteken hari ini. Kalau boleh saya minta, mewakili maysarakat kepada anggota dewan. Pertama, dana jalan itu, kalau bisa Bapak-bapak coret. Kedua, yang kita butuhkan di kabupaten ini pengujian pupuk, bukan buat orang jadi pengusaha.
Karena masyarakat kita dari dulu – ayah saya sendiri – bisa sekolah ke Medan – mungkin ada kawan-kawannya di sini – karena kabupaten ini subur. Tak kita butuhkan di sini orang berusaha sehinga kita miskin. Yang kita tuntut janji Pak Sinar sebagai bupati, sudah tiga tahun. Kita menilai, yang inilah yang penting kita tekankan, yang kan terimakasih selamat siang, Tuhan memberkati kita semua. ***




























Bab Empatbelas

Reboisasi Nyaris Berdarah

Deleng Ganjang tidak seperti dulu lagi, kayunya telah banyak dicuri. Sebagian tanahnya telah digarap. Mata air semakin hari semakin kecil. Kejadian ini jadi bahan pikiran masyarakat Berusjahe. Mereka cemas dan ketakutan tidak memiliki mata air lagi (Terlihat warga, lelaki, wanita, tua, dan muda menaiki truk, pick up dan lainnya membawa bibit pohon). Hal ini memotivasi mereka, menghijaukan Deleng Ganjang tetapi digagalkan segelintir pencuri.
Perang antardesa hampir terjadi. Orang-orang berkerumun bagaikan semut. Di sana-sini tampak kacau karena antara kedua pihak masyarakat saling tidak percaya. Ketulusan masyarakat Barusjahe sekitarnya untuk mereboisasi hutan yang rusak tidak percayai oleh masyarakat Desa Buntu,
Seseorang atau mungkin sekelompok orang telah memprovokasi mereka, yang akan direboisasi masyarakat Barusjahe sekitarnya adalah lahan pertanian merek. Tentu saja masyarakat desa Buntu berang. Kalau sempat lahan (ladang) mereka direboisasi, tentu mata pencarian mereka terganggu. Lobi-lobi dilakukan agar lahan yang gundul jadi direboisasi, tetapi tidak berhasil. Masyarakat desa Pertumbeken dan Buntu tidak yakin. (Terlihat sepeda-sepeda motor diparkir di tengah jalan menghalangi warga yang akan memasuki kawasan Deleng Ganjang guna melakukan reboisasi).
Akhirnya, bibit yang akan ditanam dibawa pulang kembali dengan berat hati. Batin mereka menjerit melolong. Wahai seluruh Marga Silima di seluruh negeri, jangan terkejut, Tanah Karo tidak dapat didiami lagi (Terlihat polisi menenangkan masyarakat yang mulai marah). Kami mau hijaukan tapi banyak menghalangi. Hendak melawan tapi kekuatan tidak ada.
Madu dikatakan mereka air kotor. Racun, katanya obat mujarab. Bila kamu mengasihi kami, satukan kekuatan menghalangi pencuri. Kami telah bersiap melakukan yang terbaik. (Terlihat beberapa orang polisi menghidupkan mesin sepeda motor berbocengan dengan masyarakat menuju Desa Pertumbuken, sebuah desa yang harus dilalui untuk sampai ke Deleng Ganjang).
Masyarakat berdebat dengan polisi agar dapat memasuki Deleng Ganjang.
Seorang wanita mendesak agar diperkenankan naik ke atas. Ia berteriak-teriak.
Masyarakat yang lain mengatakan, kalau begini caranya, mereka menganggap orang Pertumbuken yang menghalangi reboisasi, padahal petugas.
Seorang polisi berdialog dengan masyarakat agar jangan memaksa menanam pohon, daripada terjadi bentrok.
Seorang polisi berbincang-bincang dengan Valent, meminta agar masyarakat ditenangkan dan jangan memaksa naik.
“Maju... maju,” teriak masyarakat. “Tunggu..,” jawab yang lain.
Pertua Pendapatan Tarigan terus meyakinkan polisi, kalau reboisasi gagal, masyarakat kecewa.
Salah seorang masyarakat meminta agar mereka dipertemukan dengan Kepala Desa Pertumbuken.
Valent berdialog dengan polisi.
Beberapa menit kemudian, masyarakat mulai bergerak dengan mobil dan kendaraan lainnya. Terdengar teriakan: Hidup Barusjahe...Hidup Barusjahe.
Di atas, masyarakat Desa Buntu/Pertumbuken yang telah dipengaruhi bahwa ladang mereka yang akan ditanami menanti dengan golok, tombak, dan senjata tajam lainnya. Sementara di balik-balik pohon yang ada di tebing-tebing, di ketinggian dengan wajah tertutup – hanya mata yang terlihat – siap dengan panah beracun. Andai saja masyarakat Desa Barusjahe tak dapat mengendalikan emosinya ketika itu, niscaya terjadi pertumpahan darah sesama warga.
Seseorang membaca puisi: Jeritan hutan dalam rimba pelindung Pegunungan. Di mana seluruh Marga Silima. Mengapa kamu tidak peduli. Jangan biarkan kami menderita. Hutan dan rimba pelindung Tanah Pegunungan Simalem hampir habis dibabat, dicuri, ditebang orang yang tak bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan masyarakat. Jangan biarkan kami tersiksa. Tiada lagi yang mengasihi kami. Kehidupan kami tidak seperti dulu lagi.
Jangan kamu diam para penguasa. Dengarlah jeritan jiwa kami. Tunjukkan kasih sayangmu buat kami, keharuman dan kebesaran namamu. Bertumbuhlah guna kebaikan agar kehidupan kami damai di bumi ini.
Jangan lupa dan kunjungilah kami sekal-sekali. Camkanlah bagaimana seharusnya hidup kami. Segala makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama kami semua menangis tersedu-sedu akibat orang rakus masa kini. Hidup mementingkan diri sendiri, yang penting dapat uang.
Bila kamu tidak mendengar tangisan kami, kami akan sengsara dan mati. Gunung-gunung runtuh dan tanah akan longsor. Bila hujan akan habis terkikis, menghanyutkan segala yang ada. Bila kemarau, tanah akan retak dan pecah. (Terlihat rombongan Muspida: Bupati, Kapolres, Dan Ramil, dan rombongan berjalan kaki menelusuri jalan menuju Deleng Ganjang). Sungai dan pancuran akan mengering, tiada lagi tempat berpijak (Terlihat Dan Ramil merangkul Valent dan berbincang-bincang dengannya). Andai bisa, hal ini jangan terjadi.
Dan Ramil sembari merangkul Valentino berjalan bersama. Terlihat pula Bupati Karo berdialog dengan masyarakat.
Sebahagian Masyarakat, sembari mengangkat bibit pohon berujar: menangis anak cucu kami, Pak. Terlihat lagi bupati bercakap-cakap dengan masyarakat.
Selanjutnya Muspida dan rombongan berjalan menuju Deleng Ganjang, Valent di samping kapolres. Sesampainya di Desa Pertumbuken, Valent dan kapolres disalami warga (Terlihat penghadang jalan yang dibuat berbentuk gundukan menyerupai kuburan dengan salib terbuat dari kepingan papan tertancap di atasnya).
Rombongan Muspida dan Valent diajak memasuki pondok berdinding tepas dan bambu, bertiang bambu serta beratap nipah.
Bupati dalam bahasa daerah mengatakan reboisasi haruslah dilakukan penduduk setempat. Sehingga jika hutannya lebat akan dijaga mereka karena manfaatnya dirasakan langsung penduduk desa itu.
Sekarang timbul permasalahan, sebagian masyarakat tak bersedia melakukan reboisasi.
Valent : Jadi kalau ada yang mengatakan penduduk desa ini bisa menanam, bibitnya kubawa ke mari. Jadi, kalau saya, karena orangtua saya orang Karo, saya orang Karo, sedih hati saya melihat Bapak-Ibu ini tidak ada airnya. Itu saja, tak ada yang lain-lain.
Pendapatan Tarigan minta masyarakat bersatu, jangan tercerai-berai. Seterusnya masyarakat bersorak-sorak.
Kapolres: Maka makmur negara saya nda, mak makmur desa saya nda. Masalah Barusjahe dan Pertumbuken mari kita musyawarahkan.
Bupati : Pertumbuken, Barusjahe, Kami Muspida, kesempatan ini kita gunakan untuk bermusyawarah.
Kadis Kehutanan : Jadi ini daerah hidrolis, perlu pelestarian hutan. (Bupati, Dan Ramil, dan lainnya bertepuk tangan).
Valent : penanaman bibit harus disesuaikan dengan keadaan tanah. Untuk itu kemarin saya membawa ahli lingkungan. Saya tak bermaksud yang lain-lain. Jika memang selama ini dianggap tidak ada masalah, saya pun senang.
Masyarakat Pertumbuken : Kita perlunya bukan berkonflik. Kita perlu tentram untuk kemajuan. Begini-begini kan jadi sibuk.
Masyarakat yang lain : Yang kami perlukan kopi arabika. Makanya ada program Pemerintah Daerah, kami sangat mendukung.
Valent : Kita harus mendukung setiap program Pemerintah Daerah. Saya tidak pengalaman dalam bidang ini. Harus jujur saja ini. Saya bawa ahli kehutanan. Itu akar tusam itu, Pak, jika sampai tanah yang merah, mati. Saya terus terang, tidak ada minat mengganggu kehidupan Bapak (Masyarakat berdebat,).
Selanjutnya beralih ke jalanan yang ada di hutan itu. Masyarakat ribut mengerubungi bupati, kapolres, dan rombongan. Masyarakat berjalan kaki menuju arah pulang. (Terlihat Bupati berjongkok, Kapolres duduk di kayu, dan Valent berdiri).
Bupati kemudian berdiri dan bicara tentang reformasi: Sikap kita saat ini menentukan masa depan. Jangan banyak bicara, tetapi banyak kerja. Emosi tidak pernah menguntungkan, emosi merugikan diri sendiri, emosi tidak simpati.
Valent : Ada yang kecewa sama sekali, iya kan? Jadi, pertama, saya pribadi ya kan, mohon maaf. Kedua, saya tadi dengan Pak Tarigan sudah jelaskan. Mungkin yang salah, kita kurang runggu mungkin. Kita bisa runggu dengan orang Pertumbuken, orang mana karena kita satu saudara ini. Inilah yang penting (Masyarakat ribut, kecewa tak jadi melakukan penanaman bibit).
Ketua DPRD menjelaskan adanya diskomunikasi antara masyarakat dengan bupati. Bupati meminta agar masyarakat membuat program dengan mencantumkan anggarannya. Kemudian semuanya disampakan dengan tata krama.
Selanjutnya berdoa bersama dipimpin Valent yang isinya agar masyarakat mendapat kembali mata air yang hilang sehingga tanaman yang tak tumbuh lagi dapat hidup.
Setelah berdoa, Muspida Plus berencana akan pulang, tetapi masyarakat menahannya dengan cara memblokade jalan. Cukup lama juga rombongan Muspida terkurung pagar betis masyarakat. Lalu, Valent mengingatkan masyarakat bahwa hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, barulah masyarakat memberi jalan kepada robongan Muspida.
Usai itu, masyarakat melakukan pertemuan di Jambur Barusjahe Desa Barusjahe Kecamatan Barusjahe. Ketika itu Valent meminta pada semua percaya pada Tuhan agar semua persoalan dapat diatasi.
Valent: Bapak-Ibu, disadari atau tidak telah jadi pahlawan. Pahlawan lingkungan buat anak cucu. Nanti, kalau kita sudah tidak ada, kuburan kita diingat orang: inilah yang menyelamatkan mata air Barusjahe.
Suli Ginting: Penebangan tersebut mendapat rekomendasi dari pejabat. Sudah kita adukan tetapi pengaduan itu ditolak.
Permata GBKP mendukung gerakan ini.
Wartawan : Siap mengekspos setiap gerakan pelestarian lingkungan.
Pertemuan ditutup dengan doa yang dipimpin Pertua Pendapatan Tarigan. ***















Bab Limabelas

Persidangan Kasus Penodongan

Gedung Pengadilan Negeri Kabupaten Karo tampak depan. Sebelah kiri, rabungnya berornamen daerah itu dengan lambang kepala kerbau di beberapa sisinya. Terlihat pula keramaian warga masyarakat di halaman kantor pengadilan tersebut: ada yang duduk-duduk, berdiri, serta bercakap-cakap. Mobil-mobil yang parkir pun memenuhi pekarangan PN itu.
Pada sidang yang dipimpin Hakim Ketua Brutus SH itu, Penasehat Hukum dr Robert Valentino Tarigan SPd, Kaliasa Sitinjak SH membacakan eksepsi (penolakan tuntutan). Kata Sitinjak, tuntutan terhadap Valent dengan Pasal 335 dan 310 pidana, tidak kena-mengena. Terdakwa tidak ada melakukan perbuatan memaksa orang lain dengan ancaman lisan maupun tulisan.
Ucapan Valent “Jangan Abang masuk ke hutan, nanti rakyat marah. Dibakar mereka pula Abang nanti karena rakyat sudah kering”. Kalimat itu muncul spontan karena sebelumnya ada dialog dengan Sudarto yang mengucapkan “Ngapain kau urusi hutan” dan menodongkan pistolnya kepada Valent. Jadi sifat kalimat itu hanya mengkingatkan Sudarto agar jangan masuk hutan, nanti rakyat marah.
Sidang Valent sebagai terdakwa usai, pengunjung terlihat meninggalkan ruangan sidang. Di teras depan PN, Kaliasa Sitinjak diwawancarai wartawan.
Persidangan berikutnya, Sudarto sebagai terdakwa. Pengunjung sidang yang memasuki ruang sidang tidak seramai saat Valent sebagai terdakwa.
Tak lama, persidangan Sudarto selesai.
Kembali lagi persidangan dengan terdakwa dr Robert Valentino Tarigan SPd. Usai Valent disumpah, Hiban AS dan Rail Ginting pun disumpah. 07, 06 detik
Hiban memberikan kesaksian. Berikutnya Rail Ginting memberikan kesaksian. Kemudian saat Sudarto sebagai terdakwa, terlihat pengunjung sidang ke luar dari ruang sidang.
Di halaman Kantor PN Kabupaten Karo, Pardomuan Tarigan menyampaikan ungkapannya kepada masyarakat. Katanya, kepada masyarakat yang ingin menyaksikan kebenaran (terlihat Valent berdiri di samping Pordomuan) bagaimana sebenarnya terjadinya penodongan terhadap Bapak kita dr Robert Valentino Tarigan.
“Usaha Bapak ini melestarikan hutan. Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, kapan pun, di mana pun akan disidangkan nanti, kalau kita dikalahkan di sini, kita akan banding. Dan ke Medan pun nanti, kita akan ikut. Setuju?” Pardomuan dalam nada tanya, yang dijawab serempak oleh masyarakat: setuju. “Hidup Valent... hidup Valent,” teriak mereka pula.
Seterusnya Valent berfoto bersama masyarakat.
Pada hari berikutnya, jaksa membacakan alasan-alasan penolakan eksepsi yang diajukan kan pengacara Valent. Berikutnya, naskah penolakan eksepsi itu diberikan kepada majelis hakim, pengacara, dan Valent sendiri. Sidang diskor pada menit ke-21, 46 detik.
Berikutnya terlihat jaksa berbincang-bincang dengan Kaliasa Sitinjak SH, pengacara Valent, di samping kirinya adalah salah seorang anggota masyarakat, dan di samping kanannya Valent.
Berikutnya sidang dimulai kembali. Ketua majelis hakim membacakan dakwaan. Valent didakwa dalam persidangan ini perihal pencemaran nama baik dengan bukti-bukti pemberitaan surat kabar.
Kronologi pencemaran berawal dari advokasi hutan yang dilakukan Valent, kemudian berlanjut penodongan menggunakan pistol yang dilakukan oleh Sudarto di teras kantor Bupati Kabupaten Karo. Percakapan antara Valent dengan Sudarto – saat penodongan itu diekspos Harian Sib, Perjuangan, Medan Pos dan surat-surta kabar lainnya. Dialog yang dimuat surat-surat kabar itu, dijadikan bukti bahwa Valent melakukan pencemaran nama baik.
Dari berita-berita itu terkesan bahwa Sudarto merupakan pencuri kayu. Padahal ia mengaku tak pernah melakukan hal itu. Akibat berita itu, Sudarto merasa malu, dan nama baiknya tercemar. Ia juga – karena berita itu – merasa takut terhadap warga Kabupaten Karo umumnya dan Barusjahe khususnya. Makanya Valent diancam dengan Pasal 335, 310, dan 311.
Pembacaan dakwaan dilakukan bergantian antara Ketua Majelis PN Kabupaten Karo Brutus SH dan anggota. Pendapat Penasihat Hukum Valent yang dinyatakan dalam eksepsi ditolak, kata Brutus sidang dilanjutkan pada 26 Januari. Hadirin pun meningalkan ruang sidang.

Dipaksakan
“Dakwaan terhadap dr Robert Valentino Tarigan SPd terkesan dipaksakan. Dari kelima saksi yang memberikan keterangan – termasuk Sudarto – belum ditemukan bukti-bukti atau keterangan yang mengarah ke pembuktian bahwa apa yang dilakukan terdakwa adalah benar,” tutur Al Fahmi Khairi SH dari Forum Komunikasi (FK) Pengacara 61 Medan-Sumut kepada wartawan yang memintai keterangannya di Medan.
Yang lebih fatal lagi, kata Fahmi, menurut UU No 40 Tahun 1999 Pasal 12, yang bertangung jawab penuh terhadap pemberitaan adalah peminpin redaksi (pemred). Lalu, kenapa Valent yang didakwa. “Ini merupakan eror in persona (salah terkdawanya). Seyogianya bukan Valent terdakwa, melainkan koran-koran yang membuat berita tersebut. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian? Ada apa?” Fahmi dalam nada tanya.
Terindikasi, adanya keinginan sekelompok orang melakukan pembunuhan karater (character assassination) terhadap Valentino secara sistematis. Bagi masyarakat Karo dan pencinta kelestarian lingkungan serta pendidikan, Valent merupakan tokoh yang sangat diharapkan mereka. “Ini yang ingin mereka bunuh, bukan fisik Valent,” tekannya.
“Kita harapkan ke depan, para penegak hukum jangan seperti ini. Pemaksaan kehendak sebagaimana yang dialami Valent, jangan terulang lagi. Tambahan pada 24 Januari lalu, Mahkamah Agung telah mengeluarkan ketentuan, setiap kasus pers harus memakai UU Pers No 40 itu. Sementara, dakwaan terhadap Valent dilakukan berdasarkan pemberitaan koran, lho kok Valent yang didakwa,” tandas Fahmi.
Dalam pada itu, di dalam persidangan penodongan dr Robert Valentino Tarigan SPd terungkap bahwa Sudarto adalah pengusaha kayu. Saat Valent sebagai terdakwa pengancaman dan pencemaranan nama baik, Sudarto sebagai saksi. Begitu juga saat Sudarto sebagai terdakwa pengancaman, Valent sebagai saksi.
Sidang dimulai pukul 13.00 dan berakhir pukul 17.15 diawali Valent sebagai terdakwa, dengan pengunjung ratusan orang. Ketika itu terjadi dialog antara terdakwa dan saksi.
“Saya ingin bertanya kepada Abang, tapi jawabannya, harus dipikirkan masak-masak,” kata Valent, Sudarto mengangguk. “Apakah Abang punya usaha kayu di Kabupaten Karo ini?” lanjut Valent.
“Ya, saya pengusaha kayu, di Siosar,” jawab Sudarto. Cuma, soal menodongkan senjata, Sudarto terus membantah.
Yang terungkap lainnya dalam persidangan, seorang supir membawa senjata majikannya sebagai barang contoh, seolah rokok saja. Dalam persidangan di PN Kabupaten Karo 26 Januari itu, Tenov Sami, supir Sudarto yang dalam persidangan tersebut sebagai saksi menceritakan, saat majikannya berada di dalam kamar Wakil Bupati Kabupaten Karo, Ziddin Sebayang, ajudan wakil bupati – Diana br Ginting – datang mendekati mobilnya – yang diparkir di halaman kantor bupati – untuk membawa contoh senjata itu.
“Biar saya saja yang membawa,” jawab Tenov kepada sang ajudan sembari mebawa senjata yang sebelumnya berada di dalam mobil, ke kamar Wakil Bupati Karo. Sebab, Wakil Bupati, kata Tenov, ingin membeli senjata.
“Jika demikian,” tutur beberapa praktisi hukum yang hadir pada persidangan itu, “majelis hakim sebaiknya mempertanyakan, adakah izin Sudarto memperdagangkan senjata, kemudian mengaitkannya dengan UU Darurat No 51,” lanjut mereka.
Persidangan keempat kali ini dipimpin Hakim Ketua Brutus SH, Hakim Anggota Haran Tarigan SH dan Sutiyo SH serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darbin Pasaribu SH, dan Panitera Ukurken Ginting SH, mendengarkan keterangan saksi-saksi dari keduabelah pihak. Saksi yang tidak hadir, Ir Ferdinan S Depari, Ir Zuki Tarigan, Surya Bakti Sembiring, Maju Ginting, Diana br Ginting dan Drs Frans S Sihombing.
Dalam pada itu, Penasehat Hukum Valent yang sebelumnya hanya Kaliasa Sitinjak SH, kali ini ditambah dengan Nur Alamsyah SH, Afrizon Alwi SH dan Al Fahmi Khairi Manurung SH dari FKP (Forum Komuninkasi Pengacara) 61. Penasehat Hukum Sudarto Chan Wai Khan SH dan Lihardo Sinaga SH.
Hal lain, kalau pada sidang pertama dan kedua, para wartawan tidak dibenarkan untuk memoto maupun merekam, di persidangan ketiga dan keempat, telah dibolehkan. Padahal, sidang pertama dan kedua, tidak beda dengan yang ketiga dan keempat – sebagaimana dikatakan majelis hakim – terbuka untuk umum. Karenanya, pada persidangan kedua, wartawan Metro TV, SCTV, Media Indonesia dan lainnya, pulang dengan rasa kecewa seraya bertutur: bullshirt.
Pada persidangan ketiga, Ken Norton dari Media Indonesia memohon izin kepada hakim untuk memoto. Semula memang tak diperkenankan. Lalu, Ken mengingatkan, UU Pers No 40 Tahun 1999 menyebutkan, barang siapa yang menghalang-halangi tugas wartawan dapat dituntut sebesar-besarnya Rp 500 juta atau 5 tahun penjara. Mungkin, inilah sebabnya, Majelis Hakim PN Karo pada sidang ketiga dan keempat membolehkan para wartawan memoto dan merekam jalannya persidangan dengan handycam.
Keseluruhan saksi – kecuali Tenov – yang hadir dalam persidangan keempat tersebut, menyatakan melihat moncong senjata (pistol) diarahkan ke perut kanan Valanet. Para saksi yang dimintai keterangannya: Rail Ginting, Wartawan Perjuangan, Thomas Tarigan SH (staf pengajar), Pendapatan Tarigan, Zakaria Tarigan dan Rifin Tarigan, ketiganya masyarakat Barusjahe.
Begitupun, Sudarto alias Tan Aleng tetap membantah, ia tak pernah bermaksud menodong Valent. Kata-kata sebagaimana yang ada di dalam berita-berita media massa pun, tak pernah diucapkannya maupun Valent. Sudarto mengaku, ia dan Valent hanya bersalaman. Sudarto juga mengaku tak pernah melambaikan tangan memanggil Valent, melainkan Valentlah yang memanggilnya.
“Kalau begitu, kenapa Valent yang diadukan, bukan media massa?” tanya Afrizon Alwi SH.
“Saya tak mengerti hukum,” jawab Sudarto.
“Apakah ucapan-ucapan Valent ada mengancam dan mencemarkan nama baik Anda?”
“Pada pertemuan di kantor bupati, tidak ada, melainkan yang ditulis koran-koran,” jawabnya.
“Apakah dengan berita koran itu Anda merasa terancam?” tanya Afrizon lagi.
“Tidak,” jawab Sudarto, “cuma saya merasa malu,” tambahnya.
“Lalu, kenapa Valent yang diadukan?” Afrizon mengulangi pertanyaanya.
“Saya tak mengerti hukum,” jawab Sudarto lagi.
Diungkapkan, peristiwa penodongan Valent itu terjadi pada 15 Juli tahun sebelumnya di teras Kantor Bupati Karo. Kemudian, Valent mengadu ke Poldasu, yang selanjutnya melimpahkan perkara ini ke Polres Tanah Karo. Dalam dakwaan jaksa, Sudarto dikenai pasal 335.
Berita-berita seputar penodongan ini kemudian meramaikan media-media massa. Merasa nama baiknya dicemarkan, Sudarto alias Tan Aleng ini pun balik mengadu. Atas pengaduan itu, Valent didakwa melanggar Pasal 335, 310 dan 311.
Melihat dakwaan terhadap Valent yang berlapis (tiga pasal), beberapa praktisi hokum mengatakan, hal itu aneh.

Persidangan Kelima
“Diharapkan saksi-saksi yang berstatus pegawai Pemkab Tanah Karo memberikan keterangan yang benar, jangan melakukan pembohongan publik,” demikian Alfahmi Khairi Manurung SH dari FK (Forum Komuniklasi) Pengacara 61, mengungkapkan kepada wartawan di kantornya di Medan kemarin menanggapi persidangan kelima Valentino-Sudarto. Sidang kelima tersebut berlangsung Selasa 3 Februari di PN Pegunungan menghadirkan tiga orang saksi.
Dengan hadirnya ketiga saksi tersebut, berarti jumlah saksi yang telah dimintai keterangannya 9 orang. Dari kesembilan saksi – termasuk Sudarto sendiri – tak satu pun sesuai dengan apa yang didakwakan kepada Valent. Saksi sebelumnya: Rail Ginting, Wartawan Perjuangan, Thomas Tarigan (staf pengajar), Jakaria Tarigan (petani), Rifin Tarigan (petani) dan Tenov Sami (supir).
dr Robert Valanetino Tarigan SPd yang selama ini dikenal sebagai pejuang lingkungan dan praktisi pendidikan, didakwa dengan Pasal 335, 310 dan 311. Sementara, Sudarto sendiri, didakwa dengan Pasal 335 saja.
Mengamati jalannya persidangan, kata Alfahmi, terkesan saksi-saksi yang berstatus pegawai Pemkab Tanah Karo melakukan pembohongan publik. “Makanya kita mengimbau Pemkab Pegunungan mengingatkan mereka agar memberikan keterangan yang sebenarnya kepada masyarakat maupun persidangan. Sehingga Pemkab dapat mewujudkan martabat dan wibawanya sebagai penguasa di Kabupaten Pegunungan, jangan sampai yang terjadi sebaliknya,” papar Alfahmi.
Di persidangan kelima ini saksinya adalah Ir Juki Tarigan, Ir Ferdinand S Deparai dan Diana br Ginting. Saat Valentino sebagai terdakwa, terungkap bahwa Sudarto adalah pengusaha kayu. Ketika itu, Ir Juki Tarigan mengakui bahwa Sudarto mempunyai izin menembang kayu di Siosar sejumlah 100 hektar. Saat ditanya Afrizon Alwi SH, Pengacara FK 61, tahun berapa, Juki mengatakan: lupa.
Sementara, hutan Siosar telah rusak sejumlah 1.300 hektar. Ini diketahui saat kunjungan Kadis Kehutanan Sumut Ir Prie Supriadi MM dan Ketua Komisi II DPRD Sumut Victor Simamora, wartawan serta Valentino dan rombongan lainnya pada 20 Oktober tahun lalu. Padahal, Siosar merupakan hutan reboisasi yang penebangannya harus seizin Menteri Kehutanan.
Sidang dimulai pukul 13.00 dan berakhir pukul 15.30 diawali Sudarto sebagai terdakwa, yang saksinya juga ketiga orang tersebut. Ketiga saksi sama menyatakan bahwa Valent adalah orang baik. Malah Juki Tarigan, usai memberikan kesaksiannya, menyalami terdakwa Valent.
“Saya tak melihat Valent dan Sudarto bertengkar. Keduanya hanya bersalaman,” demikian keterangan Ir Juki Tarigan dan Ir Ferdinan S Depari. Tapi, keduanya mengakui bahwa Sudarto ada membawa pistol. Juki pun mengaku, kalau antara Sudarto dan Valent memang tidak saling mengenal. Sementara, Diana tak mengetahui persitiwa yang terjadi di teras kantor bupati. Ketiganya mengetahui adanya penodongan, setelah membaca surat kabar.
Yang terungkap lainnya dalam persidangan, Djidin Sebayang, Wakil Bupati Karo disebut ingin membeli pistol. Pengakuan ini dinyatakan oleh Diana br Ginting, saat Valent maupun Sudarto sebagai terdakwa.
Kata Diana, pada 15 Juli tahun lalu, Sudarto yang berjas kuning menanyakan, apakah Djidin ada tamu. Dijawab tidak. Lalu, Sudarto pun masuk ke Ruang Kerja Wakil Bupati tersebut. Kemudian, Sudarto ke luar dari ruang kerja Djidin dan meminta pada Diana untuk mengambilkan pistolnya di mobil yang dijaga supir.
Diana pun memenuhi permintaan itu. Tetapi, ketika bertemu dengan sang supir – Tenov Sami – pistol itu tak diperkenankan dibawa Diana. Tenov Samilah yang mengatarkan pistol ke ruang kerja Djidin Sebayang.
Oleh Alfahmi ditanya, saksi Diana sebenarnya Ajudan Wakil Bupati Pegunungan atau Ajudan Sudarto. Saksi Diana kelihatan gelisah diikuti riuh persidangan.
“Melihat kenyataan ini, betapa kuatnya pengaruh Sudarto di Pemkab Pegunungan, sehingga tanpa sungkan memerintahkan Diana untuk mengambil pistol di mobil Sudarto. Padahal yang memberi izin menebang hutan adalah pemkab dengan rekomendasi Dinas Kehutanan Pemkab Pegunungan. Ada apa, kok Sudarto seperti berkuasa penuh di Kabupaten Pegunungan sehingga dapat pula membawa pistol sesukanya?” tanya Fahmi.
Persidangan kelima ini tetap dipimpin Hakim Ketua Brutus SH, Hakim Anggota Haran Tarigan SH dan Sutiyo SH serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darbin Pasaribu SH, dan Panitera Ukurken Ginting SH. Saksi yang belum hadir, Surya Bakti Sembiring, Maju Ginting, dan Drs Frans S Sihombing.
Dalam pada itu, Penasehat Hukum Valent: Kaliasa Sitinjak SH, Nur Alamsyah SH, Afrizon Alwi SH dan Al Fahmi Khairi Manurung SH, ketiga nama terakhir dari FKP (Forum Komuninkasi Pengacara) 61. Penasehat Hukum Sudarto Chan Wai Khan SH dan Lihardo Sinaga SH.
Sebagaimana sidang-sidang sebelumnya, Sudarto alias Tan Aleng tetap membantah dakwaan penodongan. Kata-kata sebagaimana yang ada di dalam berita-berita media massa pun, tak pernah diucapkannya maupun Valent. Sudarto mengaku, ia dan Valent hanya bersalaman. Sudarto juga mengaku tak pernah melambaikan tangan memanggil Valent, melainkan Valentlah yang memanggilnya.

Persidangan Keenam
Tim Penasehat Hukum dr Robert Valentino Tarigan SPd, yang diketuai oleh Kaliasa Sitinjak SH dengan anggota Nur Alamsyah SH, Afrizon Alwi SH dan Alfahmi Khairi Manurung SH, protes kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darbin Pasaribu SH yang menghadirkan saksi tak relevan. Itu terungkap dalam persidangan keenam Valentino-Sudarto, Selasa 10 Februari di PN Pegunugan.
Sidang dimulai pukul 13.00 dan barakhir 15.10 Wib dengan Sudarto dan selanjutnya Valent sebagai terdakwa. Ketika Sudarto sebagai tedakwa, saksi yang dihadirkan JPU hanya Tenov Sami, supir Sudarto. Sedang Djidin Sebayang, Wakil Bupati dan Drs Frans E Sihombing, Wartawan SIB, tidak hadir.
Tak banyak yang terungkap dari persidangan Sudarto sebagai terdakwa. Sebab, kesaksian Tenov Sami, tak jauh beda dengan sidang-sidang sebelumnya.
Nah, saat Valent sebagai terdakwalah, penasehat hukum protes kepada JPU. Pasalnya, JPU menghadirkan saksi-saksi yang tidak relevan. Ketiga saksi yang memberikan keterangannya, Drs Mangat Ginting, Camat Kecamatan Barusjahe, Surya Bakti Sembiring, Hansip Kantor Bupati dan Karton Tarigan, Kepala Desa Barusjahe.
Saat Majelis Hakim yang diketuai Brutus SH, dengan anggota Haran Tarigan SH dan Sutiyo SH, meminta saksi Mangat Ginting untuk menceritakan apa yang diketahuinya tentang perkara ini, dijawab: “tidak tahu masalah”. Mangat tahu peristiwa pendongan hanya dari pemberitaan koran.
Mangat pun menceritakan, waktu peristiwa itu terjadi, 15 Juli tahun lalu, ia sedang sekolah di Medan. “Saya baru kembali ke Kabupaten Pegunungan 27 September tahun lalu,” katanya.
Mendengar itu, Alfahmi Khairi Manurung SH, salah seorang anggota Tim Penasehat Hukum Valentino, protes. “Jaksa Penuntut Umum kenapa menghadirkan saksi yang tidak relevan. Sehingga persidangan hanya mendapatkan keterangan yang sangat minim,” ungkapnya. “Tidak adakah saksi yang lebih pas?” tanya Afrizon Alwi SH pula.
Ketua Majelis menjawab, kesaksian mereka sesuai dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Polisi. Majelis Hakim pun menanyakan kepada JPU, apakah saksi lain sudah dipanggil, yang dijawab: “sudah”. Majelis Hakim memerintahkan kepada JPU agar pada persidangan berikutnya (17 Februari), saksi Djidin Sebayang dan Frans E Sihombing dihadirkan.
Tak jauh beda dengan Mangat, dari Surya Bakti Sembiring dan Karton Tarigan – yang memberikan kesaksian secara terpisah pun – hanya didapat keterangan sangat minim. Keduanya lebih banyak menjawab: “tidak tahu” atau “tidak ingat”.
Begitupun, Karton dan Mangat, sama mengatakan bahwa orang-orang di Desa Barusjahe Kecamatan Barusjahe, kecewa dengan bupati. yang tak bersedia mengeluarkan surat penutupan jalan, reboisasi dan pembuatan pabrik juice yang dijanjikan. Ini diketahui keduanya dari pembicaraan di warung-warung kopi yang ada di Barusjahe. Yang paling dikecewakan masyarakat – kata keduanya – soal pembukaan jalan itu, yang memudahkan terjadinya perambahan hutan.
Tetapi, saat Valent menanyakan, apakah perambahan hutan ada di Deleng Ganjang Barusjahe, Mangat dan Karton mengatakan: “tidak ada”. Keduanya hanya mengetahui adanya pembukaan jalan yang dilakukan TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa), menghubungkan Desa Pertumbuken-Serdang.
Ketika Valent bertanya kepada Mangat, kenapa jalan yang seharusnya bisa 3 km, tetapi kenyataannya dibuat menjadi 9 km, dijawab: “saya juga merasa aneh, tetapi tidak mengetahui apa tujuannya”. Mangat pun mengaku pernah meninjau pembukaan jalan tersebut, cuma tak menemukan adanya perambahan hutan. “Yang saya temukan adalah kayu-kayu kecil,” kata Mangat.
Soal ini, ketika wartawan mengkonfirmasikannya kepada Tim Penasehat Hukum Valent kemarin di Medan, dikatakan akan melakukan peninjauan ke lapangan. “Dari peninjauan itu, akan dapat dilihat, apakah keterangan saksi sesuai atau hanya sekadar untuk menyelamatkan jabatan mereka,” tutur Tim Panasehat Hukum Valent.
Hal lain yang terungkap di persidangan, Surya Bakti Sembiring menyatakan memang sering melihat kehadiran Sudarto di Kantor Bupati Karo. Cuma, ketika ditanya apakah pernah masuk ke ruang kerja bupati, Surya tidak mengetahuinya. Surya juga tidak mengetahui, kalau pada 15 Juli itu, Sudarto ada membawa pistol.
Ketiga saksi – sama memberikan keterangan – tidak mengetahui sama sekali peristiwa yang terjadi pada 15 Juli di teras kantor bupati itu. Dengan hadirnya ketiga saksi tersebut, berarti jumlah saksi yang telah dimintai keterangannya 12 orang.
dr Robert Valanetino Tarigan SPd yang selama ini dikenal sebagai pejuang lingkungan dan praktisi pendidikan, didakwa dengan Pasal 335, 310 dan 311. Sementara, Sudarto sendiri, didakwa dengan Pasal 335 saja.
Sebagaimana sidang-sidang sebelumnya, Sudarto alias Tan Aleng tetap membantah dakwaan penodongan. Kata-kata sebagaimana yang ada di dalam berita-berita media massa pun, tak pernah diucapkannya maupun Valentino. Sudarto mengaku, ia dan Valentino hanya bersalaman. Sudarto juga mengaku tak pernah melambaikan tangan memanggil Valentino, melainkan Valentlah yang memanggilnya.

Valentino dan Sudarto Dituntut Pasal yang Sama
Ratusan masyarakat, mayoritas ibu-ibu menghadiri sidang kedelapan dr Robert Valentino Tarigan SPd versus Sudarto yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Pegunugan, Selasa (9/3) dari pukul 13.00 hingga 16.00 Wib. Persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Brutus SH mendengarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sidang ketujuh yang seyogianya digelar 4 Maret lalu ditunda karena tuntutan JPU belum selesai.
Sidang dimulai dengan Valent sebagai terdakwa, JPU yang membacakan tuntutan, Heppi SH. Sedangkan saat Sudarto sebagai terdakwa, JPU-nya Syarifuddin SH. Kedua JPU sama menuntut kedua terdakwa dua bulan penjara dengan masa percobaan empat bulan. Ketika JPU menyatakan Sudarto melanggar Pasal 335, yang sama dengan tuntutan terhadap Valent, hadirin berteriak riuh.
Menanggapi tuntutan itu – baik penasihat hukum Valent maupun Sudarto – sama mengatakan, akan membuat Peledoi/Nota Pembelaan.
Usai pembacaan tuntutan terhadap Sudarto, seorang wanita separo baya maju ke arena persidangan dan menyalami Sudarto sembari berkata, “Bapak yang bernama Sudarto”.
“Ya,” jawabnya.
“Bapak rupanya pencuri kayu itu,” sambungnya.
“Siapa yang mencuri kayu,” jawab Sudarto sembari melepaskan salaman dan buru-buru pergi dari ruang persidangan lewat pintu samping kanan. Para pengunjung sidang – khususnya ibu-ibu – memburu Sudarto, yang karenanya, lari tunggang langgang.
Begitu Sudarto ingin menuju ke mobilnya (Kijang Kapsul) – yang bernomor polisi BK 666 XO – diparkir di pekarangan Kantor Kejaksaan Negeri Pegunungan – pengunjung sidang memburu ke arah itu. Sudarto pun tak jadi menaiki mobil tersebut. Beberapa orang – mungkin pengawalnya – melindungi Sudarto dan menggiringnya agar masuk kembali ke salah satu ruangan PN.
Merasa kecewa tak dapat “berbincang” dengan Sudarto, ibu-ibu pun bernyanyi sembari berteriak-teriak dan mengelilingi mobil BK 666 XO tersebut. “Lit lenna perjuma deleng, lit senna rabina deleng, anak imbo… anak imbo sikena ranjo,” demikian nyanyian itu dilantunkan berulang-ulang.
Ketika Valent mengajak para ibu itu pulang, “kami tidak mau pulang apabila Sudarto belum kami dapatkan,” jawab mereka, “biarlah kami menginap di sini dan akan masak nasi di halaman kantor ini,” tambah mereka tegas.
Namun, ketika ibu-ibu mengetahui Sudarto telah dikeluarkan melalui pintu belakang kantor PN dan menghilang memakai kenderaan umum, mereka sepakat pulang.
Beberapa praktisi hukum yang hadir saat persidangan – mendengar tuntutan JPU terhadap Valent dan Sudarto – sama-sama dua bulan, spontan mereka berkata: “Ini sidang lawak-lawak”. Padalah, lewat tuntutan JPU, terdakwa Sudarto terbukti ada membawa pistol. Juga dalam perkataan “ngapain urusin hutan”, ungkapan ini berisi ancaman supaya seseorang, tidak melakukan pekerjaan. Menurut tuntutan jaksa, Sudarto tidak ada hak untuk melarang seseorang dalam hal ini.
Nah, dengan terbuktinya perbuatan Sudarto, seharusnya pengaduannya terhadap Valentino Tarigan batal demi hukum. Sementara, yang dituntutkan kepada Valent – kalaupun benar mengancam – hanya lewat ucapan. Sedangkan Sudarto mengancam dengan pistol, yang telah disita JPU sesuai ketentuan hukum. Yang menjadi pertanyaan, kenapa Valent juga harus dituntut sama dengan apa yang dituntutkan kepada Sudarto.
Sementara itu, kepada wartawan di Medan, Valent mengungkapan, pengadilan adalah tempat terakhir untuk mencari kebenaran. “Di sinilah kita harus mendapatkan keadilan, tapi kalau sudah kita tempuh untuk mendapatkannya, namun tidak berhasil, malahan teraniaya, maka kita serahkan saja kepada Yang Kuasa,” tuturnya pasrah.
Disebutkannya, jika hukum dijadikan bamper oleh para maling kayu, akan habislah hutan kita. “Hutan Kabupaten Pegunungan yang sudah kritis, bila dibiarkan, dalam waktu lima tahun saja, akan habis alias gundul,” tandasnya.
Sebelum JPU membacakan tuntutan, Tim Penasehat Hukum dr Robert Valentino Tarigan SPd, yang diketuai oleh Kaliasa Sitinjak SH dengan anggota Nur Alamsyah SH, Afrizon Alwi SH dan Alfahmi Khairi Manurung SH, minta kepada Majelis Hakim agar diberi waktu memutar CD (Compack Disct) persidangan sebelumnya. Sebab, ada ungkapan Valent, mengutip ucapan Ir Juki Tarigan yang memposisikan Sudarto sebagai bosnya: “Itulah Bosku, kau hadapilah”, tidak dicatat oleh Majelis.
Ketua Majelis Hakim mengatakan, saran diterima, tetapi itu hanya boleh diajukan dalam Pledoi/Nota Pembelaan, yang kedua terdakwa akan membacakannya pada persidangan berikutnya.

