Tuesday 15 April 2008

KUMPULAN CERPEN : HIDAYAT BANJAR

Jangan Panggil Aku Jefri
Cerpen: Hidayat Banjar

Tanpa kabar berita, tiba-tiba saja lelaki lajang 30-an itu sudah berada di tempat kami kerja. Setelah peristiwa gempa dan gelombang tsunami yang memakan korban ratusan ribu jiwa, baru kini ia muncul. Hampir tujuh bulan tak ada kabar beritanya, ia menghilang, seolah-olah juga dihisap gelombang. Padahal, ketika bencana melanda, ia bersama kami, di pagi Minggu yang menakutkan itu.
Kini, ia tiba-tiba saja muncul dan kembali pada statusnya: penanggung jawab kebersihan. Tentu saja aku kaget melihatnya dan cepat-cepat ingin tahu kabar diri dan keluarganya di Aceh. Belakangan aku tahu – meski namanya Jefri – ia adalah orang Aceh tulen. Cuma, aku tak pernah tahu dan memang tak pernah ingin tahu, kenapa ia memakai nama Jefri yang kurang lazim bagi orang Aceh.
Begitu sampai di tempat parkir, cepat-cepat pula kuparkir sepeda motor dan menuju ke masjid yang ada di samping kanan bangunan besar kantor perusahaan swasta tempat kami bekerja. Sebagai penanggung jawab kebersihan di perusahaan swasta tersebut, lelaki itu, sebagaimana biasa – selain melaksanakan tugas-tugas rutin dan pendelegasian kerja bidang kerbersihan kepada anggota-anggotanya – juga menyiapkan keperluan shalat di masjid perusahaan.
Hari itu Jumat, terlihat lelaki itu dengan tekun mempersiapkan segala sesuatunya menyambut kehadirn waktu ibadah shalat Jumat. Ia membersihkan lantai masjid, menyususn sandal untuk dipakai mengambil wudhuk, tongkat untuk khatib, menyusun sajadah-sajadah, dan lain sebagainya.
“Apa kabar Jef,” sapaku setelah memarkir sepeda motor di tempat parkir dan mendekatinya. Aku menyodorkan tangan untuk bersalaman dengannya. Tapi ia menampik. Pandangannya dingin saja, nyaris tanpa ekspresi. “Marahkah ia padaku? Apa salahku padanya?” bisik hatiku.
“Jangan panggil lagi aku Jefri,” ketusnya. Aku terkejut, ia terlihat marah betul dipanggil Jefri. Aku diam sejenak. Tapi bukan salahku, selama ini ia memang bernama Jefri
“Lho kenapa?” Spontan di setengah keberanianku ke luar pertanyaan itu.
“Pak Dayat tak boleh lagi memanggil aku Jefri. Itu nama tak cocok buat aku dan orang-orang Aceh,” urainya. Aku bingung setengah tak percaya, kenapa lelaki ini berkata demikian. Hantu apa yang menyebabkannya jadi begini. Aku nelangsa: “mungkin... mungkin ia sudah tidak waras dihantam derita yang teramat berat”.
“Lalu, kenapa yang lalu-lalu kau dipanggil Jefri. Apa sekarang kau sudah ganti nama,” lanjutku setelah menghimpun segenap keberanian.
“Ceritanya panjang Pak Dayat, kenapa aku sampai memakai nama Jefri,” tambahnya. Selanjutnya ia mengajakku ke sebuah sudut masjid dan mulailah lelaki Aceh tersebut bercerita.
***
Lam Tengo* malam hari – ketika itu – adalah kesenyapan serta kegelapan. Tak ada hiburan, kecuali mengikuti pengajian atau mendengar petuah-petuah lewat didong atau dongeng atau lainnya. Usai makam malam dan mengaji, Agam serta keluarga kumpul di ruang depan rumah. Ayah memberikan wejangan lewat dongeng-dongengnya. Sesekali debur ombak dari pantai Lam Awil memerdui telinga. Ditingkahi suara hewan malam, irama ombak bagai partitur musik yang ritmis. Berulang-ulang. Merdu dan sayhdu.
Dengan diterangi lampur sentir, meski sudah mulai mengantuk, Agam yang baru berusia 11 tahun dengan tekun mendengar dongengan Ayah yang malam itu berkisah tentang sepasang kakek dan nenek yang tak pernah mengaji selama hidupnya. Di hari tuanya si kakek dan nenek gelisah memikirkan tentang maut yang sebentar lagi akan menjemput.
Agam, meskipun baru 11 tahun, tetapi terkesan lebih matang dari usia sebenarnya. Badannya tegap serta kekar. Tubuhnya pun agak jangkung pula. Yang lebih mempercepat proses kematanganya adalah kondisi kehidupan keluarga di Lam Tengo itu. Agam yang masih kelas 5 SD, harus membantu keluarga mencari nafkah. Usai sekolah, Agam yang akrab dengan laut, mecari udang, kepah, kerang, remis, atau lainnya. Jika di hari libur, pantai Lam Awil ramai dikunjngi, maka Agam pasti berada di situ, berjualan apa saja yang laku dijual, atau membantu orang berjualan. Pokoknya, dapat duitlah.
“Di masa tuanya si kakek dan nenek terpikir akan kematian. Setelah mati, tentu mereka masuk neraka, karena tak tahu jalan ke sorga. Begitu sepanjang hari kegelisahan orangtua itu menanti detik-detik hayat lepas dari badan,” tutur Ayah dengan mimiknya yang serius.
“Si nenek menanak nasi, sementara si kakek sedang menyisip jala yang robek agar bisa digunakan dengan baik untuk menangkap ikan. Kebetulan desa tempat mereka tinggal tak jauh dari sungai,” lanjut Ayah.
“Sambil bercerita, kakek dan nenek menyiapkan pekerjaan masing-masing. Dari kejauhan terdengar suara orang bercakap-cakap. Si kakek melongokkan kepalanya dari jendela. Rumah mereka yang bertangga, memudahkan menatap kejauhan dari jendela depan. Terlihatlah lima orang santri sedang berjalan, ingin pulang ke kampung, libur sekolah.
Karena ingin tahunya jalan ke sorga, dan karena keyakinannya bahwa satri-santri itu akan dapat memberi petunjuk tentang jalan ke sorga, si kakek mencegat kelima santri. Ia ingin sekali mengetahui dari santri-santri tersebut jalan ke sorga, agar diri dan istrinya tidak masuk neraka.
Saat santri-santri itu mendekat, si kakek menawarkan singgah ke rumahnya. Kelima santri, karena lelah berjalan – sudah mulai haus dan lapar lagi – dengan suka cita singgah di kediaman si kakek dan nenek tersebut. Satu per satu tangga rumah menuju ke ruang depan dinaiki. Satu per satu pula mereka duduk dilantai yang terbuat dari broti. Si nenek sangat begembira melihat kehadian para santri.
Singkat cerita, setelah para santri duduk bersila, si nenek menyiapkan makan siang. Setelah makanan dan minuman terhedang di atas tikar pandan, dengan lahap para santri memakannya bersama si kakek dan nenek. Waktu makan, mereka bercakap sekenanya saja. Memperkenalkan diri masing-masing, kemudian hening, menikmati sedapnya aroma nasi yang ditanak dengan bara yang berasnya berasal dari sawah dan ladang sendiri.
Usai makan, barulah si kakek dan nenek berani bertanya kepada para santri, di mana jalan ke sorga. Santri-santri muda yang belum tamat mengaji itu pun dengan enteng menyebutkan bahwa jalan ke sorga adalah rumpun bambu yang ada di samping belakang rumah tersebut.
Masya Allah, mereka mempermainkan si kakek dan nenek yang usianya jauh lebih tua dari orang tua mereka sendiri. Tapi, si kakek dan nenek tidak merasa kalau keterangan itu hanya olok-olok. Sontak keduanya menuju rumpun bambu dan memanjatnya. Tak mereka pikirkan kondisi yang sudah tua serta nyaris renta, Pokoknya sampai ke sorga, itu saja yang ada di hati si kakek dan nenek...”
“Lho, si kakek dan nenek tidak jatuh Ayah?” Tanya Agam.
“Tidak, justru keanehan dan keajaiban yang terjadi, sampai di pucuk pohon bambu, cahaya merah jambu menyambut si kakek dan nenek. Seperti pesawat saja, warna merah jambu membawa si kakek dan nenek ke angkasa. Selanjutnya raib dari pandangan mata. Ya, si kakek dan si nenek seolah – dengan warna merah jambu itu – melompat ke angkasa luar, ke dunia gaib.
Melihat kenyataan ini, para santri muda mengikuti apa yang dilakukan si kakek dan nenek. Padahal sebelumnya, mereka hanya ingin mengolok-olok orangtua itu karena sepanjang hidupnya tak pernah mengaji, sehingga tak mengerti agama. Tapi ketika melihat keanehan dan keajaban yang terjadi, para santri lupa dengan ilmu pengetahuan yang mereka terima di pesantren. Mereka berkeyakinan memang jalan ke sorga itu ada di pohon bambu. Apa yang terjadi?”
“Ya, ya, apa yang terjadi,” ujar Agam dan adik-adiknya serempak.
“Para santri itu terjatuh...”
Tiba-tiba, belum selesai ayah melanjutkan kisahnya, pintu rumah diketuk sangat keras, terkesan menggedor paksa. “Siapa?” Tanya Ayah.
“Kami,” jawab orang-orang yang diluar makin keras, dan dilanjutkan dengan ucapan salam. Ayah menjawab salam itu dan membuka pintu.
Meski samar, Agam dapat melihat, ada tujuh orang berseragam dan masing-masing menyandang senjata laras panjang dengan setengah memaksa masuk ke dalam rumah. Ayah terkejut dan mencoba protes dengan kekasaran yang nyaris tak sopan itu.
Setelah masuk ke ruang depan, seseorang – mungkin komandannya – meminta dengan keras pada ayah dan emak agar Agam ikut dengan mereka. Semula lelaki 11 tahun itu ingin mengelak. Begitu juga ayah dan emaknya.
“Kami membawa Agam demi perjuangan. Ia anak lelaki yang gagah, akan sangat baik bila didik untuk jadi pejuang, jadi pahlawan Aceh,” tutur sang komandan. Selanjutnya mereka setengah paksa pula menyeret dan menggendong Agam yang menangis sejadi-jadinya. Tetang-tetangga, tak satu pun yang ke luar dari rumah. Mereka membiarkan saja jeritan malam, jadi misteri, segelap suasana Lam Tengo di malam hari. Mereka lebih memilih bersikap tidak mencampuri, daripada terlibat yang pada akhirnya jadi korban juga.
Di sebuah meunasah yang Agam tak tahu namanya, lelaki sebelas tahun itu dibaiat paksa untuk bersumpah setia pada perjuangan mereka. Agam ikut saja, sebab dirinya sangat takut sekali.
***
“Begitulah Pak Dayat, Agam itu adalah aku yang selama ini Pak Dayat kenal sebagai Jefri. Ya, bertahun-tahun aku bersembunyi di balik nama itu demi keselamatan jiwa. Jika di negeri rantau aku mengku Agam – orang Aceh yang tak punya KTP (Kartu Tanda Penduduk) – maka tidak ada yang mau menerimaku bekerja. Mereka takut, kalau aku adalah kelompok sparatis. Akan mati kelaparanlah aku, Di negeri rantau, kuubah semuanya, Agam kubunuh, kuganti jadi Jefri.
Pak Dayat, malam itu aku dibaiat paksa untuk ikut dalam gerakan mereka. Aku tak bisa melawan. Hingga suatu hari ketika mereka lengah, aku lari... lari dan lari meninggalkan Aceh. Aku berpindah-pindah dari kota yang satu ke kota yang lain. Hingga akhirnya tiga tahun yang lalu, aku bekerja di sini, sebagai tenaga kebersihan. Maklumlah, aku hanya memiliki SDM lembu, tenaga kasar, tak punya ilmu pengetahuan.
Sesekali di Idul Fitri aku pulang ke Lam Tengo, tentunya dengan sembunyi-sembunyi dan tak lagi memakai nama Agam, melainkan Jefri. Agam, oleh orangtuaku juga disebut sudah mati karena takut oleh orang-orang yang menculik dulu. Di tempat-tempat umum, aku dipernalkan sebagai keponakan ayah dan emak, serta sepupu adik-adikku. Sehingga amanlah aku dan keluarga,” tutur Jefri.
“Lalu, kenapa kini kau tak mau dipanggil Jefri?”
“Hari ini Pak Dayat harus tahu, aku adalah Agam yang sebenarnya. Orang Aceh sejati, bukan Jefri.,” lelaki itu memelukku.
“Ya, ya, aku paham,” sahutku. Lelaki 30-an itu tersenyum.
“Dengan bahasa apa akan kuungkapkan kenyataan pahit ini, Pak Dayat. Bertahun-tahun aku bersembunyi di balik topeng, di balik nama orang lain,” lelaki tiga puluh tahun itu mendesah setelah melepas pelukannya.
“Allah... Allah...Allah,” Agam diam sejenak. Aku membiarkan saja ia bermain dengan pikiran dan perasaannya.
“Maha Kuasa-Nyalah yang mengubah keadaan ini. Maha Kuasa-Nya jualah yang membuat aku berani menampilkan siapa diriku. Tidak, aku tidak takuk lagi dengan kenyataan sepahit dan segetir apa pun. Karena kini aku sudah berada di puncak pahit dan getir. Bayangkan Pak Dayat, dalam seketika ratusan ribu nyawa melayang, termasuk seluruh keluargaku. Gedung-gedung megah jadi puing, bumi retak, gempa tektonik dan tsunami meluluhlantakkan,” desahnya lagi sembari mengangkat tangan ke langit dan berdiri. Lalu...
“Ya, ya, ya Agam namaku. Lahir dan besar bersama desing peluru. amis darah, caci maki, pengkhianatan dan kebusukan dunia lainnya. Sekolah tak karuan, tentu saja.
Agam namaku. Sejak usia belasan tahun telah meninggalkan tanah lelulur. Tak kuakrabi seudati, didong, pli’u dan lainnya. Agam kecil diisap perdaban urban, dari kota satu ke kota yang lain. Sesekali jelang Idul Fitri, kutumpahkan rindu berasyik-masyhuk dengan oranguta, keluarga serta handaitolan. Idul Fitri kemarin, tak memberi isyarat sebagai tumpahan rindu terakhir. Tak ada lagi kini tempat melepas rindu, seluruh keluarga tenggelam dalam rawa-rawa sejarah. Agam pun tercerabut dari peradaban Aceh. Tsunami menyempurnakan nasibku sebagai orang-orang kosong.
Ya, sebatang pohon di tengah puing, bertahan dalam terik mentari yang membelah, bertahan dalam gigil pelukan embun. Sampai kapan? Sebatang pohon di tengah puing adalah jejak sejarah penuh luka. Tataplah dengan kedalaman, akan kau temukan kesenyapan yang membungkus peradaban. Di Lam Tengo... dulu, kicau kehidupan riuh rendah, hingga tiba hari menakutkan itu. Seketika, semua jadi puing dan tinggallah sebatang pohon. Ya, sebatang pohon di tengah puing adalah aku yang luput dari mulut tsunami karena berada di negeri rantau,” teriaknya mencerecau bagai orang membaca puisi. Mengalir dan mengalir bagai air bah, tumpah ruah.
Kemudian Agam melanjutkan: “Pasir kuarsa yang kemilau diterpa mentari. Nyanyian bakau, nyiur, cemara dan kicau burung-burung pantai serta lainnya, sirna. Kecamatan Pekan Bada rata ditelan tsunami. Tak ada lagi lambaianmu Lam Tengo yang kerap memanggil-manggilku di negeri rantau. Pasir kuarsa yang kemilau diterpa mentari, nyanyian pelepah rumbia, nyiur, gesekan daun bakau, cemara, dan kicau burung-burung pantai serta lainnya, sirna.
Tak ada lagi kenanganku tentangmu Lam Tengo selain kesepian yang panjang dibungkus air mata setelah kembali ke negeri rantau ini. Begitu bumi bergoyang, tusnami menerjang kutinggalkan negeri urban, menjengukmu Lam Tengo, tertatih-tatih menyusuri puing. Di atas, burung-burung nasar meneteskan liur, mengendus sedapnya aramo bangkai. Gelombang rindu berubah air mata, menenggelamkan seluruh lambaian.
Habis sudah kususri tenda dan rumah-rumah pengungsian, tiap jengkal Banda adalah air mata, tak ada jejak keluarga yang tersisa selain nyanyian kematian. Dari senja ke senja kususuri pantai, yang terlihat di sana adalah jejak tsunami,” Agam terus sesenggukan. Aku coba menenangkan dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Dalam pencarian yang melelahkan itu, aku nyaris mati lemas karena tak makan dan minum. Untung seseorang menyelematkanku, membawaku kembali ke Medan,” lanjut Agam.
“Pak Dayat, setelah kesehatanku pulih, tiga hari kemudian, aku Agam kembali mencari keluarga. Aku sampai di Banda dalam suasana senja yang begitu meggoda dan meggelisahkan. Panorama alam, langit biru berteja kemerah-merahan betapa meggodanya. Tetapi di sisi lain senja mengisyaratkan bahwa ini adalah penghujung kehidupan, sangat menggelisahkan. Sendirian mencari jejak keluarga, jejak orang-orang terkasih yang raib ditelan tsunami.
Ketika itu, sejauh-jauh mata memadang adalah puing, terutama daerah-daerah pesisir pantai. Satu dua bangunan memang masih berdiri dalam posisi oleng atau retak, sisanya adalah masjid. Kecamatan Pekan Bada, Lhok Nga, Lepung, Meuraxa dan lainnya tak terlihat lagi. Semua digenangi air laut. Saat berada di Ulee Lheu terlihat mercusuar yang tinggal menara tanpa lampu penerangan. Di sini dulu Agam kecil sering diajak penjaga lampu mercu suar untuk memandang kehidupan laut yang seperti tanpa tepi.”
“Di seberang sana, Pak Dayat,” ia menunjuk ke satu arah seolah-olah kami sedang berada di Banda Aceh, “itu adalah Lam Tengo yang tak jauh dari tempat wisata Lam Awil. Lihat Pak Dayat, kebiruan gunung Mata’i tempat sebagian warga diselamatkan atau menyelamat diri dari amukan tusnami. Lihat Pak Dayat, betapa indahnya desa kami.”
“Adakah senjakala akan menyergap keindahan itu dan membawa Aceh pada kegelapan?” Agam terhenti sejenak. “Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aceh tidak boleh hilang dalam sejarah. Agam pun tidak boleh mati sebelum punya keturunan,” Agam setengah berteriak.
“Pak Dayat,” katanya lagi setelah agak tenang, “gelombang tsunami Aceh tergolong terbesar sepanjang sejarah dalam hal jumlah korban jiwa yang tewas. Sedangkan dilihat dari ketinggiannya, gelombag pasang laut itu tertiggi setelah tsunami akibat letusan gunung Karakatau pada tahun 1883, yang mencapai 36 meter dari permukaan tanah.
Di Lhok Nga yang berada di teggara Meulaboh kami melihat jejak tsunami mencapai ketiggian 34,5 meter. Ini merupakan tertinggi yang dapat dilihat dari jejak terjangan tsunami pada pohon kelapa yang bertahan.” Aku menepuk-nepuk bahunya sembari berujar: sabar Agam, sabar Agam, sabar Agam. Lelaki itu terduduk, tak sanggup diterjang gelombang dari dalam dadanya yang bergemuruh dahsyat. Tangisnya pun pecah lagi.
“Pak Dayat, gelombang tsunami kemarin menyentak kesadaranku, bahwa kematian bukan urusan kita. Makanya aku tak takut lagi dengan siapa pun kecuali Allah. Ya, aku tak perlu lagi takut dengan gerombolan, maupun pasukan bersenjata hingga menyembunyikan jati diri. Ya, aku harus menampilkan jati diriku sebenarnya. Aku bukan Jefri, tetapi Agam! Makanya jangan panggil aku Jefri,” Agam melolong panjang.”***
*Sebuah Desa
di Kecamatan Pekan Bada
Banda Aceh.






Jebakan
Cerpen: Hidayat Banjar

“He, keparat! Kalau kau jantan temui aku di lobbi Hotel T malam ini,” demikian sebuah SMS (pesan singkat) tertulis di telepon genggamnya. Dari siapa? Tentu saja lelaki 40-an itu tidak tahu. Valent hanya menduga, kalau SMS itu berasal dari orang-orang yang terusik dengan gerakan advokasi lingkungan yang dilakukannya selama ini.
Dengan tenang, Valent menghubungi rekan-rekan agar datang ke kantornya. Malam baru saja tiba. Karena bulan Ramadan, umat Islam tentu saja telah melaksanakan berbuka puasa dan shalat Maghrib. Hiban yang dihubunginya sudah tiba di lokasi bimbingan belajar tersebut.
“Sudah berbuka Bang?”
“Sudah,” jawab Hiban. Lantas Valent memperlihatkan SMS yang baru diterimanya. Keduanya duduk di bangku panjang yang tersedia di dekat pintu masuk ruang kerja para karyawan. Di depan, lapangan luas yang sehari-hari digunakan sebagai tempat parkir kendaraan siswa yang ikut bimbingan.
“Gila, mereka sepertinya mau main petak umpet dengan kita,” sambung Hiban.
“Biar Abang tahu, kemarin mobilku ditabrak dari belakang.”
“Ya, mereka beraninya memang cuma demikian. Harusnya, mereka mengadukan Pak Valent karena telah melakukan pencemaran nama baik. Dari beberapa kali diskusi dan seminar, pernyataan-pernyataan Bapak – kalau mereka mau dan berani – dapat diajukan ke pengadilan.”
Suasana bimbingan itu mulai agak ramai. Malam ini rupanya ada rapat tentor (guru pembimbing).
“Persoalannya, mereka memang maunya demikian. Harusnya, sebagai penegak hukum mereka yang memberi contoh proses penegakan hukum. Bukan main lempar batu sembunyi tangan seperti ini.”
“Sebentar ya Bang aku tinggal dulu? Aku ada kerja sedikit. Sebentar lagi Sugiat datang. Abang tunggu saja di sini?” Valent memasuki ruang kerjanya. Sedangkan Hiban menunggu di bangku panjang yang menghadap lapangan terbuka.
***

Setahun yang lalu. Selasa malam sekira pukul 20.00, petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan pun turun sangat lebat sekali. Dari daerah perbukitan terdengar suara deru yang sangat kuat. Listrik tiba-tiba padam. Gelap gulita.
Salman Panjaitan berteriak-teriak memanggil istrinya. Yang menjawab hanya deru sungai Asahan. Angin dan tanah tiba-tiba menghujani rumah mereka yang terbuat dari papan separo tepas. Bayi Salman yang baru dua bulan meraung-raung dalam gelap. Salman dengan segenap kemampuan menjangkaunya. Sementara suara istrinya yang berteriak minta tolong dari arah sungai Asahan terdengar sayup-sayup sampai.
Air sungai meluap dan tanah longsor menerkam kediaman mereka. Rumahnya roboh seketika, tetapi Salman bersikukuh memeluk bayinya. Air yang deras mencampakkan Salman dan bayinya ke tengah-tengah sungai Asahan. Salman bertahan, tapi air terus mencampakkannya ke kanan dan ke kiri. Bayi dua bulan itu lepas dari tangannya. Salman berteriak sekuat-kuatnya, histeris, tapi suaranya lenyap ditelan deru sungai Asahan dan kegelapan malam.
***
Dua tahun yang lalu. 2 November, sejak senja, hati Sarmin, lelaki 35 tahun gelisah. Tak tahu apa yang digelisahkan. Usai berbuka puasa dan shalat Maghrib, ia berdoa sangat panjang sekali. Tetapi tak juga menemukan jawaban kenapa hatinya gelisah.
Usai makan malam dan shalat Isa, kegelisahan hatinya memuncak jadi resah. Sarmin pun menenangkan diri ke luar mencari angin. Anaknya Retno yang berumur 3 tahun ingin ikut, tapi dibentaknya.
Di atas sesekali terdengar guruh yang memancarkan kilat. Mungkin inilah aba-aba yang tak tertangkap oleh warga Bahorok dan Sarmin. Ya, begitu petir seakan-akan membelah langit sambung-menyambung, kemudian menumpahkan air yang sangat banyak – tersentaklah Sarmin dan mungkin yang lain – bahwa ini tidak biasa. Sarmin menerobos lebatnya hujan, berburu cepat agar segera sampai ke rumah.
Di hulu, suara gemuruh air yang penuh misteri membawa kabar bencana memang segera tiba. Sarmin terlambat sampai di kediamannya. Rumah papannya telah rubuh. Ia berteriak-teriak di gulita malam itu. Tak ada yang dapat mendengar. Jeritan suara-suara makin riuh. Ketika kilat menyambar, sekilas terlihat oleh Sarmin wajah istrinya memeluk Retno – anak mereka yang bungsu – dan berusaha melawan derasnya arus air sungai. Ibu, mertua, dan kedua anaknya yang lain tak terlihat.
Dengan sigap Sarmin melompat, mencoba menyelamtkan istri dan anaknya. Sementara, ibu kandung, mertua, dua lagi anaknya, serta saudara-saudara yang lain tak terpikirkan oleh Sarmin. Ya, dengan segenap kemapuannya, Sarmin berhasil menggapai kedua tubuh yang berpelukan di gulita malam dengan dingin membawa gigil. Saat rengkuhan kian kuat, sebuah balok besar menerjang rusuk Sarmin. Tercampaklah lelaki itu kembali ke pinggir sungai. Arus deras menggiring istri dan anaknya ke tengah sungai. Sarmin tak sadarkan diri.
***
Di ruang kerjanya, Valent terbayang korban-korban banjir, longsor dan bencana alam lainnya. Tak dapat ia berkosentrasi dengan tugas-tugasnya. Korban-korban itu memangil-manggilnya agar berbuat... berbuat... dan berbuat menghentikan perusakan lingkungan. “Aku sudah mencoba. Tapi apalah daya, aku hanya seorang guru,” bisik hatinya.
Valent teringat pula, sejak beberapa tahun ini, hidupnya selalu diawasi oleh orang-orang dengan berbagai tipe. Ia yakin, orang-orang itu adalah suruhan para maling kayu dalam rangka memukul mentalnya. Saat makan di warung, menuju luar kota, bahkan di rumah sekalipun selalu diawasi.
Seminggu yang lalu, mobil yang dikendarainya ditabrak dari belakang. Untung ketika itu, ia dapat menaham emosi, sehingga tak bertindak gegabah. Yang menabrak ketika itu mengaku sopir seorang dokter. Badannya tegap, rambut cepak, tinggi berkisar 170 cm.
Keesokan harinya, oknum yang mengaku sopir dokter itu datang ke kantornya bersama seorang rekannya, juga berambut cepat. Seluruh kerugian dari peristiwa tabrakan itu digantinya.
Setelah dilakukan penyelidikan, oknum yang mengaku sopir dokter itu, ternyata seorang kepala kepolisian resort (Kapolres) yang ada di wilayah tersebut. Valent pusing. Ia benar-benar muak dengan permainan para oknum seperti ini. Akhirnya ia tinggalkan buku-buku yang harusnya diperiksa, berserak di meja kerja. Valent berjalan ke luar.
***
“Hallo Bang, kok melamun. Bang Valent mana?” Sugiat menyapa Hiban.
“Di ruang kerjanya.”
“Mau ke mana kita sebenarnya?” tanya Sugiat lagi setelah duduk di samping Hiban.
“Mungkin mau menjumpai orang yang meng-SMS Pak Valent.”
“Siapa rupanya dia.”
“Aku juga gak tahu.”
Seiring dengan itu, Valent ke luar dari ruang kerjanya, kemudian menemui Hiban dan Sugiat. Sejurus ia memanggil nama Tarigan, yang serta merta muncul dari sebuah kamar tempat karyawan-karyawan nginap.
“Ayo kita bergerak,” Valent mengajak Tarigan, Hiban dan Sugiat menaiki mobil. Valent duduk di belakang stir. Sugiat di sampingnya. Di tempat duduk belakang, Hiban dan Tarigan.
Sekitar sepuluh menit, sampailah mereka di pelataran parkir Hotel berbintang lima yang cukup megah di kota mereka. Kunci mobil diberikan Valent ke Tarigan. Lalu Hiban, Sugiat, dan Valent bergerak ke arah lobbi hotel yang dimaksudkan. Tak ada tanda-tanda orang yang mereka tuju ada di situ.
Suasana tenang, hanya terdengar desis dari percakapan-percakapan ringan orang-orang yang ada di lobbi itu.. Pengunjung hotel dengan kesibukan masing-masing. Di pelataran parkir terlihat beberapa mobil dengan plat polisi bernomor seri NR (Nomor Rahasia).
“Di mana mereka,” tanya Sugiat.
“Kita tunggu saja,” jawab Valent sembari meng-SMS orang yang dimaksud.
15 menit berlalu, tak ada jawaban. Orang yang ditunggu pun tak juga datang. Ketiganya mulai gelisah. Valent berjalan menuju ke arah parkir. Hiban dan Sugiat mengikuti. Sampai di dekat mobil yang diparkir, Tarigan datang menghampiri.
“Pak Tarigan, tolong belikan rokok,” ungkap Valent sembari memberikan uang. Tarigan segera berlalu.
“Lihatlah, mereka pasti ada di sini. Para maling memang cumanya berani bermain sembunyi-sembunyi,” celoteh Valent.
“Mana berani mereka bermain di ruang terbuka,” sambung Hiban.
“Pastilah,” Sugiat menimpali.
Tak lama, Tarigan sampai dan memberikan rokok kepada Valent. Lalu ketiganya kembali menuju ke lobbi hotel yang berada di luar ruangan, tempat mereka duduk tadi.
“Gimana, kalau kita minum?” tanya Valent.
“Cocoklah,” jawab Sugiat dan Hiban. Tanpa dikomando, Hiban memasuki ruangan tempat pemesanan makanan dan minuman.
“Bisa diantar ke luar?” tanyanya.
“Boleh,” kata sang pelayan.
Tak begitu lama, pesanan mereka, dua cangkir kopi dan segelas juice timun serta dua porsi pisang goreng – yang satu porsinya hanya dua buah – pun datang. Kedua gelas kopi untuk Hiban dan Sugiat, sedangkan juice timun untuk Valent.
Sembari makan, terdengar telepon genggam Valent berbunyi. Rupnya SMS dari orang misterius tadi. Isinya mengajak ketemu di KTV-7 Karoeke S.
“Ini jebakan,” kata Hiban.
“Iya Bang,” Sugiat menguatkan. Valent mengerutkan kening.
“Begitupun, kalau Pak Valent sedia menghadapi jebakan ini, saya siap.”
Suasana diam lagi.
Usai menghabiskan makanan dan minuman, Valent bergerak ke arah KTV-7 Karoeke S yang hanya beberapa meter dari lobi hotel tersebut. Hiban dan Sugiat mengikuti.
Suasana remang-remang, lampu kelap-kelip beraneka warna dan musik mengalun. Dari sebuah sudut, samar-samar terlihat seorang lelaki berwajah klimis melambaikan tangan kepada Valent dengan cahaya senter kecil di tangan kanannya, sebagai penunjuk keberadaannya di sebuah sudut cafe KTV-7 itu. Valent dan dua kawannya menuju ke sudut dimaksud.
Setelah Valent dan kawannya duduk, mancis dihidupkan lelaki klimis yang ditemani dua kawannya berambut cepak. Pelayan datang mempertanyakan pesanan. Valent dan dua kawannya memesan softdring. Terjadi percakapan, saling memperkenalkan diri dengan basa-basi dan wajah yang dimanis-mansikan.
“Gimana sekolah kita?” tanya lelaki klimis.
“Biasa Bang. Tapi apa maksud Abang meng-SMS aku dengan bahasa tidak sopan seperti itu?” Sergah Valent.
“Supaya Pak Valent penasaran dan mau bertemu denganku. Itu saja. Sehingga kita bisa membicarakan, apa sih sebenarnya yang Bapak dan kawan-kawan maui dengan gerakan pelestarian lingkungan?”
“Tidak ada Bang, selain agar hutan-hutan tidak ditebangi sesuka hati. Sudah begitu banyak korban yang jatuh.”
Dua lelaki berambut cepat permisi meninggalkan tempat itu. Lelaki klimis mengangguk, begitu juga Valent dan dua kawannya.
“Jujur saja, gerakan Bapak mengganggu kawan-kawan cari makan!”
“Saya tak tahu itu Bang. Yang saya pikirkan, jangan gara-gara kepentingan segelintir orang, merusak alam dan mencelakakan masyarakat luas yang tidak berdosa.”
“Kalau begitu, Anda membuka front dengan kami! Permisi,” lelaki berwajah klimis meninggalkan tempat itu.
“Silakan!”
Sekitar lima menit kemudian. Dengan sangat tiba-tiba sekali, muncul enam orang lelaki berambut cepak berbadan atletis. Tiga dari mereka menodongkan pistol ke tubuh Valent, Sugiat dan Hiban. Tiga lainnya mengalungkan gari ke tangan mereka.
Valent tenang saja. Sementara Sugiat dan Hiban protes: “Apa-apaan ini?”
“Anda-anda kami tahan karena telah menggunakan ekstasi,” ujar salah seorang di antaranya sembari memperlihatkan pantat botol minuman ringan yang dibawahnya ada ekstasi berwarna pink. Uniknya benda berbentuk pil, kecil bulat lepes tersebut, ditemukan pula di saku mereka masing-masing. Tentu saja ketiganya tak dapat melawan.
Namun, ketika ketiganya akan digiring dengan tangan digari, sekelompok lelaki – berjumlah delapan orang – dengan pistol di tangan masing-masing dalam posisi siaga berteriak: “jangan bergerak!”
“Kami dari Poltabes,” jawab salah seorang yang menangkap Valent dan kawan-kawan sembari memperlihatkan identitas.
“Tak peduli Anda-anda dari mana. Kami tim dari Polda, pemberantas petugas-petugas jahat seperti kalian yang melakukan penjebakan kepada aktivis-aktivis dan orang-orang baik lainnya!” bentak seseorang dari kelompok yang datang belakangan.
“Berapa kalian dibayar Kasat Reskrim Poltabes yang pelindung maling kayu itu he,” tambah yang lain.
“Kami tidak dibayar siapa pun,” keenam lelaki berambut cepak membela diri.
“Nanti di kantor saja kalian jelaskan, apa yang selama ini kalian kerjakan.”
Enam lelaki berambut cepak digiring dengan tangan digari menaiki mobil patroli dengan cup terbuka. Sementara Valent, Sugiat, dan Hiban yang garinya sudah dilepas menaiki mobil sedan polisi lainnya.***
Medan, Akhir Ramadhan 1427 H




Genangan Duka di Tano Niha
Cerpen: Hidayat Banjar

“Anak ini muntah darah dari semalam Pak,” kata-kata itu terus menggenangi pikiran dan perasaan dr Polo Tarigan. Hanya kata-kata biasa dari seorang perawat yang berdomisili di Nias. Namun, kata-kata itu – sepanjang perjalanannya balik ke Medan hingga kini masih terus menggenangi pikiran dan perasaan dr Polo.
Bukan kematian anak itu benar yang membuat genangan duka dan air mata menumpuk di Tano Niha itu. Bukan kematian seorang anak perempuan berumur sekitar 9 tahun, sama sekali bukan itu. Keikhlasan keluarga itu menerima segala tiba, inilah genangan yang mungkin tak akan kering di sepanjang hayat dokter muda itu.
Saat itu, ibu dan adik si anak yang berusia sembilan tahun tersebut berbaring di sebelahnya. ”Sudah saya berikan terapi cairan dan anti pendarahan,” kata si perawat lagi ketika itu..
“Bagus,” jawab Polo singkat sambil memeriksa. Kesadaran precoma, nampak bekas keluarnya darah dari telinga kiri dan hidung, ini adalah tanda- tanda retaknya dasar tulang tengkorak bagian kiri, dan Polo sadar bahwa ini seharusnya dirujuk. Tapi, bagaimana mungkin?! Kondisi sangat tidak memungkinkan.
“Bagaimana keadaan anak saya dokter,” tanya bapak si anak yang kebetulan seorang pendeta. Polo menatap wajahnya, nampak ketenangan seorang pendeta pada wajah orangtua si anak. Padahal istri dan dua anaknya berbaring di situ. “Tuhan...” Polo berdesis.
“Kita akan coba menolongnya,” jawab Polo berusaha menenangkan meskipun ia tahu, kalau nyawa si anak – dengan kondisi yang tak menentu tersebut – tak akan lama bertahan dari tubuhnya. Namun, sebagai seorang dokter, Polo harus dapat bertindak dan berucap bijak. Terbukti, menjelang siang, si anak sembilan tahun itu menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang, setenang ayah, ibu, dan adiknya.
Ada tangis memang, tapi sebentar. Kemudian keluarga itu pun bersiap-siap untuk upacara pemakaman. Melihat kondisi itu, justru Polo yang menangis. “Betapa tabah mereka,” bisiknya di dalam hati.
***

Ya, Tano Niha, oleh orangtua Polo digelar sebagai negeri yang tabah. Dulu, masa kanak, negeri itu dikenalnya dari percakapan orang-orangtua. Ada yang bercerita, negeri itu masih sangat primitif, ada pula yang bercerita negeri itu menakutkan. Pokoknya banyak cerita negatif tentang negeri yang tak jauh dari Pulau Pandan itu.
Kini, sebuah bimbingan belajar mengantarkan dr Polo dan kawan-kawan ke daerah yang dulunya disebut “tempat pembuangan” itu. Ya, bimbingan belajar tersebut memang dikenal di kota mereka sebagai lembaga pendidikan luar sekolah yang kerap melakukan kegiatan sosial.
Mula pertama Polo memang merasa ragu-ragu datang ke daerah yang kerap dipelesetkan sebagai “wilayah yang belum merdeka”. Mengapa tidak, orang-orang di kotanya, memberi gelar demikian karena dulunya daerah tersebut merupakan tempat ‘pembuangan’ pejabat.
Dari masa orde lama hingga orde baru, jika ada pejabat, petugas militer, polisi, dan lainnya di ibukota provinsi melakukan kesalahan, maka akan “dibuang” ke pulau tersebut. Memang di provinsi mereka – dulu – wilayah tersebut dapat dikatakan masih terbelakang. Sehingga, jika ada rekan yang kurang pas dalam bertugas, maka akan dikelakari dengan ucapan: “Nanti Anda dipindahkan ke Tano Niha (Pulau Nias)”.
Demikianlah, zaman bergulir. Tano Niha tak lagi daerah yang menakutkan, bahkan maju pesat. Tapi, dr Polo pada saat pertama datang ke daerah ini masih saja ragu-ragu, apakah diperlakukan dengan baik.
Senin 28 Maret adalah kunjungan kedua Polo dan tim ke Tano Niha untuk melanjutkankan pengobatan massal gratis yang diselenggarakan oleh bimbingan belajar tersebut. Keberangkatan tim ini sebenarnya berdasarkan permintaan kawan-kawan dari Gerakan Mahasiswa Peduli Nias (GMPN) yang dipimpin Doan Sianturi.
Ketika itu Sianturi mengatakan kepada Polo dan pimpinan bimbingan belajar tersebut bahwa masyarakat di daerah Sirombu dan Sisarahili II Mandrehe mengharapkan tim kesehatan bimbingan belajar tersebut dapat kembali ke Tano Niha agar luka fisik dan jiwa para korban dapat sembuh total. Agar air mata yang dulu tumpah akibat gempa dan tsunami dapat berganti menjadi mata air kehidupan yang kian bening.
Polo masih ingat waktu kunjungannya pertama ke Tano Niha. Ia dan teman-teman disambut dengan kehangatan yang tulus. Sehingga tanpa terasa air matanya menitik di Tano Niha itu. Bukan karena sedih, melainkan haru-biru yang mendalam. Polo dan kawan-kawan, diperlakukan lebih dari saudara sedarah.
Dari Medan Sabtu, 22 Januri pukul 8.00 Wib sampai di Gunung Sitoli Minggu, 23 Januari pukul 6.00 Wib, hatinya berdebar kencang. Perasaan takut berhadapan dengan orang-orang yang masih terbelakang menyelimuti benaknya.
Ternyata, apa yang ditakutkanya, jauh dari kenyataan. Tano Niha – meski ketika itu telah sebagian rusak dihantam gempa dan tsunami – adalah wilayah yang cukup berkembang, bahkan maju. Polo dan rekan-rekan disambut Pendeta Bangun. Lalu, mereka membuat Posko di Gunung Sitoli.
Usia kebaktian Minggu, Polo dan tim berkenalan dengan panitia lokal. Kemudian menyusun rencana besok serta pembagian tugas bidang kerohanian, pendidikan dan kesehatan.
Seminggu lebih ia dan tim berada di Tano Niha ketika itu, semua berjalan lebih dari apa yang diharapkan. Ketakutan tak diterima masyarakat, justru yang terjadi sebaliknya. Masyarakat berharap, tim datang lagi untuk program pengobatan massal gratis lanjutan. Kegiatan sosial itu diakhiri dengan acara ramah-tamah antara tim, Muspida setempat dan masyarakat, selesai tepat pada pukul 16.00 Wib. Lalu mereka siap-siap untuk berkemas dan pulang ke Medan.
Kini, Polo berangkat lagi ke Tano Niha dalam tugas yang sama, melanjutkan pengobatan massal gratis untuk korban gempa dan tsunami. Hatinya, dan mungkin juga hati teman-teman yang tergabung dalam tim, berbunga-bunga membayangkan kegembiraan masyarakat atas kedatangan mereka. Kawan-kawan mereka dari GMPN sebanyak 50-an orang telah sampai di Tano Niha pada hari Minggu, 27 Maret pagi.
Sama dengan tim yang lalu, tim ini pun secara keseluruhan membagi kelompok bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian yang direncanakan – di samping mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan daerah-daerah, juga membawa bibit pertanian untuk dibagikan kepada penduduk.
Tim kesehatan yang dipimpin Polo – setelah menempuh perjalan lebih dari 9 jam – sampai di Sibolga pukul 17.00 Wib. Penat, tentu saja. Maklum jalan Medan-Sibolga cukup berliku, kecil, dan menyusuri releng bukit yang terjal. Kalau sang sopir tidak hati-hati, ngantuk, mobil bisa saja nabrak karang, mobil yang berselisih, atau nyemplung ke jurang.
Obat yang mereka bawa berikut bahan-bahan untuk program pelayanan pendidikan penuh satu mobil. Kata petugas tiket, mobil tidak bisa naik kapal karena sudah penuh. Polo mencoba menerangkan tujuan misi kesehatan itu, tapi tak berhasil.
Polo menjumpai petugas kapal, bermarga Panjaitan. “Tolonglah Pak, yang kami bawa adalah obat-obatan bantuan sosial,” terangnya.
“Tidak bisa!“ jawab Panjaitan ketus, mungkin karena capek.
“Bagaimana kalau saya tunggu Pak, mungkin nanti ada yang batal,“ harap Polo lagi.
“Kalaupun ada yang batal, sebelum Bapak sudah ada tiga mobil yang antri,” Panjaitan makin ketus. Sementara jam menunjukkan pukul 18.30 Wib dan hujan terus mengguyur.
Polo mulai melihat mobil dan truk dimasukkan ke dalam kapal. Beberapa mobil yang baru datang juga mengharapkan “keajaiban”, bisa masuk kapal seperti harapan Polo dan kawan-kawan. Polo coba bicara kembali dengan petugas.
“Kalau sekiranya nanti mobil kami tidak bisa masuk, dapatkah kami memakai gudang barang Pak,“ tanyanya.
“Masukkanlah sekarang, kalau nanti penuh, itu bukan tanggung jawab saya,” kata petugas.
Polo berpikir-pikir. Dia melihat kegiatan memasukkan mobil ke kapal sedikit jeda. Sepertinya ada yang ditunggu mereka.
“Baiklah Pak, saya akan memundurkan mobil untuk menurunkan barang-barang ke gudang,“ harapnya lagi.
“Tidak bisa! Parkirkan saja sebelah sana!“ Petugas ketus sambil menunjuk jarak yang cukup jauh dari gudang kapal.
“Wah..... lojana i (baca: wah capeknya),” celoteh Polo. Di hati, dokter muda itu bercakap-cakap dengan dirinya sendiri: tak apalah dengan berhujan-hujan.
Lalu, mereka mengangkati barang-barang dari mobil ke kapal.
Jam menunjukkan pukul 20.00 Wib. Mobil-mobil dimasukkan kembali ke kapal. Ada satu mobil truk besar yang ada tangga derek di atasnya milik Telkomsel dicoba dimasukkan ke atas kapal. Ternyata tidak bisa, karena tangganya kena palang kapal sebelah atas. “Kesempatan ini,” Polo berharap. Karena, kalau truk tersebut batal dimasukkan ke kapal, akan bisa digantikan beberapa mobil. Tapi ternyata yang menggantikannya mobil- mobil yang lain, gagallah mobil mereka ikut serta di dalam kapal penyeberangan..
Pukul 21.00 wib kapal penyeberangan mulai bergerak perlahan. Sejauh-jauh mata memandang adalah warna laut yang gelap. Di angkasa warna apalagi, kalau bukan gelap yang diterangi sedikit bintang. Pukul 23.10 terasa ada goncangan kuat, tapi para penumpang merasa hal itu biasa, gelombang laut biasa. Tapi, beberapa detik kemudian, orang-orang yang ada di kapal penyeberangan mulai kasak-kusuk mendengar berita dari telepon genggam masing-masing, bahwa telah terjadi gempa dahsyat.
Polo coba menghubungi Medan, tak berhasil. Rekan-rekan satu kapal penyeberangan pun mulai heboh. HP-HP mereka juga tak punya sinyal. Kapal mendarat pada pukul 6.00 wib di Pelabuhan Angin. Polo mengontak Medan, masuk! Benar, telah terjadi gempa dahsyat berkekuatan 8,7 SR. Dari kapal para penumpang memandang dengan tercengang keadaan Gunung Sitoli. Rumah rumah terlihat ambruk. Dari kejauhan nampak asap kebakaran.
Tak satu pun penumpang bergerak dari kapal, termasuk mobil-mobil seperti enggan bergerak. Tidak ada para kernet yang biasanya naik ke kapal ribut menawarkan jasa angkutan. Lengang.
Tiba-tiba terdengar jeritan ibu-ibu memecah keheningan subuh. Air mata pun tumpah di Pelabuhan Angin. Ibu-ibu berteriak-teriak dalam bahasa Nias yang ditangkap Polo kira-kira artinya dua keluarganya meninggal dunia dan rumah mereka telah rata dengan tanah.
Tetap belum ada mobil yang ke luar, mungkin para petugas lagi memeriksa kekuatan pelabuhan yang nampak retak di sana-sini. Bapak Pendeta Octaviusta Bangun tiba-tiba memanggil-manggil nama Polo dari arah Pelabuhan Angin. Ia datang berhujan- hujan dengan Doan Sianturi Ketua GMPN.
“Keadaan sangat parah,” kata Pak Pendeta sembari menyambut Polo dan rekan-rekan yang baru tiba. Mereka bersedekap. Air mata pun tumpah ruah.
“Kita harus cepat bergerak, banyak yang meninggal dan luka berat, tenaga medis kosong, RSU kosong dengan petugas, semua lagi mengurus keluarga masing- masing dan mengungsi ke gunung untuk menghindari tsunami yang diduga datang tadi malam,” lanjut Octaviusta.
Cepat-cepat Polo dan rekan-rekan membongkar barang dan obat-obatan. Dokter muda itu memilah-milah, menyusun peralatan P3K. Setelah barang dikumpulkan di salah satu rumah rekan yang masih mahasiswa, mereka mempersiapkan diri untuk berangkat. Dengan dibonceng Pak Pendeta, Polo langsung tancap gas.
“Ke mana kita Pak,“ tanyanya di pagi penuh duka itu.
“Ke Mega Hill. Banyak korban di atas sana dan daerah itu sudah menjadi perkampungan pengungsi,” jawab Octaviusta.
Sepanjang perjalanan ke Mega Hill nampak tiang listrik bertumbangan ke tengah jalan.
“Tundukkan kepala,“ kata Pak Pendeta yang heboh menghadapi kabel-kabel berseliweran sangat rendah.
“Awas! Leher bisa nyangkut,” teriaknya.
“Ya, ya, ya Pak,” jawab Polo. Di kiri kanan nampak rumah-rumah yang roboh, jalan raya banyak yang menganga, retak. Kalau tak hati-hati, roda sepeda motor mereka bisa terperosok ke dalam lubang dari jalanan yang retak tersebut. Mayat-mayat masih tertimbun di reruntuhan belum ada yang dievakuasi. “Oh ...Tuhan ampunilah dosa-dosa kami,” bisik Polo di dalam hati.
Sampai di Mega Hill terdengar erangan di sana-sini. Polo menjumpai pasien pertama di antara pasien yang diatur berbaring.
“Anak ini muntah darah dari semalam Pak,” kata seorang perawat kawan Polo yang berdomisili di Nias, menunjuk seorang anak perempuan berumur sekitar 9 tahun. Sementara ibu dan adiknya berbaring di sebelahnya. ”Sudah saya berikan terapi cairan dan anti pendarahan,” katanya meneruskan.
“Bagus,” jawab Polo singkat sambil memeriksa. Kesadaran precoma, nampak bekas keluarnya darah dari telinga kiri dan hidung, ini adalah tanda- tanda retaknya dasar tulang tengkorak bagian kiri, dan Polo sadar bahwa ini seharusnya dirujuk. Tapi, bagaimana mungkin?!
“Bagaimana keadaan anak saya dokter,” tanya bapak si anak yang kebetulan seorang pendeta. Polo menatap wajahnya, nampak ketenangan seorang pendeta pada wajahnya walaupun istri dan dua anaknya berbaring di situ. “Tuhan...” Polo berdesis.
“Kita akan coba menolongnya,” jawab Polo berusaha menenangkan.
Selanjutnya Polo memeriksa seorang anggota mereka dari mahasiswa yang korban. Ternyata engsel tulang belikat bagian kiri mengalami gangguan sehingga tangan kiri tidak dapat diangkat.
Polo terus bergerak dari tenda satu ke tenda lainnya untuk memeriksa pasien, dan banyak lagi yang baru datang. Hari telah siang, setetes air dan sebutir nasi belum ada masuk ke perut dokter muda itu dan kawan-kawannya. Namun – melihat korban-koran gempa tersebut – serasa haus dan lapar, sirna.
Hal lain, yang menghilangkan dahaga dan laparnya, Polo mendapat kabar, anak perempuan berusia sembilan tahun itu menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang. Orang tua dan adiknya pun cukup tenang. Ada tangis sejenak, seterusnya adalah persiapan pemakaman. “Apalah arti sekadar lapar dan dahaga bila dibanding duka mereka,” bisik hati Polo ketika itu.
Sampai malam pasien bertambah banyak di bukit itu. Rumah Sakit kosong petugas dan pengungsi pun tambah banyak. Saat malam tiba, penduduk tidak berani tidur di dataran rendah .
Pada hari kedua Rabu, 30 Maret kesibukan terus berlanjut, dan penduduk mulai takut akan kekurangan makanan. Pendeta Octaviusta sibuk menghubungi Medan untuk pengiriman bahan logistik. Di kantor bupati terjadi penjarahan oleh penduduk. Yang jadi sasaran adalah gudang logistik tempat disimpannya bahan bantuan korban gempa dan tsunami akhir tahun lalu.
Di Rumah Sakit Umum, Dr Kanserina kelabakan menangani pasien sendirian dengan obat dan alat-alat yang terbatas. Pasalnya, lemari obat telah tumbang dan ruang UGD hampir runtuh.
Pada hari ke tiga pasien di Mega Hill mulai berkurang. Korban yang parah, sudah banyak dievakuasi ke Sibolga melalui helikopter dan kapal. Di Sibolga telah dibentuk tam kesehatan bertugas secara bergiliran. Gelombang pengungsi terus bertambah ke Sibolga karena ada isu dari seseorang berkewarganegaran Jerman yang mengatakan Pulau Nias akan tenggelam.
Posko kesehatan bimbingan belajar itu, mereka pindahkan ke bawah di simpang Mega Hill, lebih dekat ke kota. Para penduduk terutama yang berkendaraan rata-rata memakai penutup hidung karena bau mayat di seluruh kota.
Dr Natal kolega Polo telah datang dari Medan dengan membawa obat-obatan dan bahan logistik yang dikirimkan oleh Yayasan Peduli Bangsa. Polo dan kawan-kawan juga melakukan kunjungan pengobatan ke rumah-rumah karena banyak pasien yang tidak sanggup berjalan.
Teman-teman mahasiswa dari GMPN yang melayani di Sirombu, Mandrehe dan Teluk Dalam telah pulang dengan selamat walaupun rumah tinggal mereka ikut hancur. Menurut laporan mereka, ada ratusan korban meninggal dan luka-luka di daerah mereka.
Sabtu, 2 Maret Polo dan kawan-kawan masih melakukan pengobatan. Tepat pukul 17.00 Wib Polo dan kawan-kawan berkemas untuk kembali ke Medan. Tugasnya digantikan oleh Dr Natal. Namun genangan duka yang ada di Tano Niha tak mungkin segera hilang begitu saja. Boleh jadi, genangan duka dari negeri yang tabah itu akan dibawanya sampai akhir hayat.***
Cerpen ini didedikasikan
untuk mengenang gempa di Nias
28 Maret 2005 malam.









Aceh Sudah Damai
Cerpen: Hidayat Banjar

Aceh sudah damai, bahkan telah pula melaksanakan pemilihan kepala daerah. Demikian orang-orang memberi semangat pada Syarifah. “Masyarakat Aceh akan sejahtera adik dan makmur jika kita memilih pemimpin yang mengerti tentang rakyat Aceh. Kondisi ini harus benar-benar pantas disyukuri oleh masyarakat. Mengapa tidak, kita kini telah dapat memilih pemimpin sendiri. Bahkan calon-calon kepala daerah, baik gubernur, walikota, maupun bupatinya boleh kita pilih pencalonanannya lewat calon independen. Calon pemimpin Aceh tidak harus dari partai,” begitu didengar Syarifah dari orang-orang di warung, di pekan, di pantai dan di mana saja kakinya melangkah.
Apa arti Aceh yang damai, apa arti masa depan yang gemilang bagi Aceh? Syarifah tak tahu jawabnya. Yang ia tahu, sejak petaka itu datang, ia harus mengayuh kehidupan sendiri saja. Bertahun-tahun sudah mereka merenggut Bang Juned dan kedua anaknya dari kehidupan Syarifah, namun luka itu tetaplah bernama luka walau dibalut oleh perban sutra.
Hari ini, sebagai salah seorang warga Aceh, Syarifah boleh memilih pemimpinnya. Masyarakat desa pantai di mana Syarifah bermukim berbondong-bondong menuju ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) dengan wajah ceria. Tapi Syarifah biasa saja. Baginya, semua yang telah hilang tak mungkin kembali. Ke mana suami dan dua anaknya: apakah dibantai oleh serdadu, ditelan tsunami, atau binatang buas? Tak ada jawaban yang pasti.
Angin pantai yang bertiup sepoi mengiringi Pilkada Aceh itu, tak lagi dirasakan Syarifah sebagai angin segara bagi masa depan Aceh. Suara bocah-bocah yang bermain lompat-lompatan, siram-siraman dan terkadang berkelahi, tak lagi memerdui telinga perempuan beranak dua itu. Pasir kuwarsa yang berkilau keperak-perakan tatkala ditimpa cahaya mentari pagi, tak lagi memberi cahaya kehidupan pada dirinya. Hambar. Syarifah hambar.
Tahun-tahun yang berlalu tak dapat menghilangkan luka bantinnya. Bagaimana mungkin ia melupakan kenangan itu, dikurung di dalam tembok pengab bersama beberapa tahanan perempuan lainnya, menanti ketidakpastian. Kulitnya yang berwarna agak gelap, jadi bertambah gelap, seiring dengan warna lembayung kehidupan yang mengisapnya, memaksa dan melumatnya hingga terpental ke dalam ruang sumpek tembok penjara.
Hidung bangirnya yang jadi pujaan Bang Juned, tak lagi memperlihatkan nuansa keindahan. Bibirnya yang setengah terbuka, matanya yang memancar cerah, bulu mata yang lentik, dan paras oval, adalah simbol keceriaan hidup, lambang ketabahan seorang perempuan Aceh, kini redup.
Warna-warna kehidupan yang dulunya seperti bianglala memancar dari tubuh mungil hitam manis itu, kini mengkristal menjadi hanya satu warna saja: hitam, bagai kehidupan yang membentang di depannya.
Tak tahu ia, kenapa petaka itu harus menimpa diri dan keluarganya. Tak tahu ia, kenapa dipagi yang cerah itu, segerombolan orang tiba-tiba menyentak kehidupannya. Ya, segerombolan orang berpakaian seragam, bersepatu hingga ke betis dan bersenjata laras panjang, mengobarak-abrik sisi rumahnya, warung serta apa saja yang mereka anggap pantas diobrak-abrik dan membuat kegaduhan yang begitu rupa. Hampir seluruh penduduk desa pantai itu menyaksikan tragedi yang Syarifah tidak tahu berawal dari mana.
Tak tahu ia, kenapa segerombolan orang itu, begitu tega mengarak diri, suami dan dua anaknya keliling desa sambil meneriakkan: Pemberontak... pemberontak... pemberontak, GPK... GPK...GPK, GAM... GAM... GAM. Malu, jijik, muak dan berjuta perasaan lain menggumpal di tempurung kepalanya, diperlakukan sedemikian rupa. Ia hanya memakai celana dalam dan kutang saja, begitu juga suami, hanya memakai celana dalam saja, diarak keliling kampung dengan tangan tergari. Kedua anaknya pun digari.
GPK... GAM... apa itu? Ia tak tahu. Yang ia tahu orang-orang selalu membicarakan hal tersebut. Ditambah lagi dengan DOM. Ia juga tidak tahu apa maksud DOM. Syarifah memang sering mendengar dari orang-orang yang singgah di warungnya bahwa karena ada GPK, ada GAM, maka diberlakukan DOM.
GPK yang merupakan singkatan dari Gerakan Pengacau Keamanan itu – menurut orang-orang yang singgah di warung – adalah sebutan yang dibuat pemerintah Republik Indonesia untuk gerakan bawah tanah seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Apa itu gerakan bawah tanah, Syarifah tidak pernah tahu dan tak ingin tahu tentang semua itu.
Yang ia tahu, pagi-pagi sekali ia dan suami harus bangun, terkadang kedua anaknya yang masih berusia 11 dan 8 tahun pun ikut serta. Ia dan suami menjerang air, memasak sayur lodeh, dan lain sebagainya untuk dijual di warung mereka. Biasanya, pagi-pagi, sebelum pukul 7.00, orang-orang sudah mulai ramai berkunjung ke warung mereka membeli lontong, lupis, cenil, kue dan lainnya untuk sarapan pagi.
Ada juga yang singgah di warung itu sebelum berangkat ke sekolah, ke tempat kerja atau lainnya. Tak jarang pula ada yang ngobrol dari pagi sampai tengah hari, hanya sarapan lontong atau pulut, dan minum segelas kopi atau teh.
Sebagai seorang yang hanya tamatan Tsanawiyah (setingkat SLTP), bagi Syarifah kehidupannya yang sekarang lebih dari memuaskan. Ya, ia sangat bersyukur mendapatkan suami yang setia, suami yang tak pernah berpikir untuk beristri lebih dari satu. Padahal, sebagai seorang muslim, Syarifah siap apabila Bang Juned kelak mempersunting gadis lain, sebagai istri kedua, ketiga, dan keempat. Bagi Syarifah, yang penting diri dan anak-anaknya tidak ditelantarkan. Itu saja.
Sebagai anak dari seorang nelayan yang juga beristri dua, Syarifah tak pernah bermuluk-muluk, berkhayal yang bukan-bukan. Baginya, hidup bukan untuk dikhayalkan, bukan untuk melambung ke negeri jauh, ke dunia antah-barantah. Hidup bagi Syarifah adalah untuk dijalankan, untuk dirasakan, bukan untuk dilamunkan.
Maka, adalah wajar, bila ia sudah merasa cukup, sudah merasa puas. Apalagi, suami setia, kedua anaknya pun patuh, taat pada perintah agama, dan orangtua. Uang, ia tak butuh banyak. Biaya sekolah, biaya makan dan kehidupan sehari-hari dari penghasilan berjualan saja lebih dari cukup. Ditambah sesekali sang suami ikut melaut dengan nelayan lainnya.
Kadang-kadang – bila hasil kopi membludak – Bang Juned pergi ke kota penghasil kopi dan memborongnya dengan harga murah. Kopi-kopi itu, ia tumpuk saja di ruang tengah yang mereka gunakan selama ini untuk menyimpan barang-barang jualan: beras, cabai, kopi, gula dan lainnya. Karena di samping berjualan sarapan, Syarifah dan suami juga berjualan kebutuhan sehari-hari. Tak jarang, orang dari kota yang jauh berkilo-kilo meter dari desa mereka datang memborong kopi-kopi itu, tentunya dengan harga yang jauh lebih mahal. Dari keuntungan kopi ini, Syarifah bisa pula membeli emas sebagai kebanggan wanita Aceh. Apalagi? Semua berjalan lancar penuh kedamaian dan keindahan.
Sampai suatu pagi, usai shalat Subuh, pintu rumah mereka digedor paksa. “Buka... buka... buka,” teriak suara dari luar. Belum sempat Syarifah dan suami membuka, pintu rumah mereka yang terbuat dari papan itu, terkuak karena ditendang oleh gerombolan orang berseragam dengan tampang yang sinis.
“Jangan bergerak!” teriak seseorang dari gerombolan sembari menodongkan senjata laras panjang ke tubuh Syarifah, suami dan kedua anaknya serta merta meraung ketakutan.
“Ada apa... ada apa,” tanya Juned ketakutan.
“Jangan banyak cincong hai pengacau,” teriak seseorang dari gerombolan itu. Dalam sekejap, tangan Syarifah, suami dan anak-anaknya pun sudah tergari. Dalam sekejap pula pakaian Syarifah dan pakaian suaminya sudah lepas dari badan dan tak memperlihatkan bentuk pakaian.
“Biadab kalian, kappe,” pekik Syarifah. Klepak, tangkai senjata dihantamkan ke jidatnya. Darah segar mengalir dari kening perempuan muda beranak dua itu. Syarifah menangis meraung-raung. Sementara Juned berteriak sembari ingin mengejarnya.
Dalam pada itu, senjata dipukulkan ke lutut lelaki yang sangat disayanginya itu. Juned mengaduh, terduduk seketika. Semuanya kemudian menjadi sama-samar, nyaris gelap.
“Lihat... alangkah beraninya kalian mengibarkan bendera GAM di halaman rumah. Memang dasar pemberontak, pengkhianat,” bentak seseorang dari gerombolan yang berkumis tipis.
“Tidak! Aku dan suami bukan...,” gedebuk, suara pukulan menghantam bahunya sebelum kalimat selesai. Syarifah sempoyongan. Dunia terasa makin gelap.
Rumah mereka diobrak-abrik. Seluruh lemari, seluruh laci dan apa saja yang tersembunyi dibongkar.
“Lihat, kalian tak bisa membantah. Bukankah ini KTP kalian,” hardik seseorang lagi sembari menendang perut Syarifah.
Aneh, benar-benar aneh, dari mana mereka memperoleh KTP (Kartu Tanda Penduduk) ia dan suami yang menyatakan anggota GAM, lengkap dengan nomornya.
Samar-samar, setelah KTP itu dibanting oleh salah seorang dari mereka ke meja, Syarifah dapat melihat diri dan suaminya disebut sebagai anggota GAM. Di halaman rumah – meski juga samar-samar – Syarifah melihat bendera GAM berkibar ke angkasa.
“Masya Allah, siapa yang melakukan semua ini?” bisiknya lirih hampir tak terdengar.
Kemudian, setelah ia, suami dan anak-anak diseret keliling desa dan ditonton oleh hampir seluruh penduduk desa, Syarifah pun sejak itu tak tahu lagi kabar Bang Juned dan kedua anaknya. Yang ia tahu ketika itu hanya ruang pengab, berbau apek dan busuk, memuakkan, menjijikkan, dan ... apalagi?
Angin pantai masih terus bertiup, anak-anak masih terus bermain pasir, berenang, bersiram-siraman dan terkadang berkelahi. Desa itu sepertinya tak pernah berduka dengan hilangnya Syarifah, Juned dan kedua anaknya. Ya, siapa yang mau peduli. Rasa takut lebih besar dari keingintahuan mereka untuk dapat peduli terhadap nasib sesama warga. Pengalaman mengajarkan demikian, peristiwa seperti yang dialami Syarifah bisa menimpa siapa saja.
***
“Ifah, ayo kita memilih,” tegur Rohana sambil menepuk bahunya.
“Iya..ya,” jawab Syarifah.





















Bandang Itu
Cerpen: Hidayat Banjar

“Ada banyak alasan menyalahkan kami berumah di bantaran sungai dalam diskusi panjang di hotel berbintang yang mengantarkan kalian menjadi pemerhati lingkungan sejati,” lelaki itu sejenak menghentikan catatan hariannya. Warga yang ada di penampungan itu sudah bermain dengan mimpinya masing-masing. Begitu juga orang-orang yang satu barak dengan Sarmin. Sipongang hewan malam sesekali sampai juga ke telinganya, bersama misteri yang mungkin tak terbaca oleh kebanyakan bangsa manusia.
Selanjutnya terbayang di matanya orang-orang berdiskuasi panjang, bahkan berdebat tentang bencana air bah itu. Ada pula di antara para nara sumber menyalahkan mereka. “Sudahlah, hentikan pertikaian. Jadikan kami, ratusan nyawa yang meregang tanpa arti sebagai jejak sejarah bahwa kita memang abai menjaga lingkungan”. Di luar malam bernyanyi dengan iramnya sendiri. Gema suara air Sungai Bohorok yang ritmis sesayup sampai ke gendang telinga Sarmin, membuka katup kerinduannya pada keluarga.
Pena itu pun berjalan lagi: “Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini, aku manusia biasa, yang menyimpan kenangan. Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini. Bandang itu membuatku bagai sebatang pohon di tengah gurun. Anak, istri, orangtua, mertua dan orang-orang terkasih lenyap ditelan air yang membawa ribuan ton kayu. Rusuk retak, kepala pun nyaris pecah. Keajaiban jualah yang melemparku dari timbunan balok kematian itu. Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini? Aku manusia biasa, bukan batu, bersendiri di penampungan. Sesekali amis darah menelusup di rongga jiwa. Hai para maling kayu, masih sanggupkah bersembunyi memakai mulut dan tangan penguasa menyebut kami: makhluk yang pantas menerima bencana ini”. Pena lelaki itu terdiam sejenak.
2 November malam adalah hari yang tak dapat dilupakannya, mungkin sampai nyawa meregang dari badan. Ya, sebagaimana ungkapan banyak penyair: petaka datang tak memberi aba-aba. Benar, bandang itu datang begitu cepat. Segalanya berjalan bagai mimpi buruk, hanya 20 menit saja, semuanya kenangan pahit.
Di penampungan yang sumpek, lelaki 35 tahun itu ingin menulis apa saja, agar kenangan yang telah jadi impian menakutkan, tak mengusik malam-malam kesendiriannya. “Wahai para pejuang lingkungan, para ahli kehutanan, pejabat, pengusaha dan siapa saja, tak perlu saling menyalahkan, yang penting ke depan semua kita harus introspeksi dan mawas diri. Sebab, bencana tetaplah bernama bencana meskipun dibolak-balik dengan berbagai apologi dan dibungkus kalimat-kalimat manis penuh retorika”.
Yang pasti, luka para korban, luka kami, lukaku yang ditinggal mati keluarga tetaplah bernama luka, meskipun sudah dibalut dengan perban sutra. Mengenang tragedi Bohorok – bagiku – bukanlah upaya membungkus luka dengan perban sutra atau membuka kembali luka yang mulai terkatup. Tidak! Mengenang tragedi Bohorok adalah upaya mengingatkan kita semua agar jangan lagi abai mengurus lingkungan (hutan).
2 November, sejak senja, hati Sarmin gelisah. Tak tahu apa yang digelisahkan. Usai shalat Maghrib, ia berdoa sangat panjang sekali. Tetapi tak juga menemukan jawaban kenapa hatinya gelisah.
Usai makan malam dan shalat Isa, kegelisahan hatinya memuncak jadi resah. Sarmin pun menenangkan diri ke luar mencari angin. Anaknya Retno yang berumur 3 tahun ingin ikut, tapi dibentaknya. “Aih, inilah kenangan yang sangat memilukan. Kenapa harus dibentak?” bisik hatinya di kesenyapan malam, tak ada yang mendengar dan mengetahuinya. Sesama para korban di penampungan itu telah terbuai bersama mimpi masing-masing.
Di atas sesekali terdengar guruh yang memancarkan kilat. Mungkin inilah aba-aba yang tak tertangkap oleh warga Bohorok dan Sarmin. Awan tebal berarak ke sana-sini. Ya, sangat tebal. Tapi, mereka menganggap itu hal biasa. Bulan-bulan yang berakhiran er, adalah bulan-bulan di mana curah hujan cukup banyak. Tak begitu digelisahkan. Mereka menganggap hujan memang akan datang. Tetapi sedikit pun mereka tak menyangka kalau malam itu, hujan akan membawa bandang yang meluluhlantakkan.
Ya, begitu petir seakan-akan membelah langit sambung-menyambung, kemudian menumpahkan air yang sangat banyak – tersentaklah Sarmin dan mungkin yang lain – bahwa ini tidak biasa. Sarmin menerobos lebatnya hujan, berburu cepat agar segera sampai ke rumah.
Di hulu, suara gemuruh air yang penuh misteri membawa kabar bencana memang segera tiba. Sarmin terlambat sampai di kediamannya. Rumah papannya telah rubuh. Ia berteriak-teriak di gulita malam itu. Tak ada yang dapat mendengar. Jeritan suara-suara makin riuh. Ketika kilat menyambar, sekilas terlihat oleh Sarmin wajah istrinya memeluk Retno – anak mereka yang bungsu – dan berusaha melawan derasnya arus air sungai. Ibu, mertua, dan kedua anaknya yang lain tak terlihat.
Dengan sigap Sarmin melompat, mencoba menyelamtkan istri dan anaknya. Sementara, ibu kandung, mertua, dua lagi anaknya, serta saudara-saudara yang lain tak terpikirkan oleh Sarmin. Ya, dengan segenap kemapuannya, Sarmin berhasil menggapai kedua tubuh yang berpelukan di gulita malam dengan dingin membawa gigil. Saat rengkuhan kian kuat, sebuah balok besar menerjang rusuk Sarmin. Tercampaklah lelaki itu kembali ke pinggir sungai. Arus deras menggiring istri dan anaknya ke tengah sungai. Sarmin tak sadarkan diri.
Esok paginya, Senin 3 November setelah siuman dari pingsan yang panjang, rasa sakit menyergap Sarmin. Hampir seluruh tubuhnya di balut perban. Dengan terbata-bata, Sarmin minta dan setengah memaksa tim relawan yang terdiri dari petugas, SAR, para suster, dan entah siapa lagi agar sudi membawanya ke tempat pengumpulan mayat-mayat di depan Mushalla.
“Siapa tahu aku juga tak berumur panjang, hatiku telah puas dapat menyaksikan semuanya,” alasan Sarmin kepada tim relawan.
Meremang bulu kuduk Sarmin – ketika itu – menyaksikan ratusan mayat bergelimpangan dan dikabarkan juga 100 lebih orang hilang. Dalam pada itu, 400 rumah, penginapan serta cottage dan lainnya porak-poranda. Mayat-mayat itu berjejer rapi di depan Mushalla menanti giliran dimakamkan. Padahal sebelumnya, tubuh-tubuh yang diam bagai batu itu adalah manusia berjiwa. Dalam seketika berubah jadi seonggok daging tak berharga. Jiwa-jiwa mereka meregang dan lepas dari tubuh di dingin malam dalam hempasan bah yang membawa balok-balok kematian.
Di Senin 3 November itu, penguasa dan pengusaha tingkat lokal serta daerah pun mengunjungi para korban. Kemudian disusul para pengusaha dan penguasa tingkat pusat. Mereka prihatin dengan bencana itu, ya Sarmin dapat merasakannya. Tapi, apakah cukup dengan keprihatinan saja? Sejenak pena Sarmin terhenti.
Kemudian dia menulis lagi: Apa pun kesimpulan yang diambil para pemegang kebijakan, yang pasti – ketika bencana tiba – di kawasan Bukit Lawang terdapat ribuan meter kubik kayu log.
“Minggu (2 November) malam itu,” tulis Sarmin lagi, “kilat yang menyambar-nyambar di antara gelapnya awan di puncak Gunung Leuser tak diperkirakan akan membawa malapetaka bagi kami yang menghuni kawasan bagian hilir (Bukit Lawang). Semuanya sangat cepat. Cuma 20 menit,” pena terhenti, air mata Sarmin menetes membasahi tikar.
“Banjir berawal sekitar pukul 19.00. Tepat pukul 22.00, suara gemuruh, langsung menghantam apa saja yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Bohorok. Pusaran air yang begitu kuat menyebabkan aku tidak mampu menyelamatkan istri dan ketiga anak, ibu serta mertua, juga saudara-sadaraku,” tulisnya lagi.
Di tengah gemuruh air dan derak kayu yang menerobos perkampungan, Sarmin masih mendengar jeritan-jeritan minta tolong. Akan tetapi seperti warga lainnya, dia pun sebenarnya tak mampu menyelamatkan diri sendiri. Hanya keajaibanlah yang membuat Sarmin selamat.
Ya, dalam waktu 20 menit saja, desa itu sudah rata dengan tanah. Tidak ada yang tersisa. Yang terlihat Sarmin, gunungan kayu gelondongan tanpa kulit dan kedua ujungnya bekas potongan sinso. Hanya sebagian kecil kayu-kayu bersama akarnya, tersebar di beberapa titik di kampung wisata tempat dia, keluarga dan anak-anaknya mengais rezeki, bermain, tertawa serta menangis
Kayu-kayu yang menumpuk di sana-sini itu terdiri dari merbau, meranti batu, dan kayu-kayu hutan primer lainnya. Tak sedikit dari kayu-kayu itu berdiameter mencapai dua meter dengan panjang sedikitnya 30 meter. Rumah-rumah, penginapan, cottage dan lainnya porak-poranda.
Terlihat Sarmin juga lima mobil pribadi dan dua bus berbadan besar yang sedang berada di areal parkir tidak luput dari terjangan banjir. Satu bus besar bermerek Pembangunan Semesta – yang biasa melayani trayek Bukit Lawang-Medan bernomor polisi BK 7020 LB – ikut terjungkal bersama satu jip Daiahtsu Taft Rocky. Sisanya terjepit di antara balok-balok kayu yang berukuran besar.
Saat dirawat RS, Jumat (7/11) sore, beberapa wartawan mewawancarainya. Sarmin mengatakan, kayu-kayu yang dirambah dihanyutkan dari hulu pada malam hari. Setiap malam sedikitnya sepuluh balak dihanyutkan.
“Waktu saya mengantar turis, terdengar suara sinso meraung-raung di tengah belantara Leuser. Tetapi karena daerah tersebut dikatakan oleh Dinas Kehutanan adalah daerah terlarang, kami tak berani masuk. Di samping itu, Polisi Khusus (Polsus) alias ranger dari Dinas Kehutanan terlihat malang-melintang dan bebas berkeliaran di daerah itu,” ungkap Sarmin.
Katanya lagi, aksi itu sudah barlangsung selama sekitar satu tahun, sebelum tragedi yang mengenaskan terjadi. Sayangnya aparat penegak hukum tidak berani bertindak.
“Kami mendiamkan saja aksi perambahan hutan tersebut, karena takut diteror. Jika melarang, bisa-bisa masa depan kami untuk tinggal lama di kawasan Bukit Lawang hanya impian. Bahkan ancaman dan teror akan kami rasakan bila terlalu mengurusi aksi liar itu,” tegas Sarmin yang kini hidup sebatang kara.
Kepada wartawan yang mewawancarainya, Sarmin yang jebolan D3 Jurusan Pariwisata ini berharap pencurian kayu yang jadi penyebab bah ini dapat dibuktikan dan pelakunya dapat diseret ke meja hijau.
“Hutan di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Bohorok porakporanda. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut, ditumpuk, kemudian dihanyutkan lewat sungai dan ditampung di Pantai Pisang, selatan Bukit Lawang,” jelasnya kepada wartawan.
Akibat perambahan hutan itu, daerah pegunungan di sepanjang aliran sungai tanahnya menjadi retak dan gampang longsor. Pasalnya akar-akar kayu yang besar sebagai resapan air dan penyangga pori-pori tanah agar tetap stabil – tak mudah longsor – habis dibabat. Kayu-kayu besar, punah di tebang para maling kayu untuk dijadikan papan maupun broti yang dihanyutkan melalui sungai itu.
Katanya lagi, penebangan kayu secara liar, hanya sekitar ratusan bahkan puluhan meter saja dari atas bukit ke aliran Sungai Bohorok. Kayu-kayu tersebut – setelah ditebang – dijatuhkan melalui jurang ke sungai untuk dihanyutkan menuju lokasi pengolahan guna dijadikan papan atau broti. Adanya bekas jalan untuk menjatuhkan kayu ini – apabila hari hujan – air akan mengalir dari sana, maka terjadilah longsor.
“Saya dan anggota masyarakat sekitar daerah tujuan Wisata Bukit Lawang hampir setiap malam melihat ada balok yang hanyut, meski tidak mengetahui siapa pemiliknya. Guna mengatisipasi longsor, kami masyarakat yang mendiami DAS Bohorok – khususnya masyarakat yang ada di daerah Wisata Bukit Lawang – telah membuat surat undangan rapat. Ternyata, sebelum diadakan rapat, banjir bandang terlebih dahulu datang. Sangat tiba-tiba sekali, dalam hitungan menit, bencana itu meluluhlantakkan Bukit Lawang,” cerita Sarmin.
Setelah berita itu terbit di surat-surat kabar terbitan Medan dan Jakarta, serta ditayangkan di media elektronik, Sarmin didatangi seseorang dan dua temannya.
“Kalau kau tak mau diam, dengan sangat terpaksa kami akan melenyapkanmu,” kata seseorang itu ketika ia dirawat.
“Mulai hari ini, kau akan dirawat di tempat khusus yang tak akan diketahui oleh para wartawan,” kata seseorang, sementara dua kawannya mengangguk.
Seterusnya atas izin rumah sakit, Sarmin dirawat di sebuah tempat yang dia sendiri pun tak tahu namanya. Setelah agak sehat, Sarmin ditempatkan di penampungan bersama korban-korban lainnya. Kini ia hanya mencoba menulis catatan harian. Apakah ada yang membaca atau tidak, bukan masalah bagi Sarmin. Ia hanya ingin menulis saja.
Malam terus bernyanyi dengan iramanya sendiri. Sampai kapan pula Sarmin berada di penampungan ini, waktu jualah yang akan menjawabnya.
Cerpen ini didedikasikan
untuk mengenang tragerdi Bohorok
yang terjadi pada 2 November 2003.























Biarlah Dosa ini Kubawa Mati
Cerpen: Hidayat Banjar

“Aku harus berkata jujur dan menjelaskan secara terbuka. Sudah cukup lama aku bersembunyi di ruang gelap yang pengap dan bau. Ya, segala risiko dari kejujuran itu akan aku terima, akan aku tanggung, akan aku pikul. Biarlah Bang Ramli, keluarganya, dan kekuargaku membenci perlakuan bodoh ini. Biarlah! Pokoknya aku harus jujur.”
“Tidak! Jangan dibuka aib yang sudah bertahun-tahun kau simpan. Biarlah semua seperti apa adanya. Tegakah kau melihat Ramli yang begitu baik, anak-anak dan seluruh keluarga akan menerima imbasnya? Padahal semua yang kau lakukan belasan tahun yang lampau, semata hanya ingin menyelamatkan nyawa seseorang. Tidak...tidak...tidak, jangan kau lakukan itu. Bukankah menyelamatkan nyawa seseorang itu perbuatan mulia. Makanya, simpan saja semuanya dalam kenanganmu. Tidak...tidak...tidak, jangan kau lakukan itu,” Rina berteriak-teriak.
“Ada apa Bu, ada apa?” Santi yang tersentak dari tidurnya menggoyang-goyang tubuh Rina, ibunya tercinta.
“Ndak... ndak apa-apa, Nak. Ibu hanya bermimpi buruk,” jawab Rina di setengah kesadarannya. Di luar angin bernyanyi sendiri. Sprai dan warna serba putih di rumah sakit itu membuat batin Rina bertualang antara sikap jujur, bersih seputih warna kamar rumah sakit dengan dampak yang akan ditumbulkan dari kejujuran itu. Terus dan terus saja suara-suara itu menghentak-hentak kedalaman batinnya. Dari mana sumber suara itu, Rina tak menemukan jawabnya. Yang pasti, pikiran hitam-putih itu terus saja berseliweran di tempurung kepala dan dadanya.
***
Ruang kamar berukuran 4 X 4 meter terasa begitu lapang dan lengang. Azan subuh telah menggema. Rina tahu itu, tetapi ia tak sanggup bangkit. Mas Ramli kini yang mengambil alih pekerjaannya dibantu anak-anak.
Usai shalat Subuh, Ramli mempersiapkan segala sesuatunya, baik untuk keperluan anak-anak, dirinya dan Rina. Kalau dulu – sebelum Rina sakit – seluruh keperluan Ramli telah disediakan. Lelaki itu memang terasa dimanjakan oleh Rina. Makanya – meski repot – Ramli ingin membalas kebaikan istri tercintanya itu.
“Ada saat memberi, ada saat menerima,” begitu selalu ia memfatwakan pada diri, dan keluarganya.
Setelah semua beres, sarapan telah terhidang di meja makan, Ramli pun mandi dan berbenah-benah akan berangkat ke kantor. Ana-anak pun tahu tugas masing-masing. Saat mengambil pakaian, terlihat Rina dari cermin yang ada di lemari itu memegangi perutnya. Mungkin teramat sakit.
“Bagaimana, apa tidak sebaiknya kita ke rumah sakit?” Rina tak menjawab. Hatinya ngilu. Sebab, sebenarnya ia telah memeriksakan diri ke dokter. Positif, Rina terkena kanker rahim. Cuma, ia masih menyembunyikan hal itu. Banyak pikiran bersimpangsiuran di kepalanya.
***
Hari-hari berjalan, bagai kendaraan sarat beban, begitu lambat, begitu memuakkan. Kamar rumah sakit tempat wanita itu dirawat, dirasakannya bagai penjara yang tak saja mengurung fisik, pun jiwanya. Muak, tentu saja, tapi mau berbuat apalagi? Sudah hampir dua minggu Rina dirawat di sini. Dokter menganjurkan, Rina harus dioperasi. Kandung rahimnya harus diangkat keseluruhan agar kanker tersebut tak lagi menggerogoti tubuhnya.
Agar operasi bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan, Rina harus kuat, tubuhnya harus dirawat. Tapi kenyataannya, hari ke hari, tubuh Rina makin melemah saja.
“Petaka itu akhirnya datang juga,” bisik Rina kepada dirinya sendiri. Ia pun tak dapat mengelak ketika harus dibawa ke rumah sakit. Saat ia dan Rahmat, anak bungsu mereka yang masih duduk di kelas II SMP di rumah, Rina pingsan menahan sakit yang bersangatan. Rahmat menelepon ayahnya agar segera pulang. Rina pun dibawa ke rumah sakit untuk diopname.
Di luar angin malam bertiup perlahan. Sesekali terdengar kelakson kendaraan bermotor yang mungkin saja meminta kendaraan di depannya memberi jalan.
Jam sudah menunjukkan angka 1, sudah larut memang, tapi Rina belum juga dapat tidur. Pikirannya terus bermain-main antara bersikap jujur dan dampak yang ditimbulkannya. “Apa mungkin aku katakan semua ini dengan Mas Ramli? Tidak! Mas Ramli yang baik, yang begitu percaya padaku, pasti tidak akan terima kenyataan ini. Lalu, kalau tidak aku katakan dengan jujur, apakah dosa ini akan kubawa sampai mati. Tidak!. Tuhan… Tuhan… Tidak Tuhan, aku tak sanggup,” Rina berteriak-teriak.
Santi anak pertamanya yang sudah tertidur pulas, usai menyaksikan salah satu acara televisi kegemarannya, tersentak. “Kenapa Bu, kenapa?” tanyanya.
Rina cepat tersadar. “Ndak apa-apa Nak, Ibu hanya bermimpi buruk,” jawabnya untuk menutupi hatinya yang gelisah.
“Apa perlu Santi panggilkan dokter atau perawat, Bu?” ujar Santi sembari mengusap-usap rambut ibunya tercinta. Kemudian diambilnya sapu tangan, keringat-keringat kecil yang membasahi wajah ibu dihapus dengan kasih. Sapuan tangan Santi yang lembut itu bagaikan embun menyejukkan daun-daun pohon. Ya, kasih yang ditabur Rina kepada suami dan anak-anaknya ternyata tumbuh dan berkembang meperlihatkan wujud sejatinya.
Di luar daun-daun mangga bergesek-gesek, menimbulkan irama malam yang syahdu dan penuh misteri. Ada bulan sesamar. Tapi, gelap lebih luas menutupi cakrawala. Ya, malam adalah perumpamaan yang pas tentang misteri. Gelapnya, menyimpan banyak hal, banyak kisah yang tak terbaca oleh manusia.
Rina memang sebenarnya ingin sesenggukan dan menangis sejadi-jadinya di pangkuan anak terkasihnya, Santi. Kebodohan masa lalu mengurngnya ke dalam tempat yang teramat sempit, pengab dan bau. Selama ini ia dapat berjalan dengan penuh kejujuran, tapi setelah persitiwa itu – yang sebenarnya terjadi hanya karena faktor kasihan saja disertai kebodohan, mungkin – Rina mengharuskan ada yang tertutup pada dirinya.
Begitu juga saat keinginan untuk sesenggukan, terpaksa ditahan. Kalau itu ia lakukan, bukan akan menyelesaikan persoalan, bahkan mungkin membuat kondisi lebih runyam. “Ah... biarlah aku pikul sendiri,” bisik hatinya.
Besok, Minggu Santi tidak bersekolah, sehingga bisa sepanjang malam bersama Rina. Malam ini memang gilirannya menjaga Rina, ibunda tercinta yang penuh kasih pada mereka.
Sebenarnya, sebagai alumnus jurusan filsafat salah satu universitas di kotanya, Rina siap menerima banyak hal. Tetapi entah kenapa soal yang satu ini, ia hampir gila memikirkannya.
Bagaimana ia mau berkata jujur, jika hal itu akan merusak kehidupan rumah tangganya. Anak-anak, suami, mertua, bahkan orangtuanya sendiri pun, pasti tak akan menerima perlakuannya yang tolol beberapa tahun lampau.
Jika ia mengikutkan gejolak yang ada di dada dan kepalanya, pasti sekali tidak akan memperhitungkan kepentingan yang lebih besar: konstelasi kehidupan berkeluarga. Ya, seperti para pelaku politik akhir-akhir ini, yang tak lagi melihat kepentingan lebih besar: kita adalah sebuah bangsa. Para pelaku politik berkencendrungan hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Tidak! Itu tidak baik dan tidak boleh dilakukan!
Begitu jugalah sebenarnya kehidupan berkeluarga. Andai wacana berkeluarga disamakan dengan politik, maka sesungguhnya kita harus melihat kepentingan yang lebih besar, lebih luas. Jika tidak, semua akan amburadul, seperti kacaunya jarum grafik yang menunjuk seismograf atau penala tempratur yang sedang rusak. Jumplitan tak karuan, susah dicari matranya untuk dijadikan ukuran.
Ya, jika Rina mengungkapkan asal-muasal penyakitnya, pasti sekali, kondisi keluarga keduabelah pihak akan amburadul sebagaimana jagat politik Indonesia saat ini.
***
Sampai di bandara kota J, Rina, ayah dan ibunya menaiki Damri menuju pusat kota. Seterusnya naik bajaj menuju stasiun kereta api yang akan membawa keluarga itu ke kota B. Mereka memang bersepakat hanya istrahat di kendaraan, di samping menghemat waktu, juga biaya.
Perjalanan dari kota J ke kota B yang memakan waktu kurang lebih 6 jam cukup melelahkan juga. Tapi, kata Pak Ramadhan ayah Rina, di samping membezuk keluarga yang sakit, ia pun telah rindu dengan kampung halaman serta keluarga yang ada di kota B. Sudah lebih lima tahun Pak Ramadhan tidak mudik. Bukan apa-apa, sebagai karyawan biasa di perusahaan swasta, keluarga itu memang dipaksa keadaan untuk hidup sederhana dan bersahaja.
Adik Rina yang dua orang memang tidak ikut, di samping untuk menghemat, juga menjaga rumah. Ya, hidup di kota M, tak jauh beda dengan kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia, harus padai-pandai mengatur waktu dan keuangan.
Kunjungan ke kota B, sekitar 19 tahun yang lampau itulah penyebabnya. Ya, petaka memang datang tak memberi aba-aba. Rina dan keluarga mengunjungi sepupunya Barjo yang terkena penyakit kanker darah di kota B. Dokter yang merawat, memastikan bahwa Barjo hanya dapat bertahan hidup selama enam bulan saja.
Sebagaimana manusia adanya, Barjo tak mau menyerah begitu saja, ia pun mencari jalan lain, menemui orang pintar. Oleh si orang pintar, Barjo disarankan agar menyetubuhi wanita yang punya pertalian darah dengannya.
“Inilah syarat agar penyakitmu dapat sembuh,” tutur Barjo menirukan si orang pintar saat Rina hanya tinggal berdua dengannya di teras depan suatu sore.
Semula Rina tak percaya dengan penjelasan Barjo itu. Tetapi ketika dirinya diajak untuk menemui si orang pintar dan disebutkan hal sebagaimana yang dikatakan Barjo, Rina dapat memahami.
“Persetubuhan itu sebulan hanya boleh dilakukan sekali saja. Mudah-mudahan, dalam lima bulan – berarti lima kali persetubuhan – penyakit Anda, akan berkurang bahkan tak mustahil sembuh secara total,” papar orang pintar.
Usai menemui si orang pintar, Rina dan Barjo pun mencari penginapan, dan mereka lakukanlah hal yang terlarang itu, tanpa cinta, tanpa upacara sebagaimana lazimnya orang berkeluarga.
Bunga sorgawi pun gugurlah dari tangkainya tanpa prosesi dan upacara yang sakral. Sedih? Entah... Rina tak tahu, sedih atau gembira. Yang Rina tahu, datar saja. Mengalir bagai air menuju tempat-tempat rendah.
Yang Rina tahu, semua ini ia lakukan semata hanya tuntutan kemanusiaan, ingin menyelamatkan jiwa Barjo. Usai melaksanakan semuanya, tak ada hal yang membekas di batin Rina. Penyesalan juga tidak, ketika itu. Ada memang terselip perasaan was-was, ketakutan Rina hanya sebatas benih yang ditabur Barjo akan membuahkan anak dan penyakit. Hanya itu. Dosa? Ya, sebagai orang yang beragama, Rina takut dosa. Tetapi, saat melakukan persebutuhan, yang terbayang di benaknya hanya satu: menyelematkan jiwa Barjo, anugrah satu-satunya dari Tuhan kepada manusia dan makhluk hidup lainnya.
Setelah beberapa hari di kota B, Rina dan keluarganya kembali ke kota M. Seterusnya, tak bertemulah ia dengan Barjo.
Entah bagaimana, suatu pagi menjelang siang sebulan kemudian, Barjo tiba di kota M. Alasannya adalah untuk berobat. Betapa bergetarnya jatung Rina pagi itu, dan terasa nyaris putus, menyaksikan wajah sepupunya yang kian kurus dan pucat menahan gerogotan kanker ganas itu, tapi masih sanggup menempuh perjalanan beratus bahkan beribu kilometer untuk sampai di kota M, bila naik bus.
Andai pun naik pesawat, Barjo memerlukan waktu empat jam lebih untuk sampai di kota M. Sebab, dari kota B, pesawat akan transit dulu di kota J, sebelum melanjutkan penerbangan ke kota M.
Demikianlah, Barjo mengatakan kepada orangtua Rina, bahwa dirinya akan mencoba mencari orang pintar di kota M ini. Sebab – menurut Barjo – ia telah bosan berobat ke sana-sini. “Hanya di sinilah harapan saya,” tuturnya ketika itu. Saat itu, Rina paham apa yang dimaksud Barjo.
Makanya, saat Barjo mengajak menemani berobat, Rina mau saja. Terjadi lagilah persetubuhan yang seharusnya belum boleh mereka lakukan itu. Namun Rina enteng saja.
Sebelum kembali ke kota B, Barjo meminta Rina agar bulan depan datang ke kota B. Rina tak dapat menjawab, di samping biaya, waktu dan banyak hal lainnya yang tak memungkinkannya memenuhi permintaan Barjo itu.
Sebulan kemudian setelah peristiwa yang kedua itu, tanda-tanda kehamilan tidak dirasakan Rina. Sebelumnya, surat dan telepon Barjo yang memintanya ke kota B terus saja datang. Rina hanya menjawabnya dengan tangisan.
Akhirnya, tiga bulan kemudian – setelah persetubuhan kedua – Barjo menghembuskan nafas terakhir. Ya, mereka hanya bisa bersetubuh dua kali saja. Sementara anjuran si orang pintar, harus lima kali. Rina sedih, pengorbanannya, ternyata hanya sia-sia. Ia ikhlaskan keperawanannya semata untuk menyelamatkan nyawa Barjo. Ya, nasi telah menjadi bubur. “Bagaimana mungkin aku yang mendatangi Mas Barjo. Uang, waktu, ah...” bisik hati Rina.
Seterusnya, Rina menjani rutinitas kehidupan seperti biasa. Perlahan-lahan, kenangan dan wajah Barjo dapat ia simpan di lemari pikiran dan perasaannya yang berdiding besi tanpa pintu dan jendela. Rina membantu keluarga, kuliah dan sampai akhirnya tamat dan dilamar Mas Ramli.
Di malam pertama, jantung Rina berdetak tak karuan, saat Mas Ramli melakukan tugas kelelakiannya. Rina sangat bersyukur, Mas Ramli dapat memahami bahwa tidak berdarahnya peristiwa malam pertama itu, bukan semata karena tak gadis lagi.
Ya, sejak malam pertama itu, Rina terus menyimpan kenangan yang sesungguhnya ingin dibuang jauh-jauh. Andai lembaran kisah hidup manusia seperti buku, Rina mau merobek lembaran tak sedap itu. Tapi, bagaimana mungkin? Jejak sejarah tak mungkin dihapus dari kenangan manusia. Kita hanya bisa menyimpan dan menutupnya rapat. Ya, hanya itu.
Ketakutan Rina tentang kehamilan dari benih yang ditabur Barjo memang tidak ada lagi. Tetapi, hal yang terus mengganjal di sepanjang hidupnya adalah benih penyakit Barjo ditabur di rahimnya.
Santi, anak pertama lahir normal, ketakutan akan penyakit itu, mulai hilang. Begitu juga saat Salma, anak kedua lahir, ketakutan bertambah hilang. Sampai anak ketiga, Rahmat yang kini duduk di kelas I SMP lahir, ketakutan akan tertularnya penyakit dari Barjo telah hilang sama sekali.
Namun, ketika Ramhat di kelas II SMP semester pertama, gejala sakit perut sesekali muncul. Lama kelamaan makin kuat. Dengan tanpa sepengetahuan Ramli, Rina berobat sendiri.
“Ya Tuhan,” setengah berteriak Rina berucap ketika dokter mengatakan ia terkena kanker Rahim.
***
Di rumah sakit ini, sudah hampir dua minggu keluarga menunggu keadaan Rina jadi lebih baik, agar dapat dioperasi. Tapi justru keadaannya makin kurus dan lemah. Ya, saat azan subuh menggema – setelah melalui pergulatan batin yang panjang – Rina memutuskan: “Biarlah semua dosa ini kubawa sampai mati. Aku tak kan membawa-bawa keluarga ikut memikul dosa ini sehingga mengantarkan mereka ke lembah kehancuran hanya karena sebuah semangat kejujuran. Tidak!”. Ya, Rina tertidur pulas, nyenyak sekali dengan kesimpulan itu. ***

Medan Awal Juli 2004.



























Pohon Besar di Deleng Ganjang
Cerpen: Hidayat Banjar

Di tempat yang disucikan masyarakat desa, beberapa pengunjuk rasa berdoa meminta kekuatan agar keramat Deleng Ganjang turut serta mendukung mereka dalam gerakan menyelamatkan hutan. Sebagian pengunjuk rasa mengantarkan sesajen seperti serangkai pinang, sirih, kelapa muda, telur ayam, daun-daunan bergelar ‘penyayang’, sirih tiga rupa, beras empat marga, cimpa tujuh jenis, dan beberapa kain putih bersama ayam merah.
Rapalan-rapalan dibacakan. Terkadang mereka bersujud, membungkuk dan menyembur-nyemburkan sesuatu dari mulut. Aroma kemenyan dan bunga-bungaan berbaur dengan uap lembab pegunungan. Siulan burung-burung, dan bunyi-bunyian hewan rimba memerdui suasana yang terasa kian magis.
Semula perlahan, lama-kelamaan makin meninggi dan kian riuh. Ketika para pemuja pohon besar itu sampai pada puncak esktase dan nyaris tak sadarkan diri, tiba-tiba terdengar suara ras dari salah satu ranting pohon besar, kemudian disusul bunyi bum. Sesosok tubuh jatuh, bagai nangka busuk menimpa tempat pemujaan. Sementara dua kawannya masih di atas pohon berteriak-teriak ketakutan.
Menyaksikan itu, Valent sang dokter kesehatan yang terlibat dalam aksi terperanjat. Pengunjuk rasa lainnya juga tidak jauh beda. Seketika beberapa pengunjuk rasa bergegas menyaksikan sosok tubuh yang terjatuh dan menolongnya.
Sebagian lagi membantu menurunkan dua sosok tubuh yang – seketika itu juga –berteriak-teriak di atas pohon besar. Para pemuja lainnya yang masih berdoa sontak bangkit. Makin riuhlah suasana di pagi menjelang siang itu.
Sosok tubuh yang terkapar di altar persembahan dengan kepala berdarah dan beberapa tulang yang patah dibopong ke mobil, selanjutnya dibawa ke desa untuk pertolongan pertama. Sedangkan yang dua orang lagi – setelah berhasil diturunkan dari pohon besar itu – terus saja mencerecau, bagai orang kesurupan. Beberapa orang yang tadi berdoa di pemujaan coba membantu dengan membaca rapalan-rapalan, cerecau kedua orang itu berhenti. Tapi, apa yang terjadi, kedua orang itu tiba-tiba saja gagu, tak bisa bicara. Apabila ditanya, jawabnya hanya dengan tertawa-tawa, kemudian dibawa juga ke desa.
***
Banyak sudah cerita tentang pohon besar di deleng ganjang itu yang sampai ke telinganya. Tapi sebagai alumunus fakultas kedokteran – yang menggantung stetoskop karena hasrat menjadi guru – lelaki yang lahir dan dibesarkan dari keluarga intelektual, tak mudah percaya ataupun tak percaya mengenai sesuatu hal, sebelum fakta empiris yang berbicara. Orang-orang desa, kerap menginformasikan kepadanya apa-apa yang pernah terjadi di pohon besar berdiameter berkisar 2,5 hingga 3 meter tersebut.
Kini, peritiwa itu ia saksikan sendiri dengan mata kepala. Pohon besar yang tumbuh di belantara deleng ganjang diyakini sebagai ‘induk’ dari pohon-pohon lain memang beda dari pohon-pohon lain. Tingginya puluhan, bahkan mencapai ratusan meter ke atas. Tak ada yang pasti tentang seberapa besar dan tingginya pohon yang di bawahnya ada tempat pemujaan tersebut. Yang kerap didengar lelaki itu dan kini dilihat sediri: peristiwa-peristiwa unik sering terjadi di seputar pohon tempat pemujaan itu.
Pernah suatu kali seorang penebang kayu terpelanting bersama sinsonya ketika mencoba menggergaji pohon yang kerasnya nyaris memenyerupai baja tersebut. Seketika gergaji si tukang sinso patah, dirinya terpelanting jauh membentur pohon lain, dan tewas seketika dengan kepala pecah. “Keramat deleng ganjang marah,” cerita orang-orang padanya. Ia diam saja ketika masyarakat bercerita padanya.
Sebagai seorang guru, lelaki itu mendengar cerita-cerita orang desa tentang pohon besar, para pencuri kayu yang tak pernah jera, juga kegelisahan masyarakat jika keramat deleng ganjang marah. “Sekarang saja sudah banyak penyakit yang menimpa tanaman-tanaman dan kita. Lalat-lalat perusak jeruk, hama tanaman, longsor, mata air yang kian mengecil bahkan mengering, dan lain sebagainya,” cerita seorang petani jeruk padanya.
Sebagai seorang guru yang alumnus fakultas kedokteran, lelaki itu terbiasa berpikir rasional. Orangtua lelakinya yang dokter, ibunya yang kepala bidan, serta abang juga kakanya yang dokter dan insinyur, membuat lelaki itu tak mudah percaya atau tak percaya dengan sesuatu. Baginya, sebelum fakta empiris yang berbicara, sesuatu itu tetaplah ada dan enak jadi cerita saja. Tapi kini, peristiwa itu ia saksikan sendiri.
***
Angin siang menjelang senja di kota kabupaten dataran tinggi itu tak mampu memberi kesejukan orang-orang yang bergerombol membawa bara di dada masing-masing. Ribuan masyarakat berosarak-sorai meneriakkan yel-yel agar penebangan hutan dihentikan. “Hutan dibabat, kami merana. Jangan wariskan air mata, tapi mata air kepada anak cucu kita,” teriak mereka yang memadati halaman kantor kepolisian resor (polres) setempat hingga tumplek blek ke jalan raya.
”Kenapa kami rakyat yang dipersalahkan. Kenapa Bapak Pertua, dan pemuka-pemuka masyarakat serta Valent yang ditahan? Kenapa maling kayu tak ditangkap,” teriak mereka makin histeris. Matahari yang membakar ubun-ubun tidak dipedulikan. Arus lalulintas terpaksa dialihkan, karena jalan raya di depan kantor polres tersebut dipenuhi oleh massa pendemo.
Para petinggi di kabupaten itu heboh, rapat singkat tertutup pun dilakukan. Sementara Pertua Tarigan, Valent dan tiga pemuka masyarakat mendekam di sel polres (polisi resort) tersebut dengan tuduhan provokator yang menyebabkan tewasnya seorang penebang kayu dan gilanya dua orang kernetnya.
Sepoi angin gunung tak mampu menyejukkan suasana terik yang dipancarkan matahari. Ditambah berjubelnya masyarakat yang memadati halaman dan seputar kantor polres hingga ke jalan raya, suasana panas makin terasa menggerahkan. Bara yang ada di dada mereka tinggal menunggu membakar segala yang menghadang.
Target mereka, Pertua Tarigan, Valent dan tiga pemuka masyarakat dibebaskan. Kemudian penebangan liar atas nama pembukaan jalan tembus itu dihentikan dan pelaku-pelakunya diproses secara hukum.
Usai meneriakkan kata: merdeka... merdeka... merdeka, mereka menyanyikan lagu daerah yang bunyinya: Lit lenna perjuma deleng/Lit senna rabina deleng
Anak imbo... anak imbo sikena ranjo. Artinya: Ada bedanya petani hutan/Banyak duitnya tapi pencuri kayu/Anak siamang... anak siamang terkena jerat. Seterusnya mereka bergerak, ada yang menuju arah pulang, ada pula yang menelusuri hutan.
***
Seorang anggota polisi mendatangi sel tempat Valent, Pertua Tarigan dan pemuka masyarakat ditahan, kemudian mengajak Valent untuk berbicara empat mata. Semula Valent menolak, tetapi setelah mendapat penjelasan, akhirnya mengikuti petugas polisi ke sebuah ruang.
“Bagaimana kalau Bapak Valent dan keempat Bapak lainnya menandatangani surat penangguhan penahanan?” petugas polisi menawarkan kemungkinan agar Valent, Pertua Tarigan dan ketiga pemuka masyarakat tersebut dapat dilepas.
“Daripada dilepas dengan penangguhan penahanan, saya lebih baik di penjara ini. Saya selaku aktivis berkeyakinan, jiwa manusia merdeka tak dapat dipasung oleh apa dan siapa pun, ia tetap berada di alam bebas. Penebang kayu itu mati karena terjatuh dari pohon, bukan dibantai masyarakat sebagaimana sudah saya jelaskan. Kedua kawannya jadi gila, bukan pula kami yang harus bertanggung jawab. Jadi, kalau saya dan kawan-kawan menandatangai surat penangguhan penahanan ini, berarti kami menerima tuduhan sebagai provokator,” tandas Valent. Di luar, masyarakat semakin bertambah banyak, berteriak-teriak kian riuh.
Akhirnya, petugas polisi kembali menghadap komandannya dan Valent kembali ke selnya. Seterusnya petugas polisi tadi kembali menemui Valent, Pertua Tarigan, dan ketiga pemuka masyarakat. Petugas polisi itu mengatakan, mereka akan dilepas tanpa syarat. Cuma diminta kepada mereka agar menenangkan masyarakat seterusnya pulang kembali ke desa masing-masing. Valent dan rekan-rekan setuju.
Begitu Valent, Pertua Tarigan dan kedua pemuka masyarakat ke luar dari sel dan berada di halaman polres tersebut, masyarakat menyambut dengan yel-yel: hidup Valent, hidup Petua Tarigan, hidup rakyat, selamatlah hutan!
Setelah masyarakat tenang, Valent menaiki stage yang biasa dipakai untuk upacara, apel pagi dan lainnya.
“Saudara-saudara, Bapak Ibu, teman semua, hutan berfungsi untuk menyerap, menyimpan dan mengalirkan air ke mata air. Akar-akar kayu adalah ‘alat’ sirkulasi air yang tak mungkin tergantikan dengan apa pun.
Dari hasil penelitian, setiap meter kubik humus dengan ketebalan 25 atau 30 cm, mampu menyimpan air 300 liter dan untuk membuatnya butuh waktu 10 tahun. Dengan demikian, betapa besar jumlah air yang tidak dapat disimpan karena kerusakan hutan di kabupaten tempat leluhur saya dilahirkan ini.
Menurut taksiran saya, kerusakan hutan di kabupaten ini sudah mencapai 26.000 hektar. Itu berarti 26.000 hektar humus mengalami kerusakan, yang sama dengan 26 juta meter kubik humus rusak. Dampaknya 78 miliar liter air tak dapat diserap dan disimpan dengan baik.
Bukti ini dapat kita lihat beberapa tahun terakhir banjir besar melanda kota-kota dan daerah yang mengelilingi kabupaten kita ini sebab sungai-sungainya berhulu di daerah kita ini. Dari kejadian itu dapat kita maklumi betapa pentingnya melindungi hutan, agar tidak menimbulkan bencana kemanusiaan,” Valent berapi-api.
“Saya pikir saya lebih bagus berada di dalam penjara, daripada diminta berhenti memperjuangkan hutan. Makanya kita perlu melakukan perlawanan agar dapat mewariskan mata air ke anak cucu, bukan air mata. Perjuangan mewariskan mata air semata untuk kepentingan kita umat manusia, bukan untuk dan jadi apa-apa.
Melihat kenyataan di kabupaten kita ini, saya bersama rakyat akan terus berjuang melawan perambahan hutan secara liar. Sebab, di samping kezaliman-kezaliman lainnya, perambahan hutan secara liar – menurut saya – adalah juga kezaliman yang secara sistematis akan memiskinkan serta memarjinalkan rakyat. Terakhir, mereka akan membangun koloni usaha di sini dengan membeli tanah rakyat murah-murah.
Hari ini seseorang mati karena terjatuh dari pohon dan dua orang mengidap kelainan jiwa karena kemasukan jin hutan, kok kita yang harus bertanggung jawab. Apakah Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara, ada memukul orang yang mati itu?”
“Tidak!” jawab masyarakat setempat.
“Karena itu, saya, Pak Pertua Tarigan, dan tiga Bapak ini tidak mau menandantangani surat penangguhan penahanan karena kita tidak bersalah. Kalau surat itu ditandatangani, berarti kita menerima tuduhan sebagai provokator,” tandas Valentino.
“Betul,” teriak masyarakat.
“Bapak polisi sudah membebaskan kita karena memang memahami kondisi sebenarnya, apakah kita bisa berjanji akan pulang ke desa masing-masing tanpa keributan?”
“Bisa! Kami siap pulang dengan tenang dan damai. Cuma, polisi harus berjanji untuk mengusut tuntas pelaku perambahan hutan sampai dalangnya,” teriak masyarakat.
Spontan kepala polisi resort (kapolres) tersebut muncul di tengah-tengah masyarakat, “saya berjani akan mengusut tuntas pencurian kayu di kabupaten kita ini berikut aktor intelektulanya. Masyarakat diminta bersabar dan dapat pulang kembali ke rumah masing-masing dengan tenang,” janjinya.
Tapi, sampai kepla polres itu dipindahtugaskan ke kepolisian daerah (polda) janji itu tak pernah terealisasi. Masyarakat menanam sendiri lahan yang sudah porakporanda tersebut tanpa hambatan dan gangguan dari pihak mana pun. Pohon kayu besar tempat pemujaan pun makin berdiri gagah.***

Deleng Ganjang (bahasa Batak Karo) = Bukit atau tebing tinggi. Simalem = Sejuk dan menyehatkan.




















Air Mata Brutus
Cerpen: Hidayat Banjar

Malam itu Brutus, kepala pengadilan wilayah pegunungan belum dapat memejamkan kedua matanya. Meski tempat tugasnya di wilayah pegunungan, tetapi kediaman Brutus ada di kota besar, di ibukota provinsi.
Brutus tinggal di sebuah rumah mewah yang menyerupai istana. Ya, rumah itu pantas disebut istana nan megah. Sebuah istana yang di semua sisinya diterangi oleh cahaya, kamar-kamarnya diisi dengan perabot rumah tangga yang elok, sesuai dengan kebesaran dan ketinggian statusnya sebagai kepala pengadilan. Di dalam istana itu pun ada beberapa pembantu, baik laki-laki maupun perempuan. Semuanya tunduk dan patuh kepadanya. Dengan satu kata, apa yang Brutus inginkan menjadi kenyataan.
Kasur sutra yang digunakan untuk tidur, seperti berisi paku dan duri yang menusuk-nusuk tubuhnya. Beberapa penerangan yang memberi cahaya kamarnya, tampak berkelap-kelip, seakan-akan bola mata yang membuat pandangannya kuyu. Neon-neon itu seakan melukiskan kekecewaan hatinya yang dalam.
Malam itu, Brutus kesulitan untuk tidur. Tiba-tiba ia melompat dari pembaringan yang berkasur empuk. Dua matanya tampak sudah mengantuk. Wajahnya pucat seperti bermendung. Ia segera memadamkan neon-neon itu.
Seketika kamar Brutus gelap, tenang dan sunyi senyap. Saat itulah ia merasakan tenang dan nyaman. Jiwanya yang paling dalam pun ikut merasa tenang. Dengan suaranya yang nyaris tidak kedengaran ia bergumam:
“Alangklah indahnya kegelapan, meskipun mata tidak bisa melihat sesuatu. Tidak ada lampu-lampu yang menyala. Tidak ada hiasan apa pun di atas dinding. Tidak ada tirai terbuat dari kain berwarna-warni. Tidak ada apa-apa, tak ada sesuatu yang bisa kulihat, kecuali kegelapan yang hitam lagi pekat, membuat jiwaku tentram dan tenang. Pada malam seperti ini, aku tidak suka ada cahaya. Dengan adanya cahaya, membuat fisik serta ruhku terasa ada.”
Istrinya yang sejak tadi tidur nyenyak terjaga, kemudian bergerak-gerak. Ia masih mengantuk sekali, sehingga belum membuka dua matanya. Karena belum terjaga betul, ia berujar dengan kata-kata yang terputus-putus, seperti cedal.
“Apa yang kamu kerjakan, Brutus?”
Dengan nada sedikit keras, Brutus menyahut, “Tidurlah, kau. Tidak ada apa-apa. Kau tidak perlu memikirkan apa yang kupikirkan. Malam ini kau harus tidur.”
“Kau telah memadamkan lampu-lampu itu! Ini membuatku tidak enak. Dalam kegelapan pekat seperti ini, kurasakan nafasku tercekik.”
Dengan segera kepala pengadilan memotong ucapannya:
“Engkau sekarang bisa pergi ke kamar lain mana pun, jika kamar ini kurang cocok denganmu. Pilih kamar lain kalau memang di sini kurang nyenyak tidurmu!”
Ungkapan ini membuat istri Brutus terkejut, karena seakan ia telah mencelanya. Kata istri Brutus dalam hati, “Tentu dia sedang mengigau, karena hari ini dia ada pekerjaan berat, menyidangkan perkara penodongan dengan pistol dan pencemaran nama baik. Yang lebih memberatkan pikirannya adalah kelicikan penguasa-penguasa itu, menjebaknya ke dalam permainan kotor.”
Begitulah istri Brutus berkata dalam hati. Ia tidak berani mengutarakan itu pada suaminya. Katanya lagi dalam hati, “Ah, ah aku tak mengerti apa yang dia bawa ke sini. Bumi yang menyusahkan, tekanan-tekanan dari atasan, perselingkuhan, permusuhan. Tapi apa gunanya ungkapan-ungkapan pemerintahan yang bersih. Dan Brutus sebagai kepala pengadilan di satu sisi harus bersikap jujur, tetapi di sisi lain harus mengikuti kehendak atasan.
Sampai di situ, istri Brutus berhenti berpikir, karena suaminya bilang, “Heh...! Apa katamu? Apakah kau akan tetap di dalam kegelapan?”
“Selama engkau menyukai kegelapan, akupun menyukainya, sepertimu Brutus.”
“Terserah kamu kalau begitu.”
Istri Brutus diam saja. Dia berusaha menciptakan suasana yang enak lagi menyenangkan di ruangan itu, namun belum menemukan caranya. Ia ingin menggembirakan hati suaminya. Ia ingin bercanda, meskipun belum ditemukan kata-kata dan ungkapan yang lucu. Untuk itu, ia mengangkat tangannya, kemudian meraba-raba rambut kepala, berikut kumisnya. Tetapi Brutus menepis tangan istrinya, pelan, seraya mengutarakan bahwa dirinya ingin segera tidur, karena kepalanya pusing sekali. Semua persendian ototnya letih. Maka tak ada obatanya kecuali tidur nyenyak.
Agak marah, serta malu, istri Brutus menjauh, lalu berujar, “Tampaknya kau tertekan dengan keputusan yang kau ambil.”
Brutus tertawa dengan suara agak tinggi mendengar ujaran suaminya. “Aku tidak pernah memikirkan vonis itu.
Tak lama berselang, Brutus tidur nyenyak. Ia sudah mendengkur. Sampai istrinya mendengar tarikan-tarikan napasnya yang panjang.
***
Pagi itu, suasana pengadilan begitu riuh. Masyarakat begitu banyak ingin menyaksikan sidang hari ini yang akan mendengar pembacaan vonis. Sidang split ini, pertama dilakukan untuk terdakwa Sang Dokter yang dituduh mencemarkan nama baik seorang pengusaha. Setelah itu, baru sidang sang pengusaha yang didakwa karena menodongkan pistol ke perut pejuang lingkungan itu.
Sidang yang terdakwanya Dokter Valent, berjalan mulus, dengan vonis bebas. Apa yang didakwakan kepadanya, tidak terbukti. Dokter Valent harus bebas demi hukum. Masyarakat yang ada di luar dan di dalam ruang sidang bersorak-sorak gembira menerima keputusan itu. Sebab, selama ini memang Sang Dokter tumpuan harap mereka untuk menyelamatkan hutan.
Memang masyarakat menyadari, bahwa perjuangan – apa pun bentuknya – haruslah dilalukan oleh rakyat secara bersama-sama. Tapi, kehadiran Sang Dokter, sepertinya memberi roh terhadap gairah pergerakan tersebut. Artinya, ketika Dokter Valent ada di dalam gerakan, serasa kekompakan masyarakat, makin solid.
Setelah sidang Sang Dokter usai, jeda sejenak. Kemudian dilanjutkan dengan sidang yang terdakwanya Sudarto. Masyarakat ketka itu diminta untuk tidak memadati ruang sidang yang memang tidak begitu luas. Selanjutnya, pintu ruang sidang ditutup. Sebagian besar masyarakat hanya mendengar jalannya persidangan lewat pengeras suara. Di pertengahan sidang, aliran listrik mati. Masyarakat di luar ruang sidang berteriak-teriak. Mereka meyakini, ini hanya sebuah rekayasa. Makanya, ada pula yang mengeluarkan makian.
Usai sidang, ketika diketahui bahwa Sudarto juga divonis bebas, masyarakat memburu lelaki separo baya dengan rambut putih itu. Petugas segera mengamankannya. Selanjutnya Brutus sebagai kepala pengadilan diburu masyarakat. Segera juga petugas mengamankan. Sumpah serapah pun bermunculan. Beberapa ibu yang mengunyah sirih sempat pula nembuang ludahnya ke muka Brutus. Ludah berwarna merah itu menempel di wajahnya. Brutus jijik sekali dan ingin marah, tapi petugas menahannya.
“Berapa kau terima uang dari pencuri kayu itu he,” teriak masyarakat
“Tidak... tidak... tidak, aku tidak menerima sepser pun,” jawabnya.
“Jangan bohong, hutan kami sudah habis, masak penodong kau vonis bebas,” teriak masyarakat lagi.
“Jangan salahkan aku,” jawab Brutus.
“Kau memang jahanam,” teriak masyarakat.
“Tidak... tidak... tidak... aku...,” suaranya tersekat.
Istri Brutus kemudian tersentak mendengar teriakan kepala pengadilan itu. “Kenapa... kenapa?” tanyanya semberi menggoyang-goyang tubuh lelaki pujaannya tersebut.
Keringat dingin mengucur di seluruh wajah Brutus. Penuh kasih sang istri membersihkannya dengan sapu tangan. Ternyata peristiwa tadi pagi masuk ke ruang alam bawah sadarnya, kemudian naik kembali ke alam mimpi.
Setelah tenang, Brutus menceritakan mimpinya yang mengerikan, dikejar-kejar oleh masyarakat yang ada di seputar deleng ganjang*.
“Mereka marah betul padaku. Wajar, hutan mereka habis disikat oleh maling kayu sehingga hasil pertanian mereka seperti jeruk, markisa, cabai, tomat, dan lainnya menurun drastis. Aku paham itu, tapi...” Brutus tak meneruskan.
“Tapi apa Brutus?”
“Ah... sudahlah!” Kemudian Brutus menangis sesenggukan. Istrinya makin heran.
Kemudian Brutus terbayang saudaranya Sarmin yang tinggal di bantara sungai sebuah daerah wisata. Ketika perkara ini mulai digelar, Sarmin mengingatkan padanya agar pencuri kayu berikut antek-anteknya dihukum berat karena akibat perambahan hutan bencana banjir tak terelekkan, ratusan nyawa dan miliaran rupiah lenyap seketika.
“Ya, ya, ya Sarmin aku tahu penderitaan kalian akibat pencurian kayu. Tapi... tapi... kalaian harus tahu aku tertekan,” teriak Brutus. Instrinya tesentak. “Brutus... Brutus... kenapa, ada apa?” tanyanya sambil mengoyang-goyang tubuh suaminya tercinta. Brutus hanya menangis sejadi-jadinya. Membayang lagi wajah bupati, kapolres, koramil, pengusaha, dan lainnya yang datang malam hari ke kediamannya dengan membawa uang dan pistol ketika hari H persidangan akan tiba..
“Buatlah keputusan yang damai. Kalau Pak Darto divonis bersalah, berarti usaha kita mati. Kalau Sang Dokter divonis bersalah, rakyat akan marah, kabupaten kita akan chaos. Bapak Hakim paham bukan?” ungkap sang Bupati.
“Ya, ya, ya Pak,” jawab Brutus.
Malam terus bernyanyi dengan air mata brutus yang terus mengalir.

Deleng Ganjang = Bukit yang tinggi
1 (Bahasa Batak Karo).




















Supriono dan Jenazah Nisa
Cerpen: Hidayat Banjar

Dengan bahasa apa Supriono harus menjelaskan kepada juru periksa kepolisian sektor (polsek) tersebut bahwa apa-apa yang diceritakannya, itulah yang sebenarnya? Ah... lelaki 38 tahun itu ingin menjerit saja, agar tumpah segala galau yang menyesak dada dan kepalanya. Tapi, bagaimana mungkin berteriak di kantor polisi ini. Jika itu dilakukannya, tentulah orang-orang akan mengatakan dirinya gila. Akhirnya Suprino menahan saja gejolak yang ada di dada dan kepalanya.
Udara siang yang merangkak menuju senja masih cukup terik. Lapar melilit perutnya. Sedari pagi, perut lelaki gadel, kumuh dan bau itu, hanya berisi kopi pemberian juru kunci kuburan. Sementara, mayat Nisa masih tergeletak di sebuah meja di salah satu sudut ruang kantor polsek tersebut. Si sulung makin kuyu. Di halaman kantor polsek, orang-orang masih ramai. Tadinya mereka berkumpul di peron. Tiba-tiba, seseorang – entah siapa – berteriak: mayat. Seketika perhatian pun tertuju pada Supriono. Tak lama kemudian, polisi menggeretnya ke kantor polsek dan ditanyai segala macam. Pusing, Supriono pusing dan muak.
“Ini anak saya, Nisa namanya. Lengkapnya Nur Khairunnisa,” jelasnya.
“Kami hanya menjalankan tugas. Nanti setelah diotopsi, akan diketahui ia dibunuh atau memang mati karena sakit.”
“Tolonglah Pak, Kasihan Nisa. Harusnya ia sudah dikubur sejak tadi. Karena saya tak punya uang, tak punya KTP, tak ada yang mau menguburkannya. Saya memang lelaki tak berguna, tapi saya bukan penjahat Pak.”
“Bagaimana mungkin kami dapat melepas Bapak begitu saja. Semua harus diproses.” Seterusnya Supriono pun menjalani pemeriksaan yang memuakkan. Beberapa kali ia dibentak karena tak memiliki KTP.
***
Pagi merangkak menuju terik, matahari memancar garang, lelaki 38 tahun itu mengemasi segala sesuatunya untuk dimuat dalam gerobak. Sehari-hari gerobak itu – jika siang – dipakai untuk mencari barang-barang rongsokan. Malam digunakan sebagai tempat tidur diri dan dua anaknya. Si sulung, baru genap enam tahun, belum dan mungkin tak kan pernah duduk di bangku sekolah, menyaksikan saja ulah ayahnya yang sepagi itu sangat keruh, berbanding terbalik dengan wajah hari yang demikian cerah.
Ya, gemerlap kota metropolitan begitu kontras dengan nasib orang-orang tercecer yang merasa tiba-tiba saja dicampakkan ke sebuah sudut dan terkurung dalam libirin tanpa pintu serta jendela. Supriono salah satu di antaranya. Antara gemerlap metropolitan, bertabur warna abu-abu, bahkan gelap. Itu adalah nasib Supriono, sang pemulung.
Ada orang-orang yang mencuci tangannya dengan angggur, tak sedikit pula mengais rimah peradaban urban yang tercecer dari cawan beraroma hedon. Suprionolah salah seorang sang pengais rimah bahkan sampah yang dipandang menjijikan bagi para pembuangnya.
“Ayo Tole,” demikian lelaki itu kerap memanggil anak sulungnya yang sesungguhnya punya nama cukup indah: Murizki Saleh, “kita ke rumah juru kunci kuburan,” lanjutnya. Kemudian ia membenahi tubuh Nisa yang baru tiga tahun dan dinihari tadi telah direnggut oleh diare dalam gigil pelukan embun.
Selanjutnya Supriono, menyusuri jalan-jalan di kota metropolitan itu dengan mendorong gerobak yang sehari-hari digunkannya mengutip barang-barang rongsokan. Tapi hari itu yang ada di dalam gerobaknya bukan barang-barang bekas, melainkan anak bungsunya Nur Khairunnisa, yang telah menjadi mayat. Sementara, abangnya – juga ada di dalam gerobak itu – hanya memandang saja adik kecilnya yang meninggal karena serangan diare sejak empat hari lalu, dan tak terawat dengan semestinya.
Panas aspal yang seakan meleleh tak dirasakannya. Yang penting, jenazah Nisa dapat dikebumikan dengan baik, sebagaimana lazimnya. Gemerlap gedung-gedung bertingkat dan seliweran mobil mewah di jalanan seakan mengejek lelaki malang itu. Sesekali, ketika ada pejalan kaki yang berpapasan dengan Supriono, keraplah mereka menutup hidung, agar aroma bau yang keluar dari diri, dan gerobaknya tak tercium.
Hanya sekali Supriono membawa putrinya itu berobat ke Puskesmas kecamatan. Dia harus membayar Rp 4.000. Setelah itu tak pernah lagi, karena dia memang tak punya uang. Sebagai pemulung, penghasilannya sehari-hari hanya sekitar Rp 10.000 sampai Rp 12.000.
Uang yang tak seberapa jumlahnya itu, habis untuk biaya hidup mereka bertiga, Supriono dan dua anaknya Murizki Saleh, dan Kharunnisa, hanya cukup untuk makan tiga kali atau dua kali sehari. Bahkan mereka bertiga pun tinggal di gerobak tersebut yang jika malam diberi atap plastik. Supriono sudah lama bercerai dengan istrinya, Turiyem, tetapi kedua anaknya ikut dengannya.
Turiyem tak tahan hidup menderita, lari dengan lelaki lain, entah ke mana, Supriono tak tahu dan tak hendak pula mengetahuinya. Baginya, dapat makan dan membesarkan kedua anaknya, adalah merupakan pekerjaan yang merampas waktu sehingga tak dapat dan tak boleh berpikir macam-macam.
Kalau malam, Supriono dan kedua anaknya selalu mangkal di tempat yang tak jadi perhatian petugas penertiban kota serta terhindar dari deraan hujan deras. Tak jarang ia memanfaatkan kolong jembatan sebagai tempat yang aman untuk tidur.
Waktu putrinya terserang diare, hanya sekali dibawanya ke berobat. Supriono hanya berharap Nisa akan sembuh dengan sendirinya. Dia sudah pasrah. Ya, rupanya Tuhan lebih menyayangi Khairunnisa, dan dipanggil-Nya untuk selama-lamanya saat azan subuh menggema.
Saat Nisa meninggal, Supriono hanya memiliki uang Rp 10.000. Mana cukup untuk mengebumikan puterinya dengan semestinya. Untuk membeli kain kafan saja pun tak cukup. Hal lain, Supriono tak punya identitas apa pun, selain status gelandangan serta pemulung.
***

Angin siang bertiup perlahan. Pohon-pohon kamboja betapa tenang, nyaris tak bergoyang, bagai kehidupan Sarjan di hari tua ini. Sentuhan angin yang gemulai tak mampu menggoyang-goyangkan daun serta bunga-bunga kamboja, bagai hati Sarjan yang bersikukuh pada prosedur.
Usai membersihkan pekuburan yang luas itu, Sarjan mengaso di dipan yang ada di branda rumah satu-satunya di komplek pekuburan itu. Sumi istrinya sedang menyiapkan makanan siang untuk mereka berdua. Sembari menikmati kopi, sesekali ia hirup dalam-dalam rokok kretek buatan dalam negeri.
Sekitar 300 meter ke depan adalah jalan raya, lebarnya 15 meter lebih. Itu pun pada jam-jam tertentu tetap juga sumpek. Terlebih jika anak-anak sekolah mulai masuk atau pulang. Mobil-mobil antar-jemput anak sekolah terkadang berjejer hinga tiga lapis, sehingga jalanan yang lebar tersebut terkesan sempit. Bagi Sarjan, ini sebuah ironi kota, sebuah ironi bangsa. Mengapa tidak, negara miskin, tapi sebahagian manusianya hidup dengan bermewah-mewah, bahkan sangat mewah. “Satu orang satu mobil, bagaimana tidak sumpek. Tapi begitu harga bahan bakar minyak (BBM) melambung, mereka yang lebih dulu protes. Apa orang-orang kaya itu tidak malu menikmati subsidi BBM?” selalu saja hatinya berkata demikian bila menyaksikan jejeran mobil yang parkir di jalanan depan sekolah yang berhadap-hadapan dengan pekuburan tersebut.
Setelah pensiun dari tugas sebagai militer, Sarjan memilih kesibukan sebagai juru kunci pekuburan. Penghasilannya memang tak seberapa – terlebih bila dibanding dengan biaya hidup di kota metropolitan. Tapi Sarjan bahagia dan bangga menekuni profesi itu. “Kita dapat hidup tenang di tengah kota yang hiruk-pikuk,” demikian berkali-kali ia mengemukakan alasannya. “Apalagi yang dipikirkan orang setua kita. Anak-anak sudah pada kawin dan beranak pula. Kita tinggal hanya menunggu waktu dipanggil saja oleh Yang Kuasa,” lanjutnya tentang kenapa ia dapat menikmati hidup yang hanya bertetangga dengan nisan-nisan, pohon-pohon kamboja, mangga, lamtoro gung, dan semak-semak..
Lokasi kuburan tersebut cukup luas, begitupun sudah penuh. Supriono menyusuri jalan dengan terus menarik gerobak yang isinya adalah mayat Nisa dan anak lelakinya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Dari pintu gerbang pekuburan, berkisar 300 meter lagi untuk sampai ke kediaman juru kunci.
Supriono disambut hangat oleh Sarjan dan diajak duduk di dipan. Angin masih enggan bertiup kencang, sehingga siang yang penuh cahaya matahari, makin terik. Untung masih ada pohon-pohon kamboja dan beberapa pohon mangga, lamtoro gung, serta semak-semak, sehingga keterikan cahaya matahari, sedikit terhalangi oleh dedaunan. Di bawah dedauan itu, ada sedikit keteduhan.
Setelah duduk di dipan, Supriono disuguhi kopi manis yang kental oleh Sumi. “Diminum Pak,” ajaknya. Supriono mengangguk. Gerobak yang di dalamnya terdapat anak lelakinya dan mayat Nisa, diletakkan di jalanan yang membelah pemakaman itu.
“Ada apa Pak? Siapa yang meninggal?” tanya Sarjan setelah Supriono duduk tenang.
“Nisa anak bungsu saya. Dinihari tadi direnggut diare.”
“Silakan Pak. Persyaratannya bawa surat keterangan dari RT.”
“Walah Pak, KTP saja saya ndak punya.”
“Gimana caranya?” tanya Sarjan. Supriono bingung.
Habis menghirup kopinya, pemakaman itu ditinggalkannya dengan perasan dingin. Lalu ia pun menemui ketua RT. Di sini pun, Supriono juga mendapat penjelasan yang sama.
Hari makin tinggi, Supriono makin gelisah memikirkan cara agar anak bungsunya dapat dikebumikan sebagaimana lazimnya. Lalu pemulung itu merencanakan membawa jenazah Nisa ke perkampungan pemulung dan mengembumikannya di sana. Supriono pun menyiapkan segala sesuatunya dan membawa mayat Nisa ke stasiun kereta api, setelah menitipkan gerobaknya dengan pemulung lain.
Supriono bermaksud menompang KRL (kereta rel listrik). Anak lelakinya pun dituntun. Sementara, mayat Nisa digendong, kepalanya ditutup dengan kaos putih, tetapi ketika akan membeli tiket, kakinya yang sudah dingin memutih kelihatan terjurai.
“Lho Pak, apa yang Bapak gendong,” seseorang di stasiun itu bertanya. Supriono berterus terang menceritakan, bahwa yang digendongnya itu adalah putrinya yang telah meninggal. Seseorang lalu berteriak. Gegerlah para penompang dan orang-orang yang ada di stasiun. Ada pula yang melapor kepada polisi. Supriono dibawa ke polsek, dan diperiksa. Dia menceritakan yang sebenarnya, tapi polisi tak percaya.
Jenazah Nur Khairunnisa dibawa ke RS Umum Pemerintah untuk diotopsi. Tapi tak jadi karena untuk itu perlu biaya, sedangkan Supriono tak punya uang. RS Umum Pemerintah mau melakukan otopsi, tapi Supriono harus punya kartu miskin. Bagaimana mungkin ia mendapat surat miskin, justru KTP pun dia tak punya. Anehnya, pihak rumah sakit melepaskan begitu saja. Ayah muda itu menjadi bingung mau dibawa ke mana jenazah anaknya itu? Dikuburkan di mana?
Lelah fisik dan jiwa menyerang Supriono. Di pelataran parkir rumah sakit umum itu ia mengaso, menyandarkan diri ke dinding rumah sakit tersebut. Jenazah Nisa diletakkan di samping kanan. Sedangkan anak lelakinya duduk di samping kiri ke dinding rumah sakit.
Juru parkir mendatangi dan marah padanya. Supriono diam saja. Ia sudah bosan bertengkar. Juru parkir makin marah. Tapi ketika matanya tertumbuk dengan sosok anak perempuan yang tergeletak begitu saja, hatinya miris.
“Lha, kok dibiarkan saja?” tanya dengan nada yang mulai merendah. Supriono masih diam.
“Siapa bocah ini?” tanyanya lagi makin lembut.
“Ia Nisa, anak saya. Mati karena diare. Aku tak tahu mau menguburnya di mana?”
Hati juru parkir ngilu, kemudian memanggil rekan-rekannya serta para pedagang kaki lima yang ada di sekitar rumah sakit itu. Sontak mereka dengan sukarela memberikan bantuan, begitu mendengar penjelasan juru parkir.
Suprionio, terharu. Beberapa butir air mata meleleh di pipinya. Disembahnya juru parkir itu, tetapi ditolak. Tubuh Supriono yang ingin membungkuk, diangkat si juru parkir.
Cahaya kemilau tiba-tiba saja menerangi jiwa Supriono, dan sekita itu pula ia teringat pada orang yang dikenalnya: Ibu Sri. Dulu, semasih kumpul dengan istrinya, Supriono dan keluarga pernah mengontrak rumah petak Ibu Sri. Supriono, anak lelakinya dan jenazah Nisa segera berangkat ke sana, naik bajaj dengan biaya sumbangan orang-orang atas inisiatif juru parkir tadi.
Ibu Sri terkejut setengah mati menyambut kehadiran Suprino dengan jeazah Nisa dan anak lelakinya. Ia menangis sejadi-jadinya, sehingga para tetangga berdatangan. Semua yang datang terharu, sedih, lalu mengumpuklan bantuan untuk pemakaman jenazah Nisa.
Setelah Supriono dan anaknya diberi makan, setelah segala sesuatunya diselesaikan, proses pemakaman jenazah Nisa pun diselenggarakan. Akhirnya, jenazah Nur Khairunnisa dapat dikebumikan sebagaimana mestinya. “Rupanya masih ada warga metropolitan berhati nurani,” bisik hati Supriono setelah usai shalat syukur dua rakaat. ***

















Bejo di Tahun 2250
Cerpen: Hidayat Banjar

Pagi, Bejo bangun dari tidur. Cahaya matahari telah penuh menyirami bumi. Bagai orang yang baru keluar dari tempat gelap, berhadapan dengan cahaya yang penuh, Bejo silau tak dapat melihat apa-apa. Dirabanya ke samping kiri, istrinya telah tidak ada di tempat. Suara anak-anak tak terdengar, mungkin sudah dihisap oleh kesibukan masing-masing.
Cahaya matahari yang masuk dari kaca jendela menyilaukan mata. Bejo mengucek-ngucek mata, menggeliat. Sesekali, pegawai negeri rendahan ini menguap. Perlahan, pandangannya yang berkunang-kunang mulai normal. Setelah penglihatannya kembali sempurna, Bejo melihat ke jam dinding, “Wah aku bangun kesiangan rupanya,” ujarnya dalam hati.
Entah kenapa di pagi yang bermandi cahaya mentari itu, Bejo teringat pendidikan anak-anaknya. Tadi malam si Bungsu bercerita bahwa uang sekolahnya sekarang naik, dari satu juta lima ratus ribu rupiah menjadi dua juta rupiah, uang ongkos angkot ditambah keperluan ini itu ditaksir sekitar dua juta lima ratus ribu rupiah per bulan. “Ini lain uang buku,” kata si Bungsu mengakhiri ceritanya. Si Bungsu baru duduk di kelas VI SD (Sekolah Dasar) swasta.
Bejo menghitung-hitung dengan jarinya, persis seperti anak-anak baru belajar berhitung. Anaknya ada enam orang, semuanya masih dalam masa pendidikan yang memerlukan biaya tak sedikit. Pendidikan kini bagai barang mewah saja, makin tak terjangkau bagi orang-orang berpenghasilan rendah.
Bejo memang dianjurkan oleh orangtuanya untuk punya anak banyak. Tapi ia merasa cukup dengan enam orang saja. Bejo sadar, betapa repotnya mengurus anak-anak jika lebih dari enam. Yang enam orang ini saja pun menurut Bejo, sudah sangat banyak. Namun, bagi orang-orang seangkatannya, enam orang anak belum dapat dikatakan banyak, maklum ketika ia menikah dulu, orang-orang tak lagi menghiraukan apa itu program Keluarga Berencana (KB). Bahkan semua orangtua di negerinya berpesan pada putra-putri mereka agar mencari pasangan hidup yang subur guna memperbanyak keturunan.
Maklum, perang bintang dan bencana alam membuat makhluk bumi di negara mereka dan negara-negara lain seketika mati dalam jumlah yang cukup banyak. Negerinya pernah dilanda gempa bumi dan gelombang tsunami yang dahsyat, menewaskan ratusan ribu manusia. Ketika gempa terjadi, ombak laut menerjang daratan dan menenggelamkan apa saja yang terkena hantamannya.
Gempa juga pernah membuat tanah merekah, ratusan ribu rumah beserta penghuninya seolah ditelan kegaiban, lenyap ke dasar bumi. Kemudian dalam seketika bumi mengatup kembali. Ratusan ribu manusia lainnya terjepit reruntuhan gedung-gedung bertingkat.
Perang bintang lebih dahsyat lagi, menewaskan seluruh manusia yang terkena racun ganas mematikan. Semua itu tercatat dengan baik di buku-buku sejarah dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT).
Karenanya, orangtua Bejo – seperti orang-orangtua lainnya ketika itu – berpesan kepada anak-anak mereka, agar mencari pasangan hidup yang subur. “Berkembangbiaklah sebanyak-banyaknya. Bangsa kita tak boleh punah di permukaan bumi ini,” pesan orangtua lelakinya ketika itu.
Coba bayangkan, ketika perang bintang terjadi, mesin pembunuh tersebut digerakkan hanya dari kantor musuh, tapi dapat menewaskan seluruh makhluk hidup di wilayah TO (Target Operasi). Kapsul besar itu dikirim lewat teknologi komputer yang tentu saja dengan perhitungan sangat cermat. Sampai di wilayah target, kapsul besar berisi racun itu meledak di angkasa. Bertebaranlah aroma mematikan tersebut. Setiap makhluk hidup yang menghirup oksigen, tewas disebabkan racun yang menyebar di udara.
Dari sebuah kantor di negeri jauh, bangsa musuh menembakkan kampsul berisi racun pembunuh yang sangat mematikan ke ibu kota negara dan ibu-ibu kota provinsi yang ada di negeri Bejo, sehingga seluruh penduduk kota mati dengan kondisi mengenaskan. Jantung mereka pecah. Darah menetes dari hidung, telinga dan mulut. Tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan itu hitam legam, seolah hangus terbakar. Menakutkan! Tentu saja sangat menakutkan. Itulah sejarah kelam bangsa manusia akibat obsesi sekelompok orang yang ingin jadi penguasa dunia.
Pemimpin-pemimpin perang berkeyakinan, perang modern tak sama dengan perang konvensional. Dalam perang konvensional, strategi desa mengepung kota, masih dapat diterapkan. Tetapi, dalam perang modern, kota-kotalah yang harus dilumpuhkan. Sebab, pusat teknologi ada di kota-kota.
Benar adanya, kota-kota lumpuh dalam seketika dihantam racun dari perang bintang itu. Negara yang diperangi benar-benar lumpuh. Tapi, bukan penguasaan atau aneksasi yang dilakukan negara musuh. Malah negara musuh memperlihatkan sikap bersahabat dan meminta maaf kepada negara di mana Bejo bermukim atas kejadian menakutkan tersebut. Sikap ini muncul karena dampak perang yang begitu dahsyat. Bangsa musuh pun rupanya tak pernah menduga, kalau perang bintang berdampak begitu dahsyat. Bangsa musuh akhrinya tak jadi menguasai negeri Bejo yang luluhlantak, malah membangunnya.
Mengapa tidak, usai perang, tinggallah bangunan-bangunan saja serta bau bangkai manusia menyergap sudut-sudut kota hingga ke pelosok. Pokoknya dari titik ledakan hingga radius 1000 km terkena racun. Maka punahlah seluruh manusia dan makhluk hidup lainnya yang menghirup oksigen dalam radius 1000 km. Sebagaimana sajak Chairil Anwar, udara memang benar-benar bertuba.
Usai perang, dunia – termasuk negeri di mana Bejo bermukim – benar-benar bagai zaman purbakala. Tak ada peralatan canggih seperti komputer, mesin-mesin, dan teknologi modern lainnya. Negara benar-benar lumpuh. Kehidupan terselenggara begitu bersahaja. Mimpi penguasaan dunia lumer dan menguap karena ketakutan hilangnya perdaban. Mimpi-mimpi tentang penguasaan dunia bukan lagi ide yang populer. Justru membangun kebersamaan, membangun aliansi strategis tanpa perasaan superioritas menjadi trand bangsa-bangsa dunia.
Bejo dan keluarga serta bangsa manusia, juga makhluk hidup lainnya dapat selamat dari racun mematikan itu karena bermukim di wilayah hutan. Racun mematikan itu tak sampai ke wilayah mereka. Para pemimpin perang ketika itu memang memilih TO ibu-ibu kota negara serta provinsi.
Perlahan, sistem kenegaraan, mulai dari desa hingga ke pusat terbangun kembali. Cuma, ketika itu pemimpin-pemimpin tak lagi suka menonjolkan kehebatan pribadi. Seluruh konsep pembangunan tetap bersandar pada keinginan rakyat.
Sangat mengejutkan, pembangunan mengalami proses percepatan yang maksimal. Kehidupan kembali berdenyut. Bahkan sangat mengagetkan bagi orang-orang yang tak siap menghadapi perubahan.
***
Anak Bejo yang bungsu masih duduk dibangku sekolah dasar (SD). Dua orang sekolah lanjutan pertama (SMP), yang dua di SMA, dan yang satu lagi – yang sulung – menduduki bangku kuliah tahun kedua Fakultas Sastra di universitas cukup terkenal di kotanya. Bejo menotal, berapa puluh juta harus dikeluarkan setiap bulannya hanya untuk memenuhi pendidikan anak-anaknya. Berapa ratus juta, bahkan miliar rupiah setahun untuk keperluan hidup keseluruhan. Bejo merenung.
Kemarin ia berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, niatnya hanya untuk melihat-lihat saja dan jika kebetulan ada yang menarik dengan harga murah pula, ia akan membelinya. Selama ini ia sudah lama tidak membeli pakaian anak-anak, istri dan dirinya. Begitu pula keperluan rumah tangga lainnya. Bejo tercenung waktu menawar sepotong celana yang cukup sederhana. Si pedagang mengatakan, celana itu cukup murah, hanya Rp 1.600.000 saja. Bejo tak jadi membelinya, karena menurut anggapannya harga celana itu cukup tinggi untuk jangkauan kantongnya yang hanya pegawai negeri rendahan.
Bejo berjalan lagi, melihat-lihat permainan anak-anak, di situ dipajang boneka-boneka yang cantik, mobil-mobilan, motor-motoran, dari model tahun silam sampai model mutahir. Bejo merasa takjub.
Waktu Bejo masih kanak-kanak, kota tempat tinggalnya sekarang belumlah menjadi kota, masih desa yang penuh kesegaran. Pohon-pohon tumbuh di sana-sini dengan suburnya. Jika Bejo ingin bermain mobil-mobilan, ia buat dari kayu. Demikian pula dengan permainan lainnya.
Kini zaman berubah, trand aliansi strategis bangsa-bangsa di dunia menghidupkan peradaban yang hancur usai perang bintang. Desa Bejo yang dulu dikelilingi hutan lebat, perlahan-lahan berubah menjadi perkampungan yang besar dan luas. Justru sebaliknya, kota-kota yang terkena perang bintang, karena dianggap berbahaya, dibiarkan tak diurus hingga belakangan menjadi hutan. Siapa yang mau mengurus, masuk ke wilayah itu saja orang sudah takut.
Perkampungan yang besar dan luas tempat Bejo bermukim itu, perlahan-lahan jadi kota besar yang modren dan gemerlap. Hutannya habis. Sawah-sawah kini lenyap menjadi bangunan megah. Kerbau-kerbau tidak berfungsi lagi sebagai penarik bajak, digantikan oleh mesin pembalik tanah, traktor tangan, maupun traktor besar.
Sisno-sinso membabat habis pohon-pohon kayu yang berumur puluhan serta ratusan tahun. Kampungnya pengab oleh baurnya beragam bahan kimia dan asap pabrik plus kendaraan bermotor. Plaza-plaza, mall-mall, hypermarket adalah bagian kota yang megah serta full ac (air condition). Sementara udara di luarnya begitu terik. Mengapa tidak, permainan anak-anak pun telah digerakkan oleh mesin.
“Cari apa Pak,” tanya seorang pelayan wanita yang berpakaian sangat seksi, sehingga tonjolan-tonjolan tubuhnya begitu kentara. Roknya hanya sejengkal lebih sedikit, tipis pula lagi. Begitu juga dadanya, kalau ia membungkuk, pastilah tonjolan itu akan menyembul ke luar.
“Oh, tidak, lihat-lihat saja,” jawabnya. Bejo bertambah bingung ketika seorang berperut buncit, berkulit putih bersih, membeilkan permainan untuk anaknya.
Setelah mengumpul seluruh permainan yang diinginkan anaknya, lelaki necis itu bertanya kepada pelayan: “Berapa ya,” bahasa Indonesianya tidak sempurna bahkan buruk bercampur dengan dialek asing. Pelayan menghitung sebentar dengan kalkulator. “Duabelas juta tiga ratus ribu rupiah saja Pak,” jawab si pelayan yang seksi. Sementara pelayan yang lain membungkus permainan tersebut.
“Wah... hanya untuk permaian anak-anak saja sampai sebegitu mahal?” Celoteh Bejo dalam hati. “Waktu aku masih kanak-kanak, permainanku segalanya serba gratis,” tambahnya pula, masih di dalam hati.
Tidak satu benda pun dibeli Bejo di pusat perbelanjaan itu, baik pakaian, permainan anak-anak maupun keperluan rumah tangga karena koceknya tidak dapat menjangkau harga barang-barang yang dipajang. Maklumlah, Bejo hanya pegawai negeri rendahan yang hanya tamatan strata satu (S1). Sementara pegawai-pegawai menangah ke atas diisi oleh para Doktor (S3) atau setidaknya S2. Makanya Bejo dan keluarga harus hidup dengan serba hemat.
Bejo ke luar dari pusat perbelanjaan itu dan berjalan pulang meninggalkan kemegahan pusat perbelanjaan penuh ac. Terik matahari menyambutnya, sementara orang-orang yang berkantong tebal, sekeluar dari pusat perbelanjaan itu, berlindung dari sengatan matahari dengan masuk ke mobil-mobil mewah full ac, bertempat duduk empuk, ruangan nyaman serta wangi.
Bejo berjalan saja di atas aspal yang seakan mau mencair dipanggang matahari. Ia tidak naik taksi, karena sangat mahal menurut ukuruan koceknya. Angkutan becak tidak ada lagi, tinggal hanya di buku sejarah. Becak tak lagi digunakan sebagai alat transportasi. Tidak manusiawi, begitulah kata tokoh-tokoh pejuang HAM (Hak Asasi manusia). Angkot (angkutan kota) tidak ada yang yang melintas ke arah kediamannya. Maka ia putuskan berjalan kaki saja. “Toh, tak begitu jauh dengan memotong jalan serta jalan-jalan tikus,” katanya membela keadaannya yang terus bersahaja sepanjang hayat dikandung badan.
Bejo berjalan terus di trotoar kota. Saat melintasi sebuah rumah besar, hatinya terenyuh ketika menyaksikan di halamannya, tertambat seekor monyet kurus kering dengan beberapa luka yang dikerubungi lalat. Sesekali monyet itu menangkap lalat-lalat tersebut dengan tangan yang merangkap kaki. Lalat yang tertangkap dimasukkannya ke dalam mulut. Sesekali sang monyet menggaruk-garuk kepalanya. Begitu dapat kutu, lalu dimasukkan ke mulutnya.
Pada momen lain, si monyet seperti menitikkan air mata memandang pohon-pohon yang meranggas mengarah kering di halaman rumah besar tersebut. Mungkinkah tanah sudah tidak subur lagi sehingga tanaman-tanaman jadi gersang.
Monyet itu memandang ke arah Bejo seakan berkata: “mana pohon-pohon untukku Bejo”. Bejo diam dan tercenung lagi. Ya, ia hanya dapat diam, tak mungkin berkomunikasi dengan si monyet. Bejo bukanlah ahli ilmu jiwa binatang apalagi dapat berbicara dengan binatang. Tidak! Bejo hanyalah pegawai negeri rendahan yang berusaha bertahan dalam kejujuran. Ia tadi hanya mereka-reka saja apa yang sedang dialami si monyet yang meneteskan air mata, dan Bejo ikut berduka.
Bejo berjalan lagi, ia coba lupakan tentang monyet itu. Ia melihat ke arlojinya, jarum jam telah menunjukkan pukul 1.30, matahari membakar ubun-ubun. Terik sekali. Bejo berkeringat dan merasa gerah. Betapa tidak, jalan yang ditempuh tanpa naungan pohn-pohon penyerap panas.
Teggorokannya kering. Di sudut sana matanya menangkap penjual cendol. Bejo berjalan ke arah itu. Setelah sampai dan duduk di bangku yang disediakan, Bejo memesan segelas. Meneguknya dengan penuh nikmat. Ia selenjorkan kakinya yang telah mulai letih, karena sekian jam berjalan-jalan mulai dari pusat perbelanjaan tadi hingga sampai ke penjual cendol.
“Berapa Pak,” tanya Bejo setelah selesai minum dan beristrahat melepaskan lelahnya. “Tujuh puluh lima ribu rupiah saja,” jawab si penjual cendol, Bejo membayarnya dengan uang tukaran Rp 100.000. Setelah mendapat kembalinya, Bejo ingin melangkah, tapi tiba-tiba: “Pak kenapa belum pergi kerja”.
Bejo tersentak dari lamunannya. Rupanya sedari tadi ia belum bergerak dari termpat tidur.
“Oh, Bu, dari mana?” Bejo kaget.
“Hari telah pukul sebelas, tapi Bapak mandi pun belum. Bapak tidak pergi kerja ya? Oya Pak, tadi saya belanja. Saya membeli ini, bakal celana, dan ini, dan ini,” ujar istrinya sembari memperlihatkan barang-barang yang dibelinya. “Semuanya berjumlah sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah,” sambung istrinya.
Bejo tersentak, lantas bangkit dari tempat tidurnya. Melihat kalender. “Wah... tahun dua ribu dua ratus lima puluh, dua ribu dua ratus lima puluh,” celotehnya sambil pergi ke kamar mandi. Istri Bejo terheran-heran, kok sang suami bicara sendiri. Istrinya juga bingung, kenapa ia yang sudah capek menerangkan apa-apa yang dibeli berikut harganya, tetapi tak dihiraukan sang suami?***























Nyanyian Gerimis
Cerpen: Hidayat Banjar

Gerimis senang bernyanyi. Lewat bunyinya yang jatuh di atap rumah, daun-daun pohon, bumi dan di mana saja, gerimis mengaduk-aduk hati orang-orang yang mendengarnya. Bahkan gerimis mampu pula membuka katup kenangan bangsa manusia di permukaan bumi mana saja.
Sepanjang sejarah, lewat iramanya yang ritmis, gerimis mengaduk-aduk perasaan bangsa manusia menjadi rindu, dendam, sedih, dan gembira. Gerimis memang merupakan akselerator yang baik bagi berkelebatnya beragam rasa. Cuma sepanjang sejarahnya, manusia tak mampu merumuskan kenapa bermunculan rasa itu. Pemaknaan demi pemaknaan ketika coba dirumuskan seringkali bersemburat tak terbuhul, tak terumuskan. Misteri kehidupan akan selalu saja ada membungkus kenangan demi kenangan.
Gerimis memang senang bernyanyi membongkar kenangan yang merupakan lorong panjang, yang terkadang penuh cahaya sehingga kita dapat melihatnya dengan jelas dan bening. Tak jarang pula, kenangan muncul berwarna abu-abu, samar-samar bahkan gelap. Ketika gerimis tiba, lorong kenangan yang sangat panjang penuh labirin menganga. Imah dapat merasakan itu. Banyak kenangannya dengan Bang Somad yang terlihat jelas dan nyata, tapi ada pula yang tak dapat dimengertinya. Kenapa jempol tangan kiri itu masih menyimpan racun padahal sudah sekian lama disimpan. Kenapa Bang Somad bisa meninggalkannya, hanya karena keinginannya yang sangat sederhana, meletakkan kembali jempol tangan kiri sebagaimana adanya, sebelum dipotong. Ah... misteri itu tak dapat terpahaminya.
Kalaulah memang takdir Bang Somad mati muda, kenapa pula harus lewat tangan Imah. Kenapa pula kematian itu dari sumber yang sangat sepele dan remeh. Padahal, kalau Bang Somad harus mati muda, mestinya dulu, ketika dipatuk ular dan tak tertolong. Kenapa... kenapa...kenapa? Imah tak dapat menjawabnya.
Ketika gerimis tiba, katup kenangan Imah membuka lagi. Terkadang gelap, terkadang abu-abu, dan tak jarang terang benderang, jelas terbaca. Tak tahu Imah kenapa gerimis begitu nakal mengaduk-aduk perasaanya. Ini entah sudah gerimis ke berapa yang mempermainkan perasaan Imah sepanjang kehidupan perempuan pantai itu, Imah tak dapat dan tak hendak menghitungnya. Yang Imah tahu – bila gerimis tiba – hatinya ngilu, jiwanya jadi rawan.
Imah, tokoh kita ini adalah manusia biasa sebagaimana manusia-manusia lainnya yang berdarah dan berdaging. Adalah biasa pula, Imah terhisap dengan nyanyian gerimis sebagaimana manusia-manusia lainnya. Kerap, gerimis membuat kesepiannya jadi panjang. Desa pantai di mana ia tinggal sepertinya jadi mati. Padahal di luar, banyak nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak hirau akan gerimis. Kebutuhan hidup yang membelit kerap pula dapat melupakan anak manusia dari permainan dan siklus alam.
Sejak subuh tadi, tamu yang membosankan dirinya itu sudah tiba. Semula Imah coba untuk tidak mempedulikan kehadiran sang gerimis yang menyiksa. Semula Imah coba melawan kekuatan gerimis yang demikian mistis mengisapnya masuk ke lorong kenangan yang begitu panjang. Imah coba ambil sajadah dan bersujud dengan suatu keharuan yang dalam. Pada sujud yang terakhir sempat juga ia menitikkan air mata. Tapi, gerimis terus juga membawanya ke kenangan itu.
Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurut Imah, dirinyalah sumber petaka itu. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lananya. Ya, suaminya menghadap Sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah ngilu bila germis tiba.
Usai shalat dan berdoa, sebagaimana biasa, Imah menjerangkan air untuk minuman hangat di pagi abu-abu itu. Angin pantai yamg sesekali masuk dari jalusi dan jendela yang separo terbuka membuatnya menggigil. Di luar, debur ombak masih memecah pantai. Ruangan yang tak seberapa luas itu, jadi begitu lengangnya di mata Imah. Habis, tidak ada siapa-siapa selain dirinya di rumah itu.
Saat seperti ini, Imah jadi ingat abah, emak, abang, kakak, dan adik-adiknya. Kini semua mereka serasa jauh bagi Imah. Padahal sebenarnya abah dan emaknya masih tinggal di kampung sebelah yang hanya berjarak 3 kilometer saja dari rumah Imah. Padahal mereka sangat sayang pada Imah, bahkan telah berkali-kali menganjurkan padanya agar kembali ke rumah keluarga sehingga Imah tidak sendiri dalam menghadapi kesepian. Tapi Imah enggan meninggalkan rumah cintanya yang dibangun dengan ketulusan tanpa prasangka.
Pikiran Imah yang sederhana menganggap, jika ia meninggalkan rumah itu, berarti meninggalkan Bang Somad, meninggalkan cintanya, meninggalkan ketulusan. “Tidak! Itu merupakan pengkhianatan,” desahnya berkali-kali ketika dorongan kenangan begitu kuat menghisap dan mempermainkan perasaannya. “Cinta adalah kesetiaan dan kesediaan menerima segala tiba di dalam perjalanan mengusungnya,” demikian perempuan pantai iu mendamaikan hatinya.
Gerimis dengan nyanyiannya itu juga pernah membawa Imah ke saat-saat indah yang singgah sejenak di hatinya. Di sebuah senja, beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. Oleh abahnya, pemuda-pemuda itu disuruh masuk ke dalam rumah.
Rupanya, ketika Imah ke pekan beberapa hari kemudian, ia jumpa lagi dengan salah seorang pemuda yang pernah numpang berteduh itu. “Anak Pak Juned ya,” sapa pemuda itu. Imah senyum mengiyakan.
Lalu, lelaki muda itu mengenalkan dirinya. Sejak pertemuan yang kedua itu, seringlah lelaki muda itu berkunjung ke ruma Imah. Abah Imah pun nampaknya senang berbicara panjang-panjang dengannya.
Sekali peristiwa, ketika lelaki muda yang bernama Somad itu tiba di rumah Imah, tak lama kemudian gerimis pun tiba. Imah bersyukur sekali akan cuaca malam itu. Ia dan Somad bisa bercengkrama panjang lebar. Ya, malam itu, Imah mendapat kesan yang begitu dalam.
“Imah, malam ini Abang ingin tuangkan semua yang terkandung di hati Abang. Seperti pepatah kita, kalau tak ada berada manalah mungkin tempua bersarang rendah,” tutur Somad dengan seluruh keberaniannya.
“Apa ni maksud Abang sebenarnya?” Imah pura-pura tidak tahu.
“Umur Abang sudah banyak Mah. Seharusnya lelaki seperti Abang sudah punya bunga untuk dipetik,” jawab Somad mempermainkan jemari tanganya sendiri.
Imah menatap wajah Somad dalam-dalam. Ada ketulusan dan keberanian terpancar dari diri lelaki nelayan ini. Itu adalah modal bagi seorang perempuan untuk berani menggantungkan harapannya terhadap lelaki pujaan. Cinta memang dibutuhkan, bahkan sangat dibutuhkan dalam membangun keluarga. Tapi, tanpa modal ketulusan dan keberanian, apakah seorang perempuan berani menyerahkan hidupnya dengan lelaki yang hanya bermodal cinta saja untuk mengharungi lautan luas kehidupan?
Mata Imah berkaca-kaca. Melihat hal itu, Somad memberanikan diri menggamit tangan Imah dan meletakkannya ke hidung dan mulutnya. Imah merasakan kenikmatan yag luar biasa sekali.
“Bang, Imah senang dengan Abang,” hanya itu yang terlontar dari bibir perempuan pantai yang bersahaja tersebut. Selanjutnya, Imah menjawab gerakan yang dilakukan Somad dengan meremas jemari lelaki itu. Terasa kokoh dan kasar tapi Imah menikmati kejantanan yang dipancarkan Somad lewat jemarinya yang besar dan panjang-panjang.
Seminggu kemudian, datanglah keluarga Somad meminang Imah.
Sejak itu, hari-hari jadi indah di mata Imah. Kemesraan demi kemesraan dilalui bersama Somad. Tak ada duka, tak ada kegelisahan hidup, semua berjalan dengan kebiruan yang total.
***
Gerimis belum juga reda. Somad – setelah membenahi seluruh peralatan – dengan segera meninggalkan sampan, berlari-lari menuju rumahnya yang tak seberapa jauh dari pantai. Sesampainya di rumah, pakaianya basah. Somad disambut Imah dengan ciuman mesra. Imah memberikan handuk dan pakaian ganti padanya. Seterusnya, Imah menghidangkan kopi manis buat suami tercinta.
Senja mulai merangkak menuju malam, gerimis masih membasahi bumi. Setelah mengganti pakaiannya yang basah, dan setelah menghirup seteguk kopi yang dibuat Imah, Somad membaringkan tubuhnya di kursi panjang. Imah melendotkan badanya ke tubuh Somad. Sesekali terdengar nyanyian jangkrik dan kodok.
“Bang, sepertinya Imah tak mau pisah-pisah dengan Abang. Rasanya, jika Abang melaut, Imah jadi sepi sekali.”
“Itu tandanya Imah cinta Abang. Tap kan, kalau Abang tidak melaut, mana mungkin kita bisa memenuhi kebutuhan hidup. Abang juga sebenarnya tak mau pisah sekejap pun dengan Imah,” Somad membelai-belai rambut Imah. Di luar nyanyian katak begitu kuat, diiringi irama malam yang mulai mendekat. Imah meremas-remas jemari Somad. Debur ombak yang terkadang meninggi dan merendah memerdui suasana pantai di senja itu.
“Bang, rasanya baru semalam saja kita nikah ya? Padahal, jika dihitung, sampai hari ini sudah hampir empat bulan kita bersama.”
“Imah, Abang juga merasakan itu,” sambil terus membelai dan membalas remasan tangan Imah.
“Bang, sebenarya Imah ingin tanya ama Abang, tapi Imah takut nanti Abang marah.”
“Imah mau tanya apa?”
“Ah... tak usahlah Bang. Nanti Abang marah, mata Imah terus menatap tangan kiri Somad. Diperhatikan begitu, Somad jadi risih juga.
“Abang tahu, Imah pasti ingin tanya tentang jempol tangan kiri Abang ini kan?”
“Abang tak marah kan?” Imah melendot semakin manja.
“Abang memang belum pernah ceritakan pada Imah, ke mana perginya jempol tangan Abang ini. Kalau Imah mau tahu – jempol tangan kiri Abang ini masih ada dan Abang simpan bagus-bagus. Imah jangan krcewa ya, Abang tak menceritakan seluruh hidup Abang pada Imah. Bukan berarti Abang mau menyimpan-nyimpan masalah, tapi sama sekali memang Abang tak ingat untuk menceritakannya dan mungkin tak begitu penting buat kita.
Imah, ketika Abang dan kawan menebang pohon bakau beberapa tahun lalu, seekor ular mematuk jempol tangan kiri Abang. Spontan Abang mengerang kesakitan dan seketika tak tahu apa-apa lagi. Abang pingsan. Ketika sadar, Abang dapatkan diri Abang sudah di rumah dan dikerumuni orang ramai. Orang-orang mungkin menganggap Abang sudah mati.”
“Ngeri juga ya Bang?”
“Tangan Abang, tepatnya di bagian jempol kiri dibalut perban. Entah siapa yang mengerjakan semua itu, Abang juga tidak tahu. Yang Abang tahu, setelah perban dibuka, ternyata tangan kiri Abang sudah tidak berjempol lagi.
“Itu terpaksa kami lakukan Somad,” tutur Ayah ketika.
Yakh... Abang masih bersyukur, mereka mengambil tindakan cepat. Jika tidak, nyawa Abang pasti melayang karena menurut mereka, ular yang mematuk jempol Abang tersebut adalah ular yang paling ditakuti karena bisanya begitu dahsyat.”
“Bang, jika jari Abang ini lengkap. Abang pasti lebih gagah lagi,” Imah menan ggapi.
“Boleh Imah melihat jempol tangan Abang itu?” Lanjutnya bertanya.
Somad segera bangkit ke arah kamar tidur dan menuju lemari di mana tersimpan jempol tanganya yang sudah berpisah dari dirinya. Imah menunggu saja di ruang depan itu sambil berbaring di kursi panjang tempat Somad berbaring tadi. Imah terkesan juga dengan Somad, yang masih menyimpan jempol tangan kirinya tersebut padahal sudah tak terpakai lagi. Imah yang baru empat bulan menjadi istri Bang Somad, memaklumi juga kalau dirinya belum begitu banyak mengetahui tentang sang suami. Yang sempat diketahunya selama empat bulan ini adalah Somad memang lelaki jujur, berani dan tak suka berpura-pura.
Jempol itu masih utuh saja, seperti ketika masih menyatu di tangan Somad. Setelah duduk di kursi panjang, setelah Imah duduk kembali sembari bersandar di badannya, Somad pun memberikan jempol tangan kirinya itu pada Imah. Perempuan pantai itu lamat-lamat mengamati jempol Somad dengan cermat. Serasa ada yang aneh, jempol itu tidak membusuk. Imah yang memegang jempol tangan kiri tersebut dari bagian yang ada kukunya, terus mengamatinya dari berbagai sisi. Tiap sisi diperhatikan dengan teliti. Sementara bagian yang bekas potongan tidak disentuhnya sama sekali. Dari sisi bekas potongan itu masih terlihat bekas darah mengering
“Tak berbau ya Bang. Dan sepertinya tak membusuk,” celoteh Imah. Entah perasaan apa yang muncul dalam dirinya, Imah kepingin sekali jempol tangan itu bisa bersatu lagi dengan tangan Somad.
“Bang, mari Imah lengketkan kembali jempol ini ke tangan Abang,” pinta Imah kepada Somad. Lelaki itu pun mengulurkan tangannya. Tapi, begitu jempol itu bersatu lagi dengan tangan Somad, lelaki muda itu berteriak histeris. Tubuhnya kejang, matanya merah, dari seluruh pori-porinya ke luar keringat.
Melihat hal itu, Imah jadi bingung, ia pun berteriak-teriak minta tolong. Dan begitu tetangga berdatangan, Somad sudah menghembuskan napas terakhir. Dokter mengatakan – sesuai dengan hasil diagnosa – Somad mati karena keracunan bisa ular.
“Kenapa bisa?” pertanyaan itu menggayuti benak Imah dan para tetangga yang hadir di hari naas itu.
“Bisa atau racun yang ada di jempol masih hidup. Jadi, begitu jempol tersebut menyentuh ke tangan Somad yang merupakan salurannya, bagai air menemukan pipa, mengalir begitu rupa. Bisa itu pun menyebar ke sekujur tubuh Somad dalam seketika,” jelas dokter.
***
Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah.***

Akhir Mei, 2005.









B o m
Cerpen: Hidayat Banjar

Telah tiga tahun Anak Muda itu menganggur. Ia menganggur bukan karena pemalas, bukan pula karena bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahan ini, dan perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Anak Muda, kalau kau tak sanggup bayar dua puluh lima juta ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan”.
Sakit, sakit sekali hatinya mendengar perkataan itu. Bagaimana tidak sakit, sewaktu di SMA dulu, Anak Muda itu pernah diuji IQ (Intelligence Quatient)-nya. Ternyata angka dari alat penguji menunjukkan skor tinggi, bukan angka yang bisa dimain-mainkan. Kenyataan itu dibuktikan lagi dengan hasil ujian akhirnya, Surat Tanda Tamat Belajar (STTB)-nya menampakkan nilai 7,9 rata-rata. Anak Muda itu memperoleh ranking II dari 500 lebih siswa.
Dengan ijazah SMA jurusan Ilmu Pasti Alam (IPA) itulah, anak muda itu memasuki perusahaan-perusahaan, dan kantor-kantor. Hasilnya, karena tidak adanya persekot – itulah kesimpulannya selama tiga tahun ini – ia tidak diterima bekerja.
Bersama satu tekad, Anak Muda itu menetapkan satu putusan dalam hatinya bahwa tidak hanya dengan mengandalkan persekot ia akan mendapatkan pekerjaan. “Aku harus bekerja tanpa mengeluarkan persekot,” itu ditanamkannya dalam hati.
***

Kepada Yth
Bapak/Ibu Polan

Di desa saya, Desa 007, ditemui 1 kotak bom yang diduga masih aktif. Saya sebagai warga yang baik melaporkan hal ini ke hadapan Bapak/Ibu Polan, agar dapat mengamankan bom tersebut.

Hormat Saya
Penduduk Desa 007

Anak Muda
Tembusan:
1. Pihak Berkompeten
2. Pihak yang Perlu
3. Dll.

Setelah surat itu sampai ke berbagai instansi terkait, Desa 007 Kecamatan Antah Barantah, yang selama ini aman dan tentram menjadi riuh. Rumah Anak Muda itu hampir setiap harinya didatangani petugas, untuk bertemu dengannya sekaligus membuktikan kebenaran dari isi surat yang dibuat Anak Muda. Tapi, ia selalu tidak ada di rumah. Orangtuanya mulai gelisah melihat tingkah Anak Muda. Dicari ke rumah teman dekatnya pun tidak ketemu.
Maka oleh pihak berkompeten diutuslah intelijen-intelijen yang benar-benar ahli. Tidak sampai 24 jam, mereka temukanlah Anak Muda yang mereka cari itu. Ia tidak melawan, tidak berbuat apa-apa ketika pihak yang berwenang menunjukan surat penangkapan atas dirinya.
“Saya tidak usah digari, saya tidak akan lari. Sesungguhnya saya telah lama menunggu Bapak-bapak di warung ini. Kebetulan hari ini kita dapat bertemu, ya, hari yang baik bagi saya juga Bapak-bapak,” itulah reaksi Anak Muda ketika pihak yang berwenang ingin mengalungkan gari di tangannya. Orang-orang di warung itu pada melongo. Selama ini Anak Muda tidak pernah diketahui berbuat kejahatan, tetapi kenapa berhubungan dengan gari-garian, mereka heran.
Di kantor Kepolisian, Anam Muda itu dinterogasi.
“Jika Bapak-bapak ingin tahu dengan jelas di mana letak bom itu dan ingi tahu pula kekuatannya, saya pikir di kantor ini Bapak tidak akan menemukan sebuah jawaban yang memasukan,” demkian jawab Anak Muda.
“Jadi, apa maksud Anda mengirim surat itu kepada kami. Apakah Anda ingin mempermain-mainkan kami?”
“Tidak ada pihak mana pun yang saya permainkan.”
“Oke, kalau begitu Anda menginginkan persyaratan.”
“Tepat sekali, ya, Bapak cukup bijaksana rupanya,” Anak Muda memuji.
“Katakanlah.”
“Semua pihak yang saya kirimi surat harap hadir mendengar informasi agar semuanya jelas, di mana dan bagaimana dahsyatnya bom itu jika meledak.”
***
Desa 007 riuh. Kepala-kepala Lingkungan berkumpul di kantor desa di mana Anak Muda bermukim. Apa yang ingin mereka dengarkan dari bibir seorang pemuda pengangguran adalah demi kelanjutan hidup mereka dan juga kehidupan para penduduk. Sebab, stabilitas kampung di tangan mereka. Maka pertangungjawabannya dituntut dari mereka. Pihak pers pun tak mau ketinggalan, ini adalah berita hangat, berita besar. Bukankah prinsip juranalisme: bed news is good news.
“Saudara-saudara, hari ini kita berkumpul adalah untuk kita semua. Adapun apa-apa yang diutarakan Anak Muda nantinya adalah tanggung jawab kita semua,” begitu Kepala Desa 007 membuka sidang yang aneh itu.
“Kami persilakan Saudara Anak Muda memberikan informasi yang sejelas-jelasnya, agar kasus ini dapat ditangani dengan tuntas,” demikian dari Kepolisian memberikan penjelasan.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Saudara-saudara. Telah tiga tahun saya menganggur...”
“Anak Muda! Kami tidak ingin mendengar riwayat hidup Anda, tetapi sebuah informasi yang jelas,” pihak Kepolisian memotong pembicaraan.
“Bapak Polisi yang baik, saya belum habis bicara, namun Bapak telah memotongnya. Atau kita hentikan saja pembicaraan sampai di sini,” Anak Muda memberi ultimatum.
“Silakan Saudara Anak Muda lanjtukan,” Kepala Lingkungan XI menimpali.
“Bagaimana Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Saudara-saudara? Kita lanjutkan?”
“Lanjutkan, lanjutkan,” teriak mereka dengan nada takut dan gelisah.
“Baiklah. Sesungguhnya sebuah informasi, tidak dapat dikatakan sebuah informasi yang baik jika tidak mempunyai susunan kronologis yang lengkap. Makanya, sebelum saya memberikan keterangan lebih lanjut, saya memaparkan riwayat hidup saya. Sebab, hal itu mempunyai ikatan yang erat dengan bom yang akan saya laporkan”. Mereka manggut-manggut mendengar ketarangan Anak Muda.
“Oke... Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Saudara-saudara. Bom itu berkekuatan sangat dahsyat sekali. Jika ia meledak seluruh kampung kita ini akan hancur dibuatnya. Dan, bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di kampung-kampung lain juga banyak berserakan”.
Mendengar seluruh kampung ada bom, orang-orang pada tarik napas, terutama kaum wanita.
“Tapi aparat pemerintah dan penduduk setempat kurang memperhatikan bom-bom yang ganas itu. Maka saya sebagai manusia yang berpikir, merasa berkewajiban untuk mrengamankan bom-bom itu”. Mereka tambah riuh mendengar keterangan Anak Muda, tapi tak berani buka mulut. Dalam benak mereka terbayang sebuah kampung yang hancur oleh keganasan bahan peledak itu. Ya, Horosima dan Nagasaki di Jepang sana yang luluhlantak, terbayang di benak-benak meraka.
“Tapi, hadirin sekalian, jika kita semua mau menanggulanginya, beban apa pun bisa teratasi, begitu bukan?!”
“Betul... betul,” terika mereka.
“Nah... dengarkan baik-baik, di mana dan bagaimana bentuk bom itu. Saya telah tamat dari Sekolah Lanjutan Menengah Atas dan sampai sekarang masih menganggur. Saya bukan malas bekerja, juga bukan bodoh. Teman-teman tahu bukan, keadaan saya. Saya tidak memperoleh pekerjaan dikarenakan tidak ingin bermain-main dengan uang persekot. Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. Lihatlah di kampung kita ini berapa banyak pemuda-pemuda yang pengangguran. Tidakkah itu bom-bom sangat dahsyat yang siap meledak kapan dan di mana saja. Tidak saja meledakkan daerah kita ini tapi daerah-daerah lain”.
Mereka terperangah mendegarkan penjelasan Anak Muda. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka. Selama ini, tak pernah mereka mau berpikir sejauh itu.***



Konspirasi
Cerpen: Hidayat Banjar

Malam bartambah malam, lonceng di gardu penjagaan berdentang satu kali, pertanda dinihari telah memeluk. Josef menatap wajah-wajah penghuni penjara lainnya. Muak, tentu saja ia sangat muak dengan keadaan ini. Ia yang Dikrektur Keuangan Rumah Sakit Antah miliknya pemerintah tersebut, harus mendekam dalam penjara. “Puih, betapa bedebahnya mereka yang berjanji mem-beck up-ku dengan kekuatan people power, malah menjerumuskanku ke penjara memuakkan ini,” sumpah serapahnya dalam hati.
“Ya, kalau kau jadi ketua ormas berlambang kepalan tangan ini nanti, tentu pihak Kejaksaan tak berani macam-macam. Kau bisa kerahkan massa untuk mendemo Kejaksaan. Nah, apalagi yang kau pikirkan. Bermain all out-lah,” bujuk Serta ketua ormas yang akan ber-Musda (musyawarah daerah) mencari pengganti dirinya tersebut.
“Sebagai mantan ketua, di samping aku dapat memberikan satu suara padamu, pun Depicab (Dewan Pimpinan Cabang)-depicab kota serta kabupaten dapat kita motivasi. Tentu saja mereka mau bila diberi imbalan dana iming-iming jabatan,” lanjut Serta.
Josef manggut-manggut. Pikirannya menerawang, bila ia menduduki jabatan ketua ormas berlambang kepalan tangan, pastilah kasusnya akan dideponir pihak Kejaksaan. Dengan demikian, sang Direktur Utama Rumah Sakit Antah akan selamat dari incaran pihak penegak hukum.
Maka, ketika ditawarkan agar membayar satu suara Rp 10 juta, Josef serta merta menyanggupi. Sebagian dana itu akan dimintanya dari Direktur Utama Rumah Sakit Antah, atasannya.
“Jika 16 suara bisa kita dapatkan, tentu kau sudah jadi pemenang. Sebab, seluruh suara, baik dari Depicab-depicab maupun sayap hanya 30 suara,” Serta terus memasukkan ajangnya.
“Tapi si OK itu didukung oleh Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Anu tempat ormas kita berapliasi. Bahkan timnya sudah berjalan ke daerah-daerah,” jawab Josep.
“Benar, tapi mereka hanya menjanjikan Rp 3 juta satu suara. Sedangkan si Valent hanya menjanjikan membenahi kinerja ormas kita ini sampai ke tingkat basis. Ia tawarkan ke Depicab-depicab program pengembangan ormas ini dan sebuah komputer, kalau ia dapat duduk sebagai ketua,” Serta melanjutkan.
“Sebenarnya, yang benar adalah si Valent dengan visi missi yang ditawarkannya. Kalau ormas ini dapat sampai ke tingkat basis, tentu akan mempengaruhi suara Partai Anu pada pemilu akan datang. Dengan demikian orang-orang ormas akan semakin diperhitungkan oleh Partai Anu.
“Itu pasti, tapi Valent tak mau membayar Depicab-depicab selain ongkos jalan. Ia sudah ngomong panjang lebar denganku. Bahkan kemarin Depinas (Dewan Pimpinan Nasional) meneleponku agar sosok seperti si Valentlah yang dipilih memimpin ormas ini. Aku pun mengiyakan. Persoalannya, bagaimana mungkin Depicab-depicab tidak mendapat apa-apa pada pesta demokrasi yang akan kita gelar. Ya, laiknya pesta, tentu harus makan besarlah,” Serta terus meyakinkan.
***
Umbul-umbul dan spanduk organisasi massa (ormas) yang berlambang kepalan tangan menyebar luas ke segala sudut kota yang merupakan ibukota provinsi itu. Dari mulai hotel tempat berlangsungnya acara Musda, hingga menuju bandar udara (bandara) warna merah menyala memenuhi taman-taman, pinggiran jalan, dan lainnya.
Ketika hari H akan berlangsung, lebih meriah lagi, bukan hanya spanduk dan umbul-umbul, pun karangan bunga menghias jalanan hingga memenuhi pinggiraan jalan di sepanjang jalan depan hotel tersebut. Para petinggi ormas berlambang kepalan tangan itu sudah pula hadir di kota itu, membangun skenario agar yang terpilih memang benar-benar sosok yang dapat mengembangkan ormas tersebut.
Orang-orang di ormas tersebut, di tingkat cabang, provinsi maupun nasional mengakui – baik secara terang-terangan mapun diam-diam – bahwa semua kemeriahan Musda ini tak lain karena kinerja Valent memang benar-benar dapat diandalkan. Dari persiapan umbul-umbul, spanduk, peralatan infocus, menyusun materi acara yang dicetak dalam bentuk buku, semunya berjalan dengan baik.
Jimmi sebagai kader yang telah puluhan tahun di ormas itu ke kawan-kawannya kerap mengungkapkan: “ini semua karena kinerja Valent. Maka kalau dia tidak menang, aku tak tahu mau dibawa ke mana ormas ini”.
“Bila Valent yang menang, saya sangat yakin ia akan dapat mengembangkan organisasi ini,” ungkap Ali yang merupakan salah seorang Ketua Depinas (Dewan Pimpinan Nasional.
“Tapi, kalau dia yang menang, orang-orang Depicab (Dewan Pimpinan Cabang) kota dan kabupaten tak dapat apa-apa? Ia tak mau membeli suara,” ungkap Serta yang merupakan Ketua Depidar (Dewan Pimpinan Provinsi) periode yang lalu dan jabantannya akan diperebutkan pada Musda ini.
“Pak Syamsul (maksudnya Ketua Umum Depinas) pun mendukung Valent,” tegas Ali.
“Pokoknya Bapak percayakan saja pada saya dan kawan-kawan mengaturnya agar ormas tetap akan dipegang oleh orang yang berkompeten, sementara kawan-kawan Depicab mendapatkan dana,” jawab Serta sembari mengelus-elus kumisnya yang tebal.
“Bagaimana caranya?” Tanya Ali.
“Asal pihak Depinas tak melakukan pembekalan ke Depicab-depicab, saya sebagai Ketua Depidar Provinsi akan dapat mengajak kawan-kawan memenangkan Josef sebagai orang yang akan memberikan dana. Kemudian setelah Josef menang, kita tempatkan Valent di posisi Wakil Ketua I Bidang Pengembangan Organisasi. Di tangannya, saya yakin organisasi akan berkembang pesat,” beber Serta. Ali tak lagi menjawab.
***
Di dalam kesendiriannya, Serta tersenyum-senyum membayangkan keberhasilan skenarionya ini. “Habislah kau Josef. Tempo hari, kau yang berusaha menjenggal aku agar tak menjadi anggota dewan perwakilan rakyat republik ini. Tapi, kau kan baru anak kemarin, tetap juga kursi dewan aku peroleh,” bisik hatinya.
***
Setelah tata terbit dibacakan, petunjuk pemilihan dijelaskan, maka pimpinan sidang pun mengetuk palu yang mengisyaratkan pemilihan segera dilaksanakan. Tiga kandidat diminta untuk duduk di kursi sebelah kiri dari depan panggung. Duduklah Valent yang berkacamata, OK yang klimis, serta Josef yang berkumis agak tebal.
Pada putaran pertama, Valent hanya meperoleh 4 suara, OK 10, dan Josep 16. “Kok bisa demikian,” bisik hati Valent. Tetapi dikuatkannya saja hatinya. Sementara OK dan Josef terlihat ceria. Putaran kedua akan mereka masuki.
“Pasti ada yang tidak beres,” bisik hatinya. Lalu kepada kawan-kawannya Valent meminta untuk mencari tahu kenapa bisa demikian. Sebab, dari kunjunganya ke daerah-daerah, sudah dapat dipastikan di atas kertas ia akan unggul. Dari Depicap-depicab didapat pengakuan 18 suara dipegangnya, belum lagi sayap-sayap. Ini tak lain karena, di samping program kerja yang ditawarkan, ia juga didukung oleh Depinas.
“Bang, telah terjadi money politics,” ungkap Rail temannya Valent di salah satu sudut lobi hotel tempat berlangsungnya Musda sembari menyebut Rp 10 juta untuk satu suara.
“Kalau begeni ceritanya, bagaimana mungkin organisasi akan maju. Kalaulah kita duduk hanya karena uang, bagaimana caranya kita dapat mengabdi. Pastilah dalam menjalankan organisasi, orientasi kita hanya untuk mencari uang. Padahal yang dibutuhkan Partai Anu dari ormas kita ini adalah dapat membangun kinerja hingga tingkat basis,” ungkap Valent.
“Entahlah Bang, aku tak mengerti,” jawab Rail.
Pada putaran kedua, perolehan suara OK 11, sedangkan Josep 19. Bergembira rialah orang-orang yang mendukungnya. Sementara Serta tersenyum-senyum saja. “Kau rasakanlah nanti,” kata hatinya. Sedangkan Valent meminta kepada kawan-kawannya seperti pembawa acara, operator infocus, dan lainnya tidak meninggalkan arena demi suksesnya Musda.
***
“Siapa yang berkhianat?” tanya Valent kepada kawan-kawannya di sebuah tempat makan emperan. Malik, Sugiat, Rail, dan Hiban – teman-teman Valent – tak menjawab. Suasana diam beberapa jenak. Kediaman dipecahkan oleh pertanyaan pelayan, mereka mau makan apa.
“Sebenarnya tidak ada yang berkhianat Bang, mereka hanya terpesona dengan uang. Rp 10 juta bukan sedikit,” ungkap Malik.
Saat akan melanjutkan pembicaraan, telepon genggam Valent berbunyi, mempertanyakan kesediannya duduk di jabatan Wakil Kkletua I. “Saya hanya mau duduk di Dewan Penasehat saja,” tutur Valent.
“Jangan merajuk lha,” jawab penelepon.
“Bukan merajuk Bang, ini kan masalah hak. Masak saya tak punya hak untuk menolak atau menerima”. Akhirnya tanpa persetujuan Valent, mereka bentuklah komposisi kepengurusan yang dilantik malam itu juga, dengan dirinya sebagai Wakil Ketua I.

Dua Bulan Kemudian.
Sejak pagi tadi ratusan masyarakat berkumpul di kantor Kejasaan Negeri kota itu. Kaum lelaki, wanita, tua dan muda menyatu dengan tekad: tangkap Josef Sang Direktur Keuangan dan Direktur Utama Rumah Sakit Antah, koruptor uang orang sakit. Beberapa di antaranya mengikatkan bendera merah putih di sepotong kayu. Mereka mengendarai beberapa truk, pick up, dan lainnya untuk sampai ke Kantor Kejaksaan itu. Beberapa orang ormas – termasuk pendukung Josep – menyatu dalam aksi massa itu karena muak melihat sikap Josef yang setiap saat mengandalkan uangnya.

Di Suatu Tempat pada Suatu Waktu
“Nah, sekarang baru tahu rasa si Josef. Ia terkena skenario permainan kita. Uangnya habis, masuk penjara lagi,” ujar Serta.
“Tapi Bang, apa Valent mau menggantikan Josep?” tanya Horas.
“Itu tak penting!”
“Ternyata, Abang bajingan juga,” tandas Horas.
“Ha... ha...ha...” Serta tertawa terbahak-bahak. Sementara Josef harus menjalani hukuman sebagai koruptor. ***
















U r i p
Cerpen: Hidayat Banjar

Urip masih ingat untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di kantor perusahaan swasta tempat ia bekerja sekarang. Waktu itu, pamannya yang memegang jabatan Kepala Personalia. Tapi karena ia tidak mempunyai ijazah – baik SD (Sekolah Dasar) maupun lainnya – “Rip, kau paman tempatkan sebagai pengantar sura saja ya? Yakh... bukan Paman tak bisa menolong, begitulah aturannya di sini. Hanya itu yang dapat Paman berikan padamu, itu pun kalau kau terima. Kau pikir-pikirlah,” kata paman mengahiri pembicaraan sore itu. Urip hanya diam dan mengucapkan terimakasih sambil menyalam paman kandungnya itu.
Urip anak desa, yang sejak kecil diajar oleh orangtua bertani. Hanya bertanilah pengetahuannya, itu pun didapat dari keturunan, bukan ia pelajari. Kebetulan saja pamannya diangkat sebagai Kepala Personalia oleh Bah Aceng, sehingga ia dapat diterima di perusahaan itu tanpa testing.
Urip tidak tahu perusahaan apa yang dijalankan oleh Bah Aceng ini. Yang ia tahu, sekarang ia telah bisa melihat kota, melihat rumah-rumah mewah bahkan memasukinya. Yang ia tahu sekarang, ia bisa bersih, tidak selalu bergelimang dengan lumpur sawah dan tumbuh-tumbuhan.
Tidak terasa, hampir 20 tahun ia melaksanakan tugasnya ini. Kepala Personalia pun telah diganti tiga kali. Bukan pamannya lagi sekarang yang menjabat. Pamannya telah pindah kerjaan, entah ke mana, Urip tak tahu itu.
Pimpinan perusahaan sekarang telah ditukar. Yang dulu Bah Aceng, sekarang diganti anaknya, tapi nasib Urip tak berubah, tetap statis dan monoton. Tetap dengan sepeda tuanya pemberian Bah Aceng dulu. Tetap sebagai pengantar surat.
Dulu, tak pernah Urip memikirkan perkembangan nasibnya yang seolah dijajah oleh kemiskinan pengetahuan. Tapi, belakangan ini hal itu merong-rong benaknya.
Sejak kelahiran putranya yang kedua, ia mulai memikirkan, bagaimana tentang nasib anaknya di masa mendatang. Anaknya harus sekolah, ia tahu itu, karena ia merasakan betapa sakitnya hidup tidak punya ijazah dan pengetahuan. Ia ditempatkan oleh pamannya sebagai pengantar surat, padahal pamannya yang menjabat Kepala Personalia. Ia tahu itu.
Urip masih ingat, untuk pertama kalinya ia memasuki kantor yang lain guna mengantarkan surat yang ditugaskan Bah Aceng. Saat itu ia gemetar sekali. Urip masih ingat itu dengan jelas, tak kan pernah hilang, tak kan.
“Letak kan di situ saja hei Buyung suratnya,” kata si penerima surat. Urip hanya diam. Sedih... sedih hatinya. Padahal namanya bukan buyung, tapi Urip, nama yang bagus, pikirnya. Saat itu ia ingat pesan bapaknya di kampung.
“Sebagai orang baik, kita harus nrimo Rip,” itu pesan ayahnya. Urip ingat betul, tak kan melupakan itu. Tapi, hal itu belakangan ini mengganggu benaknya: nrimo, apa bukan karena prinsip itu aku terus-menerus sebagai pengara surat?
Sejak kelahiran putranya kedua, ia memikirkan dengan pikirannya yang sederhana, jika terus-menerus nrimo, bagaimana nasib Sanikem sang istri. Begitu juga nasib kedua anaknya, apakah ia akan dapat menyekolahkannya, bila bekerja hanya sebagai pengantar surat? Sedangkan waktu mereka berumah tangga dulu, untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum saja sudah demikian sulit. Tambahan belakangan ini, anak-anak telah lahir.
Urip masih ingit untuk pertama kalinya meninggalkan orangtuanya di desa. Ia meninggalkan sanak keluarganya, meninggalkan kampung halamannya yang hijau. Urip masih ingat tatkala ayah dan budanya menasihatkan: “Rip, jika Kamu nanti di kota mengalami kesulitan atau kesusahan pulang saja kembali ke desa kita ini. Desa kita masih subur dan hijau Rip”.
Urip dulu tidak tahu maskud perkataan itu. Yang ia tahu, ia harus bekerja di kota, mumpung ada paman, begitu pikirnya.
Betapa urip masih ingat, sebelum pergi ke sawah, ia sarapan bersama-sama keluarga. Di swah ia disambut oleh kicau burung dan udara yang segar. Pulang dari sawah ia disambut oleh ibu dan adik-adik. Urip masih ingat itu.
Urip masih ingat untuk pertama kalinya kenal dengan Sanikem dan mencintainya. Saat-saat seperti ini, di mana ia mengkhayalkan hidup yang indah bersama Sanikem. Hidup bahagia bersama Sanikem. Tapi, belakangan ini, khayalan itu memudar dan akhirnya hilang sama sekali sejak kelahiran putranya yang kedua.
“Urip, ini surat kamu harus antar ke kantor ini, dan ini kamu harus antar ke perusahaan itu, dan ini dan itu,” kata Tommy anaknya Bah Aceng yang sekarang jadi Pimpinan Perusahaan dengan bahasa Indonesia tidak karuan. Pasdahal, Urip tahu kelahiran anak itu, kecilnya bahkan sampai beasarnya sekarang. Tapi Tommy hanya meng-kau-kan saja Urip yang jauh lebih tua daripadanya. Namun Urip diam saja, walau hatinya belakangan ini sangat mendongkol.
“Rip... kamu harus rajin kerja lho... Belakangan ini kamu nampaknya berubah. Kalau kamu malas kerja lebih baik berhenti saja. Sebab wa tidak butuh orang yang pemalas di kantor wa ini,” tambah Tommy sewaktu Urip akan meninggalkan kantor perusahaan itu untuk mengantarkan surat-surat ke kantor ataupun perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan dengan perusahaan di mana Urip bekerja.
Urip terus kayuh sepedanya, tapi sebuah kantor pun belum ia masuki, sebuah perusahaan pun belum ia datangi untuk mengantarkan surat-surat dari bosnya. Di tengah terik matahari itu, Urip mendengar suara halus: “Rip... pulanglah, kampungmu masih subur. Urip... paman tak bisa menolong. Urip... anak-anakmu butuh sekolah, butuh penghidupan yang layak. Urip, istrimu, ia telah lama menderita. Tidakkah kau ingin bahagia, Uriiip...Uriiip...Uriiip.”
Pada panggilan yang ketiga, Urip menghentikan sepedanya, ia tak tahan mendengar suara itu. Ia ambil surat-surat dari tas yang tergantung di tempat duduk belakang sepedanya, ia teriak kuat-kuat: “Sanikeeem, istriku, Ayaaah dan Bundaaa, aku tak mau dijajah. Kampungku masih subur, aku tak mau dijajah,” sambil teriak ia campakkan surat-surat itu ke parit. Legalah perasaannya.
“Sesungguhnya aku masih punya diri,” katanya dalam hati. ***
































Alunan Biola Penghabisan
Cerpen: Hidayat Banjar

Telah hampir seminggu Karta terbaring di kasurnya. Para keluarga – baik yang datang melayat maupun yang memang berada di rumah itu – telah sibuk. Sebagian heboh menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki, sebagian repot pula memikirkan apa penyebab lelaki itu tersiksa begitu rupa.
Untuk bicara saja, Karta telah payah melakukannya, apalagi makan dan minum. Karena itu, tubuhnya yang kurus, semakin kurus. Tapi, sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama tak ditemui maupun didengarnya.
Orang-rang kampung telah mulai mendesas-desuskan bahwa Karta mempunyai ilmu hitam sewaktu masih muda tetapi lupa membuangnya ketika usia mulai senja, sehingga di saat menjelang ajalnya sangat sulit sekali.
Adalah malu besar, jika dugaan masyarakat benar adanya. Inilah yang dirisaukan oleh sebagian keluarga karta. Namun yang sebagian lagi tak peduli akan selentingan itu, hanya repot menghitung kekeyaan Karta untuk dibagi-bagi sebagai warisan. Pembagian harta masing-masing pun ditetapkan tanpa sedikit pun memikirkan ketersiksaan Karta; tanpa sedikitpun memikirkan tempat bakal penguburan Karta, juga tak terpikir oleh mereka apa penyebab Karta sehingga sangat sukar menemui ajalnya.
Hampir seluruh keluarga Karta telah berkumpul, begitu juga dengan kerabatnya, tapi Karta belum juga mengembuskan napas terakhirnya. Mata lelaki 80-an tahun itu masih tetap melek, meski denyut nadinya semakin lemah.
Sorot matanya tetap menyala, seakan mencari sesuatu yang belum ditemukannya. Namun hal ini tidak diketahui oleh keluarga maupun kerabat yang telah hadir di kediaman Karta. Mereka hanya berkata: “Pak Karta nyebutlah Pak, ingat Tuhan”. Namun sedikit pun perkataan itu tidak digubris oleh Karta.
Atap genteng rumah yang luas itu telah dibuka beberapa keping. Menurut kepercayaan mereka, jika Karta mempunyai ilmu hitam ataupun karuhun, ia akan pergi lewat atap genteng yang dibuka, sehingga ilmu hitam atau karuhun itu, tidak menghalang-halangi berangkatnya nyawa Karta meninggalkan tubuhnya. Tapi hal itu tidak juga menghasilkan apa-apa.
Demikian juga pembacaan Surat Yassin, telah berulang kali dilakukan. Ini juga kepercayaan mereka; jika seseorang dalam keadaan sekarat, bacalah Surat Yasssin, bila tdak sembuh juga dari penyakitnya berarti kematiannya telah dekat, dan jalannya roh meninggalkan tubuh akan dipermudah, tidak dihalang-halangi setan. Begitu kepercayaan mereka. Namun tetap juga nihil. Karta belum juga mengembuskan napasnya, tapi tak juga sehat kembali. Ia tetap tersiksa, napasnya turun-naik, denyut nadinya tidak teratur. Anehnya, sinar mata Karta tetap menyala sebagaimana layakanya orang sehat. Mereka tak juga mengetahui kalau Karta tengah mencari sesuatu. Ia mencari sebuah bentuk dan suara merdu yang biasa didengarkan sewaktu masih muda.
Di kesibukan keluarga Karta, terdengar suara: “Asalamualaikum”.
“Alaikum Salam,” jawab orang-orang yang ada di dalam rumah.
“Silakan masuk,” ucap seseorang dari dalam.
“Sudah berapa lama Pak Karta tak sadarkan diri,” tanya lelaki tua yang usianya tak jauh beda dengan Karta.
“Jika malam ini, ia tak juga pergi, berarti pas seminggu Mas Karta tak sadarkan diri,” jawab sang istri yang makin kuyu menunggui suami tercinta.
Lelaki tua itu mengungkapkan bahwa ia adalah temannya Karta semasih muda. Kegemaran Karta hampir tak beda dengannya. Pak Karta semasih mudanya adalah seorang pejuang yang gagah berani, itu diketahui lelaki tua itu, karena ia juga seorang pejuang. Ketika kemerdekaan telah direbut, nasib Pak karta berubah, ia menekuni profesi pangkas. Sedangkan lelaki tua itu – karena nasibnya baik – ia memangku jabatan di pemerintahan.
Sebagai sahabat, lelaki tua itu tak melupakan perihal Karta. Ia sering menjenguk Karta di tempat pangkasnya dan tetap memangkaskan rambutnya maupun rambut anak-anakanya pada sahabatnya itu. Hal ini bukan dikarenakan Karta melebihi pemangkas lain, tapi dorongan rasa setiakawannya.
Demikianlah lelaki tua itu bercerita dan terlihat pula matanya mejalari seisi ruang, mencari sesuatu. Ia pandangai kamar dari sudut ke sudut. Begitu juga apa-apa yang tergantung di dinding kamar. Namun sepertinya ia tak menemukan apa yang dicari. Ia tercenung sejenak, dan ditatapnya wajah Karta yang kian kuyu. Air matanya menitis.
“Bu Karta,” katanya kepada istri Karta, sembari menghapus air matanya. Kemudian ia diam sejenak.
“Apakah ibu masih menyimpan sebuah biola yang dulu selalu dimainkan Pak Karta di saat jam-jam senggangnya?” Bu Karta mengernyitkan kening. Anak-anak dan keluarga Karta yang prihatin melihat ayah dan orangtua mereka, bergegas mencari apa yang dimaksud.
Seiring dengan itu – seperti dikomandokan – Bu Karta begerak dari tempatnya dan menuju serta membuka lemari. Ia membawakan sebuah biola untuk lelaki tua itu.
“Maksud Bapak, biola ini kan?” tanyanya
Sang lelaki tua manggut-manggut sembari menerima biola itu.
Diamatinya biola tersebut, dibersihkannya debu-debu yang menempel, memperlihatkan bahwa biola tua tersebut sudah lama tak dipergunakan. Perlahan-lahan ia gesek senar biola dengan penggeseknya. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun irama “Selendang Sutra”.
Mendengar irama tersebut, serta merta badan Karta bergerak. Sanak keluarga yang menghitung-hitung harta kekayaan Karta seolah kehilangan harapan melihat keanehan itu. Sementara Bu karta dan anak-anaknya serta keluarga dekat lainnya yang mencintai Karta, seperti mendapat harapan baru. Dua pemandangan yang sangat bertolak belakang.
Betapa tidak, Bu Karta yang juga telah renta, beranggapan bahwa suaminya bakalan tidak akan sembuh lagi, karena dokter dan dukun yang dipanggil mengatakan bahwa Karta tak dapat ditolong. Tetapi kedatangan lelaki tua itu seakan memberi harapan baru.
Pak Karta menggerakan tangannya seakan ingin meraba dan mencari sesuatu. Lelaki tua sahabat Pak Karta menyadari akan hal tersebut. Ia dekatkan dirinya pada Karta sembari berbisik,”aku Brata, Pak Karta, teman seperjuanganmu dulu”. Ia rapatkan badannya pada Karta, sambil terus menggesek biola itu. Air mata Karta menetes, mulutnya sekanan bergerak namun suaranya tidak terdengar.
Karta tersenyum, istrinya, anak-anak, keluarga, dan lelaki tua itu pun tersenyum. Namun senyum mereka seakan cemooh bagi sebagian keluarga yang kedatangannya membezuk Karta semata untuk mengharapkan kekayaan yang diwarisinya. Meskipun hanya seorang tukang pakangkas, karena Karta punya banyak relasi, dan sebagiannnya pejabat – semasih muda dulu – hartnya lumayan juga.
Alunan biola semakin sendu. Wajah Karta kian teduh, matanya tak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia berucap perlahan sekalai – tetapi pasti – La Illah Haillallah Muhammadarasullullah. Denyut nadi karta terhenti.
“Inna Lillahi wainna Ilaihi Rajiun,” ujar sebagian pelayat.
“Alhamdullillah,” ucap sebagian lagi.
“Inilah kenyataan,” tutur lelaki tua sahabat Karta.***



















Robohnya Sekolah Kami
Cerpen: Hidayat Banjar

Usai shalat Maghrib, makan malam bersama – jika aku sudah menyelesaikan PR (pekerjaan rumah) atau belajar – ayah senang sekali mengenang masa lalunya saat SD bermain-main di sekolahnya, yang kini juga jadi sekolahku. Sekolah SD Neger itu, disebut ayah sekolah kami. Sebab, ayah, aku dan dua kakak serta abangku saat SD bersekolah di sekolah itu. Hanya adikku yang tidak bersekolah di sekolah kami tersebut. Adikku bersekolah di SD swasta.
Di samping bercerita tengan sekolah kami, Ayah juga senang bercerita tentang Sungai Deli yang hulunya di Delitua dan mengalir hingga ke Belawan. Ayah sepertinya punya hubungan istimewa dengan sekolah kami dan Sungai Deli.
Sekolah kami itu, dulu berada di pinggir jalan dekat istana Maimun. “Dulu, di depan sekolah itu ada pohon beringin yang berdaun lebat. Di bawahnya, kami – saat jam istrahat – bermain penuh gembira,” kenang ayah.
Kadang-kadang, cerita ayah lagi, ia dan kawan-kawan, sepulang sekolah, bermain-main di halaman istana Maimun yang luas. Melihat meriam puntung yang sangat terkenal dengan legenda Putri Hijaunya. “Ruang-ruang istana itu demikian banyak. Ada sebuah ruang bawah tanah, yang ketika aku mau masuk, dilarang oleh kawan yang berasal dari keluarga istana. Kata kawan itu, ruang bawah tanah tersebut tembus ke Sungai Deli dan ke Mesjid Raya. Ayah tak tahu apa hal itu benar atau tidak. Sebab sampai sekarang, Ayah tak dapat memasuki ruang bawah tanah itu. Keluarga istana tetap melarang kami memasuki ruang bawah tanah karena bisa-bisa kami tak pulang karena tersesat,” kenangnya.
Sekarang sekolah kami sudah dipindahkan ke dalam gang, persisnya dekat pinggiran sungai. Sering sekali kami tidak dapat belajar, karena sekolah itu – jika di hulu hujan – akan terkena banjir kiriman. Penduduk-penduduk yang berada di pinggiran Sungai Deli pun sangat kewalahan dibuat banjir itu.
Ketika sekolah kami akan dipindahkan beberapa tahun lalu – saat aku masih duduk di kelas 3 SD – ayah dan kawan-kawan protes. Anggota-anggota DPRD, pemuka agama dan masyarkat pun protess, tapi protes tetap tinggal protes, pemindahan sekolah jalan terus.
Saat aku duduk di kelas 4, di pertapakan sekolah kami yang awal telah berdiri gedung pertokoan. Kami pun telah bersekolah di tempat yang baru, di dekat Sungai Deli. Sesekali kupandangi Sungai Deli yang mengandung banyak kenangan buat ayah. Mengapa tidak, masa kecil ayah sangat akrab dengan sungai itu.
“Di Kelurahan Namu Rambe ada situs Putri Hijau dengan bekas benteng pertahanannya, bekas istana dan sumur tempat Putri Hijau mandi, kini merupakan pancuran yang airnya terus mengalir. Tapi situs bersejarah itu belum dan tak pernah dimanfaatkan sebagai paket wisata. Padahal jika situs itu dimanfaatkan sebagai paket wisata, tentu mendatangkan devisi sehingga tak perlu merusak alam hanya untuk mengejar keuntungan materi,” cerita ayah yang aku tak paham betul maknanya.
“Masyarakat yang peduli kelestarian lingkungan, dan orang-orang yang punya hubungan emosional serta historis dengan sungai penuh sejarah ini – seperti aku – sangat kecewa melihat pembangunan yang tak bersahabat dengan alam sehingga merusak keberadaan Sungai Deli. Bahkan, dalam dua dasawarsa ini – jika di hulu musim penghujan – penduduk yang ada di pinggiran sungai bagian hilir, merasa Sungai Deli jadi ancaman menakutkan. Iya kan?” tanya ayah. Aku hanya mengangguk, karena tak begitu mengerti apa yang dimaksud ayah.
Kata ayah, sekitar 30-40 tahun lalu – orang-orang yang bermukim di sekitar 500 meter kurang lebih dari bibir sungai pastilah berakrab-ria dengan Sungai Deli. Suasana permukiman yang sangat kental dengan aroma desa begitu kondusif bagi kehidupan masyarakat di sekitar sungai, terutama warga kelas menengah bawah seperti kami.
“Mengapa tidak, masih dengan jelas terpatri di ingatanku – dulu – di samping atau belakang rumah kami bertaburan makanan pemberi gizi seperti jamur yang tumbuh di batang-batang pohon tumbang, kemumu, keladi dan umbi-umbian lainnya. Pisang-pisang dan buah-buahan pun berserak begitu rupa. Kami tinggal menggerakkan kaki dan tangan untuk mengutip gizi-gizi tersebut. Sehingga tak perlu biaya tinggi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, sebagaimana dilantunkan Koes Plus dalam lagunya, kini telah tenggelam ke dalam rawa-rawa sejarah,” kenang ayah.
“Di Sungai Deli – dulu – ada: udang-udang kecil, siput (sea food), remis, dari ikan timah, cencen, lemeduk, baung, sepat, sampai ikan-ikan besar lainnya tersaji buat kami. Remis dan siput, berserak di pasir-pasir sungai, tinggal menjulurkan tangan dan membawa wadah, maka semuanya dapat menjadi tambahan gizi. Tapi kini, keberadaan sungai-sungai kita, seperti Sungai Deli (dulu kebanggan warga), yang ada tinggal ikan sapu kaca dengan daging nyaris tak ada dan tulang yang begitu keras. Aduh! Aku tak mengerti bagaiaman cara pemerintah memandang alam,” lanjut ayah.
Ayah juga menyebutkan, Sungai Deli telah mengukir sejarah yang panjang. Kisah seorang Sultan Muda dari Aceh Ali Mughayat Syah yang jatuh cinta kepada Putri Hijau, tetapi ditolak, menyebabkan terjadinya peperangan merebut Kerajaan Haru untuk memiliki sang putri, namun gagal karena kapal yang membawa Putri Hijau diserang badai ombak, dan Putri Hijau lenyap ditelan keganasan laut alas Jambu Aye.
Sejarah Sungai Deli memang cukup panjang. Melalui alur Sungai Deli, pasukan Sultan Mughayat Syah menyerang Kerajaan Haru (1522). Kerajaan Haru yang telah dikuasai oleh Aceh diserang oleh Portugis juga melalui alur Sungai Deli (1523).
Kerajaan Aceh kemudian menguber Portugis di Kerajaan Haru (1524). Kerajaan Haru atau Aru merupakan kerajaan terbesar di masa itu, maka tidak heran, kalau kerajaan itu terus-menerus diperebutkan. Armada yang bergerak semuanya melalui Sungai Deli, dan pertempuran-pertempuran sengit yang silih berganti terjadi di dataran rendah di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, yang kemudian dikenal dengan Kampung Medan.
Sungai Deli merupakan saksi sejarah dari masa ke masa. Bukan hanya pasukan dari Aceh yang menggunakan alur Sungai Deli, tetapi juga pasukan Johor. Bahkan Sultan Johor memasuki dan berlayar melalui Sugai Deli untuk membantu Kerajaan Haru. Tetapi pada abad ke-16 Sungai Deli sepi dari pelayaran armada silih berganti, karena pada tahun 1612 Kerajaan Haru ditaklukkan seorang Panglima yang sangat perkasa dikenal bernama Gotjah Pahlawan yang telah diangkat menjadi Wakil Sultan Aceh untuk Kerajaan Haru dari batas Tamiang hingga Sungai Rokan Pasir Ayam Denak.
Gotjah Pahlawan merupakan cikal bakal Sultan Deli dan Serdang, kawin dengan adik Raja Sunggal Datuk Itam Surbakti, bernama Putri Nan Daluan Beru Surbakti (1632). Dengan perkawinan ini wilayah pesisir diserahkan kepada Gotjah Pahlawan.
Sungai Deli dan Sungai Babura yang melintasi Kota Medan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kini kondisinya tentu sangat jauh beda dibandingkan dengan masa lalu. Dahulu kapal ukuran besar dapat leluasa berlayar karena tidak ada jembatan yang menghalanginya. Masa sekarang alurnya bertambah kecil, banyak jembatan di atasnya dan tempat-tempat yang telah menjadi dangkal. Jika banjir, kedua sungai ini kelihatan ganas.
***
Apa yang selalu dicemaskan ayah akhirnya terjadi juga. “Orang boleh saja menyebut banjir merupakan ‘keganasan’ Sungai Deli. Tapi, di balik keganasan itu, tidakkah ini berawal dari ‘keganasan’ manusia memperlakukan alam. Sungai-sungai yang alurnya sudah dibentuk oleh Tuhan sedemikian rupa, dirombak sesuka hati. Alur yang diciptakan Tuhan berbelok-belok, diluruskan, guna kepentingan orang-orang tertentu. Kayu-kayu sebagai penyangga alam pun dibabat. Akibatnya, alam pun – dalam hal ini Sungai Deli – memperlihatkan pula keperkasaannya dengan mengirim banjir,” ungkap ayah berulang-ulang dari tiap kali pembicaraan kami di teras rumah.
***
Ribuan rumah di bantaran Sungai Deli kembali dilanda banjir. Sebanyak 1.559 rumah di enam kelurahan Kecamatan Medan Medan Maimun terendam hingga dua meter. Demikian berita surat-surat kabar yang terbit pada hari Minggu saat aku dan kawan-kawan libur sekolah. Berita itu dimuat di halaman satu surat-surat kabar yang terbit di Medan.
Diberitakan, informasi Camat Medan Maimun tadi malam ketika mencek warganya mengungkapkan, air sungai mulai naik pada pukul 24.00 – 1.00 WIB dini hari, tetapi, air mulai deras sekira pukul 05.00 WIB sehingga menenggelamkan ribuan rumah warga.
“Meluapnya Sungai Deli karena curah hujan yang tinggi di daerah pegunungan seperti di Sibolangit dan Berastagi sehingga Sungai Deli meluap, dan airnya pun lebih tinggi daripada banjir sebelumnya,” ujar camat dalam berita itu.
Usai membaca berita itu, ayah mengajakku untuk melihat kondisi banjir tersebut. Kami susuri gang demi gang. Lokasi banjir dan rumahku hanya berkisar satu kilometer kurang lebih. Sesampai di tempat yang dihantam banjir, spontan saja bibirku bersekolah: “astaga, ayah sekolah kita juga roboh dihantam banjir.”
“Padahal sekolah tersebut baru beberapa tahun dibangun. Inilah yang aku dan kawan-kawan takutkan,” jawab ayah. “Sayangnya, pemuka masyarat tetap menyalahkan rakyat yang bermukim di bantaran sungai, tanpa memberi solusi. Camat membuat pernyataan di koran: “Bagaimana tidak kena banjir, pondasi rumah mereka saja di bibir sungai,” umpat ayah pula.
“Ayah, bagaimana ini, aku sudah kelas enam?”
“Nantilah itu, kita lihat dulu saudara-saudara kita yang jadi korban,” sahut ayah sembari menarik tanganku.
“Di samping habisnya kayu-kayu yang ada di hulu maupun di pinggiran sungai, juga karena alur yang ada ditimbun untuk kepentingan proyek. Lihat dua proyek penimbunan tanah hingga mengena daerah aliran sungai (DAS) Deli dan Batuan di Jln Brigjen Katamso, Kelurahan Kampung Baru dan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimoon, katanya tidak memiliki izin tapi jalan terus,” cerecau ayah lagi.
Esoknya tertulis lagi di koran-koran: Selain tidak ada izin penimbunan dari Bappeda dan PU Medan, juga tidak ada izin lokasi dan IMB dari Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan (TKTB).
Hal itu disampaikan Ir H Wiriya Alrahman MSi selaku pimpinan tim yang diperintahkan Sekda Medan Drs H Afifuddin Lubis MSi turun ke lokasi meninjau proyek tersebut.
Sebelumnya, instruksi melakukan peninjauan ke lokasi itu langsung dari Walikota Medan Drs H Abdillah Ak MBA kepada Sekda menanggapi kondisi warga yang memprihatinkan di Kelurahan Sei Mati akibat permukiman mereka selalu terendam air setinggi dua meter dari luapan Sungai Deli ketika hujan terjadi di hulu. Warga terpaksa mengungsi. Begitu juga murid SDN di Gg Merdeka – tempat aku bersekolah – terpaksa diliburkan karena sekolah mereka juga terendam air.
Sekarang sekolah kami sudah roboh, apakah aku dan kawan-kawan harus libur panjang? Padahal sebentar lagi ujian kelulusan akan berlangsung. ***









Apalagi yang Bisa Dilakukan, Selain Menangis?
Cerpen: Hidayat Banjar

Senja sudah terlalu tua untuk ditangisi. Prempuan itu pun menyadari ketuaan hari yang sebenarnya tak wajar lagi ditangisi karena semuanya sudah kasep. Tapi, apalagi yang bisa ia lakukan selain menangis? Tenaga? Ia sudah tak punya. Memapah hari saja ia sudah tertatih-tatih. Energi dan kekuatannya telah dimakan senja yang kian menua. Ya, hanya tangislah yang kini dapat dilakukan. Itulah kini modalnya untuk mengungkapkan segala kesumat yang membuncah di dadanya yang kian menipis. Tak dapat ia menahan hati lagi. Maka, meledaklah buncahan-buncahan yang menggelembung di tempurung kepala dan dadanya. Perempuan tua itu hanya dapat melakukan hal itu: menangis sekuat-kuatnya.
Sembari berteriak-teriak, perempuan tua itu mencerca apa yang bisa dicerca, menyumpah apa yang bisa disumpah. tubuh pendeknya bertambah pendek karena kini ia harus membungkuk-bungkuk memapah hari, memapah senja yang kian menua dengan kesendirian yang panjang. Sang suami telah beberapa belas tahun yang lalu mendahuluinya.
Meski ada anak dan cucu yang tinggal bersamanya, namun perempuan tua itu merasa bahwa hidupnya kian sepi saja sejak sang suami meninggal dunia karena penyakuit tua. Dalam usianya yang sudah menjelang ke sembilan puluh tahun, Kusen – demikian nama perempuan tua itu – menatap hari-hari dengan kelabu. Tak ada lagi tempat berkeluh-kesah, tak ada lagi teman sebantal yang dapat berbagi soal apa saja.
Kusen – sejak suaminya meninggal – harus memutuskan sendiri tiap persoalan yang menimpa diri, anak serta cucu-cucunya. Pikiran tuanya, pikiran senjanya seakan dipaksa bekerja keras memutuskan berbagai hal, memutuskan berbagai persoalan hidup. Padahal kini, pikiran tuanya bagi lonceng yang kehabisan gema, bagai lampu sentir yang kehilangan minyak tanah, bagai kendaraan tua yang dipaksa membawa beban berat. Itulah yang kini dirasakannya.
Soal makan dan tetek-bengek tentang diri, sesunguhnya tak pernah dirisaukan perempuan tua itu. Sebab, dana pensiun suaminya yang mantan polisi itu lebih dari cukup jika dipergunakan hanya untuk dirinya seorang. Biaya hidup Kusen setiap bulannya tak lebih dari Rp 500 ribu. Namun – tidak jarang – uang pensiun itu tidak pernah cukup. Tidak lain karena anak-anak dan cucunya, menjadikan Kusen sebagai pelabuhan terakhir, terminal terakhir untuk keperluan meminjam uang yang kerap tak dikembalikan.
Anak-anak dan cucunya, bila sudah kewalahan ke sana-sini mencari keperluan uang tetapi tak berhasil, maka Kusen adalah sasaran terakhir. Meski terkadang dengan marah, dengan ancaman, namun kerap saja orangtua itu memberikan uang, emas, beras, pokoknya apa saja yang dipunyainya untuk dapat memenuhi permintaan anak-anak atau cucu-cucunya.
Apalagi yang dapat dilakukan perempuan tua itu selain menangis, setelah sebelumnya berteriak-teriak mengungkapkan kekesalan hatinya. Rambutnya yang hampir semua memutih berserak ke sana-sini tak karuan karena diremas-remas sendiri atau disentap-sentap sebagai kekesalan hatinya yang tak terperi, yang tak terhingga.
“Sudahlah Mak, sabar,” bujuk Butet anak ketiganya yang berprofesi sebagai guru dan bersuamikan seorang Satpam sebuah bank.
“Aku kesal bukan karena uang dan emasku habis. Aku kesal karena kebodohanya. Sejak awal, Dabul dan istrinya telah mengingatkan agar jangan membangun apa pun di atas tanah itu. Tetapi mereka bersikeras. Itu yang aku sesalkan. Semuanya sudah serba kasep. Warisan sebagai tanda mata dari Ayahku pun sudah tergadai,” teriak perempuan yang dalam usianya mendekati sembilan puluh tahun tetapi tidak nyanyok alias pikun. Pikiran Kusen masih jernih, meskipun tak lagi dapat bekerja keras, bekerja cepat.
Memang sebelumnya, tetangga sebelah sudah mengingatkan kepada Marni, anak kedua Kusen – lewat Butet – bahwa tanah bekas HGU (Hak Guna Usaha) salah satu PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Negara) itu telah dikuasai oleh sebuah organisasi massa yang cukup berpengaruh di republik ini. Tetapi Marni sang anak dan Kamto, menantu yang bekerja di instansi pemerintah sebagai karyawan rendah itu, tak mempedulikan informasi yang disampaikan Dabul, wartawan sebuah harian di kota mereka.
Kamto dan Marni – mungkin karena semangat yang kuat ingin mempunyai tanah berikut rumah, tak peduli dengan informasi yang disampaikan Dabul. Pikirnya, informasi itu hanya untuk menakut-nakuti saja. Kamto yang sudah 18 tahun bekerja di instansi pemerintah itu memang tak punya rumah serta tanah. Gajinya hanya cukup untuk makan dan menyekolahkan anaknya yang hanya dua orang serta sewa rumah yang setiap tahunnya terus naik. Itu makanya, ketika ada tawaran Saragih dan Edward yan mengaku Ketua dan Sekretaris Tim Rakyat Penunggu untuk menggarap lahan bekas HGU perkebunan itu, Kamto dan istrinya pun tertarik.
“Tidak hanya kita yang menggarap, polisi-polisi aktif juga ikut. Nanti juga kita akan ikutkan wartawan, pengacara, serta camat,” jelas Saragih yang pensiunan polisi itu dan dikuatkan oleh Edaward.
“Dengan ikutnya wartawan dan pengacara, kita akan semakin kuat, tak tergoyahkan,” tandas Edward yang sehari-hari membuka kedai sampai di kediamannya yang tak seberapa jauh dari rumah Kusen.
Malam itu, Kamto dan Marni pun menyerahkan Rp 1,1 juta yang dikatakan untuk mengurus surat-surat dan pembersihan lahan. “Satu juta untuk surat-surat dan seratusribunya untuk kawan-kawan yang membersihkan lahan itu,” jelas Saragih.
“Setelah bersih harus segera dibangun, kalau tidak, tanah itu akan diambil kembali,” tandas Saragih yang juga Kepala Lingkungan.
Sejak penyerahan uang tersebut, mulailah Kamto dan Marni mengumpulkan uang untuk menbangun rumah impiannya di atas tanah garapan bekas HGU perkebunan tersebut. Khayalannya tentang rumah kelak akan terwujud karena kebaikan hati Saragih dan Edward. Kelak – bila rumah itu rampung – ia tak akan menyewa rumah lagi untuk selamanya.
Karena melihat orang-orang yang jumlahnya ada puluhan, membangun di atas tanah itu, bahkan ada rumah yang dapat dikatakan mewah, mulailah Kamto dan Marni membangun pondasi. Seterusnya, naiklah batu bata yang membentuk rumah idaman.
***
Perempuan tua itu dan banyak pengarap lainnya menjerit histeris ketika menyaksikan sebuah bouldozer menggilas habis bangunan yang berada di atas tanah itu. Para oknum polisi dan pensiunan yang menggarap tanah dan membuat banguan di atasnya tidak dapat berbuat banyak sebagaimana yang dijanjikan Saragih dan Edward. Bahkan Pak Camat serta Wartawan yang disebutkan pun tak muncul pada hari yang kelabu itu. Karena, sejak mulai digarap sampai rumah-rumah berdiri, tak sepotong surat pun yang mereka pegang, baik dari camat, lurah, atau instansi lainnya ikhwal kepemilikan tanah tersebut.
Saragih, sejak sebulan yang lalu meninggalkan asrama. Mungkin ia sudah menduga akan terjadi peristiwa demikian. Bagitu juga Edward, kedai sampahnya ditinggal begitu saja. Edaward dan keluarga, hengkang entah ke mana.
Prempuan tua itu menangis sejadi-jadinya dan bersandar di daun pintu rumah mereka, komplek asrama polisi. Rumah kecil ukuran 3 X 20 meter – bagai kereta api – itu sesak, seperti sesaknya dada Kusen menahan beban yang tak habis-habisnya, menahan sesal yang begitu dalam karena kebodohan anak dan menantunya.
Perempuan tua itu sebenarnya sangat jarang menangis. Hatinya yang keras, kian mengkristal manakala mendapatkan suami polisi. Sebagai istri polisi, perempuan itu memang sudah mempersiapkan diri untuk tahan di berbagai cuaca. Makanya sangat jarang ia menitikkan air mata.
Bahkan ketika suami meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya, beberapa belas tahun lalui, perempuan itu tak begitu meraung. Ia hanya menangis kecil dan dapat memaklumi peristiwa itu sebagai suatu keharusan. Karena sesungguhnya, setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati.
Namun, ketika rumah anak dan menantunya yang dibangun di atas tanah garapan itu diruntuhkan, hati perempuan tua – yang bukan pualam itu – bergetar kencang. Derak keruntuhan rumah itu, sama halnya dengan derak tulang-tulang tubuhnya yang patah digilas benda sangat berat. Kusen duduk bersandar di daun pintu rumah asrama tersebut, bunyi reruntuhan rumah-rumah yang dibangun tidak seberapa jauh dari asrama itu sampai juga ke telinga tuanya.
***
“Mak, pinjamilah kami uang agar bisa punya rumah,” Marni memelas malam itu.
“Aku sudah tidak punya uang lagi.”
“Bang Kamto hanya perlu lima juta rupiah saja.”
Prempuan tua itu diam.
“Bang Kamto telah menjual Vespanya, karena uang kami tidak cukup untuk menyelsaikan pembangunan rumah itu,” rengeknya lagi.
Sebagai orangtua, Kusen tidak tega membiarkan anak perempuannya tersebut tidak punya rumah sendiri hingga akhir hayatnya. Akhirnya, Kusen pun memberikan kalung berikut menainannya juga gelang dan cincin yang bermotif Ratu Wihelmina. Tambahan pula, ia melihat polisi-polisi aktif juga ikut membangun. “Masak sebagai polisi mereka tak tahu aturan,” bisik hatinya ketika itu meyakinkan diri sendiri.
“Tinggal ini harta yang aku punya. Makanya, kalau bisa tak usah dijual. Gadaikan saja,” pinta perempuan tua itu terbungkuk-bungkuk.
Ketika melepas kalung dan mainannya, gelang serta cincin yang diambil dari lemari tempat penyimpanan barang-barang berharga, wanita tua itu terbayang pada ayahnya yang dulunya adalah karyawan Tjong A Fie. Tugas ayahnya mengutip sewa-sewa rumah dan toko milik lelaki Tionghua yang jumlahnya sangat banyak. Waktu Tjong A Fie meninggal, ayahnya sudah tak bekerja lagi bersama lelaki Tionghua yang cukup terkenal karena kekayaannya itu. Kalung dengan mainan, gelang dan cincin yang bermotif Ratu Wihelmina itu adalah gaji orangtuanya terakhir dari Tjonh A Fie. Setelah tak bekerja dengan Tjong A Fie lagi, ayahnya menjadi buruh harian lepas di perkebunan Belanda sebagai pencari ulat tembakau.
Kalung dan mainan, gelang dan cincin juga bermotif Ratu Welhelmina itu merupakan benda terakhir pemberian ayah. Satu set lagi telah terjual untuk menyekolahkan anak-anak Kusen yang enam orang dan kebutuhan hidup lainnya. Makanya ketika Marni mengambil benda itu, Kusen wanti-wanti agar jangan dijual melainkan digadaikan saja, agar dapat ditebus kembali.
Kini benda-benda yang akan diwariskan kepada Susi anak bungsunya yang menetap di Ibukota bersama suami dan anak-anaknya, sudah tergadai. Sementara impian Marni dan Kamto pun telah dirobohkan. Yang tersisa kini adalah tangis dan raungan panjang. Ya, apalagi yang dapat dilakukan perempuan tua itu, selain menangis?***















Rembulan di Dalam Baskom
Cerpen: Hidayat Banjar

Kini rembulan hanya ada di dalam baskom yang berisi air seni Sundari sendiri. Rembulan tak ada lagi di pantai, tak ada lagi di bawah pohon sawo di halaman rumah, tak ada lagi di mana-mana, tak ada. Rembulan hanya ada di dalam baskom, terkurung cinta yang dibangunnya sendiri. Ya, cinta yang diberikan Sudari kepada Ja’far memang total. Seluruh jiwa dan raga Sundari diserahkannya pada Ja’far, lelaki baik dan sabar.
Tak tahu lagi ia sudah purnama ke berapa yang tiba malam ini. Sundari tak dapat dan tak mau menghitungnya. Yang ia tahu, bila purnma tiba, wajah Ja’far hadir di dalam baskom bersama lingkaran. Yang ia tahu nilai seorang wanita terletak pada kesetiaannya mempertahankan cinta. Yang ia tahu wanita memang tak dapat melawan. Ia memang coba mempertahankan cinta dengan melawan ayah, emak dan siapa saja yang menghalangi. Namun ia sadar, perlawanan itu sia-sia.
Sundari telah coba mempertahankan tekadnya bahwa ia kelak akan bahagia bersama Ja’far, ia akan bahagia bersama cintanya. Namun semua perjuangan, semua perlawanan itu sia-sia. Ayah dan emak memang benar. Tetapi ketika itu cinta ‘mengurung’ Sundari dalam lingkaran yang kian lama kian mengecil dan membelenggunya. Buta matanya, buta hatinya, buta segala rasanya kepada setiap lelaki yang coba masuk ke bilik cintanya. Ya, tidak ada lelaki lain yang dapat masuk ke bilik cintanya, kecuali Ja’far.
Di dalam lingkaran purnama yang ada di dalam baskom yang berisi air seni Sundari, Ja’far memanggil-manggil. Senyumnya yang lembut membuat Sundari tak dapat mengerti kenapa keindahan itu lenyap ditelan gulita malam. Kesepiannya yang panjang membuat tempurung kepala Sundari dipenuhi labirin-labirin yang begitu banyak. Garis-garis itu membuat sekat-sekat, membuat belenggu, membuat pasungan pada dirinya. Ia pun hanya dapat berteriak-teriak memanggil-manggil Ja’far.
“Datanglah engkau wahai kekasih, sebentar lagi anak kita akan lahir. Datanglah engkau wahai Ja’far, lelaki baik dan sabar,” teriaknya. Orang-orang yang melihat hanya dapat berucap: kasihan Sundari, cinta membuatnya jadi gila.
***
Senja ketiga setelah kepergin Ja’far, Sundari duduk termenung di beranda rumah. Hari-hari jadi sepi di matanya. Emak yang duduk di sampingnya pun seperti tak ada. Begitu juga ketika ayah pulang dari pekan sore, usai berjualan buah-buahan hasil galasannya, Sundari seperti tak mendengar suara sepeda motor yang menderu. Gadis muda itu terus termenung.
Usai ayah membersihkan diri dan duduk juga di bernada, usai ibu menghidangkan kopi panas buat ayah dan teh manis buat dirinya dan anak tersayang, Sundari masih juga termenung. Dua adik Sundari bersiap-siap untuk sembahyang Maghrib berjamaah di mushalla yang dilanjutkan dengan pengajian malam, namun Sundari tak memperhatikan itu. Pikirannya hanya ada pada Ja’far.
“Sun, kapan Ja’far kembali,” tutur ayah lembut membuka pembicaraan setelah duduk tenang. Sudari tersentak dari lamunannya dan menggeleng.
“Emak heran, kenapa kau seperti terpasung pada Ja’far,” lanjut emak. Sundari hanya diam.
“Ayah tak suka pada Ja’far bukan karean ia tidak baik. Sebagai lelaki Ja’far dapat dikatakan sempurna. Ia lelaki pemberani dan menurut Ayah, ia bahkan sangat berani serta cerdas. Ayah tak suka Ja’far adalah karena ia orang Aceh. Ayah tak suka Ja’far karena ia orang LSM. Kau tahu tidak Sun, kerja orang-orang LSM itu. Mereka suka merecoki pemerintah. Kau tidak akan bahagia nanti bila kawin dengannya. Itu sudah berkali-kali ayah sebutkan padamu.”
“Tapi... Sun cinta pada Mas Ja’far. Ia baik dan penyabar.
“Ia baik dan sabar, pelindung dan cerdas. Tapi ia orang LSM. Ia orang Aceh... orang yang diburu. Ayah tak ingin kau menjadi janda. Itu saja.” Sundari tak menjawab. Emak pun diam.
Senja kian meninggi. Ayam jantan berkokok berkali-kali.
“Siapa lagi yang bakal...Sudah seminggu ini kudengar ayam jantan berkokok di saat senja akan berangkat malam,” suara ayah bergetar mengisyaratkan kesedihan.
“Ah... Ayah jangan terlalu berfirasat. Kan biasa ayam yang baru besar, kapan saja ia berkokok, agar kelompok ayam yang lain tahu bahwa ia telah benar-benar menjadi ayam jantan. Dengan berkokoklah ia menunjukkan kejantanannya,” jawab Emak.
“Mak, kau tak mengerti perasaanku dan kau pun tidak mau mengerti dengan tanda-tanda alam.”
“Terlalu berperasaan tidak baik, Yah,” jawab emak. Sundari makin murung. Hatinya ciut.
“Sebelum hujan biasanya mendung. Walau terkadang ada mendung yang tak menurunkan hujan. Dan, ada pula hujan yang tidak ditandai dengan mendung. Namun sungguhlah sangat biasa bila sebelum hujan diawali mendung.” Ayah memandang ke halaman rumah. Dihirupnya kopi buatan emak. Hatinya risau, jangan-jangan... tak berani ia melanjutkan firasat buruk itu.
“Mak, bagi peristiwa alam, ada hal yang berlalu bagai mimpi, yang kadang-kadang sulit untuk kita percayai. Tetapi itu terjadi di depan mata kita.” Pada kata ‘kita’ itu Sundari meninggalkan beranda depan seusai menghabiskan teh manis buatan emak. Azan menggema bersahut-sahutan. Kedua adik Sudari mungkin telah tiba di mushalla. Ayah, emak, dan Sundari shalat Maghrib bersama.
***
Bila purnama tiba terdengarlah suara cekikian itu. Sundari tertawa-tawa mempermainkan baskom yang berisi air seninya sendiri. Di dalam baskom itu ada wajah Ja’far dilingkari rembulan, tersenyum sembari melambai-lambaikan tangannya.
Di bawah purnama mereka bertemu, di bawah purnama pula Ja’far menghilang.
“Aku memenuhi panggilan tugas,” kata terakhir dari lelaki Aceh itu. Sundari meremas tangan Ja’far kuat sekali seakan isyarat mereka tak bertemu lagi. Air mata duka menetes di pipi gadis delapan belas tahun itu. Ja’far pun seakan enggan melepas dekapannya. Tapi ia kuatkan hati. Gemetar kakinya meninggalkan desa pantai itu. Gemetar kakinya meninggalkan gadis Jawa yang melankolis, gadis Jawa yang siap menerima dirinya apa adanya.
Berbilang hari, berbilang minggu, berbilang bulan, kabar Ja’far tak pernah ada. Perlahan-lahan benih yang ditabur Ja’far pun memperlihatkan bentuknya. Gundukan di perut Sundari, kian hari kian membesar.
Malam-malam dalam kesendiriannya, Sundari menatap rembulan mengibas-ngibaskan kakinya di pasir kuwarsa. Putih-putih ombak menerjang pantai, putih-putih pasir kuwarsa, tak seputih cintanya pada lelaki ceking itu. Sepi. Tak ada Ja’far, tak ada igauan lelaki Aceh yang terus berbicara tentang harga diri, kemerdekaan pembagian ‘kue’ pembangunan antara daerah dan pusat. “Semua yang berbentuk penindasan harus dilawan,” katanya.
Sudari tak mengerti igauan itu, tetapi rasa cintanya yang tulus membuat gadis Jawa itu betah berlama-lama duduk di sisi Ja’far menikmati angin malam dan desir ombak di pinggir pantai. Cintanya pada Ja’far memasung Sundari dari godaan lelaki mana saja. Cinta pada Ja’far menutup pertanyaan di kepalanya tentang siapa lelaki itu. Sundari tak peduli siapa Ja’far. Bahkan ia tak peduli dengan peringatan ayah dan emak. Baginya Ja’far adalah lelaki jujur. Ya, Ja’far memang sebuah misteri yang mengantarkannya ke pemasungan.
***
Sipongang hewan menyambut datangnya malam mulai melantun di keremangan senja. Wajah kusam Sundari terus saja bertambah kusam. Di bernada rumah ia termangu-mangu menyaksikan purnama yang akan muncul seakan mengejeknya. Pohon belinjo di halaman rumah yang berdiri meninggi, lurus, seakan hantu yang menakut-nakutinya.
Sundari terkejut dan tersentak ketika ayah mencampakkan surat kabar seusai memakrikirkan sepeda motornya. Ayah baru pulang dari pekan. Wajahnya begitu kesal. Rambut awur-awutan.
Sundari segera mengambil surat kabar yang dicampakkan ayah. Wanita muda itu gemetar. Surat kabar terlepas dari tangan. Ja’far Tewas Dibantai Orang Tak Dikenal demikian juful berita di halaman satu surat kabar mingguan yang masuk ke desa mereka. Lelaki ceking itu memang salah seorang dari sasaran target, tertulis diteras berita.
Sipongang hewan bernyanyi riuh. Sundari bagai kijang yang merusak ladang petani dan terperangkap. Wajah kemilau wanita muda itu kuyu dalam pasungan cinta. Sementara ayah bertengkar dengan emak di ruang belakang rumah di dekat dapur.
“Firasatku benar, Sundari akan jadi janda kalau ia kawin dengan Ja’far. Tapi... tapi kau tak pernah mau menasehatinya. Jangan-jangan...”
“Tidak Yah, tidak!” Emak histeris.
Sesaat setelah itu Sundari menjerit-jerit. suasana senja riuh. Orang-orang pun berdatangan, termasuk kepala lingkungan. ayah mencoba menenangkan Sundari. Sementara ibu sesuggukan di bale-bale di belakang rumah dekat dapur. Matanya balut, shalat Maghrib pun mereka lupakan.
Ada juga rasa malu di hati Sundari diperhatikan banyak orang. Ia pun mencoba diam. Olweh ayah, tetangga-tetangga, termasuk kepala lingkungan, diminta kembali ke rumah masing-masing.
Perlahan-lahan, malam pun tiba. Rimba malam menggelapkan pandangan Sundari. Ia kembali menjerit-jerit. Punah semua hatarapannya. Lenyap sihisap hantu kegelapan. Kaki menendangh kanan kiri. Tangan memukul apa saja.
Emak hanya menangis ketika ayah memasung Sundari di dekat kandang kambingf.
“Ja’fatr itu orang pergerakan. Tapi kau tak mau peduli,” jelas ayah sembari memasukkan kaki Sundari ke dalam pasungan.
Sundari mentapat rembulan. Sudah ia serahkan semua pada Ja’far, lelaki baik dan sabar. Tak ada yang tersisa.
Kini, tak ada pasir kuwarsa yang berserak dihempas ombak. Tak ada kicay burung yang menyambut kehadiran mentari. Takada cahaya purnama yang menembus dedauan, menerangi wajah Sundari dan Ja’far ketika mereka duduk berdua di beranda rumah atau di tepi pantai. Tak ada. Sudari hanya sendiri.
Rembulan kini hanya ada di dalam baskom yang berisi air seni sundari. Di dalam baskom itu ada wajah Ja’far melambai-lambai.***

















Pelacur Itu
Cerpen: Hidayat Banjar

Siang merangkak menuju senja, awan tebal menggantung di angkasa, lelaki 40-an itu masih di jalan raya memacu sepeda motornya. Beberapa rilis sudah diantar ke kawan-kawan wartawan, masih ada empat lagi yang tersisa. Tugasnya terkadang memang harus berpacu dengan waktu dan cuaca yang nyaris tak kenal kompromi. Semula lelaki itu memang ingin kembali ke kantor tempatnya bekerja, karena takut kehujanan, tapi “ah... tanggung,” bisik hatinya.
Lelaki itu – setelah tak lagi jadi wartawan – kini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Pimpinan mempercayakan kepadanya menangani bidang pemberitaan perusahan tersebut, baik kegiatan sosial maupun kegiatan perusahaan itu beserta cabang-cabangnya yang terdapat di banyak tempat, terlebih soal advokasi yang dilakukan oleh sang pimpinan. Maklum, di samping pengusaha, pimpinannya adalah seorang aktivis, salah seorang tokoh pergerakan yang ada di kotanya.
Sebelumnya, lelaki itu sudah meng-SMS (pesan singkat via telepon seluler) ke kawan-kawan bahwa hari itu, ia akan mengantar rilis. Sampai di surat kabar Antah, lelaki itu memarkir sepeda motornya di jejeran tempat parkir, selanjutnya menghubungi rekan dimaksud. Di kota mereka yang besar itu, surat-surat kabar baru tumbuh bagai jamur di musim hujan. Tetapi, tetap saja tiga koran besar mendominasi pasar, selain surat kabar ibu kota.
Surat kabar Antah, merupakan salah satu penerbitan pers yang terbesar di kotanya. Di samping oplaghnya, iklannya pun sangat banyak. Tak jarang, surat kabar Antah terbit 40 halaman ke atas. Paling sedikit, surat kabar itu terbit 32 halaman.. Di samping surat kabar Antah, ada pula surat kaabar Was-was, dan Sibuk. Ketiga surat kabar inilah yang setiap harinya menguasai pasar.
“Pak R, saya sudah di parkir depan,” kata lelaki itu via telepon selular ketika rekannya sudah membuka panggilannya.
“Ya, sebentar saya turun,” jawab sang rekan.
Menanti sang rekan datang, lelaki itu memandang ke angkasa, awan tebal menggantung. “Hujan akan datang,” desisnya.
Dalam penantian itu, seorang perempuan muda berkisar 19-21 tahun menyapanya, “Pak, lihat-lihat,” perempuan muda itu menyodorkan jam tangan yang dibungkus demikian rupa. “Perempuan yang energik,” bisik hatinya. Ditatapnya lamat-lamat perempuan yang mengenakan pakaian seragam mencerminkan ia berasal dari perusahaan tertentu. Tingginya berkisar 160-an. Lumayan cantik meski lelah membungkus.
“Ndak... ndak,” jawab lelaki itu spontan.
“Bapak tak usah berpikir untuk membeli. Kita hanya ingin menyampaikan informasi saja.”
“Saya tak suka pakai jam tangan.”
“Jam tangan ini bukan mau dijual kok, Pak.”
“Lalu?”
“Bapak hanya kita minta untuk mendengarkan informasi mengenai jam tangan merek UXYZI ini,” perempuan itu tak menyerah. Tubuhnya semakin merapat dengan lelaki itu. Kalau saja lelaki itu tak menghindar, niscaya wajahnya akan bertabrakan dengan wajah perempuan tersebut. Sekilas tercium aroma parfumnya yang berbaur dengan bau keringat.
Awan tebal di langit pecah. Rintik hujan mulai turun. Pelataran parkir koran Antah mulai diramaikan orang-orang yang berteduh. Jalanan masih saja ramai dari orang-orang yang berpacu memburu waktu.
Sejurus, lewat mata sebelah kirinya, lelaki itu melihat rekan yang ditunggu datang, “sebentar ya,” katanya pada wanita muda itu sekadar basa-basi.
“Siapa?” tanya rekan yang dipanggilnya dengan nama R tersebut, setelah mereka berdekatan..
“Penjual jam tangan,” jawab lelaki itu.
“O ya,” sambung R sembari mengambil amplop berisi liris yang diberikan lelaki itu.
“Manis juga ya?” ungkap R sambil berlalu.
“Ah, bisa aja,” sergah lelaki itu sembari berjalan mencari tempat berteduh yang lain agar terhindar dari perempuan muda tersebut. Tapi, ada perasaan tak sampai hati mengusiknya karena si perempuan muda masih menunggu. “Aih... masih menunggu, tabah betul dia,” bisik hatinya kemudian melangkahkan kaki menuju ke tempat si perempuan muda berteduh. Orang-orang tidak begitu memperhatikan mereka. Kehidupan kota memang demikianlah adanya. Pemandangan lelaki dan perempuan bercaka-cakap, bukan sesuatu yang perlu menjadi perhatian.
“Ayo Pak, kita lanjutkan.”
“Ya, ya, terus...” Hujan makin deras, lelaki itu, wanita muda itu, dan orang-orang yang berteduh mencari tempat yang lebih ke dalam agar terhindar dari tempias.
Sebagaimana masyarakat kota lainnya, di kota itu pun orang-orang memang tak mau usil dengan urusan orang lain. Sehingga perbincangan antara dua orang lelaki dan wanita, tidak mengusik orang-orang lain pula.
“Ini Pak, jam ini harga jualnya satu juta lima ratus ribu rupiah. Harga promosi satu juta rupiah saja. Tapi, hari ini Bapak boleh mendapatkannya secara gratis berikut hadiah permainan ini untuk anak Bapak.”
“Bagaiman caranya? Lelaki heran sedikit takjub, “penipuan apa lagi,” tambahnya masih di dalam hati.
“Bapak cukup menjawab pertanyaan saya, negara manakah yang pertama kali memproduksi jam?
“Swis,” jawab lelaki itu spontan dan sekenanya saja.
“Berhasil, Bapak boleh membawa jam tangan, berikut hadiah ini secara cuma-cuma,” ujar perempuan muda tersebut sembari menyerahkan jam tangan yang terbungkus rapi berikut mainan anak-anak berbentuk kereta api. Lelaki itu terbengong-bengong saja manakala jam tangan dan mainan anak-anak tersebut mendarat di kedua tangannya, sementara tangan wanita muda yang putih mulus itu tersentuh pula oleh tangannya. Bahu lelaki itu, sedikit tersentuh dengan tonjolan yang ada di dada si wanita. Tersirap juga darahnya, “mungkin perempuan ini...” si lelaki tak berani meneruskan dugaannya yang negatif tentang perempuan muda itu.
“Hari ini, Bapak merupakan orang kelima yang beruntung,” lanjut sang perempuan muda. Lelaki itu masih juga bingung. Seiring dengan itu, perempuan muda melihatkan daftar orang-orang yang dikatakan beruntung. Kali ini dada sang perempuan menempel di siku si lelaki. Cepat-cepat ia menarik tangannya agar sikunya tak bersentuhan dengan dada si perempuan. Ada empat nama di dalam daftar itu.
“Apakah ada yang Bapak kenal?” tanyanya.
“Tidak!” jawab lelaki itu.
“Bapak boleh mebawa ini pulang setelah membaca ketentuan ini,” si perempuan muda menyerahkan daftar ketentuan yang salah satunya adalah membayar pajak 10 persen.
“Nah, kalau harga jual jam tangan ini satu juta lima ratus ribu rupiah, berarti pajaknya seratus lima puluh ribu rupiah,” sergah lelaki itu.
“Ya, Bapak memang cerdas,” jawab perempuan muda.
“Kalau bergitu, ambil saja untuk Anda!” Lelaki itu ketus.
“Lho, kok jadi sewot?”
“Ndak, saya tak sewot. Saya tidak butuh jam tangan.” Si perempuan makin mendekat. Hujan belum juga reda, malah makin menderas. Cuaca dingin mulai masuk ke tubuh lelaki itu, dan mungkin juga orang-orang yang ada di pelataran parkir.
Setelah diam beberapa jenak, “Bapak tinggal di mana?” tanya perempuan muda. Si lelaki malas menjawabnya, tapi ada perasaan tak ingin mengecewakan orang lain hinggap di hatinya.
“Di jalan Polan Gang Anu, nomor 11,” jawabnya singkat.
“Masih jauh dari tol.”
“Tak juga.”
“Habis ini, Bapak mau ke mana?”
“Kalau belum malam, baliklah ke tempat kerja. Tergantunglah. Mungkin pulang.”
“Boleh nompang nggak?”
“Tergantunglah.”
“Saya tinggal di jurusan kediaman Bapak, sebelum tol. Jadi Bapak ndak usah mutar.”
“Ya, bolehlah.”
Beberapa saat keduanya diam. Hujan mulai mereda. Si lelaki merasa ingin menghangatkan bada dengan minuman panas dan menwarkan kepada perempuan muda. Di samping kiri kantor surat kabar Antah itu berjejer warung-warung minuman dan makanan.
“Saya mau minum, ikut?” tanya lelaki itu.
“Boleh, kalau Bapak tak keberatan.”
Perlahan senja merangkak menuju malam. Pemilik-pemilik warung menghidupkan lampu, cahayanya tak mampu menerangi seluruh kegelapan yang dihadirkan malam. Warna di warung-warung itu jadi remang-remang.
“Kenapa tak tertarik dengan jam tangan,” tutur si wanita, setelah keduanya duduk bersebelahan di bangku panjang.
“Jam membuatku sangat terikat.”
“Jadi, Bapak tak pakai jam ngantor.”
‘Adalah, tetapi tak terikat sekali.”
“Enak juga ya.”
“Enak-enak orang kerjalah. Habis mau kerja apalagi.”
“Nggak dingin Pak.”
“Terasa juga.” Pemilik warung mengatarkan makanan yang mereka pesan, dua piring mi goreng dan dua gelas teh susu panas.
Usai makan mi dan minum, keduanya kembali menuju pelataran parkir kantor Antah. Si lelaki menghidupkan sepeda motor. Karena hujan masih menyisakan gerimis, si lelaki mengambil mantel hujan terbuat dari plastik tebal menyerupai terpal yang ada di bawah tempat duduk dan mengenakannya. Lalu keduanya pun terhisap keramaian jalan raya.
Mantel hujan sangat membantu si perempuan yang duduk di boncengan. Di samping tak terkena gerimis, tangannya pun dengan berani dilingkarkan ke pinggang si lelaki. Semula lelaki 40-an mau protes, dengan alasan akan terlihat orang ramai. Tapi alasan itu tak tepat karena tangan yang melingkar di pinggangnya tersebut, tak terlihat oleh siapa pun karena ditutupi mantel.
“Kok buru-buru pulang, Pak?” tanya si perempuan.
“Mau ke mana lagi?”
“Mutar-mutar dulu lah.”
“Ke mana?”
“Terserah Bapak.” Perlahan si wanita mulai merapatkan badannya, sehingga tonjolan dadanya begitu terasa di pungung lelaki itu. Perlahan pula tangan si wanita tidak lagi di pinggang, tetapi telah berada di paha. Ah... lelaki itu mulai tergoda.
“Gi mana Pak, kalau kita cari tempat yang lebih enak.” Terkesiap darah si lelaki mendengar tawaran itu. Spontan ia sadar bahwa perempuan yang ada di boncengannya bukan sales girl sebuah perusahan. Atau ia memang sales girl yang merengkap mencari uang lewat kehangatan tubuh.
Untuk membuktikan hipotesanya, lelaki itu memacu sepeda motornya mencari penginapan jam-jaman. Sebagai mantan wartawan, tentu ia banyak tahu tempat yang begituan.
Sampai di tempat yang dituju, si lelaki memesan kamar, makanan, berikut minumnya. Di kamar, si lelaki membaringkan badan, si perempuan juga. Si lelaki menunggu reaksi si wanita muda. Tak ada tawar-menawar soal harga yang harus dibayar si lelaki bila si perempuan memberikan kepuasan padanya.
Sejurus, si perempuan pun menjalankan aksinya. Hipotesa si lelaki mulai memperlihatkan kebenaran. Tapi, sebelum aksi lanjutan, pintu kamar diketuk room boy, mengantarkan makanan yang dipesan, berikut handuk dan sabun.
Usai itu, si perempuan mulai agresif, si lelaki pun membalas. Di samping ingin memperkuat kebenaran dari hipotesa, ia pun mulai tersangsang juga. Pergulatan demi pergulatan mengantarkan mereka dalam kondisi seperti bayi yang baru lahir. Bulat. Seluruh pakaian berserak ke sana sini. Tapi... ketika titik kulminasi ingin dilalui, tiba-tiba saja, pesatwa si lelaki tak lagi siap untuk dibawa tempur, melemah bagai daun putri malu tersentuh sesuatu. Selanjutnya mengecil.
“Kenapa Pak?” Si perempuan bertanya. Ada kesal di hatinya, kenapa ia perempuan muda tak mampu memuaskan lelaki 40-an. Sejenak lelaki itu diam, Matanya menerawang. Rintik gerimis masih memerdui telinga. Rasa dingin yang menelusup dari pentelasi kamar sesekali menerpa tubuh telanjang mereka.
“Aku ingat istri dan anak-anak,” jawab lelaki itu.
“Ha!” perempuan itu terjengah dan memandangi tubuh telanjangnya yang dirawat begitu rupa tapi tak mampu memuaskan lelaki 40-an. Perempuan muda itu sangat kecewa, siasat panjangnya tak berhasil membawa lelaki itu ke titik kulminasi.
Di luar gemiris masih bernyanyi dengan iramanya yang sendu. ***














Penjegalan
Cerpen: Hidayat Banjar

Konvensi Partai Pohon segera berlangsung. Semula direncanakan di Kantor DPD Provinsi, belakangan dipindahkan ke Hotel Polo. Ada dua pasang calon Bupati Kabupaten Gunung yang akan memasuki arena konvensi: Valent berpasangan dengan Paulus, dan Layarsenu dengan Sujarseba. Ketua dan Sekretaris Kecamatan sudah bersiap-siap dengan pilihannya, demikian pula orang-orang yang berhak memilih. Ruang di hotel berbintang lima itu ramai. Desas-desus serta bisik-bisik pun mewarnai arena.
Umumnya peserta konvensi menjagokan pasangan Valent-Paulus. Sebab mereka meyakini, jika Valent-Paulus lolos konvensi, niscaya akan terpilih sebagai Bupati Kabupaten Gunung. Ini tentu saja menggembirakan karena sesuai dengan target Partai Pohon: memenangkan pilkada setidaknya 60 persen untuk seluruh negeri Antah Barantah tersebut.
Lobi-lobi berjalan terus, para orang-orang yang berhak memilih kasak-kasuk. Aroma politik uang menguap ke seluruh ruang tempat konvensi berlangsung. “Kalau uang – dari siapa pun –akan aku terima, tetapi pilihanku tetap pada pasangan Valent-Paulus. Ia bagian dari masa depan partai ini,” terang Purba kepada kawan-kawan. Semua sepakat.
Debat tentang mekanisme konvensi tak juga usai. Pimpinan sidang memutuskan sidang diskor 15 menit, dalam upaya menenangkan situasi. Setelah itu Paulus muncul di podium dan mengucapkan: “demi kebaikan partai hari ini ke depan, saya mengundurkan diri dari pencalonan balon Wakil Bupati Kabupaten Gunung.” Sementara Valent sendiri tak diundang dalam konvensi tersebut.
Esoknya, hasil konvensi yang sebenarnya tidak dikonvensikan itu, diberitakan di surat surat kabar bahwa yang lolos dalam konvensi Partai Pohon untuk dicalonkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Gunug adalah pasangan Layarsenu-Sujarseba. Tentu saja Valent sangat kecewa dengan berita-berita tersebut. “Bedebah, ternyata Paulus yang rela merendah-rendahkan dirinya agar dapat menggantikan posisi Jenda, adalah pengkhianat besar,” ungkapnya.
***

Lonceng di gardu penjagaan berdentang dua kali, pertanda dinihari telah memeluk. Valent menatap wajah Paulus lamat-lamat, kemudian istri serta anak gadis pimpinan Partai Pohon Kabupaten Gunung itu. Istri Paulus terlihat sudah mulai terkantuk-kantuk, sedangkan anak gadisnya, malah sudah tertidur duduk menopangkan kepalanya dengan tangan ke meja yang ada di ruang kerja Valent. Ada beragam rasa menggelayuti pikiran dokter yang menggantungkan stetoskop dan menekuni dunia pendidikan tersebut, melihat kondisi demikian: iba, aneh, bahkan muak.
Melihat Paulus, istri dan anak gadisnya dalam kondisi tersebut, iba hati sang dokter. Mereka habiskan malam-malam di ruang kerja sang dokter hanya ingin menunggu satu kalimat: “oke Valent bersedia mengganti calon wakil dari Jendangena ke Paulus”. Perasaan aneh juga menggelayuti benak Valent, pimpinan partai – yang merupakan posisi terhormat – rela merendah-rendahkan diri kepadanya yang hanya seorang guru. Padahal jabatan Pimpinan Partai Pohon itu diperolehnya dengan keharusan meninggalkan jabatannya di kantor Bupati Kabupaten Gunung.
Perasaan muak, juga muncul di benak lelaki berkacamata itu. Mengapa tidak, sedari malam hingga dinihari ini merupakan kunjungan Paulus yang sudah ke beberapa kali ke kantornya untuk meminta agar sang dokter berkenan mengganti calon pasangannya sebagai Wakil Bupati Kabupaten Gunung, dari Jendangena ke Paulus. Padahal, dari kantor Paulus di wilayah gunung ke kantor Valent yang berada di ibukota provinsi itu terbilang jauh juga. Untuk mencapaai kantor Valent, sedikitnya Paulus harus menempuh 80 km dan melalui jalan berliku serta mendaki dan menurun yang terkadang di kiri ataupun kanan jalan terdapat jurang yang dalam.
Setelah ngomong ngalor-ngidul ke sana ke mari, akhirnya Valent masih pada pendirian: “saya pikirkan dulu yang Bang. Sebab, Jenda itu merupakan orang kepercayaan Aum yang juga mencalonkan diri dari Partai Pohon untuk menduduki kursi Walikota ota Rambutan,” jelas Valent.
“Aku rasa Pak Aum tak keberatan. Nanti aku bicarakan padanya,” jawab Paulus.
“Okelah Bang, pokoknya, kita tak boleh mengambil keputusan tergesa-gesa.
“Iya, tetapi kalau KPU (Komisi Pemilihan Umum) sudah menutup pendaftaran, mana mungkin calon wakilnya Pak Valent digantikan ke saya?”
“Masih ada waktu kok Bang, sabar.” Akhirnya Paulus, istri dan anak gadisnya pulang dengan kecewa.
Hari berikutnya, Paulus datang dengan membawa pemuka agama yang disegani oleh Valent.
“Nah, sekarang saya mau minta ketegasan dari Bang Paulus di hadapan Bapak Pendeta, apakah Abang mau berjanji jika kita berpasangan, Abang tidak akan mundur?”
“Ya, saya berjanji, saya – dengan taruhan apa pun – tidak akan mundur dari pencalonan diri saya sebagai Wakil Bupati Kabupaten Gunung.” Tapi hati Valent tetap saja ragu dengan ungkapan Paulus tersebut.
Esoknya, Paulus datang lagi. Kali ini membawa Ibu Valent, orang yang melahirkan lelaki dengan tinggi berkisar 163 cm itu. Akhirnya, pimpinan bimbingan studi dan belajar itu menyerah, ia menyepakati akan mengganti calon wakilnya untuk bertarung pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Gunung tersebut.
***
Penjaringan bakal calon (balon) bupati Kabupaten Gunung itu telah dibuka oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) setempat. Waktu pendaftaran hanya dua minggu, kemudian verifikasi, selanjutnya balon ditetapkan menjadi calon peserta pemilihan kepala daerah.
Valent memang bukan orang partai, tetapi – setelah reformasi bergulir di negeri Antah Barantah – calon independen boleh mencalonkan diri ikut pilkada. Para balon independen maupun yang berasal dari orang partai untuk ikut pilkada, pencalonannya harus dari partai atau gabungan (koalisi) partai yang memiliki sedikitnya 15 persen suara pemilih. Artinya, posisi partai tetaplah sebagai perahu (kapal) yang akan mengantarkan para kandidat untuk memegang jabatan bupati/walikota, gubernur hingga presiden.
Semula Valent berpasangan dengan Jendangena, bendahara Paratai Pohon di daerah Kota Rambutan. Ini mengingat – di samping Jenda seorang insinyur teknik sipil – juga adalah pimpinan cabang dari institusi pendidikan yang dikelola Valent. Kemudian, Jenda juga merupakan orang kepercayaan Tuan Aum, Pimpinan Wilayah Partai Pohon yang juga mencalonkan diri sebagai Walikota Kota Rambutan.
Sebagai Pimimpinan Wilayah Partai Pohon tentu Tuan Aum punya kekuatan untuk menetapkan calon Walikota Rambutan, meskipun mekanisme penetapan balon menjadi calon di partai itu dilakukan lewat konvensi. Sebab, meskipun setelah reformasi bergulir dai negeri Antah Barantah – pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) – boleh diikuti calon independen, maksudnya tidak orang partai, tetapi kekuatan tetap berada di tangan partai. Justru itulah, Valent memilih Jenda sebagai wakil. Valent berharap, dengan dipilihnya Jenda sebagai balon Wakil Bupati Kabupaten Gunung, dalam Konvensi Partai Pohon, ia akan dapat dukungan dari pimpinan-pimpinan kecamatan. Andai dapat lolos dari konvensi, diyakini – tanpa kampanye pun – Valent akan dipilih rakyat Kabupaten Gunung itu. Sebab selama ini ia memang diidolakan rakyat karena gerakan-gerakan pelestarian lingkungan yang dilakukannya di kabupaten tersebut.
Bahkan karena gerakannya pula, Valent pernah ditodong dengan pistol di depan Kantor Bupati Kabupaten Gunung oleh Sudarto, salah seorang pengusaha kayu. Uniknya, ketika kasus penodongan ini sampai ke pengadilan, PN Kabupaten Gunung memonis Sudarto, bebas demi hukum karena tak terbukti melakukan penodongan. Sementara, Valent pun bebas murni pula karena tak berbukti melakukan pencemaran nama baik.
Para pengamat dan praktisi hukum di Provinsi Bukit Barisan tersebut kepada media massa mengemukakan bahwa putusan itu merupakan vonis yang aneh dari dagelan peradilan. Mengapa tidak, kata mereka, kalau Sudarto tidak terbukti melakukan penodongan, maka harusnya Valent yang divonis telah melakukan pencemaran nama baik. Begitu pula sebaliknya, jika Valent tak terbukti mencemarkan nama baik, maka Sudartolah yang harus divonis karena telah melakukan penodongan dengan pistol.
***
Paulus mendesak terus. Valent pun pernah bicara kepada Jenda, bahwa pencalonan dirinya sebagai balon Wakil Bupati Gunung tidak bersifat defenitif. Maka ketika utusan Valent datang menemui Jenda di Kota Rambutan, tempat lelaki ganteng itu bermukim – meski hatinya berat – ia bersedia posisinya digantikan Paulus. “Demi kebaikan partai dan Bang Valent, aku siap saja,” tutur Jenda kepada utusan Valent.
Tak lama setelah itu, surat-surat kabar yang terbit di Kota Bung memuat temu pers yang dilakukan Panitia Pilkada Partai Pohon Provinsi Bukit Barisan. Disebutkan, panitia telah mengundang Ketua dan Sekretaris Panitia Pilkada Partai Pohon Kabupaten Gunung untuk membicarakan mekanisme pilkada dari Partai Pohon. Keterangan pers itu disampaikan Amsem Sekretaris Partai Pohon Tk II yang juga Sekretaris Panitia Pilkada Partai Pohon Kabupaten Gunung. mengemukakan kepada wartawan kemarin di Kota Bung.
Pada pertemuan itu, kata Amsem lagi, telah disepakati bahwa penjaringan bakal calon (balon) Bupati Kabupaten Gunung disesuaikan dengan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Pohon No 1/2005. Dalam hal ini, Partai Pohon telah melakukan penjaringan balon yang akan diusung dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Gunung mendatang.
Katanya lebih lanjut, sesuai dengan hasil yang diterima Panitia Pilkada Kabupaten Gunung, ada dua pasang calon yang telah mendaftar ke pantia. Pertama Valent (sebagai bupati) berpasangan dengan Paulus (wakil bupati). Kedua Layarsenu (sebagai bupati) berpasangan dengan Surjaseba (sebagai wakil bupati).
“Kedua pasang balon tersebut telah dilaporkan dan diteruskan kepada DPD Tk I Bukit Barisan. Untuk selanjutnya pasangan calon akan ditetapkan oleh DPD Tk I Bukit Barisan bersama Panitia Pilkada Tk I Bukit Barisan dengan mekanisme yang ada di Partai Pohon. Hasil penetapan tersebut selanjutnya didaftarkan ke KPUD Kabupaten Gunung,” jelas Amsem.
Setelah pengumuman itu, ramailah orang mendatangi Paulus. Bahkan bupati yang lama, Peranjin-anjin – yang juga ikut mencalonkan diri lagi untuk dipilih sebagai bupati berikutnya – memberinya uang Rp 150 juta. “Ini merupakan ucapan terimakasih atas keberhasilan Anda mempengaruhi Valent agar mau mengganti pasangannya. Proses penjegalan pertama sudah berhasil. Sebab, kalau dia kelak jadi Bupati Kabupaten Gunung ini, aku akan masuk penjara,” ungkap Peranjin-anjin polos sembari menepuk-nepuk bahu Paulus di sebuah ruang lobi hotel berbintang lima.
Begitu juga Layarsenu, Aum dan orang-orang partai lainnya, yang menganggap Valent saingan berat, memberikan macam-macam pada Paulus.
Agar tak dianggap mengkhianati pemilihnya, Valent mengirim hak jawab ke surat-surat kabar terbitan Kota Bung. Dijelaskannya: Pertama, ketika berlangsung konvensi yang semula di Kantor DPD Tk I Partai Pohon Jalan KH Wahid Hasyim Kota Bung dan kemudian dipindahkan ke Hotel Polo, saya tidak diundang.
Kedua, semula saya mendaftar (berpasangan) dengan Ir Jendangena (Bendahara Partai Pohon Kota Rambutan) sebagai balon (bakal calon) Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Gunung. Atas saran Pengurus Partai Pohon Tk I Bukit Barisan, saya dianjurkan mengganti pasangan dengan Drs Paulus Sitepu (Ketua Pohon Kabupaten Gunung).
Yang saya bingung, saya – sebagai balon bupati – tidak pernah mengundurkan diri dari penjaringan balon bupati Partai Pohon, tetapi dalam berita saya disebut ‘mengundurkan diri’. Mestinya, kalau Drs Paulus Sitepu mengundurkan diri, tentunya tidak membawa-bawa nama saya, sehingga merugikan harkat dan martabat saya. Kalau Paulus mengundurkan diri – sebagai balon Wakil Bupati Kabupaten Gunung – balon bupatinya tentu tidak dibawa-bawa. Sebab, yang mendaftarkan balon Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Gunung adalah saya sebagai balon Bupati Kabuaten Gunung , bukan wakilnya.
Ketiga, apa pun keputusan Partai Pohon akan saya terima dengan legowo, tetapi janganlah dengan merusak harkat dan martabat saya. Seperti petinju yang akan naik ring, belum bertanding, saya sudah dikatakan kalah dengan perkataan ‘mengundurkan diri’. Padahal, saya diundang saja pun tidak.
Kekalahan tersebut pun saya ketahui dari pemberitaan di surat-surat kabar: “Dalam kesempatan itu, pasangan Robert-Paulus siap mundur dari kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Gunung. Putusan tersebut langsung dibacakan Paulus selaku kandidat yang mengundurkan diri,” demikian pemberitan surat-surat kabar.
Pernyataan kekalahan – dengan sebutan ‘mengundurkan diri’ – ini merupakan upaya merusak harkat dan martabat, karena saya tidak pernah mengundurkan diri, diundang saja pun tidak.
Beraninya saya mendaftarkan diri sebagai balon Bupati Kabupaten Gunung tak lain karena desakan dari masyarakat (mewakili 13 kecamatan lebih kurang 5000 orang) yang datang ke kantor saya pada tahun lalu. Jadi, kalau saya ‘mengundurkan diri’, itu berarti mengkhianati mereka.
***
Pada suatu tempat dan suatu waktu setelah Valent dijegal agar tak dapat ikut dalam pilkada, petinggi-petinggi Kabupaten Gunung, orang-orang partai, termasuk Paulus berpesta pora menikmati kemenangan itu. Sementara rakyat yang umumnya petani makin terseok-seok memapah kehidupan karena harga jual hasil pertanian kian merosot, sementara harga pupuk dan bahan untuk mengolah lahan kian mahal saja. ***








Mak, Aku Hanya Ingin Bersekolah
Cerpen: Hidayat Banjar

Mak, maafkan anakmu ini yang pergi diam-diam. Aku tak mau terkurung di desa sesunyi ini Mak. Jujur saja, aku cemburu dengan kehidupan kawan-kawan yang dapat bersekolah dengan tenang, berkumpul dengan ayah, ibu, kakak serta adik.
Maafkan, jika surat ini bernada cengeng. Tapi Mak, siapakah yang dapat menahan tangis, ketika tersentak dari pingsan yang panjang, mendapatkan keluarga berserak entah ke mana. Aku anak lelaki Aceh yang ketika peristiwa menakutkan itu terjadi baru berusia 14 tahun. Mestinya di usia 15 tahun ini aku sudah tamat dari SMP. Sebab ketika tsunami memisahkan keluarga kita, aku sudah duduk di kelas dua SMP. Mak juga tahu itu.
Mak, izinkanlah sekali ini saja, aku – anak lelaki Aceh yang didik keras oleh ayah – untuk berharu-biru dengan Emak. Minggu yang cerah itu – seketika – jadi menakutkan sekali, merampas segalanya dariku. Merampas masa kanakku tentang Lam Tengo* yang malam-malam kita isi dengan pengajian atau mendengar petuah-petuah lewat didong atau dongeng atau lainnya.
Mak mungkin tak kan pernah lupa, usai makam malam dan mengaji, kita sekeluarga berkumpul di ruang depan rumah. Ayah memberikan wejangan lewat dongeng-dongengnya. Sesekali debur ombak dari pantai Lam Awil memerdui telinga. Ditingkahi suara hewan malam, irama ombak bagai rangkaian musik yang ritmis. Berulang-ulang. Merdu dan syahdu. Semua itu kini tinggal kenangan.
Maafkan aku, kalau Mak kutinggal dengan adik di sebuah dataran luas yang hanya ada tiga gubuk dikelilingi ilalang kuning. Mak, aku mau sekolah. Akan kurebut kembali masa depan yang nyaris hilang. Biarlah Lam Tengo jadi masa lalu, di mana kicau kehidupan riuh rendah, hingga tiba hari menakutkan itu. Seketika, semua jadi puing.
Pasir kuarsa yang kemilau diterpa mentari. Nyanyian bakau, nyiur, cemara dan kicau burung-burung pantai serta lainnya, sirna. Kecamatan Pekan Bada rata ditelan tsunami. Tak ada lagi lambaian Lam Tengo yang kerap memanggil-manggil keluarga kita yang berada di negeri rantau. Pasir kuarsa yang kemilau diterpa mentari, nyanyian pelepah rumbia, nyiur, gesekan daun bakau, cemara, dan kicau burung-burung pantai serta lainnya, sirna.
Mak, usai petaka itu, kususri tenda dan rumah-rumah pengungsian, tiap jengkal Banda adalah air mata, tak ada jejak Ayah. Dari pagi ke senja, dan pagi ke senja berikutnya kususuri pantai, yang terlihat di sana adalah jejak tsunami. Akhirnya, dalam keputusasaanku, seorang ibu muda menepuk-nepuk bahuku. Ternyata, dia adalah Emak dan calon adikku.
Dalam pencarian yang melelahkan itu, aku nyaris mati lemas karena tak makan dan minum. Untung seseorang menyelamatkanku, membawaku ke sebuah tenda pengungsian. Di tenda inilah aku bertemu Emak dan calon adikku.
Setelah kesehatanku pulih, tiga hari kemudian, aku kembali mencari Ayah. Tapi senja hanya mengantarkanku pada kegelapan. Jejak Ayah tak juga kutemukan.
Ketika itu, sejauh-jauh mata memadang adalah puing, terutama daerah-daerah pesisir pantai. Satu dua bangunan memang masih berdiri dalam posisi oleng atau retak, sisanya adalah masjid. Kecamatan Pekan Bada, Lhok Nga, Lepung, Meuraxa dan lainnya tak terlihat lagi. Semua digenangi air laut. Saat berada di Ulee Lheu terlihat mercusuar yang tinggal menara tanpa lampu penerangan. Di sini dulu aku sering diajak penjaga lampu mercusuar yang baik hati untuk memandang kehidupan laut yang seperti tanpa tepi.
Di seberangnya adalah Lam Tengo yang tak jauh dari tempat wisata Lam Awil. Dulu, kebiruan gunung Mate’i tempat aku dan sebagian warga diselamatkan atau menyelamat diri dari amukan tsunami merupakan daerah wisata yang ramai dikunjungi. Ya, ketika itu betapa indahnya desa kita, Mak tahu itu kan?
Kemudian, nasib mengantarkan kita berada di tengah dataran yang ditumbuhi ilalang kuning. Di dataran yang luas, hanya tiga buah gubuk sederhana, salah satunya tempat kita berteduh, terpaksa aku tinggalkan. Aku bukan tak sayang dengan Mak dan adik yang masih berusii 1,5 tahun. Bukan! Aku hanya ingin bersekolah. Di sini, tak kan mungkin kurengkuh masa depan.
Untuk menjangkau tempat kita saja, orang-orang harus melalui jalan alternatif di pinggir sungai Krueng Cut, Aceh Besar. Dengan kondisi jalan berlumpur dan berbatu. Makanan pun, harus menunggu dari kebaikan hati orang-orang yang mengantar atau kita jemput dengan susah payah. Entah apa yang Emak tunggu di sini, aku tak tahu.
Tiga gubuk ini pun baru berdiri tiga bulan yang lalu. Mak dan beberapa orangtua membangunnya dengan kayu dan papan bekas yang diboyong tsunami.
Bila siang, udara panasnya begitu terasa. Debu berterbangan dan selebihnya senyap. Tidak ada anak-anak yang bermain dan kesibukan masyarakat. Gersang. Aku kesepian, dan tanpa harapan Mak. Sekolah, jangan tanya, itu hanya impian, bila aku bertahan di sini. Di Dusun Musafir Alue Naga, Aceh Besar ini setelah tsunami menghantam, yang tersisa adalah ilalang.
Mak pernah bilang, sebahagian besar warga Dusun Musafir memang masih bertahan di pengungsian. Mereka mengungsi di bantaran sungai Alue Naga. Di sana pihak Palang Mereah Internasional (IFRC) mulai membangun rumah sementara untuk para pengungsi.
Aku selalu bertanya dalam hati, apa sebenarnya yang membuat Mak dan oranguta lainnya mau bertahan di tiga gubuk ini, memilih kembali ke tanah yang sudah gersang ini? Padahal di sini tidak ada listrik dan air bersih seperti di pengungsian. Bahkan kita, para pemilik gubuk harus pergi sejauh 1,5 km untuk mendapatkan air bersih. Sementara untuk kebutuhan mandi dan mencuci, kita terpaksa mengambil dari sumur bor, warisan tsunami yang airnya sudah sedikit payau.
Menurut Kek Saini, tetangga kita, dirinya merasa lebih nyaman di sini ketimbang di pengungsian dan lebih dekat dengan sumber mata pencariannya. Kek Saini yang nelayan, memang hidup dari melaut. Tapi kita? Apa yang kita harapkan bertahan di Dusun Musafir ini? Memang, tak jarang, hasil tangkapan Kek Saini – berupa ikan, udang dan lainnya – diberikannya kepada kita, tapi Mak, aku butuh sekolah..
Sedangkan Mak, bila kutanya, hanya mengatakan: sudah sangat bosan berlama-lama di pengungsian. “Apalagi Mak punya seorang bayi kecil, berumur 1,5 tahun,” itu alasan yang tak memperhitungkan masa depanku dan masa depan adik.
“Susah kalau di pengugsian itu, gak bisa leluasa,” kata Mak berulang-ulang padaku. “Daripada hanya menunggu pembangunan rumah oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Mak lebih suka langsung ke desa ini dan membangun gubuk sendiri”.
Kondisi Kek Saini, hampir sama dengan Kek Abdullah yang usianya 60 tahun. Lelaki tua tersebut kembali ke desa ini karena mulai tidak betah di pengungsian. Dia membangun sebuah gubuk ukuran 3 X 3 meter. Dia tinggal sendirian, anak dan istrinya ditelan tsunami. Malam hari gubuk milik Kek Abdullah terang dengan lampu bertenaga matahari. Meskipun sendiri dia tetap bahagia. “Bagaimanapun ini tanah saya, dan saya memang harus kembali,” katanya kepada orang-orang, juga kepadaku.
Dusun Musafir ini memang tempat yang didatangi tsunami pertama kali dari arah Alue Naga, tetapi hingga sekarang tidak ada pembangunan, Mak pun tahu itu. Janji dari lembaga-lembaga internasional untuk membangun rumah di lokasi ini memang belum terealisasi hingga saat ini. Salah satu sebab lambatnya pembangunan di Dusun Musafir adalah jalan putus yang menghubungkan ke desa ini belum diperbaiki, sehingga agak sulit memasok bahan material bangunan.
Kata Kek Abdulah: “Kalau mau dibangun, ya jalannya diperbaiki, biar warga semua kembali ke kampung ini”.
Kapankah pembangunan jalan itu terselenggara, kapan pula sekolah diadakan? Aku sudah tak sabar Mak. Maka, maafkan jika Mak dengan terpaksa kutinggalkan. Aku mau sekolah Mak, itu saja. Jika aku sudah mampu, Mak dan adik akan kujemput. Selamat tinggal Mak. Salam dari Anakmu: Juned.
***
Gemetar tangan Nurjannah membaca surat dari anaknya yang di usia kanaknya tersebut, telah mampu menyusun kata-kata begitu bagus, bak orang dewasa saja layakanya. Ia meraung-raung sekuat-kuatnya, tetapi siapa yang mendengar? Dua tetangganya: Kek Abdullah dan Kek Saini sedang menaklukkan gelombang mencari nafkah. Pagi menjelang siang terik itu, demikian menyiksa Nurjannah. ***


Bada Aceh
Akhir Juli 2006

Pedagang Obat Kaki Lima
Cerpen: Hidayat Banjar

Ia adalah lelaki pejalan. Jiwa avonturir ini ia warisi dari orangtua lelakinya. Sejak kecil ia telah mengenal kehidupan kaki lima yang garang dan kejam. Beragam sifat dan bentuk, demikian pula pola pikir orang kaki lima, ia kenal.
Pengetahuannya yang hanya sampai kelas 3 SD (Sekolah Dasar) itu dijadikan modal hidup. Sekolahnya terhenti tidak dikarenakan ketidakmampuan orangtua, bukan pula dikarenakan otaknya tidak mampu menangkap pelajaran yang diberikan guru padanya. Tetapi ketidakbetahan selalu merongrong jiwanya.
Kedua orangtua dan keluarganya menetap di Jakarta, tetapi dirinya sebentar telah ada di Bandung, dan sebetar kemudian telah sampai di Surabaya. Bepergian seperti ini adalah hal yang mengasyikkan bagi dirinya.
Ia tahu bahwa orangtua lelakinya ketika masih muda juga seperti dirinya, suka merantau ke mana-mana. Ia pun mewarisi jiwa petualangan itu.
Sebenarnya, tak pernah orangtuanya memberi uang untuk pergi-pergi demikian. Karena itu pulalah, hal tersebut menjadi kebanggannya: dapat bepergian dengan tidak dibekali uang dari orangtua, tapi ia usahakan sendiri.
Lelaki itu pernah menjadi penjual kacang goreng, telur asin, es ganepo, kapur barus, sapu tangan dan lain sebagainya, yang kesemuanya digelar di kaki lima atau dijajakan.
Demikianlah masa lalunya. Kini, ketika hujan belum reda, gelisahnya bertambah-tambah. Coba bayangkan, telah tiga hari berturut-turut ia dihantam hujan. Sementara ia tidak punya simpanan uang sepeser pun. Istri dan empat orang anaknya, itulah yang digelisahkan.
Dulu, waktu lelaki itu masih lajang, lapar baginya adalah hal yang biasa. Pakaian bau, tidur tak menentu, lumrah ia jalani. Tapi kini, istri dan anak-anaknya. Akh... ia tak tega melihat mereka menahan lapar, melihat mereka bertubuh kurus, bermata cekung, karena kurang gizi. Tidak! Lelaki itu tak tega, ia sangat cinta pada istri dan anak-anaknya.
***
“Zulni, sebagai lelaki kau pantang menyerah dengan keadaan. Kau harus dapat mengimbangi keadaan jika kau tak ingin terserap dengannya. Bila kau ketiadaan uang, jangan coba mengutang. Sebab, utang adalah sebuah ikatan. Kalau kau telah terikat, apalah arti kelelakianmu,” demikian nasihat bapaknya ketika ia beranjak dewasa. Nasihat itu sampai sekarang masih ia ingat dan tetap lekat dalam kalbunya. Hingga susah bagaimanapun, ia tidak pernah mengutang dengan tetangga. Begitu juga sang istri, paham akan prinsip hidupnya tersebut.
Ia pandangi wajah-wajah manusia yang berteduh di emperan bioskop itu. Sebelum hujan turun tadi, orang-orang inilah yang diharapkannya membeli obat dagangannya. Namun apa daya, begitu ia cerita ke sana ke mari, baru ia mengeluarkan kata-kata sugesti untuk memikat penonton agar tetap bertahan dan akhirnya membeli obatnya, begitu pula hujan turun rintik-rintik. Penonton pun bubar satu persatu.
Ia coba tetap bertahan di hujan rintik. Tapi kiranya, hujan memperlihatkan kegarangannya. Bagai air ditumpahkan dari langit, hujan menyerbu. Dagangannya basah, dirinya basah. Para penonton bubar dan berteduh di emperan bioskop. Tidak ada lagi harapannya mendapat uang.
Waktu matanya tertumbuk pada seorang lelaki necis, hatinya bergetar. Wajah itu begitu bersih, dengan kulit yang putih kemerah-merahan menampakan lelaki necis itu adalah orang gedongan, setidaknya strata sosialnya ada di kelas menengah, walupun hanya memakai celana pendek dan baju kaos. Ia lihat kulitnya sendiri, aih begitu dekil. Ya, kulitnya terlalu sering kena sinar matahri dan boleh dikatakan setiap hari dijemur dan dipanggang matahari, bagaimana tidak dekil dan hitam.
Banyak yang ia sesalkan saat seperti ini. Ia menyesalkan kenapa dulu tidak bersungguh-sungguh sekolah. Ia hanya menurutkan hasrat petualang yang berkobar-kobar. Dalam benaknya hanya ada kata: pergi... pergi... pergi melihat kehidupan, melihat kota, melihat desa yang belum pernah dilihat. Ia pun sesekali menyesali kenapa orangtuanya membebaskan saja keinginannya itu. Ia juga menyesalkan kenapa ia orang pribumi sejati digencet kehidupan.
Dipandanginya wajah lelaki necis itu lamat-lamat, tidak ada garis kesusahan tergambar di situ. Padahal lelaki necis itu warga keturunan. Dipandanginya wajah-wajah yang lain, “adakah mereka-mereka itu merasakan gelisahku,” bisiknya dalam hati. Dalam otaknya saat ini, bagaimana memperoleh uang... uang, ya, uang, itulah gelisahnya. Sedangkan jalan uang seolah tertutup baginya.
Hari telah menunjukkan pukul 17.00, sebentar lagi film akan diputar, bagitu jadwalnya. Ia jungkir balik memikirkan bagaimana mendapatkan uang. Sebentar lagi matahari beranjak dari pandangan mata, berarti gelap akan menyelubungi.
Hujan memang telah agak mereda, tetapi belum berhenti betul. Jika hari ini ia pulang tidak membawa uang, berarti istri dan anak-anak, juga dirinya tidak makan. Sedang siang tadi mungkin istri dan anak-anaknya menahan lapar sebab persedian beras telah habis sejak ia berangkat tadi pagi. Sebelum berangkat, mereka sarapan bubur bersama-sama, itulah beras terakhir.
“Bang, mudah-mudahan Abang nanti ada rezeki,” demikian kata istrinya yang cukup setia itu sat melepasnya pergi mencari nafkah. Kata-kata itu begitu syahdu dan lembut, namun menghunjam ulu hatinya.
Seketika matanya terarah pada dua orang perempuan yang baru turun dari becak. Mungkin ingin menonton film. Ia padangi kedua perempuan itu lamat-lamat, seperti ia memandangi lelaki necis tadi. Matanya juga memandang perhiasan yang dipakai kedua perempuan. “Ah..,” desahnya di dalam hati.
Begitu perempuan itu turun dari becak, sesuatu terjatuh dari saku salah seorang perempuan. Mata lelaki yang tadinya tertumpu pada perhiasan, kini beralih pada benda yang jatuh dari saku celana salah seorang perempuan. Belum begitu jauh kedua perempuan itu melangkah, dengan sigap lelaki itu meraih benda yang terjatuh tadi. Tapi... sial baginya, baru saja ia pegang benda itu, tiba-tiba terdengar jeritan dari mulut kedua permepuan: “Copet!”
Serta merta beberapa pasang mata tertuju padanya. Sebegitu cepat pula seseorang mengalungkan gari di tangannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya terbodoh-bodoh memandang lelaki yang mengalungkan gari itu padanya. Dan, ia pun tak sanggup memandangi wajah teman-temannya yang seakan memberi cemooh padanya.
“Oh istri dan anakku,” hanya itu keluhnya. Padahal selama ini ia tidak pernah memikirkan hal yang berakitan dengan tindak kriminal. ***



























Provokator
Cerpen: Hidayat Banjar

“Apa dambaan seorang tahanan, kawan? Bebas meghirup udara di alam luas? Ah...itu kemewahan, impian yang muluk, impian orang-orang yang tak menghayati makna proses, makna perjuangan. Bagiku kawan! Di luar dan di dalam sama saja. Sebab, jiwa manusia merdeka tak dapat dipenjara oleh apa dan siapa pun. Penjara bagiku adalah universitas yang paling baik.” lelaki 40-an itu berkata sendiri di dalam hatinya.
Malam bartambah malam, lonceng di gardu penjagaan berdentang satu kali, pertanda dinihari telah memeluk. Dokter Valent menatap wajah-wajah tulus rekan seperjuangannya, beberapa orang desa, lelaki-lelaki sederhana, petani-petani jeruk, yang tak pernah bermimpi muluk-muluk, harus meringkuk di sel tahanan hanya karena mempertahankan kelestarian hutan.
Kalau nelayan memposisikan laut sebagai sumber kehidupan, rakyat di wilayah itu bergantung pada hutan Sedih juga hatinya, tapi ia kuatkan saja. “Ini bagian dari proses perjuangan yang entah kapan akan berakhir.
***
Di tempat yang disucikan masyarakat desa itu, beberapa pengunjuk rasa berdoa meminta kekuatan agar keramat Deleng Ganjang turut serta mendukung mereka menyelamatkan hutan. Sebagian pengunjuk rasa mengantarkan sesajen seperti serangkai pinang, sirih, kelapa muda, telur ayam, daun-daunan bergelar ‘penyayang’, sirih tiga rupa, beras empat marga, cimpa tujuh jenis, dan beberapa kain putih bersama ayam merah.
Rapalan-rapalan dibacakan. Terkadang mereka bersujud, membungkuk dan menyembur-nyemburkan sesuatu dari mulutnya. Aroma kemenyan dan bunga-bungaan berbaur dengan uap lembab pegunungan. Siulan burung-burung, dan bunyi-bunyian hewan rimba memerdui suasana yang kian magis.
Semula perlahan, lama-kelamaan makin meninggi dan kian riuh. Ketika para pemuja pohon besar itu sampai pada puncak esktase dan nyaris tak sadarkan diri, tiba-tiba terdengar suara ras dari salah satu ranting pohon besar, kemudian disusul bunyi bum. Sesosok tubuh jatuh, bagai nangka busuk menimpa tempat pemujaan. Sementara dua kawannya masih di atas pohon berteriak-teriak ketakutan.
Menyaksikan itu, Dokter Valent yang menggantungkan stetoskop karena begitu cintanya pada pendidikan serta pergerakan, Pertua Tarigan, dan orang-orang desa yang ada di seputar itu terperanjat. Seketika mereka bergegas menyaksikan sosok tubuh yang terjatuh. Sebagian lagi membantu menurunkan dua sosok yang berteriak-teriak di atas pohon besar itu. Para pemuja lainnya yang masih berdoa sontak bangkit. Makin riuhlah suasana di pagi menjelang siang itu.
Sosok tubuh yang terkapar di altar persembahan dengan kepala berdarah dan beberapa tulang patah, dibopong ke mobil yang mereka parkir di bawah sekitar 2 kilometer, selanjutnya dibawa ke desa untuk pertolongan pertama. Sedangkan yang dua orang lagi – setelah berhasil diturunkan dari pohon besar itu – terus saja mencerecau, bagai orang kesurupan. Beberapa orang yang tadi berdoa di pemujaan coba membantu dengan membaca rapalan-rapalan, cerecau kedua orang itu berhenti. Tapi, apa yang terjadi, kedua orang itu tiba-tiba saja gagu, tak bisa bicara. Apabila ditanya, jawabnya hanya dengan tertawa-tawa, kemudian dibawa juga ke desa.
***
Sejak pagi ratusan masyarakat gunung dari beberapa desa berkumpul. Kaum lelaki, wanita, tua dan muda menyatu dengan tekad: hentikan penebangan liar. Beberapa di antaranya mengikatkan bendera merah putih di sepotong kayu. Kemudian mereka mengendarai beberapa truk fuso, pick up, dan lainnya menuju Deleng Ganjang. Sang Dokter menyatu dalam aksi massa itu karena tak tahan menyaksikan kondisi tanah leluhurnya yang kian hari kian porakporanda.
“Lihatlah kayu-kayu itu dirambah dengan sesukanya,” tutur Pertua Tarigan – setelah mereka sampai ke wilayah yang dituju – kepada Sang Dokter dan rombongan lainnya sembari menunjuk kondisi Deleng Ganjang yang hutannya sudah tak karu-karuan. Dokter Valent menatap Pertua lamat-lamat, garis-garis perjuangan terpancar di wajah lelaki 50-an itu. Hatinya ngilu menyaksikan kondisi Pertua dan masyarakat lainnya. Tangan-tangan kekar dan berurat itu, kini tidak hanya berhadapan dengan keterpurukan harga jeruk dan sayur-sayuran lainnya, pun para maling kayu yang merusak sendi-sendi kehidupan.
Truk fuso, pick up dan kendaraan lainnya mereka tinggalkan di ujung desa. Perjalanan tak mungkin ditempuh dengan kendaraan karena jalanan yang licin. Selanjutnya mereka berjalan kaki menelsuri jalanan tanpa aspal yang baru dibuka itu. Sepertinya rerumputan dan daun-daun pohon bernyanyi riang menyambut kehadiran mereka. Dengan semangat bendera merah putih, masyarakat dari beberapa desa seputar Deleng Genjang berdemo ria di belantara hutan.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua kilometer, dari kejauhan terlihat dua truk kingkong roda delapan yang di atasnya terdapat kayu gelondongan. Begitu mendengar suara orang beteriak-teriak, orang-orang yang ada di atas truk kingkong melompat turun, berlari menuju rimbunan rimba. Mobil dan kayu gelondongan yang ada di atasnya ditinggal begitu saja seakan tak bertuan.
Unjuk rasa secara damai ini mereka lakukan karena sangat… sangat cemas sekali jika penebangan liar di areal hutan lindung Deleng Ganjang tidak dihentikan, maka mata air yang mengalir ke desa-desa mereka akan mengering. Terlihat ranting-ranting berserak dan beberapa batang kayu di jalan tanpa aspal tersebut. Ada juga beberapa bekas penebangan kayu berdiameter kurang lebih 1,5 meter.
Pembukaan jalan – yang kerap disebut jalan tembus – dilakukan melalui hutan belantara bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi hanya sebagai topeng untuk kepentingan sesaat bagi orang-orang tertentu. Mengapa tidak, jalan tembus dari Desa Serdang menuju Desa Buntu itu, dapat dilakukan tak sampai 3 km saja, tetapi diputar ke pedalaman hutan, yang akhirnya mencapai 9 km. Di samping pemborosan, pun merusak ekosistem. Beberapa mata air jadi mati, kayu-kayu besar pun habis ditebangi.
Ratusan masyarakat terus berjalan kaki menembus Deleng Ganjang yang porakporanda. Sampai di tempat pemujaan, sebagian warga melakukan ritual suci di bawah pohon besar. Di sepanjang jalan baru 9 km tersebut terdapat suatu tempat yang dikeramatkan warga masyarakat seputar Deleng Ganjang. Dokter Valent, Pertua dan sebagian orang hanya menyaksikan saja upacara pemujaan tersebut sampai peristiwa mengejutkan itu terjadi.
Usai membereskan sosok tubuh yang terjatuh dari pohon serta dua orang yang tiba-tiba jadi gila, upacara demo dilanjutkan oleh sebagian masyarakat. “Kami masyarakat Desa Barusjahe sekitarnya menyatakan kebulatan sikap kepada penguasa-penguasa kabupaten supaya merasakan bagaimana penderitaan masyarakat. Kami memang telah mengenyam sedikit dari hasil kemerdekaan ini. Air minum telah sampai ke rumah kami, namun jika perambahan hutan tidak dihentikan, kami pasti kekeringan. Para pemimpin kasihanilah kami. Janganlah seenaknya saja memperkaya diri sendiri. Kami harapkan kepedulian Bapak terhadap penderitaan masyarakat Desa Barusjahe sekitarnya,” tutur orang yang dituakan di Desa Barusjahe. Kemudian mereka berorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan.
“Kami dari masyarakat Desa Serdang, kami telah meninjau ke lapangan pembukaan jalan dari Desa Buntu sampai ke Desa Serdang. Kami telah melihat pembukaan jalan ini sebagian menyalahi peraturan. Menurut kami sebenarnya pembukaan jalan ini tidak harus melalui hutan lindung. Tapi nyatanya dibuat melalui hutan belantara. Pembelokan jalan ini dilakukan untuk memudahkan perambahan hutan. Padahal di situ ada lokasi mata air Perusahaan Air Minum (PAM) milik Pemkab yang mengalir ke desa-desa. Karena perambahan hutan, maka mata air akan kering. Oleh sebab itu, masyarakat sangat keberatan.
Pembelokan jalan melalui hutan hanyalah dalih ‘mencuri kayu’. Untuk itu, kami harapkan pembukaan jalan melalui hutan harus dihentikan,” demikian tokoh masyarakat Desa Sukanalu yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorakan.
“Para pemimpin, mohon kasihanilah kami karena kami akan kekeringan air,” sambung seorang ibu pula.
“Kami mendaki gunung ini karena kami telah kekeringan air. Oleh karena itu mohon jangan lagi menebangi kayu,” tutur ibu yang lain.
“Jangan tebangi kayu, kami sudah tua tidak mampu lagi ke lembah mengambil air,” lanjut ibu yang lebih tua.
“Atas nama orangtua Desa Barusjahe, kami minta jangan menebang kayu lagi. Kasihanilah kami, jangan lanjutkan penebangan kayu seperti ini, agar air kami tidak kering,” tambah ibu yang lain lagi.
“Kami ibu-ibu dari Desa Barusjahe mengharap pengertian, pembangunan jalan yang berdampak penebangan kayu secara liar, kami sangat keberatan,” kata ibu berikutnya. Kemudian bersama-sama mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Terlihat seseorang mengibar-ngibarkan sang saka merah putih.
Usai meneriakkan kata: merdeka... merdeka... merdeka, mereka menyanyikan lagu daerah yang bunyinya: Lit lenna perjuma deleng/Lit senna rabina deleng
Anak imbo... anak imbo sikena ranjo. Artinya: Ada bedanya petani hutan/Banyak duitnya tapi pencuri kayu/Anak siamang... anak siamang terkena jerat. Seterusnya mereka bergerak, ada yang menuju arah pulang, ada pula yang menelusuri hutan.
***
Sang Dokter dan masyarakat terus menelusuri jalan yang baru dibuka dan memasuki perut rimba Deleng Ganjang itu. Pihak pemerintah kabupaten mengatakan pembukaan jalan tembus Desa Serdang dengan Desa Buntu tersebut dalam upaya menembus keterisolasian desa. Tapi anehnya, kenapa pembukaan jalan baru tersebut harus 9 kilometer, padahal bisa dilalui hanya dengan 3 kilometer saja. Kemudian ada pula jalan-jalan arteri yang semuanya mengarah ke pohon-pohon besar.
Ada lelah memang dirasakan Dokter Valent menelusuri jalan tak beraspal dan sesekali menerobos rimba tersebut yang terkadang mendaki dengan kemiringan mencapai 40 derajat. Tapi, ini ia lakukan agar mata air rakyat tak berubah jadi air mata.
Tiba-tiba belasan polisi dengan senjata laras pajang sampai di rimba itu dan melompat ke depan Sang Dokter serta Pertua Tarigan dan tiga pemuka masyarakat. Lima orang di antaranya menodongkan senjata kepada Sang Dokter, Pertua Tarigan dan tiga pemuka masyarakat. Sementara yang lain mengalungkan gari ke tangan Sang Dokter, Pertua dan tiga pemuka masyarakat.
“Anda-anda ditahan dalam sangkaan memprovokasi masyarakat, sehingga menimbulkan korban, seorang tewas dan dua lagi masuk rumah sakit jiwa,” ketus salah seorang polisi, mugkin komandannnya. Sementara polisi yang lain menodongkan senapangnya kepada masyarakat.
“Jangan coba-coba bereaksi, kami tak segan-segan melepas peluru,” sergah salah seorang polisi. Selanjutnya Dokter Valent, Pertua Tarigan dan tiga pemuka masyarakat digiring ke mobil patroli polisi yang diparkir sekitar lebih kurang dua kilometer dari tempat itu. Bagai penjahat saja, mereka diseret setengah paksa dalam tangan digari untuk naik ke mobil patroli polisi.
***
Angin dinihari demikian menyejukkan. Tapi Sang Dokter tak menggigil meski tanpa jaket. Hangat jiwanya mengalahkan dinginnya cuaca dan dinding penjara. Sesekali terkenang juga ia akan anak perempuannya yang semata wayang dan istri tercinta nan cantik. “Ini perjuangan sobat!,” desahnya pada diri sendiri. Angin pun lewat begitu saja.

- Deleng Ganjang (bahasa Batak Karo) = Bukit atau tebing tinggi.


Akhiri Saja Bembeng
Cerpen: Hidayat Banjar

Lelaki berambut sebahu, bertubuh agak jangkung itu gelisah. Ia memegangi rambutnya yang ikal, ia remas-remas, sesekali disentak dengan kelima jari tangan kanannya.
“Akhiri saja Bembeng,” ucap lelaki berambut keriting dengan hidung mancung, peranakan Indo-Jerman.
“Tidak! Itu tak boleh terjadi Paris,” potong lelaki bertubuh kecil berambut lurus dengan kening yang lebar serta menonjol ke depan mirip dengan pemikir-pemikir.
“Kita jangan segegabah itu. Segala sesuatunya harus dipikirkan, jangan sampai perbuatan kita mengikat leher sendiri,” tambah lelaki yang bertubuh kecil dengan gaya seorang orator ulung.
Lelaki yang dipanggil Bembeng itu semakin gelisah, ia memukul-mukulkan tinjunya ke kursi. Suasana muram itu, bertambah muram. Ruangan yang sumpek hanya diterangi dua batang lilin ditambah dengan wajah kusut dan tegang dari mereka. Suasana hening seketika, seolah mereka sedang memikirkan ucapan lelaki yang bertubuh kecil itu.
“Ingat Bembeng, kandungan wanita itu kau katakan sudah empat bulan. Aku rasa, obat ini, obat itu, tidak akan mampu lagi mengugurkan kandungannya. Dan, aku pikir, membunuh bayi di dalam kandungan, sama saja dosanya dengan membunuh manusia,” ujar lelaki kecil agak keras memecah suasana sunyi di ruangan itu.
“Apalagi yang kau pikirkan Bembeng, akhiri saja kekusutanmu. Bunuh wanita itu.”
“Tidak Paris, aku tidak ada niat membunuh wanita itu, hanya nyawa yang ada dalam kandungannya!” sentak lelaki yang dipanggil Bembeng sambil berdiri dan menghentakkan kakinya ke lantai.
Kini wajahnya ia hadapkan ke dinding kamar. Kedua tangannya meremas-remas rambutnya dengan keras. Sesekali ia antukkan jidatnya ke dinding kamar yang berukuran 2 X 3 meter tersebut. Kesal dan gelisahnya bertambah-tambah.
“Berarti kau mencintai dia,” ujar lelaki yang bertubuh kecil sambil mencibirkan bibirnya. “Sudah kawini saja dia, maka berakhirlah gelisahmu. Soal masa depan dan uneg-unegnya, aku kira itu tergantung kau. Tapi, aku sebagai temanmu sedikitnya ikut memikirkan persoalanmu. Ingat! Kau punya adik perempuan di kampung sana. Bagaimana perasaanmu seandainya adikmu...” lelaki yang bertubuh kecil tidak melanjutkan. Dan, sekali lagi ia seolah-olah menyuruh kedua temannya berpikir. Suasana kembali hening sejenak.
“Ruangan ini sebagai tempat persinggahan kita. Kita kumpul, bercakap-cakap, tertawa dan sebagainya, lalu bubar, tidak lebih. Ya, aku sebagai teman kalian, hanya teman di persinggahan, tak lebih. Latar belakang hidupmu Bembeng dan begitu juga kau Paris, aku tidak tahu. Dan jika mana aku telah begitu larut dalam persoalan ini, aku mohon maaf, aku begitu menyampuri.”
“Sudah... sudah... sudah Agan. Kau jangan menambah beban penderitaanku dengan khotbah-khotbahmu itu,” bentak Bembeng sembari melepas genggaman rambutnya dan memegang dadanya menahan luapan emosinya.
“Ooo... tidakkah dari bibirmu itu ke luar kata-kata, tolonglah aku Agan,” lelaki kecil yang beranama Agan menyambung dengan gaya mengejek.
“Aku hanya minta padamu Agan, kau sedia menolong aku atau tidak?! Hanya itu.”
“Baik... baik, kalau untuk membunuh – nyawa dalam kandungan, atau nyawa wanita itu sendiri – aku tidak sudi. Sekali lagi aku katakan padamu Bembeng, kau tidak akan bisa lari dari tanggung jawab, hanya itu! Selamat malam,” lelaki bertubuh kecil yang dipanggil dengan Agan itu meninggalkan ruangan.
Suasana kembali diam sejenak. Paris memandangi poster Gerry Glitter yang kusam tergantung di dinding ruangan. Cahaya lilin yang tidak seberapa terangnya menambah buramnya poster itu. Paris merenungi masa lalunya. Bembeng masih dengan suasana gelisahnya.
“Mmm, begini Paris. Kau mau menolongku kan? Sebentar lagi mungkin wanita itu datang,” Bembeng berucap perlahan, minta diperhatikan.
“Kebetulan, Bembeng. Akhiri saja hidupnya. Kalau kau takut melakukannya, biar aku yang melakukannya.”
“Jangan Paris, aku mohon jangan.”
“Bembeng, kau tahu, aku punya urusan pribadi dengan orangtua gadis itu. Ia pernah menyobek-nyobek hatiku. Ia pernah menghinaku Bembeng.”
“Itu urusanmu!”
“Tapi itu seharusnya juga jadi urusanmu sebagai temanku.”
***
“Mas Bembeng, kau kejam. Rupanya beginilah lelaki yang selalu kubanggakan itu. Lelaki yang tak lebih dari seorang pengecut,” wanita yang mereka sebut-sebut tadi tiba-tiba muncul memberondong Bembeng dengan kata-katanya.
“Tenang Rinsye, sabar. Jernihkanlah pikiranmu,” Bembeng coba membujuk Risnye.
“Sampai kapan aku harus bersabar. Atau sudahi saja hidupku, seperti rencana kalian,” teriak Rinsye. Suasana malam kian tak ramah. Semua melingkar-lingkar seperti benang kusut melingkari otak Bembeng.
“Iya Bembeng, akhiri saja,” Paris membakar semangat Bembeng. Tapi perkataan itu tidak dihiraukan oleh Bembeng.
“Rinsye... orangtuaku di kampung mengharapkan aku jadi sarjana, dan aku pun belum siap punya anak.
“Tapi kenapa kau lakukan, kenapa... kenapa?!” teriak Rinsye sambil memukul-mukul dada Bembeng dengan gemas.
***
“Kiranya aku yang harus mengakhiri sandiwara ini,” tiba-tiba lelaki kecil yang dipanggil Agan itu muncul dengan sebilah golok di tangannya. “Kau rasakan ini Paris,” Agan membenamkan golok itu ke dada Paris si lelaki Indo-Jerman. Menggelepar-gelaparlah Paris menahan sakit diiringi jeritan Rinsye dan Bembeng.
“Ingat Paris, kau pernah menodongkan golok ini ke Bapakku. Tapi kau kalah gesit, dan kau katakan Bapakku menyobek-nyobek jiwamu.”
“Bang Agan, kau kemasukan setan,” teriak Rinsye.
“Setan itu ada di dalam diri kita masing-masing. Dan kau Bembeng, setan dalam dirimu akan aku akhiri perjalanannya malam ini.
“Jangn... jangan... jangan,” teriak Rinsye, “ingat bayi dalam kandungannku,” tambahnya.
“Aku yang merwatnya.”
“Rasakan Bembeng, setan yang ada di dalam tubuhku akan memberhentikan perjalanan setan di dalam tubuhmu.”
Bembeng coba melawan dengan segenap kemampuannya. Dan, Rinsye coba menghalang-halangi. Tapi, sampai di manalah kemampuan manusia melawan kekerasan setan di dalam diri yang telah diperturutkan.
“Ayo Rinsye, mari kita pulang. Tak usah kau tangisi mayat setan-setan ini. Sekarang aku – Abangumu – telah pula jadi setan. Sesungguhnya, setan itu, manusia sendirilah yang menciptakannya. ***


















Tormatutung
Cerpen: Hidayat Banjar

6 Desember 2005 Selasa malam sekira pukul 20.00, petir menyabar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan pun turun sangat lebat sekali. Dari daerah perbukitan terdengar suara deru yang sangat kuat. Listrik tiba-tiba padam. Gelap gulita.
Salman Panjaitan berteriak-teriak memanggil istrinya. Yang menjawab hanya deru sungai Asahan. Angin dan tanah tiba-tiba menghujani rumah mereka yang terbuat dari papan separo tepas. Bayi Salman yang baru dua bulan meraung-raung dalam gelap. Salman dengan segenap kemampuan menjangkaunya. Sementara suara istrinya yang berteriak minta tolong dari arah sungai Asahan terdengar sayup-sayup sampai.
Air sungai meluap dan tanah longsor menerkam kediaman mereka. Rumahnya roboh seketika, tetapi Salman bersikukuh memeluk bayinya. Air yang deras mencampakkan Salman dan bayinya ke tengah-tengah sungai Asahan. Salman bertahan, tapi air terus mencampakkannya ke kanan dan ke kiri. Bayi dua bulan itu lepas dari tangannya. Salman berteriak sekuat-kuatnya, histeris, tapi suaranya lenyap ditelan deru sungai Asahan dan kegelapan malam.
***
Jumat pagi 9 Desember 2005, Valent dan tim tiba di Desa Marjanji Aceh Kecamatan Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Terlihatlah kondisi alam yang mengenaskan. Hutan gundul dengan pohon-pohon meranggas, nyaris kering. Sementara, dolamit terus dikorek seperti tanpa hambatan. Sedangkan Salman begitu juga yang lain masih dibalut duka dan perban penutup luka fisik.
Risman pun harus tabah melihat anaknya Risma, 8 tahun, diseret longsor kemudian dibawa arus sungai Asahan sejauh 12 km sementara harta benda dan rumahnya hancur. Meski Risma selamat, tak urung meninggalkan luka bagi fisik dan jiwa mereka. Empat kepala keluarga (KK) kehilangan tempat tinggal, belasan lainnya kehilangan sebagian harta bendanya.
“Aku seperti lelaki yang tak berguna. Bayiku bisa lepas dari gendongan dan tenggelam di dingin malam,” tutur Salman ketika Valent menyerahkan bingkisan tanda duka cita.
“Jangan menyesali nasib. Akar-akar pohon dan batu dolamit itu merupakan penyangga tanah. Jika akar pohon tak ada lagi, sementara dolamit juga dikorek, tanah tak punya ikatan apa pun. Maka begitu hujan datang, terjadilah longsor”.
“Ya, pengorekan dolamit besar-besaran, berlangsung di Desa Meranti Timur Kecamatan Pintu Pohon Meranti Tobasa yang bersebelahan dengan desa tempat terjadi bencana longsor. Jika tak segera dilakukan perbaikan lahan seperti reboisasi dan menghentikan kegiatan perusakan lingkungan, kelak bencana serupa akan datang lagi. Kami masyarakat yang bermukim di seputar desa ini, jika hujan akan turun, terus was-was dan berdoa. Kami selalu cemas,” begitu warga bertutur kepada Valenti dan rombongan.
Ketika hendak pulang ke Medan, ada razia yang dilakukan Satlantas. Saat melintasi jalan lintas Sumatera (jalinsum), mobil Valenti distop, oknum petugas menanyakan dari mana? Dijawab: melihat kerusakan hutan dan mencari pelakunya. Ironsinya, ketika itu oknum Polantas mengatakan: tak kan mungkin dalang intelektualnya tertangkap, sebab yang mem-backing adalah Kapolres. “Ada apa, kok sampai oknum polantas bicara demikian?” bisik hati Valent.
***
Akhir September 2005, tujuh mahasiswa pencinta alam sedang menuju lokasi hutan Tormatutung melintasi desa-desa yang indah. Tanpa lelah mereka telusuri jalanan setapak guna melihat kondisi hutan yang porak-poranda dibabat para maling kayu. Jika kondisi ini dibiarkan, desa-desa yang ada di sekitar Tormatutung yang indah dan subur pastilah menerima dampaknya. Sekarang saja, jika hujan lebat mengguyur bumi, kerap terjadi longsor yang membawa korban harta maupun nyawa. Sesampai di wilayah yang dianggap layak, ketujuh mahasiswa menurunkan beban di pundak masing-masing dan bersiap mendirikan kemah.
Tiba-tiba, lima lelaki berseragam dengan tubuh tegap-tegap berteriak “jangan bergerak” sembari menodongkan senjata laras panjang ke arah para mahasiswa. “Kami mau berkemah Pak,” salah seorang mahasiswa dengan setengah keberaniannya berujar.
“Berkemah atau mau mengganggu cari makan para penebang kayu?” hardik lelaki berseragam sementara keempat rekannya mempersiapkan gari yang akan dikalungkan ke tangan mereka.
“Kami hanya ingin berkemah, Pak,” tegas para mahasiswa serempak.
“Nanti semua jelaskan di kantor,” tutur lelaki berseragam. Seiring dengan itu keempat lelaki berseragam lainnya memasukkan gari ke tangan para mahsiswa. Satu gari untuk dua orang. Sedangkan yang dianggap pemimpin mahasiswa garinya disatukan dengan lengan lelaki berseragam. Mereka digeret menelusuri rimba untuk dibawa ke kantor sebagaimana dimaksudkan lelaki berseragam.
“Bapak kenal dengan Bang Valent?” tanya seorang mahasiswa.
“Dokter Robert Valentino Tarigan yang Anda maksud?” lelaki berseragam kembali bertanya.
“Betul Pak,” jawab mahasiswa serempak.
“Kalian apanya?” tanya lelaki berseragam, intonasi suaranya mulai rendah..
“Anggotanya, Pak,” jawab mereka serempak. Mendengar itu, kelima lelaki berseragam menghentikan langkah.
“Kalau begitu, kemasi kemah serta barang-barang kalian segera ke luar dari hutan ini dan jangan kembali lagi! Titip salam buat Pak Valent, katakan padanya kami dan kawan-kawan hanya mencari makan,” tegas lelaki berseragam. Kemudian gari-gari pun dibuka. Segera mereka mengemasi barang-barang dan pergi meninggalkan Tormatutung.
***
28 Oktober 2005. Malam kian meninggi. Dokter Valent – demikian orang-orang memanggilnya – masih berada di kantornya. Ya, dokter yang menggantungkan stetoskop dan mengelola bimbingan belajar itu, memang kerap berlama-lama di kantornya. Hatinya selalu gelisah melihat kenyataan lingkungan yang kian hari kian rusak.
Padahal, lingkungan umpama ayam bertelur emas, yang jika dirawat, setiap saat akan menghasilkan. Tetapi jika ayam dipotong, yang datang adalah bencana karena ketiadaan sumber penghasilan. Bagaimana mau menyekolahkan anak, bila kemiskinan melingkupi? Karena tak sekolah, maka kebodohanlah yang datang. Karena bodoh, maka miskinlah. Miskin karena bodoh, bodoh karena miskin. Kemiskinan permanen. Demikian pikiran yang menggayuti benaknya, sehingga rela sampai malam berada di kantor atau bersama rakyat dalam perjuangan menyelamatkan pohon.
Dentang jam sudah berbunyi sebelas kali. Tiba-tiba kesunyian pecah dengan riuh rendah suara-suara manusia seakan mengepung lokasi tempat lelaki itu menyelenggarakan pendidikan. Ia pun ke luar dari kamar kerjanya. Sampai di luar pagar, terlihatlah wajah-wajah seperti tak bersahabat. Tetapi mereka hanya berputar-putar di sekitar jalan lokasi pusat bimbingan tersebut. Ada juga di antara mereka mengenakan seragam dinas, dan ada pula yang memakai kendaraan dinas. Jumlahnya tak kurang dari seratus orang.
Lokasi bimbingan itu memang seperti dikepung. Dokter Valent segera mengontak kawan-kawannya aktivis untuk menyaksikan hal itu.
“Kenapa mereka harus menakut-nakuti dan memata-mataiku,” ujar Sang Dokter ketika dua rekan aktivis sampai di lokasi itu.
“Itu karena Abang menginvestigasi dan menyoroti kasus illegal logging di wilayah ini termasuk Tormatutung. Gerakan ini kan sangat mendukung telegram Kapolri kepada semua Kapolda yang ada di Indonesia untuk memprioritaskan pemberantasan kasus illegal logging. Sehingga mereka takut akan disikat jika gerakan Abang terus dilancarkan” beber Vivi Kananda.
“Tapi aku kan belum pernah buat stetmen apa pun tentang Tormatutung. Bahkan meninjau lokasi itu pun belum,” ujar Sang Dokter.
“Beberapa rekan masiswa pernah mau mengivestigasi kondisi Tormatutung. Mereka set agar jangan tercium, bahwa mereka hanya ingin berkemah. Tapi kacung-kacung pengusaha mencium gerakan itu dan mengintimadasi mahasiswa. Ketika itu, mereka menyebut-nyebut nama Abang,” Vivi menjelaskan.
. “Aku kan tak tahu masalahnya, kenapa harus aku yang diteror. Yang membuat bingung dan tertanya-tanya, apakah aku seorang penjahat atau residivis kelas kakap atau seorang teroris? Padahal aku hanya seorang aktivis lingkungan dan guru,” jawab Sang Dokter.
Setelah hampir setengah jam rombongan orang-orang yang berwajah seram itu mengelilingi lokasi belajar itu, akhirnya bubar satu-satu.
Selanjutnya, Dokter Valent membawa dua rekan aktivis itu ke ruang kerjanya.
“Bila Valentino salah, cukup surat perintah saja yang dibawa oleh 2 atau 4 orang petugas bukan ratusan polisi,” katanya setelah duduk.
“Ya, harusnya begitu,” jawab keduanya.
Kemudian Sang Dokter mengontak kepala lingkungan (kepling) di wilayah itu untuk mencari tahu, apa rencana orang-orang berwajah seram tersebut.
“Menurut informasi masyarakat dan rumor, pengepungan itu adalah perintah senior ke junior,” jawab sang kepling.
“Apakah itu boleh?” tanya Sang Dokter.
Peristiwa ini disaksikan oleh beberapa masyarakat yang pada malam itu sedang melintasi jalan itu. “Sunar, salah seorang masyarakat daerah itu juga melihat di sepanjang jalan tersebut terdapat kedai/warung kopi yang dipenuhi oleh polisi berpakaian preman. Ini diketahui Sunar ketika salah seorang menyapanya. Tahulah Sunar bahwa yang menyapa adalah anggota Polsek. Sunar adalah salah seorang tokoh masyarakat,” beber kepling via telepon selular.
Tak lama kemudian Udin sang kepling hadir di ruang kerja Valentino.
“Saat itu aku berada di sekitar lokasi dan mendengar suara ribut-ribut. Aku menegor orang–orang yang ada di kedai tersebut: “Woi ribut kali kalian”. Jawaban pemilik kedai: “Bang, mereka itu polisi–polisi”, cerita Udin.
Esoknya, seluruh informasi tentang peritiwa pengepungan itu dikumpulkan. Pengakuan pemilik kios rokok di di belakang lokasi bimbingan itu atau di samping hotel bernama Das, kepada Udin mengaku malam itu ada 3 orang polisi dari polsek di kiosnya. Ketiganya sering menerima telepon dari dalam hotel yang juga ketika itu kelihatan banyak polisi berpakaian preman/biasa. Salah seorang polisi tersebut keluar masuk hotel, seolah-olah ada petinggi polisi yang menggerakkan mereka tersebut.
***
8 November 2005 sore, Machfud Kapolres A menyediakan waktu bertemu Valent di Café Dome Sun Plaza Medan. Machfud yang ketika itu bersama salah seorang berperawakan toke bertatap mukalah dengan Valentino yang didampingi oleh Vivi Kananda Siregar dan Hiban As.
Terjadi dialog hangat antara Velentino dengan Machfud yang bersumpah tidak mengetahui peristiwa pengepungan tesebut. Malah Machfud mengaku tak mengenal Valentino. Karena demikian bersemangatnya, jari telunjuk kanan Machfud berkali-kali diarahkan ke wajah Valentino. Tentu saja Valentino jadi gerah melihatnya.
“Abang boleh mengatakan apa saja, tapi tolong tangan Abang jangan main tunjuk-tunjuk begitu,” tutur Valentino. Spontan Machfud menurunkan tangan dan menggeser kursi duduknya lebih ke belakang.
***
Hari-hari berikutnya, Valent sangat ingin mempertanyakan peristiwa pengepungan lokasi bimbingan belajarnya kepada Kasat Reskrim Poltabes kotanya – yang dulunya Kasat Reskrim Polres A – tetapi selalu tidak berhasil. Dalam pada itu, di Poltabes, suatu sore awal Desember Valentino bertemu dengan Kapoltabes Kombes Irdah yang sedang melihat tersangka narkoba baru tertangkap di dalam sel Poltabes. Ketika itu Kapoltabes mengatakan bahwa mungkin saja yang mengepung bimbingan belajar yang dipimpin Valentino adalah orang-orang yang mengaku polisi alias polisi gadungan. “Anggota saya baik-baik semua,” kata Kapoltabes ketika itu.
14 Desember 2005, Valentino menginformasikan peristiwa tersebut berikut menyampaikan pengaduan tertulis ke Polda yang diterima oleh Waka Poldasu Brigjen Drs Rubbani Pranoto. Lalu Valentino sebagai pelapor berikut saksi TKP Vivi Kananda Siregar dan Ijik diperiksa di Propam Polda. Esoknya harinya (Kamis 15/12) Nazaruddin alias Udin, Kepling juga diperika sebagai saksi.
Di Propam, Valentino diperiksa Juper Alfred Simanjuntak, Vivi juga diperiksa oleh Alfred Simanjuntak. Sedangkan Ijik diperiksa oleh Juper Nasran.
16 Desember sekira pukul 15.00 Valentino dengan Malik dan salah seorang wartawan bertemu Kasat Reskrim Poltabes Sandi Nugroho di ruangannya. Terjadi juga dialog hangat dan kemudian diberitakan Harian M Sabtu (17 Desember 2005) halaman depan.
Berbilang bulan, bahkan tahun pun berlalu pengaduan Valent ke Propam Polda tak jelas rimbanya. Sementara orang-orang seperti Salman yang berumah di dekat sungai terus cemas akan bahaya longsor dan banjir.***

No comments: