"Obee" Rumah untuk Balai Adat Orang Sentani
Rabu, 3 Februari 2010 | 23:01 WIB
"Obee" merupakan salah satu rumah tradisional yang memiliki fungsi sosial budaya sebagai balai adat masyarakat Sentani, Kabupaten Jayapura.
"Sebagai balai adat, obee berfungsi sebagai tempat penyelesaian berbagai kesepakatan atau perjanjian, pembayaran mas kawin untuk pengantin perempuan dan konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat," ujar Peneliti Balai Arkeologi Jayapura, M.Irfan Mahmud,MSi di Jayapura, Rabu.
Menurut dia, seiring dengan perubahan kehidupan sosial masyarakat, sekarang obee tidak hanya sebagai tempat melangsungkan upacara adat, tetapi juga untuk upacara kematian, pernikahan dan kegiatan sosial keagamaan lainnya.
"Bahkan, beberapa kampung di Sentani juga memanfaatkan obee untuk tempat rapat warga secara teratur," kata Irfan yang juga merupakan Kepala Balai Arkeologi Jayapura.
Dia mengatakan, dengan fungsi sosial budaya tersebut, obee memang didirikan dengan tujuan memenuhi kepentingan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan arti "obee", yang menurut bahasa setempat berarti "untuk semua."
Oleh sebab itu, obee biasanya didirikan di dekat rumah ondofolo atau ondoafi (pemimpin para kepala suku) baik di depan atau di samping rumah orang yang memiliki status sosial tertinggi dalam adat sebagai simbol harga diri adat.
Pada umumnya, satu ondofolo memiliki satu obee yang pengelolaan dan pemeliharaannya sehari-hari berada di bawah wewenang koselo (kepala suku).
Obee dapat dikenali dengan mudah dari ukurannya yang besar, berbentuk rumah panggung tanpa dinding, bersifat publik dan berada di tengah kampung.
Selanjutnya Irfan menjelaskan, dalam konsep budaya Sentani, obee sangat sakral dan berdasarkan ketentuan adat, perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak boleh memasuki rumah tersebut. "Sekarang, sering kali ada juga yang naik pada hari-hari biasa," katanya.
Selain obee, masyarakat Sentani mengenal rumah "kombo" sebagai pusat pendidikan bagi remaja laki-laki dan "khogo" untuk rumah tinggal.
Masyarakat Sentani Bangun "Khogo" Sebagai Tempat Tinggal
Kamis, 4 Februari 2010 | 00:35 WIB
Masyarakat Sentani, khususnya yang mendiami Kampung Babrongko, Kabupaten Jayapura, secara bergotong royong membangun rumah tradisional "Khogo" sebagai tempat tinggal.
"Khogo adalah salah satu dari rumah tradisional masyarakat Sentani, khususnya Kampung Babrongko. Rumah tinggal ini biasanya didirikan di atas air yang ditopang tiang yang ditancapkan pada lubang," kata Peneliti Balai Arkeologi Jayapura, M Irfan Mahmud MSi di Jayapura, Rabu.
Menurut dia, arsitektur Khogo sangat sederhana dan rata-rata dibangun hanya dalam waktu seminggu jika bahan dan tenaga kerja telah siap.
Pada masa lalu, lanjut Irfan yang juga Kepala Balai Arkeologi Jayapura, konstruksi rumah tinggal keluarga Sentani dibangun tanpa dinding. Sebenarnya dinding rumah tersebut merupakan atap yang terbuat dari daun sagu, disusun berbentuk prisma dengan kedua ujungnya bertemu lantai.
Adapun ruangan di dalam rumah orang Sentani cukup terbuka. "Pembagian ruangan belum terlalu tegas antara ruang tamu, ruang tidur dan ruang makan. Jadi, anggota keluarga bisa makan dan tidur di beberapa tempat kecuali dapur," ujar Irfan.
Secara tradisional, konstruksi rumah tinggal masyarakat Sentani menempatkan bagian depan rumah tepat di bibir danau, menghadap ke daratan. Sedangkan bagian belakang rumah berada di atas air dengan dapur dengan dapur yang dibangun terpisah.
Irfan mengatakan, rumah masyarakat Sentani pada masa sekarang telah mengalami banyak perubahan sesuai dengan perkembangan kehidupan.
"Sekarang ini sudah banyak masyarakat yang mengganti atap rumah tinggal dengan seng. Ruangan dalam rumah juga sudah dibagi dan dibatasi dengan dinding tipis yang terbuat dari tikar kulit kayu," ujarnya.
Walaupun bahan konstruksi dan arsitektur rumah tinggal masyarakat Sentani cukup banyak berubah, kebiasaan saling menolong secara bergantian dalam membangunnya tetap menjadi tradisi yang terpelihara sampai sekarang.
Selain Khogo, masyarakat Sentani mengenal rumah "Kombo" sebagai pusat pendidikan bagi remaja laki-laki dan "obee" yang berfungsi sebagai balai adat.
Pesta Adat Tulude Bangkitkan Rasa Kebersamaan
Sabtu, 30 Januari 2010 | 01:33 WIB
google.com
MANADO, KOMPAS.com — Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang mengatakan, pesta adat tulude membangkitkan rasa persatuan dan kebersamaan dalam membangun bangsa.
"Kegiatan ini mempererat tali kebersamaan dan persaudaraan serta akan menggelorakan semangat untuk membangun," kata Sarundajang pada acara Tulude di Manado, Jumat (29/1/2010) malam.
Kegiatan Tulude sebagai ucapan syukur masyarakat Nusa Utara, yakni Kabupten Sangihe dan Talaud, yang ada di Manado tersebut dilaksanakan di Lapangan Tikala Manado, dihadiri antara lain tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pejabat di daerah itu.
Sarundajang mengatakan, tulude sarat dengan nilai-nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta nilai-nilai yang akan memberikan motivasi bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam melaksanakan pembangunan.
"Pesta adat ini merupakan kewajiban kita semua untuk terus melestarikannya karena sebagai aset daerah maupun bangsa," katanya.
Dia memberikan apresiasi yang positif serta bangga kepada masyrakat Nusa Utara karena mampu mempertahankan budaya lokal yang sarat dengan religius itu.
Ketua umum pelaksana Tulude Nusa Utara 2010, Lederik Takaendengan, mengatakan, tulude merupakan ucapan syukur warga Nusa Utara kepada Tuhan karena berhasil melawati tahun 2009 serta memohon perlindungan penyertaan Tuhan pada tahun 2010 supaya diberikan keselamatan dan kesejahteraan.
Kegiatan ini dijadikan momentum warga Nusa Utara untuk ikut aktif membangun Sulawesi Utara menuju kesejahteraan bersama.
No comments:
Post a Comment