Sidang Kesembilan
“Prinsip persidangan untuk umum, sepertinya tak dihiraukan oleh Majelis Hakim PN Kabupaten Pegunungan. Valent sebagai korban diabaikan begitu saja. Maka wajar, kalau kita mengatakan, ini sidang alip-alipan atau terselubung, yang kepentingannya juga terselubung,” demikian Alfahmi Khairi Manurung SH dan Afrizon Alwi SH kemarin menanggapi persidangan penodongan Valent, yang terdakwanya Sudarto alias Liong Cie Leng. Sidang yang mendengarkan pledoi terdakwa (Sudarto) itu digelar di PN Kabanjahe, 16 Maret pukul 10.00 – 11.00 Wib.
Alfahmi dan Afrizon dari Tim Pembela Valentino di kantornya mengungkapkan, biasanya – sejak yang pertama hingga persidangan kedelapan – digelar pukul 12.00 Wib ke atas dan disidangkan beriringan antara Valent atau Sudarto sebagai tedakwa. Artinya, kalau Sudarto lebih awal sebagai terdakwa, kemdudian dilanjutkan dengan Valent. Begitu juga sebaliknya, jika Valent lebih awal sebagai terdakwa, selanjutnya Sudarto.
“Tapi pada persidangan kesembilan ini, terkesan di luar kebiasaan. Sidang dimulai pukul 10.00 Wib dan selesai pukul 11.00 Wib. Valent sebagai korban, tak pernah diberitahu kalau sidang tersebut digelar lebih cepat dari sebelumnya,” papar Afrizon dan Alfahmi pula.
Maka, sangat wajar, kalau rastusan masyarakat yang akan menghadiri sidang, merasa kecewa. Sesampainya di halaman PN, mendapat kabar kalau sidang Sudarto telah usai digelar, masyarakat memperlihatkan kekesalannya dengan bernyanyi-nyanyi, selanjutnya makan siang bersama.
Tim Pembela Valent yang diketuai Kaliasa Sitinjak, dengan anggota Nur Alamsyah SH, Afrizon Alwi SH dan Alfahmi Khairi Manurung SH melanjutkan membacakan pledoi yang intinya agar Valent dilepaskan dari segala dakwaan.
Sebelumnya, Valent membacakan Nota Pembelaan pribadinya. Usai sidang Valent sebagai terdakwa yang dimulai pukul 13.15 dan selesai 16.00, ratusan masyarakat yang umumnya ibu-ibu, tetap bertahan di PN Kabupaten Pegunugan tersebut. Ada yang duduk di halaman depan, ada pula di ruang bagian dalam PN Kabanjahe. Puluhan pertugas kepolisian melakukan pengawalan. Lagu-lagu pun terus dilantunkan dengan memukul-mukul jirigen kosong, pengganti gendang.
Sidang Valent, mendengarkan Nota Pembelaan Perkara Pidana No 274/Pid.B/2003/PN-Kbj. pribadi dan dari Tim Pembela. Nota Pembelaan Valent pribadi setebal 8 halaman polio satu spasi itu, dibacakannya dengan sangat intens, sehingga tanpa dapat ditahan, air mata duka menetes di kelopak mata Pimpinan BT/BS Bima ini. Para hadirin pun ikut pula dalam keharuan tersebut. Ada pula yang sesenggukan panjang.
“Peradilan atas diri saya sekarang ini karena melakukan advokasi atau perlindungan terhadap hutan-hutan di Kabupaten Pegunungan. Maka, sebagai bentuk perlawanan atas gerakan yang saya bangun itu, ada kekuatan – terutama yang berkepentingan dengan mafia pencurian kayu atau penebangan hutan secara liar (illegal logging) – melakukan langkah-langkah rekayasa guna menjerat saya di persidangan ini,” demikian Valent.
Katanya, ada upaya-upaya dari pihak penyidik menekan, agar mau berdamai dengan orang yang menodongnya. Hal itu, dilakukan dengan berbagai cara, dari intimidasi sampai tawaran uang. “Saya menolak tawaran ‘berdamai’ itu. Akibatnya, dicarilah daya upaya agar menjadikan saya sebagai tersangka, dan saat ini terdakwa,” tandas Valent.
Padahal, katanya lagi, bagi masyarakat Pegunungan, hutan adalah “laut”, yang dengannya mereka tidak saja menggantungkan hidup, pun membangun peradaban. Orang Pegunungan, tak kan dapat hidup tanpa hutan. Kalau udara dikatakan sebagai nafas kehidupan, air – bagi masyarakat Pegunungan, juga kita semua – adalah sumber kehidupan.
Pertanian yang membangun peradaban masyarakat, sangat bergantung pada air. Tanpa air, masyarakat Pegunungan akan kehilangan sumber kehidupannya. 126 titik air yang ada di Kabupaten Pegunugan, akan rusak, bahkan musnah, bila hutan-hutan dibabat habis.
Selanjutnya, Valent memamaparkan tentang 9 titik pencurian kayu di Kabupaten Pegunungan yang modus operadinya, pembukaan jalan, lahan dan lainnya, termasuk di Siosar dengan PT Kastil Kencana Pimpinan Sudarto. Siosar, merupakan hutan lindung konversi, yang izinnya harus dari Menteri Kehutanan tetapi dibabat habis hingga porak-poranda. Padahal Siosar merupakan sumber mata air terjun Sipiso-piso yang mengalir ke Danau Toba. Sehingga apabila hujan lebat di Tanah Kabupaten Pegunungan, maka air Danau Toba pun akan meluap karena akar-akar yang menyerap dan menyimpan air tidak ada lagi. Air hujan tumpah langsung ke Danau Toba, sebagai daerah yang paling rendah.
Dalam pada itu, diungkapkan, peristiwa penodongan di teras Kantor Bupati Karo pada 15 Juli itu karena advokasi lingkungan yang membuat para maling kayu terganggu. Berita-berita tentang penodongan itu, meramaikan media massa. Merasa terusik, Sudarto balik mengadukan Valent dengan pasal pengancaman, pencemaran nama baik dan membuat perasaan tidak senang.
Pada 27, Valent mengadukan penodongan itu ke Polda Sumatera Utara. Oleh Poldasu – karena locus delcty-nya di Tanah Karo – kasus ini dilimpahkan ke Polres Tanah Karo.
“Rupanya, Sudarto kembali mengadukan saya dengan tuduhan telah melakukan pengancaman, mencemarkan nama baik dan membuat perasaan tidak senang. Maka saya didakwa dengan Pasal 335, 310 dan 311. Sementara, Sudarto yang saya adukan, hanya didakwa dengan Pasal 335 saja.”
Kata Valent, dari fakta-fakta yang terungkap, akar masalah sebenarnya adalah berita yang diterbitkan beberapa harian/surat kabar terbitan Medan, sehingga jika dari awal proses pemeriksaannya dilakukan secara fair play, maka sesungguhnya ini menyangkut delik pers, bukan perbuatannya.
“Berdasarkan hal-hal tersebut, saya minta Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini menolak surat Dakwaan Penuntut Umum atau menyatakannya Batal Demi Hukum dan selanjutnya melepaskan saya (terdakwa) dari segala dakwaan dan tuntutan hukum. Sudarto sebagai penodong saya, harus menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Atau, kalau memang saya dianggap merekayasa kasus ini, silahkan jatuhkan vonis. Kalau vonis saya dan Sudarto sama-sama bebas, buat apa kita melaksanakan persidangan yang melelahkan ini. Lebih baik saya menerima tawaran ‘berdamai’ dari Sudarto,” tandas Valent.
Yang pasti, kata Valent pula, bagi seorang aktivis yang bergerak di jalan kebenaran, penjara hanya mampu mengurung fisik, tidak jiwanya. Sebab, jiwa manusia merdeka tak dapat dipasung oleh apa dan siapa pun, ia tetap berada di alam bebas.***


















Bab Enambelas

Bersama Rakyat Melawan Kezaliman
(Nota Pembelaan/Pledoi Perkara Pidana No. 274/Pid.B/2003/PN-Kbj.)

Setelah belasan kali persidangan, Valent diberi kesempatan membacakan pledoinya:
Majelis Hakim yang Terhormat, pertama-tama, marilah kita ucapkan syukur dan puji kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin-Nya jualah kita dapat menghadiri sidang hari ini.
Peradilan atas diri saya sekarang ini karena melakukan advokasi atau perlindungan terhadap hutan-hutan di Kabupaten Karo. Maka, sebagai bentuk perlawanan atas gerakan yang saya bangun itu, ada kekuatan melakukan langkah-langkah rekayasa guna menjerat saya di persidangan.
Ada upaya-upaya dari pihak penyidik menekan, agar mau berdamai dengan orang yang menodong saya. Hal itu, dilakukan dengan berbagai cara, dari intimidasi sampai tawaran uang. Saya menolak tawaran ‘berdamai’ itu. Akibatnya, dicarilah daya upaya agar menjadikan saya sebagai tersangka, dan saat ini terdakwa.
Saya sangat mengharapkan penegak hukum tidak terjebak dalam proses tersebut. Saya pun sangat khawatir, aparat penegak hukum antara lain penyidik, penuntut umum dan pengadilan menjadi benteng ketidakadilan. Jika ini sampai terjadi, niscaya hukum hanya jadi bamper para maling-maling kayu itu. Padahal, pada hakekatnya penegak hukum haruslah menjadi benteng sebuah keadilan.
Tetapi, saksi-saksi terutama oknum pejabat teras di daerah Karo memberi kesaksian yang sangat merugikan dan tak sesuai dengan kenyataan dan fakta seharusnya, bahkan mengatakan saya bersalaman dengan orang yang menodong saya. Padahal, jelas-jelas saya ditodong dengan pistol, buktinya ada pistol yang disita, bagaimana mungkin bersalaman. Dengan demikian, apakah yang bisa kita harapkan pada mereka, karena bukan saya saja yang pernah ditodongnya. Pada waktu perpindahan sekolah yang terletak di Jalan Sei Deli Medan, kuburan dijadikan sekolah, sekolah dibangun ruko, nazir mesjid harus menerima ganti rugi 30 juta dengan ditodong senjatanya.
Kalau ini kita biarkan, maka sebentar lagi, kita akan dirampok dengan sejata-senjata tersebut. Padahal, kalau rakyat hanya membawa pisau maka terus ditangkap dan payah ke luar, meskipun keterangan diberikan di bawah sumpah dan janji. Dari situlah dapat kita maklumi, mengapa kondisi kerusakan hutan kian parah.
Padahal, bagi masyarakat Karo, hutan adalah “laut”, yang dengannya mereka tidak saja menggantungkan hidup, pun membangun peradaban. Orang Karo, tak kan dapat hidup tanpa hutan. Kalau udara dikatakan sebaga napas kehidupan, air – bagi masyarakat Karo, juga kita semua – adalah sumber kehidupan.
Pertanian yang membangun peradaban masyarakat Karo, sangat bergantung pada air. Tanpa air, masyarakat akan kehilangan sumber kehidupannya. 126 titik air yang ada di Kabupaten Karo akan rusak, bahkan musnah, bila hutan-hutan dibabat habis. Bahkan sekarang di Doulu masyarakat terpaksa harus membeli air.

Banyak Jalan Merusak Hutan
Majelis Hakim yang Terhormat, dari pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.
Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Kabupaten Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 12/172/371/2001 Tanggal 21 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti.
Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 64 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.
Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 411/15/II/KUT/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.
Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.
Di Juhar ini, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung saya sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong saya untuk peduli hutan.
Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, Dinas Kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.
Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing. Padahal, kita tahu tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum. Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Kini, sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Karo. Dengan demikian jelaslah Pemkab Karo terlibat merambah hutan lindung tanpa izin Menteri Kehutanan, terlibat masalah pencurian kayu, ini karena PT Praja berkantor di Kantor Bupati Karo.
Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Kabupaten Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto merupakan hutan konversi. Kerusakan berawal dari izin penebangan 100 hektar yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan 2600 hektar. Karena tidak ada izin ke luar tapi mereka merambah terus maka terjadi kerusakan 600 hektar.
Saya masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2001, di situ dijaga pegutas berseragam. Kalau saya tidak masuk, hutan itu pasti habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Makanya sekarang, kalau hujan di Kabupaten Karo, maka Danau Toba naik, rusaklah sawah ladang masyarakat. Kalau dia menyusut, maka ketinggalan pasir di sawah-sawah ladang di pesisir Danau Toba. Siapakah yang bertangung jawab? Atau memang kita sudah tidak peduli dengan saudara-saudara kita yang kita tinggalkan?
Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka oleh Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Kabupaten Karo. Areal ini sebenarnya adalah hutan lindung Siosar, di belakang terjadi pencurian kayu. Saya sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Waktu saya adukan namanya Anthony Ginting, pada waktu saya baca BAP-nya ternyata namanya berubah menjadi Toni Ginting. Dan ini semua ada bukti CD. Yang paling saya khawatirkan adalah si Anthony Ginting sudah DPO, padahal saya tahu dia masih di Kabupaten Karo. Apakah ini yang kita mau, apakah memang hutan ini harus kita hancurkan untuk kita berikan pada bandit-bandit yang kaya itu?
Saya ingat waktu jalan-jalan ke Jambi dan Bengkulu, karena hutannya sudah habis, oleh maling-maling ini, karea rakyat tidak bisa bertani, maka menjual tanahnya murah-murah, yang dibeli bandit-bandit itu. Apakah kita mau terlibat kalau negara kita ini nanti, kita tak punya tanah dan air. Kita hanya tinggal punya bangsa. Apakah kita bisa hidup hanya punya bangsa tidak punya tanah air. Silahkan Bapak-bapak Hakim yang Terhormat di persidangan ini memutuskannya.
Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal di situ hanya 5 KK, tetapi perlu dibuat jalan yang diaspal hotmiks. Padahal saya baru ke desa-desa di situ banyak masyarakat desa, kenapa itu yang tidak kita aspal dengan aspal hotmiks. Atau memang jalan-jalan ini hanya dibuat untuk memperlancar pencurian kayu. Apakah kita tidak sayang sama anak cucu kita, berapa banyak korban-korbannya.

Jangan Wariskan Air Mata
Majelis Hakim yang Terhormat, tadi sudah disinggung, hutan berfungsi untuk menyerap, menyimpan dan mengalirkan air ke mata air. Akar-akar kayu adalah “alat” sirkulisasi air yang tak mungkin tergantikan dengan apa pun.
Dari hasil penelitian sahabat saya Ir. Jaya Arjuna M.Sc, setiap meter kubik humus dengan ketebalan 25 atau 30 cm, mampu menyimpan air 300 liter dan untuk membuatnya butuh waktu 10 tahun. Dengan demikian, betapa besar jumlah air yang tidak dapat disimpan karena kerusakan hutan di Kabupaten Karo.
Menurut taksiran saya, kerusakan hutan di Kabupaten Karo mencapai 26.000 hektar. Itu berarti 26.000 hektar humus mengalami kerusakan, yang sama dengan 26 juta meter kubik humus rusak. Dampaknya 78 miliar liter air tak dapat diserap dan disimpan dengan baik.
Bukti ini dapat kita lihat pada tahun 2001 dan 2002 banjir besar melanda Kota Medan, Kabupaten Deliserdang, dan Langkat yang sungai-sungainya berhulu di dataran tinggi Karo. Dari kejadian itu dapat kita maklumi betapa pentingnya melindungi hutan di Kabupaten Karo, agar tidak menimbulkan bencana kemanusiaan. Peristiwa Sunggal 2001 akibat pencurian kayu di Lau Gedang diteken oleh Anggota DPRD yang dilakukan maling-maling ini. Saya pikir saya lebih bagus berada di dalam penjara. Makanya kita perlu melakukan perlawanan agar dapat mewariskan mata air ke anak cucu, bukan air mata. Perjuangan mewariskan mata air semata untuk kepentingan kita umat manusia, bukan untuk dan jadi apa-apa.
Melihat kenyataan di Kabupaten Karo, saya bersama rakyat akan terus berjuang melawan perambahan hutan secara liar. Sebab, di samping kezaliman-kezaliman lainnya, perambahan hutan secara liar – menurut saya – adalah juga kezaliman yang secara sistematis akan memiskinkan serta memarjinalkan rakyat. Terakhir, mereka akan membangun koloni usaha di sini dengan membeli tanah rakyat murah-murah.
Kalau kita lihat Kerawang, dulu terkenal dengan lumbung beras. Sekarang rakyat yang hutannya dihabisi dibangun pabrik, rakyatnya kalau kita ke sana terkenal dengan “Goyang Kerawang”-nya. Apakah kita mau Kabupaten Karo nanti terkenal dengan “Goyang Karo”? Itu kita tanyakan kepada Mejelis Hakim dan Jaksa yang Terhormat.
Semakin kuat tekanan yang kita terima, kita harus semakin kuat pula melakukan perlawanan. Karena nyawa di tangan Tuhan, bukan di tangan maling-maling kayu. Jika karenanya kita harus berhadapan dengan tembok, maka kepalkan tangan, kuatkan hati, agar kepalan dapat berubah jadi baja dan dengan tak pernah gentar membenturkannya ke tembok hingga runtuh.
Percayalah Saudara, kebenaran akan tegak, bersatu kita melawan kezaliman. Sesungguhnya bangsa yang besar adalah bangsa yang berani meruntuhkan tembok-tembok kezaliman tersebut.

Momentum Tak Terlupakan.
Majelis Hakim yang Terhormat, 17 Agustus 2002, saya – dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. – pulang ke Desa Juhar Kecamatan Juhar. Betapa pedihnya hati saya saat hendak mandi, sungai telah kering. Masyarakat pun terpaksa berkilo-kilo meter mengambil air ke lembah-lembah. Sehingga di situ terjadi proses perceraian yang cukup besar, karena istri mereka tak mandi, terakhir suaminya pergi ke mana-mana.
Pulang kampung di 17 Agustus itu – bagi saya yang dilahirkan di Tanjung Morawa, di sebuah daerah perkebunan Deliserdang, 30 November 1963 – merupakan momentum yang tak pernah terlupakan dan setiap saat memanggil-manggil untuk berbuat.
Tak jarang, tidur malam saya diusiknya, “Ayo… ayo Valent, kenapa engkau diam, kenapa engkau tidur, padahal engkau mampu berbuat,” suara-suara itu kerap membuat saya tersentak dari tidur di tengah gulita malam. Mengapa tidak, sebagai intelektual, saya benar-benar merasa tak punya arti, tak berguna, jika tak dapat menyelamatkan desa di mana kakek moyang saya – juga orangtua saya – dilahirkan.
Alam Juhar yang indah, subur, nyaman serta asri tak boleh dibiarkan tinggal kenangan. Karena, orangtua saya dapat bersekolah hingga menjadi dokter spesialis anak yang sangat terkenal di zamannya, berkat dari kesuburan Juhar. Kalau alam Juhar dan Tanah Karo dirusak oleh para maling-maling kayu, bagaimana mungkin anak-anak Karo akan dapat mengenyam pendidikan yang baik. Jika anak-anak tak terdidik dengan baik, akan jadi apakah mereka kelak?
Sebagai seorang guru, saya memang terbiasa hidup bersahaja. Begitu pula kondisi kantor saya yang berada di Jalan Bantam No. 6 A Medan, tak mencerminkan kemegahan serta kemewahan sedikit pun. Namun, jangan kira saya yang sederhana ini akan diam kalau saudara-saudara saya mengadu tentang lingkungan mereka yang dirusak oleh maling-maling kayu ini, akibat pembukaan jalan, pendirian pabrik dan lain sebagainya. Karena pembangunan itu seharusnya membuat masyarakat ini semakin tangguh, bukan semakin miskin dan tak berguna. Apakah kita sudah tidak punya hati nurani lagi? Dengan segenap kemampuan, saya bersama rakyat melakukan advokasi, agar hutan yang rusak tak bertambah parah, sehingga menimbulkan bencana buat kita semua.

Melawan Kezaliman
Maret 2003, program pembukaan jalan tembus Pertumbuken-Serdang “dilawan” oleh masyarakat, khususnya Desa Barusjahe dan sekitarnya. Pasalnya, jalan yang seharusnya 3 km saja, ternyata dibuat berkelok-kelok hingga 9 km. Uniknya, di antara jalan-jalan utama (besar) ada pula jalan arteri yang kesemuanya mengarah ke hutan-hutan besar. Masyarakat mencium indikasi, pembukaan jalan itu adalah modus pencurian kayu. Kalau kita mau melihat dengan mata kepala bukan dengan mata duit, maka di sana ada panglong-panglong, ada bengkel mobil. Tetapi, saya bingung mengapa aparat kepolisian tidak bisa menangkap mereka.
Kamis, 10 Juli 2003, ketika saya dan beberapa anggota masyarakat Barusjahe berdialog dengan Bupati Karo Sinar Peranginangin, dijanjikan 3 hal: penutupan kembali jalan yang 9 km, mereboisasi dan membuat pabrik juice. Surat tersebut, dijanjikan bupati, boleh diambil masyarakat pada 15 Juli 2003. Ternyata, janji tinggal janji, Bupati Tanah Karo tidak ada di kantornya.
Saya dengan beberapa orang utusan masyarakat mencari bupati ke Kantor DPRD Karo. Di halaman Kantor DPRD, saya sempat berdebat dengan Ir. Juki Tarigan, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, soal surat yang dijanjikan oleh bupati. Juki ketika itu bersama Staf Bupati yang salah seorangnya adalah Ir. Ferdinan S. Depari.

Dìtodong Pistol
Kemudian, antara saya dan Juki sepakat agar sama-sama menjumpai Bupati Sinar Peranginangin. Saya dan rombongan lebih awal berangkat, kembali ke kantor bupati. Saat saya dan beberapa rekan serta tiga orang masyarakat Barusjahe: Pendapatan Tarigan, Arifin Tarigan dan Jakaria Tarigan menunggu Juki Cs. di halaman Kantor Bupati, seseorang yang mengenakan jas kuning dan memegang pistol di tangan kirinya, melambaikan tangan (kanan) ke arah saya. Tanpa sakwasangka sedikit pun, saya – yang diikuti oleh rekan-rekan – memenuhi panggilan itu. Entah bagaimana, tiba-tiba sekali – setelah mendekat dan hampir tak berjarak – orang itu menyorongkan pistolnya ke arah perut kanan saya, sembari berkata: “kenapa kau campuri urusan hutan”. Saya tentu saja sangat terkejut dan tak menyangka kalau lelaki itu, punya niat-niat tertentu dengan pistolnya.
“Abang kenapa membawa-bawa pistol dan menodongkannya ke saya,” tanya saya.
“Aku mau masuk hutan, kenapa rupanya,” sergah lelaki itu.
“Abang jangan masuk hutan dan menebangi pohonnya. Air untuk rakyat sudah kering, nanti mereka marah, Abang dibakar massa,” saya mengingatkan.
“Mau apa rupanya kau,” tekan lelaki itu.
“Kalau Abang tak bisa diingatkan, ya, masuklah,” balas saya pasrah.
Sejurus kemudian, Juki dan kawan-kawan tiba di halaman sebelah kiri kantor bupati. Jadi, sesungguhnya, Juki dan kawan-kawan tidak menyaksikan penodongan di teras kantor bupati itu, tetapi ia dijadikan saksi, yang tentu saja membuat keterangan sangat meragukan.
Selanjutnya, lelaki berjas kuning tersebut, bercakap-cakap dengan Juki Cs. Karena agak jauh – sekitar 10-12 meter dari tempat kami – kami tak mendengar apa yang dibicarakan.
Usai itu, Juki Cs berjalan ke arah kami. Begitu mendekat dengan saya, Juki bertutur: “itulah Bosku, kau hadapilah,” sembari jempol tangannya mengarah ke lelaki berjas kuning tersebut.
Kemudian, kami memasuki kantor bupati, Juki Cs menuju ruang kerja bupati. Sementara, kami menunggu di ruang tamu.
Beberapa saat kemudian, saya, Rail Ginting Wartawan Perjuangan, Thomas Tarigan SH, Hiban AS dan tiga orang masyarakat Barusjahe yang menunggu di ruang tamu, dipanggil untuk masuk ke kamar kerja bupati.
Kami pun menanyakan janji bupati, yang dijawab berbelit-belit. Sesekali terjadi debat antara saya Cs. dan Bupati Sinar Peranginangin. Dalam perbincangan itu, saya sampaikan juga ke bupati ikhwal penodongan dengan pistol tersebut. Bupati seterusnya berbisik-bisik dengan Juki dan Ferdinan. Entah apa yang dibisikkan, kami tak mendengarnya. Yang pasti – usai itu – staf bupati menelepon Kapolres Tanah Karo DL Tobing. Beberapa menit kemudian, Kapolres dan stafnya datang.
Kepada Kapolres pun, saya informasikan ikhwal penodongan itu. Ia meminta saya untuk bersabar dan membacakan ayat-ayat Alkitab.

Ke Pengadilan
Hari-hari selanjutnya, saya menunggu langkah-langkah apa yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Kabupaten Karo, namun tak kunjung ada. Maka, pada 27 Juli 2003, saya dan kawan-kawan pun mengadukan ikhwal penodongan itu ke Polda Sumatera Utara. Oleh Poldasu – karena locus delcty-nya di Kabupaten Karo – kasus ini dilimpahkan ke Polres Karo.
Rupanya, lelaki berjas kuning, yang belakangan diketahui – lewat Bupati Karo – namanya Sudarto kembali mengadukan saya dengan tuduhan telah melakukan pengancaman, mencemarkan nama baik dan membuat perasaan tidak senang. Maka saya didakwa dengan Pasal 335, 310 dan 311. Sementara, Sudarto yang saya adukan, hanya didakwa dengan Pasal 335 saja. Yang saya bingung di manakah keadilan itu? Bagaimana mungkin saya yang mengancam dia, sedangkan saya tak punya senjata. Yang saya bawa ke mana-mana hanyalah “pistol air”.
Di persidangan, Wakil Bupati Karo, Djidin Sebayang, yang kesaksiannya di BAP dibacakan, mengaku tidak pernah mengundang Sudarto. Jadi, sekali lagi, Wakil Bupati Djidin Sebayang tak pernah mengundang Sudarto. Cuma Sudarto waktu itu menunggu bupati, maka oleh Djidin dibawa ke ruangannya. Karena, kata Sudarto, ia mau ketemu bupati.
Di kamar kerjanya, Wakil Bupati menanyakan cara-cara memiliki senjata. Sudarto mengatakan, bisa saja senjatanya dibaliknamakan. Terjadi tawar-menawar. Karena tak sesuai, Djidin tak jadi membeli senjata Sudarto.
Menurut Djidin, begitu mengetahui bupati tidak di kantor itu, Sudarto segera meninggalkan kamar kerja Djidin. Karena itu kejadian jam 10.00 Wib mereka masuk. berarti, kita ditodong jam dua (14.00 Wib) berarti begitu banyak waktu. Tak lama kemudian, wakil bupati ke luar dari kamar kerjanya dan bertemu dengan saya di halaman kantor bupati. Ketika itu Djidin menawarkan makan siang yang saya jawab ‘terimakasih’. Jadi duluan Wakil Bupati ke luar mengajak makan saya daripada Sudarto menodong saya.
Sebenarnya, kalau persidangan ini mencari sebuah kebenaran, seharusnya, jelas sudah motifnya, jelas waktunya. Seharusnya ini adalah pengancaman percobaan pembunuhan. Makanya kepada Majelis Hakim yang Terhormat pada waktu itu, saya minta persidangan lapangan. Tapi kalau persidangan ini hanya menjadi bamper supaya Sudarto bisa bebas dan saya bisa bebas. Saya menganggap uang yang diberikan oleh Sudarto kepada saya dulu untuk berdamai, berarti kepada siapakah uang tersebut diberikan? Padahal jelas indikasinya.
Ini dapat pula dikaitkan dengan peristiwa pada 14 Oktober 2003 di salah satu ruang Novotel Soechi. Saat itu, Kapolres, DL Tobing mengenalkan saya dengan Sudarto alias Liong Cie Leng. Dalam percakapan, terungkap bahwa Bupati menggunakan tangan Sudarto untuk ‘memukul’ atau menakut-nakuti saya. “Tangan saya digunakan bupati untuk memukul Robert,” tutur lelaki bermata sipit ini. Jadi bukti apakah lagi yang diperlukan? Kok jadi saya yang dipersoalkan kenapa tidak maling-maling itu yang kita paparkan.
Ketakutan saya pada sidang terhormat ini, kita akan semakin lemah, seperti saya mengadvokasi dua orang – sekarang kolonel – yang tanahnya dirampas juga oleh bandit-bandit ini untuk didirikan plaza, mengadu sama saya. Maka saya tanya: Apakah dulu pada waktu menjadi pejabat, apakah ada Bapak membela bandit-bandit ini? Marilah kita tanya pada hati nurani kita masing-masing. Kalau kita mau kita serahkan tanah-tanah ini kepada bandit-bandit ini, ya, saya tidak bisa ngomong apa-apa. Karena Republik ini adalah punya kita sama-sama. Hal lain yang penting saya tegaskan – ya kan – dari fakta di lapangan terungkap, bahwa Sudarto tidak pernah merasa saya ancam, tidak pernah merasa saya takut-takuti, dia hanya merasa malu.
Bertitik tolak dari hal itu, sesungguhnya dakwaan JPU kepada saya adalah eror in persona alias salah alamat, kalau sidang ini menjadi alat pembuktian bukan BAP. Padahal Mahkamah Agung sejak 24 Nopember 2003 telah mengeluarkan ketentuan, setiap kasus pers harus memakai UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Dan di pemberitaan surat kabar tersebut, sebelum tanggal 18 Juli 2003, itu hanya inisial huruf S, bisa siapa saja, bisa Sukimin, Sukirman, Calon DPD No.1 atau siapa saja, ya kan. Kalau pers tak bisa membuka apa yang dia lihat berarti kezaliman akan terjadi di republik ini. Saya melihat dakwaan ini terkesan dipaksakan. Mengapa bisa demikian? Majelislah yang menjawabnya.
Begitu juga soal pengancaman, penistaan serta membuat perasaan tidak senang secara lisan yang didakwakan kepada saya, sesungguhnya itu hanya isapan jempol. Sebab, saksi (Sudarto) sendiri di persidangan mengungkapkan, tak merasa saya secara lisan mengancam dia, menista dan membuatnya tidak senang. Yang dia tidak senang, mungkin karena saya tidak bisa ditakut-takuti seperti nazir mesjid/nazir kuburan yang bisa ditakut-takutinya.
Saya menduga, dakwaan terhadap saya ini, dilakukan dalam upaya character assassination (pembunuhan karakter). Sebab, selama ini, saya dikenal sebagai seorang pendidik yang peduli lingkungan.
Hal lain, saya yang tetap memegang berprinsip asas praduga tak bersalah, sama sekali tak pernah menuduh Sudarto sebagai pencuri kayu. Tetapi, di dalam persidangan keempat (Senin 26 Januari 2004), saat saya sebagai terdakwa, Sudarto mengaku bahwa ia memang pengusaha kayu.
“Bang Darto, saya ingin bertanya kepada Abang. Tetapi, sebelum dijawab, Abang harus pikir-pikir dulu. Pertanyaannya, apakah Abang pengusaha kayu di Karo?” tanya saya ketika itu.
“Ya, di Siosar,” jawab Sudarto dan menyebutkan luasnya 100 hektar. Dan ingat, izin 100 hektar itu – walaupun otonomi – tidak ada hak bupati, karena itu hutan konversi. Hak bupati, kalau memang kita taat undang-undang itu adalah hutan rakyat. Kalau hutan konversi ia hanya bisa mengusulkan, haknya adalah Menteri Kehutanan. Kalau kita jujur mari kita baca undang-undang.
Sekaitan dengan itu, Victor Simamora, Ketua Komisi II DPRD Sumut telah mengimbau pihak berwajib untuk menangkap Sudarto. Ini diungkapkannya seusai meninjau kondisi hutan di Tanah Karo 20 Oktober 2003. “Alasan Victor meminta Poldasu menangkap Sudarto, sebab yang bersangkutan memperoleh izin dari bupati hanya seratus hektar. Kenyataannya, hutan Siosar yang berjumlah 2.600 hektar, separonya telah habis dibabat,” demikian berita di surat-surat kabar terbitan Medan (kliping terlampir).
Peninjauan disertai oleh Kadis Kehutanan Mas Prie, yang juga mengatakan sama dan akibat Siosar ini, rusak dua mata air yang menuju Danau Toba. Kalau di Kabupaten Karo hujan maka air Danau Toba naik akibatnya kalau air Danau Toba turun, sawah-sawah rakyat itu tertimbun pasir, pasir dari manakah ini?

Tidak akan Jenuh
Dengan sidang yang panjang serta melelahkan, akankah membuat saya jerih, jenuh serta frustasi melawan kezaliman bersama rakyat. Jawabnya: Tidak! Ya, saya tidak akan pernah sedikit pun merasa letih, jenuh, apalagi frustasi melawan keangkaramurkaan. Sebab, saya yakin kalau saudara-saudara ini tidak punya tanah, tidak punya kesuburan tanah – anak-anak mereka tidak dapat disekolahkan. Saya lihat, silahkan kalau Majelis Hakim yang terhormat dengan saudara-saudara di sini mau melihat ke provinsi tetangga, betapa di sana terjadi sekarang buta huruf, karena mereka tidak punya apa-apa lagi. Kalau kita lebih sayang dengan uang bandit daripada dengan saudara-saudara kita, nanti waktulah yang akan membuat kita menyesal. Sebab, saya yakin seyakin-yakinnya, suara rakyat adalah suara Tuhan sebagaimana yang dikatakan filsuf: fox populi fox dei.
Justru itu, ketika masyarakat Kutakendit, Siosar dan lainnya yang ada di Kabupaten Karo mengadukan ikhwal mereka, saya segera turun bersama masyarakat untuk melawan sang perusak.
Yang paling lucu – iya kan – suku kita buat menjadi alasan. Kalau melawan saya, dibilang saya orang Karo. Kalau yang punya tanah di Kutakendit bukan orang Karo maka tanah mereka yang 40 hektar yang dibeli dengan uang mereka 7 tahun atau 10 tahun yang lalu, tinggal 2 hektar. Yang 2 hektar itu pun belum ada sertifikatnya dan berada dalam hutan lindung yang digerogoti.
Apakah suku menjadi alasan untuk merampok rakyat. Saya sendiri sebagai pimpinan Bima, saya hampir memiliki ruko di 30 kabupaten. Kalau suku bisa merampok tanah-tanah dan ruko-ruko saya itu, mendingan saya jual ruko-ruko tersebut dan saya pindah ke Penang.
Kalau hutan dirusak, masa depan rakyat pun akan rusak pula. Dan ingat bandit-bandit ini mengatasnamakan suku, karena mereka bisa memutar lidahnya sesuai dengan kemauan mereka. Sama mereka sebenarnya tidak ada suku dan agama, karena mereka pencuri kayu saja. Makanya rakyat harus melawan.
Fatsun negara mengatakan: kalau rakyat sejahtera, negara akan kuat. Makanya, rakyat harus dapat memiliki akses pendidikan, politik, ekonomi dan lainnya agar mereka sejahtera. Bila rakyat sejahtera, tentu mereka akan berdaya. Bila rakyat berdaya, negara pun akan kuat. Lalu, bagaimana mungkin rakyat akan sejahtera, bila lingkungannya dirusak. Merusak lingkungan, sama artinya membunuh rakyat secara pelan-pelan.
Lihatlah sekarang Kabupaten Karo ini, cabai tidak tumbuh, tomat tidak tumbuh. Kita bilang pula bandit-bandit ini, alasannya karena lampu Micky Holiday. Memang bandit memang selalu bisa memutarbalikan fakta. Dan kalau ada Bapak-bapak tidak percaya kasus Kutakendit, silahkan ke sana, tanah-tanah rakyat diambil dengan mengatasnamakan Robert Valentino. Biar saja, itu tanah mereka. Kalau nama saya membuat mereka bisa mengambil kembali tanahnya, menurut saya itu adalah kebaikan buat saya.
Menurut saya, hutan Kabupaten Karo – jika dibiarkan dirambah secara liar tanpa perlawanan – dalam waktu 5 tahun saja, akan habis. Modus operandi pencurian kayu di kawasan hutan lindung kawasan Kabupaten Pegunungan, mirip sekali dengan cara-cara yang diterapkan perambah hutan di Provinsi Riau. Modus operandi tersebut yakni dengan alasan membuka jalan menuju lahan pertanian, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), lokasi transmigrasi, namun mencuri kayu di sepanjang jalan yang menjorok ke tengah hutan.

Keberpihakan Penegak Hukum
Majelis Hakim yang Terhormat, Para Penegak Hukum, khususnya Penyidik dan Penuntut Umum telah menunjukkan keberpihakannya, pertama saya didakwa melanggar Pasal 335, 310 dan 311 KUHP. Padahal, Sudarto yang menodong saya dengan pistol hanya didakwa dengan pasal 335 KUHP. Apakah tidak ada pasal-pasal lain untuk mendakwanya? Ini suatu pembohongan terhadap publik. Mengapa tidak, menodong dengan pistol, itu bukan hanya perbuatan tidak menyenangkan, juga dapat merupakan percobaan pembunuhan. Anehnya, pasal tersebut tidak dimunculkan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Pertanyaan kita, apa yang melatarbelakangi perbuatan Penyidik dan Penuntut Umum tersebut? Kita semua tentunya sudah menduga ‘ada udang di balik kuitiaw’.
Indikasi ini dapat dilihat dan dirasakan, saat Sudarto mengajak saya berdamai dengan menawarkan sejumlah uang, tetapi saya tolak. Pertanyaannya, apakah karena uang itu, saya dizalimi dengan tuntutan pasal yang berlapis-lapis? Lalu, untuk siapa pula uang tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya minta Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini menolak surat Dakwaan Penuntut Umum atau menyatakannya Batal Demi Hukum dan selanjutnya melepaskan saya (terdakwa) dari segala dakwaan dan tuntutan hukum. Supaya korban-korban yang ada dalam kasus pemeriksaan saya seperti juper (juru periksa) harus pindah kalau saya tidak bisa ditahannya. Apakah ini sebuah keadilan? Hanya untuk menahan seorang Valent – kalau tak bisa – jupernya jadi korban. Saya pikir ini adalah kezaliman. Dan saya yakinkan pada waktu itu jupernya, biarlah kita dizalimi yang penting kita harus melawan.
Sudarto sebagai penodong saya, harus menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Atau, kalau memang saya dianggap merekayasa kasus ini, silahkan jatuhkan vonis. Kalau vonis saya dan Sudarto sama-sama bebas, buat apa kita melaksanakan persidangan yang melelahkan ini. Sehingga saya sampai sakit pada waktu sidang pertama dan kedua, waktu saya dibentak-bentak, ya kan? Lebih bagus saya ‘berdamai’, saya terima uang Sudarto itu. Kalau diterima, apakah saya dapat tidur tenang di malam hari?
Apakah saya tega melihat saudara-saudara yang disusahkan. Apa kita tega selaku guru melihat semua orang tidak mempunyai uang untuk sekolah. Kalau kita semua tega, karena kita satu bangsa dan satu tanah air – saya sebagai seperduaratus juta dari penduduk Indonesia ini ini – ya, kita kuatkan hati kita
Begitupun, kita serahkan semuanya kepada pertimbangan Majelis Hakim yang Terhormat, kita tak boleh memaksakan kehendak. Yang pasti, bagi seorang aktivis yang bergerak di jalan kebenaran, penjara hanya mampu mengurung fisik, tidak jiwanya.
Karena semua ini saya alami, saya CD-kan, makanya kalau pada waktu Majelis Hakim membilang saya tidak ada mengatakan kepada sidang ini waktu saya dihadapkan dengan Juki, Juki menunjuk “Hai Valent itulah bosku kau hadapilah”. Ini adalah bukti, ada di CD. CD ini adalah bukti, CD ini adalah sebuah kejelian. Biarlah saya selaku aktivis mengatakan, jiwa manusia merdeka tak dapat dipasung oleh apa dan siapa pun, ia tetap berada di alam bebas. Dan, yakinlah, kebenaran pasti akan menunjukkan wujud sebenarnya, tanpa siapa pun dapat menghambatnya. Terimakasih. (Pada pertengahan pembacaan pledoi mata Valent mulai berkaca-kaca, dan akhirnya tumpahlah air matanya saat pembacaan usai). ***







Bab Tujuhbelas

Air Mata Brutus


Malam itu Brutus, Ketua Pengadilan Kabupaten Karo belum dapat memejamkan kedua matanya. Meski tempat tugasnya di wilayah pegunungan, tetapi kediaman Brutus ada di kota Medan, di ibukota provinsi.
Brutus tinggal di sebuah rumah mewah yang menyerupai istana. Ya, rumah itu pantas disebut istana nan megah. Sebuah istana yang di semua sisinya diterangi oleh cahaya, kamar-kamarnya diisi dengan perabot rumah tangga yang elok, sesuai dengan kebesaran dan ketinggian statusnya sebagai Ketua Pengadilan. Di dalam istana itu pun ada beberapa pembantu, baik laki-laki maupun perempuan. Semuanya tunduk dan patuh kepadanya. Dengan satu kata, apa yang Brutus inginkan menjadi kenyataan.
Kasur sutra yang digunakan untuk tidur, seperti berisi paku dan duri yang menusuk-nusuk tubuhnya. Beberapa penerangan yang memberi cahaya kamarnya, tampak berkelap-kelip, seakan-akan bola mata yang membuat pandangannya kuyu. Neon-neon itu seakan melukiskan kekecewaan hatinya yang dalam.
Malam itu, Brutus kesulitan untuk tidur. Tiba-tiba ia melompat dari pembaringan yang berkasur empuk. Dua matanya tampak sudah mengantuk. Wajahnya pucat seperti bermendung. Ia segera memadamkan neon-neon itu.
Seketika kamar Brutus gelap, tenang dan sunyi senyap. Saat itulah ia merasakan tenang dan nyaman. Jiwanya yang paling dalam pun ikut merasa tenang. Dengan suaranya yang nyaris tidak kedengaran ia bergumam:
“Alangklah indahnya kegelapan, meskipun mata tidak bisa melihat sesuatu. Tidak ada lampu-lampu yang menyala. Tidak ada hiasan apa pun di atas dinding. Tidak ada tirai terbuat dari kain berwarna-warni. Tidak ada apa-apa, tak ada sesuatu yang bisa kulihat, kecuali kegelapan yang hitam lagi pekat, membuat jiwaku tentram dan tenang. Pada malam seperti ini, aku tidak suka ada cahaya. Dengan adanya cahaya, membuat fisik serta ruhku terasa ada.”
Istrinya yang sejak tadi tidur nyenyak terjaga, kemudian bergerak-gerak. Ia masih mengantuk sekali, sehingga belum membuka dua matanya. Karena belum terjaga betul, ia berujar dengan kata-kata yang terputus-putus, seperti cedal.
“Apa yang kamu kerjakan, Brutus?”
Dengan nada sedikit keras, Brutus menyahut, “Tidurlah, kau. Tidak ada apa-apa. Kau tidak perlu memikirkan apa yang kupikirkan. Malam ini kau harus tidur.”
“Kau telah memadamkan lampu-lampu itu! Ini membuatku tidak enak. Dalam kegelapan pekat seperti ini, kurasakan nafasku tercekik.”
Dengan segera Kepala Pengadilan memotong ucapannya:
“Engkau sekarang bisa pergi ke kamar lain mana pun, jika kamar ini kurang cocok denganmu. Pilih kamar lain kalau memang di sini kurang nyenyak tidurmu!”
Ungkapan ini membuat istri Brutus terkejut, karena seakan ia telah mencelanya. Kata istri Brutus dalam hati, “Tentu dia sedang mengigau, karena hari ini dia ada pekerjaan berat, menyidangkan perkara penodongan dengan pistol dan pencemaran nama baik. Yang lebih memberatkan pikirannya adalah kelicikan penguasa-penguasa itu, menjebaknya ke dalam permainan kotor.”
Begitulah istri Brutus berkata dalam hati. Ia tidak berani mengutarakan itu pada suaminya. Katanya lagi dalam hati, “Ah, ah aku tak mengerti apa yang dia bawa ke sini. Bumi yang menyusahkan, tekanan-tekanan dari atasan, perselingkuhan, permusuhan. Tapi apa gunanya ungkapan-ungkapan pemerintahan yang bersih. Dan Brutus sebagai Ketua Pengadilan di satu sisi harus bersikap jujur, tetapi di sisi lain harus mengikuti kehendak atasan.
Sampai di situ, istri Brutus berhenti berpikir, karena suaminya bilang, “Heh...! Apa katamu? Apakah kau akan tetap di dalam kegelapan?”
“Selama engkau menyukai kegelapan, akupun menyukainya, sepertimu Brutus.”
“Terserah kamu kalau begitu.”
Istri Brutus diam saja. Dia berusaha menciptakan suasana yang enak lagi menyenangkan di ruangan itu, namun belum menemukan caranya. Ia ingin menggembirakan hati suaminya. Ia ingin bercanda, meskipun belum ditemukan kata-kata dan ungkapan yang lucu. Untuk itu, ia mengangkat tangannya, kemudian meraba-raba rambut kepala, berikut kumisnya. Tetapi Brutus menepis tangan istrinya, pelan, seraya mengutarakan bahwa dirinya ingin segera tidur, karena kepalanya pusing sekali. Semua persendian ototnya letih. Maka tak ada obatanya kecuali tidur nyenyak.
Agak marah, serta malu, istri Brutus menjauh, lalu berujar, “Tampaknya kau tertekan dengan keputusan yang kau ambil.”
Brutus tertawa dengan suara agak tinggi mendengar ujaran suaminya. “Aku tidak pernah memikirkan vonis itu.
Tak lama berselang, Brutus tidur nyenyak. Ia sudah mendengkur. Sampai istrinya mendengar tarikan-tarikan napasnya yang panjang.
***
Pagi itu, suasana pengadilan begitu riuh. Masyarakat begitu banyak ingin menyaksikan sidang hari ini yang akan mendengar pembacaan vonis. Sidang split ini, pertama dilakukan untuk terdakwa Sang Dokter yang dituduh mencemarkan nama baik seorang pengusaha. Setelah itu, baru sidang sang pengusaha yang didakwa karena menodongkan pistol ke perut pejuang lingkungan itu.
Sidang yang terdakwanya Dokter Valent – lengkapnya dr Robert Valentino Tarigan SPd – berjalan mulus, dengan vonis bebas. Apa yang didakwakan kepadanya, tidak terbukti. Dokter Valent harus bebas demi hukum. Masyarakat yang ada di luar dan di dalam ruang sidang bersorak-sorak gembira menerima keputusan itu. Sebab, selama ini memang Sang Dokter tumpuan harap mereka untuk menyelamatkan hutan.
Memang masyarakat menyadari, bahwa perjuangan – apa pun bentuknya – haruslah dilalukan oleh rakyat secara bersama-sama. Tapi, kehadiran Sang Dokter, sepertinya memberi roh terhadap gairah pergerakan tersebut. Artinya, ketika Dokter Valent ada di dalam gerakan, serasa kekompakan masyarakat, makin solid.
Setelah sidang Sang Dokter usai, jeda sejenak. Kemudian dilanjutkan dengan sidang yang terdakwanya Sudarto. Masyarakat ketka itu diminta untuk tidak memadati ruang sidang yang memang tidak begitu luas. Selanjutnya, pintu ruang sidang ditutup. Sebagian besar masyarakat hanya mendengar jalannya persidangan lewat pengeras suara. Di pertengahan sidang, aliran listrik mati. Masyarakat di luar ruang sidang berteriak-teriak. Mereka meyakini, ini hanya sebuah rekayasa. Makanya, ada pula yang mengeluarkan makian.
Usai sidang, ketika diketahui bahwa Sudarto juga divonis bebas, masyarakat memburu lelaki separo baya dengan rambut putih itu. Petugas segera mengamankannya. Selanjutnya Brutus sebagai Ketua Pengadilan diburu masyarakat. Segera juga petugas mengamankan. Sumpah serapah pun bermunculan. Beberapa ibu yang mengunyah sirih sempat pula nembuang ludahnya ke muka Brutus. Ludah berwarna merah itu menempel di wajahnya. Brutus jijik sekali dan ingin marah, tapi petugas menahannya.
“Berapa kau terima uang dari pencuri kayu itu he,” teriak masyarakat
“Tidak... tidak... tidak, aku tidak menerima sepser pun,” jawabnya.
“Jangan bohong, hutan kami sudah habis, masak penodong kau vonis bebas,” teriak masyarakat lagi.
“Jangan salahkan aku,” jawab Brutus.
“Kau memang jahanam,” teriak masyarakat.
“Tidak... tidak... tidak... aku...,” suaranya tersekat.
Istri Brutus kemudian tersentak mendengar teriakan Ketua Pengadilan itu. “Kenapa... kenapa?” tanyanya semberi menggoyang-goyang tubuh lelaki pujaannya tersebut.
Keringat dingin mengucur di seluruh wajah Brutus. Penuh kasih sang istri membersihkannya dengan saputangan. Ternyata peristiwa tadi pagi masuk ke ruang alam bawah sadarnya, kemudian naik kembali ke alam mimpi.
Setelah tenang, Brutus menceritakan mimpinya yang mengerikan, dikejar-kejar oleh masyarakat yang ada di seputar Deleng Ganjang*.
“Mereka marah betul padaku. Wajar, hutan mereka habis disikat oleh maling kayu sehingga hasil pertanian mereka seperti jeruk, markisa, cabai, tomat, dan lainnya menurun drastis. Aku paham itu, tapi...” Brutus tak meneruskan.
“Tapi apa Brutus?”
“Ah... sudahlah!” Kemudian Brutus menangis sesenggukan. Istrinya makin heran.
Kemudian Brutus terbayang saudaranya Sarmin yang tinggal di bantara sungai sebuah daerah wisata. Ketika perkara ini mulai digelar, Sarmin mengingatkan padanya agar pencuri kayu berikut antek-anteknya dihukum berat karena akibat perambahan hutan bencana banjir tak terelekkan, ratusan nyawa dan miliaran rupiah lenyap seketika.
“Ya, ya, ya Sarmin aku tahu penderitaan kalian akibat pencurian kayu. Tapi... tapi... kalaian harus tahu aku tertekan,” teriak Brutus. Instrinya tesentak. “Brutus... Brutus... kenapa, ada apa?” tanyanya sambil mengoyang-goyang tubuh suaminya tercinta. Brutus hanya menangis sejadi-jadinya. Membayang lagi wajah bupati, kapolres, koramil, pengusaha, dan lainnya yang datang malam hari ke kediamannya dengan membawa uang dan pistol ketika hari H persidangan akan tiba..
“Buatlah keputusan yang damai. Kalau Pak Darto divonis bersalah, berarti usaha kita mati. Kalau Sang Dokter divonis bersalah, rakyat akan marah, kabupaten kita akan chaos. Bapak Hakim paham bukan?” ungkap sang Bupati.
“Ya, ya, ya Pak,” jawab Brutus.
Malam terus bernyanyi dengan air mata brutus yang terus mengalir.***






















Bab Delapanbelas

Bertahun-tahun Menanti Hasil Kasasi

Karena merasa keputusan pengadilan tak memenuhi rasa keadilan, Valent meminta kepada Kejaksaan Negeri Kabanjahe untuk melakukan kasasi. Sebab, seandainya memang Sudarto tak terbukti melakukan penodongan, tentu Valent yang harus divonis telah melakukan pencemaran nama baik. Atau sebaliknya, jika memang tak terbukti Valent melakukan pencemaran nama baik, tentu Sudarto yang harus dihukum. Lalu, kenapa bisa bebas sama bebas?
Memori kasasi tertanggal 6 Mei 2004 diajukan ke PN Kabanjahe untuk diteruskan ke Mahkamah Agung, dan Kontra Memori Kasasi tanggal 13 Juli 2004, akte tanda terimamya, Jumat 23 Juli 2004, ditandatangani oleh Nirwan Sembiring SH. Yang menyerahkan Kontra Memori Kasasi adalah Kaliasa Sitinjak SH, Penasihat Hukum dr Robert Valentino Tarigan SPd.
Anehnya hingga September 2004 Permohonan Kasasi tersebut tak juga dikirimkan PN Kabanjahe ke Mahmakah Agung. Ketika Valent, penasihat hukum dan rekan-rekan mempertanyakan kenapa belum dikirim, Nirwan Sembiring SH Panitera/Sekretaris PN Kabanjahe mengatakan, Juru Sita PN Kabanjahe tak masuk-masuk kantor sehingga Surat Pemberitahuan untuk Mempelajari Berkas Perkara yang wajib disampaikan kepada terdakwa tak ada.
“Kami bekerja berdasarkan perintah atasan. Kalau atasan mengatakan jangan dikirim karena alasan juru sita tak masuk-masuk kantor, ya, kami hanya ikut saja,” kata Nirwan dengan wajah tak berdosa. Lalu ketika Valent mendesak, Nirwan memerintahkan agar mempertanyakan masalah itu kepada Kepala PN Kabanjahe Brutus SH.
Setelah Valent mempertanyakan hal tersebut kepada Brutus, Kepala PN Kabanjahe ini berusaha mengelak. “Berapa rupanya Bapak dibayar maling kayu itu, sehingga untuk mengirimkan berkas kasasi saja tak bisa,” sergah Valent kepada Brutus. Selanjutnya Kepala PN Kabanjahe meminta Valent bersabar dan mempertanyakan masalah tersebut kepada Nirwan.
Merasa dibolak-balik sedemikian rupa, akhirnya Valent mengatakan: “Jika memang Permohonan Kasasi tersebut tidak akan dikirim ke Mahkamah Agung, buatlah suratnya, biar jelas. Hak Bapak untuk menjatuhkan vonis saya hormati. Tolonglah hak saya untuk kasasi juga Bapak hormati”.
Terjadi perdebatan sengit. Seiring dengan itu, supir pribadi Kepala PN Kabanjahe marah-marah, terkesan melarang Valent dan kawan-kawan masuk ke kantor PN Kabajahe. Karenanya Valent mengingatkan bahwa PN itu bukan kantor milik pribadi, melainkan milik negera, yang siapa pun pencari keadilan berhak memasukinya.
Saat Valentino mengemukakan bahwa kejadian itu akan ia lapor ke Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Sumatera Utara di Medan, supir pribadi Kepala PN Kabajahe menyatakan tidak takut. “Kepada yang lebih tinggi pun saya tidak takut,” tutur oknum supir Kepala PN Kabanjahe tersebut.
Akhirnya – setelah beradu argumentasi tentang hak memperoleh keadilan sesuai dengan perkataan Jaksa Agung bahwa keadilan untuk rakyat kecil jangan sampai dibeli oleh orang kaya dan para cukong – maka pada 3 November tersebut, PN Kabanjahe menyiapkan Surat Pemberitahuan untuk Mempelajari Berkas Perkara Nomor 274/Pid.G/2003/Pd.Kbj. Berkas yang ditandatangani Jhonny Heri Jonson Juru Sita PN Kabajahe tersebut, juga harus ditandatangani Valent.
Mereka (pihak PN Kabanjahe) berjanji berkas Permohonan Kasasi itu paling lambat 11 November 2004 akan dikirim ke Mahkamah Agung. Tapi, hingga 2007 bagaimana nasib dari Permohonan Kasasi tersebut, tidak jelas juntrungannya. Informasi yang didapatkan Valent, hasil kasasi telah turun dari Mahkamah Agung (MA) pada April 2007 dengan keputusan bebas murni untuk Valent, dan satu tahun penjara untuk Sudarto. Uniknya, Keputusan MA atas nama Sudarto, kata petugas PN Kabanjahe, hilang. ***




















Bab Sembilanbelas

Air Mata Warga

Sarmin, warga Bukit Lawang – jauh sebelum PN Kabanjahe menjatuhkan vonis untuk Sudarto dan Valent sama-sama bebas – menulis surat pada Brutus: “Ada banyak alasan menyalahkan kami berumah di bantaran sungai dalam diskusi panjang di hotel berbintang yang mengantarkan kalian menjadi pemerhati lingkungan sejati,” Sarmin sejenak menghentikan tulisannya. Warga yang ada di penampungan itu sudah bermain dengan mimpinya masing-masing. Begitu juga orang-orang yang satu barak dengan Sarmin. Sipongang hewan malam sesekali sampai juga ke telinganya, bersama misteri yang mungkin tak terbaca oleh kebanyakan bangsa manusia.
Selanjutnya terbayang di matanya orang-orang berdiskuasi panjang, bahkan berdebat tentang bencana air bah itu. Ada pula di antara para narasumber menyalahkan mereka. “Sudahlah, hentikan pertikaian. Jadikan kami, ratusan nyawa yang meregang tanpa arti sebagai jejak sejarah bahwa kita memang abai menjaga lingkungan”. Di luar malam bernyanyi dengan iramanya sendiri. Gema suara air Sungai Bohorok yang ritmis sesayup sampai ke gendang telinga Sarmin, membuka katup kerinduannya pada keluarga.
Pena itu pun berjalan lagi: “Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini, aku manusia biasa, yang menyimpan kenangan. Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini. Bandang itu membuatku bagai sebatang pohon di tengah gurun. Anak, istri, orangtua, mertua dan orang-orang terkasih lenyap ditelan air yang membawa ribuan ton kayu. Rusuk retak, kepala pun nyaris pecah. Keajaiban jualah yang melemparku dari timbunan balok kematian itu. Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini? Aku manusia biasa, bukan batu, bersendiri di penampungan. Sesekali amis darah menelusup di rongga jiwa. Hai para maling kayu, masih sanggupkah bersembunyi memakai mulut dan tangan penguasa menyebut kami: makhluk yang pantas menerima bencana ini”. Pena lelaki itu terdiam sejenak.
2 November malam adalah hari yang tak dapat dilupakannya, mungkin sampai nyawa meregang dari badan. Ya, sebagaimana ungkapan banyak penyair: petaka datang tak memberi aba-aba. Benar, bandang itu datang begitu cepat. Segalanya berjalan bagai mimpi buruk, hanya 20 menit saja, semuanya jadi kenangan pahit.
Di penampungan yang sumpek, lelaki 35 tahun itu ingin menulis apa saja, agar kenangan yang telah jadi impian menakutkan, tak mengusik malam-malam kesendiriannya. “Wahai para pejuang lingkungan, para ahli kehutanan, pejabat, pengusaha dan siapa saja, tak perlu saling menyalahkan, yang penting ke depan semua kita harus introspeksi dan mawas diri. Sebab, bencana tetaplah bernama bencana meskipun dibolak-balik dengan berbagai apologi dan dibungkus kalimat-kalimat manis penuh retorika”.
Yang pasti, luka para korban, luka kami, lukaku yang ditinggal mati keluarga tetaplah bernama luka, meskipun sudah dibalut dengan perban sutra. Mengenang tragedi Bohorok – bagiku – bukanlah upaya membungkus luka dengan perban sutra atau membuka kembali luka yang mulai terkatup. Tidak! Mengenang tragedi Bohorok adalah upaya mengingatkan kita semua agar jangan lagi abai mengurus lingkungan (hutan).
2 November, sejak senja, hati Sarmin gelisah. Tak tahu apa yang digelisahkan. Usai shalat Maghrib, ia berdoa sangat panjang sekali. Tetapi tak juga menemukan jawaban kenapa hatinya gelisah.
Usai makan malam dan shalat Isa, kegelisahan hatinya memuncak jadi resah. Sarmin pun menenangkan diri ke luar mencari angin. Anaknya Retno yang berumur 3 tahun ingin ikut, tapi dibentaknya. “Aih, inilah kenangan yang sangat memilukan. Kenapa harus dibentak?” bisik hatinya di kesenyapan malam, tak ada yang mendengar dan mengetahuinya. Sesama para korban di penampungan itu telah terbuai bersama mimpi masing-masing.
Di atas sesekali terdengar guruh yang memancarkan kilat. Mungkin inilah aba-aba yang tak tertangkap oleh warga Bohorok dan Sarmin. Awan tebal berarak ke sana-sini. Ya, sangat tebal. Tapi, mereka menganggap itu hal biasa. Bulan-bulan yang berakhiran er, adalah bulan-bulan di mana curah hujan cukup banyak. Tak begitu digelisahkan. Mereka menganggap hujan memang akan datang. Tetapi sedikit pun mereka tak menyangka kalau malam itu, hujan akan membawa bandang yang meluluhlantakkan.
Ya, begitu petir seakan-akan membelah langit sambung-menyambung, kemudian menumpahkan air yang sangat banyak – tersentaklah Sarmin dan mungkin yang lain – bahwa ini tidak biasa. Sarmin menerobos lebatnya hujan, berburu cepat agar segera sampai ke rumah.
Di hulu, suara gemuruh air yang penuh misteri membawa kabar bencana memang segera tiba. Sarmin terlambat sampai di kediamannya. Rumah papannya telah rubuh. Ia berteriak-teriak di gulita malam itu. Tak ada yang dapat mendengar. Jeritan suara-suara makin riuh. Ketika kilat menyambar, sekilas terlihat oleh Sarmin wajah istrinya memeluk Retno – anak mereka yang bungsu – dan berusaha melawan derasnya arus air sungai. Ibu, mertua, dan kedua anaknya yang lain tak terlihat.
Dengan sigap Sarmin melompat, mencoba menyelamtkan istri dan anaknya. Sementara, ibu kandung, mertua, dua lagi anaknya, serta saudara-saudara yang lain tak terpikirkan oleh Sarmin. Ya, dengan segenap kemapuannya, Sarmin berhasil menggapai kedua tubuh yang berpelukan di gulita malam dengan dingin membawa gigil. Saat rengkuhan kian kuat, sebuah balok besar menerjang rusuk Sarmin. Tercampaklah lelaki itu kembali ke pinggir sungai. Arus deras menggiring istri dan anaknya ke tengah sungai. Sarmin tak sadarkan diri.
Esok paginya, Senin 3 November setelah siuman dari pingsan yang panjang, rasa sakit menyergap Sarmin. Hampir seluruh tubuhnya di balut perban. Dengan terbata-bata, Sarmin minta dan setengah memaksa tim relawan yang terdiri dari petugas, SAR, para suster, dan entah siapa lagi agar sudi membawanya ke tempat pengumpulan mayat-mayat di depan Mushalla.
“Siapa tahu aku juga tak berumur panjang, hatiku telah puas dapat menyaksikan semuanya,” alasan Sarmin kepada tim relawan.
Meremang bulu kuduk Sarmin – ketika itu – menyaksikan ratusan mayat bergelimpangan dan dikabarkan juga 100 lebih orang hilang. Dalam pada itu, 400 rumah, penginapan serta cottage dan lainnya porak-poranda. Mayat-mayat itu berjejer rapi di depan Mushalla menanti giliran dimakamkan. Padahal sebelumnya, tubuh-tubuh yang diam bagai batu itu adalah manusia berjiwa. Dalam seketika berubah jadi seonggok daging tak berharga. Jiwa-jiwa mereka meregang dan lepas dari tubuh di dingin malam dalam hempasan bah yang membawa balok-balok kematian.
Di Senin 3 November itu, penguasa dan pengusaha tingkat lokal serta daerah pun mengunjungi para korban. Kemudian disusul para pengusaha dan penguasa tingkat pusat. Mereka prihatin dengan bencana itu, ya Sarmin dapat merasakannya. Tapi, apakah cukup dengan keprihatinan saja? Sejenak pena Sarmin terhenti.
Kemudian dia menulis lagi: Apa pun kesimpulan yang diambil para pemegang kebijakan, yang pasti – ketika bencana tiba – di kawasan Bukit Lawang terdapat ribuan meter kubik kayu log.
“Minggu (2 November) malam itu,” tulis Sarmin lagi, “kilat yang menyambar-nyambar di antara gelapnya awan di puncak Gunung Leuser tak diperkirakan akan membawa malapetaka bagi kami yang menghuni kawasan bagian hilir (Bukit Lawang). Semuanya sangat cepat. Cuma 20 menit,” pena terhenti, air mata Sarmin menetes membasahi tikar.
“Banjir berawal sekitar pukul 19.00. Tepat pukul 22.00, suara gemuruh, langsung menghantam apa saja yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Bohorok. Pusaran air yang begitu kuat menyebabkan aku tidak mampu menyelamatkan istri dan ketiga anak, ibu serta mertua, juga saudara-sadaraku,” tulisnya lagi.
Di tengah gemuruh air dan derak kayu yang menerobos perkampungan, Sarmin masih mendengar jeritan-jeritan minta tolong. Akan tetapi seperti warga lainnya, dia pun sebenarnya tak mampu menyelamatkan diri sendiri. Hanya keajaibanlah yang membuat Sarmin selamat.
Ya, dalam waktu 20 menit saja, desa itu sudah rata dengan tanah. Tidak ada yang tersisa. Yang terlihat Sarmin, gunungan kayu gelondongan tanpa kulit dan kedua ujungnya bekas potongan sinso. Hanya sebagian kecil kayu-kayu bersama akarnya, tersebar di beberapa titik di kampung wisata tempat dia, keluarga dan anak-anaknya mengais rezeki, bermain, tertawa serta menangis
Kayu-kayu yang menumpuk di sana-sini itu terdiri dari merbau, meranti batu, dan kayu-kayu hutan primer lainnya. Tak sedikit dari kayu-kayu itu berdiameter mencapai dua meter dengan panjang sedikitnya 30 meter. Rumah-rumah, penginapan, cottage dan lainnya porak-poranda.
Terlihat Sarmin juga lima mobil pribadi dan dua bus berbadan besar yang sedang berada di areal parkir tidak luput dari terjangan banjir. Satu bus besar bermerek Pembangunan Semesta – yang biasa melayani trayek Bukit Lawang-Medan bernomor polisi BK 7020 LB – ikut terjungkal bersama satu jip Daiahtsu Taft Rocky. Sisanya terjepit di antara balok-balok kayu yang berukuran besar.
Saat dirawat RS, Jumat (7/11) sore, beberapa wartawan mewawancarainya. Sarmin mengatakan, kayu-kayu yang dirambah dihanyutkan dari hulu pada malam hari. Setiap malam sedikitnya sepuluh balak dihanyutkan.
“Waktu saya mengantar turis, terdengar suara sinso meraung-raung di tengah belantara Leuser. Tetapi karena daerah tersebut dikatakan oleh Dinas Kehutanan adalah daerah terlarang, kami tak berani masuk. Di samping itu, Polisi Khusus (Polsus) alias ranger dari Dinas Kehutanan terlihat malang-melintang dan bebas berkeliaran di daerah itu,” ungkap Sarmin.
Katanya lagi, aksi itu sudah barlangsung selama sekitar satu tahun, sebelum tragedi yang mengenaskan terjadi. Sayangnya aparat penegak hukum tidak berani bertindak.
“Kami mendiamkan saja aksi perambahan hutan tersebut, karena takut diteror. Jika melarang, bisa-bisa masa depan kami untuk tinggal lama di kawasan Bukit Lawang hanya impian. Bahkan ancaman dan teror akan kami rasakan bila terlalu mengurusi aksi liar itu,” tegas Sarmin yang kini hidup sebatang kara.
Kepada wartawan yang mewawancarainya, Sarmin yang jebolan D3 Jurusan Pariwisata ini berharap pencurian kayu yang jadi penyebab bah ini dapat dibuktikan dan pelakunya dapat diseret ke meja hijau.
“Hutan di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Bohorok porakporanda. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut, ditumpuk, kemudian dihanyutkan lewat sungai dan ditampung di Pantai Pisang, selatan Bukit Lawang,” jelasnya kepada wartawan.
Akibat perambahan hutan itu, daerah pegunungan di sepanjang aliran sungai tanahnya menjadi retak dan gampang longsor. Pasalnya akar-akar kayu yang besar sebagai resapan air dan penyangga pori-pori tanah agar tetap stabil – tak mudah longsor – habis dibabat. Kayu-kayu besar, punah ditebang para maling kayu untuk dijadikan papan maupun broti yang dihanyutkan melalui sungai itu.
Katanya lagi, penebangan kayu secara liar, hanya sekitar ratusan bahkan puluhan meter saja dari atas bukit ke aliran Sungai Bohorok. Kayu-kayu tersebut – setelah ditebang – dijatuhkan melalui jurang ke sungai untuk dihanyutkan menuju lokasi pengolahan guna dijadikan papan atau broti. Adanya bekas jalan untuk menjatuhkan kayu ini – apabila hari hujan – air akan mengalir dari sana, maka terjadilah longsor.
“Saya dan anggota masyarakat sekitar daerah tujuan Wisata Bukit Lawang hampir setiap malam melihat ada balok yang hanyut, meski tidak mengetahui siapa pemiliknya. Guna mengatisipasi longsor, kami masyarakat yang mendiami DAS Bohorok – khususnya masyarakat yang ada di daerah Wisata Bukit Lawang – telah membuat surat undangan rapat. Ternyata, sebelum diadakan rapat, banjir bandang terlebih dahulu datang. Sangat tiba-tiba sekali, dalam hitungan menit, bencana itu meluluhlantakkan Bukit Lawang,” cerita Sarmin.
Setelah berita itu terbit di surat-surat kabar terbitan Medan dan Jakarta, serta ditayangkan di media elektronik, Sarmin didatangi seseorang dan dua temannya.
“Kalau kau tak mau diam, dengan sangat terpaksa kami akan melenyapkanmu,” kata seseorang itu ketika ia dirawat.
“Mulai hari ini, kau akan dirawat di tempat khusus yang tak akan diketahui oleh para wartawan,” kata seseorang, sementara dua kawannya mengangguk.
Seterusnya atas izin rumah sakit, Sarmin dirawat di sebuah tempat yang dia sendiri pun tak tahu namanya. Setelah agak sehat, Sarmin ditempatkan di penampungan bersama korban-korban lainnya. Kini ia hanya mencoba menulis catatan harian. Apakah ada yang membaca atau tidak, bukan masalah bagi Sarmin. Ia hanya ingin menulis saja.
Malam terus bernyanyi dengan iramanya sendiri. Sampai kapan pula Sarmin berada di penampungan ini, waktu jualah yang akan menjawabnya. ***


























Bab Duapuluh

Tormatutung

6 Desember 2005 Selasa malam sekira pukul 20.00, petir menyabar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan pun turun sangat lebat sekali. Dari daerah perbukitan terdengar suara deru yang sangat kuat. Listrik tiba-tiba padam. Gelap gulita.
Salman Panjaitan berteriak-teriak memanggil istrinya. Yang menjawab hanya deru sungai Asahan. Angin dan tanah tiba-tiba menghujani rumah mereka yang terbuat dari papan separo tepas. Bayi Salman yang baru dua bulan meraung-raung dalam gelap. Salman dengan segenap kemampuan menjangkaunya. Sementara suara istrinya yang berteriak minta tolong dari arah sungai Asahan terdengar sayup-sayup sampai.
Air sungai meluap dan tanah longsor menerkam kediaman mereka. Rumahnya roboh seketika, tetapi Salman bersikukuh memeluk bayinya. Air yang deras mencampakkan Salman dan bayinya ke tengah-tengah sungai Asahan. Salman bertahan, tapi air terus mencampakkannya ke kanan dan ke kiri. Bayi dua bulan itu lepas dari tangannya. Salman berteriak sekuat-kuatnya, histeris, tapi suaranya lenyap ditelan deru sungai Asahan dan kegelapan malam.
***
Jumat pagi 9 Desember 2005, Valent dan tim tiba di Desa Marjanji Aceh Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Terlihatlah kondisi alam yang mengenaskan. Hutan gundul dengan pohon-pohon meranggas, nyaris kering. Sementara, dolamit terus dikorek seperti tanpa hambatan. Sedangkan Salman begitu juga yang lain masih dibalut duka dan perban penutup luka fisik.
Risman pun harus tabah melihat anaknya Risma, 8 tahun, diseret longsor kemudian dibawa arus sungai Asahan sejauh 12 km sementara harta benda dan rumahnya hancur. Meski Risma selamat, tak urung meninggalkan luka bagi fisik dan jiwa mereka. Empat kepala keluarga (KK) kehilangan tempat tinggal, belasan lainnya kehilangan sebagian harta bendanya.
“Aku seperti lelaki yang tak berguna. Bayiku bisa lepas dari gendongan dan tenggelam di dingin malam,” tutur Salman ketika Valent menyerahkan bingkisan tanda duka cita.
“Jangan menyesali nasib. Akar-akar pohon dan batu dolamit itu merupakan penyangga tanah. Jika akar pohon tak ada lagi, sementara dolamit juga dikorek, tanah tak punya ikatan apa pun. Maka begitu hujan datang, terjadilah longsor”.
“Ya, pengorekan dolamit besar-besaran, berlangsung di Desa Meranti Timur Kecamatan Pintu Pohon Meranti Tobasa yang bersebelahan dengan desa tempat terjadi bencana longsor. Jika tak segera dilakukan perbaikan lahan seperti reboisasi dan menghentikan kegiatan perusakan lingkungan, kelak bencana serupa akan datang lagi. Kami masyarakat yang bermukim di seputar desa ini, jika hujan akan turun, terus was-was dan berdoa. Kami selalu cemas,” begitu warga bertutur kepada Valenti dan rombongan.
Ketika hendak pulang ke Medan, ada razia yang dilakukan Satlantas. Saat melintasi jalan lintas Sumatera (jalinsum), mobil Valent distop, oknum petugas menanyakan dari mana? Dijawab: melihat kerusakan hutan dan mencari pelakunya. Ironsinya, ketika itu oknum Polantas mengatakan: tak kan mungkin dalang intelektualnya tertangkap, sebab yang mem-backing adalah Kapolres. “Ada apa, kok sampai oknum polantas bicara demikian?” bisik hati Valent.
***
Akhir September 2005, tujuh mahasiswa pencinta alam sedang menuju lokasi hutan Tormatutung melintasi desa-desa yang indah. Tanpa lelah mereka telusuri jalanan setapak guna melihat kondisi hutan yang porak-poranda dibabat para maling kayu. Jika kondisi ini dibiarkan, desa-desa yang ada di sekitar Tormatutung yang indah dan subur pastilah menerima dampaknya. Sekarang saja, jika hujan lebat mengguyur bumi, kerap terjadi longsor yang membawa korban harta maupun nyawa. Sesampai di wilayah yang dianggap layak, ketujuh mahasiswa menurunkan beban di pundak masing-masing dan bersiap mendirikan kemah.
Tiba-tiba, lima lelaki berseragam dengan tubuh tegap-tegap berteriak “jangan bergerak” sembari menodongkan senjata laras panjang ke arah para mahasiswa. “Kami mau berkemah Pak,” salah seorang mahasiswa dengan setengah keberaniannya berujar.
“Berkemah atau mau mengganggu cari makan para penebang kayu?” hardik lelaki berseragam sementara keempat rekannya mempersiapkan gari yang akan dikalungkan ke tangan mereka.
“Kami hanya ingin berkemah, Pak,” tegas para mahasiswa serempak.
“Nanti semua jelaskan di kantor,” tutur lelaki berseragam. Seiring dengan itu keempat lelaki berseragam lainnya memasukkan gari ke tangan para mahsiswa. Satu gari untuk dua orang. Sedangkan yang dianggap pemimpin mahasiswa garinya disatukan dengan lengan lelaki berseragam. Mereka digeret menelusuri rimba untuk dibawa ke kantor sebagaimana dimaksudkan lelaki berseragam.
“Bapak kenal dengan Bang Valent?” tanya seorang mahasiswa.
“Dokter Robert Valentino Tarigan yang Anda maksud?” lelaki berseragam kembali bertanya.
“Betul Pak,” jawab mahasiswa serempak.
“Kalian apanya?” tanya lelaki berseragam, intonasi suaranya mulai rendah..
“Anggotanya, Pak,” jawab mereka serempak. Mendengar itu, kelima lelaki berseragam menghentikan langkah.
“Kalau begitu, kemasi kemah serta barang-barang kalian segera ke luar dari hutan ini dan jangan kembali lagi! Titip salam buat Pak Valent, katakan padanya kami dan kawan-kawan hanya mencari makan,” tegas lelaki berseragam. Kemudian gari-gari pun dibuka. Segera mereka mengemasi barang-barang dan pergi meninggalkan Tormatutung.
***
28 Oktober 2005. Malam kian meninggi. Dokter Valent – demikian orang-orang memanggilnya – masih berada di kantornya. Ya, dokter yang menggantungkan stetoskop dan mengelola bimbingan belajar itu, memang kerap berlama-lama di kantornya. Hatinya selalu gelisah melihat kenyataan lingkungan yang kian hari kian rusak.
Padahal, lingkungan umpama ayam bertelur emas, yang jika dirawat, setiap saat akan menghasilkan. Tetapi jika ayam dipotong, yang datang adalah bencana karena ketiadaan sumber penghasilan. Bagaimana mau menyekolahkan anak, bila kemiskinan melingkupi? Karena tak sekolah, maka kebodohanlah yang datang. Karena bodoh, maka miskinlah. Miskin karena bodoh, bodoh karena miskin. Kemiskinan permanen. Demikian pikiran yang menggayuti benaknya, sehingga rela sampai malam berada di kantor atau bersama rakyat dalam perjuangan menyelamatkan pohon.
Dentang jam sudah berbunyi sebelas kali. Tiba-tiba kesunyian pecah dengan riuh rendah suara-suara manusia seakan mengepung lokasi tempat lelaki itu menyelenggarakan pendidikan. Ia pun ke luar dari kamar kerjanya. Sampai di luar pagar, terlihatlah wajah-wajah seperti tak bersahabat. Tetapi mereka hanya berputar-putar di sekitar jalan lokasi pusat bimbingan tersebut. Ada juga di antara mereka mengenakan seragam dinas, dan ada pula yang memakai kendaraan dinas. Jumlahnya tak kurang dari seratus orang.
Lokasi bimbingan itu memang seperti dikepung. Dokter Valent segera mengontak kawan-kawannya aktivis untuk menyaksikan hal itu.
“Kenapa mereka harus menakut-nakuti dan memata-mataiku,” ujar Sang Dokter ketika dua rekan aktivis sampai di lokasi itu.
“Itu karena Abang menginvestigasi dan menyoroti kasus illegal logging di wilayah ini termasuk Tormatutung. Gerakan ini kan sangat mendukung telegram Kapolri kepada semua Kapolda yang ada di Indonesia untuk memprioritaskan pemberantasan kasus illegal logging. Sehingga mereka takut akan disikat jika gerakan Abang terus dilancarkan” beber Vivi Kananda.
“Tapi aku kan belum pernah buat stetmen apa pun tentang Tormatutung. Bahkan meninjau lokasi itu pun belum,” ujar Sang Dokter.
“Beberapa rekan masiswa pernah mau mengivestigasi kondisi Tormatutung. Mereka set agar jangan tercium, bahwa mereka hanya ingin berkemah. Tapi kacung-kacung pengusaha mencium gerakan itu dan mengintimadasi mahasiswa. Ketika itu, mereka menyebut-nyebut nama Abang,” Vivi menjelaskan.
. “Aku kan tak tahu masalahnya, kenapa harus aku yang diteror. Yang membuat bingung dan tertanya-tanya, apakah aku seorang penjahat atau residivis kelas kakap atau seorang teroris? Padahal aku hanya seorang aktivis lingkungan dan guru,” jawab Sang Dokter.
Setelah hampir setengah jam rombongan orang-orang yang berwajah seram itu mengelilingi lokasi belajar itu, akhirnya bubar satu-satu.
Selanjutnya, Dokter Valent membawa dua rekan aktivis itu ke ruang kerjanya.
“Bila Valentino salah, cukup surat perintah saja yang dibawa oleh 2 atau 4 orang petugas bukan ratusan polisi,” katanya setelah duduk.
“Ya, harusnya begitu,” jawab keduanya.
Kemudian Sang Dokter mengontak kepala lingkungan (kepling) di wilayah itu untuk mencari tahu, apa rencana orang-orang berwajah seram tersebut.
“Menurut informasi masyarakat dan rumor, pengepungan itu adalah perintah senior ke junior,” jawab sang kepling.
“Apakah itu boleh?” tanya Sang Dokter.
Peristiwa ini disaksikan oleh beberapa masyarakat yang pada malam itu sedang melintasi jalan itu. “Sunar, salah seorang masyarakat daerah itu juga melihat di sepanjang jalan tersebut terdapat kedai/warung kopi yang dipenuhi oleh polisi berpakaian preman. Ini diketahui Sunar ketika salah seorang menyapanya. Tahulah Sunar bahwa yang menyapa adalah anggota Polsek. Sunar adalah salah seorang tokoh masyarakat,” beber kepling via telepon selular.
Tak lama kemudian Udin sang kepling hadir di ruang kerja Valentino.
“Saat itu aku berada di sekitar lokasi dan mendengar suara ribut-ribut. Aku menegor orang–orang yang ada di kedai tersebut: “Woi ribut kali kalian”. Jawaban pemilik kedai: “Bang, mereka itu polisi–polisi”, cerita Udin.
Esoknya, seluruh informasi tentang peritiwa pengepungan itu dikumpulkan. Pengakuan pemilik kios rokok di di belakang lokasi bimbingan itu atau di samping hotel bernama Das, kepada Udin mengaku malam itu ada 3 orang polisi dari polsek di kiosnya. Ketiganya sering menerima telepon dari dalam hotel yang juga ketika itu kelihatan banyak polisi berpakaian preman/biasa. Salah seorang polisi tersebut keluar masuk hotel, seolah-olah ada petinggi polisi yang menggerakkan mereka tersebut.
***
8 November 2005 sore, Machfud Kapolres A menyediakan waktu bertemu Valent di Café Dome Sun Plaza Medan. Machfud yang ketika itu bersama salah seorang berperawakan toke bertatap mukalah dengan Valentino yang didampingi oleh Vivi Kananda Siregar dan Hiban As.
Terjadi dialog hangat antara Velentino dengan Machfud yang bersumpah tidak mengetahui peristiwa pengepungan tesebut. Malah Machfud mengaku tak mengenal Valentino. Karena demikian bersemangatnya, jari telunjuk kanan Machfud berkali-kali diarahkan ke wajah Valentino. Tentu saja Valentino jadi gerah melihatnya.
“Abang boleh mengatakan apa saja, tapi tolong tangan Abang jangan main tunjuk-tunjuk begitu,” tutur Valentino. Spontan Machfud menurunkan tangan dan menggeser kursi duduknya lebih ke belakang.
***
Hari-hari berikutnya, Valent sangat ingin mempertanyakan peristiwa pengepungan lokasi bimbingan belajarnya kepada Kasat Reskrim Poltabes kotanya – yang dulunya Kasat Reskrim Polres A – tetapi selalu tidak berhasil. Dalam pada itu, di Poltabes, suatu sore awal Desember Valentino bertemu dengan Kapoltabes Kombes Irdah yang sedang melihat tersangka narkoba baru tertangkap di dalam sel Poltabes. Ketika itu Kapoltabes mengatakan bahwa mungkin saja yang mengepung bimbingan belajar yang dipimpin Valentino adalah orang-orang yang mengaku polisi alias polisi gadungan. “Anggota saya baik-baik semua,” kata Kapoltabes ketika itu.
14 Desember 2005, Valentino menginformasikan peristiwa tersebut berikut menyampaikan pengaduan tertulis ke Polda yang diterima oleh Waka Poldasu Brigjen Drs Rubbani Pranoto. Lalu Valentino sebagai pelapor berikut saksi TKP Vivi Kananda Siregar dan Ijik diperiksa di Propam Polda. Esoknya harinya (Kamis 15/12) Nazaruddin alias Udin, Kepling juga diperika sebagai saksi.
Di Propam, Valentino diperiksa Juper Alfred Simanjuntak, Vivi juga diperiksa oleh Alfred Simanjuntak. Sedangkan Ijik diperiksa oleh Juper Nasran.
16 Desember sekira pukul 15.00 Valentino dengan Malik dan salah seorang wartawan bertemu Kasat Reskrim Poltabes Sandi Nugroho di ruangannya. Terjadi juga dialog hangat dan kemudian diberitakan Harian M Sabtu (17 Desember 2005) halaman depan.
Berbilang bulan, bahkan tahun pun berlalu pengaduan Valent ke Propam Polda tak jelas rimbanya. Sementara orang-orang seperti Salman yang berumah di dekat sungai terus cemas akan bahaya longsor dan banjir.***





















Bab Duapuluhsatu

Jebakan

Sembilan lelaki bertubuh atletis, sebagian berambut cepak, sebagian lagi gondrong, berkumpul di sebuah cafe. “Kita harus melakukan perlawanan,” kata seseorang yang berkumis tebal.
“Bagaimana caranya?” jawab yang lainnya.
“Inilah makanya kita berkumpul. Gelagatnya sudah tidak baik, dia merusak cari makan kita. Sebentar lagi si Bos pun diserangnya. Lihatlah, dia sudah masuk ke Dairi, Asahan, Tobasa. Wilayah advokasinya sekarang tidak hanya di Tanah Karo.”
“Di Dairi, tepat di hutan Siempat Nempu, ketika itu palong dikawal oleh pasukan berlaras panjang berpakaian lengkap. Tapi dia dan tim masuk ke panglong, cukup berani bedebah itu. Entah apa yang dicakapkannya kepada pengawal-pengawal Aseng sehingga membebaskannya menyunting kegiatan panglong, dari masuknnya kayu sampai jadi papan atau broti. CD-CD-nya kemudian bererdar ke mana-mana,” sambung yang lain.
“Tak ada sulitnya untuk menghabisi bedebah itu,” jawab lelaki berambut gondrong, “satu peluru saja, selesailah.”
“Itu bukan penyelesaian. Peristiwa Munir saja tak mampu dipikul negeri ini. Jangan sampai Valent jadi ikon berikutnya. Cukuplah Munir. Dan kalau kita tidak cermat dan hati-hati, citra petugas bisa rusak,” jawab yang berkumis tebal dan berambut cepak.
“Kalau begitu, dia harus kita tangkap dalam kasus kriminal.”
“Ia tidak punya catatan kriminal. Dia tidak pecandu narkoba, tidak ke diskotik. Hari-harinya dilalui di jalur lurus.”
“Kalau begitu ia kita jebak,” kata yang berkumis tebal lagi.
“Setuju!” jawab yang lain
***
“He, keparat! Kalau kau jantan temui aku di lobbi Hotel T malam ini,” demikian sebuah SMS (pesan singkat) tertulis di telepon genggamnya. Dari siapa? Tentu saja lelaki 40-an itu tidak tahu. Valent hanya menduga, kalau SMS itu berasal dari orang-orang yang terusik dengan gerakan advokasi lingkungan yang dilakukannya selama ini.
Dengan tenang, Valent menghubungi rekan-rekan agar datang ke kantornya. Malam baru saja tiba. Karena bulan Ramadan, umat Islam tentu saja telah melaksanakan berbuka puasa dan shalat Maghrib. Hiban AS yang dihubunginya sudah tiba di lokasi bimbingan belajar tersebut.
“Sudah berbuka Bang?”
“Sudah,” jawab Hiban. Lantas Valent memperlihatkan SMS yang baru diterimanya. Keduanya duduk di bangku panjang yang tersedia di dekat pintu masuk ruang kerja para karyawan. Di depan, lapangan luas yang sehari-hari digunakan sebagai tempat parkir kendaraan siswa yang ikut bimbingan.
“Gila, mereka sepertinya mau main petak umpet dengan kita,” sambung Hiban.
“Biar Abang tahu, kemarin mobilku ditabrak dari belakang.”
“Ya, mereka beraninya memang cuma demikian. Harusnya, mereka mengadukan Pak Valent karena telah melakukan pencemaran nama baik. Dari beberapa kali diskusi dan seminar, pernyataan-pernyataan Bapak termasuk tulisan-tulisan di surat-surat kabar – kalau mereka mau dan berani – dapat diajukan ke pengadilan.”
Suasana bimbingan itu mulai agak ramai. Malam ini rupanya ada rapat tentor (guru pembimbing).
“Persoalannya, mereka memang maunya demikian. Harusnya, sebagai penegak hukum mereka yang memberi contoh proses penegakan hukum. Bukan main lempar batu sembunyi tangan seperti ini.”
“Sebentar ya Bang aku tinggal dulu? Aku ada kerja sedikit. Sebentar lagi Sugiat datang. Abang tunggu saja di sini?” Valent memasuki ruang kerjanya. Sedangkan Hiban menunggu di bangku panjang yang menghadap lapangan terbuka.
***
Setahun yang lalu. Selasa malam sekira pukul 20.00, petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan pun turun sangat lebat sekali. Dari daerah perbukitan terdengar suara deru yang sangat kuat. Listrik tiba-tiba padam. Gelap gulita.
Salman Panjaitan berteriak-teriak memanggil istrinya. Yang menjawab hanya deru sungai Asahan. Angin dan tanah tiba-tiba menghujani rumah mereka yang terbuat dari papan separo tepas. Bayi Salman yang baru dua bulan meraung-raung dalam gelap. Salman dengan segenap kemampuan menjangkaunya. Sementara suara istrinya yang berteriak minta tolong dari arah sungai Asahan terdengar sayup-sayup sampai.
Air sungai meluap dan tanah longsor menerkam kediaman mereka. Rumahnya roboh seketika, tetapi Salman bersikukuh memeluk bayinya. Air yang deras mencampakkan Salman dan bayinya ke tengah-tengah sungai Asahan. Salman bertahan, tapi air terus mencampakkannya ke kanan dan ke kiri. Bayi dua bulan itu lepas dari tangannya. Salman berteriak sekuat-kuatnya, histeris, tapi suaranya lenyap ditelan deru sungai Asahan dan kegelapan malam.
***
Dua tahun yang lalu. 2 November, sejak senja, hati Sarmin, lelaki 35 tahun gelisah. Tak tahu apa yang digelisahkan. Usai berbuka puasa dan shalat Maghrib, ia berdoa sangat panjang sekali. Tetapi tak juga menemukan jawaban kenapa hatinya gelisah.
Usai makan malam dan shalat Isa, kegelisahan hatinya memuncak jadi resah. Sarmin pun menenangkan diri ke luar mencari angin. Anaknya Retno yang berumur 3 tahun ingin ikut, tapi dibentaknya.
Di atas sesekali terdengar guruh yang memancarkan kilat. Mungkin inilah aba-aba yang tak tertangkap oleh warga Bahorok dan Sarmin. Ya, begitu petir seakan-akan membelah langit sambung-menyambung, kemudian menumpahkan air yang sangat banyak – tersentaklah Sarmin dan mungkin yang lain – bahwa ini tidak biasa. Sarmin menerobos lebatnya hujan, berburu cepat agar segera sampai ke rumah.
Di hulu, suara gemuruh air yang penuh misteri membawa kabar bencana memang segera tiba. Sarmin terlambat sampai di kediamannya. Rumah papannya telah rubuh. Ia berteriak-teriak di gulita malam itu. Tak ada yang dapat mendengar. Jeritan suara-suara makin riuh. Ketika kilat menyambar, sekilas terlihat oleh Sarmin wajah istrinya memeluk Retno – anak mereka yang bungsu – dan berusaha melawan derasnya arus air sungai. Ibu, mertua, dan kedua anaknya yang lain tak terlihat.
Dengan sigap Sarmin melompat, mencoba menyelamtkan istri dan anaknya. Sementara, ibu kandung, mertua, dua lagi anaknya, serta saudara-saudara yang lain tak terpikirkan oleh Sarmin. Ya, dengan segenap kemapuannya, Sarmin berhasil menggapai kedua tubuh yang berpelukan di gulita malam dengan dingin membawa gigil. Saat rengkuhan kian kuat, sebuah balok besar menerjang rusuk Sarmin. Tercampaklah lelaki itu kembali ke pinggir sungai. Arus deras menggiring istri dan anaknya ke tengah sungai. Sarmin tak sadarkan diri.
***
Di ruang kerjanya, Valent terbayang korban-korban banjir, longsor dan bencana alam lainnya. Tak dapat ia berkosentrasi dengan tugas-tugasnya. Korban-korban itu memangil-manggilnya agar berbuat... berbuat... dan berbuat menghentikan perusakan lingkungan. “Aku sudah mencoba. Tapi apalah daya, aku hanya seorang guru,” bisik hatinya.
Valent teringat pula, sejak beberapa tahun ini, hidupnya selalu diawasi oleh orang-orang dengan berbagai tipe. Belakangan, sesuai banjir di Langkat, Aceh Tamiang, longsor di Madina dan bencana lainnya, terror terhadapnya makin gencar. Ia yakin, orang-orang itu adalah suruhan para maling kayu dalam rangka memukul mentalnya. Saat makan di warung, menuju luar kota, bahkan di rumah sekalipun selalu diawasi.
Seminggu yang lalu, mobil yang dikendarainya ditabrak dari belakang. Untung ketika itu, ia dapat menaham emosi, sehingga tak bertindak gegabah. Yang menabrak ketika itu mengaku sopir seorang dokter. Badannya tegap, rambut cepak, tinggi berkisar 170 cm.
Keesokan harinya, oknum yang mengaku sopir dokter itu datang ke kantornya bersama seorang rekannya, juga berambut cepak. Seluruh kerugian dari peristiwa tabrakan itu digantinya.
Setelah dilakukan penyelidikan, oknum yang mengaku sopir dokter itu, ternyata seorang oknum polisi yang ada di wilayah tersebut. Valent pusing. Ia benar-benar muak dengan permainan para oknum seperti ini. Akhirnya ia tinggalkan buku-buku yang harusnya diperiksa, berserak di meja kerja. Valent berjalan ke luar.
***
“Hallo Bang, kok melamun. Bang Valent mana?” Sugiat menyapa Hiban.
“Di ruang kerjanya.”
“Mau ke mana kita sebenarnya?” tanya Sugiat lagi setelah duduk di samping Hiban.
“Mungkin mau menjumpai orang yang meng-SMS Pak Valent.”
“Siapa rupanya dia.”
“Aku juga gak tahu.”
Seiring dengan itu, Valent ke luar dari ruang kerjanya, kemudian menemui Hiban dan Sugiat. Sejurus ia memanggil nama Tarigan, yang serta merta muncul dari sebuah kamar tempat karyawan-karyawan nginap.
“Ayo kita bergerak,” Valent mengajak Tarigan, Hiban dan Sugiat menaiki mobil. Valent duduk di belakang stir. Sugiat di sampingnya. Di tempat duduk belakang, Hiban dan Tarigan.
Sekitar sepuluh menit, sampailah mereka di pelataran parkir hotel berbintang lima yang cukup megah di kota mereka. Kunci mobil diberikan Valent ke Tarigan. Lalu Hiban, Sugiat, dan Valent bergerak ke arah lobbi hotel yang dimaksudkan. Tak ada tanda-tanda orang yang mereka tuju ada di situ.
Suasana tenang, hanya terdengar desis dari percakapan-percakapan ringan orang-orang yang ada di lobbi itu. Pengunjung hotel dengan kesibukan masing-masing. Di pelataran parkir terlihat beberapa mobil dengan plat polisi bernomor seri KR (Kode Rahasia) dan NR (Nomor Rahasia).
“Di mana mereka,” tanya Sugiat.
“Kita tunggu saja,” jawab Valent sembari meng-SMS orang yang dimaksud.
15 menit berlalu, tak ada jawaban. Orang yang ditunggu pun tak juga datang. Ketiganya mulai gelisah. Valent berjalan menuju ke arah parkir. Hiban dan Sugiat mengikuti. Sampai di dekat mobil yang diparkir, Tarigan datang menghampiri.
“Pak Tarigan, tolong belikan rokok,” ungkap Valent sembari memberikan uang. Tarigan segera berlalu.
“Lihatlah, mereka pasti ada di sini. Para maling memang cumanya berani bermain sembunyi-sembunyi,” celoteh Valent.
“Mana berani mereka bermain di ruang terbuka,” sambung Hiban.
“Pastilah,” Sugiat menimpali.
Tak lama, Tarigan sampai dan memberikan rokok kepada Valent. Lalu ketiganya kembali menuju ke lobbi hotel yang berada di luar ruangan, tempat mereka duduk tadi.
“Gimana, kalau kita minum?” tanya Valent.
“Cocoklah,” jawab Sugiat dan Hiban. Tanpa dikomando, Hiban memasuki ruangan tempat pemesanan makanan dan minuman.
“Bisa diantar ke luar?” tanyanya.
“Boleh,” kata sang pelayan.
Tak begitu lama, pesanan mereka, dua cangkir kopi dan segelas juice timun serta dua
porsi pisang goreng – yang satu porsinya hanya dua buah – pun datang. Kedua gelas kopi untuk Hiban dan Sugiat, sedangkan juice timun untuk Valent.
Sembari makan, terdengar telepon genggam Valent berbunyi. Rupnya SMS dari orang misterius tadi. Isinya mengajak ketemu di KTV-7 Karoeke S.
“Ini jebakan,” kata Hiban.
“Iya Bang,” Sugiat menguatkan. Valent mengerutkan kening.
“Begitupun, kalau Pak Valent sedia menghadapi jebakan ini, saya siap.”
Suasana diam lagi.
Usai menghabiskan makanan dan minuman, Valent bergerak ke arah KTV-7 Karoeke S yang hanya beberapa meter dari lobi hotel tersebut. Hiban dan Sugiat mengikuti.
Suasana remang-remang, lampu kelap-kelip beraneka warna dan musik mengalun. Dari sebuah sudut, samar-samar terlihat seorang lelaki berwajah klimis melambaikan tangan kepada Valent dengan cahaya senter kecil di tangan kanannya, sebagai penunjuk keberadaannya di sebuah sudut cafe KTV-7 itu. Valent dan dua kawannya menuju ke sudut dimaksud.
Setelah Valent dan kawannya duduk, mancis dihidupkan lelaki klimis yang ditemani dua kawannya berambut cepak. Pelayan datang mempertanyakan pesanan. Valent dan dua kawannya memesan softdring. Terjadi percakapan, saling memperkenalkan diri dengan basa-basi dan wajah yang dimanis-mansikan.
“Gimana sekolah kita?” tanya lelaki klimis.
“Biasa Bang. Tapi apa maksud Abang meng-SMS aku dengan bahasa tidak sopan seperti itu?” Sergah Valent.
“Supaya Pak Valent penasaran dan mau bertemu denganku. Itu saja. Sehingga kita bisa membicarakan, apa sih sebenarnya yang Bapak dan kawan-kawan maui dengan gerakan pelestarian lingkungan?”
“Tidak ada Bang, selain agar hutan-hutan tidak ditebangi sesuka hati. Sudah begitu banyak korban yang jatuh.”
Dua lelaki berambut cepak permisi meninggalkan tempat itu. Lelaki klimis mengangguk, begitu juga Valent dan dua kawannya.
“Jujur saja, gerakan Bapak mengganggu kawan-kawan cari makan!”
“Saya tak tahu itu Bang. Yang saya pikirkan, jangan gara-gara kepentingan segelintir orang, merusak alam dan mencelakakan masyarakat luas yang tidak berdosa.”
“Kalau begitu, Anda membuka front dengan kami! Permisi,” lelaki berwajah klimis meninggalkan tempat itu.
“Silakan!”
Sekitar lima menit kemudian. Dengan sangat tiba-tiba sekali, muncul enam orang lelaki berambut cepak berbadan atletis. Tiga dari mereka menodongkan pistol ke tubuh Valent, Sugiat dan Hiban. Tiga lainnya mengalungkan gari ke tangan mereka.
Valent tenang saja. Sementara Sugiat dan Hiban protes: “Apa-apaan ini?”
“Anda-anda kami tahan karena telah menggunakan ekstasi,” ujar salah seorang di antaranya sembari memperlihatkan pantat botol minuman ringan yang dibawahnya ada ekstasi berwarna pink. Uniknya benda berbentuk pil, kecil bulat lepes tersebut, ditemukan pula di saku mereka masing-masing. Tentu saja ketiganya tak dapat melawan.
Namun, ketika ketiganya akan digiring dengan tangan digari, sekelompok lelaki – berjumlah delapan orang – dengan pistol di tangan masing-masing dalam posisi siaga berteriak: “jangan bergerak!”
“Kami dari Poltabes,” jawab salah seorang yang menangkap Valent dan kawan-kawan sembari memperlihatkan identitas.
“Tak peduli Anda-anda dari mana. Kami tim dari Detaseteman 88 dan 22 anti terror dan penembak jitu, pemberantas petugas-petugas jahat seperti kalian yang melakukan penjebakan kepada aktivis-aktivis dan orang-orang baik lainnya!” bentak seseorang dari kelompok yang datang belakangan.
“Berapa kalian dibayar Kasat Reskrim Poltabes yang pelindung maling kayu itu he,” tambah yang lain.
“Kami tidak dibayar siapa pun,” keenam lelaki berambut cepak membela diri.
“Nanti di kantor saja kalian jelaskan, apa yang selama ini kalian kerjakan.”
Enam lelaki berambut cepak digiring dengan tangan digari menaiki mobil patroli dengan cup terbuka. Sementara Valent, Sugiat, dan Hiban yang garinya sudah dilepas menaiki mobil sedan polisi lainnya.***


















Bab Duapuluhdua

Terkapar di Rumah Sakit

Di sebuah ruang rapat, digelar rapat rahasia para petinggi.
“Gila, kenapa bias lolos bedebah itu, apa ada yang berkhianat?” tanya si Bos.
“Ia punya jaringan kuat. Begitu jebakan kita pasang, ia pun mungkin memasang jebakan juga. Malam itu, tim antiteror dan juru tembak turun menghajar anggota kita,” jawab perwira yang lain.
“Komisaris, apa ia dilindungi Bos Besar,” tanya si Bos yang berpakat brigjen.
“Tak tahulah aku. Yang pasti malam itu kondisi sudah sangat kondusif. Tapi, entah dari mana orang-orang dari Detastemen 88 dan 22 mengetahui hal itu dan hadir di tempat. Kijang kita pun masuk perangkap.”
“Kalau begitu, kita harus habisi dia dengan cara yang manis,” sambung komisaris yang lain.
“Yang penting jangan sampai seperti Munir, jangan sampai ada jejak. Sebab, kematian Munir saja tak sanggup kita pikul. Setiap ada gerakan aktivis yang dihadang, orang-orang pasti mengingatkan agar jangan sampai terjadi Munir Kedua. Ya, Munir benar-benar jadi ikon. Jangan pula si bedebah ini jadi ikon berikutnya. Bangsa kita akan jadi sorotan dunia.”
“Kalau begitu, yang terbaik adalah dengan modus kecelakaan lalulintas,” sambung yang lain pula.
***
Pagi menjelang siang itu, Valent diundang oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) untuk menjadi salah seorang narasumber membicarakan strategi gerakan anti pencurian kayu. Ia memang menyetir sendiri mobilnya. Pagi itu, Valent bersama Hiban AS, yang selama ini kerap ikut dalam gerakan adovokasi hutan, meluncur tenang.
Sampai di simpang kampus, ketika akan membelok ke kanan, sedikitnya ada lima mobil mengikuti mereka. Di gerbang kampus, mobil yang dikendarai Valent mulai dipepet. Hiban memberi sinyal pada Valent agar hati-hati. Lelaki berkacamata itu mengangguk. “Tenang saja Bang, ini bukan lagi penguntitan, melainkan intimidasi dan teror,” tukasnya.
Tiba-tiba sebuah mobil Atoz menyalip dari kiri dan tak mempedulikan gundukan (polisi tidur) yang membentang di ruas jalan. Begitu sampai di depan mobil Valent, Atoz berhenti secara mendadak. Tentu saja Valent kewalahan, dan dengan satu kecepatan refleks, stir mobil Solunanya dibanting sekuat tenaga ke kanan. Secara dadakan dari belakang melaju cepat Kijang Inova, tercampaklah mobil Valent ke beram kanan kemudian membentur pohon sawit yang ditanam di pembatas jalan. Benturan sangat keras itu, membuat Valent dan Hiban tidak sadarkan diri.
***
Tak terlihat air condition (AC) di ruangan maha besar, luas dan megah itu, tetapi suasana demikian sejuk dan nyaman. Pepohonan berdaun lebat, di tengah ruangan tersebut mengalir sungai berair jernih. Dari pohon-pohon di pinggir sungai menetes butiran-butiran embun bagai kristal putih-putih ke dalam sungai. Lelaki berjongkok dan mencelupkan tangannya ke dalam sungai, lalu dicicip air sungai dari tangan kanannya. Ah... nikmatnya, air bening itu membawa rasa yang sama sekali tak dikenalnya. Serasa susu, anggur, manisan, entah apalagi, ia tak tahu. Yang ia tahu dan rasakan hanya rasa nikmat.
Tempat tersebut sama sekali tak dikenalnya: serba indah dan gemerlap, wewangian yang sangat menggairahkan, wanita-wanita cantik, pelayan-pelayan yang ramah tamah, siap menerima apa saja keinginan tamu. “Apakah aku tamu di sini hingga mereka wajib melayaniku. Tempat apa ini?” bisik Valent di dalam hatinya. Pepohonan dan sungai semua berada di dalam ruangan besar, indah, megah dan agung. Bukan lukisan, tetapi sebenar-benar pohon, sebenar-benar sungai, sebenar-benar wanita molek.
Entah siapa yang membawanya, tiba-tiba saja lelaki itu sudah berada di tempat tersebut. Rasa kaku, salah tingkah, dan berbagai ragam perasaan imperioritas lainnya menggayuti benaknya.
Ditatapnya lurus meja perhelatan yang memanjang di pinggiran sungai di bawah pohon, penuh berisi berbagai makanan lezat dengan aroma membangkitkan selera siapa saja. Bahkan ada pula makanan yang tak pernah sama sekali dilihatnya apalagi merasakannya. Berbagai minuman, anggur membabukkan dari berbagai merek terkenal dan jenis yang ada dunia, bahkan yang sama sekali tak pernah dikenalnya – baik dalam mimpi sekalipun – ada di meja tersebut.
Wanita-wanita cantik, yang dari penampilannya mudah diduga adalah perawan ting-ting dengan senyum manis menyambut dan dan mengajaknya berdiri dari jongkok di pinggir sungai. Si wanita mempersilakannya duduk. “Ayo Bang Valent,” ini semua memang disajikan buat Abang, bahkan diri kami. Valent tak menyahut, ia masih disergap keanehan. “Apakah aku sedang bermimpi?” bisik hatinya lagi.
Ruang serba mewah, lampu gemerlap, pernik-pernik hiasan, ornamen di dinding ruang, jalusi di bagian atas dinding, sama sekali tak pernah dilihat, tak dikenalnya. Dicubit kulitnya, terasa sakit. “Ah aku tidak sedang bermimpi. Tetapi, seorang pun dari para penyambut – wanita-wanita, ah tidak, mereka adalah para bidadari yang sangat menawan – dan hadirin di situ tidak dikenalnya. “Di manakah aku?” tanyanya lagi di dalam hati.
Valent tentu saja merasa aneh dengan kegemarlapan ini. Selama hidup, ia sangat bersahaja dan low profile. Begitu pula, kondisi kantornya tak mencerminkan kemegahan serta kemewahan sedikit pun. Sangat berbeda jauh dengan ruang tempat ia berada kini.
Ia dilahirkan di sebuah desa yang belakangan berubah jadi kota. Masa kanak dijalaninya bersama orang-orang desa yang sederhana. Begitu juga semasa SD (sekolah dasar), ia sempat menjalani hidup di panti asuhan. Itu pulalah sebabnya, Valent sangat dekat dengan kehidupan orang-orang desa dan rakyat kebanyakan. Ini bukan berarti ia tak punya akses kepada pejabat.
Dalam ketakmengertian, cahaya kuning keemasan muncul dari jalusi bagian utara ruangan setentang dengan penglihatanya. Spontan gadis-gadis muda melihat ke sana, para hadirin pun menyaksikan dengan seksama.
“Selamat datang di negeri kami Saudara Valent,” terdengar suara dari cahaya kuning keemasan itu yang perlahan-lahan mengujud lelaki ganteng berbadan kuda dengan sayap di kiri kanannya. Valent tak juga menjawab, ia masih setengah berdiri dan tak percaya dengan kondisi yang ada di hadapannya. “Sedang berada di manakah aku?” tanyanya lagi di dalam hati.
Tiba-tiba lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya tersenyum dan kemudian tertawa renyah. “Saudara Valent, kini Anda berhak menjadi warga negeri kami,” katanya.
Valent masih diam. Pikirannya bermain, negeri apakah ini, jika dilihat dari hedangan di atas meja, melukiskan suatu keadaan yang sangat wah. Tamu-tamu yang hadir memperlihatkan bahwa mereka adalah kaum bangsawan atau petinggi negara, pengusaha dan sejenisnya. Seumur-umur, baru kali ini ia menghadapi perhelatan dengan kemewahan yang tiada tara tersebut.
“Orang-orang mengatakan negeri kami ini adalah sorga,” kata lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya.
“Demikian mudahkah masuk sorga,” spontan kata-kata tersebut terlontar dari bibir Valent yang kemudian dipersilakan duduk oleh bidadari-bidadari.
“Ya, sangat mudah. Tapi kebanyakan manusia justru memilih jalan ke neraka meskipun dengan bersulit-sulit. Tidakkah Anda pernah membaca riwayat seorang pelacur masuk sorga hanya karena memberi minum seekor anjing yang akan mati karena kehausan?” Valent terdiam, ia menimbang-nimbang antara perbuatan dosa dan pahala yang pernah diperbuatnya. Rasanya tak pantas ia menerima kemahabaikan Tuhan yang memasukkannya ke sorga tanpa perhitungan antara amal kebaikan dan kejahatan.
“Siapa Anda?” tanya Valent.
“Aku adalah malaikat penghitung amal kebaikan dan kejahatan,” jawab lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya. Hadirin dan para bidadari tersenyum manis.
“Apa pantas aku berada di sini, bersama orang-orang suci, orang-orang tak bedosa?”
“Yang hadir di negeri ini tidak hanya orang-orang suci dan tak berdosa, juga orang-orang yang menyadari hakikat kebenaran yang termanifestasi dalam tindakan keseharian berisi kasih sayang.
Seperti kau dan pendahulu-pendahulu selalu berkata bahwa akhirnya yang benar juga yang menang. Benar sekali. Tapi orang-orang peragu akan bertanya: kapan? Lalu kalian menjawab kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar,” ungkap lelaki yang menyebut dirinya malaikat. Para hadirin di perhelatan itu manggut-manggut.
“Nah, kembali kepada riwayat pelacur masuk sorga, apakah sebanding perbuatannya yang setiap hari berzina – sebelum timbul niat bertobat – dengan hanya memberi minum seekor anjing, binatang yang suka menjilat? Tidak! tidak akan sebanding. Tetapi kasih sayangnya yang begitu besar, yang begitu tulus, sehingga seekor anjing pun ia tak tega teraniaya, mati dalam keadaan kehausan. Lalu ditimbanya air dari sumur yang ditemukannya di dalam perjalanan menuju tempat pertaubatan. Kemudian, air sumur tersebut diberikannya kepada si anjing sehingga lepas dari maut karena kehausan.
Anda adalah salah seorang dari sekian banyak orang yang mau menjaga mata air kehidupan. Setiap hari jiwa raga, Anda serahkan kepada dunia pendidikan dan perbaikan lingkungan. Sebagai dokter kesehatan Anda sebenarnya dapat hidup bermewah-mewah, tetapi hal itu tidak Anda lakoni. Justru Anda memilih hidup sebagai guru yang memberikan mata air pengetahuan kepada generasi penerus bangsa.”
Seiring dengan itu, jari telunjuk lelaki ganteng bertubuh kuda dengan sayap di kiri kanannya diarahkan ke dinding di sebelah selatan, di mana posisi Valent berada. Dari jari telunjuk itu memancar cahaya yang kemudian sampai di dinding terlihatlah gambar kehidupan Valent keseharian. Jari telunjuk kanan lelaki ganteng dengan tubuh kuda tersebut berfungsi seperti infokus. Valent mundur dan mengambil posisi agar dapat melihat film dirinya diputar pada acara perhelatan tersebut.
Terlihat suasana kantornya yang sangat sederhana. “Nah, Anda sebenarnya dapat hidup bermewah-mehawah dan mempraktikkan hedonisme, tetapi tidak Anda lakukan. Justru uang yang Anda miliki dari kerja keras mendidik anak-anak agar terbebas dari kobodohan, Anda manfaatkan untuk perbaikan lingkungan,” lanjut lelaki yang mengaku malaikat.
Ditampilkan pula bagaimana perjuangan Valent bersama rakyat wilayah gunung dan aparat menghentikan pencurian kayu. Mereka tangkap tukang sinso, tukang tebang kayu. Namun dalang intelektualnya tak juga dapat ditangkap, tukang sinsolah yang divonis bersalan dan harus menjalani hukuman penjara dan Valent merasa berkewajiban membiayai hidup tukang sinso dan keluarganya.
Uniknya ketika akan menghadap bupati wilayah gunung untuk minta pertangungjawaban atas kerusakan hutan di wilayah itu, justru dirinya ditodong oleh Sudarto – pengusaha kayu –dengan senjata api di perut kanan. Perkara penodongan itu, kemudian menghiasi halaman surat-surat kabar di daerahnya. Uniknya lagi, ketika masalah tersebut sampai ke pengadilan, putusan pengadilan bebas untuk Valent dan bebas pula untuk Sudarto yang menodong.
“Semetinya, jika Anda memang tak terbukti ditodong, tentu Sudarto yang bebas, Anda menerima hukuman karena telah mencemarkan nama baiknya. Begitu pula sebaliknya, jika Anda tak terbukti ditodong, tentu Sudarto harus merasakan hukuman, sedangkan Anda bebas. Tetapi karena sang hakim telah berkonspirasi dengan pejabat daerah yang ikut bermain kayu dengan para maling, maka ia buatlah vonis aneh tersebut.
Orang-orang seperti sang hakim, pencuri kayu, pejabat yang tak peduli terhadap lingkungannya, jangankan masuk ke negeri kita ini, mecium aromanya saja pun tidak. Mereka-mereka, hanya pantas jadi penghuni kerak neraka,” tandasnya.
Film kemudian di putar ke arah banjir dan longsor akibat rusaknya lingkungan. Terlihat mayat-mayat berjejer, rumah-rumah porak-poranda dan kekacauan lainnya.
“Lihatlah, mereka – pra pencuri kayu – ikut pula membantu korban. Bukankah ini sebuah kamuflase, kemunafikan? Sementara, begitu banjir-banjir, longsor-longsor dan lainnya menerpa ibu pertiwi, justru orang-orang seperti Valent yang diteror oknum petugas dengan cara mengikut-ikuti, mobilnya ditabrak dari belakang, pegawainya dipengaruhi agar merusak sistem kerja, jika tak mau ditakut-takuti, diancam dan kemudian saat naik sepeda motor ditabrak oleh oknum, lokasi bimbingan belajarnya dikepung petugas.
Lalu ketika diadukan pengepungan itu, petugas tempat Valent mengadu tak mempercayai. Malah ketika organisasi guru mempertanyakan secara resmi tentang kasus pengepungan itu, juga tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Tidak sampai di situ, seorang petugas dengan sengaja menjebak salah seorang manajer bimbingan yang dikelolanya agar mecantumkan logo institusi keamanan di borosur mereka, kemudian dikasuskan dengan dakwaan memakai logo tanpa izin. Perbuatan-perbuatan naif demikianlah yang mengantarkan mereka ke neraka, petugas yang seharusnya mengayomi dan melindungi justru berbuat keji,” tekannya.
“Tempat ini sangat mewah, aku belum siap menerimanya,” ungkap Valent. Para hadirin di negeri sorga itu keheranan. Bidadari-bidadari merayunya agar mau menetap di negeri itu. “Orang-orang seperti Abang memang berhak mendapat ini semua,” ungkap para bidadari.
“Kalau boleh memilih, aku mau kembali ke negeriku, kerja belum selesai, belum apa-apa. Orang-orang belum dapat mempertimbangkan arti empat-lima ribu nyawa yang terkapar karena banjir dan longsor,” jawabnya dengan meminjam kalimat penyair Chairil Anwar dalam puisi Antara Kerawang dan Bekasi.
“Sungguh sayang, Anda tak memanfaatkan kesempatan emas ini,” kata lelaki yang mengaku malaikat pula.
“Iya, ayolah bergabung bersama kami,” kata para hadirin pula. “Kehidupan di sini abadi, tak ada pertikaian, tak ada rasa sakit, rasa sepi, rasa takut, putus asa, dan lainnya. Semua hanya kenyamanan,” sambung mereka.
***
“Izinkan... izinkan... izinkan aku kembali ke negeriku,” jawab Valent setengah berteriak. Tim dokter dan perawat, melihat dan mendengar Valent bersuara tersenyum. “Masa krisisnya sudah lewat,” ungkap salah seorang dokter yang kemudian meminta rekannya memanggil orangtua dan istri Valent. Rekan-rekan yang membezuk, para tokoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), mahasiswa, wartawan dan lainnya diminta untuk tetap menunggu di luar.
Melihat tubuh Valent dibalut perban, Ibu, istri, dan anak perempuanya sesenggukan.
“Nakku, kenapalah kau memilih jalan berliku,” kata si Ibu sembari mengelus kepalanya yang dipenuhi balutan perban. Valent hanya menatap tak mengerti. “Di mana aku? Di mana negeri sorga itu?” tanyanya.
“Anda di rumah sakit,” jawab salah seorang dokter iba.***


Selesai

No comments: