Drama
PEREMPUAN SALAH LANGKAH
Oleh:
WISRAN HADI
BAGIAN PERTAMA
Di tengah pentas ada sebuah meja dikelilingi beberapa buah korsi. Di atas meja, bertaburan majalah, surat kabar, buku-buku, remote control untuk pintu otomatik dan sebuah tape recorder. Sebuah korsi roda berdiri agak jauh dari korsi meja itu. Pada lengan korsi roda tergantung beberapa buah kantong plastik berisi pakaian kotor.
ILAU duduk pada salah satu korsi. Dia menyanyikan sebuah lagu diiringi gitar yang dipetiknya sendiri;
SABDA ALAM
(Ismail Marzuki)
Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Tapi ada kala pria tak berdaya
Bertekuk lutut disudut kerling wanita
Dalam keasyikan itu, sebuah keris bercahaya meluncur pada sehelai benang hitam yang sudah direntangkan sebelumnya, mulai dari bagian kiri atas belakang pentas dan berakhir pada bagian kanan depan pentas. Karena benang hitam tidak begitu jelas tampak oleh penonton, keris itu seperti meluncur di udara.
ILAU merasakan sesuatu melintas di atas kepalanya. Dia berhenti menyanyi dan mendongakkan kepala, tetapi tidak melihat apa-apa karena keris itu telah lebih dulu menghilang. Dia menolah ke kiri dan ke kanan, tak nampak suatu apapun, lalu dia kembali menyanyi.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel. ILAU berhenti menyanyi dan bergegas ke samping pentas, seakan melihat ke jendela. Dia terkejut dan meletakkan gitar di atas meja begitu saja. Dia segera duduk di atas korsi roda dengan sikap yang berbeda sama sekali dari sebelumnya.
Diambilnya remote control dan mengacungkannya ke arah dari mana SINAN akan masuk. Terdengar suara pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU meletakkan remote control dan mengambil sebuah buku. Dialihkannya arah korsi roda pada sisi pentas yang lain, membelakang ke arah SINAN yang akan datang. Dia pura-pura membaca membelakangi pintu.
SINAN masuk. Beberapa saat berdiri memandang seluruh ruangan. Diletakkannya tas tangannya di atas meja dan berjalan beberapa langkah mengelilingi meja.
SINAN:
(Gembira sekali) Ilau, ini aku. Sinan.
ILAU memutar korsi roda memandang SINAN dengan tajam. Ditutupnya bukunya dan dilemparkan ke atas meja. Tampaknya dia marah sekali, tapi kemarahan itu ditahannya. Namun dari nada bicaranya yang begitu sinis terasa sekali dia sedang meredam kemarahan itu sedalam-dalamnya.
ILAU:
O, Sinan..! Tokoh pejuang kesetaraan, he, he. Selamat malam istriku. Sudah selesaikah perjuangan Sinan membela hak-hak perempuan dunia? Sudah samakah hak dan derajat mereka dengan laki-laki?
SINAN:
Janganlah selalu sinis. Bukan aku saja yang dapat tersinggung mendengar ucapan begitu, bahkan semua perempuan.
ILAU:
Tidak, aku tidak sinis. Hanya heran. Sinan kan sudah bertekad tidak mau hidup berdampingan dengan seorang laki-laki yang sehari-hari hanya duduk di atas korsi roda. Setiap orang harus mandiri. Laki-laki dan perempuan harus setara. Yang satu tidak boleh memperbudak yang lain. Begitu kata Sinan bukan? Tapi kenapa tiba-tiba Sinan muncul malam ini?
SINAN:
Kuharap kita tidak mengulang lagi persoalan yang sudah kadaluwarsa.
ILAU:
Baiklah. Lalu, apa perlunya Sinan ke sini lagi? Apa karena kelumpuhanku atau karena ketidakberdayaanku berdiri sama tinggi dengan orang lain, lalu aku dipaksa harus melepaskan hak dan wewenangku sebagai seorang suami? Kemudian, aku tutup mata dan membiarkan Sinan berbuat sesuka hati? Tidak. Tidak akan! Kalau Sinan berjuang untuk mempertahankan prinsip-prinsip hidup, kesetaraan, jender, akupun akan tetap mempertahankan hak-hakku. Aku ini, Ilau!, juga punya tanggungjawab tersendiri atas hak-hakku.
Ayo, buatkan aku kopi panas. Lebih sepuluh tahun aku tidak minum kopi yang diaduk oleh istriku sendiri. Apa? Tidak mau? Baik. Ini, (melemparkan satu persatu pakaian kotor yang tergantung di lengan korsi rodanya), celana, kaos kaki, singlet dan celana dalamku, cuci!
SINAN:
Lebih sepuluh tahun aku tidak pernah lagi mau diperbudak laki-laki. Maaf.
ILAU:
Artinya Sinan masih menganggapku sebagai laki-laki yang tidak perlu dilayani walau suami sendiri. Baiklah. Lalu, buat apa Sinan datang?
SINAN:
Menjemput barang milikku, warisanku.
ILAU:
Apalagi hak milik Sinan yang masih tertinggal di sini? He..he.., cinta agaknya?
SINAN:
Hhh… Ilau kira aku ini generasi Siti Nurbaya? Generasi yang melacurkan diri untuk dapat membayar hutang ayahnya? Generasi Saman atau Supernova? Generasi rabun senja yang tak jelas lagi membedakan yang mana pornografi dan yang mana sastra? Uh! Ilau, Ilau..! Generasi rabun senja yang Ilau maksudkan itu tidak layak untuk pencerahan.
ILAU:
Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Cinta tidak, seks pun tidak, ya jadi malaikatlah kita..
SINAN:
Jangan bercanda! Aku ke sini bukan untuk melawak. Aku punya urusan penting!
ILAU:
Urusan apa?
SINAN:
Aku harus mengambil keris pusaka warisan nenek moyangku.
ILAU:
Keris? Keris pusaka? Sejak bila Sinan punya keris? Di mana keris itu Sinan simpan selama ini? Pisau dapur saja Sinan buang karena tidak mau memasak. Pisau cukurpun Sina buang karena laki-laki tidak boleh klimis seperti perempuan. Apalagi keris? Sinan kan tahu, hanya laki-laki yang punya keris walaupun hanya untuk hiasan pinggang dalam upacara-upacara adat. Keris? He..he.. , banyolan Sinan sudah sangat tinggi, sulit bagiku memahami.
SINAN:
Sudah. Sudah. Semua ingin Ilau komentari. Semua ingin Ilau campuri. Biarkan aku dengan warisanku, dengan keris pusakaku! Apa kerisku akan dijadikan hiasan pinggang, hiasan dada atau pinggul, untuk menakut-nakuti orang, untuk komoditi eksport, Ilau peduli apa.
ILAU:
Katanya Sinan sudah jadi manusia modern? Manusia abad ini. Abad yang ditandai dengan kebebasan, kesetaraan dan kegemerlapan. Ditandai dengan kesamaan hak dan derajat antara laki-laki dan perempuan. Abad yang ditandai oleh perempuan yang telah mengelirukan hukum-hukum agama. Menjadi khatib jumat dan imam dari laki-laki dan perempuan yang sembahyang bersama-sama, he..he..
Sedangkan keris, rumah tua, sawah ladang atau tanah pusaka hanyalah artefak-artefak dari masa lalu. Jejak-jejak kehidupan manusia tradisional, kolot dan sudah dipetieskan jadi sejarah dan diawetkan dalam musium. Begitu kata Sinan bukan? Buat apa lagi semua yang sudah bulukan itu bagi Sinan?
SINAN:
Untuk bukti diri!
ILAU:
He, he.. bukti diri? Apakah diri Sinan sendiri tidak dapat dijadikan bukti bahwa Sinan hadir dalam kehidupan ini sebagai diri Sinan sendiri? Kenapa keris yang harus dijadikan sebagai bukti diri? Sinan kira keris itu semacam kartu penduduk, surat nikah atau surat izin mengemudi?
SINAN:
Dengan adanya keris pusaka itu aku akan dapat buktikan bahwa aku bukan perempuan sembarangan, tetapi pelanjut yang sah dari kepemimpinan negeri ini. Pemimpin dari generasi yang akan bangkit merebut hak-haknya kembali.
ILAU:
O, jadi masih dalam rangka perjuangan jender?
SINAN:
Sekali lagi kuminta, jangan ulang cemooh-cemooh Ilau itu. Aku hafal betul cara Ilau mencemooh dan tahu apa akhir dari semua cemooh itu. Apakah aku akan memperjuangkan kesetaraan atau tidak, tidak seorangpun yang dapat melarang.
ILAU:
Termasuk juga suami.
SINAN:
Termasuk juga suami! Kepandaian Ilau kan hanya melarang, melarang, melarang! Tidak pernah mampu mencarikan sesuatu yang tidak terlarang. Itu sebabnya Ilau kutinggalkan, tahu!
ILAU:
Lalu sekarang Sinan kembali ke sini karena perjuangan kesetaraan itu telah gagal?
SINAN:
Ilau! Jangan sinis kataku!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Sekarang aku tidak segan atau takut lagi bertindak kasar pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak boleh sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak akan kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. (Pergi ke kamar)
ILAU:
Hmm.. dari selembut-lembutnya berubah menjadi singa betina yang menakutkan. Inikah makna dari kesetaraan yang mereka perjuangkan?
(Berteriak ke arah Sinan ke luar) Apa lagi yang Sinan cari di kamar itu, ha! Tidak satupun benda tajam di sana selain kerisku yang tumpul. Buat apa aku menyimpan sesuatu yang tidak dapat memberikan kecerdasan! He…keris yang Sinan cari itu hanya artefak, masa lalu, nostalgia, mimpi-mimpi buruk!
Keris, hehe. Sebilah besi karatan yang tidak relevan lagi digunakan untuk menaklukkan lawan. Hmm! Apa hubungannya sebuah keris dengan perjuangan jender? Apakah semua laki-laki akan ditikam untuk dapat merebut kesetaraan? Dari mana dia tahu bahwa ada keris di rumah ini? Keris biasanya dipajang di musium. Apa dikiranya aku telah merubah rumah ini jadi musium? Musium dengan rumah tinggal jauh berbeda, sayang. He..he.
Memang susah kalau kesetaraan tidak punya rujukan.
SINAN:
(Datang dari arah kamar membawa sebilah keris yang tadi diluncurkan)
Ini baru keris! Ini keris baru! Tidak. Tidak baru. Lama sudah. Beratus tahun. Tak dapat dipungkiri lagi. Keris inilah yang selalu menjelma dalam mimpi-mimpiku. Nah sekarang berada di tanganku. Wujud sudah! Konkrit! Keris inilah akan dapat melegitimasi keberadaan diriku.
Menurut sejarahnya keris ini kembar! Satunya lagi tersimpan di tempat asal. Keris pusaka ini adalah tanda kebesaran dari seorang raja perempuan. Bila aku kini menggenggamnya berarti aku menggenggam kebesaran nenek moyangku.
Yesss!! Bila aku berhasil mendapatkan keris yang satu lagi dan mempersandingkannya dalam sebuah upacara adat raja-raja, maka apa yang diperjuangkan kaum perempuan selama ini akan berhasil. Generasi ketujuh yang disebut-sebut selama ini akan benar-benar wujud menjadi generasi yang eksis, sah, tidak hanya isyu. Generasi ketujuh harus mulai bergerak memimpin perjuangan hak-hak perempuan sedunia!
(Mengacungkan keris ke udara dan berteriak dengan lantang)
Hidup perempuan! Hidup kesetaraan! Buka kutang tinggalkan perbudakan!
ILAU:
He..he, seperti kampanye partai saja. Ya,ya, sekali-sekali tak apalah. O, jadi Sinan menjumpai keris itu di deretan buku-bukuku? Bagaimana mungkin terjadi?
SINAN:
Ilau sudah ketinggalan zaman. Ilau membaca buku hanya sampai pada pengertian teksnya saja. Tulisan apapun dalam buku-buku hanyalah teks, hanya teks! Ketajaman teks tergantung kepada pembaca untuk mengasahnya. Dari balik teks itulah muncul berbagai ketajaman, berbagai bentuk keris, berbagai bentuk senjata. He..he, aku memang tak banyak membaca buku, tetapi aku selalu mempertajam bacaanku dan sekaligus berusaha mewujudkan. Ini buktinya, (mencabut keris dan menghunusnya) ya kan. He..he… sebaiknya Ilau kuliah lagi. Esduakah, estiga atau kedua-duannya sekali, escampur, he..he..
ILAU:
Jadi, di samping membaca buku-buku politik, diam-diam Sinan belajar filologi, tapi sayangnya filologi yang Sinan baca itupun sudah bulukan. Ya, sudahlah. Itu kan hanya persoalan anak-anak sekolah.
He,he, jadi Sinan telah menemukan sesuatu yang tajam dari balik teks yang tumpul. Sinan telah temukan sebuah ketajaman. Ketajaman yang kemudian wujud dalam bentuk sebuah benda tajam. Baiklah. Baiklah. Aku malas bertengkar malam ini, walaupun semua yang Sinan katakan tidak masuk akal. Tapi daripada ketenteramanku terancam, lebih baik aku ikuti saja pikiran Sinan. Ya.Ya. Tadi ada Sinan sebut generasi ketujuh. Nah, apa pula itu? Baru kali ini kudengar. Generasi macam apa pula itu.
SINAN:
Generasi yang akan membangkitkan kembali kejayaan kaum perempuan. Ilau tahu, generasi yang lalu adalah generasi laki-laki dan mereka telah meninggalkan warisan berupa segala bentuk diskriminasi. Tugas generasi ketujuh adalah menghancurkan segala bentuk diskriminasi di dunia ini!
ILAU:
Wah, hebat sekali. Jadi, apa hubungan keris yang Sinan temukan itu dengan bangkitnya sebuah generasi?
SINAN:
Keris pusaka ini merupakan tanda bahwa pemegangnya adalah pemimpin yang sah negeri ini.
ILAU:
He..he..semakin menarik juga pembicaraan kita. Lalu, siapakah pemimpin itu? Sinan kan?
SINAN:
Ya. Siapa lagi.
ILAU:
Sinan, he..he.. Kalau mau bermimpi tidurlah dulu ke kamar sana. Tak mungkin orang bermimpi sambil berdiri, bukan? Sinan, kurang uang lama orang baru tahu. Tapi kurang akal cepat sekali orang tahu. Istriku, kau sudah makan obat belum?
SINAN:
(Marah sekali) Apa-apaan ini! Aku bicara masalah eksistensi perempuan, keberadaan kaumku, aku, generasi ke tujuh di mana aku bertanggung jawab penuh atasnya. Ini bukan persoalan kurang uang atau kurang akal! Ingat! Sejak Ilau kutinggalkan, tidak ada lagi obat yang harus kumakan. Semua obat telah kubuang. Aku kini sehat! Masalahku sekarang bukan masalah obat. Uh, pikiran Ilau kampungan sekali!
ILAU:
Baiklah. Baiklah. Kuikuti terus pikiran Sinan. Lalu, kenapa keris karatan itu dikatakan sebagai tanda lahirnya sebuah generasi? Samakah fungsinya dengan sebuah prasasti?
SINAN:
Aku tak perlu jawab pertanyaan bodoh itu. Sekarang yang jadi persoalanku adalah, bagaimana aku dapat menemukan keris yang satu lagi dan mempersandingkannya, agar tiba masanya untuk sebuah kebangkitan.
ILAU:
Seandainya tidak berhasil?
SINAN:
Pasti berhasil. Untuk itu aku harus berjuang. Itulah yang disebut perjuangan.
ILAU:
O, jadi dapatlah dikatakan bahwa Sinan sekarang pejuang. Seorang srikandi. Ya kan? Baiklah. Tapi dapatkah dikatakan pula, bahwa Sinan kini sedang berada pada perjuangan tahap kedua? Berjuang untuk mendapatkan keris pasangan dari keris pusaka Sinan itu? Memperjuangkan agar kedua keris itu dapat dipersandingkan?
SINAN:
Begitulah. Ya.Ya. Aku senang dengan kalimat Ilau itu. Bernas sekali. Sudah lama aku tidak mendengar kalimat-kalimat yang jatmika. Terus. Terus.
ILAU:
Keris Sinan belum punya pasangan, lalu dicarikan pasangannya. Seperti cerita mencari jodoh saja tampaknya, he..he.. Kalau kedua keris itu nanti tidak mau dipersandingkan, tentu Sinan akan paksa keduanya bersanding demi untuk bangkitnya sebuah generasi. Ya kan? Jangan-jangan nanti akan terjadi kawin paksa pula antara keris-keris itu.
SINAN:
(Naik pitam) Diam! Otak Ilau isinya hanya cemooh, cemooh, cemooh! Tidak pernah mau menghargai perjuangan perempuan!
ILAU:
Jangan marah dulu. Mari kita coba berpikir agak jernih. Sinan mau kan?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Kalau Sinan bicara tentang generasi ketujuh, kedelapan, kesembilan atau generasi entah keberapa, Sinan harus melihatnya dari urutan yang ada dalam sebuah silsilah. Bukan pada adanya keris atau tidak.
SINAN:
Tapi keris ini dapat dijadikan bukti.
ILAU:
Bukti apa?
SINAN:
Bahwa aku keturunan yang sah dari pemilik keris ini. Pemilik keris ini adalah seorang raja perempuan. Jadi, akulah kini yang menggantikan raja perempuan itu.
ILAU:
Raja Perempuan? Nah, bila Sinan bicara tentang raja-raja, itu artinya Sinan sudah beralih pada persoalan yang lain. Tapi baiklah. Jadi, Sinanlah kini yang menggantikan raja perempuan itu?
SINAN:
Ya. Uh, berapa kali harus kuulang. Iya. Iya dong!
ILAU:
Yakin?
SINAN:
Keris itu mulanya hanya ada dalam mimpi. Kemudian wujud menjadi sebuah kenyataan. Karenanya tidak ada alasan bagiku untuk tidak yakin. Ya kan.
ILAU:
Apa hubungan raja perempuan itu dengan Sinan? Benar-benarkah dia nenek moyang Sinan? Bagaimana Sinan membuktikannya tanpa ada silsilah?
SINAN:
Silsilah? (Berpikir beberapa saat, kemudian naik pitam) Jahanam! Ilau ganggu lagi pikiranku! Itu saja kerja Ilau sejak dulu! Ilau gugat ide-ideku, Ilau batalkan semua apa yang kurencanakan dengan alasan logika, logika, logika! Uh.. muak aku! Kini Ilau batalkan pula apa yang telah menjadi ketetapan dalam pikiranku. Aku ke sini untuk mengambil keris pusaka nenek moyangku! Keris untuk dapat meyakinkanku sebagai pemimpin yang sah negeri ini. Lalu, semua itu Ilau sangsikan, Ilau ragukan. Ilau katakan aku harus menyusuri keturunanku melalui sebuah silsilah!
Memang sebaiknya aku jauh dari Ilau! Ilau tak berhak menjajahku dengan pikiran-pikiran Ilau demikian. Aku bicara soal hubungan batin, keyakinan, bukti diri, identitas, Ilau membenturkannya dengan logika. Sudahlah! Jangan paksa aku terus menerus mengikuti apa yang Ilau inginkan.
ILAU:
Dulu Sinan meninggalkanku dengan alasan aku tidak memberikan kebebasan dan peluang untuk kesetaraan. Sekarang aku dianggap pula menjajah pikiran-pikiran Sinan, merusak masalah-masalah kebatinan dan keyakinan Sinan dengan membenturkannya dengan logika.
Jadi, artinya Sinan sudah cukup alasan pula untuk meninggalkanku sekali lagi bukan?
SINAN:
Ya. Aku harus pergi.
ILAU:
Karena ingin mempertahankan keris atau karena mau menjadi perempuan bebas?
SINAN:
Jahanam! Jangan gugat apa yang bagiku telah menjadi tekad! (Pergi)
ILAU:
Tekad dan nekat adalah dua kata yang sama bunyinya untuk akhir kalimat dalam sebuah syair lagu, ya kan? (Melihat keris masih ada di atas meja)
E, srikandi! Keris pusaka tertinggal di atas meja! Benda tak bernyawa seperti ini tidak dapat terbang mengikuti ke mana kau pergi? Ambillah cepat. Tanpa keris nanti perjuanganmu tidak tajam lagi! He..he.. jangan soklah. Keris itu bukan keris keramat. Keris itu hanya tampaknya saja yang keramat karena dapat terbang di udara. Padahal diluncurkan dari atas sana dengan benang hitam! Masa aku dapat ditipu.
(SINAN datang lagi dan cepat mengambil kerisnya).
SINAN:
Cemooh! Cemooh! Busuk hati! Laki-laki macam apa ini! (Ke luar)
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU berdiri mengambil gitar dan memainkan sebuah lagu;
AYAM DEN LAPEH
(Oleh: NN)
Luruihlah jalan Payokumbuah
Babelok jalan kayu jati
Dimalah hati indak ka rusuah
Ayam den lapeh, ai..ai
Ayam den lapeh
Mandaki jalan Pandai Sikek
Basimpang jalan ka biaro
Dimalah hati indak ka maupek
Awak takciuah, ai..ai
Ayam den lapeh
Sikua capang sikua capeh
Saikua tabang saikua lapeh
Tabanglah juo nan ka rimbo
Oi, lah malang juo
Pagaruyuang Batu Sangka
Tampek bajalan urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta
Oi takana juo, ai..ai
Ayam den lapeh
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KEDUA
Tiba-tiba terdengar bunyi bel. ILAU dengan cepat berlari ke jendela melihat siapa yang datang. Dia terkejut sesaat dan kembali menyanyi seperti tidak terjadi apa-apa.
Bel berbunyi lagi.
ILAU menghentikan nyanyiannya dan meletakkan gitar di atas meja. Dia segera duduk di korsi roda dengan merobah sikapnya seperti mula-mula SINAN datang. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Dia mengambil sebuah buku sambil memutar arah korsi rodanya membelakang pintu. Dia pura-pura membaca.
Sinan masuk membawa banyak sekali gulungan kertas dan meletakkannya di atas meja.
SINAN:
Hmmm… akhirnya selesai juga! (Memandang ke arah korsi roda)
Aku telah kumpulkan silsilah dari semua keturunan raja-raja nusantara. Ini. Segulung silsilah keturunan raja-raja dari kerajaan Hulu dan ini, segulung silsilah dari kerajaan Hilir. Ini lagi, segulung silsilah keturunan raja-raja…. (membuka gulungan itu dan membacanya) Kerajaan Minangkabau lama. Sedangkan gulungan-gulungan silsilah yang banyak ini adalah silsilah dari raja-raja Siwijaya, Swarnabhumi, Majapahit, Darmasyraya beserta ranting-ranting keturunan dari raja-raja itu. Uh.. banyaknya.
Semuanya kupelajari. Mencari kaitan dan hubungan antara satu keturunan dengan keturunan lainnya, seakan aku mencari sambungan dari dahan-dahan yang patah, mencari ujung dari ranting-ranting yang mati dari sebuah pohon yang begitu rimbun. Yaya. Aku telah menyusun silsilah, namun sesungguhnya aku belajar sejarah. Silsilah dan sejarah adalah dua hal yang satu sama lain erat kaitannya.
(Memandang ke arah korsi roda ILAU)
Ilau dengar tidak apa yang kukatakan? Ilau pura-pura asyik membaca, padahal sebenarnya karena tidak berani menatapku. Ilau malu karena aku telah mulai membongkar borok laki-laki, itu saja soalnya.
Ayo. Putar korsi roda itu. Menghadaplah ke sini. Hadapilah masa depan, he..he.. Sebaiknya kita bicara berhadapan, walaupun kita tidak berada dalam kesepahaman. Ayolah.
(ILAU memutar korsi rodanya menghadap ke arah SINAN)
Memang meletihkan menyusun nama-nama dari orang yang tidak kita kenal, nama-nama yang entah bila mereka hidup. Ya, begitulah. Aku telah berjuang untuk menjelaskan diriku berasal dari keturunan mana, memastikan siapa sesungguhnya nenek moyangku. Hi..hi…hi, ironinya, untuk sebuah kepastian aku harus bekerja dari sesuatu yang tidak pasti.
ILAU:
Kalimat yang bagus. Untuk sebuah kepastian Sinan telah bekerja dari sesuatu yang tidak pasti. Tanpa sengaja Sinan telah memasuki daerah filsafat ketika dihadang berbagai kesangsian. Bagus sekali. Pada hakekatnya yang kita perjuangkan adalah sesuatu yang tidak pasti, walau tampaknya pasti. Perjuangan Sinan saat ini sama artinya dengan berjuang untuk mewujudkan, mengkongkritkan warna-warna apa yang sesungguhnya hanyalah sebuah fatamorgana.
SINAN:
Maaf, hari ini aku tidak ingin mendengar kuliah, he..he. Ilau tahu apa tentang filsafat! Ilau hanya tahu gitar, lagu, batu domino dalam kemasan dari kepura-puraan. Aku cukup jenuh dengan metafor-metafor, perlambang, tanda-tanda dan entah apa lagi. Aku kini terdesak oleh silsilah yang sudah kususun. Aku harus jujur pada diriku. Aku harus jujur.
ILAU:
Ya, kita harus jujur walaupun kita tak pernah jujur. Begitu kata Sinan dulu bukan?
SINAN:
Ya. Bagaimanapun aku telah berhasil menyusun silsilah kaumku dan telah diakui.
ILAU:
Ha? Sudah siap dan diakui pula? Hebat sekali. Siapa yang mengakui? Apakah ada undang-undang untuk pengesahan sebuah silsilah?
SINAN:
Aku tak percaya undang-undang. Aku percaya pada apa yang kupercayai.
ILAU:
Apa yang Sinan percayai?
SINAN:
Bahwa silsilahku dapat dipercaya.
ILAU:
He..he.. retorika yang bagus. Baiklah. Lalu, apa lagi masalahnya yang menyebabkan Sinan datang padaku?
SINAN:
Aku terbentur pada tiga nama. Aku ingin kepastian dari ketiga nama itu siapa sesungguhnya nama nenek moyangku.
ILAU:
He..he.. Aneh juga ya. Sinan katakan tadi, Sinan yakin pada silsilah ini. Kini Sinan katakan pula Sinan terbentur pada tiga nama. Itu sama halnya dengan tidak yakin, bukan?
SINAN:
Aku ingin minta pendapat Ilau.
ILAU:
Ehm.. jadi aku masih diperlukan juga rupanya.
SINAN:
Mau atau tidak? (Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan melakukan kekerasan saat ini pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Paham!
ILAU:
Paham, paham. O, jadi kedatangan Sinan sekarang minta tolong? Nah, kan jelas. Orang hanyut saja ditolong apalagi yang sedang dihanyutkan, ya kan?
SINAN:
Sudahlah kataku. Sakit telingaku dengan cemooh begitu. Ya, ya! Sekarang aku minta tolong.
ILAU:
Dalam hal tolong menolong seperti ini tidak ada persoalan jender lagi kan?
SINAN:
Sudahlah! Sudahlah! Apa aku harus berteriak-teriak lagi dan bertelanjang bulat berlari sepanjang pantai seperti dulu?
ILAU:
He..he.. telanjangpun Sinan sekarang tidak akan ada lagi yang mau melihat. Sudah lebih sepuluh tahun Sinan menelanjangi diri sendiri, ya kan? Ayolah kita beralih pada hal-hal yang lebih penting. Mana silsilah yang Sinan buat itu?
SINAN:
Ini.
(Sinan membentangkan sebuah gulungan kertas yang besar dan panjang di atas meja. Karena panjangnya, korsi-korsi terpaksa disusun agar kertas itu sama permukaannya dengan permukaan meja. Setelah semua dikembangkan, ternyata silsilah itu sepanjang pentas. Sambil bekerja memajang kertas silsilah yang begitu panjang dia terus bicara)
Ini sebuah kerja monumental. Takkan ada orang yang mampu menyusun silsilah selengkap ini. Memang harus kuakui, ada nama-nama yang kurang jelas dapat dibaca tapi itu tidak berarti silsilah ini ditulis ragu-ragu.
ILAU:
Luar biasa! Luar biasa! Bagus sekali silsilah ini. Warnanya, kertasnya, tulisannya. Jelas dan memang tidak ada yang perlu diragukan apalagi tulisannya jelas dapat dibaca.
SINAN:
Cemooh lagi. Ilau, sudahlah. Sekali-sekali, berhentilah mencemooh.
ILAU:
He..he.. aku hanya bicara apa yang tampak. Orang-orang yang berada di balik nama-nama itu bagaimana aku dapat mengenalnya. Berjumpa saja tidak, selain salah seorang keturunannya, Sinan sendiri. Jumpa Sinanpun hanya dalam beberapa tahun. Lalu Sinan pergi, pergi, pergi… berjuang, berjuang, berjuang.
SINAN:
Semua yang kita lalui itu sudah jadi sejarah. Sudahlah. Yang terbentang dihadapan kita sekarang yang lebih penting dari sejarah kita.
ILAU:
Suka hatilah, Sinan mau bicara apa. Aku sudah letih bertengkar terus menerus.
SINAN:
Makanya! Makanya kita bicara soal-soal yang berada di luar diri kita. Coba perhatikan. (Keduanya memperhatikan silsilah) Bagian yang ini. Nama raja yang satu ini banyak sekali. Dalam silsilah yang ini namanya Mencabik Baju Didada, sedangkan dalam silsilah yang itu namanya Menyuruk Dilalang Salai. Sedangkan dalam silsilah yang itu, bukan yang itu, namanya Dibibir Bertanam Tebu. Apakah ketiga-tiga nama ini orangnya berbeda-beda atau hanya satu.
ILAU:
(Setelah memperhatikan satu-persatu) Jadi mau Sinan bagaimana? Sinan mau agar dipastikan bahwa orangnya satu? Atau memang tiga?
SINAN:
Nama nenek moyangku itu mungkin ketiga-ketiganya. Tapi lebih kuat keyakinanku nenek moyangku adalah Mencabik Baju Didada. Karena dia adalah raja perempuan dan yang mula-mula pula menyadari bahwa dia mencabik baju, artinya dia sudah berpakaian. Sedangkan dua lainnya masih dengan nama tumbuh-tumbuhan. Artinya masih sangat primitif.
ILAU:
Ya, kalau Sinan mau begitu, tidak jadi masalah.
SINAN:
Jadi, Ilau setuju nama nenek moyangku Mencabik Baju Didada?
ILAU:
Tunggu dulu. Kita lihat secara keseluruhan. Kita mulai dari atas. Ini. Sultan Iskandar Zulkarnain. Sultan ini mempunyai anak tiga orang. Sultan Maharaja Alif, Sultan Maharaja Depang dan Sultan Maharaja Diraja. Sultan Maharaja Diraja inilah yang menjadi cakal bakal raja-raja nusantara. Sampai di sini, silsilah ini betul. Terus, terus, terus.. ya betul. Tapi mulai dari sini patut diragukan.
SINAN:
Mulai dari mana?
ILAU:
Mulai dari generasi Mencabik Baju Didada, sampai kepada Yang Menyuruk Dilalang Salai dan terus kepada Yang Bertanam Tebu Dibibir. Masing-masing punya keturunan yang namanya perlu diteliti kembali. Keturunan yang ini, coba baca nama-namanya…
SINAN:
Barandam Tapi Selo, Tangah Duo Kupang, Antene Rabah.
ILAU:
Baca nama-nama pada urutan selanjutnya. Ada namanya … apa ini?
SINAN:
Baliang-baliang Ateh Bukik, Rumah Gadang Katirisan, Sadanciang Bak Basi, Damuik Gadang Kawuik.
ILAU:
Kemudian yang ini…?
SINAN:
Ini nama-nama permaisuri. Jamua Takaka Hari Ujan, Pulang Pai Babasah-basah, Masak Pagi Matah Patang, Talantuang Labiah Bak Kanai, Nan Galak Tiok Salah, Barandam Aie Sabun.
ILAU:
Kalau tidak salah, nama-nama seperti itu hanya ada dalam bahasa Minangkabau. Yang ini lagi.
SINAN:
Nama-nama Tuanku. Hape Basalang, Monicenjer, Vewe Kombi, Kirara Baso.
ILAU:
Nama-nama yang membingungkan. Ada nama.. apa ini…
SINAN:
Raja Muda Dot Kom. Yang ini Dot Koid, Dot Mai, Dot Oerge.
ILAU:
Kukira nama-nama itu nama laman web. Laman tanpa air yang bisa dilayari kapan saja. Apa Sinan tidak keliru menyusunnya?
SINAN:
Tidak. Aku tidak pernah keliru.
ILAU:
Yang paling rumit lagi adalah ini. Mencabik Baju Didada punya keturunan hanya enam generasi. Sedangkan Menyuruk Dilalang Salai punya keturunan sebelas generasi. Sedangkan yang ini, Mangguntiang Dalam Lipatan tidak jelas sudah berapa generasi baginda menurunkan keturunannya.
SINAN:
Tapi aku keturunan dari Uie-Uie Mintak Gatah. Salah seorang dari enambelas orang anak-anak Mencabik Baju Didada. Uie-Uie Mintak Gatah menggantikan ibunya yang meninggalkan karena masuk angin. Dari Uie-Uie Mintak gatah itulah lahir nenekku.
ILAU:
Ya, tapi Uie-Uie Mintak Gatah hanya punya turunan enam generasi. Sedangkan Sinan mengatakan, Sinan adalah pewaris pada generasi ketujuh?
SINAN:
Kalau begitu, sebaiknya aku generasi keberapa?
ILAU:
Coba hitung urutannya. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Ya kan, nama Sinan berada pada generasi keenam.
SINAN:
Keenam? Ah, bagaimana mungkin. Aku semestinya berada pada generasi ketujuh.
ILAU:
Istilah generasi ketujuh ini Sinan dapat dari mana?
SINAN:
Mimpi. Keris itu akan muncul kekeramatannya bila berada di tangan generasi ketujuh.
ILAU:
Kalau Sinan adalah pewaris generasi keenam, tentulah generasi ketujuh jatuh pada anak yang Sinan lahirkan. Sedangkan kita belum punya anak.
SINAN:
Jadi aku harus punya anak? Tidak. (Tertegun, dia memegang perutnya beberapa saat, kemudian berteriak marah sekali) Tidak ada urusan anak di sini. Aku generasi ketujuh! Anak tidak termasuk dalam pembicaraan ini! (Berteriak-teriak) Ilau jangan bicara menyimpang! Anak..huh! Anak apa? Anak lidah! Anak tangga! Anak bola!
ILAU:
Kambuh lagi! E, Sinan! Ada apa lagi ha? Berteriak-teriak tidak karuan. Kalau tidak mau punya anak, tidak jadi masalah. Itu berarti apa yang Sinan perjuangkan selama ini gagal di tengah jalan. Perjuangan Sinan tidak berkelanjutan, tidak berkesinambungan.
SINAN:
(Semakin naik pitam) Aku tidak percaya! Benar-benar tidak percaya! Ilau licik. Ilau giring aku harus punya anak! Apa maksud Ilau? Agar aku harus mengandung dan yang menjadi bapak anakku adalah Ilau? Tidak.Tidak. Status kita memang suami istri. Itu status bukan hakekat.
ILAU:
Mungkin sudah waktunya aku pingsan.
SINAN:
Kenapa harus pingsan? Ilau yang selalu menyanyikan lagu dengan syair-syair demikian, bukan. Lagu-lagu Ilau itulah yang mengajarkanku untuk hidup dan berpikir bebas.
ILAU:
Aku kini semakin tak mengerti jalan pikiran Sinan Apa sesungguhnya yang Sinan harap dari silsilah seperti ini?
SINAN:
Berkali-kali kukatakan. Untuk melegitimasi keberadaanku sebagai pemimpin, tokoh pejuang kesetaraan, pimpinan generasi ketujuh. Tokoh yang bukan turunan sembarangan.
ILAU:
Dan keris yang dulu?
SINAN:
Juga untuk itu.
ILAU:
Silsilah ini sebaiknya disusun kembali secara benar. Silsilah adalah sebuah rajah pertalian darah dari suatu kaum. Karenanya nama-nama yang ada di dalamnya tidak mungkin bercampur-baur dengan pemeo atau pepatah petitih. Apalagi mencampurkannya dengan nama kode ekstensi laman-laman web.
SINAN:
O, Jadi Ilau menganggap semua yang kukerjakan ini main-main! Ini pasti intrik! Intrik Ilau sangat berbahaya. Bagaimanapun, aku tidak akan mempan dengan intrik-intrik demikian. Aku akan buktikan kepada Ilau, bahwa silsilah yang telah kususun ini adalah betul.
ILAU:
Bagaimana Sinan membuktikan betul tidaknya? Sejak mula Sinan sendiri sudah menyangsikan.
SINAN:
Masih banyak cara bagiku untuk meyakinkan diri kita. Sudah. Aku pergi. Aku tahu ujung dari perdebatan ini.
ILAU:
Apa ujungnya?
SINAN:
Ilau pasti akan menyatakan kesedian menyusun silsilah ini kembali dengan syarat aku harus selalu berada di dekat Ilau sampai selesai. Itu berarti aku harus berada di samping Ilau, mematuhi kembali perintah-perintah Ilau, mengikuti sistem perbudakan yang Ilau lakukan dengan dalih cinta, rindu, kebenaran, kesetiaan dan entah apa lagi.
Bukan aku perempuan yang dapat dibuat begitu lagi! No way!
(Ke luar)
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU meninggalkan korsi rodanya dan mengambil gitar. Dia menyanyikan sebuah lagu dengan khusyuk sekali.
TUHAN
(Bimbo)
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku memuja
Dengan segala doa
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku berteduh
Dengan segala keluh
Reff. Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engaku dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dan dosa berpadu
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku memuja
Dengan segala doa
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KETIGA
Tiba-tiba terdengar bunyi bel.
ILAU dengan cepat berlari ke jendela melihat siapa yang datang dan menghentikan nyanyiannya. Gitar diletakkan kembali di atas meja. Dia segera duduk di korsi roda dengan merobah sikapnya seperti pada waktu mula-mula SINAN datang. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Kemudian dia pura-pura sulit sekali dapat menjangkau gulungan silsilah yang terbentang sepenuh lantai. Kertas-kertas itu digulungnya dengan hati-hati. Sekali-sekali dia melirik ke arah pintu masuk.
SINAN masuk membawa sebuah bungkusan kain hitam dan meletakkannya di atas meja.
SINAN:
Luar biasa! Pak Buyung itu benar-benar seorang paranormal yang handal dan dapat dipercaya. Dia dapat melihat sesuatu yang kita tidak tampak. Dilihatnya mataku. Dari mataku itu dia dapat menceritakan tentang diriku. Mulai dari nenek moyang, keturunan kaumku sampai kepada nasibku, akan jadi apa aku pada masa yang akan datang. Dia telah memastikan, bahwa nama nenek moyangku sesungguhnya adalah Uie-Uie Mintak Gatah seperti yang kuyakini sebelumnya. Aku adalah generasi ketujuh, bukan keenam seperti yang Ilau katakan! (Menoleh dengan sinis ke arah korsi roda)
Kadang-kadang aku malu sendiri. (Tertawa sendiri) Pak Buyung dapat mengetahui pakaian dalam yang kupakai! Warna, ukuran dan bahkan parfume yang kusemprotkan pada tubuhku yang paling rahasia sekalipun. Sewaktu aku katakan bahwa apa yang dikatakannya itu adalah benar, dia hanya senyum-senyum saja. Tersenyum seperti saat melihat bunga-bunga mekar di dalam taman. Malu aku karena hari itu aku memakai celana dalam merah yang sudah tanggal jahitannya!
Tapi aku benar-benar puas dapat dipertemukan dengan Pak Buyung. Walaupun aku telah menghabiskan waktu cukup lama menunggu panggilannya, tapi berkat kesabaran dan ketabahanku apa yang kunantikan akhirnya membuahkan hasil juga.
ILAU:
Apa hasilnya?
SINAN:
Kepastian dari sesuatu yang masih kuragukan. Dan ini yang paling penting. Menurut Pak Buyung, apa yang telah kuyakini tentang keris dan silsilah, keyakinanku itu dapat ditambahkan lagi untuk membuat aku semakin lebih yakin. Untuk pengukuhan keyakinan itu, Pak Buyung memberiku sebuah benda keramat.
ILAU:
Benda keramat seperti apa?
SINAN:
Lihat saja nanti. Pak Buyung memberikannya padaku dengan beberapa syarat. Sejak benda ini berada dalam tanganku, aku seperti disiram sebuah tekad yang kuat untuk mengatakan apa yang kuyakini itu adalah sebuah kebenaran.
ILAU:
Wah.. ini sudah jauh menyimpang.
SINAN:
Apa? Menyimpang? Apanya yang menyimpang? Justru Ilau yang selalu menyimpang-nyimpangkan apa yang kuinginkan. Apa salahnya kalau aku berusaha meyakinkan diriku dengan cara yang kutempuh sendiri?
ILAU:
Masalahnya sekarang, bukan salah atau benar. Ingat istriku. Keyakinan harus tumbuh dari dalam diri kita sendiri dan tidak mungkin dapat dibantu dengan benda sekeramat apapun! Penyimpangannya adalah, Sinan minta pertolongan pada benda-benda keramat. Padahal benda-benda itu tidak ada apa-apanya.
SINAN:
E, Ilau pernah belajar psikologi tidak? Ha? Jiwa kita ini memerlukan sugesti! Sugesti datang dari luar diri kita. Apa yang diberikan Pak Buyung, terlepas dari seperti apa benda yang diberikannya, yang jelas benda itu dapat memberikan sugesti. Jadi, kesimpulanku, kekeramatan suatu benda tergantung pada seberapa besar sugesti yang diberikannya kepada seseorang.
ILAU:
Wah. Sinan kini sudah memakai logika mistik. Betul-betul berhasil Pak Buyung menyeret Sinan masuk ke dalam dunianya.
SINAN:
Jangan sinis kataku! Jangan selalu sinis!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Paham!
ILAU:
Paham. Paham. Kalau keyakinan Sinan sudah dibantu menjadi semakin yakin oleh benda-benda yang diberikan Pak Buyung, buat apa lagi Sinan datang padaku? Terlalu banyak aku bicara, dianggap pula aku mau menggerogoti keyakinan Sinan. Aku tidak mungkin mempertengkarkan sesuatu yang telah Sinan yakini.
SINAN:
Aku datang, seperti kukatakan sebelumnya, untuk menjelaskan keyakinanku. Ilau takkan dapat lagi menggoyahkannya. Takkan dapat! Agar Ilau tahu, aku kini berjuang tidak hanya sampai pada persamaan dan kesetaraan saja, tetapi berjuang untuk sebuah keyakinan yang akan dapat kuyakinkan pada orang lain.
ILAU:
Artinya, Sinan akan menghancurkan keyakinan orang lain pula, bukan? Nah, apa bedanya denganku? Tapi baiklah. Benda apa yang diberikan Pak Buyung yang telah dapat membuat Sinan yakin pada keyakinan Sinan?
SINAN:
Ini. Lihat.
(Membuka bungkusan. Setelah kain hitam pembungkus dibuka, ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan kain merah. Kain merah pembungkus dibuka pula, dan ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan hijau. Kain hijau pembungkus dibuka dan ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan kain kuning.
Beberapa saat SINAN diam dan tertegun. Tangannya gemetar.
ILAU:
Terus. Kenapa berhenti?
SINAN:
Berat.
ILAU:
Perlu dibantu?
SINAN:
Saat seperti ini aku tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki.
ILAU:
Walau dengan suami sendiri?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Terserah Sinanlah. Masa bungkusan sebesar itu berat? Sugesti atau sedang akting?
SINAN:
Jangan marah kalau aku tidak mau disentuh. Ini masalah rohani, bukan masalah badani. Ya, ampun beratnya.
(Membuka pembungkus kain kuning itu)
Lihat ini! Lihat!
(Ternyata yang dibungkus kain kuning adalah sebuah patung kayu primitif, yang mempunyai rambut yang tebal dan panjang, serta kuku-kuku yang panjang. Layaknya jasad manusia yang mengecil.
ILAU terkejut melihatnya.
SINAN meletakkan patung itu di atas meja. Pada waktu meletakkan patung itu, SINAN mengikat leher patung pada sehelai benang hitam yang telah digantungkan sebelumnya. Bila nanti benang ditarik, patung itu akan terangkat ke atas dan terus ke langit, hilang)
ILAU:
Apa itu? Mummi?
SINAN:
(Sinan bicara sambil mengikat leher patung itu dengan benang hitam yang telah digantungkan sebelumnya) Ya, mummi. Jasad Uie-Uie Mintak Gatah. Karena kekeramatannya, jasadnya tidak hancur walau telah dikuburkan beratus tahun. Hanya tubuhnya mengecil sedangkan kuku dan rambutnya terus tumbuh. (Sinan selesai mengikat leher patung itu)
Huh! Bukan main beratnya perjuangan mendapatkan jasad ini. Pak Buyung mengakui, dua kompi tentara yang tak tampak dengan mata biasa, bermata merah dengan baju besi, pedang, perisai dan tombak berusaha mempertahankan jasad itu untuk tetap di dalam kuburnya. Mereka adalah pengawal-pengawal setia Uie-Uie Mintak Gatah. Tapi karena aku adalah keturunannya yang sah, serdadu-serdadu perkasa itu terpaksa menyerahkannya kepadaku. Pak Buyung kagum sekali kepadaku, karena telah berhasil mendapatkan sebuah mummi yang selama ini dicari-cari untuk diperjualbelikan. Bagaimana? Ilau masih tidak percaya bahwa aku ini perempuan yang bukan sembarang keturunan?
ILAU:
Tunggu dulu Sinan. Aku seperti mendengar cerita film The Last Emperor saja. Punya pasukan berbaju besi, pedang dan tombak, bermata merah. Maaf, apa Sinan terpengaruh dengan film itu barangkali?
SINAN:
Jangan sinis kataku! Jangan selalu sinis!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Paham!
ILAU:
Paham. Paham. Lalu apa yang dikatakan Pak Buyung pada Sinan?
SINAN:
Pak Buyung tidak berkata apa-apa. Tetapi jasad nenekmoyangku bicara melalui jasadku.
ILAU:
Seperti kesurupan?
SINAN:
Diam kataku! Diam. Kalau Ilau tak paham dunia mistik jangan bicara. Persoalan ini jauh di luar jangkauan logika.
ILAU:
Jadi Sinan benar-benar percaya bahwa mummi itu adalah jasad nenek moyang Sinan sendiri?
SINAN:
Tidak ada alasan untuk meragukannya karena semuanya wujud dihadapanku.
ILAU:
Misalkan mummi itu benar-benar jasad nenek moyang Sinan, lalu apa manfaat yang Sinan dapatkan daripadanya? Adakah mummi itu akan menambah kekuatan dan kegigihan Sinan untuk terus memperjuangkan ha-hak perempuan?
SINAN:
Itu tak penting. Yang jelas kini aku sudah punya bukti-bukti yang meyakinkan untuk memimpin generasi ketujuh.
ILAU:
O, jadi hanya sebagai bukti saja bukan? Syukurlah.
SINAN:
Kenapa?
ILAU:
Aku sangsi kalau-kalau Sinan yakin bahwa mummi itulah yang dapat memberikan kekuatan dan keselamatan lahir batin.
SINAN:
Kalau benar begitu, bagaimana?
ILAU:
Apakah dengan memiliki mummi itu Sinan merasa yakin dapat menjadi pemimpin?
SINAN:
Yakin. Memang begitu menurut Pak Buyung.
ILAU:
Jadi, karena mummi itulah Sinan dapat menjadi pemimpin, begitu bukan?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Artinya Sinan telah menjadikan mummi itu sebagai Tuhan.
SINAN:
Cukup! Jangan seret lagi aku pada pikiranmu!
ILAU:
Aku harus mengingatkan Sinan supaya tidak jadi syirik! Menduakan keesaan Tuhan!
SINAN:
Setelah aku dinobatkan sebagai pemimpin generasi ketujuh, semua persoalan lainnya akan segera kuselesaikan.
ILAU:
Siapa yang akan menobatkan Sinan? Di mana? Bila?
SINAN:
O, jadi Ilau tak setuju aku menjadi pemimpin. Tidak ada larangan perempuan jadi pemimpin apapun, tahu! Sekarang, perempuanpun sudah menjadi khatib pada hari Jumat, menjadi imam dari laki-laki dan perempuan!
ILAU:
Wah, ini sudah keterlaluan. Aku harus melakukan sesuatu.
SINAN:
Apa yang akan Ilau lakukan? Akan menggagalkan upacara penobatanku?
ILAU:
Penobatan seperti itu tidak akan ada. Percayalah. Sinan sudah berada di pinggir jurang. Kembalilah ke pangkuan kebenaran.
SINAN:
Cukup kataku! Cukup! Apakah aku harus lari bertelanjang bulat sepanjang pantai dan berteriak-teriak mengatakan bahwa Ilau telah memperkosa istri sendiri. Memperkosa hak-haknya, kemerdekaan berpikirnya! Diam Ilau! Diam! Aku kini betul-betul sangat marah. Nenek moyangku! Nenek moyangku! Perlihatkanlah kekuasanmu kepada orang-orang yang selalu menyangsikanmu!
ILAU:
Tak perlu Sinan berteriak-teriak memanggil nenek moyang yang sudah mati. Dia tidak akan dapat datang dan tidak mungkin lagi dapat bicara.
SINAN:
(Sebuah ledakan kecil terdengar) Sesaat lagi! Sesaat lagi nenek moyangku datang!
(Setelah ledakan kecil, pelan-pelan patung terangkat karena benang hitam pengikatnya ditarik ke atas. Bersamaan dengan itu, nada suara, cara bicara dan tingkah laku Sinan berubah. Kain hitam, kain merah, kain kuning, kain hijau pembungkus dilambai-lambaikannya selama bicara, dan selama itu pula patung itu perlahan naik ke langit)
Akulah Uie-Uie Mintak Gatah yang terpaksa menghindar dari adikku karena dia inginkan menjadi raja.
Sinan! Kau harus bangkit! Rebut mahkota yang kini berada di kepala orang yang tidak mau berpikir. Pada akhir bulan yang tidak penuh, kau akan dinobatkan sebagai pengganti.
Siapa saja yang tidak percaya akan hal ini, pasti akan menyesal.
Akan tiba masanya kebangkitan itu, Sinan! Tidak seorangpun yang akan dapat menghalang apa yang akan terjadi. Matahari kan terbit, kejayaan akan memancar seperti pancaran warna pelangi. Cucuku, Sinan. Cucuku, Sinan.
(Badannya terhuyung dan kemudian terkapar di lantai dan patung itu hilang diiringi suara gelak ketawa genit perempuan)
ILAU:
Wah, bagaimana ini. (Dia lupa bahwa lumpuh dan berlari mendekati Sinan) Sinan. Sinan. Kejadian apa ini? (Sadar kembali bahwa dia lumpuh dan segera berlari ke korsi rodanya) Sinan. Sinan. Wah, ini sudah keterlaluan. Kejadian ini telah membuat aku lupa pada kelumpuhanku. Wah, malu aku. Maaf.
SINAN:
(Kembali seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa?)
Sempat juga aku tertidur. Mungkin karena terlalu letih barangkali. Aku seperti pernah datang ke rumah ini.
ILAU:
Ya. Ini rumah kita.
SINAN:
Tidak. Ini bukan rumahku.
ILAU:
Lalu, rumah Sinan di mana?
SINAN:
Di atas sana. Di sana nanti aku dinobatkan.
ILAU:
Sinan akan dinobatkan? Sebagai apa?
SINAN:
Sebagai raja yang akan melanjutkan perjuangan perempuan.
ILAU:
Bila Sinan akan dinobatkan?
SINAN:
Ketika bulan tak sempurna penuh.
ILAU:
Tepatnya tanggal berapa?
SINAN:
Tigapuluh februari.
ILAU:
Tigapuluh februari? Gila! Ampun aku. Ampun. Semuanya sudah kacau balau. Penanggalanpun dikacaunya.
SINAN:
(Sadar akan mumminya, dia segera berlari ke dekat meja)
Jasad nenek moyangku hilang! Ke mana perginya? Ilau! Ilau! Pasti Ilau telah menyembunyikan nenek moyangku saat aku tadi tertidur! Kembalikan nenek moyangku!
ILAU:
Aku lihat tadi mummi itu terangkat naik dan terus hilang di atas sana.
SINAN:
Tidak mungkin. Pasti telah disembunyikan. Aku akan bongkar rumah ini sampai menemukan nenek moyangku kembali.
ILAU:
Dia telah diangkat lambat-lambat ke atas sana dengan seutas benang hitam.
SINAN:
Bohong! Jangan main-main dengan nenek moyangku!
ILAU:
Aku tidak bohong. Sedangkan keris yang dulu, yang Sinan katakan dapat terbang karena kekeramatannya, ternyata diluncurkan dengan benang hitam dari sudut atas belakang sana. Mana ada keris, patung rusak yang dapat terbang pada zaman sekarang. Berpikir yang logislah. Kalau begini caranya, aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak, bisa rusak semua.
SINAN:
Aku akan mencarinya sampai dapat. Tanpa jasad nenek moyangku, penobatanku sebagai pemimpin generasi ketujuh tidak akan ada artinya. Ilau! Ilau harus pertanggungjawabkan semua kelicikanmu itu! (Ke luar)
Sinan menarik nafas.
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU:
Aku harus menolongnya sebelum dia tenggelam lebih dalam.
ILAU segera berdiri menghidupkan tape recorder yang sejak tadi membisu di atas meja. Sebuah lagu terdengar begitu keras. Dia menyeret korsi rodanya ke luar dengan cepat.
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KEEMPAT
ILAU masuk mendorong korsi rodanya, sementara nyanyian dari tape recorder masih terus mengalun. Di atas korsi roda itu tampak seorang orang palsu duduk membaca. Ilau membuat orang palsu itu dari bantal-bantal kecil dengan segala perlengkapannya yang telah dipersiapkannya di luar pentas. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Korsi roda diletakkan pada posisi awal sewaktu SINAN masuk. Dia segera ke luar.
Beberapa saat kemudian masuk SINAN berpakaian lengkap untuk sebuah penobatan raja-raja; mahkota, jubah dan keris digenggaman. Dia marah sekali.
SINAN:
Jahanam! Akhirnya berhasil juga Ilau melepaskan dendam! Ah, biar kumatikan dulu tape recorder itu, agar suaraku jelas didengarnya. (Mematikan tape recorder, kemudian meneruskan marahnya) Kau gagalkan semua! Semua! Semua rencanaku telah gagal! Pelantikan batal! Tak seorangpun tamu yang datang! Makanan berlimpah-ruah tapi sudah busuk semua! Hujan datang mendadak diiringi petir dan angin kencang! Gempa dahsyat dan banjir laut! Tsunami! Untung aku tidak mati! Kemegahan yang kubayangkan ternyata sebuah mimpi buruk! Ilau! Teganya kau memperlakukan aku!
Ilau! Dengarkan aku! Dengar! Hentikan sinisme yang meracuni otakkmu itu. O, jadi kau tidak mau mendengar lagi apa yang kukatakan. Baik! Baik.
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Ditariknya korsi roda itu, diguncang-guncangnya, dibawanya berlari berkeliling, kemudian dibalikkannya. Korsi roda itu terbalik, orang palsu itu ikut jatuh bersamaan tumpahnya cairan merah mengucur dari tubuh orang palsu itu. Beberapa saat Sinan tertegun. Dilihatnya darah di lantai. Dirabanya darah itu dengan kedua tangannya dan berlari menjauhi korsi roda.
Darah! (Darah itu diciumnya) Darah atau kecap? (Dicum lagi) Ya, sudah. Darah ya darahlah!
(Dia ketakutan) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Mampus!
(Beberapa saat dia berputar-putar dan suara kembali datar)
Ilau. Sebenarnya aku tidak berniat apa-apa terhadap Ilau. Aku senang sebagai istri. Tapi rutinitas hidup di kota besar ini semakin menjemukan. Untuk mengisi kekosongan waktu, diam-diam aku ikut berpikir tentang kebebasan, kesetaraan dan kata-kata hebat yang tak kutahu seluruh maknanya.
Ilau. Aku hanya seorang perempuan yang ingin menyampaikan pesan. Cintailah kami. Jangan perbudak kami dengan dalih apapun.
Tapi, ah, ternyata akhirnya jadi lain. Aku dirasuk nafsu dengan kata kebebasan itu. Kutinggalkan rumah kita, kutinggalkan kau. Sepeninggal aku pergi, kau lumpuh, dilumpuhkan atau pura-pura lumpuh akupun tak peduli.
Kini aku harus berterus terang. Bukan soal keris, silsilah, mummi, atau pimpinan generasi ketujuh itu yang mendera jiwaku. Tapi ketika kau katakan bahwa aku harus punya anak, di situ aku rasa tertusuk. Menganga sebuah luka, menggenang sebuah sesal.
Ilau, maafkan aku. Aku telah membuang rahimku karena kesetaraan tidak memerlukan rahim. Aku takkan lagi punya anak sebagai risiko dari kesetaraan yang kuperjuangkan.
Kemegahan? O, betapa memukaunya kata itu. Ini. mahkota kebesaranku. Ini jubah kebanggaanku. Ini keris pusaka yang kukeramatkan. (Semua pakaian itu dibukanya an dileparkannya ke sepanuh ruangan) Kini tak ada artinya lagi. (Sinan kemudian berpakaian biasa dengan rambut yang dilepas. Dia tampak sebagai perempuan seperti sediakala menurut fitrahnya)
Ah, Ilau. Betapa tajam matamu menikam mataku saat kita mula bertemu. Nikmat sekali. Tetapi kemudian tikaman-tikaman itu berubah dan menjadi semakin menyakitkan. Aku harus membalas tikaman kata-katamu, tikaman kekuasaanmu, otoritermu. Ya, aku harus menikammu. Karena itu aku perlu sebuah keris. Tetapi, ternyata aku tertikam lebih parah. Tertikam oleh pikiran-pikiranku sendiri .
Lalu, sekarang? Kau sudah tergeletak di korsi rodamu. Aku tak mampu melihat matamu redup tak bermaya. Aku tak sanggup menutup kelopak mata yang terbuka saat kau menghembuskan nafas terakhir.
Kau telah mati maka mati pulalah perjuanganku. Mati pulalah kesetaraanku.
Ilau. Kita akan setara kalau kau masih ada. Tetapi kalau kau sudah tak ada, bagaimana aku meletakkan ukuran kesetaraan? Aku kehilangan rujukan dan perbandingan.
Terdengar suara petikan gitar Ilau, menyanyikan sebuah lagu.
PANGGUNG SANDIWARA
(Achmad Albar)
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran
Berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara
Peran yang kocak bikin orang
Terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang
Mabuk kepayang
Dunia ini bagaikan tragedi dari Yunani
Dunia bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
SINAN mendengarnya dengan teliti. Petikan gitar dan nyanyian itu semakin jelas.
SINAN:
Ilau! Ilau! Suaramu masih kudengar. Petikan gitarmu, oh.. Ah, apakah aku bermimpi? Ilau!
ILAU masuk dengan gitar masih di tangan. Sinan menatap Ilau. SINAN semakin bingung. Dia lari ke dekat korsi roda dan dilihatnya kembali siapa yang telah terbunuh. Dia lari mendekati ILAU dan meraba-raba wajahnya. Wujud! Pasti dia ILAU.
SINAN tertegun beberapa saat. Kemudian marahnya bangkit.
SINAN:
(Berteriak sekuat-kuatnya)
Ilau! Kau benar-benar laki-laki! (Menangis dan memukul-mukul dada) Pencemooh, Tukang intrik, Licik! Busuk hati! Penipu! Berpura-pura! Tapi aku suka!
(Dengan nada gembira seperti waktu Sinan permulaan masuk)
Ilau.. ini aku!
Sinan!
- tamat -
Kualalumpur-Padang, April 2005
No comments:
Post a Comment