Friday, 5 February 2010

Hikayat Penebang

Puis-puisi Dody Kristianto
Hikayat Penebang

kami memilah sebatang demi sebatang kayu

di hadapan kami, tak peduli kelak mereka menjelma

sebatang korek api

-- yang memberi kami sepercik

jejarum api nan menyambar segala tubuh, atau malah

berubah musim paling terang di antara cecabang hujan

yang tak kunjung kami rasakan

-- atau selembar kertas--

tempat sajak kelak dilahirkan, tempat kata-kata kami

biasa berpinak, berbiak, bergerak mendesak tatap demi tatap

yang biasa memandang huruf, kata, dan kitab yang kian alpa

kami lantunkan--

tapi sungguh, kami tak kenal sajak

kami hanya mengenal kampak yang tak mampu membedakan

batang leher dan urat kayu: wujud yang sama,

wujud yang sekejap menipu mata

2009

---

Madah Orang Kusta

tuan, kami mudah terluka. kami selalu mendengar

kata-kata dusta: kata yang perlahan merasuk dalam tubuh kami

menggeliat di lingkar kulit kami, lantas meminta lepas,

perlahan menjelma burung terbang ke ketinggian

2009

---

Doa tentang Rumah

jendela :

kami lebih senang memandangi gambar rembulan

tak alpa kami aturkan salam baginya maupun bagi

semua pengelana yang melenggang di depan altar

dari doa mereka, kami menyampaikan warna hati kami

yang tenang, walau sesekali tatap kami dihadang suram

pintu:

dua langkah pejalan, sembari mereka menerka

mana awal atau akhir menuju jantung kami

sebab dari mereka, kata-kata atau mantra dusta

kerap meluncur, memencar, berpendar

kami tak ingin mantra-mantra itu bertebar,

membisiki telinga para bayi yang dibalut lelap

kami ingin menjaga senyap di penjuru ruang

atap:

terkadang kami bersahabat dengan hujan,

namun tak jarang kami menghalang kelebat air

yang lupa pada ketinggian itu

sungguh, kami ingin terbebas dari jejarum tajam

matahari yang hendak menjeram lembut matahati

kami. sebab kami hanyalah sang penghadang,

yang menyelubung mimpi tuan dan puan kami

beranda:

selamat datang, selamat jalan bagi tapak

yang senantiasa bertandang. salam sekian

salam bagi sekian bebayang yang tak bosan

menjadi penampakan bagi hati kami:

-kami selalu terbuka bagi jiwa-jiwa kelaparan

atau semua perasaan yang gentayang-

2009

---

Mantra Pengelana

tuan, buka pintu, kami pengelana kelaparan. berabad sudah kami

berjalan. tetapak kami kuat menjejak, tapi tak kunjung kami jumpai

ia, sang penunggu-yang menunggu kami di kala bulan purna tiba.

kami kelaparan tuan, setiap pintu yang kami datangi menutup diri,

setiap mata yang menatap kami menaruh benci. bahkan bebayang kami

kian tak sudi menguntit tubuh lusuh ini. buka pintu tuan, kami pengelana

yang lupa jalan pulang. segala rumah nampak sama dalam pandang kami.

semua peta jalan kami menjelma sepi. belukar duri pelan membebat panjang

langkah kami. sebab kami sudah alpa pada wajah kami. kami sudah lupa

nama kami. kami tak ingat lagi siapa kami. tuan, buka pintu tuan, kami

pengelana kelaparan

2009

---

Si Bayangan

ampunilah kami yang hanya mampu menjadi penguntit abadi,

bahkan kami tak dapat menatap tubuh kami, kami hanya bias

meratap, sebab tak ada liang yang mencipta kami.

Jugamengucap nama kami perlahan. kami kian menjelma si pejalan,

yang mengawal ia : sang sempurna. meski satu ketika, ia tak lebih

dari si siam, ketika sepasang pandangnya mulai ditutup dan tubuhnya

yang purna lamat-lamat angslup

2009

---

Mata Batu

aku mengampuni engkau yang sungguh tak mampu membedakan aku

dan bayangan. bahkan sepasang tatapmu lebih gemar mengenang malam

ketika seekor gagak bertandang, melepas sebadan dan sekerat tai

di keras lengang badanmu yang menghujam. tapi aku mengingatmu

serupa si pemburu, yang pandai bersiasat, yang pelan menguntit dan bersiap

menghunus sebilah pedang di gugup jantungku

2009

Dody Kristianto , lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI)


Korsakov!
KEPADA sahabatku: Jay

Seperti pernah kukatakan padamu, hari inilah aku mencatat sejarah dalam hidupku. Kan kulintasi beberapa benua, beberapa lautan, beberapa negara. Trip ini juga jauh lebih menegangkan dari Ekspedisi Kilimanjaro, karena dalam misi ini terdapat pertarungan hati dan masa depan, dengan memakan waktu 12 jam penerbangan, menyinggahi empat bandara.

Jay, temanku yang selalu kurindukan.

Masih sanggupkah seorang laki-laki menjeratku sedemikian rupa? Sering kukatakan padamu bahwa hidup kita ini misterius. Begitu banyak hal terjadi di luar rencana. Itulah keajaiban. Meskipun kau bilang tidak pernah ada kebetulan atau keajaiban di dunia ini. Semua hal terjadi karena ada perencanaan dan ada kemauan untuk mencapai atau melampauinya. Kau katakan pula bahwa hidup ini dipenuhi hal-hal rasional yang mendasari perilaku dan tata kehidupan sehari-hari. Hanya manusia primitif saja yang percaya pada keajaiban. Menurutmu, kebetulan adalah bertemunya dua faktor secara bersamaan, yaitu harapan dan kesempatan.

Jay, kau sama seperti dia.

Ketika kukatakan padanya bahwa nasib percintaan kami bukanlah sebuah kepastian, dia menolaknya. Hidup kita adalah milik kita. Kita sendirilah perencana dan sekaligus pembuat keputusan bagi seluruh hidup kita, begitu katanya. Dan kami pun bersitegang karena itu. Aku percaya pada kemustahilan-kemustahilan yang kemudian menjelma menjadi kenyataan. Tuhan menciptakan semuanya demikian detail dan sempurna. Dan bagi Tuhan, sungguh tak ada satu hal pun yang sulit. Hanya dengan bersabda kun fayakun, maka jadilah kehendak-Nya. Sedangkan dia menilai bahwa sebuah peristiwa adalah hasil perbuatan kita sendiri. Baik dan buruk itu adalah hasil yang kita petik dari keuletan dan usaha kita sebelumnya.

Tetapi, apa pun kesimpulan dari persitegangan itu toh akhirnya aku memutuskan pergi jauh menemuinya. Kesepakatan kami adalah: cinta mesti diperjuangkan, tidak sekadar ditunggu lalu terjadilah itu.

Januari masih terlalu dingin di kota Korsakov. Menurutku, dingin itu soal persepsi. Manusia dibekali banyak kemampuan untuk beradaptasi dengan segala cuaca. Bagiku tak masalah seberapa dingin cuaca di kotanya yang aneh itu, yang konon kehidupannya sungguh monoton, dengan makanan yang hanya keju dan susu, hiburan yang hanya penari telanjang di kelab-kelab malam. Maka, kehadiranku bakal menjadi semacam musim semi di tengah gerai salju.

Jay sahabatku yang tak pernah bosan pada cerita-ceritaku...

Ku mulai perjalanan mendebarkan ini. Hidupku, masa depanku, sisa usiaku, tergantung pada perjalanan ini. Dan aku tak mampu melukiskan seperti apa gegas dalam diriku ketika aku memandangnya dalam jarak tanpa batas. Keputusan ini berawal pada pengumuman yang mencantumkan namanya dalam sebuah program S3 di St. Petersburg, membuatnya tak mampu memenuhi janji datang padaku di bulan Januari.

''Maukah kamu datang dan menemaniku sampai saatnya aku masuk kelas di St. Petersburg?'' Suaranya merdu dan seksi. Melambai-lambai.

Aku shock! Telepon yang kugenggam waktu itu hampir terpental.

''Setelah itu kita akan buat sebuah pembaruan hidup bagi kita.''

Kita? Pembaruan hidup? Kalimat itu, kalimat tantangan sekaligus hiburan bagi pengembara di padang tandus semacam diriku. Yap! Korsakov! Bayangkan Jay... Korsakov!

Pagi buta menyeretku tergopoh-gopoh menuju Bandara Internasional Changi yang sibuk luar biasa. Pernahkah ada ketenangan dalam hati yang tergesa-gesa ingin menemui kekasihnya? Tidak juga aku. Dan juga ketika aku harus tidur semalam di Bandara Narita, itulah penyiksaan paling buruk dalam sejarah penantianku. Namun aku menguatkan diriku bahwa semuanya segera berakhir. Dan begitu aku bertemu dengannya, maka lunaslah segala derita panjang ini.

Jay, kau tahu bagaimana rasanya bisa memandang sosoknya dalam bentuk nyata?

Dengan feri aku meninggalkan Wakkanai, Hokkaido, membelah teluk Aniva menuju dermaga Korsakov di mana dia berdiri. Dari kejauhan mataku segera dapat mengenalinya, wajah tampan perpaduan dari Dmitry Korsakov dan RA Rahajeng Kusumastuti. Dia melambai disertai senyum aristokrat yang diwariskan ibunya. Dadaku serasa hendak meledak oleh lesakan rasa gembira yang membusung secara tiba-tiba, membutuhkan aliran untuk meleleh dengan segera, sebelum aku meledak bersama rasa suka cita.

Jay, kau pasti tahu bagaimana rasanya.

Aku bahkan tak peduli pada dingin bibirnya yang mencium pipiku bertubi-tubi. Bukankah Januari seharusnya memang masih dingin? Dan ingatlah bahwa aku segera menghangatkannya.

Memandang kedua matanya yang berwarna hijau dan bibirnya yang merona kemerahan membuat luluh lantak seluruh format hatiku. Dia membuat hard disk-ku tak dapat dikenali lagi partisinya. Mana jantung, mana hati, mana lambung, tidak jelas lagi fungsinya.

Jay, inilah surga itu! Sekarang aku berdiri di halaman rumahnya yang menyerupai gedung Grahadi dalam skala kecil. Halaman rumput yang luas dan pohon-pohon maple di sekelilingnya, dan juga cemara-cemara. Rumah yang megah pada sebuah kota kecil yang hanya dihuni 35.000 jiwa dengan latar depan laut dan teluk dan latar belakang hutan-hutan cemara. Sungguh dia tak membual bahwa kota ini hampir seperti kota mati di musim dingin seperti ini. Hanya sesekali saja terdengar lalu lalang kendaraan, itu pun lebih sering mobil pencair salju. Dari dalam jendela istana yang besar dan bertirai warna putih tulang, butiran salju yang turun bagaikan buliran stereofome yang dihamburkan dari langit. Pohon-pohon di luar sana tak lagi terlihat hijaunya, seluruhnya putih. Tetapi aku tergulung bahagia. Tak ada penamaan untuk bahagia yang bertubi-tubi kecuali bahagia itu saja.

Jay, temanku yang tak pernah pudar oleh masa.

Siang hari terasa masih terlalu pagi ketika dia menawarkan menu makan siang untuk kami. Tetapi bagiku yang lebih menarik adalah sebuah grand piano di tengah ruang keluarga itu. Tiba-tiba dia duduk di depan piano dengan anggunnya.

''Sambil menanti daging kita siap disantap, mari kutunjukkan padamu bagaimana sebuah simponi dimainkan untuk sebuah cinta,'' katanya seraya memintaku duduk di sampingnya.

Jemarinya yang halus menyentuh lembut tuts piano peninggalan buyutnya itu, lalu mengalunlah Nocturne yang menyayat bilik hatiku. Pantulan energi klasiknya menyusupi rongga-rongga dalam jiwaku yang terpanggang sepi di antara hiruk-pikuknya dunia. Begitu sempurnanya hingga aku tak dapat membedakan apakah itu Nickolay Erlangga Korsakov ataukah Frederick Chopin yang memainkannya. Aku berdiri dalam jarak beberapa depa untuk memastikan itu benar permainan dia, dan ketika permainan sampai di ujung penghabisan, aku merasa inilah sesungguhnya sosok laki-laki yang kurindukan untuk menggenapi dahagaku.

Tetapi mengapa Nocturne?

''Kau suka?'' Dia menoleh dengan senyum teduh yang membuatku jatuh cinta dari menit ke menit. Kukatakan, ''Tidak, aku tidak menyukainya...tapi aku tergila-gila padamu.'' Dia merengkuhku dengan hangat. Seperti selembar selimut menghangatkan seluruh tubuh di bulan yang dingin ini.

''Mengapa Nocturne?'' tanyaku, ''Bukankah lagu ini dicipta oleh komposernya akibat rasa sedih dan sepi yang menyayat di malam hari?''

''Ya, tetapi sebuah komposisi tercipta tak akan mampu menghadirkan roh dari ciptaan itu jika tak disertai cinta yang dalam ketika proses penciptaannya.''

''Tetapi menurutku Nocturne itu lagu sedih,'' sanggahku, ''Tidak sesuai dengan suasana hati kita yang sedang bahagia.''

''Tetapi kau hanyut ketika aku memainkan?'' Aku mengangguk.

''Karena di dalam permainan dan penikmatan ada cinta yang saling memberikan energi, dan energi positif dari dua orang yang saling mencintai bukan sekadar menyehatkan, melainkan juga menghidupkan. Ia seperti air yang disiramkan pada sebatang pohon setelah melewati musim kering yang panjang.''

Jay, apakah ada alasan bagiku untuk tak bahagia dalam suasana semacam itu?

Sekarang, tak ada bedanya siang dan sore di kota ini, tetapi malam dapat ditandai dengan gelap yang perlahan-lahan merengkuh bumi dengan warna putih salju tetap menghiasi seluruh permukaannya. Agenda besok pagi telah tersusun rapi: mengunjungi grocery store satu-satunya dengan dagangan yang didominasi blueberry, dan tentu saja menikmati restoran yang hanya dua buah, dengan makanan ala Rusia.

Surga itu telah kugenggam Jay, aku tak akan melepasnya lagi, untuk alasan apa pun. Dan benar belaka bahwa cinta harus diperjuangkan, lalu malam itu aku terlelap di atas kasur bulu angsa yang empuk dan selimut yang terlalu lembut hingga tak kusadari pagi menjelang dan suara gaduh mengetuk pintu kamarku.

Jay, episode yang berbeda mendadak harus dimulai dari sini.

Seorang pria Rusia mengenakan topi kerja dengan celemek di tubuhnya berdiri melotot di depan pintu ketika aku membukanya. Dia berusaha menyapa dengan bahasa yang tak kukenali. Aku celingukan mencari-cari di mana Nick, kekasihku. Pria itu terus berusaha berkata-kata, aku juga berkata-kata dalam bahasa Inggris. Tetapi kami tidak menemukan titik temu. Dengan baju tidur dan sleeper aku berusaha mencari dan berteriak memanggil Nick, ke ruang makan, ke perpustakaan, ke halaman belakang dan pria itu terus membuntutiku. Setengah menangis aku menjeritkan namanya secara lengkap: Nickolay Erlangga Korsakov....!!!!!!

Laki-laki itu memegangi pundakku dengan tekanan. Aku mulai ingin menangis....

''Speak in English please...,'' pintaku. Lalu pria itu mendekati telepon, aku terduduk lesu di sofa yang semalam kunikmati berdua. Ke mana gerangan Nick?

Beberapa menit kemudian datanglah dua polisi berseragam. Oh Tuhan, mereka pikir aku penyusup? Jay, wajahku pasti sudah pucat pasi karenanya. Seluruh tulangku rasanya melemah. Ada apa ini?

''Good morning, can I help you Miss...,'' polisi yang masih muda menyapaku.

''Sri Sulastri,'' jawabku bingung.

''Your passport, please...'' Dengan wajah pilon aku berjalan ke kamar dan menarik day pack yang belum sempat kurapikan.

Setelah membaca pasporku berkali-kali, membolak-balik, akhirnya dua polisi itu memintaku duduk. Dengan lembut ia bertanya untuk apa aku di sini, dan dengan kejujuran dan keluguan aku katakan aku datang untuk menemui Nick, yang saat ini tiba-tiba raib entah di mana.

Jay, sekarang aku seperti seorang pesakitan yang menghadapi tiga penuntut umum, dua polisi dan seorang pekerja di rumah ini. Surga dan neraka tiba-tiba begitu dekat jaraknya. Aku tak tahu akan ke mana sebentar lagi. Seumur hidup aku tak pernah berurusan dengan polisi, tiba-tiba sekarang aku harus berhadapan polisi di negeri orang. Jay, aku ingin menangis sejadi-jadinya.

Lalu polisi muda itu memandangku dengan iba.

''Are you sure you've been with him last night?" Aku mengangguk, menahan air mata.

''It's impossible...''

''No!!" sergahku. ''He played that piano, we got twice meal...talked in this sofa and we plan to get out to day...''

''Miss Sulastri...Mr Nickolay Korsakov is in hospital, since 5 days ago..''

''Noooooooooo!!!!" teriakku. Selama lima hari itu dia selalu berkomunikasi denganku via messenger, e-mail dan SMS. Mengapa mereka mengatakan Nick koma di rumah sakit karena kecelakaan?

Jay, benarkah surga dan nereka itu berdekatan hingga kita tak dapat menerka di mana garis batasnya?

Pagi itu tentu saja masih dingin, tetapi aku ingin berlari menerjang butiran salju untuk mengejarnya di Korsakov Rayon Hospital yang berjarak sekitar satu kilometer. Masih dengan baju tidur dan sleeper aku berlari sekuat tenaga menapaki halaman luas itu. Tetapi mereka mengejarku, petugas house keeping itu memakaikan mantel bulu pada tubuhku dengan wajah dingin dan mata kebingungan. Pak polisi menunggu seperti hendak memasangkan borgol di kedua tanganku. Maka, begitu mantel itu terpasang, aku segera berlari sambil menahan derai tangis. Mereka ikut berlari di belakangku, sambil meneriakkan namaku dalam aksen yang aneh.

Di halaman rumah sakit yang lengang itu mereka berhasil mengejarku. Aku menggigil kedinginan. Air mataku tumpah tanpa mampu kukendalikan lagi. Dua polisi itu berbicara dengan petugas house keeping, lalu menggandeng tanganku. Tetapi petugas house keeping itu menyuruhku duduk dan menyerahkan sepasang sepatu. Ketika aku diam saja tak berbuat sesuatu, ia mengangkat kakiku dan memasukkan ke dalam sepatu longgar itu. Semuanya berjalan bergelombang dan seperti di atas kapal yang berayun-ayun, aku hanya mengikuti ke mana polisi itu membawaku.

Jay, aku benar-benar menangis dengan suara sekarang.

Di sebuah ruangan ICU dia tergolek di situ, memejamkan mata, dengan berbagai peralatan terpasang di tubuhnya. Benar Jay, dia Nick, kekasihku yang tampan itu, yang seharusnya bermata hijau dan berbibir merah. Tetapi dia pucat, dia tidur, bahkan ketika aku menyentuh tangannya dan menggenggamnya erat sekali, seraya menyebutkan namanya berkali-kali. Aku berharap keajaiban itu datang, malaikat yang baik hati membuka mata Nick lalu dia bangun dan memelukku, seperti tadi malam.

Tetapi polisi dan para medis itu bersikeras bahwa Nick sudah lima hari tergeletak di sini. Lalu siapa yang bersamaku kemarin dan semalam? Jay, siapakah yang tidak waras di antara kami? Aku yang sedang menumpahkan seluruh rasa cinta atau para dokter dan polisi yang dingin dan tak punya perasaan itu? ***

Surabaya, Desember 2009: Untuk Firman Chaniago


Tentang Ayam Jantan yang Jatuh Cinta pada Bulan
(Kepada: Sujiwo Tejo, Ags Arya Dipayana, dan Nanang Hape)

''BULAN purnama,'' begitu bisik seekor musang, sesaat ketika hendak menggigit leher ayam jantan muda itu, ''...memberimu pesona luar biasa. Sungguh malang, makhluk di bumi ini yang tak bisa bahkan menyaksikan cahayanya. Seperti kau ini...'' Lalu musang pun tergelak-gelak penuh kemenangan.

''Dunia ini sungguh adil. Di malam hari, kau dibutakan, sementara mataku dinyalangkan. Alam menjadikanmu sebagai santapanku. Hahahahaha... Sejak matahari tenggelam, kau buta. Dan aku yakin benar bahwa kisah tentang rembulan yang kini tengah bertengger megah, cantik, mempesona itu, belum pernah kau dengar sama sekali.

Makhluk malang. Tapi, barangkali saja, kau sedikit lebih beruntung daripada cacing. Dia bahkan tak bisa membedakan cahaya matahari dan bulan... Hahahahahahahaa...''

Mendidih darah muda ayam jantan itu, demi mendengar penghinaan yang melumuri jiwanya. Dia, keturunan ketujuh Sawung Galih, ayam petarung paling ditakuti dan disegani di zamannya, tak bisa menerima kenyataan dihina oleh seekor musang. Darahnya mendesir, menjalari seluruh tubuhnya.

Dan pelahan, kekuatannya pulih, setelah beberapa saat lalu bagai remuk ditubruk si musang celaka. Tajiku, taji Sawung Galih dan di sana menderas daya penghancur lawan. Jika dalam sekali tendang, kau tak hancur, jangan sebut aku keturunan Sawung Galih.

***

Maka, kisah taji Sawung Galih pun kembali mengharum di antara mereka. Jago-jago petarung dari berbagai daerah merasa gentar setiap mendengar kisah bagaimana sepasang taji itu berhasil mencungkil sepasang mata musang. Ke mana pun dia pergi, tak ada yang berani menatapnya, kecuali --tentu saja-- para betina, yang diam-diam berharap dapat menikmati kejantanannya.

Kokoknya akan membangunkan matahari dan kepak sayapnya membuat jago-jago lain memilih mencari kutu. Lehernya besar, kokoh dengan bulu-bulu merah darah berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari. Paruhnya runcing, nyaris tak ada lekukan. Sepasang matanya nyalang, seakan menyelidik siapa yang bersikap menantang. Seekor ayam kate, diam-diam telah menyiapkan sebuah balada untuknya, namun yang selalu merasa gagal menemukan kata-kata.

***

Namun, itu semua dinikmatinya hanya ketika matahari masih menguasai bumi. Manakala senja turun, dan hanya keremangan yang melingkupi sepasang matanya, Sawung Galih --akhirnya nama itulah yang dikenakan kepadanya-- merasa kesepian. Aneh, kisah rembulan purnama yang dituturkan si musang beberapa waktu silam itu, selalu hadir ketika senja membayang.

Mungkinkah ini semacam kutukan? Bangsa ayam tak bisa menikmati indahnya purnama? Diam-diam, dia mencoba mengingat-ingat dongeng induknya, yang selalu berkisah tentang siapa Sawung Galih dan bagaimana kehebatan ayam jantan petarung itu di zamannya. Dongeng itu akan mengantarkannya pada mimpi indah, di balik kehangatan sayap induknya.

Namun, memang sangat jarang kata ''bulan'' muncul dari mulut induknya. Kalau pun ada, tentu hanya digunakannya sebagai bahan ejekan bagi kaum pungguk.

''Tapi, apakah ibu pernah melihat bulan?'' tanyanya suatu kali dulu.

''Untuk apa? Apakah matahari tak cukup baik bagimu? Tidur! Kau harus malu jika saat ini matahari masih mendengar suaramu,'' ujar induknya seraya merapatkan sayap-sayapnya.

Bangsa ayam ditakdirkan untuk hanya mengenal matahari dan meniadakan bulan dalam hidupnya. Itu sebabnya dia menjadi terheran-heran ketika suatu ketika --tanpa sengaja-- mendengar percakapan dua tikus muda dari balik reruntuhan kayu, yang berkisah tentang gemerlapnya bintang-bintang mengelilingi bulan. Dia sendiri tak paham setiap kata yang diucapkan, namun anehnya, keindahan yang diungkapkan para tikus itu seperti mendapatkan jalannya sendiri hingga sampai di pemahamannya yang paling dalam. Ayam jantan itu menghela napas.

