Sunday 9 November 2008

Sastra dan Realitas

Sastra dan Realitas
Oleh : Muharrina Harahap, S.S.

Dunia fiksi itu merupakan dunia lain yang berdiri di samping kenyataan. Tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan. Sekalipun seorang pengarang melampiaskan daya khayalnya dengan menciptakan makhluk-makhluk yang tidak ada, yang hidup di dalam suatu lingkungan khayalan namun tetap ada kaitan-kaitan tertentu antara tokoh-tokoh dan perbuatan mereka yang dapat dimengerti oleh pembaca dan dapat diterima berdasarkan pengertian mengenai dunia nyata, seperti hubungan ruang dan waktu, sebab akibat, dan pola-pola bereaksi secara psikologis.
Dunia yang diciptakan pengarang oleh pembaca selalu dialami berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata, termasuk pengetahuannya tentang dunia nyata dan tradisi sastra. Kadang-kadang dunia ciptaan itu mirip dengan dengan kenyataan (novel yang realistik atau biografik), dan tak jarang menyimpang jauh dari kenyataan (science fiction dan dongeng). Dalam roman Kejahatan dan Hukuman, Dostojevski (Rusia) menyebut jumlah langkah Raskolnikov dari pondokannya ke rumah si nenek tua yang rentenir itu dan yang kemudian dibunuhnya. Suatu penelitian yang pernah dilakukan di kota Leningrad (dulu Petersburg) membuktikan bahwa jumlah langkah itu ternyata klop dengan kenyataan dan jarak itu tidak dikhayalkan oleh Dostojevski.
Masalah serupa juga terjadi jika kita membaca novel-novel historik, misalnya Rumah Kaca karya Pramudya Ananta Toer. Pada novel tersebut ditemukan nama-nama para intelektual dalam organisasi Indonesia di zaman Hindia Belanda, termasuk tokoh-tokoh nasional yang kemudian terlibat dalam gerakan PKI. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa novel ini pernah dilarang beredar di Indonesia.
Fiksi vs Nonfiksi
Kadang-kadang memang sukar membedakan sebuah teks fiksi dari sebuah teks nonfiksi. Sebuah kasus perbatasan kita jumpai dalam otobiografi si pengarang. Pengarang melaporkan fakta dari hidupnya sendiri, ia berpretensi melukiskan kenyataan. Tetapi, mungkin juga ada hal-hal yang diciptakannya atau yang dilukiskannya lain daripada apa yang sesungguhnya terjadi. Pembacalah yang memutuskan apakah itu sebuah realitas atau tidak.
Sebuah teks fiksi tidak melukiskan kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri mengenai kenyataan. Itulah sebabnya teks fiksi sangat cocok untuk melukiskan segi-segi yang khas dalam kenyataan. Dengan melukiskan sebuah peristiwa yang jarang terjadi, maka teks fiksi dapat memperlihatkan masalah-masalah dari ilmu jiwa yang berlaku umum, atau suatu aspek dari hidup manusia pada umumnya.
Di sini, Aristoteles menilai sastra dalam kemampuannya memperlihatkan yang tipik, yang khas, dalam suatu peristiwa individual, sehingga pengertian kita mengenai kenyataan makin diperdalam. Menarik juga bahwa di sini fiksi dan mimesis, dua pengertian yang rupanya bertolak belakang, bergandengan tangan.
Kehidupan dalam sastra dan kehidupan nyata memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling memengaruhi sehingga pembaca mau tidak mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra pada posisi persinggungan dengan kehidupan yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa dengan masyarakat pun berawal dari frase De Bonald yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” (Wellek dan Warren, 1989:110).
Sejak manusia mempelajari sastra, secara kritis timbul pertanyaan sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra..
Mimetik
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau jiplakan) pertama-tama dipergunakan dalam teori-teori tentang seni yang diutarakan oleh Plato (423-348) dan Aristoteles (384-322) yang dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut Plato, tukang yang membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu. Para penyair kalah penting dibandingkan dengan para pembuat undang-undang, penemu-penemu, panglima-panglima, dan seterusnya karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, maka mereka tak pernah dapat dijadikan contoh atau teladan. Maka dari itu, menurut Plato para penyair tak ada gunanya di dalam sebuah negara ideal. Mereka bahkan harus dikeluarkan dari dari negara itu, apalagi karena puisi memberi umpan kepada emosi dan meredupkan akal budi. Itu sebabnya mengapa puisi menghalangi usaha manusia untuk menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Satu-satunya bentuk puisi yang boleh dilaksanakan ialah puisi yang berisikan pujian terhadap para dewa dan tokoh-tokoh yang berguna bagi umat manusia; puisi serupa itu mengarahkan manusia kepada aspek-aspek positif dalam tata negara.
Sekalipun ucapan Plato itu hendaknya kita baca dalam konteksnya (yang ingin digambarkannya ialah sebuah negara yang ideal, yang utopis), tetapi penolakan Plato terhadap puisi cukup mengherankan. Plato tidak melihat kenyataan bahwa seorang seniman, bila ia melukiskan sesuatu, sekaligus juga menciptakan sesuatu. Dengan menolak suatu bentuk sastra tertentu dan menerima suatu bentuk sastra lain (yang bersifat pujian), maka Plato dapat dipandang sebagai penemu lembaga sensor yang tak terpuji itu.
Aristoteles mengoper pengertian tentang mimesis itu dari Plato, yakni seni melukiskan kenyataan, tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan menyimpang dari pengertian Plato, maka teori mimesis ala Aristoteles juga lain daripada teori mimesis ala Plato.
Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas dari yang satu dengan yang lain; dalam setiap obyek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari obyek itu. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru.
Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, cita-cita).
Berdasarkan pendapatnya mengenai kenyataan serta mimesis, maka dalam bukunya yang berjudul Poetica Aristoteles mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai satu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dan ini bukan seperti dalam pandangan Plato, yakni dunia Ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas dari seorang manusia.
Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga : mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, zaman, kepribadian pengarang, dsb. Tetapi, yang satu tanpa yang lain tidak mungkin. Dan, catatan terakhir : perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca. Dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik denga kreatif-mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dari kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserbakekurangannya. Atau lebih sederhana : berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.

Penulis adalah mahasiswa Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara

No comments: