Friday 18 April 2008

Cerpen M.Raudah Jambak

Cerpen M.Raudah Jambak
HAMIL

Di ruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Di antara semut yang beriringan, seekor di antaranya, terpeleset jatuh. Tepat di atas daun yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya sangat perlahan, seperti seekor ulat yang merayap di patahan-patahan ranting.
Lelaki itu tercenung. Tatapan matanya menahun. Tak lepas memandang ranting, daun, semut, ulat, maupun aliran air yang mengalir. Hari masih sekuning cahaya. Pada dahi lelaki itu telah tercatat baris-baris beban. Begitu buram.
Pikirannya kembali terbang di pinggir ranjang. Perempuan itu, istrinya, menangis tersedu-sedu. Lelaki itu seperti kehilangan kata. Tak mampu harus berbuat apa.
“Pokoknya, aku mau pisah. Aku minta cerai. Titik!”
Lelaki itu diam. Hatinya semakin kelam.
“Kalau Abang tidak mau, jangan salahkan kalau nanti rumah ini penuh dengan nisan.”
Lelaki itu hanya terduduk di pinggir ranjang. Bibirnya masih tetap terkatup. Perlahan tangan sebelah kirinya membuka laci yang terletak tidak jauh di dekatnya. Mengambil sebatang rokok, membakarnya, lalu menghisapnya dalam-dalam.
Tatapan matanya memaku di dinding. Pada sebuah poto perkawinan yang tergantung. Ada kebahagiaan yang tergurat jelas di sana. Bingkainya yang keemasan itu, menambah lengkapnya kebahagiaan kedua tokoh yang tergambar abadi di sana.
Lelaki itu masih terdiam. Hanya tatapan matanya yang menyebar ke setiap sisi dan sudut ruangan kamar. Dia masih ingat, betapa kamar ini telah menjadi saksi yang paling layak dipercaya. Demi mengingat itu hatinya memanas.
Demi Perempuan itu segalanya rela ia korbankan. Tetapi apa yang ia dapatkan. Lacur dasar lacur. Perempuan yang paling dicintai melebihi segalanya itu, telah meng-hancurkannya begitu rupa.
“Aku hamil, Bang.” Perempuan itu memeluknya penuh gembira. Lelaki itu melepaskan pelukan itu dengan tiba-tiba.
“Kenapa, Bang?” mata Perempuan itu mulai berkaca. Kebahagiaan yang paling diimpikannya seolah raib begitu saja. ”Apa ada yang salah?”
“Abang tidak bahagia dengan kehadiran anak kita?’ Perempuan itu mengguncang tubuh lelaki itu. “Atau Abang berpikir yang tidak-tidak tentang aku?”
Lelaki itu hanya diam. Ada beban yang tak sanggup ia ucapkan. Ada kata-kata yang terbelah menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Sejak itu ia lebih memilih mengakrabkan diri dengan sebatang pohon jarak yang tumbuh tepat di pinggir parit di belakang rumahnya. Berdialog dengan kesunyian. Bercengkrama dengan kesepian. Hatinya kosong begitu kosong.
Berhari-hari, bahkan sudah melewati bulan ke delapan, ia selalu seperti itu, jika tidak ada kesibukan lain yang memaksanya untuk berburu dengan waktu. Lalu teriakan, jeritan, tangisan perempuan itu selalu membakar segala ketidak berdayaannya.
“Ayo kita ke dokter, periksa DNA,” ujar perempuan itu terbata.
Lelaki itu masih juga terdiam.
“Aku tidak akan pernah memeriksa kandungan ini,” air matanya menderas,” jika Abang tidak mau ikut memeriksakan diri juga!”
Plak! Kata-kata itu seperti menamparnya bertubi-tubi. Tapi ia juga tidak mau bicara. Rasa malu, marah dan kecewa berganti-ganti.
“Abang tidak bisa selamanya terus begini,” ujar perempuan itu sambil menyeka air mata,”Diam tidak akan pernah menyelesaikan segalanya!”
Lelaki itu masih terdiam.
“Bicara!” Perempuan itu berteriak sekuat-kuatnya,”Bicara!”
Perempuan itu terus menceracau. Berteriak. Menjerit. Berlari ke sana kemari. Ia terus dan terus menjambak-jambak rambutnya. Menangis sejadi-jadinya.
“Jika kehamilan ini yang menjadi persoalan, maka aku akan menggugurkannya. Walau usia kandunganku ini sudah masuk bulan kelahiran. Atau kita sebaiknya berce-rai!” Perempuan itu terus berteriak,”Pengecut! Banci! Kita cerai! Dengar! Aku mintai cerai!”
“Diam!”
Lelaki itu mengerang. Gundahnya meledak. Rokok yang sedari tadi bergantung di sela-sela jarinya, terloncat begitu saja. Nyaris mengenai perempuan itu. Perempuan itu meradang.
“Aku minta cerai! Titik!”
“Diam! Kalau aku bilang diam, diam!”
“Aku tidak akan pernah diam, jika Abang tidak jelaskan kepadaku tentang sikap Abang selama ini. Kebencian Abang yang begitu tiba-tiba kepadaku, terutama kepada calon anak kita. Dan Aku tidak akan pernah diam, kecuali Abang menceraikan aku. Aku minta cerai!”
“Aku benci padamu! Aku benci pada anak yang di kandungamu! Aku benci diri ku sendiri!”
“Kenapa? Apanya yang salah?” desak perempuan itu,”seharusnya Abang bangga. Bangga dengan kehadiran anak kita. Anakmu, Bang!.”
“Itu bukan anakku. Dengar itu bukan anakku!”
“Jadi, secara tidak langsung aku melakukannya dengan orang lain. Abang pikir, aku telah berzinah, aku selingkuh?!”
“Pokoknya anak itu bukan anakku. Titik!”
Lelaki itu lalu pergi begitu saja. Jiwanya mengerang. Dia pergi dengan berjuta kekalahan, meninggalkan perempuan itu. Perempuan yang ditumpuk-tumpuk amuk.
Di ruas ranting perjalanan semut semut beriringan. Hari sekuning cahaya. Embun yang terus menerus menitik tadi pagi, sudah lama mengering. Melahirkan debu. Di antara semut yang beriringan, seekor di antaranya, terpeleset jatuh. Tepat di atas daun yang berlayar bersama air mengalir. Arusnya kadang deras, kadang sangat perlahan, seperti seekor ulat yang merayap di patahan-patahan ranting.
Angin berhembus di sela-sela daun. Melintas begitu saja. Hari semakin beranjak jingga. Sayup dari kejauhan suara seseorang mengundang cemas.
“Kakak pingsan, Bang. Cepat. Operasinya lagi berjalan!”
Secepat angin, begitulah ia terbang. Menembus segala kegelisahan. Rasa malunya menjalar. Betapa tidak, sudah lama ia ingin mengatakan bahwa ia sudah tidak mampu memberikan keturunan kepada istrinya. Batinnya terus berontak. Rasa senang memiliki anak sudah dibuangnya jauh-jauh. Tetapi sekarang istrinya hamil? Istrinya tengah diope-rasi. Istrinya, ah. Dan istrinya tidak pernah sekalipun berkonsultasi ke dokter ahli kan-dungan. Dia pun ada rasa takut yang bukan kepalang, jika ketahuan. Secepat angin, begitulah ia datang. Menyambut dokter yang keluar dari ruang operasi seperti takut dan senang.
“Selamat!”
“Terimakasih, Dok. Apa anaknya, Dok. Sehatkan, Dok?”
“Anak siapa?” dahi dokter berkerut. Ia lantas tersenyum,”Ooo, bukan. Istri Bapak tidak mengandung. Istri Bapak terkena tumor. Dan kami berhasil mengangkatnya. Seka-rang sedang beristirahat.”
“Tapi katanya…hamil?”
Secepat arus air mengalir, begitu ia tergelincir. Secepat datang, secepat itu pula ia pergi. Senang dan benci begitu saja hadir silih berganti.

2006-08

No comments: