Tuesday 8 April 2008

coba

M.Raudah Jambak

TELAH KUJARING AIR MATAMU

Telah pun kujaring air matamu
Pada kedalaman laut yang paling haru
Gemuruh di dadamu mengundang cemasku
Demi menahan terjangan-terjangan gelombang

Langit sekadar membagi nasihat
Bagaimana cara membaca gerak cuaca
Awan adalah musafir yang mencatat angin
Sepanjang rahasia kesunyian sebuah perjalanan

Medan, 08


M.Raudah Jambak

RAHASIA DI BALIK CELANA

Menelusuri rahasia di balik celanamu
Sekadar menitip do’a-do’a yang terlupa.
jemariku memikul aroma surga.

Zikirku menumpang di jemari
Seperti do’a yang menunggangi
Segala rahasia di balik celana


Ah, tasbihmu bermakna
Seluas surga

Medan, 08












M.Raudah Jambak

KEPADAMU KUKIRIMKAN DAFTAR TAGIHAN CINTA

Kepadamu kukirimkan daftar tagihan cinta
Yang sampai saat ini belum juga terbayar
Aku memohon kalau tidak dikatakan memaksa
Lunasilah!

Kesabaran meneguhkan segala penantian demi
Menghitung waktu-waktu yang terus menerus berputar
Pada langkah-langkah jarum jam, letih tertatih-tatih?

Medan, 08
































M.Raudah Jambak

KEPADA TUHAN YANG MAHA PELUPA

Tuhan yang maha pelupa
Adakah engkau ingat segala do’a-do’a
Di sisa-sisa malam yang teduh?
Berapa kali kutitipkan berlembar gerah
Di sepanjang resah duka nestapa

Dan seperti detik yang selalu melesat,
Maka kuharapkan daya ingatmu kembali
Secepat kilat. Jangan lagi kau singgahi
kumuh bintang-bintang jatuh atau genit
purnama yang hibuk mengajak bercinta
atau bibit penyakit persetubuhan
di sekujur badan

Tuhan yang maha pendendam
Jangan lagi kau kirimkan awan-awan
Yang menyirami bumiku yang belum
Ditanami sawah ladang segala kesabaran
Sisa dari segala berjuta ketakutan

Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Sajak M. Raudah Jambak


KISAH NEGERI KECIL SI BUNGA TANJUNG


Negeri kecil si Bunga Tanjung
Tempat bersemayam si Putri Tangguk
Beranak tujuh
Bersawah seluas tangguk
Memanen beribu ambung
Ia lupa diri sibuk menyerak padi
Sibuk memenuhi tujuh lumbung
Sibuk menenun sampai larut

Negeri kecil si Bunga Tanjung
Tempat bersandar Danau Kerinci
Putri Tangguk menyerak rezki
Juga setangkai padi hitam
Si Raja kami
Ia lupa hati bangga menyamun
Sibuk menyemai takabbur
Sibuk menghilang syukur

Negeri kecil si Bunga Tanjung
Tempat kisah si Putri Tangguk
Yang menyiakan padi
Pelajaran sepanjang generasi
Yang tak pantas diteladani

Danau Kerinci, duaribuan







Puisi M. Raudah Jambak


HIKAYAT DATUK DEPATI SEBELAS


Datuk Depati Sebelas,
Pimpinan dusun Semabu si Bungo Tebo
Membawa aman di tanah kelahiran
Terkenal sakti, ramah luar dan dalam

Datuk Depati Sebelas,
Berebah resah dan gelisah
Sebab Belanda memasuki muara
Meletuskan api menembus Batang Hari

Datuk Depati Sebelas,
Menyusun kekuatan, meski tak ada sambutan
Seorang diri pergi melawan kezaliman

Datuk Depati Sebelas,
Pergi kehilir, ke Batang Rambutan
Membawa sebuah pedang berbungkus iman
Menebas Belanda berkali-kali, berperisai Illahi Rabbi

Datuk Depati Sebelas,
Menerjang berondong amuk peluru
Mencabut pedang kesumat tertikam
Menahan terjangan popor sampai detik penghabisan

Datuk Depati Sebelas,
Gugur bernisan Iman dan Keyakinan
Memberangus segala kemungkaran
Di kenang sepanjang zaman

Medan,2008





Puisi M. Raudah Jambak


DATUK PUTIH SI HULUBALANG RAJA


Bismillah itu permulaan kalam
Dengan nama Allah kholiqul Alam
Dipermulaan kitab diperbuat nazam
Supaya diingat sejarah yang tersulam

Datuk Darah Putih si Hulubalang Raja
Pemberani, jujur, sakti dan cendikia

Suatu ketika Raja mendengar laporan mata-mata
Telah datang ke Negeri Jambi kompeni Belanda

Penjajah serakah terkenal tukang adu domba
Mengangkut hasil bumi tanpa kira-kira

Raja sungai Aro dan Datuk darah putih menyatu kata
Menggaris takbir mengusir kompeni Belanda

Belanda dihadang di Pulau Berhala
Datuk Darah Putih menyiapkan benteng penjaga

Pertahanan dan pengintaian diperketat siaga
Bendera lancip merah putih biru masuk Selat Berhala

Pangeran menganga laksana singa
Datuk Darah Putih menyerang membabi buta

Batu sengkelan menutupi luka
Semangat perang terus membaja

Di akhir cerita mereka mengalahkan Belanda
Datuk Darah Putih pun berpulang dengan bahagia

Tak Melayu hilang di bumi
Mengucap Allhamdulillah kami akhiri
Segala khilaf dan salah adalah kelemahan diri
Mohon maaf dengan satu kepala dan sepuluh jari


Medan, duaribuanPuisi M. Raudah Jambak

SEPANJANG SIANG

Sepanjang siang ini masih juga kau hamburkan

Debu bertubuh ulat berbulu yang meranggaskan

Kemarau dalam kepalaku, menceracau parau

Di tenggorokanku, kering

Lalu kata-kata yang berhamburan dari mulutmu

Berubah serdadu, berubah pemburu, mengintai

Sepanjang siang ini masih juga kau hidangkan

Orasi-orasi basi di atas meja persekongkolan

Mendesak sepenuh perutku, mengacau galau

Di bibirku, muntah

Dan kata-kata yang berkobaran dari mulutmu

Menjelma duri, menjelma api, menghanguskan

LAJU SECEPAT KESUMAT

Laju kepala manusia secepat cahaya

Meluncur, menembus sepanjang jalan raya

Peradaban kota

Anak-anak bermandi debu

Menyisir bilahbilah kaca

Di sepenuh trotoar bermuka dua

Laju kepala manusia secepat kilat

Menjilat, melahap segala kesumat

Berjuta maksiat

Anak-anak bermandi debu

Rakyat masih menanak batu

Penguasa di sofa beludru menenggak madu

BERJUTA KATA

Berjuta katapun telah diluncurkan

Di atas podium dan mimbar-mimbar

Lidah menjulur, ludah menghambur

Berjuta muslihatpun telah dipahatkan

Jadi prasasti bermotif api, berduri

Wajah-wajah culas, pikiran menebas
Puisi Puisi M. Raudah Jambak

Ah, Kediaman
pada matamu yang teduh
semesta tersentuh
begitu meninabobokkan
menetramkan kediaman malam
gairah kata berhamburan
pada sebuah rahasia
yang sulit diterka cuaca
laiknya embun yang menitik
waktu terasa begitu mengulat
perlahan menari bersama irama
jarum jam yang patah
hausku membuluh
mengerang hasrat berabad-abad
lalu sepanjang kediaman
rasa semakin tersentuh pada
tatap matamu yang aduh
menghadirkan irama gangga
di setiap alirnya
lalu, anganku menggemuruh
di setiap ukiran senyummu yang ampuh
merapalkan segala lena
di debur ombak dadaku
kau seperti sengaja menyiapkan dermaga
tempat berlabuhnya para petualang
merapatkan kapal-kapal semegah pesiar
dari laut-laut sebuas pemangsa
dan, ah, kediaman setelahnya
medan, 08
Puisi Puisi M. Raudah Jambak
DI JALAN INI KITA CURI BUTIR-BUTIR NASI

Di jalan ini
Pasir menyisir pagi
Menyemai gigil kerikil
Ah, betapa angin mengganggu pintu-pintu
Tak berdaun dalam bangunan pikiranku
Pada sudut rumah daun-daun berguguran
Bunga-bunga telahpun membangkai

Di jalan ini
Spanduk menusuk-tusuk jantung
Kemarau menjaring galau
Entahlah, yel-yel ngilu semakin membatu
Gerah menjarah sepanjang aliran darah
Pada sudut hati keyakinan berceceran
Nurani pun perlahan-lahan mati

Di jalan ini
Kitapun membagi benci
Mencuri setiap butir-butir nasi

Medan , 08



Puisi Puisi M. Raudah Jambak

Bisik Kelebat Badai Membebaskan Monumen Duka

Baru saja angin membisikkan sekelebat badai
Pada gendang telinga, dedaunan menari lunglai
Tepat atas kepala, mungkin untuk kita
Pada malam wajah pepohonan mengintip dari
Bilik kelam mencuri cerita deru pengendara
Amboi, betapa waktu terasa begitu renta menjejakkan
Tapak-tapak serapuh purba, entah seperti kita
Lalu perlahan kau sandarkan lembaran-lembaran
Kisah yang sudah lama purna

Baru saja peluh mengaliri di sepanjang bantaran dahi
Menyusuri lubuk pori-pori yang memalung, menenung
Di gemuruhnya dada, di antara kita
Pada temaram taman hatimu menghembuskan
Aroma lelah melintasi rimbunan semak-semak basah
Alahai, kepak tik tak terbang melesap di sekujur isak
Meneteskan lara yang selalu kembara, ataukah kita
Lalu perlahan kau bebaskan kata-kata
yang sempat terpenjara selama monumen duka

ah, bisik kelebat badai membebaskan monumen duka
memang kita, ternyata

Medan , 08

Tentang Hujan, Daun dan Kau

Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata, menghapus jejak perjalanan
Di setiap titik peron-peron lengang

Baris-baris takdir menghadirkan bau amis
Meranting sepanjang jalanan bercabang
Dan daun-daun yang melayang, rebah

Sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
Langkah-langkah kata pun perlahan terhenti
Menderas sepenuh tangis, memeluk risau

Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Dan daun-daun yang melayang berpeluh
Membebaskan jejak-jejak perjalanan

Medan , 08

Puisi Puisi M. Raudah Jambak
Ajari Aku Melagu Rindu
Maka, kutapaki kesejarahan ini
Di antara nyanyian tanpa partitur
Tetapi waktu masih saja belum berpihak
Ia menina-bobokkan segala lena
Pendar cahayapun serasa semakin samar
Merayap pelan di lorong-lorong hati, maupun
Di ruang-ruang yang kehilangan penghuni
Namun, cintaku tak terbuat dari garam
Lenyap begitu saja tertimpa hujan

Percakapan di Meja Perjamuan

seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini
padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu
masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu
berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni
berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah
perjumpaan kita yang pertama kali
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun
dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas
meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal
Puisi Puisi M. Raudah Jambak
Seperti Perjumpaan Laut Pada Pantai

seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku
sedetikpun tak melupakan-Mu, walau terkadang angin
menghempaskanku ke samudera luas, tersangkut
di sela-sela karang
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah harapku
tak ada waktu melalaikan perintah-Mu, walau terkadang riak
menggelombang ciutkan nyali yang sempat mengombak
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku,
begitulah harapku pada-Mu, walau terkadang melambai
di tepi pantai yang landai
Dan Anginpun Menampar Diam-Diam
/1/
di tepi jalan daun-daun berguguran
terhimpit debu pada langkah-langkah kaki
yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan
melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam
aku memandang geram mengunyah napsu tertahan
alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur
di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu
bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam
aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada
tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam
/2/
begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai
kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar
setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh
dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala
penantian yang tidak pernah usai
pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput
pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman
pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan
ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai
dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai
bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh
lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan
aroma nisan, dan anginpun menampar diam-diam

/3/
Pada resah daun jendela
Wajahmu bergambar duka
Sedari pagi matamu menikam langit
Sampai matahari lari bersembunyi
Yang tertinggal hanya senyap
Yang tertinggal hanya gelap
Sekadar hanya menyisakan kenangan
Tertutup debu tertahan
Di saat angin menampar diam-diam
Pada resah daun jendela
Ada gairah yang tak kunjung
Nyala rindu bocah yang menangis
Manja
Mdn,2007
Puisi Puisi M. Raudah Jambak
Lelaki Renta dengan Peluh Melepuh

Lelaki renta
berbalut rapuh, kabarkan lara
sepi berbaris sendiri tanpa suara
ah, kota-kota telah lama menelan
harapannya yang terus luluh
seringan debu menari di antara
raungan oplet tua berebut stasiun
dan hari terasa kian menjauh
lelaki renta
berbalut rapuh, tebarkan cuka
peluh menerus jatuh mengaduh
entahlah, mungkin di atas sajadah
telah hadirkan taman berisi bunga zaman
seindah sayap kupu-kupu yang menggambar
warna pelangi di hati, dan hari
biarlah terasa kian menjauh
searah pergi begitu pula kembali
tidak ada yang berubah selain sepi
aroma luka setua usia dari stasiun yang
tak pernah sunyi
masih juga terdengar nyanyian jalanan
masih juga terdengar rintihan lapar tertahan
masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan
searah pergi begitu pula kembali
tubuh renta itu berganti bayi tawarkan
aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh
mengaduh-aduh
o, adakah yang lebih sakit selain dari
jerit yang dibungkam?
Apalagi guna hujan tangis
pada tubuh penuh peluh bara melepuh
sudahlah simpan saja segala rayuan
yang selalu kau hidangkan di atas meja
bersama aroma pembusukkan
di ringkih renta merapuh
Puisi Puisi M. Raudah Jambak
Kali Malang

pada aliran sungai bangkai
tak kuharap kau senandungkan debu-debu
pun mungkin ceracau bajaj
hirup lah aroma birahi kesumat
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa nisan. Hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai di Kali Malang.
aku haru pada pekat airmu. haru pada senandung lapar zikir lumpur di liat bebatuan
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah yang menghanyutkan
dan
rauplah
lalulalang aroma
segala pembusukkan
di Kali Malang
2008
Puisi Puisi M. Raudah Jambak
Ujung Pena Para Kuli Tinta

Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena para kuli tinta. Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota, menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi. Menguras sumur alkisah dengan segala pembuka, berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi pena. Menembus segala musim membebas ruang-waktu kuli tinta, menggali sumur kata-kata pengab rahasia.
dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-bermacam kuli tinta melintasi sunyi bak musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.
Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis sebagai sebuah kelahiran, bukan sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap lamunan yang membeban pesan
Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena. Para kuli tinta mendandanimu layaknya sebuah pesta dari segala napas peristiwa emansipasi ataukah anggar kuasa beraroma kembang kesturi, sampai cahaya matahari menghadirkan koki. Selanjutnya madu makna menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana, menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah lelah.
Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara, bertopengkan segala wawancara ujung pena dari kawah para pemilik dasamuka.
Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir lata yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak langkah yang mengonak
Pada tubuh, peluh mulai terasa membasuh lesatkan aroma sesak segala muak membumbung ke udara. Hapuskan peluh yang merusuh tubuh
Lalu orkestra zaman menggumuli musim ke musim, meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi, lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutanbelantara mengaduh. Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya, memburu di setiap perhentian kata menggumulnya untuk kemudian dilahirkan pada riwayat gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.
Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata. Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa. Peristiwa kata-kata.
Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna. Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan posisi, dari informasi mewarta, beraroma.
Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita, mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata-katapun menghunus kebenaran.
Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap pada keyakinan menyimpannya-menumpuknya di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca. Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan anak-anak yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan kata-kata masuk ke segala peristiwa.
Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta
Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata, mewarta
Peta segala peristiwa. Segala cuaca
2008
Puisi Puisi M. Raudah Jambak
Kuberi Kau Sayap Buat Kita Arungi Semesta

Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan.
Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:
Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus dimensi tempat kau terbiasa menari,
Abadikan harum aroma tubuhmu:
Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kaki mu yang lembut, bergesekan bilah kaca atau hunus duri, mereguk alir peluhmu:
Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut memohon diri
Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:
Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu, di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam hidangan dongeng dan legenda
Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:
Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan
Ruap asap jagung bakar, yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan
Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara kepentingan dan kebanggaan
Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu
Siang dan Malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya
Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam
Pada bahuku yang aduh, engkaupun luruh
Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar
Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air
Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya
Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian
Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku
Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan
Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban
Pada bentangan langit paling luas ku ajak kau terbang sambil menyanyikan semesta, menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:
belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna
dan kita arungi semesta, bersama
medan,08
Biodata dan no rek.
M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972 aktif di Sanggar GENERASI Medan. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) . Kepala Biro Sastra Seniman Indonesia Anti Narkoba (SIAN)Wil.Sum. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com .no. rek; Mandiri cabang mdn balaikota,106-00-04699933-3

No comments: