Sunday 28 December 2008

Jones Gultom

Euforia Natal Pada Sebuah Kampung

Jones Gultom

SUARA meriam bambu dari seberang dolok * tetap saja berdentum- dentum, memecah sunyi pada malam yang berkabut di Samosir. Meski rumputan yang basah, mungkin pacet, juga lintah atau serangga- serangga malam lainnya, menempel di kaki yang mengerut, toh semangat dan keriangan anak- anak di kampung saya ketika menyambut Natal dan Tahun Baru, tak pernah surut.

Peristiwa itu adalah momen yang sangat berharga bagi mereka. Tak hanya bermakna religius, euphoria itu justru merupakan puncak dari rangkaian peristiwa gembira lain yang datang beruntun di kampung saya.

Natal dan Tahun Baru selalu ditandai dengan datangnya musim panen. Berbarengan pula dengan libur panjang anak- anak sekolah. Kepulangan mereka mengubah kampung yang biasa sunyi dan adem menjadi ramai dan meriah. Pada hari- hari terakhir, para perantau juga pulang untuk bersilatuhrahmi dengan sanak famili. Kepulangan para perantau, apalagi mereka yang sukses di perantauan biasanya disambut hangat sanak keluarga.
Tak jarang dengan sebuah pesta lengkap dengan iringan musiknya pula. Bisa dibayangkan, bila dua puluh keluarga saja yang melakukan itu, betapa setiap malam pesta tak henti- hentinya digelar. Malam- malam menjadi ramai, oleh musik,handai tolan, anak- anak yang bermain- main di halaman rumah yang berpesta, dan juga pedagang yang ikut ambil kesempatan.

Bagi para perantau, inilah saat yang tepat untuk memamerkan tajinya. Ada yang membawa mobil pribadi, tidak perduli apakah itu cuma rentalan, ada yang mengenakan segudang perhiasan, layaknya toko emas berjalan, ada yang pamer- pamer handphone terbaru dengan berpura- pura mengangkat telepon sekeras- kerasnya sembari berkecak pinggang dan menyebutkan sejumlah proyek.

Selain pamer- pamer harta, soal bahasa dan retorika juga ditata. Mereka yang merantau di kota Megapolitan, tiba- tiba jadi tak tahu berbahasa batak. Dialeknya menjadi kebetawi- betawian, dengan logat retro yang metropolis. Yang agak santun, mencoba tetap menujukkan kebatakannya.

Memang tak semuanya demikian. Ada juga yang biasa- biasa saja. Biasanya kelompok ini adalah mereka yang tak terlalu berhasil di perantauan. Nasibnya di perantauan juga tak jauh beda dengan di kampung. Masih juga mengandalkan tenaga. Soal logat biasa saja. Pun pergaulan, masih kerap mengatakan; “Horas bah!” atau “Bah hamu di lae!”

Kelompok ini masih mau ngumpul di parker tuak bersama teman- teman seangkatannya dulu. Masih tetap ngejreng… ngejreng… minum tuak sambil menyanyi oh inang… oh amang. Walau sesekali dengan latah mencoba lagu terbarunya Kerispatih………

Begitulah hiruk- pikuk Natal di kampung saya. Tidak hanya menyiratkan kemeriahan yang didasarkan kerinduan akan sebuah pesta, tapi juga memperlihatkan bagaimana pola sosial dan psikologi masyarakatnya. Sebenarnya momen ini bisa menjadi acuan untuk mendalami watak dan pola hidup masyarakatnya, seperti yang coba diungkap Baharuddin Aritonang dalam bukunya; “Orang Batak Berpuasa”

Lepas dari semua itu, saya tak mungkin lupa, ketika tiba harinya, pada pagi hari yang masih berembun, lonceng gereja berdentang- dentang, bersahut- sahutan dari satu kampung ke kampung lain. Dan tentu saja, sebarisan anak- anak kecil dengan mengenakan baju, sepatu, rok, celana, pita, dandanan yang baru, terlihat riang dan sedikit tergesa, bergandeng menuju gereja. Mereka bersiap menyambut Natal dengan wajah yang bersahaja! (0815 3328 8476)

* bukit.

Bercakap Dengan Skizopren
Jones Gultom

BEBERAPA waktu lalu saya berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa, guna observasi psikologi di sana . Gentar juga, sebab kedatangan saya disambut insiden, ketika seorang pasien hendak melarikan diri dari bangsal. Syukurlah para petugas yang sempat kalang kabut, dengan sigap menyergap dan menangkapnya, kemudian “mengadilinya”

Saya agak tak enak hati, melihat perlakuan mereka. Tapi begitulah, menghadapi skizopren, kadang mesti tanpa simpati.

Saya yang tak punya bekal menghadapi para skizopren ini, sempat bingung, ketika dengan PD masuk ke bangsal, tempat skizopren berkumpul. Padahal lazimnya, observer cukup bercakap- cakap dari balik jeruji jendela; face by face, untuk menghindari kemungkinan yang tak diinginkan.

Saya bingung. Bagaimana saya mewawancarai salah satu dari mereka? Bagaimana caranya agar seorang yang sudah saya pilih sebagai objek, berpisah dari kerumunan itu? Bagaimana pula saya membuka percakapan dan memperkenalkan diri, sementara mereka telah mengerumuni saya? Saya jadi teringat Frodo dan Sam yang terjebak di antara monster pohon yang menakutkan, dalam film The Lord of The Rings.

Merasa terkepung, saya lantas perlu bersandiwara. Dengan serta merta, saya tepuk pundak salah seorang yang paling dekat, layaknya sahabat lama. Dia merespon. Saya Mulailah saya nanya ini- itu. Sementara yang lain masih mengerumuni. Saya merasa seperti sinterklas yang sedang membagikan hadiah natal kepada anak- anak Bosnia .

Saya tak merespon, pura- pura cuek. Saya hanya fokus kepadanya. Tapi mereka tetap saja melungu, seperti pengungsi menunggu sekardus mie dari dalam tenda.

Saya nyaris tak bisa membedakan normal dengan abnormal ketika bercakap- cakap dengannya. Apa yang saya tanyakan dijawabdengan porsi yang pas. Berkali- kali saya tanyakan pertanyaan sama, berkali pula dia menjawab dengan jawaban sama. Saya jadi kesulitan mendiagnosa. Bahkan ketika saya tanya bagaimana dia sampai di tempat ini, dengan jujur dan alur yang rapi dia mengisahkannya.

“Aku diajak bapak untuk melihat kakak yang akan diwisuda dengan menyewa mobil. Tapi nyatanya tiba- tiba aku sudah di sini, padahal aku sehat- sehat saja,” jelasnya.

Yang membuat heran, adalah kemampuannya berkisah dan mengingat satu peristiwa. Nyatalah orang skizopren, yang jiwanya terpecah, ingatannya malah makin kuat.
Berkali- kali dia mengisahkan kekecewaan kepada bapaknya tapi secara bersamaan mengaku rindu. Saya menduga, dia seorang dengan tipe; ‘rindu- rindu benci’ ingin disayangi, di sisi lain menyimpan benci.

Dalam percakapan itupun saya jadi banyak diamnya. Diam mendengar dia curhat. Tentang keluarganya, tentang pernikahannya yang berantakan, tentang anak- anaknya, bahkan tentang nasibnya di RSJ.

Saya mendengar kisahnya dengan khusuk. Saya baru mengintervensi bila dia mulai ngalur ngidul. Hingga tiba- tiba dia berkata; “Kata ibu itu (menyebut petugas) bapakku akan datang siang ini. Kami akan pulang. Tapi kurasa dia takkan datang.” Kalimat itu diucapkannya berkali- kali seperti berharap penegasan saya.

Saya jadi simpati. Saya jadi terpancing untuk berjanji (padahal ini paling dipantangkan bila berhadapan dengan skizopren)

“Datangnya nanti itu!” kata saya. Dia jadi bersemangat. Merasa sadar akan kekhilafan itu, saya langsung meninggalkan bangsal.

Tak berapa lama, ketika duduk- duduk di bangku luar bangsal, dia melintas bersama laki- laki tua. Dia menyapa bahkan menyalami saya. “Aku mau pulang!” katanya bangga. Saya sempat terpelongo. Yang saya tahu dari petugas, mereka hanya mau makan siang di luar. Tapi dia terlalu bersemangat. Dari belakang, saya lihat betapa bangganya dia berjalan saling bersebahuan dengan bapaknya. (0815 3328 8476)



Mati dan Hujan
Jones Gultom

BEBERAPA hari lalu saya melayat seorang sahabat. Bapaknya meninggal karena sakit yang kabarnya tak bisa didiagnosa medis. Tahulah kita, kalau sudah seperti itu, pasti akan muncul pandangan- pandangan beragam dari masyarakat.

Dia seorang pensiunan tentara. Sebagai prajurit, kefanatikannya terhadap satuan memang sangat kental. Beliau masih menyimpan beberapa longsong peluru dan granat di rumahnya. Dia sering menceritakan kisah- kisahnya kepada saya. Terus terang saya terharu, setiap kali, dengan berapi- api, alm bercerita. Hingga akhirnya Minggu pagi, beliau meninggal dan saya turut ikut dalam pemakamannya.

Menjelang kematian, beliau sempat minta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi keluarga tidak sepakat, dengan alasan perawatan yang tak bisa dijamin. Beliau maklum dan akhirnya minta dikuburkan di kampung kelahirannya saja.
Inilah tabiat manusia, bahkan saat nafas sudah di ujung hidung saja, toh kita masih perlu tawar- menawar.

Yang lebih menarik perhatian saya ketika dalam perjalanan menuju pemakaman, tiba- tiba hujan turun dengan derasnya. Kondisi itu sempat membuat seisi penumpang dalam mobil jenazah panik. Spontan ada yang berdoa, ada pula yang tiba- tiba melantunkan lagu rohani. Saya lantas ingat fenomena mati dan hujan. Apa benar setiap ada yang mati pasti turun hujan?

Setelah dua jam perjalanan, kami tiba di sebuah kampung, di Tebingtinggi. Bayangan saya, pasti akan ada penyambutan bersedih- sedihan. Apalagi ketika memasuki gerbang kampung, Sang Istri kembali mangandungandung (meratap) katanya; “ Nunga ro hita bapa tu huta ni parsirangan ni (kita sudah sampai di kampung perpisahan)

Saya merinding setiap kali mendengar andungandung (ratapan) semacam ini. Biasanya dalam kematian orang batak, momen inilah yang paling mengaharu- biru. Apalagi jika dia berstatus saurmatua (anak- anaknya semua sudah menikah). Bapak sahabat saya ini statusnya sarimatua (anak laki dan perempuannya sudah menikah)

Saya jadi teringat ompung saya yang sudah saurmatua meninggal beberapa tahun lalu. Kami menghantarkan jenazahnya ke kampung asalnya, Limbong, sebuah desa di kaki Gunung Pusuk Buhit ( gunung yang dianggap tempat asal mula orang batak)

Ambulance yang meraung- raung sepanjang memasuki kampung, seperti mewakili kesedihan kami. Memasuki kampung, orang- orang sudah berbaris di pinggir jalan. Ada yang tertunduk, ada yang menangis tersedu- sedu, ada yang bisik- bisik, ada yang tertawa kecil, ada yang tanpa ekspresi cuma dibalut sarung.

Saya melihat ragam rupa itu dari balik kaca Ambulance. Dan ketika tiba di rumah yang dituju, orang- orang yang sudah berselempangkan ulos, menyambut dengan ledakan tangis, padahal belum lagi peti diturunkan. Betapa gampangnya mereka tersentuh, betapa solidnya hubungan kekeluargaan , meski beliau sudah meninggalkan kampung itu, ketika pertama kali berkeluarga, toh masih disambut hangat.

Entah siapa- siapa saja yang menangis. Adapula yang meraung- raung. Saya yakin mereka tak hanya sekedar menangisi ompung saya, tetapi secara bersamaan juga tengah menangisi dirinya sendiri. Karena dengan matinya ompung saya, mereka jadi terbayang kematiannya sendiri. Maka pada malam- malam berikutnya, mereka (khususnya yang satu angkatan dengan yang meninggal) berbincang- bincang tentang siapa kemudian yang akan menyusul. Mereka cemas. Mereka gelisah.

Sama dengan kematian bapak teman saya, waktu itu hujan juga turun. Bahkan ikut mengiringi pemakamannya sampai di liang kubur. Padahal waktu itu Bulan Mei yang notabene musim kemarau. Saya jadi makin bertanya ada hubungan apa kematian dengan sebuah hujan?

Akhirnya bapak sahabat saya itupun diturunkan. Hujan belum juga reda. Di dalam bus orang- orang saling menatap. Mungkin saling bertanya; “Siapa lagi sesudahnya?” (0815 3328 8476)


Cacing
Jones Gultom
PAGI hari sekali saya sudah memburu cacing- cacing di balik- balik tanah lembab ladang saya. Keponakan saya sakit. Kena gejala thypus. Menurut pengobatan tradisional, cacing merupakan salah obat yang ampuh untuk jenis penyakit itu. Tapi sampai nyaris satu jam, saya baru mendapati tidak lebih dari lima ekor yang kecil- kecil, merah- merah dan masih sangat belia. Padahal dalam bayangan saya, tiga- lima kali cangkul saja, saya akan mendapatkan setidaknya setengah cangkir binatang melata itu. Kenyataan itu membuat saya berpikir, “Kemana gerangan cacing- cacing pergi?”
Saya lantas teringat satu cerita tentang cacing yang ditulis Anthony de Mello, SJ, penulis yang juga seorang imam. Kalau tidak salah bukunya berjudul “Doa para binatang”
Saya tak pasti. Tapi dalam ceritanya itu, dikisahkan bagaimana para binatang berdoa dan mengadu kepada Sang Pemilik Semesta.
Doa si cacing kira- kira bunyinya begini, “Oh Tuhan aku adalah binatang yang paling lemah dan tak berdaya. Tidak punya kaki apalagi tangan. Aku sembunyi di balik- balik tanah. Dan aku tak pernah bisa menikmati sinar matahari. Hidupku tersuruk dari satu lubang ke lubang lain di dasar tanah. Meski begitu aku sangat bahagia dan patut bersyukur, karena meski demikian tugasku sungguh begitu mulia. Aku menggemburkan tanah sehingga menjadi subur, dan manusia bisa bercocok tanam di atasnya. Tapi aku juga sedih, akhir- akhir ini aku dan sahabat- sahabatku sedang diteror manusia untuk dijadikan umpan pancing mereka. Pernah aku melihat sahabatku dicucuk perutnya dengan mata kail. Aku melihat sahabatku itu menggelepar kesakitan. Yang tidak fair lagi, ketika manusia mengatakan, ‘dasar cacingan!” untuk mengejek saudarnya yang malas- malasan. Apa dikira manusia kami makhluk pemalas? Aku sadar Tuhan, bahwa kami diciptakan memang untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia. Biarlah begitu asalkan manusia dapat tetap mempertahankan hidupnya. Dengan begitu manusia selalu bisa mengucap syukur padaMu.”
Saya sempat termenung. Apakah cacing- cacing saat ini, tepatnya pagi ini, lagi ngambek, lagi merajuk, sehingga tak mau keluar untuk membantu pengobatan ponakan saya?
Atau mereka sengaja melakukan itu untuk menyadarkan dan mengetuk hati, bahwa manusia, terutama saya akhir- akhir kurang bersyukur atas segala hidup yang telah saya terima?
Saya jadi malu. Saya merasa kecil dan tak lebih melata dari cacing. Mestinya saya sadar diri untuk segala yang telah saya terima dari alam, termasuk sumbangsih seekor cacing. Karenanya saya merasa perlu lebih bijak lagi, takdir saya sebagai manusia yang tercipta secara sempurna.
Maka pagi itu, di ladang itu, saya bernyanyi- nyanyi sendiri sambil terus mengayunkan cangkul, “Cacing- cacing janganlah bersembunyi. Saya membutuhkan kalian. Keluarlah mari kita saling berbagi dan melengkapi.” Tepat saja, setelah mendendangkan mantra itu, berkeluaranlah cacing- cacing dari onggokan tanah di mata cangkul saya. (MedanBisnis 9 Nopember 2008/ 0815 3328 8476)

1 comment:

Gina said...

Ingat waktu diajak mancing...awalnya geli melihat cacing...