Entah mengapa, Sawung diam-diam merasa iri pada kaum jangkrik, yang selalu menyanyi memuja-muji purnama. Setiap malam, begitu senja lenyap digantikan gelap, kaum jangkrik dengan riang gembira menyanyikan lagu. Mungkin juga mantra bagi hadirnya rembulan.

Pernah dia bertanya kepada seekor jangkrik yang saat itu nyasar.

Setelah paham bahwa si Sawung tak mungkin bisa mematuknya, timbullah keberanian si jangkrik. Dia pun menjawab setiap pertanyaan Sawung --yang dirasakannya sebagai ketololan kaum ayam.

''Kau pikir, kami menyanyi setiap malam untuk apa, kalau bukan demi munculnya purnama?''

''Apakah dengan begitu dia akan muncul?''

''Hahahaha... bodoh betul kau Sawung. Tentu saja tidak. Itu sebabnya kami terus menyanyi. Dan akan tetap menyanyi ketika pada hari ke empatbelas dia menampilkan keindahannya yang sempurna. Ah, aku harus mengirimkan bunga duka cita untuk kebodohanmu. Hahahahahaha...krik!''

''Jaga mulutmu! Kalau saja...''

''Apa? Kau mau apa? Di arena laga --aku tahu-- kaulah pemenangnya. Namamu mengharum di seantero dunia... ya, aku tahu. Tapi, bagiku, kau tak ada artinya, karena kau bahkan tak tahu apa itu keindahan. Hahaha... krik...krik...krik...''

''Ajari aku,'' gumamnya.

Si jangkrik terdiam tiba-tiba. Bagaimana mungkin sesosok jagoan mau tahu tentang keindahan, apalagi belajar dari seekor jangkrik? Di kejauhan, nyanyian jangkrik melaut bunyinya, menusukkan sepi di jiwa sang petarung.

***

Sejak pertemuannya dengan jangkrik, Sawung makin kelihatan murung. Ada yang tiba-tiba dirasakannya sebagai sebuah tusukan. Puluhan bahkan ratusan kali robekan taji lawan pernah dirasakannya, namun tak ada yang menyamai rasa sakit yang disebut kesepian.

Si ayam kate berusaha menghiburnya, dia pun menyanyi, ''O pahlawan, kepak sayapmu benteng bagi kaum betinaaaaa... keeok!'' Si kate menjerit, Sawung menggamparnya.

''Apa yang salah Sawung?''

''Berisik!''

''Oh, aku tahu, aku tahu... Mmmm... Sunyiiii... Keook!" Si kate terjungkal, kepalanya berkunang-kunang, namun dia tak bisa mengatakan bahwa kunang-kunang saat itu indah.

***

Keindahan rembulan, yang tak pernah disaksikannya, tiba-tiba menguasainya. Seperti sesuatu yang sebenarnya sudah ada namun tak pernah dipedulikannya. Sejak hari itu Sawung seperti linglung, di arena sabung dia seperti limbung. Tajinya sesekali mungkin merepotkan lawan, namun itu karena lawannya sudah gentar sebelum bertanding. Sawung sendiri pikirannya melambung, mencoba mencari sesuatu yang belum pernah disaksikannya. Dia seperti meninggalkan raganya, melayang jiwanya entah ke mana.

Cahaya yang tak pernah kusaksikan itu, yang memancar dari cerita mereka, menghancurkanku, meremukkanku hingga tak bisa kukenali siapa diriku lagi. Akan kucari kau, akan kutemukan kau, tak peduli walau sembunyi di kerak bumi sekalipun.

Akan kutelusuri malam demi malam, dengan segenap kebutaanku, seumur hidupku, mencari dan menemukanmu. Jika kau bersembunyi di balik matahari, maka akan kuhancurkan dia dengan tajiku. Jika kau berlindung di balik mendung, akan kusapu mendung dengan sepasang sayapku. Kokokan panjangku akan membelah petir dan membuatnya tak lebih dari sekadar percikan api tungku.

***

''Sawung, Sawung, Sawung!" teriakan-teriakan itu menggema memberinya semangat bertarung. Beberapa betina memamerkan pinggulnya, memberinya gairah kehidupan.

Sesaat Sawung seperti kembali ke bumi, dan sepijar kekuatannya menyala.

Tubuhnya melompat, sayapnya membutakan mata dan sepasang tajinya bergantian menembus leher lawan. Sorak-sorai menggema, si lawan sekarat.

Sawung tegak, mengepakkan sayap dan berkokok panjang. Dia dengan gairah kemenangannya melompat tinggi nyaris terbang. Melayang tubuhnya, sebelum akhirnya hinggap di semak-semak.

Akan kucari kau, jika perlu kubalik seisi dunia ini.

''Sudah kau temukan, apa yang kau cari?'' Tiba-tiba sebuah suara berat, tua dan putus asa menegurnya.

Sawung terhenyak. Hanya selangkah di depannya, seekor musang tua dengan sepasang mata butanya tengah duduk di kerimbunan semak. ''Aku tak bisa melihatmu, tetapi bukan berarti aku tak bisa mengendusmu.''

''Haha... musang tua, dendammu belum padam juga.''

''Apa pedulimu? Apakah sudah kau padamkan dendammu dalam mencari keindahan itu?''

''Bulan?''

''Lidahmu sudah cukup fasih mengeja namanya. Namun, kurasa, kau baru sebatas mengeja dengan benar, kau belum siap menghadapi keindahan itu sendiri.''

''Akan kucari di mana pun dia bersembunyi!''

''Tak mungkin kau mampu.''

''Jelaskan, mengapa aku tak mampu.''

Musang menarik napas dalam-dalam, menoleh ke kiri. Sepi. ''Dengar, anak tolol. Apa yang kau gunakan untuk mencarinya? Coba jawab pertanyaan sederhana ini.''

''Tajiku akan mengoyak semua yang melindunginya. Sayapku akan menyibak segala yang melingkupinya.''

''Hmm... angkuh sekali. Kau pikir keindahan yang memancar dari bulan purnama adalah sebutir beras? Sawung, Sawung... ternyata kau bahkan lebih dungu dari yang kukira.''

''Apa maksudmu?''

''Kau pikir bisa kau taklukkan jarak semesta ini dengan sepasang sayapmu, yang bahkan tak sekuat pipit ketika melayang? Kau anggap bisa kau belah tabir keindahan dengan sepasang tajimu? Kau bahkan tak tahu apa-apa tentang sesuatu yang kau hadapi, tetapi suaramu seakan mampu membelah langit! Sadarlah bangsa rabun, kau tak akan bisa menemukan keindahan jika masih menggunakan cara bodohmu itu.''

***

Untuk kesekian kalinya, Sawung termenung. Tak disangkanya sama sekali, dia mendapat pelajaran penting dari bangsa pemangsanya.

''Ajari aku menemukan keindahan itu,'' ucapnya lirih dan putus asa.

Musang tergelak, tegak, dan lari menjauh --tentu setelah beberapa kali menabrak sesuatu. Dari kejauhan tiba-tiba musang berteriak, ''Carilah di balik keangkuhan jiwamu. Sanggupkah kau menghancurkan ke-aku-anmu?''

***

Sejak pertemuannya dengan musang tujuh hari lalu, Sawung makin murung, terlalu suka merenung dan mengurung dalam kesunyiannya. Telinganya mulai ditulikan dari teriak tantangan, bahkan tajinya diam-diam dikeratnya. Dia tak makan dan tak minum, tubuhnya merapuh, sayapnya melumpuh. Dalam usia keemasannya, dia seperti lebih tua seratus tahun. Seluruh bulu merah yang membuat para betina termimpi-mimpi, kini tampak seperti puluhan lintah gemuk yang menggelayuti leher kurusnya. Dia tengah menghancurkan dirinya sendiri, mencoba mencari keindahan yang bersembunyi di balik keangkuhannya.

Suatu malam, di hari keempat belas, keindahan itu datang menjemputnya. Sawung tak bisa berbuat apa-apa. Jiwanya kosong, dan karenanya dia mampu menerima keindahan itu seutuhnya. Air matanya berlinang, dia pun merasaan kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya.

***

Bangsa ayam berduka. Mereka menemukan jasad Sawung tergolek merana. Si ayam kate menyanyikan baladanya, ''Telah gugur jagoankuuuuuu.... Tu... keook!''

''Berisik!''

Dan malamnya, jutaan jangkrik melantunkan kidungnya, kaum musang menebarkan keharuman tubuhnya, dan bangsa pungguk terdiam seribu bahasa, menatap entah apa di atas sana. ***

Pinang, 982

Oleh Yanusa Nugroho

Hujan di Atas Ciuman
Tato

Sekarang sudah memasuki musim penghujan. Biasanya setiap hari langit akan berwarna abu-abu lalu memuntahkan biji-biji air. Jalanan akan basah, banjir, dan macet terjadi di mana-mana. Aku tidak mengerti kenapa Lin begitu tergila-gila pada sebuah musim yang hanya bisa menjanjikan basah, pikirku sambil memandang kanvas besar di hadapanku.

Aku merasa kanvas besar ini lebih menarik daripada abu-abu yang tergantung di langit. Abu-abu? Hei, mendadak aku merasa perlu untuk menyakinkan kalau langit memang sedang berwarna abu-abu. Aku melemparkan pandangan keluar jendela dan ternyata langit memang sedang abu-abu. Tiba-tiba aku teringat sekujur novel Lin yang terbaru. Ciuman di Bawah Hujan, judulnya. Cukup menarik tetapi kenapa begitu abu-abu?

Lin

Aku mempercepat laju motorku. Angin menabrak dadaku. Aku mengetatkan geraham menahan rasa yang asing. Bukan rasa gigil. Tetapi dadaku seakan terbakar sampai bolong. Padahal aku tidak merokok. Mungkin panaslah yang akan kita rasakan jika terlalu kedinginan. Misalnya, seperti saat kita menggenggam es batu.

Sementara itu wajah langit tampak semakin murung. Aku yakin sebentar lagi pasti turun hujan. Ternyata benar. Mulai ada yang menimpaku setitik demi setitik. Motor pun semakin kupacu. Aku tidak mau basah kuyup di jalanan. Terbayang secangkir teh sepat panas di studio lukis Tato. Pasti hangatnya melegakan dada. Aku pun membayangkan diriku sedang flu kemudian seseorang mengosokkan balsam ke dadaku. Seseorang yang menurut Tato terlalu abu-abu: Rafi.

Tato

Bulan sudah menyembul. Tetapi tidak lama karena jarum-jarum perak telah dicucurkan langit. Curahnya rapat sampai tampak seperti tirai yang selalu patah bila disibakkan.

Aneh, Lin belum datang juga. Padahal Lin paling tidak suka dengan kebiasaan jam karet. Aku sudah tidak sabar hendak menunjukkan lukisanku padanya.

''Merah?!'' seru Lin ketika kuceritakan lukisanku berwarna merah. ''Apakah kau tidak mempunyai pilihan warna lain? Karena aku sudah terlalu akrab dengan merah. Tiang-tiang di kelenteng, tubuh naga, ikan koi, bunga peony, baju baru ketika perayaan Imlek, angpau, lampion, semua itu merah...'' Suaranya terdengar mengambang.

''Tetapi ini merah yang lain, Lin.''

Aku memang tidak melukis semua yang disebut Lin. Tidak ada tiang-tiang kelenteng, tubuh naga, baju merah, angpau atau lampion di atas kanvasku. Yang ada hanya merah. Aku mengambil kuas dan menambahkan merahnya. Aku masih menunggu Lin.

Lin

Tato pasti sedang menungguku. Semoga saja ia tidak kesal karena keterlambatanku. Aku sedang mengalami sedikit masalah di jalan. Hujan membuat jalanan terlalu licin untuk diriku yang sedang ditunggu. Dan entah ke mana sinar bulan. Ups, motorku...

Kemarin Tato memberi tahu tentang lukisannya yang hampir selesai. Lukisan merah yang disiapkannya untuk kami. Maksudku, lukisan merah itu disiapkan Tato untuk pameran lukisannya sekaligus terinspirasi dari novel terbaruku yang berjudul Ciuman di Bawah Hujan.

Tetapi kenapa harus merah?

''Aku ingin warna lain,'' cetusku.

''Abu-abu?'' tanyanya dengan nada yang sangat datar sehingga aku tidak bisa mengartikan apa maksudnya.

Oh, aku tidak mengerti kenapa kami jadi berdebat mengenai warna. Mungkin warna dan segala ronanya bukan masalah bagi pelukis seperti Tato. Setiap hari ia bergumul dengan warna. Tetapi berbicara tentang warna selalu membuatku mulas. Rasanya seperti sedang membicarakan warna bendera partai politik saja. Atau warna kaos kampanye.

Aku jadi teringat kepada seorang rahib Buddha Tantra dari Taiwan. Ia selalu mengibarkan bendera panca warna: merah, biru, hijau, kuning dan putih secara berjajar. Menurutnya, semua kuil-kuil di Taiwan, Tibet, Nepal dan sebagian India, selalu mengibarkan bendera panca warna itu. Dari suara yang ditimbulkan kelepak sayap bendera-bendera itu, kita bisa mendengar kabar berita yang dibawa angin dari seluruh penjuru. Nah, bukankah sebenarnya banyak warna menjadikan hidup lebih kaya?

''Bagaimana kalau cokelat saja? Cokelat rasanya lebih nyaman,'' akhirnya kupilih sebuah warna sebelum mulasku menjadi-jadi. ''Cokelat warna kayu...''

''Juga warna daun layu...,'' potongnya.

Tetapi kenapa tiba-tiba aku semakin merah?

Tato

Curah dari langit semakin bertubi. Tetes-tetesnya seperti berlomba lari dari atap. Kucoba untuk menerka apakah sebenarnya warna hujan? Bening? Lalu bagaimana kebeningan itu harus kulukiskan ke atas kanvas?

''Sinar mata Rafi bening sekali, Tato! Seperti bulan...'' seru Lin. ''Rafi pernah menatapku lama sekali. Aku juga menatapnya. Tahukah kau seperti apa rasanya? Aku seperti dihujani cinta!''

Lalu ia menyanyi dengan suara sumbangnya yang merusak telingaku. Aku ingin menyuruhnya berhenti. Tetapi ternyata lagunya syahdu sekali.

Ni wen wo ai ni you duo shen

Wo ai ni you ji fen

Wo de qing ye zhen

Wo de ai ye zhen

Yue liang dai biao wo de xin

''Itu lagu Teng Lie Chin, Yue Liang Dai Biao Wo De Xin,'' ia menjelaskan tanpa kuminta dengan pipi berhiaskan merah yang menjadi-jadi.

Apalagi ketika ia mengatakan bahwa Rafi seperti Shah Rukh Khan, bintang film India tersohor itu. Dan pujiannya meluncur deras seperti hujan ketika menceritakan Shah Rukh Khan saat mem¬bintangi Kuch Kuch Hotta Hai, Kabhi Kushi Kabhie Gham, Asokh sampai Devdas.

Olala, aku tidak menyangka novelis seperti Lin ternyata penggemar film India. Dalam hati, aku mulai bertanya-tanya, sebenarnya Lin sedang jatuh cinta kepada Rafi atau Shah Rukh Khan?

Tetapi kepada siapa pun ia jatuh cinta, rupanya Lin sedang membawa warna merah muda.

Lin

''Kau gila!'' kata Tato saat kukatakan bahwa diriku jatuh cinta kepada Rafi karena ia secokelat Shah Rukh Khan. Menurutnya, aku lebih pantas menggilai Andy Lau, Chow Yun Fa, atau Jet Lee saja.

Tetapi begitulah kenyataannya.

Aku hanya melihat warna cokelat ketika bersisian dengan Rafi. Ia meletakkan lengannya di atas meja sehingga bisa kulihat dengan jelas kuku-kukunya yang cemerlang. Bentuk siku lengannya indah sekali. Dan mataku langsung menyimpan memori tentang warna kulitnya yang tampak seperti es krim cokelat. Begitu menggiurkan.

Saat itu juga kubayangkan bagaimana seandainya jika es krim cokelat yang kujilati itu mencelomoti bibirku. Kira-kira apa yang akan dilakukan Rafi? Apakah ia akan membersihkan celemotan di bibirku itu dengan bibirnya?

Aiiii...Tiba-tiba kurasakan tubuhku terlempar tinggi. Aku berusaha menghentikan tubuhku yang meluncur deras. Tetapi hujan adalah basah yang tidak bisa dicegah.

Kenapa sekarang cokelat berubah menjadi merah? Awalnya merah muda, merah dadu, lalu...bulan menghilang...

Ni wen wo ai ni you duo shen

Wo ai ni you ji fen

Wo de qing bu yi

Wo de qing bu yi

Wo de ai bu bian

Yue liang dai biao wo de xin

Tato

Lin masih belum juga datang sementara hujan semakin deras. Mendadak aku cemas ketika menyadari Lin sama sekali belum mengirim SMS. Apakah Lin tersesat karena sinar bulan menghilang?

Lin

Merah.

Tato

Biji-biji hujan tempias di lantai studio sampai menjadi genangan bercak. Aku terkejut ketika ada butir-butir yang memerciki kanvasku sehingga melembab. Tetapi aku yakin itu bukan karena pulasan kuasku. Angin kian menerbangkan basah.

Aku seperti mendengar suara Lin, ''kalau jatuh cinta itu merah muda, lalu apa warna patah hati?''

Aneh, bukankah seharusnya yang kudengar adalah suara hujan?

Ah, itu dia Lin!

Aku melihatnya sedang berusaha menerabas hujan. Tetapi tetap saja tirai basah itu tidak bisa ditembusnya. Ia menguakkan selapis tetapi sebelum ia keluar dari sana, selapis yang lain sudah menimpanya lagi.

Tubuhnya kuyup. Matanya sayup. Suaranya surup...

Ni wen wo ai ni you duo shen

Wo ai ni you ji fen

Ni qu xiang yi xiang

Ni qu kan yi kan

Yue liang dai biao wo de xin

''Patah hati tidak pernah dilukiskan. Tidak ada yang suka mengalami patah hati. Eh, siapa yang sedang patah hati?'' sahutku sambil berusaha menerka kegilaan apalagi yang akan didongengkan Lin.

''Aku,'' itu suara hujan atau suara Lin?

''Kau?'' aku kian meragukan pendengaranku. ''Kau tidak tampak seperti patah hati. Orang patah hati tidak pernah memberikan pengumuman kalau ia sedang patah hati. Dan hanya perempuan tidak tahu malu yang melakukan itu,'' sahutku sambil berusaha menyakinkan diri bahwa aku sedang berbicara dengan Lin.

''Itu karena aku sudah profesional mengelola rasa patah hatiku. Sama profesionalnya seperti ketika aku jatuh cinta,'' jawabannya membuatku merasa cacat di otaknya semakin sulit untuk disembuhkan.

''Patah hati kepada siapa?''

''Rafi.''

''Shah Rukh Khan itu?!'' aku tersengat. Oh, Lin...

''Bagaimana kalau patah hati dilukiskan dengan warna hijau?'' Ia menyergah tanpa ada rona merah lagi di pipinya. Aku melihatnya bergelombang. Ia ada di balik hujan rapat yang disapu angin.

''Lin, hijau itu untuk daun, untuk rumput, untuk padi, untuk kehidupan...''

Kucoba mencolek sedikit warna hijau untuk menyempurnakan tetes-tetes air di atas kanvas merah.

Untuk Lin. Untuk Rafi. Untuk kehidupan.

Lin

Tato tidak percaya ketika kuceritakan bahwa aku sedang patah hati. Ia bahkan tertawa sambil memelintir rambut gondrongnya yang dikepang kecil-kecil. Ia gembira seperti sedang mendengar kelanjutan novelku untuk memberikan sentuhan akhir pada lukisannya.

''Rafi mencampakkan diriku seperti sampah,'' aku berusaha untuk tidak menangis di hadapan Tato. Aku tidak mau ia melukis warna air mataku.

''Wah, segitu amat? Memangnya kau dihamili Rafi?''

''Masalahnya, justru aku belum dihamili Rafi! Seandainya aku sudah dihamilinya tentu ia tidak akan setega itu,'' tiba-tiba aku tersakiti ketika mengatakan hal itu.

Aku mau mati saja.

Tato

Hijau.

Lin

Aku tidak tahu sekarang terjebak di mana. Yang kutahu, sekujur diriku dibasahi merah. Hei...apa itu yang sedang menetes?

Tato

Aku seperti mendengar Lin sedang menceritakan sebuah episode baru tentang patah hati. Rafi yang digilainya setengah mati itu membuangnya seperti ingus. Aku senang mendengar bagian cerita ini. Setidaknya ini bukan cerita merah muda yang berbunga-bunga lagi.

''Apakah kau sudah yakin kalau sekarang Rafi tidak mencintaimu lagi? Atau dulu kau saja yang terlalu yakin kalau Rafi mencintaimu?'' Aku membutuhkan kepastian Lin untuk menyelesaikan lukisanku. Bukankah sebuah novel pun harus mempunyai akhir?

Tetapi Lin seperti tahu apa yang kupikirkan.

''Sebuah cerita tidak harus diakhiri dengan titik. Sebuah cinta juga tidak harus dipastikan seperti apa.''

''Kalau begitu, kenapa Rafi meninggalkanmu?'' mendadak aku ingin tahu. Bukankah semua sebab selalu menimbulkan akibat. Dan segala akibat selalu didahului oleh sebab.

''Karena Rafi menyamakan perasaanku seperti baju safari. Aku tidak menyangka ternyata ia menghargai perasaanku semurah itu. Jadi sekarang ia sibuk mempertuhankan baju safari dan mempersetankan diriku.''

Astaga! Cerita gilanya yang mana lagi ini?

Aku meyakini bahwa hidup memang penuh pilihan. Seperti aku memilih menjadi pelukis dan Lin memilih menjadi pengarang. Lalu ada yang lain memilih jadi wali kota, gubernur, menteri, presiden atau politisi. Itu pilihan yang sama terhormatnya dengan memilih jadi guru, wartawan, pedagang kelontong, seniman atau petani. Karena manusia harus memilih salah satu di antaranya. Kalau tidak, maka hidup yang menentukan pilihan untuk manusia. Dan manusia harus sama-sama menangis ketika merayakan kegagalan dan keberhasilannya. Kurasa karena alasan itu, Tuhan menciptakan air mata untuk manusia.

Tetapi bagaimana dengan pilihan-pilihan Lin?

Shah Rukh Khan atau Rafi?

Baju safari atau Lin?

Astaga...Pilihan-pilihan model apa itu?

Terus terang saja, aku tidak bisa menakar seberapa berharganya Rafi untuk Lin. Aku juga tidak tahu di sekat sebelah mana Lin menyembunyikan Rafi. Tetapi Lin meratapi Rafi seperti menangisi kecupan hujan untuk bangkai-bangkai bunga yang akan membusuk hari ini. Lin membuatku teringat kata-kata pujangga lama, ''hujan tercipta dari air mata cinta.'' Andaikan saja Rafi mengerti jika air mata Lin begitu mistis, apakah ia masih menyamakan Lin dengan baju safari yang juga banyak digelar di pasar loak?

Uuuffff... tetapi kupikir dalam episode ini ada baiknya juga jika Rafi melepeh Lin. Apa yang bisa diharapkan Rafi dari perempuan yang tidak bisa bangun pagi itu? Tidak ada. Dan aku tahu pasti kalau Lin tidak pandai membuat kopi. Lin cuma bisa menjadi tukang dongeng sambil menggigiti tepi-tepi kukunya. Lin lebih menyerupai tikus betina yang mengerikiti remah-remah makanan. Bukan karena ia kelaparan. Melainkan karena takdir binatang pengerat seperti tikus adalah mengerikiti.

Sssttt... aku tidak sampai hati mengatakannya terus terang pada Lin. Sebab aku melihat setetes sakit menggelinding dari matanya. Dengan cepat dihapusnya sebelum sakit-sakit yang lain susul-menyusul rontok dari sana. Diam-diam, aku sempat melihat apa warnanya.

Lin

Aku ingin menyakinkan Tato bahwa yang kukatakan padanya adalah sebuah kejujuran. Bukan sekadar cerita karanganku. Maka kukibaskan seluruh basahku sampai Tato terkejut ketika melihat sebagian kanvasnya terciprati olehku.

Ada bercak hijau di atas merah seperti hujan di atas ciuman.

Qing qing de yi ge wen

Yi jing da dong wo de xin

Shen shen de yi duan qing

Jiao wo si nian dao ru jin

''Lin...apakah kita berpakaian atau tidak saat berciuman di bawah hujan?'' Aku tak akan pernah bisa melupakan suara Rafi. Suaranya kuingat baik dalam keadaan bangun, tidur, atau mimpi. Karena kalaupun saat ini aku sekarat, hanya suara Rafi yang bisa memanggilku hidup kembali. ***

(Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan.)

Terompet Jam Gadang
RINDU pada kota ini harus dituntaskan hingga tahun baru tiba. Telah menebal rinduku tersusun. Satu tahun memang tak lama, waktu begitu cepat melipat kenangan.

Jingga mulai jatuh satu-satu. Malam beringsut. Ini malam tahun baru. Terompet dijual di kaki lima. Sedari tadi telah menyalak di mana-mana. Seperti tiada jeda untuk menghela napas. Anak-anak, orang dewasa, meniupnya tanpa peduli apa pun. Pesta menuju tahun baru telah dimulai.

Simpang Kantin sudah ramai. Musik dari sebuah pentas hiburan terdengar hingar-bingar. Aku memarkirkan kendaraan di tempat yang sudah sangat akrab. Telah biasa kulakukan sejak masih remaja dulu.

Senja mengatap Kota Bukittinggi yang sejuk. Aku belum mau mencari tempat duduk. Masih ingin mengitari kota ini semampu kakiku.

Aku menyukai Jam Gadang karena lahir dan dibesarkan di kota sejuk ini. Seperti orang-orang Milwaukee, Amerika Serikat, mencintai menara jam Allen-Bradley. Seperti orang-orang Mumbai, India, mencintai menara jam Rajabai. Dan, seperti orang-orang mengenal Big Ben, menara jam di Westminster, Inggris Raya, itu.

Menara jam, penunjuk waktu, detik yang berlalu, pendulum yang bergerak, adalah pertanda penting. Walau sering dianggap tidak penting, aku selalu memikirkannya akhir-akhir ini. Sebab, betapa cepat waktu berlalu selalu melipat kenangan, sedangkan masa depan datang bagai pedang. Aku belajar menghargai waktu, namun kadang juga aku tak mampu melawan waktu berlalu. Aku sering kalah dengan waktu.

***

Berjalan sendirian memang rawan. Tetapi aku perempuan yang tak peduli itu. Dari dulu punya keyakinan sebagai perempuan pemberani. Setidaknya, itu menurutku. Lebih-lebih ini kampung halaman sendiri. Apa salahnya. Dan aku memang sedang ingin sendiri, tak mau ikut bersama sanak saudara yang juga sudah punya jadwal tahun baru berbeda-beda.

Menyambut tahun baru kali ini ada sedikit kecewa. Jam Gadang diselimuti kain berwarna hitam, kuning, dan merah. Seperti bendera Jerman. Tidak kelihatan angka Romawi yang unik pada muka Jam Gadang itu. Angka Romawi ''IV'' sebagai angka empat, di sini ditulis dengan ''IIII''. Soal ini aku pernah bertanya kepada guru sekolah dasar dulu, tapi ia tak mau menjawabnya. Heran. Membiarkan keunikan menjadi misteri yang tak perlu jawaban adalah sebuah kenikmatan dalam bentuk lain.

***

Setiap tahun baru aku selalu kembali ke pangkuan kota ini. Pulang kampung. Sekadar melepas penat setelah satu tahun bertugas. Aku selalu menjadwalkan perjalanan. Sendirian. Menghilang dari peredaran. Suasana kantor, masalah pekerjaan, diusahakan untuk melupakannya. Begitulah, jika punya keinginan untuk kembali ke kota kelahiran. Seperti ada sesuatu yang menarik untuk mengajak pulang. Biar tak ada lagi ayah dan ibu, aku tetap kembali. Sebab, masih banyak saudara-saudara, kaum kerabat, yang masih tinggal di sini. Apalagi kerinduan terhadap bocah-bocah, keponakanku, selalu menggoda, mengajak pulang.

''Tante Diana datang, tante Diana datang,'' begitu mereka bersorak. Demikianlah mereka yang lugu menatapku penuh harapan.

***

Lima tahun lalu aku menikmati malam tahun baru berdua dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang pernah singgah di belahan hati. Dia berasal dari sebuah kota yang tak punya menara jam. Tetapi, di tahun baru Islam, kotanya selalu meriah dengan atraksi Tabuik. Sebuah tradisi dari kaum Syiah Iran yang mendukung kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib. Kaum yang mencintai Hasan dan Husen, putra Ali Bin Abi Thalib. Selebih itu aku tak mengerti prosesi budaya Tabuik. Yang aku tahu, satu kali ikut di dalam perayaan masal itu, membuat aku mengenal laut dari dekat. Laut kadang menyimpan dendam. Dendam tak sudah.

Empat tahun lalu kami berpisah. Berpisah ketika cawan sudah berada di tepi bibir. Saat semua serasa telah direguk pasti, tiba-tiba cawan lepas dan pecah berantakan. Jalan kami bersimpang nasib. Jalan buntu dari perundingan adat dan budaya yang dipahami kaum kerabat kedua belah pihak. Adat dan budaya yang dipisah oleh gunung.

Seperti garis asimtot. Dua garis yang tak pernah ditakdirkan bertemu, apalagi memotong garis sumbu. Begitulah kami akhirnya.

Keluarganya mengharapkan keluargaku yang melamar. ''Memang begitu. Dalam adat keluargaku, perempuan yang melamar,'' penjelasan yang awalnya sangat aneh terasa. Tapi itulah kenyataannya.

Sedangkan keluargaku bertahan pada prinsip, perempuanlah yang dilamar. ''Keluarga kita saling bertahan di garis kebenaran masing-masing. Kita tampaknya tidak bisa meneruskan langkah selanjutnya," ungkapan jauh lebih dahsyat dari lengking terompet malam ini. Memecah gendang takdir harap.

Seluruh istana impian yang dibangun, berantakan! Dan kami ternyata tidak berani mengambil keputusan apa pun untuk menyelamatkan istana itu. Semua berlalu dengan pahit. Di simpang jalan kami berpisah.

Kini, puing-puing itu masih berantakan. Terbiarkan begitu saja. Hingga malam ini aku kembali ke sini, sendiri, tanpa harus seperti beberapa tahun silam. Aku tak mengubur kenangan itu, membiarkannya menganga didera hujan, angin, dingin, panas, dan seterusnya digerus waktu. Seperti Menhir yang berantakan di Luhak Lima Puluh Kota sana.

***

Lima tahun lalu kami meniup terompet sepuas-puasnya, berdua saja di tengah gemuruh lengking terompet malam tahun baru. Sepanjang malam menuntaskan seluruh keindahan tahun baru. Sejak senja berarak pulang hingga pagi meniti tahun yang masih berseri.

Malam ini, lengking itu terasa lain. Kecewa pada bangunan tua yang terbungkus kain itu makin terasa menikam. Jika aku menjadi pendiri Jam Gadang layaknya Yazid Sutan Gigi Ameh, aku akan marah besar. Apalagi menara jam yang didirikan ini adalah hadiah dari Ratu Belanda kepada Sekretaris Kota (Controleur) Bukittinggi Rook Maker pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dulu. Bukankah Jam Gadang sebuah bangunan paling megah setelah didirikan 1926? Sekarang, sudah banyak bangunan lain yang menenggelamkannya. Dulu, sepanjang tahun, Jam Gadang termegah dapat dilihat dari mana pun. Dan bukanlah dana yang sedikit, 3.000 Gulden, untuk membangun menara penunjuk waktu itu. Apalagi pada masa di mana tanah ini dijajah. Lihatlah hasilnya, di atas bukit, dengan tinggi 26 meter, Jam Gadang tak sedikit pun memperlihatkan keangkuhan. Ia anggun dan bermarwah.

***

Jam Gadang diselimuti dengan kain, karena ada yang tak merestui tahun baru berlalu di sini. Sebuah sikap aneh di tengah arus wisata yang terus digalakkan. Katanya, tak merestui kota ini jadi kota maksiat. Ah, maksiat, apa bisa dicegah dengan menutup Jam Gadang? Buktinya, setiap tahun baru datang, pengunjung kota tetap tiba dari berbagai kota untuk menikmati pergantian tahun. Maksiat pada dasarnya keluar bukan karena tempat, tapi karena niat orang untuk melakukannya. Dan itu bisa dilakukan di mana saja. Entahlah!

***

Aku tetap mencoba untuk melawan hawa dingin malam. Terompetku masih di tangan. Belum ada kekuatan untuk meniupnya. Aku berencana untuk meniupkannya di sebuah tempat, sebuah sudut, di mana aku pernah berdua dengan seorang lelaki. Dan aku akan membayangkan lelaki itu ada di sampingku. Aku setidaknya mampu membahagiakan diri sendiri dengan itu. Sebentar lagi, tempat yang aku tuju itu akan sampai.

Menatap Jam Gadang yang berselimut itu, aku mengingat banyak sejarah menara jam di jantung kota. Ingat Kerajaan Saudi Arabia yang akan mendirikan menara jam di Masjidil Haram. Masjid yang dikunjungi setiap tahun oleh umat muslim untuk menunaikan ibadah haji. Diam-diam aku mendoakan, semoga itu terkabul. Betapa indahnya setiap tahun bisa ke sana, seperti layaknya ketika aku menetapkan tahun baru selalu pulang ke Bukittinggi. Duh, begitu dahsyat terjadi, jika setiap tahun bisa pergi ke Tanah Suci untuk merayakan tahun baru. Lebih-lebih kalau benar-benar menunaikan ibadah haji.

''Menara jam di Masjidil Haram itu akan mengalahkan menara jam Allen-Bradley, Amerika Serikat, menara termegah di dunia saat ini,'' begitu aku mendengar sebuah berita.

Aku heran juga, ternyata antarkota selalu punya ambisi untuk saling meninggi, saling mengalahkan. Ingat Twin Towers di Kuala Lumpur, beberapa tahun lalu pernah aku naiki. Juga Monumen Nasional di Jakarta. Tapi, kenapa di sini justru Jam Gadang diselimuti? Apakah dengan begitu bisa menahan laju hasrat manusia untuk berbuat maksiat? Heran.

***

Lengking terompet makin tinggi. Aku sampai pada sisi yang paling aku suka melihat Jam Gadang. Orang-orang menanti dentang pertama tahun baru. Arena hiburan mulai menghitung detik demi detik. Aku berdiri terkesima menghadap Jam Gadang. Membayangkan di sebelahku ada seseorang yang sedang melingkarkan tangannya ke bahuku. Tangan yang kekar. Menjemput semua bayangan masa lalu. Lalu menoleh ke samping. Dan aku terperangah, dengan jelas mataku menangkap sepasang anak Adam yang sedang bermesraan. Laki-laki itu, sulit untuk dipercaya. Ternyata...

***

Lengking terompet! Gemuruh musik! Meniadakan keheningan. Tak ada renungan. Pesta tahun baru makin meriah. Orang-orang berpasangan. Bertepuk tangan. Duduk berdua. Bergerombolan. Duduk bersama-sama. Melingkar. Duduk bebas. Tak beraturan. Melompat-lompat. Berlari. Tawa mereka lepas. Malam benar-benar mereka lumat sampai pagi.

Gemuruh di dada makin meyakini tentang dia. Dialah yang pernah menggandeng tanganku! Seseorang yang mampu membuat aku merasakan sebagai perempuan.

Mujurlah mereka tak memperhatikan aku yang tolol menikmati kehangatan yang mereka lakoni. Cepat-cepat aku berlari di antara kerumunan. Menerabas keramaian. Sekencang-kencangnya. Tak peduli dengan orang-orang yang hampir tertabrak. Mereka mengelak sekenanya. Begitu jauh tempat parkir itu terasa. Habis napas sesak, terompet lepas dari tangan.

Betapa malu dan tak punya harga dirinya aku, jika mereka tahu aku sedang menikmati dengan cemburu yang berkobar pada dingin malam. Mereka berpelukan hangat menunggu dentang Jam Gadang yang berselimut kain.

Keseimbanganku hilang. Lariku mengambang. Terus mendekatkan ke tempat parkir diiringi irama terompet tahun baru sahut-menyahut. Lama-lama suara terompet mengecil dan lindap. Aku merasakan sedang melayang-layang. Aku tak menjejak tanah lagi. Dan di depanku, aku melihat Jam Gadang, Rumah Gadang, di tengah kegelapan. Samar-samar. Aku berhenti dan terkejut. Dentum kembang api tahun baru membahana, mengalahkan terompet-terompet yang ditiupkan sejak senja berangkat pulang.

Di udara, aku melihat kembang api indah, letupan dahsyat, gemuruh tepuk tangan, lengking terompet. Begitu utuh semuanya menggenapkan gemuruh kebencian hatiku. Memecah hatiku yang telah luluh lantak beberapa menit sebelumnya. Aku tak sadar, pada lengking yang mana, tahun baru tiba. ***

Balaibaru, 19 Desember 2008-Oktober 2009

*) Abdullah Khusairi , lahir di pedalaman Sumatera. Magister Filsafat Islam IAIN Imam Bonjol Padang. Tulisan dalam bentuk reportase, esai, puisi, cerpen, tercecer di media nasional dan lokal. Menetap di Padang, sebagai tukang kata, menunggu kabar dari pener

Puisi-Puisi D. Zawawi Imron
ODE BUAT GUS DUR

I

Aku tak tahu, kata apa yang pantas kami ucapkan

untuk melepaskan, setelah engkau bulat

menjadi arwah

Setiap daun kering pasti terlepas dari tangkai

bersama takdir Tuhan

Untuk itu kami resapi Al-Ghazali

bahwa tak ada yang lebih baik

daripada yang telah ditakdirkan Allah

Karena itu kami rela

mesti tak sepenuhnya mengerti

karena yang terindah adalah rahasia

II

Bendera dinaikkan setengah tiang

Tapi angin seakan enggan menyentuhnya

apalagi mengibarkannya

Biarkan bendera itu merenung

menafakkuri kehilangan ini

yang bukan sekadar kepergian

Bendera itu diam-diam meneteskan juga

air mata, yang didahului tetesan embun di ujung daunan

Semua membisikkan doa

seperti yang kucapkan setelah kau dikuburkan

Bendera itu seperti tak punya alasan

untuk berkibar, seperti kami yang tak punya alasan

untuk meragukan cintamu

kepada buruh pencangkul yang tak punya tanah

atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan

Cintamu akan terus merayap

ke seluruh penjuru angin

dan tak mengenal kata selesai

III

Di antara kami ada yang mengenalmu

sebagai pemain akrobat yang piawai

sehingga kami kadang bersedih

dan yang lain tersenyum

Yang kadang terluput kulihat

adalah kelebat mutiara

yang membias sangat sebentar

Hanya gerimis dan sesekali hujan

yang menangisi momentum-momentum yang hilang

padahal kami tahu

momentum tak kan kembali

dan tidak akan pernah kembali

IV

Matahari besok akan terbit

mengembangkan senyummu

lalu dilanjutkan

oleh bibir bayi-bayi yang baru lahir

Merekalah nanti yang akan bangkit

membetulkan arah sejarah

V

Selamat jalan, Gus Dur!

Selamat berjumpa dengan orang-orang suci

Selamat berkumpul dengan para pahlawan

Karena engkau sendiri

memang pahlawan

*) D. Zawawi Imron, penyair, tinggal di Sumenep, Madur

No comments: