LAKE TOBA ON FACE
Works: M. Raudah Jambak
It is difficult to predict the ripple eye lake toba
The glassy blue surface
Maybe there is a secret in its depth
His smile sometimes clear moon
Sometimes as hard as rock walls
Let prism of kebeningannya
On the edges we can spell out the meaning of
In millions literacy
It is difficult to predict the ripple eye lake toba
Through the seductive dance of wind-sand sand
Sometimes displaced
Sometimes driven
Tao toba, 04-06
Restless hot Petisah
Works: M. Raudah Jambak
Exhaust rhythm humming in between the jungle of human head
And thick jungle rain, the sun has long been hidden
Shivering in the booth contemplating the clouds, and smile at the ceiling moody
Vomit and land on feet
The wallet in the palace a party celebrating the cocky, street boys
Embroidery dream, underneath, on the sidewalk terrace chant
Lute minibus bobokkan menina-patimpus teachers
Wild old angkot light, eyes wide at the eyes of a female deer
Curses supporting the most trash
Bengar the repairman Parker
The merchant Lungun mattress
While A kong Just hanging out
Peek behind the iron railing rukonya
Rhythm exhaust hum, between cries of drivers
And hunters deposits, crossroads
Petisah, 03-06
TORSA NI NAMORA PANDE BOSI
Works: M. Raudah Jambak
Strains sordam sailed with the wind whistling
Scanning the rice fields of grain
Throughout the cold expanse of burning sigalangan
And the birds are busy memetiki Hasapi
"oi, na mar sahala Tondi
and the rulers huta ni humang
I marry the beauty of lubu
which exude the langkitang
which exude the baitang "
Pustaha thousands sprinkled dry babble
lamented trees calculate age hibuk huta
falling leaves on a bed of letter-tulak tulak
and segments of bamboo-grandmother grandmother singing
"oi, Tondi na marsahala
I filled in the sopo treaties designed magodang sio
I married the master counter-month nan
the birth Sutan borayun
the birth Sutan bugis "
gondang tetabuh groan with the beat ogung
menggebuki sky that held thousands of screaming
"oi begu na mar sahala dohot mar Tondi
I Namora bosi pande
who lost his own grave "
fields, 06 parks of culture
War poetry Sunggal
Works: M. Raudah Jambak
Bismillah is the beginning of kalam
with the name of God Kholikul Nature
done at the beginning of the book of poem
to remember the history of the stitched
Year 1872 is listed in the book
history of the war began dimulakan Sunggal
year 1895 as Batak other Oorlog
the end of the war took many victims
Small Datuk mentioned heroes
defend the principles and beliefs
Jalil and Datuk Sulong welcomed replication West
keep Sunggal of evil and greed
Small Datuk attack hit
with Jalil and Datuk Sulong struggling West
Small people become more like
case of the raging war Serbanyaman
The first cause of Sultan Deli
Tuanku Mahmud Perkasa Alam name
associated with the Dutch government
give the land as a gift
So, perangpun has begun
Expeditionary corps and armed
three times Sunggal slaughtered delivery
recreant Van Stuwe, our heroes limp
Struggle is not got there
Sri Datuk Abdul Jalil joined a unifier
with his brother, Datuk Alang, continues attack
Dutch destroyed, making it the ashes
Increasingly popular resistance fiery
Langkat guerrilla Mountain High, became the evidence
Master Rondahain war, in Bedagai, growing bolder
Guerrilla Mr. Netek, in Asahan, also witnessed
As Small and Datuk Datuk previous Jalil
Datuk Sri Datuk Abdul Jalil and the same fate Alang
undermining under Dutch and his gang
finally, Datuk areas ravaged Sunggal
Grouse strings, berkapan Cindai
Small Datuk hero character has tersemai
Sri Datuk Abdul Jalil Sunggal smart nephew
natter join strings, berkapan Cindai
Sunggal heroes fighting spirit is remembered here
not only in the mouth but fighting
nation building branching
due to the growing corruption
Alhamdulillah we haturkan
Praise to God we include
any mistake and wrong please excuse
Our good intentions of help fahamkan
Hang Nadim LAKSEMANA poem
Works: M. Raudah Jambak
Bismillah is the beginning of kalam
In the name of God kholiqul Nature
Done Dipermulaan poem book
In order to remember the history of the stitched
Law Hang Tuah, Hang Nadim Laksemana
Khodam faithful Majesty Sultan Mahmud Shah and his son
Assigned to keep the soil-water Melayu Raya
After laksemana Khoja Hassan and Bukit Raya Perkasa Pantar
Portuguese cleared, at sea and on land
The sword flashed like lightning Jenawi
Portuguese rushed mengupat-upat
Because the powerful left hand punch menghembat
Footsteps far eastern martial arts stance
Sudden kick to make the enemy collapse
Heart would just fall
The will of God will not be easy merapuh
Respected friend, rival search abstinence
But if there is going to sell, he would have bought
Segantang pepper in place a strategy review
After the ambush was done many times
Hang Nadim melesatkan thirty-two lives
Hover fly to the sky
Not against the will of the Almighty
But, thanks to the permission and Modern from his
Hang Nadim's Degree is Lang lang Sea
Her voice echoed against the waves of the sea
Seri Paduka together and Son diturut
Leading the 300 boats and ships of death spreader
Hang Nadim morale memorabilia
Not only loyal but struggling dimulut
Nation building branching
As a result of the greed of power that continues to grow
Malays not lost on earth
Allhamdulillah say we end
Any mistake and wrong is weakness
We apologize with one head and ten fingers
(M. Raudah Jambak.Medan 2007)
Sunday, 28 February 2010
IN THE HIGH Laguboti HUTA
Works: M. Raudah Jambak
Ku-percussion gondang
Ku-percussion ogung
The trees on the stretch of the earth manortor
Singing turi-turian a birth
Winds change sign
Season-to-season, took me into the past.
Hembusannya so melenakan, lead
In boru Deak Parujar
And here begins hobarna
Derived from the earth back to earth
In Hutatinggi Laguboti, tetabuh gondang-tetabuh
Ogung sounds of nature through the noise around
Quiet forest, where the mortuary Sisingamangaraja
King incarnate Nasiak for, and there was also
The spokes of a pangido-ido to Jabu
With foot defects
Ku-percussion gondang
Ku-percussion ogung
Marende in Hutatinggi Parmalim Laguboti
King Uti recite the spokes
Laklak .03-06
Ku-percussion gondang
Ku-percussion ogung
The trees on the stretch of the earth manortor
Singing turi-turian a birth
Winds change sign
Season-to-season, took me into the past.
Hembusannya so melenakan, lead
In boru Deak Parujar
And here begins hobarna
Derived from the earth back to earth
In Hutatinggi Laguboti, tetabuh gondang-tetabuh
Ogung sounds of nature through the noise around
Quiet forest, where the mortuary Sisingamangaraja
King incarnate Nasiak for, and there was also
The spokes of a pangido-ido to Jabu
With foot defects
Ku-percussion gondang
Ku-percussion ogung
Marende in Hutatinggi Parmalim Laguboti
King Uti recite the spokes
Laklak .03-06
Sunday, 21 February 2010
PENJUAL BENDERA
PENJUAL BENDERA
Ruang tengah dari sebuah rumah yang sederhana. Gareng menyanyi dengan senangnya sambil memegang kedua ujung kain merah dan kain putih yang panjang. Suaranya parau, namun dia tetap menyanyi dengan penuh semangat. Mungkin yang sedang dinyanyikannya lagu perjuangan; Sepasang Mata Bola ciptaan Ismail Marzuki atau lagu perjuangan lainnya seperti 1945.
Sompeng, isteri Gareng, menjahit kedua pinggiran kain putih dan kain merah itu dengan sebuah mesin jahit tua, mempertautkannya menjadi sebuah bendera yang sangat panjang. Sompeng bekerja dengan pasrah dan tampaknya dia sudah sangat letih.
SOMPENG:
Sudah lebih jam delapan.
GARENG:
Ya. Aku tahu (terus menyanyi)
SOMPENG:
Waktu sholat Isya sudah masuk sejak tadi.
GARENG:
Ya. Aku tahu (terus menyanyi)
SOMPENG:
Tapi kenapa abang masih menyanyi. Sebaiknya sholat dulu.
GARENG:
Nanti. Setelah semuanya selesai. Aku akan sembahyang tahajjud sekalian.
SOMPENG:
Masa karena soal bendera ini saja harus sembahyang tahajjud?
GARENG:
Ini masalah kepercayaan Sompeng! Bendera apapun tidak akan pernah dibuat selain daripada bahan kain. Bendera harus dari kain. Bendera yang terbuat dari kain punya falsafah yang dalam. Kita harus sembahyang tahajjud, minta pada Tuhan agar bendera kita tetap dipertahankan bahannya dari kain. Tidak dari bahan yang lain!
Dengar. Bendera terbuat dari kain. Kain terbuat dari benang. Benang dari kapas. Kapas dari buah kapas. Buah kapas dari bunga kapas. Bunga kapas dari putik kapas. Putik dari pucuk, pucuk dari daun, daun dari ranting, ranting dari dahan, dahan dari pohon, pohon kapas! Pohon kapas ada karena kita memerlukan kapas. Kapas ada karena kita memerlukan bendera.
Inilah dasar perjuangan kita, falsafah kapas. Dasar pikiran yang melandasi kenapa kita harus melestarikan bendera yang terbuat dari kapas. Paham?
SOMPENG:
Tapi kain apapun cepat lapuknya dan lama-lama juga habis dimakan rayap. Karenanya orang-orang mencari bahan lain supaya bendera tahan lama.
GARENG:
Bendera apapun dapat saja lapuk dan habis. Tapi pohon kapas terus tumbuh. Yang lapuk diganti. Nah, kita akan berdosa apabila kapas masih ada tapi tidak berusaha mengganti bendera yang telah lapuk.
Hal ini sudah kukatakan berkali-kali pada kawan-kawan seperjuangan di Gedung Kebangsaan, tapi malah mereka mencurigaiku. Aku harus terus berjuang mempertahankan bendera ini dari kain. Kain terbuat dari kapas.
SOMPENG:
Apa gunanya bertahan saat ini, bang. Bertahan atau tidak, melawan atau tidak, setuju atau tidak, semuanya akan tetap berjalan seperti yang telah mereka gariskan.
GARENG:
Tidak. Pak Sekjen di Gedung Kebangsaan adalah satu-satunya orang yang memahami maksudku. Karena itulah dia memesan bendera ini kepada kita.
SOMPENG:
Apa ruginya kalau bendera dibuat dari bahan selain kapas. Ah, abang selalu saja bertahan pada persoalan-persoalan sepele.
GARENG:
Sepele katamu? Sepele? Uh, Sompeng. Sompeng. Kalau aku masih jadi intel sudah aku isukan kau anti revolusi, anti perjuangan! Biar kau rasakan akibatnya! Untung aku sudah pensiun.
Ingat Sompeng. Persoalan bendera bukan persoalan main-main. Ini masalah kepercayaan, Masalah falsafah perjuangan, dasar kenegaraan, masalah identitas bangsa, masalah kemerdekaan! Bendera apapun harus terbuat dari kain, kain dari benang, benang dari kapas, kapas dari pohon kapas. Ah! Berapa kali harus kuterangkan agar kau mau mengerti. Ayo, teruskan jahitanmu.
SOMPENG:
Dua gulungan besar harus dipertautkan menjadi sebuah bendera panjang. Pasti tidak akan selesai malam ini. (terus menjahit dengan lesu)
GARENG:
Harus selesai! Kalau kita tidak dapat menjadikan kedua gulungan kain ini menjadi bendera, besok pagi Gedung Kebangsaan tidak akan mempunyai bendera. Betapa konyolnya, saat detik-detik kemerdekaan nanti dikumandangkan ulang, Gedung Kebangsaan kosong melompong tanpa bendera.
SOMPENG:
Kenapa benderanya harus sepanjang ini? Gedung Kebangsaan itu kan tidak terlalu besar?
GARENG:
Memang begitu pesanan pak Sekjen. Setelah nanti upacara selesai, bendera yang panjang ini akan dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada semua pegawai dan istri-istri mereka.
SOMPENG:
Seperti membagi-bagi nasi tumpeng?
GARENG:
Mulutmu Sompeng! Mulutmu! Membagi-bagi bendera ada falsafahnya. Bendera lambang suatu bangsa yang merdeka. Suatu bangsa baru disebut merdeka kalau sudah punya bendera. Nah, membagi-bagi bendera sama artinya dengan membagi-bagikan kemerdekaan. Paham?
SOMPENG:
Artinya setiap pegawai dan istrinya mendapat kemerdekaan sepotong-sepotong?
GARENG:
Otakmu, Sompeng! Otakmu Sompeng! Otakmu terlalu sederhana sehingga kau mudah terjebak jadi ekstremis. Bagaimana mungkin setiap orang mendapatkan kemerdekaan penuh. Kemerdekaan punya batas dan batasan. Pegawai punya aturan dan peraturan. Semuanya harus tahu aturan. Karenanya istri-istri juga harus tahu aturan.
Ayolah, teruskan jahitanmu. Kalau bicara terus menerus bendera ini tidak akan selesai sampai kiamat. Ayo. (Sompeng patuh dan Gareng menyanyi kembali sambil memegang kedua ujung kain. Tiba-tiba dia teringat sesuatu) E,e,e, Sompeng. Sompengku, Sompeng.
SOMPENG:
Iya bang. Apa lagi?
GARENG:
Dengar aku. Aku tadi rasanya masuk ke dalam sejarah. Bayangkan Sompeng. Seorang istri menjahit sebuah bendera untuk kemerdekaan suaminya.
SOMPENG:
Sejarah apa yang mau memerdekaan seorang suami? Mungkin abang salah masuk. Abang kira buku sejarah ternyata buku falsafah kapas. Begitu barangkali.
GARENG:
Maksudku, seorang istri menjahit bendera untuk kemerdekaan bangsanya di depan suaminya.
SOMPENG:
Dulu memang pernah terjadi. Ibu Fatmawatipun melakukannya dulu. Dia menjahit bendera di depan suaminya, Sukarno. Lalu dengan abang?
GARENG:
Rasanya, akulah suami itu.
SOMPENG:
Apa selama ini abang tidak pernah merasa sebagai suami? Bang, kalau otak terlalu dirasuki kapas, begitulah jadinya.
GARENG:
(tak mengacuhkan) Kemudian sang suami mencium bendera dan mencium istrinya. Sementara di bawah jendela mengintai tentara penjajah untuk menangkapnya. Sang suami tahu, tetapi dia tetap tenang. Acuh. Dan sewaktu pintu digedor dan dia langsung ditangkap, sang suami berseru pada istrinya yang masih menggenggam bendera yang belum selesai dijahit, “Merdeka! Merdekalah kau dengan benderaku!”
SOMPENG:
Tidak mungkin sang suami mengucapkan kata seperti itu. Pasti yang abang sebut tadi kelanjutan dari falsafah kapas.
GARENG:
Diam kau Sompeng! (terus dalam lamunannya) Dan sang suami digiring ke penjara. Bendera itu disimpan istrinya, seperti menyimpan cinta pada suaminya. Sompeng. Dia mencintai suaminya seperti mencintai bendera. Sompeng. Bendera itu dari kain. Kain dari benang. Benang dari,
SOMPENG:
Kapas. Kapas dari pohon kapas. Pohon dari biji. Biji dari buah. Buah dari bunga. Bunga dari,
GARENG:
Sudah! Kalau tidak mampu mengikuti pikiranku, ikuti saja perintahku. Ayo teruskan lagi jahitanmu! (Sompeng patuh. Gareng menyanyi lagi. Kemudian mendekati Sompeng)
Sompeng. Sompengku.
SOMPENG:
Ya, Bang.
GARENG:
Kau masih ingat bagaimana dulu kita pertama kali berjumpa?
SOMPENG:
(Menelungkupkan kepala ke atas jahitannya karena letih) Masih, bang. Masih.
GARENG:
Waktu itu kau berdiri di balik pagar kemuning rumahmu memperhatikan pasukanku lewat. Aku tiba-tiba tersandung dan jatuh. Robek celanaku dan kau tertawa cekikikan bersama teman-temanmu. Aku marah karena waktu itu aku tidak pakai celana dalam. Kemudian aku berdiri dan menggertakmu dengan senjataku. Masih ingat kan?
SOMPENG:
Masih.
GARENG:
Lalu tengah malam aku datang dan melarikanmu. Kita bersembunyi di atas pedati patah sumbu. Kitapun berdua kawin malam itu. Dan kau menangis, berbisik dekat ketiakku. “Bang Gareng, diriku kini darurat. Abang harus bertanggung jawab” Masih ingat?
SOMPENG:
Masih.
GARENG:
Kita terus berjuang. Dari kampung ke kampung, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dari musim ke musim. Masih ingat kan?
SOMPENG:
(tertidur) Mmm.
GARENG:
Berganti-ganti tanda pangkat ditempelkan di lengan bajuku. Berganti-ganti pula surat pengangkatan dan surat penurunan kuterima. Setelah kemerdekaan diumumkan di Gedung Kebangsaan, saat itu pula aku dipensiunkan. Dianggap kurang sehat dan dikirim ke rumah sakit gila. Dituduh aku gila karena bicaraku yang selalu tanpa tedeng aling-aling pada komandan. Kukatakan pada semua orang, mengibarkan bendera saat detik kemerdekaan diumumkan, tidak terlalu penting. Yang penting justru kesadaran bahwa kita benar-benar telah merasa merdeka. Tidak hanya berteriak-teriak “Merdeka! Merdeka atau mati!”
Buat apa mengibarkan bendera atau berteriak merdeka tapi perasaan dan pikiran tetap di alam penjajahan. Apalah artinya bendera. Bendera itu terbuat dari kain. Kain dari benang dan benang dari kapas. Kapas dari, (menoleh pada Sompeng yang tertidur) Sompeng! Sompeng! Sial! Tertidur kau rupanya! (Sompeng bangun) Ayo teruskan jahitanmu. (Sompeng patuh). Gedung Kebangsaan memerlukan bendera! Pak Sekjen perlu bendera! Pegawai-pegawai dan istri-istrinya perlu bendera! Besok pagi bendera ini harus kuantar sendiri. Dan pulangnya, aku akan membawa uang! Uang Sompeng! Uang!
(ragu) Uang? Yaya. Satu meter benderaku akan dibayarnya tiga ribu lima ratus! Lima ratus diberikan pada bendaharawan. Dua ratus untuk pegawai yang mengetik kuitansi. Lima ratus lagi untuk pajak pendapatan. Lima ratus lagi untuk pak Sekjen. Tiga ratus sumbangan wajib istimewa. Semuanya berjumlah dua ribu lima ratus.
Kemudian untuk pembayar beli kain dua bal tujuh ratus, benang merah seratus lima puluh, ongkos beca lima puluh, tinggal lagi seratus, lima puluh untukmu dan lima puluh untukku. Yaya. Itulah rejeki kita yang sah. Hasil jerih payah kita malam ini.
Sompeng. Kita sebenarnya tidak terlalu miskin. Oleh karena itu kita perlu mengabdi saat-saat akhir hidup ini. Mengabdi. Yaya, itulah kata yang lebih menenteramkan.
Dan besok pagi Sompeng, bendera ini akan dibagi-bagikan. Golongan satu mendapat seperempat meter, golongan dua setengah meter, golongan tiga satu meter, golongan empat dua meter dan golongan-golongan lain mendapat lebih panjang lagi.
Bayangkan Sompeng. Sekiranya pegawai Gedung Kebangsaan berjumlah dua ribu dan dipukul rata mendapat satu meter, kita akan mendapatkan uang limapuluh kali dua ribu, Wah, betapa banyaknya. Aku akan beli sepeda. Dengan sepedaku kau akan kuboncengkan. Kita pulang kampung naik sepeda.
Sompeng, dengar aku. Sepeda! Sepeda itu dari bendera. Bendera dari kain, kain dari benang dan benang dari,
SOMPENG:
Kapas!
GARENG:
Kapas? Bagus. Besok kau akan kubelikan kapas. Lima kilo! O, Sompengku! Betapa besarnya karung belanjaku dari pasar membawa kapas lima kilo! Tapi jangan cemas, yang kubawa itu karung berisi kapas. Kau mau kubelikan kapas, bukan?
SOMPENG:
Buat apa kapas bagiku?
GARENG:
Kapas itu vital, Sompeng. Sampai ke liang kuburpun kita masih memerlukan kapas. Jika kita mati, tidak mungkin hidung dan mulut jenazah kita ditutup dengan kertas koran, bukan?
SOMPENG:
Ya, Bang.
GARENG:
Yaya. Kau memang memerlukan kapas. Aku tahu keperluanmu. Sedangkan aku memerlukan sepeda. Masing-masing keperluan kita akan terpenuhi besok pagi dengan menjual bendera yang kita jahit malam ini. Ayo, semangat. Semangat. Teruskan lagi jahitanmu.
SOMPENG:
Mungkin kita hanya menjahit harapan, Bang.
GARENG:
Tidak. Kita menjahit kapas. Benang dari kapas. Kain dari kapas. Kita jahit kapas dengan kapas.
SOMPENG:
Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila sebelum bendera ini selesai.
GARENG:
Kalau kau sempat jadi gila, salahmu sendiri. Karena kau tidak menyadari bahwa menjahit kapas harus dengan kapas.
SOMPENG:
Falsafah lagi.
GARENG:
Diam kau! Menurut otakmu ucapanku ini salah. Tapi pada hakekatnya memang begitu. Semuanya berasal dari kapas.
SOMPENG:
Aku tidak mengerti hal itu, bang.
GARENG:
Kalau mau mengerti jangan pakai otak mendengar apa yang kuucapkan.
SOMPENG:
Pemahaman kan harus pakai otak, bang.
GARENG:
Iya. Kalau mau memahami sesuatu, kau harus memakai otak, paham? Tapi bukan otak ekstremis! Ayo, jahit lagi. Kalau kau bicara terus-menerus nanti Gedung Kebangsaan tidak punya bendera.
SOMPENG:
Justru abanglah yang selalu bicara.
GARENG:
Iya. Kau memang harus diam, kalau aku bicara. Kau diam dan terus menjahit. Nah, dengan diamnya kau, barulah bendera itu dapat diselesaikan. Kau harus diam kalau ingin mendapatkan kapas lima kilo! Ayo, menjahit lagi. (Sompeng patuh.) Sompeng.
SOMPENG:
Iya, bang.
GARENG:
Menjahit kapas harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Mencari uang harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Membeli sepeda harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Pulang kampung harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Enaknya kau bilang kapas, kapas, kapas. Apa kau paham maksud sesungguhnya dari falsafah kapas?
SOMPENG:
Tidak bang.
GARENG:
(bingung sendiri) Aku juga tidak.
SOMPENG:
Astagfirullah. Jadi, bagaimana bang?
GARENG:
Aku saja tidak paham, apalagi kau. Itu sebabnya tadi aku marah. Kenapa kita tidak bisa memahami apa yang telah kita katakan sendiri. Bagaimana menurutmu? Apa aku ini konyol? (melihat pada Sompeng yang tersenyum getir) Sompeng, Sompeng. Jangan tertawakan aku. Jangan. Lebih baik teruskan jahitanmu daripada menyakitkan hatiku. Ayo, terus. (Sompeng patuh) Sompeng. Menjahit bunga harus dengan,
SOMPENG:
Bunga.
GARENG:
Menjahit pemahaman harus dengan,
SOMPENG:
Pemahaman.
GARENG:
Iya, benar. Sekarang kau sedang menjahit apa Sompeng?
SOMPENG:
Menjahit kapas.
GARENG:
Iya, benar. Pintar kau sekarang.
SOMPENG:
Kalau bicara terus memang bisa pintar.
GARENG:
Jangan, jangan. Tidak perlu kau terlalu pintar. Jika kau pintar dan kau akan bicara terus-menerus, bendera ini pasti tidak akan siap. Ini berbahaya. Dua ribu pegawai dan bapak Sekjen tidak akan mendapatkan bendera. Mereka tidak akan mendapat kemerdekaannya.
Sompeng. Biarlah kau tidak pintar asal bendera ini siap. Biarlah kau tetap bodoh, asal semua orang mendapat kemerdekaannya. Kita jangan sampai mengancam kemerdekaan orang lain dengan kepintaran kita.
Sompeng, sebenarnya kau adalah pejuang. Kau rela untuk jadi bodoh agar orang lain mendapat kemerdekaannya. Jadi, kebodohanmu itu adalah baktimu pada nusa dan bangsa. Kebodohanmu itu adalah perjuangan bagi mendapatkan kemerdekaan orang lain. Ayo, teruskan jahitanmu. (Sompeng patuh. Gareng menyanyi lagi kemudian mendekati Sompeng) Sompeng.
SOMPENG:
Apa lagi, bang.
GARENG:
Kau rela untuk tidak pintar, kan?
SOMPENG:
Menjahit kepintaran harus dengan pintar, paham!
GARENG:
Ha? Kau pula sekarang yang bertanya apa aku paham atau tidak! Aku tidak dungu, bodoh atau gila! Cukuplah komandanku dan teman-temanku itu saja menuduhku begitu. Tuduhan mereka hanya karena iri hati. Mereka iri hati padaku. Aku intel, penterjemah sandi, pembaca Morse tercepat, penunggang kuda terbaik dan jago tembak! Aku bisa menembak di atas kuda! Karena mereka iri, lalu aku dipensiunkan.
Sompeng, Sompeng. Untung aku sudah pensiun. Kalau tidak, sudah kubuat darurat dirimu seperti zaman darurat dulu. Tapi sudahlah. Teruskan jahitanmu. Bila jahitanmu selesai, kitalah pemilik bendera terpanjang di muka bumi. Kitalah yang akan menyerahkan bendera pada pak Sekjen dan duaribu pegawai Gedung Kebangsaan. Kita pemilik bendera sekaligus pemilik kemerdekaan. Betapa bahagianya hidup ini Sompeng. Kemerdekaan kita berikan kepada mereka. Kemerdekaan, Sompeng. Kemerdekaan sompeng!
Ayo, jahit lagi. Jahit lagi.
*
Sompeng kembali menjahit dan Gareng memegang kedua ujung kain dan terus menyanyi. Hari semakin larut. Beberapa saat kemudian, Jondul datang. Dia membawa segulungan plastik, beberapa kaleng cat dan kwas. Semua barang bawaannya itu diletakkan di lantai.
SOMPENG:
Oh, kau. Jondul!
GARENG:
Dari mana kau malam-malam begini?
JONDUL:
Baru pulang membeli plastik. Sukar sekali mendapatkan harga yang murah saat ini. Padahal semuanya sudah dibuat di dalam negeri kita sendiri.
GARENG:
Kalau hanya untuk kantong sampah tidak perlu plastik sebanyak itu.
JONDUL:
Semuanya ini pesanan pak. Besok pagi harus kuantarkan.
GARENG:
Siapa pula yang memesan kantong sampah saat acara peringatan kemerdekaan? Apa semua orang akan dimasukkan ke dalamnya?
JONDUL:
Ini bahan untuk membuat bendera.
GARENG:
Bendera? Dari plastik?
JONDUL:
Iya pak. Untungnya lumayan. Komisi memang tinggi tapi daripada tidak goyang sama sekali, kuterima juga.
GARENG:
Ya Allah. Jadi kau akan gantikan bendera kita dengan plastik, saat ulangan detik-detik kemerdekaan besok pagi? O, anakku, Jondul. Jondul.
(berdoa) Ya Allah. Ampunkan segala dosa anak nakal ini. Tunjukilah dia pada jalan yang lurus, jalan yang tidak berbatu kerikil atau berlobang-lobang. Sebagaimana jalan yang telah ditempuh para pejuang. Ya Allah, hindarkan anakku ini dari ekstrimitas, kedangkalan pengertian dan penafsiran-penafsiran yang keliru terhadap bendera bangsanya, falsafah negaranya, dan hakekat kemerdekaannnya. Amin.
SOMPENG:
Kenapa kau memilih bahan ini?
JONDUL:
Plastik lebih tahan dari kain, bu.
GARENG:
Bendera apapun harus terbuat dari kain. Kain dari benang. Benang dari kapas. Ini persoalan falsafah dan kepercayaan kita, anakku. Jangan main-main dalam persoalan ini.
JONDUL:
Apapun bahannya, bendera kan tetap bendera, Pak.
GARENG:
Justru bahanlah yang menentukan apa yang akan kita buat. Ini masalah falsafah Jondul. Falsafah!
JONDUL:
Tapi aku ingin bendera kita tidak boleh diturunkan hanya karena hari hujan. Bendera kita harus berkibar tanpa tergantung cuaca. Bendera dari plastik dapat melepaskan diri dari situasi cuaca yang bagaimanapun juga buruknya.
Tekadku ini sangat dihargai bapak Dirjen Gedung Kebangsaan dan dia langsung memesan bendera yang kumaksudkan ini.
GARENG:
Plastik. Kau tahu plastik berasal dari ampas minyak mentah! Minyak mentah berasal dari fosil. Fosil itu pada hakekatnya adalah bangkai! Bila kau mengibarkan bendera plastik, sama artinya kau mengibarkan bangkai.
Jondul, Jondul. Kau akan kibarkan bangkai-bangkai untuk peringatan kemerdekaan kita di puncak Gedung Kebangsaan? Uh! Otakmu pasti sudah dirusak pikiran-pikiran kotor. Kau pasti didalangi!
JONDUL:
Apakah dari bangkai turun ke fosil, dari fosil turun ke minyak, dari minyak turun ke ampas dan terus jadi plastik, bukan urusan kita pak. Sekarang plastik itu sudah ada, produksi dalam negeri kita sendiri. Tahan terhadap segala keadaan. Apa salahnya dibuat bendera kita sendiri pula? Hasil dari bumi kita untuk bendera kebangsaan kita.
GARENG:
Jaringan otakmu memang sudah ada yang bolong! Ingat Jondul. Aku ini, bapakmu sendiri, adalah pejuang yang ikut mempertahankan bendera kita. Jangan kau ikut-ikutan merendahkan nilai perjuanganku dengan plastikmu itu.
SOMPENG:
Si bapak memperjuangkan kemerdekaan tapi tidak mau mengakui kemerdekaan anaknya sendiri memilih bahan bendera bangsanya.
GARENG:
Diam kau Sompeng! Jadi kau sepakat dengan anakmu ini menggantikan falsafah bangsa yang sudah dianut semua orang? Plastik buatan dalam negeri. Kapas juga buatan dalam negeri. Ayo, teruskan jahitanmu. Ini masalah falsafah bangsa. Berat ini!
JONDUL:
Bapak. Aku tidak berniat menggantikan bendera kita, falsafah bangsa ataupun kepercayaan semua orang. Percayalah. Aku ini kan anak seorang pejuang, ya kan pak?
GARENG:
Iya, siapa yang memungkiri kau anakku. Tapi aku memperjuangkan bendera dari kain, kain dari kapas, kau memperjuangkan bendera dari plastik, plastik dari ampas. Jadi, menurut pikiran filsafat, karena antara plastik dan kapas tidak ada hubungannya, maka pada hakekatnya kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.
JONDUL:
Ini kan hanya proyek, pak. Proyek. Aku memerlukan sejumlah uang. Tak ada maksud lain.
GARENG:
Walaupun dari dulu kita tidak pernah kaya tapi kita tidak pernah meminta-minta.
JONDUL:
Benar pak. Tapi kita selalu kekurangan uang.
GARENG:
Itu biasa. Kan tidak ada hubungannya antara kemiskinan dengan uang. Uang dari kertas, kemiskinan dari jiwa. Paham!
SOMPENG:
Jondul. Istrimu bekerja, kau juga bekerja. Anakmu hanya seorang. Buat apa uang kau cari dengan membuat bendera plastik ini?
GARENG:
Kalau aku membuat bendera bersama ibumu malam ini, dasarnya adalah pengabdian. Pengabdian, tahu kau. Sedangkan uangnya, berapalah. Jondul. Buat apa lagi uang buatmu, kalau semua keperluanmu sudah dapat teratasi?
JONDUL:
Aku mau beli bemo atau helicak bekas. Aku ingin jadi sopir. Lebih bebas kita jadi pengemudi daripada jadi penumpang. Itu sebabnya aku perlu uang.
GARENG:
Tujuanmu baik, nak. Tapi kau akan mendapatkan uang dengan menjual bendera plastik aku tidak setuju. Haram uang bangkai bagiku.
JONDUL:
Pesanan ini harus dikerjakan, pak. Kalau tidak pak Dirjen tentu marah. Dan aku sendiri perlu uang untuk merubah statusku menjadi pengemudi. Pemegang kendali dalam sebuah kendaraan yang sedang berjalan. Aku sudah cukup bosan dan menderita terus menerus jadi penumpang.
SOMPENG:
Anakku, anakku. Bagaimana mungkin kau merubah statusmu.
JONDUL:
Itulah yang sedang aku perjuangkan. Bendera plastik ini hanya sebagai batu loncatan saja, bu.
GARENG:
Jijik aku mendengarnya, Jondul! Bendera kebangsaan kau jadikan hanya sebagai batu loncatan? Bendera adalah kebanggaan suatu bangsa, kau kan tahu itu!
SOMPENG:
Sebenarnya tujuan si anak dan si bapak sama. Tapi cara masing-masing berbeda dan alasan yang saling bertentangan.
GARENG:
Ini masalah prinsip, Sompeng. Prinsip Sompeng!
SOMPENG:
Jondul. Hari sudah semakin malam. Kerjakan saja apa yang dapat kau kerjakan. Jangan bicara terus menerus seperti bapakmu itu.
JONDUL:
Iya, bu. Aku akan segera mewarnai plastik ini sehingga berubah fungsi menjadi sebuah bendera.
GARENG:
Tapi jangan kau kerjakan di rumah ini. Rumah ini rumah sejarah. Rumah pejuang. Aku tidak ingin rumah ini dijadikan pembuat bendera-bendera dari bangkai!
SOMPENG:
Jondul. Sebaiknya kau kerjakan di rumah istrimu.
JONDUL:
Justru harus dikerjakan di rumah kita ini, bu. Proses pembuatan benderaku ini cukup penting bagi sejarah. Rumah kita ini akan menjadi monuman sejarah bangsa.
GARENG:
Rumah ini bersejarah karena aku dan ibumu menjahit bendera malam ini. Bendera itu dari kain, kain dari benang dan benang dari,
JONDUL:
Kapas.
GARENG:
Diam kau, lancang!
SOMPENG:
Semua orang ingin membuat bendera untuk bangsa dan negerinya. Semua orang ingin dicatat dalam sejarah bangsa dan negerinya.
GARENG:
Sompeng! Jangan ikut-ikutan bicara soal perbedaan. Aku dan anakku tidak akan jauh berbeda. Teruskan saja jahitanmu!
Sompeng kembali menjahit. Jondul mulai bekerja. Tiba-tiba Jondul teringat sesuatu. Dia mencari-cari sesuatu itu sampai-sampai ke balik gulungan bendera yang sedang dijahit ibunya. Gareng tidak senang melihat Jondul demikian.
GARENG:
Kerjakan saja pekerjaanmu. Apa pula yang kau cari di balik benderaku!
SOMPENG:
Apa yang hilang, Jondul?
JONDUL:
Tidak bisa dikerjakan malam ini. Ya Allah, kenapa bisa aku lupa?
SOMPENG:
Apa yang terlupa?
JONDUL:
Terpentin! Cat ini harus diaduk dengan terpentin! Bagaimana jadinya bendera kalau diwarnai dengan warna yang kental? Dia tentu tidak akan dapat berkibar.
GARENG:
Tidak ada terpentin atau minyak cat apapun di balik benderaku.
JONDUL:
Jika benderaku tidak siap malam ini, aku tidak akan dapat membeli bemo atau helicak. Statusku akan tetap sebagai penumpang. Ibu. Bu, tolong aku.
SOMPENG:
Dengan minyak rambutku mungkin bisa kan?
JONDUL:
Mesti dengan terpentin, bu. Cat tidak pernah mengenal kompromi. Ah, kenapa aku bisa lupa bahwa pengaduk cat ini harus dengan terpentin? Aduh, statusku. Statusku.
SOMPENG:
Kasihan aku padamu, nak. Biar aku pergi ke toko Cina yang berada di depan Gedung Kebangsaan itu. Mungkin bisa kudapatkan apa kau perlukan.
GARENG:
Semua toko malam begini sudah tutup, Sompeng. Apakah itu toko Cina, toko Arab, apalagi toko Melayu. Setiap malam mereka tutup.
JONDUL:
Tolonglah bu. Tolong.
SOMPENG:
Kebetulan istri tauke itu dulu pernah berhutang. Sampai sekarang mereka sangat segan padaku. Aku akan ke sana.
GARENG:
Hutang? Istri tauke itu pernah berhutang kepadamu? Wah, wah, kenapa aku tidak tahu, ya? Padahal aku dulu intel kan? Jadi, berapa jumlah hutangnya?
SOMPENG:
Hutang budi, bang. (ke luar)
GARENG:
E,e,e,e Sompeng! Bendera kita jangan ditinggalkan begitu saja. Bendera kita juga harus siap besok pagi. Sompeng! Benderaku Sompeng!
E, kau Jondul! Ibumu itu sudah tua, kau suruh juga pergi ke toko Cina dalam malam yang semakin larut ini.
JONDUL:
Pak. Hanya ibu yang disegani mereka, selebihnya berhutang kepadanya.
GARENG:
Ingat Jondul. Aku akan menyesalimu seumur hidup, bila benderaku tidak siap karena ibumu kau suruh pergi ke toko Cina.
Sejak semula aku tidak setuju dengan rencana gilamu itu. Tapi, ya, bagaimana lagi. Aku bapakmu. Bagaimana mungkin aku menutup peluang bagi apa yang sedang kau perjuangkan. Celakanya, aku yang jadi korban. Benderaku mungkin tidak siap, sementara benderamu juga belum tentu selesai.
JONDUL:
Setelah ibu kembali, kita akan sama-sama mengerjakan bendera, pak. Aku percaya, bapak mampu menyiapkannya dan akupun yakin dapat menyelesaikannya tepat waktu. Dan besok pagi, bapak dan aku bersama-sama mengantarkan bendera ke Gedung Kebangsaan. Aku akan menyerahkannya kepada Pak Dirjen dan bapak menyerahkannya pada Pak Sekjen.
GARENG:
Sementara ibumu kembali, apa yang dapat kita kerjakan?
*
Barcep masuk membawa berbagai perkakas listrik; kabel-kabel, bola-bola listrik, kayu, kaca dan sebagainya. Gareng dan Jondul heran.
GARENG:
O, Barcep cucuku! Ya Allah! Apa yang kau bawa malam-malam seperti ini?
JONDUL:
Barcep! Ke mana saja kau tidak pulang tiga malam, ha! Aku dan ibumu sudah mencarimu ke mana-mana bahkan sampai ke kantor polisi.
BARCEP:
Papa. Aku dapat proyek. Lihat saja. Aku akan menjadi orang ternama bila proyek ini selesai.
GARENG:
O,o,o, Barcep. Proyek apa yang akan kau kerjakan.
BARCEP:
Bapak Irjen Gedung Kebangsaan memesanku membuat bendera dan harus siap malam ini juga.
JONDUL:
Bendera? Pesanan pak Irjen?
GARENG:
Hehehe. Aku menerima pesanan pak Sekjen. Anakku menerima borongan pak Dirjen. Dan cucuku dapat proyek pak Irjen. Sama-sama bendera, heheheh. Barcep. Bendera seperti apa yang akan kau buat?
BARCEP:
Bendera tembus waktu. Terbuat dari cahaya. Akan dapat dilihat siang dan malam. Kakek dan papa kan juga membuat bendera. Tapi kalau malam hari, bendera-bendera seperti itu akan hilang dilulur gelap. Itulah sebabnya aku harus membuat bendera anti gelap dan hanya benderaku nanti yang akan bersinar. Hebat kan?
GARENG:
Hebat, hebat. Hebat kau cucuku.
JONDUL:
Bagaimana mungkin kau dapat mengerjakannya?
BARCEP:
Begini. Kususun bola-bola bewarna ini dan kumasukkan ke dalam kotak kaca. Kemudian dialirkan arus listrik. Tekan tombolnya. Byar! Berkibarlah benderaku. Siang dan malam.
JONDUL:
Barcep, Barcep. Mana ada benda keras bisa berkibar.
BARCEP:
Berkibar itu bergerak dan bergerak itu diam.
GARENG:
Itu falsafah apa, cucuku?
BARCEP:
Bukan falsafah tapi hukum alam. Bumi berputar tapi kita merasakannya seperti diam. Matahari berputar tapi kita melihatnya diam. Gasing berputar kelihatannya diam. Semakin cepat kibaran benderaku, semakin cepat gerakannya dan kelihatannya adalah diam.
GARENG:
Ampun aku Barcep, ampun aku, he he. Jondul, kalau si Barcep ini nanti punya anak pula dan mendapat pesanan membuat bendera seperti kita, tidak tahulah aku entah dari bahan apa lagi bendera yang akan dibuatnya.
BARCEP:
Begini. Bendera yang kakek buat atau bendera yang dibuat papa itu bahannya dari kapas atau ampas minyak bumi. Artinya bahan bendera kakek dan papa Bangih dari tanah. Artinya lagi, bendera begitu adalah bendera masyarakat agraris. Tapi benderaku, bendera elektronik, berasal dari otak manusia. Listrik diciptakan manusia, manusia diciptakan Tuhan. Nah, cahaya benderaku adalah proyeksi dari cahaya Tuhan.
JONDUL:
Suka hatimulah! Kalau mau berkhotbah jangan di sini, tapi di masjid sana hari Jum’at!
BARCEP:
Tapi hasil khotbah itu cukup lumayan, papa. Dua juta untuk gagasan dan satu juta untuk peralatan.
GARENG:
Betapa banyak keuntungan yang kau peroleh. Buat apa uang sebanyak itu bagimu?
BARCEP:
Untuk beli gelar sarjana. Gagasan apapun sekarang harus didukung dengan gelar kesarjanaan. Seakan-akan hanya sarjana saja yang punya pikiran.
GARENG:
Kiamat sudah. Kiamat. Kiamat sudah anak cucuku.
BARCEP:
Tenang saja kakek. Besok pagi bendera cahayaku ini akan kuletakkan di tempat tertinggi Gedung Kebangsaan. Saat detik kemerdekaan diulang, benderaku menyala dan bercahaya ke segala penjuru dunia. Yang berpangkat tinggi maupun yang berpangkat rendah mendapat cahaya yang sama. Benderaku cahaya keadilan, kek! Tidak dibagi-bagi permeter menurut kepangkatan dan golongan seperti bendera yang kakek buat itu. Benderaku cahaya. Nur! Bangsaku harus bercahaya! Harus bersinar siang malam. Harus adil. Keadilan yang disirami Nur Tuhan.
JONDUL:
Sudah. Sudahlah. Kau sama saja dengan kakekmu. Filsafat, agama, kepercayaan dan segala yang tidak pernah jelas.
GARENG:
E,e,e, cucuku jangan dimarahi. Dia punya pikiran, cita-cita dan gagasan serta punya kemampuan mengerjakannya.
JONDUL:
Aku sangat memahami anakku sendiri, pak. Masa kita yang tua-tua diajari seperti mengajar anak ingusan. Aku ini kan bapaknya.
GARENG:
Kau kan juga berbuat begitu terhadapku, bukan?
JONDUL:
Barcep. Kalau mau membuat benderamu jangan di sini. Muak aku mendengar ocehanmu.
BARCEP:
Ibu juga melarangku mengerjakan bendera ini di rumah kita. Ibu marah dan berteriak-teriak. “Barcep! Rumahku bukan bengkel! Bukan arena pertarungan gagasan-gagasan! Urusan di rumah ini khusus untuk tidur, makan, berak!” Macam-macam lagi yang disebut ibu. Aku tidak tahan. Itu sebabnya di rumah ini aku mengerjakan benderaku.
GARENG:
He he. Kalian benar-benar seperti aku. Tidak salah lagi, kalian adalah anak dan cucuku. Pewaris perjuangan.
GARENG:
Aku jadi heran pada bapak. Pada bendera Barcep bapak setuju, tapi pada benderaku tidak.
GARENG:
He he. Seorang kakek yang sehat lebih menyayangi cucunya yang pintar ketimbang anaknya yang bodoh! Ini hukum alam. Hukum alam, kan Barcep? He he. Masuk akal juga filsafat benderamu itu.
*
Sompeng tergesa masuk membawa segulung kapas.
BARCEP:
Nenek! Nenek! Aku dapat proyek bendera! Bendera dari cahaya! Lihat, ini semua bahannya sudah ada. Aku harus selesaikan malam ini juga!
SOMPENG:
Ya Rabbi. Kau juga mau jadi penjual bendera seperti kakek dan ayahmu?
JONDUL:
Bagaimana bu. Berhasil? Mana terpentinnya?
GARENG:
He he. Sompeng, Sompeng. Anakmu perlu terpentin tapi yang kau bawa kapas. Sompeng, sompeng. Ini bukan masalah filsafat lagi, tapi masalah keperluan mendesak, kenyataan, realitas.
SOMPENG:
Luar biasa! Bukan main! MasyaAllah! Mau runtuh rasanya langit malam ini!
GARENG:
Ada apa? Bicaralah terus terang. Kenapa kau lambat sekali pulang.
SOMPENG:
Seakan aku tidak percaya pada mataku sendiri.
GARENG:
Iya. Apa yang kau lihat? Kapas itu jatuh dari langit atau diberi oleh tauke itu?
SOMPENG:
Nantilah soal kapas. Sekarang kita bicara soal kenyataan.
JONDUL:
Persoalan apa bu?
SOMPENG:
Dengar. Sekarang ini orang ramai sekali memasang bendera di Gedung Kebangsaan! Disorot lampu-lampu menyilaukan, mereka memanjat tangga besi yang menjulur dari mobil-mobil besar!
GARENG:
Mana mungkin! Benderanya masih di sini. Itulah penyakitmu, Sompeng. Kau kalau terlalu letih suka berbohong. Duduklah dulu. Tarik nafas. Letakkan kapasmu.
SOMPENG:
Bagaimana mungkin aku berbohong pada suami, anak dan cucuku dalam waktu yang sama. O, malaikat! Pekerja-pekerja yang memasang bendera itu didatangkan dari Jepang, Korea, India, Italia, Belanda dan Amerika! Tanpa banyak bicara mereka bekerja terus mungkin sampai fajar tiba.
GARENG:
Kau mau bersumpah, apa yang kau katakan benar?
SOMPENG:
Sumpah!
GARENG:
Ya Allah. (lemah dan menggeletak di atas kain bendera)
SOMPENG:
Menurut istri tauke pemilik toko, semua itu adalah pesanan Bapak Kepala Gedung Kebangsaan. Biarpun harganya cukup mahal, bendera buatan luar negeri lebih bermutu dan punya gengsi tersendiri.
BARCEP:
Apa istri tauke itu tidak salah, nek?
SOMPENG:
Dalam dunia perdagangan mereka pantas dicurigai. Tapi dalam soal bendera, mereka tidak pernah mau tahu. Mereka netral. Itu sebabnya aku percaya padanya. Apalagi sewaktu pulang, aku diberinya lima kilo kapas.
JONDUL:
Gagal sudah perjuangan kita.
SOMPENG:
Kalian telah berusaha membuat bendera, tapi kalah bersaing dengan bendera buatan luar negeri. Kalian pahlawan, korban dari persaingan perdagangan. Tapi jangan patah semangat. Hanya kitalah yang tahu persis di mana bendera kita diletakkan di Gedung Kebangsaan kita.
GARENG:
(dalam gulungan kain bendera) Sompeng.
SOMPENG:
Ya, bang. Aku di sini.
GARENG:
Masih menjahit?
SOMPENG:
Masih bang.
GARENG:
Menjahit apa lagi?
SOMPENG:
Menjahit harapan.
GARENG:
Oh, oh, (bergulung-gulung dalam kain bendera) Kau Jondul?
JONDUL:
Ya. Aku masih di sini, pak.
GARENG:
Kau sudah mulai mewarnai plastik itu?
JONDUL:
Aku akan mewarnai kehidupan, pak.
GARENG:
Ah, kau! (bereguling-guling dalam kain bendera) Barcep.
BARCEP:
Ya, kakek.
GARENG:
Bendera cahayamu sudah mulai bersinar?
BERCEP:
Belum terpasang, kek.
GARENG:
Sekarang semuanya sudah terang.
BARCEP:
Tapi masa depan masih gelap, kek.
GARENG:
Uh, uh, uh! (berguling-guling) Terlalu lemah suaramu, cucuku. Semakin sulit aku memahami kenyataan ini.
SOMPENG:
Bang. Bang Gareng. Istigfar bang. Istigfar. Sembahyang. Katanya kau akan sembahyang tahajjud sekalian. Bang. Bang Gareng.
GARENG:
(berdiri dan melepaskan kain bendera yang mengelimuti tubuhnya) Aku hanya perlu sepeda. Aku akan pulang kampung! Aku akan pulang! (Jatuh dan tak berkutik)
Dari Gedung Kebangsaan terdengar koor lagu-lagu perjuangan berkumandang. Gareng tiba-tiba berdiri.
GARENG:
He he. Kalian sangka aku mati karena mendapat saingan dengan bendera luar negeri! Tidak. Ayo, kalian. Ke sini. Mendekat padaku. Dekat. Saat detik kemerdekaan diulang sudah tiba.
(semuanya patuh)
Bendera itu dari kain. Kain dari benang. Benang dari,
SEMUA:
Kapas.
Gareng mengulang kata-kata itu berkali-kali dan dijawab oleh istri, anak dan cucunya dengan jawaban yang sama.
Mula-mula dengan penuh semangat, lama-lama menjadi sendu dan masing-masing menghapus air mata dengan punggung tangan. Mereka tidak menangis, tetapi air mata mereka tak teduh, diiringi lagu-lagu perjuangan yang terus dipancarkan dari Gedung Kebangsaan.
-tammat-
Padang, Agustus 1995
Ruang tengah dari sebuah rumah yang sederhana. Gareng menyanyi dengan senangnya sambil memegang kedua ujung kain merah dan kain putih yang panjang. Suaranya parau, namun dia tetap menyanyi dengan penuh semangat. Mungkin yang sedang dinyanyikannya lagu perjuangan; Sepasang Mata Bola ciptaan Ismail Marzuki atau lagu perjuangan lainnya seperti 1945.
Sompeng, isteri Gareng, menjahit kedua pinggiran kain putih dan kain merah itu dengan sebuah mesin jahit tua, mempertautkannya menjadi sebuah bendera yang sangat panjang. Sompeng bekerja dengan pasrah dan tampaknya dia sudah sangat letih.
SOMPENG:
Sudah lebih jam delapan.
GARENG:
Ya. Aku tahu (terus menyanyi)
SOMPENG:
Waktu sholat Isya sudah masuk sejak tadi.
GARENG:
Ya. Aku tahu (terus menyanyi)
SOMPENG:
Tapi kenapa abang masih menyanyi. Sebaiknya sholat dulu.
GARENG:
Nanti. Setelah semuanya selesai. Aku akan sembahyang tahajjud sekalian.
SOMPENG:
Masa karena soal bendera ini saja harus sembahyang tahajjud?
GARENG:
Ini masalah kepercayaan Sompeng! Bendera apapun tidak akan pernah dibuat selain daripada bahan kain. Bendera harus dari kain. Bendera yang terbuat dari kain punya falsafah yang dalam. Kita harus sembahyang tahajjud, minta pada Tuhan agar bendera kita tetap dipertahankan bahannya dari kain. Tidak dari bahan yang lain!
Dengar. Bendera terbuat dari kain. Kain terbuat dari benang. Benang dari kapas. Kapas dari buah kapas. Buah kapas dari bunga kapas. Bunga kapas dari putik kapas. Putik dari pucuk, pucuk dari daun, daun dari ranting, ranting dari dahan, dahan dari pohon, pohon kapas! Pohon kapas ada karena kita memerlukan kapas. Kapas ada karena kita memerlukan bendera.
Inilah dasar perjuangan kita, falsafah kapas. Dasar pikiran yang melandasi kenapa kita harus melestarikan bendera yang terbuat dari kapas. Paham?
SOMPENG:
Tapi kain apapun cepat lapuknya dan lama-lama juga habis dimakan rayap. Karenanya orang-orang mencari bahan lain supaya bendera tahan lama.
GARENG:
Bendera apapun dapat saja lapuk dan habis. Tapi pohon kapas terus tumbuh. Yang lapuk diganti. Nah, kita akan berdosa apabila kapas masih ada tapi tidak berusaha mengganti bendera yang telah lapuk.
Hal ini sudah kukatakan berkali-kali pada kawan-kawan seperjuangan di Gedung Kebangsaan, tapi malah mereka mencurigaiku. Aku harus terus berjuang mempertahankan bendera ini dari kain. Kain terbuat dari kapas.
SOMPENG:
Apa gunanya bertahan saat ini, bang. Bertahan atau tidak, melawan atau tidak, setuju atau tidak, semuanya akan tetap berjalan seperti yang telah mereka gariskan.
GARENG:
Tidak. Pak Sekjen di Gedung Kebangsaan adalah satu-satunya orang yang memahami maksudku. Karena itulah dia memesan bendera ini kepada kita.
SOMPENG:
Apa ruginya kalau bendera dibuat dari bahan selain kapas. Ah, abang selalu saja bertahan pada persoalan-persoalan sepele.
GARENG:
Sepele katamu? Sepele? Uh, Sompeng. Sompeng. Kalau aku masih jadi intel sudah aku isukan kau anti revolusi, anti perjuangan! Biar kau rasakan akibatnya! Untung aku sudah pensiun.
Ingat Sompeng. Persoalan bendera bukan persoalan main-main. Ini masalah kepercayaan, Masalah falsafah perjuangan, dasar kenegaraan, masalah identitas bangsa, masalah kemerdekaan! Bendera apapun harus terbuat dari kain, kain dari benang, benang dari kapas, kapas dari pohon kapas. Ah! Berapa kali harus kuterangkan agar kau mau mengerti. Ayo, teruskan jahitanmu.
SOMPENG:
Dua gulungan besar harus dipertautkan menjadi sebuah bendera panjang. Pasti tidak akan selesai malam ini. (terus menjahit dengan lesu)
GARENG:
Harus selesai! Kalau kita tidak dapat menjadikan kedua gulungan kain ini menjadi bendera, besok pagi Gedung Kebangsaan tidak akan mempunyai bendera. Betapa konyolnya, saat detik-detik kemerdekaan nanti dikumandangkan ulang, Gedung Kebangsaan kosong melompong tanpa bendera.
SOMPENG:
Kenapa benderanya harus sepanjang ini? Gedung Kebangsaan itu kan tidak terlalu besar?
GARENG:
Memang begitu pesanan pak Sekjen. Setelah nanti upacara selesai, bendera yang panjang ini akan dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada semua pegawai dan istri-istri mereka.
SOMPENG:
Seperti membagi-bagi nasi tumpeng?
GARENG:
Mulutmu Sompeng! Mulutmu! Membagi-bagi bendera ada falsafahnya. Bendera lambang suatu bangsa yang merdeka. Suatu bangsa baru disebut merdeka kalau sudah punya bendera. Nah, membagi-bagi bendera sama artinya dengan membagi-bagikan kemerdekaan. Paham?
SOMPENG:
Artinya setiap pegawai dan istrinya mendapat kemerdekaan sepotong-sepotong?
GARENG:
Otakmu, Sompeng! Otakmu Sompeng! Otakmu terlalu sederhana sehingga kau mudah terjebak jadi ekstremis. Bagaimana mungkin setiap orang mendapatkan kemerdekaan penuh. Kemerdekaan punya batas dan batasan. Pegawai punya aturan dan peraturan. Semuanya harus tahu aturan. Karenanya istri-istri juga harus tahu aturan.
Ayolah, teruskan jahitanmu. Kalau bicara terus menerus bendera ini tidak akan selesai sampai kiamat. Ayo. (Sompeng patuh dan Gareng menyanyi kembali sambil memegang kedua ujung kain. Tiba-tiba dia teringat sesuatu) E,e,e, Sompeng. Sompengku, Sompeng.
SOMPENG:
Iya bang. Apa lagi?
GARENG:
Dengar aku. Aku tadi rasanya masuk ke dalam sejarah. Bayangkan Sompeng. Seorang istri menjahit sebuah bendera untuk kemerdekaan suaminya.
SOMPENG:
Sejarah apa yang mau memerdekaan seorang suami? Mungkin abang salah masuk. Abang kira buku sejarah ternyata buku falsafah kapas. Begitu barangkali.
GARENG:
Maksudku, seorang istri menjahit bendera untuk kemerdekaan bangsanya di depan suaminya.
SOMPENG:
Dulu memang pernah terjadi. Ibu Fatmawatipun melakukannya dulu. Dia menjahit bendera di depan suaminya, Sukarno. Lalu dengan abang?
GARENG:
Rasanya, akulah suami itu.
SOMPENG:
Apa selama ini abang tidak pernah merasa sebagai suami? Bang, kalau otak terlalu dirasuki kapas, begitulah jadinya.
GARENG:
(tak mengacuhkan) Kemudian sang suami mencium bendera dan mencium istrinya. Sementara di bawah jendela mengintai tentara penjajah untuk menangkapnya. Sang suami tahu, tetapi dia tetap tenang. Acuh. Dan sewaktu pintu digedor dan dia langsung ditangkap, sang suami berseru pada istrinya yang masih menggenggam bendera yang belum selesai dijahit, “Merdeka! Merdekalah kau dengan benderaku!”
SOMPENG:
Tidak mungkin sang suami mengucapkan kata seperti itu. Pasti yang abang sebut tadi kelanjutan dari falsafah kapas.
GARENG:
Diam kau Sompeng! (terus dalam lamunannya) Dan sang suami digiring ke penjara. Bendera itu disimpan istrinya, seperti menyimpan cinta pada suaminya. Sompeng. Dia mencintai suaminya seperti mencintai bendera. Sompeng. Bendera itu dari kain. Kain dari benang. Benang dari,
SOMPENG:
Kapas. Kapas dari pohon kapas. Pohon dari biji. Biji dari buah. Buah dari bunga. Bunga dari,
GARENG:
Sudah! Kalau tidak mampu mengikuti pikiranku, ikuti saja perintahku. Ayo teruskan lagi jahitanmu! (Sompeng patuh. Gareng menyanyi lagi. Kemudian mendekati Sompeng)
Sompeng. Sompengku.
SOMPENG:
Ya, Bang.
GARENG:
Kau masih ingat bagaimana dulu kita pertama kali berjumpa?
SOMPENG:
(Menelungkupkan kepala ke atas jahitannya karena letih) Masih, bang. Masih.
GARENG:
Waktu itu kau berdiri di balik pagar kemuning rumahmu memperhatikan pasukanku lewat. Aku tiba-tiba tersandung dan jatuh. Robek celanaku dan kau tertawa cekikikan bersama teman-temanmu. Aku marah karena waktu itu aku tidak pakai celana dalam. Kemudian aku berdiri dan menggertakmu dengan senjataku. Masih ingat kan?
SOMPENG:
Masih.
GARENG:
Lalu tengah malam aku datang dan melarikanmu. Kita bersembunyi di atas pedati patah sumbu. Kitapun berdua kawin malam itu. Dan kau menangis, berbisik dekat ketiakku. “Bang Gareng, diriku kini darurat. Abang harus bertanggung jawab” Masih ingat?
SOMPENG:
Masih.
GARENG:
Kita terus berjuang. Dari kampung ke kampung, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dari musim ke musim. Masih ingat kan?
SOMPENG:
(tertidur) Mmm.
GARENG:
Berganti-ganti tanda pangkat ditempelkan di lengan bajuku. Berganti-ganti pula surat pengangkatan dan surat penurunan kuterima. Setelah kemerdekaan diumumkan di Gedung Kebangsaan, saat itu pula aku dipensiunkan. Dianggap kurang sehat dan dikirim ke rumah sakit gila. Dituduh aku gila karena bicaraku yang selalu tanpa tedeng aling-aling pada komandan. Kukatakan pada semua orang, mengibarkan bendera saat detik kemerdekaan diumumkan, tidak terlalu penting. Yang penting justru kesadaran bahwa kita benar-benar telah merasa merdeka. Tidak hanya berteriak-teriak “Merdeka! Merdeka atau mati!”
Buat apa mengibarkan bendera atau berteriak merdeka tapi perasaan dan pikiran tetap di alam penjajahan. Apalah artinya bendera. Bendera itu terbuat dari kain. Kain dari benang dan benang dari kapas. Kapas dari, (menoleh pada Sompeng yang tertidur) Sompeng! Sompeng! Sial! Tertidur kau rupanya! (Sompeng bangun) Ayo teruskan jahitanmu. (Sompeng patuh). Gedung Kebangsaan memerlukan bendera! Pak Sekjen perlu bendera! Pegawai-pegawai dan istri-istrinya perlu bendera! Besok pagi bendera ini harus kuantar sendiri. Dan pulangnya, aku akan membawa uang! Uang Sompeng! Uang!
(ragu) Uang? Yaya. Satu meter benderaku akan dibayarnya tiga ribu lima ratus! Lima ratus diberikan pada bendaharawan. Dua ratus untuk pegawai yang mengetik kuitansi. Lima ratus lagi untuk pajak pendapatan. Lima ratus lagi untuk pak Sekjen. Tiga ratus sumbangan wajib istimewa. Semuanya berjumlah dua ribu lima ratus.
Kemudian untuk pembayar beli kain dua bal tujuh ratus, benang merah seratus lima puluh, ongkos beca lima puluh, tinggal lagi seratus, lima puluh untukmu dan lima puluh untukku. Yaya. Itulah rejeki kita yang sah. Hasil jerih payah kita malam ini.
Sompeng. Kita sebenarnya tidak terlalu miskin. Oleh karena itu kita perlu mengabdi saat-saat akhir hidup ini. Mengabdi. Yaya, itulah kata yang lebih menenteramkan.
Dan besok pagi Sompeng, bendera ini akan dibagi-bagikan. Golongan satu mendapat seperempat meter, golongan dua setengah meter, golongan tiga satu meter, golongan empat dua meter dan golongan-golongan lain mendapat lebih panjang lagi.
Bayangkan Sompeng. Sekiranya pegawai Gedung Kebangsaan berjumlah dua ribu dan dipukul rata mendapat satu meter, kita akan mendapatkan uang limapuluh kali dua ribu, Wah, betapa banyaknya. Aku akan beli sepeda. Dengan sepedaku kau akan kuboncengkan. Kita pulang kampung naik sepeda.
Sompeng, dengar aku. Sepeda! Sepeda itu dari bendera. Bendera dari kain, kain dari benang dan benang dari,
SOMPENG:
Kapas!
GARENG:
Kapas? Bagus. Besok kau akan kubelikan kapas. Lima kilo! O, Sompengku! Betapa besarnya karung belanjaku dari pasar membawa kapas lima kilo! Tapi jangan cemas, yang kubawa itu karung berisi kapas. Kau mau kubelikan kapas, bukan?
SOMPENG:
Buat apa kapas bagiku?
GARENG:
Kapas itu vital, Sompeng. Sampai ke liang kuburpun kita masih memerlukan kapas. Jika kita mati, tidak mungkin hidung dan mulut jenazah kita ditutup dengan kertas koran, bukan?
SOMPENG:
Ya, Bang.
GARENG:
Yaya. Kau memang memerlukan kapas. Aku tahu keperluanmu. Sedangkan aku memerlukan sepeda. Masing-masing keperluan kita akan terpenuhi besok pagi dengan menjual bendera yang kita jahit malam ini. Ayo, semangat. Semangat. Teruskan lagi jahitanmu.
SOMPENG:
Mungkin kita hanya menjahit harapan, Bang.
GARENG:
Tidak. Kita menjahit kapas. Benang dari kapas. Kain dari kapas. Kita jahit kapas dengan kapas.
SOMPENG:
Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila sebelum bendera ini selesai.
GARENG:
Kalau kau sempat jadi gila, salahmu sendiri. Karena kau tidak menyadari bahwa menjahit kapas harus dengan kapas.
SOMPENG:
Falsafah lagi.
GARENG:
Diam kau! Menurut otakmu ucapanku ini salah. Tapi pada hakekatnya memang begitu. Semuanya berasal dari kapas.
SOMPENG:
Aku tidak mengerti hal itu, bang.
GARENG:
Kalau mau mengerti jangan pakai otak mendengar apa yang kuucapkan.
SOMPENG:
Pemahaman kan harus pakai otak, bang.
GARENG:
Iya. Kalau mau memahami sesuatu, kau harus memakai otak, paham? Tapi bukan otak ekstremis! Ayo, jahit lagi. Kalau kau bicara terus-menerus nanti Gedung Kebangsaan tidak punya bendera.
SOMPENG:
Justru abanglah yang selalu bicara.
GARENG:
Iya. Kau memang harus diam, kalau aku bicara. Kau diam dan terus menjahit. Nah, dengan diamnya kau, barulah bendera itu dapat diselesaikan. Kau harus diam kalau ingin mendapatkan kapas lima kilo! Ayo, menjahit lagi. (Sompeng patuh.) Sompeng.
SOMPENG:
Iya, bang.
GARENG:
Menjahit kapas harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Mencari uang harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Membeli sepeda harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Pulang kampung harus dengan,
SOMPENG:
Kapas.
GARENG:
Enaknya kau bilang kapas, kapas, kapas. Apa kau paham maksud sesungguhnya dari falsafah kapas?
SOMPENG:
Tidak bang.
GARENG:
(bingung sendiri) Aku juga tidak.
SOMPENG:
Astagfirullah. Jadi, bagaimana bang?
GARENG:
Aku saja tidak paham, apalagi kau. Itu sebabnya tadi aku marah. Kenapa kita tidak bisa memahami apa yang telah kita katakan sendiri. Bagaimana menurutmu? Apa aku ini konyol? (melihat pada Sompeng yang tersenyum getir) Sompeng, Sompeng. Jangan tertawakan aku. Jangan. Lebih baik teruskan jahitanmu daripada menyakitkan hatiku. Ayo, terus. (Sompeng patuh) Sompeng. Menjahit bunga harus dengan,
SOMPENG:
Bunga.
GARENG:
Menjahit pemahaman harus dengan,
SOMPENG:
Pemahaman.
GARENG:
Iya, benar. Sekarang kau sedang menjahit apa Sompeng?
SOMPENG:
Menjahit kapas.
GARENG:
Iya, benar. Pintar kau sekarang.
SOMPENG:
Kalau bicara terus memang bisa pintar.
GARENG:
Jangan, jangan. Tidak perlu kau terlalu pintar. Jika kau pintar dan kau akan bicara terus-menerus, bendera ini pasti tidak akan siap. Ini berbahaya. Dua ribu pegawai dan bapak Sekjen tidak akan mendapatkan bendera. Mereka tidak akan mendapat kemerdekaannya.
Sompeng. Biarlah kau tidak pintar asal bendera ini siap. Biarlah kau tetap bodoh, asal semua orang mendapat kemerdekaannya. Kita jangan sampai mengancam kemerdekaan orang lain dengan kepintaran kita.
Sompeng, sebenarnya kau adalah pejuang. Kau rela untuk jadi bodoh agar orang lain mendapat kemerdekaannya. Jadi, kebodohanmu itu adalah baktimu pada nusa dan bangsa. Kebodohanmu itu adalah perjuangan bagi mendapatkan kemerdekaan orang lain. Ayo, teruskan jahitanmu. (Sompeng patuh. Gareng menyanyi lagi kemudian mendekati Sompeng) Sompeng.
SOMPENG:
Apa lagi, bang.
GARENG:
Kau rela untuk tidak pintar, kan?
SOMPENG:
Menjahit kepintaran harus dengan pintar, paham!
GARENG:
Ha? Kau pula sekarang yang bertanya apa aku paham atau tidak! Aku tidak dungu, bodoh atau gila! Cukuplah komandanku dan teman-temanku itu saja menuduhku begitu. Tuduhan mereka hanya karena iri hati. Mereka iri hati padaku. Aku intel, penterjemah sandi, pembaca Morse tercepat, penunggang kuda terbaik dan jago tembak! Aku bisa menembak di atas kuda! Karena mereka iri, lalu aku dipensiunkan.
Sompeng, Sompeng. Untung aku sudah pensiun. Kalau tidak, sudah kubuat darurat dirimu seperti zaman darurat dulu. Tapi sudahlah. Teruskan jahitanmu. Bila jahitanmu selesai, kitalah pemilik bendera terpanjang di muka bumi. Kitalah yang akan menyerahkan bendera pada pak Sekjen dan duaribu pegawai Gedung Kebangsaan. Kita pemilik bendera sekaligus pemilik kemerdekaan. Betapa bahagianya hidup ini Sompeng. Kemerdekaan kita berikan kepada mereka. Kemerdekaan, Sompeng. Kemerdekaan sompeng!
Ayo, jahit lagi. Jahit lagi.
*
Sompeng kembali menjahit dan Gareng memegang kedua ujung kain dan terus menyanyi. Hari semakin larut. Beberapa saat kemudian, Jondul datang. Dia membawa segulungan plastik, beberapa kaleng cat dan kwas. Semua barang bawaannya itu diletakkan di lantai.
SOMPENG:
Oh, kau. Jondul!
GARENG:
Dari mana kau malam-malam begini?
JONDUL:
Baru pulang membeli plastik. Sukar sekali mendapatkan harga yang murah saat ini. Padahal semuanya sudah dibuat di dalam negeri kita sendiri.
GARENG:
Kalau hanya untuk kantong sampah tidak perlu plastik sebanyak itu.
JONDUL:
Semuanya ini pesanan pak. Besok pagi harus kuantarkan.
GARENG:
Siapa pula yang memesan kantong sampah saat acara peringatan kemerdekaan? Apa semua orang akan dimasukkan ke dalamnya?
JONDUL:
Ini bahan untuk membuat bendera.
GARENG:
Bendera? Dari plastik?
JONDUL:
Iya pak. Untungnya lumayan. Komisi memang tinggi tapi daripada tidak goyang sama sekali, kuterima juga.
GARENG:
Ya Allah. Jadi kau akan gantikan bendera kita dengan plastik, saat ulangan detik-detik kemerdekaan besok pagi? O, anakku, Jondul. Jondul.
(berdoa) Ya Allah. Ampunkan segala dosa anak nakal ini. Tunjukilah dia pada jalan yang lurus, jalan yang tidak berbatu kerikil atau berlobang-lobang. Sebagaimana jalan yang telah ditempuh para pejuang. Ya Allah, hindarkan anakku ini dari ekstrimitas, kedangkalan pengertian dan penafsiran-penafsiran yang keliru terhadap bendera bangsanya, falsafah negaranya, dan hakekat kemerdekaannnya. Amin.
SOMPENG:
Kenapa kau memilih bahan ini?
JONDUL:
Plastik lebih tahan dari kain, bu.
GARENG:
Bendera apapun harus terbuat dari kain. Kain dari benang. Benang dari kapas. Ini persoalan falsafah dan kepercayaan kita, anakku. Jangan main-main dalam persoalan ini.
JONDUL:
Apapun bahannya, bendera kan tetap bendera, Pak.
GARENG:
Justru bahanlah yang menentukan apa yang akan kita buat. Ini masalah falsafah Jondul. Falsafah!
JONDUL:
Tapi aku ingin bendera kita tidak boleh diturunkan hanya karena hari hujan. Bendera kita harus berkibar tanpa tergantung cuaca. Bendera dari plastik dapat melepaskan diri dari situasi cuaca yang bagaimanapun juga buruknya.
Tekadku ini sangat dihargai bapak Dirjen Gedung Kebangsaan dan dia langsung memesan bendera yang kumaksudkan ini.
GARENG:
Plastik. Kau tahu plastik berasal dari ampas minyak mentah! Minyak mentah berasal dari fosil. Fosil itu pada hakekatnya adalah bangkai! Bila kau mengibarkan bendera plastik, sama artinya kau mengibarkan bangkai.
Jondul, Jondul. Kau akan kibarkan bangkai-bangkai untuk peringatan kemerdekaan kita di puncak Gedung Kebangsaan? Uh! Otakmu pasti sudah dirusak pikiran-pikiran kotor. Kau pasti didalangi!
JONDUL:
Apakah dari bangkai turun ke fosil, dari fosil turun ke minyak, dari minyak turun ke ampas dan terus jadi plastik, bukan urusan kita pak. Sekarang plastik itu sudah ada, produksi dalam negeri kita sendiri. Tahan terhadap segala keadaan. Apa salahnya dibuat bendera kita sendiri pula? Hasil dari bumi kita untuk bendera kebangsaan kita.
GARENG:
Jaringan otakmu memang sudah ada yang bolong! Ingat Jondul. Aku ini, bapakmu sendiri, adalah pejuang yang ikut mempertahankan bendera kita. Jangan kau ikut-ikutan merendahkan nilai perjuanganku dengan plastikmu itu.
SOMPENG:
Si bapak memperjuangkan kemerdekaan tapi tidak mau mengakui kemerdekaan anaknya sendiri memilih bahan bendera bangsanya.
GARENG:
Diam kau Sompeng! Jadi kau sepakat dengan anakmu ini menggantikan falsafah bangsa yang sudah dianut semua orang? Plastik buatan dalam negeri. Kapas juga buatan dalam negeri. Ayo, teruskan jahitanmu. Ini masalah falsafah bangsa. Berat ini!
JONDUL:
Bapak. Aku tidak berniat menggantikan bendera kita, falsafah bangsa ataupun kepercayaan semua orang. Percayalah. Aku ini kan anak seorang pejuang, ya kan pak?
GARENG:
Iya, siapa yang memungkiri kau anakku. Tapi aku memperjuangkan bendera dari kain, kain dari kapas, kau memperjuangkan bendera dari plastik, plastik dari ampas. Jadi, menurut pikiran filsafat, karena antara plastik dan kapas tidak ada hubungannya, maka pada hakekatnya kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.
JONDUL:
Ini kan hanya proyek, pak. Proyek. Aku memerlukan sejumlah uang. Tak ada maksud lain.
GARENG:
Walaupun dari dulu kita tidak pernah kaya tapi kita tidak pernah meminta-minta.
JONDUL:
Benar pak. Tapi kita selalu kekurangan uang.
GARENG:
Itu biasa. Kan tidak ada hubungannya antara kemiskinan dengan uang. Uang dari kertas, kemiskinan dari jiwa. Paham!
SOMPENG:
Jondul. Istrimu bekerja, kau juga bekerja. Anakmu hanya seorang. Buat apa uang kau cari dengan membuat bendera plastik ini?
GARENG:
Kalau aku membuat bendera bersama ibumu malam ini, dasarnya adalah pengabdian. Pengabdian, tahu kau. Sedangkan uangnya, berapalah. Jondul. Buat apa lagi uang buatmu, kalau semua keperluanmu sudah dapat teratasi?
JONDUL:
Aku mau beli bemo atau helicak bekas. Aku ingin jadi sopir. Lebih bebas kita jadi pengemudi daripada jadi penumpang. Itu sebabnya aku perlu uang.
GARENG:
Tujuanmu baik, nak. Tapi kau akan mendapatkan uang dengan menjual bendera plastik aku tidak setuju. Haram uang bangkai bagiku.
JONDUL:
Pesanan ini harus dikerjakan, pak. Kalau tidak pak Dirjen tentu marah. Dan aku sendiri perlu uang untuk merubah statusku menjadi pengemudi. Pemegang kendali dalam sebuah kendaraan yang sedang berjalan. Aku sudah cukup bosan dan menderita terus menerus jadi penumpang.
SOMPENG:
Anakku, anakku. Bagaimana mungkin kau merubah statusmu.
JONDUL:
Itulah yang sedang aku perjuangkan. Bendera plastik ini hanya sebagai batu loncatan saja, bu.
GARENG:
Jijik aku mendengarnya, Jondul! Bendera kebangsaan kau jadikan hanya sebagai batu loncatan? Bendera adalah kebanggaan suatu bangsa, kau kan tahu itu!
SOMPENG:
Sebenarnya tujuan si anak dan si bapak sama. Tapi cara masing-masing berbeda dan alasan yang saling bertentangan.
GARENG:
Ini masalah prinsip, Sompeng. Prinsip Sompeng!
SOMPENG:
Jondul. Hari sudah semakin malam. Kerjakan saja apa yang dapat kau kerjakan. Jangan bicara terus menerus seperti bapakmu itu.
JONDUL:
Iya, bu. Aku akan segera mewarnai plastik ini sehingga berubah fungsi menjadi sebuah bendera.
GARENG:
Tapi jangan kau kerjakan di rumah ini. Rumah ini rumah sejarah. Rumah pejuang. Aku tidak ingin rumah ini dijadikan pembuat bendera-bendera dari bangkai!
SOMPENG:
Jondul. Sebaiknya kau kerjakan di rumah istrimu.
JONDUL:
Justru harus dikerjakan di rumah kita ini, bu. Proses pembuatan benderaku ini cukup penting bagi sejarah. Rumah kita ini akan menjadi monuman sejarah bangsa.
GARENG:
Rumah ini bersejarah karena aku dan ibumu menjahit bendera malam ini. Bendera itu dari kain, kain dari benang dan benang dari,
JONDUL:
Kapas.
GARENG:
Diam kau, lancang!
SOMPENG:
Semua orang ingin membuat bendera untuk bangsa dan negerinya. Semua orang ingin dicatat dalam sejarah bangsa dan negerinya.
GARENG:
Sompeng! Jangan ikut-ikutan bicara soal perbedaan. Aku dan anakku tidak akan jauh berbeda. Teruskan saja jahitanmu!
Sompeng kembali menjahit. Jondul mulai bekerja. Tiba-tiba Jondul teringat sesuatu. Dia mencari-cari sesuatu itu sampai-sampai ke balik gulungan bendera yang sedang dijahit ibunya. Gareng tidak senang melihat Jondul demikian.
GARENG:
Kerjakan saja pekerjaanmu. Apa pula yang kau cari di balik benderaku!
SOMPENG:
Apa yang hilang, Jondul?
JONDUL:
Tidak bisa dikerjakan malam ini. Ya Allah, kenapa bisa aku lupa?
SOMPENG:
Apa yang terlupa?
JONDUL:
Terpentin! Cat ini harus diaduk dengan terpentin! Bagaimana jadinya bendera kalau diwarnai dengan warna yang kental? Dia tentu tidak akan dapat berkibar.
GARENG:
Tidak ada terpentin atau minyak cat apapun di balik benderaku.
JONDUL:
Jika benderaku tidak siap malam ini, aku tidak akan dapat membeli bemo atau helicak. Statusku akan tetap sebagai penumpang. Ibu. Bu, tolong aku.
SOMPENG:
Dengan minyak rambutku mungkin bisa kan?
JONDUL:
Mesti dengan terpentin, bu. Cat tidak pernah mengenal kompromi. Ah, kenapa aku bisa lupa bahwa pengaduk cat ini harus dengan terpentin? Aduh, statusku. Statusku.
SOMPENG:
Kasihan aku padamu, nak. Biar aku pergi ke toko Cina yang berada di depan Gedung Kebangsaan itu. Mungkin bisa kudapatkan apa kau perlukan.
GARENG:
Semua toko malam begini sudah tutup, Sompeng. Apakah itu toko Cina, toko Arab, apalagi toko Melayu. Setiap malam mereka tutup.
JONDUL:
Tolonglah bu. Tolong.
SOMPENG:
Kebetulan istri tauke itu dulu pernah berhutang. Sampai sekarang mereka sangat segan padaku. Aku akan ke sana.
GARENG:
Hutang? Istri tauke itu pernah berhutang kepadamu? Wah, wah, kenapa aku tidak tahu, ya? Padahal aku dulu intel kan? Jadi, berapa jumlah hutangnya?
SOMPENG:
Hutang budi, bang. (ke luar)
GARENG:
E,e,e,e Sompeng! Bendera kita jangan ditinggalkan begitu saja. Bendera kita juga harus siap besok pagi. Sompeng! Benderaku Sompeng!
E, kau Jondul! Ibumu itu sudah tua, kau suruh juga pergi ke toko Cina dalam malam yang semakin larut ini.
JONDUL:
Pak. Hanya ibu yang disegani mereka, selebihnya berhutang kepadanya.
GARENG:
Ingat Jondul. Aku akan menyesalimu seumur hidup, bila benderaku tidak siap karena ibumu kau suruh pergi ke toko Cina.
Sejak semula aku tidak setuju dengan rencana gilamu itu. Tapi, ya, bagaimana lagi. Aku bapakmu. Bagaimana mungkin aku menutup peluang bagi apa yang sedang kau perjuangkan. Celakanya, aku yang jadi korban. Benderaku mungkin tidak siap, sementara benderamu juga belum tentu selesai.
JONDUL:
Setelah ibu kembali, kita akan sama-sama mengerjakan bendera, pak. Aku percaya, bapak mampu menyiapkannya dan akupun yakin dapat menyelesaikannya tepat waktu. Dan besok pagi, bapak dan aku bersama-sama mengantarkan bendera ke Gedung Kebangsaan. Aku akan menyerahkannya kepada Pak Dirjen dan bapak menyerahkannya pada Pak Sekjen.
GARENG:
Sementara ibumu kembali, apa yang dapat kita kerjakan?
*
Barcep masuk membawa berbagai perkakas listrik; kabel-kabel, bola-bola listrik, kayu, kaca dan sebagainya. Gareng dan Jondul heran.
GARENG:
O, Barcep cucuku! Ya Allah! Apa yang kau bawa malam-malam seperti ini?
JONDUL:
Barcep! Ke mana saja kau tidak pulang tiga malam, ha! Aku dan ibumu sudah mencarimu ke mana-mana bahkan sampai ke kantor polisi.
BARCEP:
Papa. Aku dapat proyek. Lihat saja. Aku akan menjadi orang ternama bila proyek ini selesai.
GARENG:
O,o,o, Barcep. Proyek apa yang akan kau kerjakan.
BARCEP:
Bapak Irjen Gedung Kebangsaan memesanku membuat bendera dan harus siap malam ini juga.
JONDUL:
Bendera? Pesanan pak Irjen?
GARENG:
Hehehe. Aku menerima pesanan pak Sekjen. Anakku menerima borongan pak Dirjen. Dan cucuku dapat proyek pak Irjen. Sama-sama bendera, heheheh. Barcep. Bendera seperti apa yang akan kau buat?
BARCEP:
Bendera tembus waktu. Terbuat dari cahaya. Akan dapat dilihat siang dan malam. Kakek dan papa kan juga membuat bendera. Tapi kalau malam hari, bendera-bendera seperti itu akan hilang dilulur gelap. Itulah sebabnya aku harus membuat bendera anti gelap dan hanya benderaku nanti yang akan bersinar. Hebat kan?
GARENG:
Hebat, hebat. Hebat kau cucuku.
JONDUL:
Bagaimana mungkin kau dapat mengerjakannya?
BARCEP:
Begini. Kususun bola-bola bewarna ini dan kumasukkan ke dalam kotak kaca. Kemudian dialirkan arus listrik. Tekan tombolnya. Byar! Berkibarlah benderaku. Siang dan malam.
JONDUL:
Barcep, Barcep. Mana ada benda keras bisa berkibar.
BARCEP:
Berkibar itu bergerak dan bergerak itu diam.
GARENG:
Itu falsafah apa, cucuku?
BARCEP:
Bukan falsafah tapi hukum alam. Bumi berputar tapi kita merasakannya seperti diam. Matahari berputar tapi kita melihatnya diam. Gasing berputar kelihatannya diam. Semakin cepat kibaran benderaku, semakin cepat gerakannya dan kelihatannya adalah diam.
GARENG:
Ampun aku Barcep, ampun aku, he he. Jondul, kalau si Barcep ini nanti punya anak pula dan mendapat pesanan membuat bendera seperti kita, tidak tahulah aku entah dari bahan apa lagi bendera yang akan dibuatnya.
BARCEP:
Begini. Bendera yang kakek buat atau bendera yang dibuat papa itu bahannya dari kapas atau ampas minyak bumi. Artinya bahan bendera kakek dan papa Bangih dari tanah. Artinya lagi, bendera begitu adalah bendera masyarakat agraris. Tapi benderaku, bendera elektronik, berasal dari otak manusia. Listrik diciptakan manusia, manusia diciptakan Tuhan. Nah, cahaya benderaku adalah proyeksi dari cahaya Tuhan.
JONDUL:
Suka hatimulah! Kalau mau berkhotbah jangan di sini, tapi di masjid sana hari Jum’at!
BARCEP:
Tapi hasil khotbah itu cukup lumayan, papa. Dua juta untuk gagasan dan satu juta untuk peralatan.
GARENG:
Betapa banyak keuntungan yang kau peroleh. Buat apa uang sebanyak itu bagimu?
BARCEP:
Untuk beli gelar sarjana. Gagasan apapun sekarang harus didukung dengan gelar kesarjanaan. Seakan-akan hanya sarjana saja yang punya pikiran.
GARENG:
Kiamat sudah. Kiamat. Kiamat sudah anak cucuku.
BARCEP:
Tenang saja kakek. Besok pagi bendera cahayaku ini akan kuletakkan di tempat tertinggi Gedung Kebangsaan. Saat detik kemerdekaan diulang, benderaku menyala dan bercahaya ke segala penjuru dunia. Yang berpangkat tinggi maupun yang berpangkat rendah mendapat cahaya yang sama. Benderaku cahaya keadilan, kek! Tidak dibagi-bagi permeter menurut kepangkatan dan golongan seperti bendera yang kakek buat itu. Benderaku cahaya. Nur! Bangsaku harus bercahaya! Harus bersinar siang malam. Harus adil. Keadilan yang disirami Nur Tuhan.
JONDUL:
Sudah. Sudahlah. Kau sama saja dengan kakekmu. Filsafat, agama, kepercayaan dan segala yang tidak pernah jelas.
GARENG:
E,e,e, cucuku jangan dimarahi. Dia punya pikiran, cita-cita dan gagasan serta punya kemampuan mengerjakannya.
JONDUL:
Aku sangat memahami anakku sendiri, pak. Masa kita yang tua-tua diajari seperti mengajar anak ingusan. Aku ini kan bapaknya.
GARENG:
Kau kan juga berbuat begitu terhadapku, bukan?
JONDUL:
Barcep. Kalau mau membuat benderamu jangan di sini. Muak aku mendengar ocehanmu.
BARCEP:
Ibu juga melarangku mengerjakan bendera ini di rumah kita. Ibu marah dan berteriak-teriak. “Barcep! Rumahku bukan bengkel! Bukan arena pertarungan gagasan-gagasan! Urusan di rumah ini khusus untuk tidur, makan, berak!” Macam-macam lagi yang disebut ibu. Aku tidak tahan. Itu sebabnya di rumah ini aku mengerjakan benderaku.
GARENG:
He he. Kalian benar-benar seperti aku. Tidak salah lagi, kalian adalah anak dan cucuku. Pewaris perjuangan.
GARENG:
Aku jadi heran pada bapak. Pada bendera Barcep bapak setuju, tapi pada benderaku tidak.
GARENG:
He he. Seorang kakek yang sehat lebih menyayangi cucunya yang pintar ketimbang anaknya yang bodoh! Ini hukum alam. Hukum alam, kan Barcep? He he. Masuk akal juga filsafat benderamu itu.
*
Sompeng tergesa masuk membawa segulung kapas.
BARCEP:
Nenek! Nenek! Aku dapat proyek bendera! Bendera dari cahaya! Lihat, ini semua bahannya sudah ada. Aku harus selesaikan malam ini juga!
SOMPENG:
Ya Rabbi. Kau juga mau jadi penjual bendera seperti kakek dan ayahmu?
JONDUL:
Bagaimana bu. Berhasil? Mana terpentinnya?
GARENG:
He he. Sompeng, Sompeng. Anakmu perlu terpentin tapi yang kau bawa kapas. Sompeng, sompeng. Ini bukan masalah filsafat lagi, tapi masalah keperluan mendesak, kenyataan, realitas.
SOMPENG:
Luar biasa! Bukan main! MasyaAllah! Mau runtuh rasanya langit malam ini!
GARENG:
Ada apa? Bicaralah terus terang. Kenapa kau lambat sekali pulang.
SOMPENG:
Seakan aku tidak percaya pada mataku sendiri.
GARENG:
Iya. Apa yang kau lihat? Kapas itu jatuh dari langit atau diberi oleh tauke itu?
SOMPENG:
Nantilah soal kapas. Sekarang kita bicara soal kenyataan.
JONDUL:
Persoalan apa bu?
SOMPENG:
Dengar. Sekarang ini orang ramai sekali memasang bendera di Gedung Kebangsaan! Disorot lampu-lampu menyilaukan, mereka memanjat tangga besi yang menjulur dari mobil-mobil besar!
GARENG:
Mana mungkin! Benderanya masih di sini. Itulah penyakitmu, Sompeng. Kau kalau terlalu letih suka berbohong. Duduklah dulu. Tarik nafas. Letakkan kapasmu.
SOMPENG:
Bagaimana mungkin aku berbohong pada suami, anak dan cucuku dalam waktu yang sama. O, malaikat! Pekerja-pekerja yang memasang bendera itu didatangkan dari Jepang, Korea, India, Italia, Belanda dan Amerika! Tanpa banyak bicara mereka bekerja terus mungkin sampai fajar tiba.
GARENG:
Kau mau bersumpah, apa yang kau katakan benar?
SOMPENG:
Sumpah!
GARENG:
Ya Allah. (lemah dan menggeletak di atas kain bendera)
SOMPENG:
Menurut istri tauke pemilik toko, semua itu adalah pesanan Bapak Kepala Gedung Kebangsaan. Biarpun harganya cukup mahal, bendera buatan luar negeri lebih bermutu dan punya gengsi tersendiri.
BARCEP:
Apa istri tauke itu tidak salah, nek?
SOMPENG:
Dalam dunia perdagangan mereka pantas dicurigai. Tapi dalam soal bendera, mereka tidak pernah mau tahu. Mereka netral. Itu sebabnya aku percaya padanya. Apalagi sewaktu pulang, aku diberinya lima kilo kapas.
JONDUL:
Gagal sudah perjuangan kita.
SOMPENG:
Kalian telah berusaha membuat bendera, tapi kalah bersaing dengan bendera buatan luar negeri. Kalian pahlawan, korban dari persaingan perdagangan. Tapi jangan patah semangat. Hanya kitalah yang tahu persis di mana bendera kita diletakkan di Gedung Kebangsaan kita.
GARENG:
(dalam gulungan kain bendera) Sompeng.
SOMPENG:
Ya, bang. Aku di sini.
GARENG:
Masih menjahit?
SOMPENG:
Masih bang.
GARENG:
Menjahit apa lagi?
SOMPENG:
Menjahit harapan.
GARENG:
Oh, oh, (bergulung-gulung dalam kain bendera) Kau Jondul?
JONDUL:
Ya. Aku masih di sini, pak.
GARENG:
Kau sudah mulai mewarnai plastik itu?
JONDUL:
Aku akan mewarnai kehidupan, pak.
GARENG:
Ah, kau! (bereguling-guling dalam kain bendera) Barcep.
BARCEP:
Ya, kakek.
GARENG:
Bendera cahayamu sudah mulai bersinar?
BERCEP:
Belum terpasang, kek.
GARENG:
Sekarang semuanya sudah terang.
BARCEP:
Tapi masa depan masih gelap, kek.
GARENG:
Uh, uh, uh! (berguling-guling) Terlalu lemah suaramu, cucuku. Semakin sulit aku memahami kenyataan ini.
SOMPENG:
Bang. Bang Gareng. Istigfar bang. Istigfar. Sembahyang. Katanya kau akan sembahyang tahajjud sekalian. Bang. Bang Gareng.
GARENG:
(berdiri dan melepaskan kain bendera yang mengelimuti tubuhnya) Aku hanya perlu sepeda. Aku akan pulang kampung! Aku akan pulang! (Jatuh dan tak berkutik)
Dari Gedung Kebangsaan terdengar koor lagu-lagu perjuangan berkumandang. Gareng tiba-tiba berdiri.
GARENG:
He he. Kalian sangka aku mati karena mendapat saingan dengan bendera luar negeri! Tidak. Ayo, kalian. Ke sini. Mendekat padaku. Dekat. Saat detik kemerdekaan diulang sudah tiba.
(semuanya patuh)
Bendera itu dari kain. Kain dari benang. Benang dari,
SEMUA:
Kapas.
Gareng mengulang kata-kata itu berkali-kali dan dijawab oleh istri, anak dan cucunya dengan jawaban yang sama.
Mula-mula dengan penuh semangat, lama-lama menjadi sendu dan masing-masing menghapus air mata dengan punggung tangan. Mereka tidak menangis, tetapi air mata mereka tak teduh, diiringi lagu-lagu perjuangan yang terus dipancarkan dari Gedung Kebangsaan.
-tammat-
Padang, Agustus 1995
SINGA PODIUM
Naskah wisran hadi
SINGA PODIUM
Sebagaimana yang dijanjikan oleh tulisan pada spanduk, poster dan papan pengumuman yang di pasang di halaman, di depan pintu masuk dan dalam ruangan besar itu, memang, sekarang sedang berlangsung acara ceramah umum luar biasa. Didahului rombongan musik rebana menyanyikan lagu-lagu qasidah dengan merdunya.
Setelah sampai waktunya, EMSI datang dan berdiri di samping mimbar yang tinggi dan besar. Melalui sebuah alat pengeras suara, dia mengumumkan lanjutan acara dengan suaranya yang bersih dan sugestif.
EMSI:
Selanjutnya, acara ini kita lanjutkan. Ceramah Umum Luar Biasa!
Disampaikan tokoh terkenal dan populer dengan julukan yang disenangi beliau – Singa Podium! Malam ini kita mengharapkan beliau akan mengaum lebih hebat lagi. Beliau adalah Abu Tausi Jaiha. Sebuah kejutan! Dan kita tidak perlu terkejut!
Hadirin dan hadirat sekalian.
Para hadirin yang benar-benar mengikuti ceramah ini dengan sepenuh hati, tidak ribut, batuk-batuk atau bising, Abu Tausi Jaiha akan mendoakan semoga Allah subhanahuwataala melimpahkan taufiq dan hidayahNya kepada kita bersama.
Ceramah Umum Luar Biasa! Waktu dan tempat dipersilahkan kepada,
(tertegun dan bingung)
Seorang wanita tiba-tiba datang langsung menuju mimbar dengan tenang dengan langkah-langkah mantap. Pakaiannya “ultra modern” dan membawa sebuah tas yang bagus tempat segala keperluannya berhias diri.
Emsi masih bingung dan terpaku, seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakannya.
WANITA:
Maaf saya agak terlambat. Karena semua yang datang ke sini membawa kendaraan dan memenuhi lapangan parkir, mobil saya terpaksa diletakkan di seberang jalan. Petugas keamanan di sini ada kan? Tolong agak tiga orang menjaganya. Tiga, ya.
Sausaudara sekalian. Saya sebagai isteri dari,
EMSI:
Tunggu. Tunggu. Tunggu dulu, eh, ibu, nyonya. Ya Tunggu. Yang bicara saat ini seharusnya Abu Tausi Jaiha.
WANITA:
(tersinggung dan segera memberikan sebuah amplop besar pada Emsi)
Baca! Ayo, baca! Baca dulu. Baca dengan tenang!
(sementara Emsi membaca, dia membuka tasnya dan menghiasi diri)
EMSI:
O,o jadi, ibu istrinya, wah, maaf bu. Setahu saya istri beliau tidak cantik dan semuda ini. Maaf bu. Ibu istri beliau yang keberapa? Saya percaya, beliau tentu tidak punya istri simpanan.
WANITA:
Baca. Baca. Jangan bicara dulu, baca.
EMSI:
(setelah membaca sebagian dari surat itu)
Hadirin sekalian. Izinkan saya menjelaskan perobahan yang mendadak seperti ini. Agar tidak menimbulkan kegelisahan, saya langsung saja membacakan surat pengantar ini. Ditujukan kepada kita bersama.
(membaca surat)
Dengan segala hormat.
Dengan sangat menyesal saya terpaksa tidak dapat menghadiri pertemuan yang berbahagia ini, karena secara mendadak sekali harus menghadiri rapat penting sehubungan dengan erosi kepercayaan dan krisis kepemimpinan yang melanda masyarakat Melayu. Supaya tidak mengecewakan kita sekalian, istri saya mengambil inisiatif menggantikan saya. Hal ini membuktikan, seorang istri harus dapat menggantikan tugas-tugas suaminya.
(Berhenti membaca dan mengangguk beberapa kali)
Ya, memang harus begitu. Dan semuanya sudah begitu sekarang.
(Membaca lagi)
Istri saya yang berdiri di hadapan kita sekarang, nama sesungguhnya adalah Bida Duri. Bida Duri tidak punya hubungan apa-apa dengan duri-duri yang lain. Apalagi dengan Baiduri, Rafika Duri, duri dalam daging, durian runtuh. Nama Bida Duri berasal dari kata Bidadari. Bukankah bidadari adalah huria-huria yang cantik rupawan, yang disediakan Tuhan di sorga bagi orang-orang beriman?
Pada kesempatan ini, istri saya akan menyampaikan sebuah pembicaraan dengan judul – pandangan seorang isteri terhadap operasi plastik.
(Berhenti membaca)
Waw! Apa hubungannya dengan ceramah yang diadakan ini?
(Membaca lagi)
Topik pembicaraan ini sengaja dipilih istri saya berdasarkan pengalamannya sendiri, secara langsung, yang telah melakukan operasi plastik baru-baru ini. Kalau dulu orang-orang tua pernah mengajarkan kita bahwa kelakuan dapat dirobah, tapi muka tidak, maka menurut istri saya, dia telah membuktikan bahwa pepatah petitih itu salah. Menurut istri saya, jangankan muka, kelaminpun dapat dirobah sekarang. Bahkan dengan operasi plastikpun wanita bisa kembali menjadi perawan!
Menurut istri saya lagi, operasi plastik guna mempercantik diri merupakan idaman setiap wanita untuk menggairahkan suaminya. Tidak terkecuali istri kiyai, sech atau ulama manapun, apalagi tokoh-tokoh politik, birokrat dan bisnisman. Istri seorang politikus misalnya, maaf ini sebagai contoh saja, harus tetap cantik dan harus berusaha tetap cantik. Sebab, itulah sumbangan terbesar kaum wanita kepada perjuangan bangsa. Dan bagi para ulama, istri cantik itu perlu, agar di sorga nanti tidak risi atau keki menghadapi bidadari-bidadari yang berseliweran di lorong-lorong sorga dan yang menunggu-nunggu di taman-taman indah. Di samping itu pula, bila istri seorang ulama cantik, pastilah citra ulama semakin baik sebagaimana juga tokoh-tokoh politik lainnya. Bukankah selama ini istri-istri para ulama, tokoh-tokoh politik itu selalu tampak kurus, keriput pipinya, kempes dada dan pinggulnya karena terlalu banyak menanggung beban kemasyarakatan? Operasi plastik merupakan terapi yang ampuh bagi jiwa yang tertekan.
(berhenti membaca).
Bu Bida Duri. Topik pembicaraan yang ibu sampaikan ini tidak sesuai dengan judul yang kami minta. Pembicaraan malam ini akan membahas masalah bahasa dengan judul – Bahasa Koran, Bahasa Persatuan dan Bahasa Quran -.
Judul ini sengaja kami mintakan karena sekarang banyak sekali orang beranggapan bahasa Quran adalah bahasa Arab. Lalu disimpulkan saja Quran hanyalah milik orang Arab sedangkan Islam milik semua ummat. Oleh karena itu Quran harus memakai bahasa yang dimengerti oleh ummat itu sendiri. Anggapan demikian terus berkembang dan bahkan di antara mereka sudah mulai menganjurkan supaya sembahyang menjadi khusyuk, lebih baik memakai bahasa sendiri yang mudah dimengerti. Menurut mereka lagi, bersembahyang memakai bahasa Arab sama artinya menghina Tuhan. Seakan Tuhan hanya mengerti bahasa Arab saja.
Menurut anggapan orang-orang itu lagi, tidak masuk akal bila Islam hanya didasarkan pada bahasa Arab, karena tidak semua orang yang berbahasa Arab adalah orang Islam. Anggapan begini sangat berbahaya Bu Bida. Oleh karena itu kami meminta Abu Tausi Jaiha mendudukkan persoalannya pada ceramah luar biasa ini. Beliau sependapat dengan kami, bahwa orang-orang saleh pada masa depan tidak ditentukan lagi apakah dia memahami bahasa Arab atau tidak. Menurut Abu Tausi Jaiha, bila penguasaan bahasa Arab saja yang akan dijadikan ukuran saleh atau tidaknya seseorang, tentulah yang paling saleh adalah komputer, setelah itu orang Arab dan seterusnya onta.
WANITA:
E,e,e, apa hubungan operasi plastik dengan onta? Teruskan dulu membaca surat itu. Baca lagi agar tidak salah mengerti.
EMSI:
Baik. Baik. (membaca lagi) Operasi plastik adalah usaha manusia yang sah. Manusia yang selalu berusaha mempercantik dan menyempurnakan dirinya. Wanita-wanita yang melakukan operasi plastik, sama nilainya dengan seorang sufi, seorang alim. Seorang sufi akan selalu mempercantik diri dengan zikir dan doa-doanya kepada Tuhan. Jika seorang sufi lebih cenderung pada hal-hal yang abstrak, gaib, maka wanita yang melakukan operasi plastik cenderung untuk hal-hal yang nyata, karena suaminya adalah realita yang tak mungkin diabstraksikan.
Memang ada juga anggapan sebagian orang, bahwa wanita yang melakukan operasi plastik dianggap budak pisau bedah, hamba sahaya kecantikan, debu-debu realitas, atau, dianggap sebagai wanita yang terganggu keseimbangan jiwanya. Tapi itu kan hanya anggapan. Kenyataannya, boleh kita uji di lapangan penelitian. Jika setiap wanita punya kesempatan dan cukup uang, pertama kali yang dilakukannya adalah mempercantik diri, melakukan operasi plastik. Dunia perempuan penuh dengan keunikan.
Hanya suami-suami yang sudah tidak berselera atau laki-laki yang tidak normal yang melarang istrinya mempercantik diri. Simaklah kembali sejarah nabi kita!
Nabi sangat mencintai Aisyah karena putri Saidina Abu Bakar itu cantik dan selalu tampak cantik. Aisyah pulalah istri nabi yang dibiarkan memakai perhiasan. Apa arti semua ini? Artinya adalah bahwa nabi sangat mencintai istri yang cantik dan boleh berhias untuk kencantikan itu. Ringkasnya, Islam membenarkan operasi plastik dengan segala bentuk perkembangannya. (Berhenti membaca) Saya mengharap agar Bu Bida jangan sampai dipanggil orang Bu Bidaah. Penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran maupun hadist-hadist nabi untuk menghalalkan operasi plastik perlu didiskusikan dulu dengan para ulama. Berijtihad tidak boleh dilakukan secara nekad, atau dengan kebulatan tekad sekalipun.
Sebagai tokoh penting, Abu Tausi Jaiha pernah mengatakan bahwa hanya tiga hal yang dapat dibawa seseorang ke akhirat. Amal saleh, kerja yang bermanfaat dan doa anak yang saleh. Istri cantik tidak pernah disebut-sebut. Bahkan menurut beliau lagi, yang sering membuat seorang suami frustrasi, korupsi, bahkan jadi gila umumnya disebabkan istri cantik. Dengan lantang beliau mengatakan; “Istri cantik, bahkan lebih cantik, tanpa operasi plastik akan disediakan di sorga bagi orang yang beriman!” Ini menurut Abu Tausi Jaiha. Apakah waktu itu Bu Bida belum melakukan operasi plastik?
WANITA:
Teruskan dulu membaca surat itu. Teruskan dulu.
EMSI:
Baik. Baik. (membaca lagi) Demikianlah pokok-pokok pikiran istri saya tentang pembicaraan yang akan disampaikannya. Sebelum surat pengantar ini ditutup, perlu saya ingatkan. Panitia penyelenggara jangan mencoba pula membisikkan kepadanya agar mengakhiri pembicaraannya dengan meminta sedekah, wakaf dan infak kepada pengunjung, walaupun hal seperti itu sudah biasa dilakukan mubaligh-mubaligh pada setiap akhir pidatonya di masjid-masjid. Dalam hal ini istri saya berpendapat lain.
Menurut istri saya, semenjak lama, setiap ada acara hari-hari besar, selalu saja dipungut sedekah, wakaf, infak dari jamaah atau dari semua yang menghadiri acara hari besar itu. Bahkan sudah menjadi kebanggaan pihak penyelenggara apabila mereka dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Selalu saja uang ummat Islam menjadi incaran panitia.
Jika uang itu benar-benar dikumpulkan untuk kesejahteraan umat, sejak dulu, tentu umat Islam kita telah dapat membeli fabrik-fabrik yang besar, yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Pengemis-pengemis yang antri dan bahkan terinjak-injak sewaktu meminta dan menampung zakat fitrah setiap hari raya, tentu tidak akan ada lagi.
Menurut istri saya lagi, uang dari hasil sedekah, wakaf dan infak itu telah disamun oleh penyamun-penyamun terhormat. Oleh karena itu, daripada memperkaya para penyamun, lebih baik ummat Islam tidak melakukan kebiasaan seperti itu lagi. (Berhenti membaca) Bu Bida. Pikiran Bu Bida melarang mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah itu sangat berlawanan dengan apa yang telah dianjurkan Abu Tausi Jaiha.
Maaf Bu Bida. Saya jadi sangsi, apakah surat pengantar ini benar-benar dibuat Abu Tausi Jaiha ataukah karangan orang lain.
WANITA:
Kau harus tahu. Empat orang ahli sudah memperbaiki sebelum kamu membacanya. Teruskan sampai selesai.
EMSI:
Baiklah. Tapi, (Melihat Abu Tausi Jaiha muncul tiba-tiba) Alhamdulillah. Abu Tausi Jaiha. Hadirin dan hadirat. Yang kita tunggu-tunggu kini telah datang. Singa podium telah berada di depan mata.
WANITA:
O, si bapak..E, Pak Abu kan? Yang datang beberapa kali ke rumah meminta sumbangan untuk masjid… masjid apa ya? Apa Pak Abu juga menerima undangan menghadiri acara Ulang Tahun Organisasi Perempuan sekarang ini?
EMSI:
Wah..wah. Jadi bukan suami Bu Bida?
WANITA:
Suami saya? Uh! Apa boleh wanita bersuami dua? Gila kamu! (pada Abu Tausi Jaiha) Pak Abu akan memberikan ceramah agama dalam acara ini atau hanya membaca doa penutup saja?
EMSI:
Bu Bida. Maaf, maaf. Di sini bukan acara Ulang Tahun Organisasi Perempuan.
WANITA:
Ah! Acara apa ini? Hari ini adalah hari Ulang Tahun Organisasi Perempuan se Dunia bukan? Di mana-mana diperingati dengan meriah.
EMSI:
Di sini acara Ceramah Umum Luar Biasa, bu Bida.
WANITA:
Apa sudah mendapat izin? Kenapa saya tidak diberitahu sejak tadi?
EMSI:
Tapi bu Bida mengakui sebagai istri Abu Tausi Jaiha, tentu saya membiarkan untuk mewakili beliau.
WANITA:
Bodohnya! Tadi kau hanya menyebutkan – ibu kan istrinya, – tidak pernah kau katakan apa-apa lagi. Abu Tausi Jaiha kah, Abu Hurairah kah, Abu Jahal kah, Abu Lahab, Abu abuan atau Abu di atas tunggul sekalipun.
Emsi, kau bisa ditangkap kalau suka mempermainkan istri pejabat! Uh! Tampang keren otak senewen! (mengemasi barang-barangnya) Pir! Sopir! Cepat bawa tasku. Aku salah mimbar. (Ke luar dengan tenang).
EMSI:
Maaf Pak Abu. Semuanya kini sudah campur baur. Salah alamat dianggap sudah biasa. Salah langkah juga sudah dibiasakan. Salah kamar selalu disukai. Tapi salah mimbar jika jadi kebiasaan, kita akan susah nanti membedakan mana yang khotbah Jumat dan mana yang pidato penjual obat. Pak Abu. Mimbarnya kini sudah kosong. Dipersilahkan pak.
(bicara sendiri, agak kesal) Kalau penceramah suka terlambat, beginilah akibatnya.
Silahkan Pak Abu. Semoga Tuhan tidak ikut mentertawakan kita.
EMSI masih berdiri di samping mimbar memperhatikan Abu Tausi Jaiha (ATJ) menaiki mimbar dengan agak gemetar. Setelah berdiri di mimbar, beberapa buah buku yang dibawanya dibuka dan diletakkan di depannya. Dia seakan mau mulai berpidato, tapi kali ini terasa asing baginya. Dicobanya memulai pembicaraan, tapi suaranya sulit untuk dapat dikeluarkan.
ATJ:
Yang ter, (suaranya tidak terdengar tapi mulutnya tetap bergerak-gerak) Yang terhormat, (suaranya hilang tapi mulutnya terus komat kamit) Yang terhormat Ba, (suaranya hilang mulutnya terus komat kamit) Yang ter, yang terhor,
EMSI:
Wah! Pengeras suara itu macet lagi. (satu-persatu pengeras suara yang ada di mimbar diperiksa) Tes. Tes. Tes. Teeeeh es! Sss, ssss. The, tessss. Tiga, dua, satu. Dua, tiga satu.
ATJ:
(di antara suara Emsi mencek pengeras suara) Yang ter, yang terhormat, yang ter, ter ter, yang terhormat bapak, ba,
Tidak satupun pengeras suara itu yang rusak. Emsi semakin bingung. ATJ terus berusaha bicara, tapi suaranya semakin sulit dikeluarkan.
EMSI:
Bagaimana pak Abu? Ada apa rupanya? Tidak biasa hal seperti ini terjadi. Biasanya yang bikin kita susah adalah mikrofon, tapi sekarang pembicaranya. Bagaimana ini?
Emsi menunggu beberapa saat, tapi ATJ tidak berhasil mengeluarkan suara. ATJ membaca dan membalik halaman buku. Emsi tidak sabar lagi. Apalagi setelah dia menoleh kepada pengunjung yang mulai gelisah.
Jadinya, selama Emsi bicara, ATJ terus membalik-balik halaman bukunya sambil berusaha untuk dapat berbicara.
EMSI:
Ayo pak Abu. Wah, pak Abu mendapat kesulitan bicara? Apakah pak Abu menerima surat khusus atau surat kilat atau telepon yang melarang pak Abu bicara malam ini? Atau, pak Abu masih terpengaruh kecantikan wanita yang tadi salah mimbar?
Pak Abu, ceramah umum kali ini sangat penting dan luar biasa. Hal ini sesuai dengan keinginan pak Abu sendiri. Sarana sudah disiapkan dan pak Abu tinggal bicara menyampaikan segala sesuatunya.
Bicaralah pak Abu. Percayalah, di atas mimbar pasti ada kebebasan mimbar. Sekarang larangan untuk bicara di atas mimbar sudah tidak ada lagi. Berpikir dan berbicara sudah dibebaskan. Tentang kebebasan lainnya, walau beringsut-ingsut jalannya, pasti akan ke luar juga.
Bicaralah pak Abu. Orang-orang pasti akan mengangguk-anggukkan kepala selama pak Abu bicara. Apakah mereka mengerti atau tidak apa yang pak Abu bicarakan, itu persoalan lain lagi. Mengangguk-angguk saat ini sudah menjadi adat dan tatacara. Apalagi dalam pergaulan tingkat atas.
Bagaimana pak Abu? Benar-benar suara pak Abu tak dapat dikeluarkan? Atau, pak Abu kena pengaruh mantra dukun-dukun dari Bukit Siguntang sampai akhirnya lidah pak Abu jadi kelu? Atau, pak Abu kehilangan suara? Tapi sekarang masa penghitungan suara sudah lama selesai. Memang banyak suara yang hilang. Dan tidak mungkin suara pak Abu sekarang ini masih hilang. Atau, pak Abu sangsi orang lain tidak mau mendengarkan pembicaraan pak Abu lagi?
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Ha, ha, halam, halaman, tiga, tiga be, tiga belas.
EMSI:
Wah, pak Abu jadi terbata-bata. Gagap karena gugup atau gugup karena terkejut? Yah, mungkin karena selama ini tidak boleh bicara dan pada saat diberi kesempatan bicara pak Abu jadi gagap. Memang ada larangan bicara untuk pak Abu tempo hari, tapi hal itu dapat dimaklumi. Waktu itu keadaan begitu bising dan hiruk pikuk. Suara mesin fabrik, suara kelaparan, suara caci-maki, suara tembakan penembak-penembak gelap di siang hari, suara ketakutan, suara ketidakadilan, suara ketidakpastian bercampur baur memekakkan. Tapi sekarang suara-suara itu tidak ada lagi. Bahkan sudah tidak ada suara sama sekali.
Kalau pak Abu tidak bicara untuk memecahkan kesunyian ini, pasti orang lain menganggap kita masih berada dalam hutan larang-melarang. Ayo, pak Abu. Untuk memecahkan kesunyian ini, bicaralah. Bicara apa saja. Pokoknya asal bunyi.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Menu, menu, menu, menurut, buk, buk, bu, ku, buuuuku,
EMSI:
Pak Abu. Saat ini nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya berbicara. Ilmiah atau tidak, masuk akal atau tidak, menurut tatabahasa atau tidak, menurut ejaan yang disempurnakan atau tidak, tidak lagi dipersoalkan. Pokoknya bicara. Bicara itu penting. Didengar orang atau tidak juga tidak dipersoalkan. Bahasa Koran, Bahasa Persatuan atau Bahasa Quran tidak pula mereka dapat membedakannya.
Ayolah pak Abu, bicara. Jika pak Abu diam, diam sama artinya dengan bisu. Bisu artinya sama dengan sakit. Jika ilmuwan diam, pengetahuan demam. Jika ulama diam, agama sakit. Jika masyarakat diam pertanda masyarakat itu sedang sakit.
Tapi ya susah juga. Jika semua orang hanya mau bicara saja dan tidak berusaha membuktikan kebenaran bicaranya, pengertian-pengertian kata bisa kacau. Misalnya, seseorang bicara – kerja – , tapi kalau dia menyebutkan kata itu sewaktu mau tidur, artinya kata – kerja – itu berarti tidur. Dan masyarakat yang maunya hanya bicara saja, namanya masyarakat gila. Gila bicara.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Den, den, deng, dengan, demi, kian, kian..
EMSI:
Jelas sudah kini, bahwa mulut pak Abu terkunci. Mungkin karena banyak bergerak atau terlalu lama diam, atau terlalu banyak digunakan untuk hal-hal lain selain untuk bicara. Jika mulut pak Abu terkunci terus menerus, apa artinya acara ceramah luar biasa ini. Kalau pak Abu tidak mau bicara, orang-orang yang telah menunggu sejak tadi akan bicara sendiri-sendiri. Jika hal itu terjadi, pastilah lebih membisingkan.
Kita sekarang berada dalam keadaan yang serba sulit, pak Abu. Kita diam, orang akan bicara. Membicarakan kenapa kita diam. Jika kita mulai bicara, orang-orang itu terus saja melanjutkan pembicaraan, membicarakan kenapa kita mulai bicara. Mereka akan berdiskusi riuh sekali, mendiskusikan kenapa kita bicara. Bukan isi pembicaraan kita yang mereka diskusikan, tetapi keuntungan apa yang dapat diperoleh dengan menggunakan pembicaraan kita.
Ya, apa boleh buat pak Abu. Semua harus menguntungkan dan semua harus mendapat untung. Pak Abu harus bicara di antara pembicaraan mereka, walau tidak menguntungkan.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Du, dul, dul, dulu, pe, per, pernah, seo, seo, seorang,
EMSI:
Pak Abu sebaiknya jangan seperti dulu lagi, menganggap diri pak Abu tidak penting dan menganggap apa yang pak Abu bicarakan bukan persoalan penting.
Pak Abu, sampai sekarang semua orang sudah bicara. Bahkan orang-orang penting sering membicarakan hal-hal yang tak penting. Dan sebagian lagi hanya bicara sepanjang kepentingan.
Dalam ceramah luar biasa kali ini, apakah pak Abu akan menyampaikan hal-hal penting atau tidak penting, itu tidak penting dipersoalkan, karena semua orang telah bicara, penting tidaknya sebuah pembicaraan. Hal ini dalam tulisan Arab Melayu akan jelas membuktikan bahwa penting, puntung, pentong ataupun pontang-panting tetap dituliskan dengan tulisan yang sama.
Ayo, pak Abu. Cobalah bicara. Coba.
Saat ini zaman bagi setiap orang untuk bicara. Mengeluarkan pendapat tanpa perlu mengeluarkan pendapatan. Menjelaskan pandangan-pandangan, mengumumkan pengumuman, mengumumkan pengumuman yang diumumkan untuk umum, membuat kredo, kiat, catatan pinggir, catatan kaki, editorial, dari hati ke hati, ya, semua dilakukan. Mereka ingin menjelaskan sesuatunya sejelas-jelasnya. Yang jelas, semua penjelasan itu semakin tidak menjelaskan penjelasan mereka.
Pengantar minuman datang. Beberapa minuman kaleng diletakkan di mimbar. Abu Tausi Jaiha mengambil salah satu dan segera meminumnya.
Emsi juga merasa haus. Dia mencegat membawa minuman.
EMSI:
Aku? Ya ini saja, aqua.
(berpacu minum dengan ATJ)
ATJ:
Minuman apa ini! Lidahku digigitnya!
EMSI:
(Terkejut)
Hei, pak Abu! Pak Abu sudah bisa bicara. Bagus sekali. Bagus sekali. Tapi pak Abu, sebelum pak Abu mulai bicara, hendaknya dijelaskan dulu kepada siapa pak Abu bicara. Dan tentu pak Abu telah pula mempertimbangkan segala risikonya. Berapa lama waktu yang akan dipakai untuk pembicaraan, apakah pembicaraan itu tidak bertentangan dengan kebiasaan, sopan santun, hukum, peraturan? Apakah pembicaraan itu akan bersifat menuding, menfitnah, memaki, mencemooh, melakukan kritik langsung atau tidak langsung? Dan yang paling penting, apakah pembicaraan itu terarah dan dapat diarahkan. Kalau tidak demikian pembicaraan bisa rancu dan racun bagi keselamatan kita semua.
Bagaimana pak Abu?
Tidak mau bicara? Tidak mau? Benar-benar tidak mau?
Baiklah kalau pak Abu tidak mau bicara. Tapi kalau pak Abu memang tidak mau bicara, sebaiknya pak Abu menjelaskan dulu kenapa pak Abu tidak mau bicara. Apa sebabnya, latar belakangnya dan kapan pak Abu mulai berhenti berbicara.
Nah, kalau pak Abu benar-benar tidak mau bicara, apakah hal itu pak Abu lakukan karena pak Abu dibayar atau tidak? Kalau dibayar, siapa yang membayar dan berapa bayarannya. Dibayar dengan apa? Uang tunai? Mata uang apa? Atau dibayar dengan cek? Cek undur, cek kosong atau kuitansi kosong?
ATJ:
Kaaaaaaa…baaaaaa…uuuuuu!
EMSI:
Wah, pak Abu tiba-tiba bicara kumuh. Kumuh sekali! Pak Abu memakai kata kabau. Pak Abu. Pak Abu perlu saya ingatkan, kalau pak Abu memaki dengan memakai kata kabau, supaya tidak menyinggung perasaan orang Minangkabau, sebaiknya pak Abu menjelaskan apa arti kata kabau itu. Kerbau maksudnya? Atau kabau itu jengkol hutan yang enak tapi busuk baunya? Sebab antara kerbau dan jengkol hutan bagi orang Minangkabau disebut kabau saja. Nah, jika kabau yang pak Abu maksudkan iu kerbau, pak Abu juga harus menjelaskan kerbaunya. Kerbau siapa? Kerbau itu jantan atau betina? Yang sedang menarik pedati, menghela bajak atau yang sedang santai di kubangan? Atau yang selalu ditarik-tarik ke sana ke mari karena hidungnya dicucuk dan diberi tali plastik?
Juga pak Abu harus menjelaskan lagi, apakah kerbau yang dimaksudkan itu, tahi kerbau, susu kerbau, kedunguan kerbau atau perutnya yang gendut atau apanya?
Pak Abu. Pekerjaan yang paling mudah adalah memaki. Tapi yang paling sulit adalah adalah menjelaskan kata makian yang dipakai. Mungkin untuk menjelaskan kata makian itu saja akan memakan waktu yang cukup panjang dan cukup membuat kita lupa, apakah kita sedang memaki atau menerangkan sebuah kata makian.
Di sini letak kuncinya pak Abu, kenapa orang sekarang tidak suka memaki, di samping risikonya sangat berat, juga sebuah makian dapat membuat orang itu dilenyapkan dari muka bumi.
ATJ:
Ya Allah, di mana aku sekarang?
EMSI:
Di sini! Di sini! Di sini! O, pak Abu. Tanpa dijawab Tuhan, sayapun dapat menjawab secara pasti di mana pak Abu berada sekarang.
Ingat pak Abu. Tuhan tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Tuhan bukan tempat bertanya, bukan petugas informasi atau buku pintar, komputer atau polisi lalu lintas. Tuhan memberi petunjuk, manual, terhadap apa yang diciptakanNya. Mestinya pak Abulah yang akan ditanya Tuhan. “Hei, Abu Tausi Jaiha, kau tahu di mana Aku? Tidak? Aku dekat sekali denganmu. Lebih dekat dari batang lehermu sendiri”.
Para hadirin.
Tuhan lebih suka memberikan semacam teka-teki silang kepada kita dengan hadiah yang menggiurkan, sorga! Jika ingin memperoleh hadiah besar itu, isilah petak putih yang disediakan di kolom jawaban. Tetapi, jika hanya asal jawab saja, apalagi tidak mempedulikan petak-petak putih dan hitam, sangsinya neraka! Neraka, para hadirin dan hadirat sekalian! Ne, ra, ka!
Tiba-tiba listrik mati. Ruangan jadi gelap. Emsi kaget dan kalang kabut. Abu Tausia Jaiha tidak tampak lagi.
EMSI:
E, lampu. Lampu! Wah! Kenapa panitia tidak menyediakan lampu petromak setiap mengadakan acara besar seperti ini! Mana lilin. Lilin? O, jangan lilin. Jangan. Kita tidak mau dikatakan acara hari ini acara peringatan ulang tahun. Senter! Yaya, batrei. Bodohnya! Flash light!
Kini mimbar yang besar itu diterangi cahaya dari sorotan dua lampu batrei. Sedangkan Emsi menerangi dirinya sendiri dengan lampu batrei lain. Emsi bertambah bingung, karena Abu Tausi Jaiha tidak ada lagi di mimbar.
EMSI:
Pak Abu. Pak Abu. Abu Tausi Jaiha. Abu Tausi Jaiha!
Sesuatu yang mengejutkan Emsi terjadi. Didahului suara ledakan kecil dan jerit kesakitan tertahan serta tepuk tangan, dua potong tangan muncul di atas mimbar. Kedua tangan itu melayang-layang dan menggapai-gapai. Emsi ketakutan.
EMSI:
Masya Allah! Apa yang terjadi. Itu! Itu. Tangan siapa yang terlepas dari tempatnya? Mengapa dalam gelap begini berkeluyuran di atas mimbar?
Para hadirin. Siapa yang ketinggalan tangannya, ambillah segera di mimbar ini. Tangan siapa ini? Apa yang dicopet di atas mimbar? Hei tangan! Tangan siapa kau!
TANGAN:
Aku, tangan Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Ha? Tangan Abu Tausi Jaiha? Ya Allah. Kenapa bergentayangan?
TANGAN:
Aku tercabut dari tubuhnya karena banyak sekali melakukan kesalahan.
EMSI:
Kesalahan macam apa?
TANGAN:
Kesalahan dalam penulisan. Sewaktu Abu Tausi Jaiha menyuruh saya menulis, saya sering sekali melompati jarak dan spasi. Abu Tausi Jaiha bermaksud ke kebun tuan, karena saya tidak memberikan jarak yang jelas, menyebabkan Abu Tausi Jaiha sampai ke kebuntuan.
Begitu juga ketika Abu Tausi Jaiha mau berkunjung ke keraton. Karena saya membuat jarak, akhirnya dia tersesat ke pameran seekor kera yang beratnya satu ton.
Dalam penulisan Arab Melayu, saya sering lupa memberi baris. Ya, tentu saja semua pengertian jadi jungkir balik. Abu Tausi Jaiha mengatakan tukang pancing. Tapi setelah dituliskan dan dibaca kembali menjadi tukang pancang. Akibatnya tukang pancing masuk penjara dan dipukuli dengan pancang sampai pencong.
Abu Tausi Jaiha ingin membeli seekor kambing, tapi setelah saya tulis apa yang dibelinya, kambingnya hilang karena telah dibaca jadi kumbang, lalu kumbang terbang menuju kembang. Tentu saja perut si Kambang jadi kembung.
EMSI:
Itu tidak penting, semua kan sudah pontang-panting. Pasti ada kesalahanmu yang paling berat. Kalau tidak, tidak mungkin kau copot dari tubuh Abu Tausi Jaiha.
TANGAN:
Memang. Terutama dalam hal memegang kekuasaan. Sebenarnya Abu Tausi Jaiha sudah ingin melepaskan kekuasaannya. Tapi aku tetap saja mengenggamnya. Akibat saya genggam begitu kuat, Abu Tausi Jaiha jadi semakin liar dan tidak dapat dikendalikan. Abu Tausi Jaiha ternyata kemudian menjadi diktator.
Begitu juga sewaktu Abu Tausi Jaiha ingin menjalin persahabatan. Dia ingin berangkulan dan bersalaman, tapi saya mengepalkan diri menjadi tinju. Ya, persahabatan berubah menjadi perkelahian.
Emsi, aku ingin kembali pada tubuh Abu Tausi Jaiha. Tolonglah. Apa artinya sepasang tangan bila terlepas dari tubuh. Masihkah akan dikatakan tangan juga kalau tidak menempel pada tubuh? Emsi, jika nanti listrik menyala, dan aku belum terpasang lagi pada tubuhnya, bagaimana jadinya ceramah umum ini.
EMSI:
Tanganku sendiri tak dapat kukendalikan, apalagi tangan yang terlepas dari tubuh.
TANGAN:
Jadi, kau tidak mau membantu? O, Emsi. Percayalah. Aku tidak akan memegang kekuasaan itu lagi. Semua kekuasaan Abu Tausi Jaiha akan kulepaskan.
(terkulai dan lemah dipinggir mimbar)
Diiringi dengan suara derap kaki, sepasang kaki muncul di mimbar dan menyepak kiri kanan. Bahkan kaleng minuman yang terletak di mimbar kena sepakan dan jatuh di lantai.
EMSI:
Hei! Kaki siapa yang menerjang-nerjang mimbar ini?
KAKI:
Kaki Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Kau juga akan minta tolong ditempelkan lagi pada tubuh Abu Tausi Jaiha?
KAKI:
Ya. Jika nanti listrik menyala dan aku masih bergentayangan di sini, tentu akan ditangkap untuk dibuat sup. Sup kaki.
EMSI:
Kalau mau minta tolong kenapa harus menyepak-nyepak di mimbar ini. Sopanlah sedikit.
KAKI:
Maaf Emsi. Tabiatku memang agak buruk. Itu sebabnya aku terlepas dari tubuh Abu Tausi Jaiha. Kalau dia berada di depan, didahulukan selangkah, aku senang sekali menyepak dari belakang.
EMSI:
Buruk sekali. Apa saja yang kau sepak, yang kau injak, sehingga Abu Tausi Jaiha mencabut kau dari tubuhnya?
KAKI:
Yang sering kuinjak-injak adalah,
EMSI:
Katakan saja terus terang. Apa yang sering kau injak?
KAKI:
Kebenaran.
EMSI:
Hanya itu?
KAKI:
Kesucian.
EMSI:
Lainnya?
KAKI:
Kejujuran. Kesetiaan. Kebebasan. Ya, banyak sekali. Akibatnya sangat buruk. Pendirian Abu Tausi Jaiha jadi goyah.
EMSI:
Hei kaki. Sulit sekali saya dapat menolongmu.
KAKI:
Emsi, ingat. Aku memang buruk. Jika Abu Tausi Jaiha harus berdiri lagi di mimbar ini setelah lampu menyala kembali, dia memakai kaki apa? Meminjam kaki orang lain untuk dapat berdiri? Pasti Abu Tausi Jaiha akan dituduh tidak mampu berdiri di kaki sendiri.
Apalagi kalau orang Minang yang meminjamkan kakinya. Mereka berdagang di kaki lima.
EMSI:
Memang sulit juga. Apalagi kalau Abu Tausi Jaiha memakai kaki langit. Kalau dia hanya satu kaki, betapa pendeknya dia jadinya, tidak sampai satu meter. Tapi, hei kaki. Aku sulit juga memberikan kaki padanya.
KAKI:
Kalau tidak mau menolongko, terserah. Tampaknya aku harus menunggunya di mimbar ini.
(kedua kaki menunggu di samping mimbar)
Lalu, muncul sepasang telinga.
TELINGA:
Aku telinga Abu Tausi Jaiha, percayalah. Aku terlalu banyak mendengar kecurigaan.
EMSI:
Selain kecurigaan, apa lagi yang kau dengar?
TELINGA:
Ya, suara suara.
EMSI:
Suara apa?
TELINGA:
Ada yang lucu. Sekali waktu Abu Tausi Jaiha ingin mendengar suaranya sendiri. Tapi aku tidak mendengarkan apa-apa. Setelah diusut ternyata suara Abu Tausi Jaiha hilang. Memang waktu itu orang sedang musimnya kehilangan suara. Abu Tausi Jaiha marah padaku. Suaraku hilang, katanya. Jawabku membela diri – ya mungkin salah hitung.
EMSI:
Selain mendengar suara Abu Tausi Jaiha sendiri, suara apa lagi yang sering kau dengar?
TELINGA:
O, banyak sekali. Suara kemiskinan, suara kepalsuan, suara-suara sinis, sumbang, kritik. Yang mengasyikkan mendengar suara desah nafas para pejabat mengejar kupu-kupu malam. Suara erang terakhir laki-laki yang mati terbunuh. Pekikan perempuan yang haknya dirampas. Keluhan anak-anak yatim yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Suara-suara itu seperti irama musik rock! Menggetarkan, menggairahkan, panas tanpa dicampuri kelembutan.
EMSI:
Tidak pernahkah kau mendengar riak air dipermukaan danau? Suara burung berkicau menyambut matahari pagi, suara kokok ayam jantan menyongsong fajar? Lagu kanak-kanak yang rindu kasih sayang?
TELINGA:
Pernah. Pernah memang. Tapi kapan ya? Aku lupa.
EMSI:
Suara azan? Suara orang membaca Quran?
TELINGA:
Pernah juga.
Mata muncul. Telinga menggantung di pinggir mimbar.
MATA:
Emsi. Aku tidak melihat cahaya. Apa di sini sedang terjadi pembicaraan gelap?
EMSI:
Siapa yang bergentayangan seperti bola kasti ini? Apa ini? Granat?
MATA:
Aku mata. Mata Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Kenapa kau keluyuruan di luar tubuh Abu Tausi Jaiha? Banyak kesalahanmu, pasti!
MATA:
Abu Tausi Jaiha mengajarkan bahwa manusia itu sama dalam pandangan Tuhan. Tapi menurutku, manusia tidak sama dan sangat berbeda-beda kedudukannya. Ya, mungkin karena aku diberi kaca, berbagai rupa warna dan ukuran yang berbeda-beda menyebabkan pandangan Abu Tausi Jaiha selalu berubah-ubah.
Sewaktu kacamata politik dipasangkan padaku, kulihat semua ulama seperti hantu. Begitu juga sewaktu kacamata agama dipasangkan, kulihat semua tokoh politik itu munafik semua. Anehnya, sewaktu dipasangkan kacamata seni, tokoh politik, ulama atau siapa saja, kulihat sebagai sosok dari kegelisahan manusia. Kadang-kadang pandanganku dikaburkan dengan puji-pujian kosong dan aku sendiri menerima pujian itu dengan bangga.
Tapi sewaktu semua kacamata dilepaskan dariku, aku tiba-tiba menjadi silau. Aku melihat lingkaran-lingkaran hitam yang semakin menghitamkan pandanganku. Abu Tausi Jaiha marah padaku. Dikatakannya aku silau oleh Nur Tuhan.
EMSI:
Mungkin karena kau tidak mampu melihat Nur Tuhan lalu Abu Tausi Jaiha melemparkanmu dari kepalanya.
MATA:
Begitulah. Nur Tuhan memancar menyinari Abu Tausi Jaiha, tapi aku memejamkan mata. Tentu saja Abu Tausi Jaiha waktu itu mengatakan Tuhan tidak ada. Emsi, kuakui, kesalahanku pada Abu Tausi Jaiha banyak sekali. Emsi, tolonglah aku. Kebetulan lampu listrik mati, inilah kesempatan untuk memasukkan aku kembali ke kepala Abu Tausi Jaiha.
(mata menangis)
EMSI:
E, mata jangan menangis. Aku takut nanti yang kau keluarkan air mata buaya. Pergilah.
MATA:
O, Emsi. Haruskah aku menjadi mata-mata? Atau menjadi mata pisau. Emsi, tolonglah aku.
Sepasang mata itu kini tergantung di pinggir mimbar.
Tiba-tiba lampu kembali menyala.
Abu Tausi Jaiha tampak berdiri di mimbar sebagaimana sebelum lampu mati. Tapi pada wajahnya tampak perobahan besar terjadi. Keringat mengalir di dahinya dan letih sekali. Sewaktu Emsi memandangnya, dia berusaha tersenyum.
Emsi terkejut dan sekaligus gembira. Dilihatnya Abu Tausi Jaiha sudah berdiri di mimbar. Dia tersenyum puas.
EMSI:
Alhamdulillah. Lampu menyala dan kita kembali mendapat cahaya.
Para hadirin. Dikehendaki atau tidak, ternyata setiap orang akan berada dalam keadaan bersih diri. Apalagi sebelum memulai ceramah umum ini, sebagaimana yang baru saja dialami Abu Tausi Jaiha. Bersih diri mungkin sangat menyakitkan, tapi bisa jadi setelah itu akan menenteramkan. Bagaimana pak Abu? Apa memang begitu?
ATJ:
(mengangguk membenarkan)
Alhamdulillah.
EMSI:
Para hadirin. Abu Tausi Jaiha dipersilahkan melanjutkan ceramahnya. Silahkan pak Abu.
ATJ:
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati,
(tertegun memandang dua lelaki tiba-tiba datang)
hasanah, waqina, azab, azab, azab, azab..
EMSI:
(Melihat dua lelaki asing itu)
Masya Allah. Persoalan apa lagi?
Siapa kalian? Apakah kalian utusan Bu Bida untuk menangkapku? CIA? FBI? BIN? Atau anggota CPM? Polisi? Hansip? Satpam?
E, bung! Acara ceramah umum seperti ini tidak perlu dimata-matai. Semua pihak sudah mengizinkan acara ini dilaksanakan.
Atau kalian wartawan? Kalau wartawan, ya harus tahu aturan jugalah. Wawancara sebaiknya setelah acara selesai.
Pak Abu. Ayo, pak Abu. Silahkan terus.
LELAKI I:
Abu Tausi Jaiha baru saja membersihkan diri, tapi dia belum bersih lingkungan. Dia tidak layak memberikan ceramah apapun.
EMSI:
Bersih lingkungan? Soal apa yang menyebabkan lingkungannya tidak bersih?
LELAKI I:
Dia punya maksud-maksud tertentu. Dia berusaha mempengaruhi semua orang dengan melakukan bersih diri di tempat terbuka. Dia ingin tetap dianggap sebagai Singa Podium yang bersih padahal nama Abu Tausi Jaiha disebut-sebut dalam peristiwa pembunuhan massal 20 tahun yang lalu.
EMSI:
Tunggu. Abu Tausi Jaiha sudah dinyatakan tidak bersalah, bukan? Dia tidak terlibat.
LELAKI I:
Siapa mengatakan dia tidak terlibat? Pengadilan? Mass media? Masyarakat awam yang fanatik? Semua itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Abu Tausi Jaiha sendiri. Dia tahu peristiwa itu, dia terlibat, tapi berusaha meyakinkan semua pihak bahwa dia tidak terlibat.
EMSI:
Punya bukti-bukti?
LELAKI I:
Lebih dari bukti!
LELAKI II:
Emsi. Keterlibatan Abu Tausi Jaiha dalam pembunuhan massal itu merupakan usaha pihak-pihak tertentu. Mereka memakai nama Abu Tausi Jaiha supaya lebih aman dan supaya sulit dicari jejaknya. Abu Tausi Jaiha tidak bersalah. Aku dapat membuktikan kepada siapapun.
EMSI:
Juga punya bukti?
LELAKI II:
Lebih dari bukti!
EMSI:
Wah bagaimana pak Abu? Bagaimana ini?
Abu Tausi Jaiha berusaha bicara tapi mulutnya terkunci.
LELAKI II:
Abu Tausi Jaiha tidak akan dapat bicara sebelum kami pergi. Jangan tanya dia.
EMSI:
Ada bukti Abu Tausi Jaiha terlibat. Juga ada bukti Abu Tausi Jaiha tidak terlibat. Tunggu. Anda berdua siapa? Darimana? Dari pengadilan internasional?
LELAKI I,II:
Lebih dari itu.
EMSI:
Begini bung. Soal pro dan kontra terhadap Abu Tausi Jaiha perlu data tertulis.
LELAKI I, II:
Baik.
Kedua lelaki secara serentak meletakkan masing-masing sebuah buku yang sangat tebal di atas mimbar di depan Abu Tausi Jaiha. Kedua buku itu masing-masing berkulit merah dan berkulit putih. Setelah kedua buku itu diletakkan, tiba-tiba listrik mati lagi. Kedua lelaki menghilang dalam gelap. Abu Tausi Jaiha pun hilang.
Emsi kalang kabut
EMSI:
E, lampu. Lampu! Lampu! Ceramah kita belum dimulai! Lampu! Uh, kalau ada kepala PLN di sini, bisa dipecat kalian. E, lampu.
Lampu kembali menyala. Emsi semakin bingung karena Abu Tausi Jaiha dan kedua lelaki itu tidak ada lagi. Dia segera naik ke mimbar.
EMSI:
Pak Abu! Pak Abu! Abu Tausi Jaiha! Ah, pasti kedua lelaki itu menculiknya. Keterlaluan! Orang yang sedang ceramah di atas mimbar juga bisa diculik! E,e,e, wartawan mana. Wartawan! Jangan tulis. Jangan tulis tentang penculikan di mimbar ini.
Para hadirin.
Ini benar-benar sebuah kejutan. Ini baru dapat membuat kita terkejut. Ya, boleh juga tidak terkejut sama sekali, karena sudah diatur sebelumnya.
Agar tidak menimbulkan kegelisahan lagi, terutama misteri tentang kedua buku ini, baiklah saya bacakan saja mukadimahnya.
(Meneliti halaman pertama kedua buku tebal itu)
Mukadimahnya sama.
(membaca)
Buku ini adalah catatan tentang Abu Tausi Jaiha yang terlengkap, terperinci dan teruji kebenarannya serta terpelihara baik. Buku berkulit merah berisi catatan tentang segala kesalahan Abu Tausi Jaiha, sedangkan yang berkulit putih tentang kebenaran dan kejujurannya.
Buku kembar ini disusun tidak untuk diterbitkan dalam bentuk apapun, atau diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, tidak untuk pihak kepolisian, kejaksanaa, biro bantuan hukum, hakim apalagi wartawan. Juga tidak untuk kalangan terbatas atau kalangan khusus atau kalangan lainnya, selain untuk Abu Tausi Jaiha.
Buku yang berkulit merah disusun oleh Kitab. Buku berkulit putih disusun oleh Katib.
(berhenti membaca)
Ya Allah. Ini nama samaran malaikan yang bertugas di kiri kanan Abu Tausi Jaiha! Kenapa diserahkan sekarang? Menurut penuturan, buku-buku seperti ini harus diserahkan nanti di Padang Mahsyar. Apa mungkin malaikat bisa lupa? Tidak mungkin dia lupa! Tidak mungkin.
(membalik-balik halaman kedua buku)
Para hadirin.
Buku merah ini menjelaskan segala kesalahan dan dosa-dosa Abu Tausi Jaiha, sedang buku yang putih menguraikan pula segala kebaikan dan pahala-pahala Abu Tausi Jaiha. Kedua buku ini tampaknya mempunyai kebenaran sendiri-sendiri dan kita tidak mungkin begitu saja menghakimi.
Yang jelas, kedua buku ini membuktikan bahwa Abu Tausi Jaiha telah membuka diri seluas-luasnya untuk diperhatikan dan dipelajari. Abu Tausi Jaiha tampaknya mau jujur pada dirinya. Apakah dia bisa jujur, itu persoalan lain lagi.
Tapi para hadirin, bisakah kita jujur pada diri sendiri? Hal inilah yang paling sulit. Agaknya itulah sebab kenapa kedua lelaki itu sengaja datang memberikan kedua bukunya pada Abu Tausi Jaiha.
Para hadirin.
Sebenarnya Abu Tausi Jaiha sama saja halnya dengan sebuah gading. Jika tidak retak atau retak semua, pasti gadingnya palsu. Karena kata pepatah orang tua-tua kita – tak ada gading yang tak retak -.
Jika tidak berdosa sama sekali, malaikat namanya.
Berdosa berkepanjangan, namanya setan.
Tapi yang tak terhindar dari dosa, namun terus berusaha agar tidak berdosa, dialah Abu Tausi Jaiha. Dia sendiri mencatat dosa-dosanya. Dia sendiri memahami jasa-jasanya. Dia sendiri penuntut, pembela, hakim bagi dirinya. Dia sendiri yang akan menanggung segala keputusan yang dibuatnya.
Para hadirin,
(Tertegun melihat ke suatu tempat).
Ya Allah, itu dia! Itu! Itu! Abu Tausi Jaiha! Abu! Tausi! Jaiha!
Podium kita di sini. Di sini. Di sana mimbar yang lain!
Uh, penceramah pun juga bisa salah mimbar!
(Pergi mengejar Abu Tausi Jaiha ke luar)
- tammat -
Padang, Oktober 1988/1995
SINGA PODIUM
Sebagaimana yang dijanjikan oleh tulisan pada spanduk, poster dan papan pengumuman yang di pasang di halaman, di depan pintu masuk dan dalam ruangan besar itu, memang, sekarang sedang berlangsung acara ceramah umum luar biasa. Didahului rombongan musik rebana menyanyikan lagu-lagu qasidah dengan merdunya.
Setelah sampai waktunya, EMSI datang dan berdiri di samping mimbar yang tinggi dan besar. Melalui sebuah alat pengeras suara, dia mengumumkan lanjutan acara dengan suaranya yang bersih dan sugestif.
EMSI:
Selanjutnya, acara ini kita lanjutkan. Ceramah Umum Luar Biasa!
Disampaikan tokoh terkenal dan populer dengan julukan yang disenangi beliau – Singa Podium! Malam ini kita mengharapkan beliau akan mengaum lebih hebat lagi. Beliau adalah Abu Tausi Jaiha. Sebuah kejutan! Dan kita tidak perlu terkejut!
Hadirin dan hadirat sekalian.
Para hadirin yang benar-benar mengikuti ceramah ini dengan sepenuh hati, tidak ribut, batuk-batuk atau bising, Abu Tausi Jaiha akan mendoakan semoga Allah subhanahuwataala melimpahkan taufiq dan hidayahNya kepada kita bersama.
Ceramah Umum Luar Biasa! Waktu dan tempat dipersilahkan kepada,
(tertegun dan bingung)
Seorang wanita tiba-tiba datang langsung menuju mimbar dengan tenang dengan langkah-langkah mantap. Pakaiannya “ultra modern” dan membawa sebuah tas yang bagus tempat segala keperluannya berhias diri.
Emsi masih bingung dan terpaku, seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakannya.
WANITA:
Maaf saya agak terlambat. Karena semua yang datang ke sini membawa kendaraan dan memenuhi lapangan parkir, mobil saya terpaksa diletakkan di seberang jalan. Petugas keamanan di sini ada kan? Tolong agak tiga orang menjaganya. Tiga, ya.
Sausaudara sekalian. Saya sebagai isteri dari,
EMSI:
Tunggu. Tunggu. Tunggu dulu, eh, ibu, nyonya. Ya Tunggu. Yang bicara saat ini seharusnya Abu Tausi Jaiha.
WANITA:
(tersinggung dan segera memberikan sebuah amplop besar pada Emsi)
Baca! Ayo, baca! Baca dulu. Baca dengan tenang!
(sementara Emsi membaca, dia membuka tasnya dan menghiasi diri)
EMSI:
O,o jadi, ibu istrinya, wah, maaf bu. Setahu saya istri beliau tidak cantik dan semuda ini. Maaf bu. Ibu istri beliau yang keberapa? Saya percaya, beliau tentu tidak punya istri simpanan.
WANITA:
Baca. Baca. Jangan bicara dulu, baca.
EMSI:
(setelah membaca sebagian dari surat itu)
Hadirin sekalian. Izinkan saya menjelaskan perobahan yang mendadak seperti ini. Agar tidak menimbulkan kegelisahan, saya langsung saja membacakan surat pengantar ini. Ditujukan kepada kita bersama.
(membaca surat)
Dengan segala hormat.
Dengan sangat menyesal saya terpaksa tidak dapat menghadiri pertemuan yang berbahagia ini, karena secara mendadak sekali harus menghadiri rapat penting sehubungan dengan erosi kepercayaan dan krisis kepemimpinan yang melanda masyarakat Melayu. Supaya tidak mengecewakan kita sekalian, istri saya mengambil inisiatif menggantikan saya. Hal ini membuktikan, seorang istri harus dapat menggantikan tugas-tugas suaminya.
(Berhenti membaca dan mengangguk beberapa kali)
Ya, memang harus begitu. Dan semuanya sudah begitu sekarang.
(Membaca lagi)
Istri saya yang berdiri di hadapan kita sekarang, nama sesungguhnya adalah Bida Duri. Bida Duri tidak punya hubungan apa-apa dengan duri-duri yang lain. Apalagi dengan Baiduri, Rafika Duri, duri dalam daging, durian runtuh. Nama Bida Duri berasal dari kata Bidadari. Bukankah bidadari adalah huria-huria yang cantik rupawan, yang disediakan Tuhan di sorga bagi orang-orang beriman?
Pada kesempatan ini, istri saya akan menyampaikan sebuah pembicaraan dengan judul – pandangan seorang isteri terhadap operasi plastik.
(Berhenti membaca)
Waw! Apa hubungannya dengan ceramah yang diadakan ini?
(Membaca lagi)
Topik pembicaraan ini sengaja dipilih istri saya berdasarkan pengalamannya sendiri, secara langsung, yang telah melakukan operasi plastik baru-baru ini. Kalau dulu orang-orang tua pernah mengajarkan kita bahwa kelakuan dapat dirobah, tapi muka tidak, maka menurut istri saya, dia telah membuktikan bahwa pepatah petitih itu salah. Menurut istri saya, jangankan muka, kelaminpun dapat dirobah sekarang. Bahkan dengan operasi plastikpun wanita bisa kembali menjadi perawan!
Menurut istri saya lagi, operasi plastik guna mempercantik diri merupakan idaman setiap wanita untuk menggairahkan suaminya. Tidak terkecuali istri kiyai, sech atau ulama manapun, apalagi tokoh-tokoh politik, birokrat dan bisnisman. Istri seorang politikus misalnya, maaf ini sebagai contoh saja, harus tetap cantik dan harus berusaha tetap cantik. Sebab, itulah sumbangan terbesar kaum wanita kepada perjuangan bangsa. Dan bagi para ulama, istri cantik itu perlu, agar di sorga nanti tidak risi atau keki menghadapi bidadari-bidadari yang berseliweran di lorong-lorong sorga dan yang menunggu-nunggu di taman-taman indah. Di samping itu pula, bila istri seorang ulama cantik, pastilah citra ulama semakin baik sebagaimana juga tokoh-tokoh politik lainnya. Bukankah selama ini istri-istri para ulama, tokoh-tokoh politik itu selalu tampak kurus, keriput pipinya, kempes dada dan pinggulnya karena terlalu banyak menanggung beban kemasyarakatan? Operasi plastik merupakan terapi yang ampuh bagi jiwa yang tertekan.
(berhenti membaca).
Bu Bida Duri. Topik pembicaraan yang ibu sampaikan ini tidak sesuai dengan judul yang kami minta. Pembicaraan malam ini akan membahas masalah bahasa dengan judul – Bahasa Koran, Bahasa Persatuan dan Bahasa Quran -.
Judul ini sengaja kami mintakan karena sekarang banyak sekali orang beranggapan bahasa Quran adalah bahasa Arab. Lalu disimpulkan saja Quran hanyalah milik orang Arab sedangkan Islam milik semua ummat. Oleh karena itu Quran harus memakai bahasa yang dimengerti oleh ummat itu sendiri. Anggapan demikian terus berkembang dan bahkan di antara mereka sudah mulai menganjurkan supaya sembahyang menjadi khusyuk, lebih baik memakai bahasa sendiri yang mudah dimengerti. Menurut mereka lagi, bersembahyang memakai bahasa Arab sama artinya menghina Tuhan. Seakan Tuhan hanya mengerti bahasa Arab saja.
Menurut anggapan orang-orang itu lagi, tidak masuk akal bila Islam hanya didasarkan pada bahasa Arab, karena tidak semua orang yang berbahasa Arab adalah orang Islam. Anggapan begini sangat berbahaya Bu Bida. Oleh karena itu kami meminta Abu Tausi Jaiha mendudukkan persoalannya pada ceramah luar biasa ini. Beliau sependapat dengan kami, bahwa orang-orang saleh pada masa depan tidak ditentukan lagi apakah dia memahami bahasa Arab atau tidak. Menurut Abu Tausi Jaiha, bila penguasaan bahasa Arab saja yang akan dijadikan ukuran saleh atau tidaknya seseorang, tentulah yang paling saleh adalah komputer, setelah itu orang Arab dan seterusnya onta.
WANITA:
E,e,e, apa hubungan operasi plastik dengan onta? Teruskan dulu membaca surat itu. Baca lagi agar tidak salah mengerti.
EMSI:
Baik. Baik. (membaca lagi) Operasi plastik adalah usaha manusia yang sah. Manusia yang selalu berusaha mempercantik dan menyempurnakan dirinya. Wanita-wanita yang melakukan operasi plastik, sama nilainya dengan seorang sufi, seorang alim. Seorang sufi akan selalu mempercantik diri dengan zikir dan doa-doanya kepada Tuhan. Jika seorang sufi lebih cenderung pada hal-hal yang abstrak, gaib, maka wanita yang melakukan operasi plastik cenderung untuk hal-hal yang nyata, karena suaminya adalah realita yang tak mungkin diabstraksikan.
Memang ada juga anggapan sebagian orang, bahwa wanita yang melakukan operasi plastik dianggap budak pisau bedah, hamba sahaya kecantikan, debu-debu realitas, atau, dianggap sebagai wanita yang terganggu keseimbangan jiwanya. Tapi itu kan hanya anggapan. Kenyataannya, boleh kita uji di lapangan penelitian. Jika setiap wanita punya kesempatan dan cukup uang, pertama kali yang dilakukannya adalah mempercantik diri, melakukan operasi plastik. Dunia perempuan penuh dengan keunikan.
Hanya suami-suami yang sudah tidak berselera atau laki-laki yang tidak normal yang melarang istrinya mempercantik diri. Simaklah kembali sejarah nabi kita!
Nabi sangat mencintai Aisyah karena putri Saidina Abu Bakar itu cantik dan selalu tampak cantik. Aisyah pulalah istri nabi yang dibiarkan memakai perhiasan. Apa arti semua ini? Artinya adalah bahwa nabi sangat mencintai istri yang cantik dan boleh berhias untuk kencantikan itu. Ringkasnya, Islam membenarkan operasi plastik dengan segala bentuk perkembangannya. (Berhenti membaca) Saya mengharap agar Bu Bida jangan sampai dipanggil orang Bu Bidaah. Penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran maupun hadist-hadist nabi untuk menghalalkan operasi plastik perlu didiskusikan dulu dengan para ulama. Berijtihad tidak boleh dilakukan secara nekad, atau dengan kebulatan tekad sekalipun.
Sebagai tokoh penting, Abu Tausi Jaiha pernah mengatakan bahwa hanya tiga hal yang dapat dibawa seseorang ke akhirat. Amal saleh, kerja yang bermanfaat dan doa anak yang saleh. Istri cantik tidak pernah disebut-sebut. Bahkan menurut beliau lagi, yang sering membuat seorang suami frustrasi, korupsi, bahkan jadi gila umumnya disebabkan istri cantik. Dengan lantang beliau mengatakan; “Istri cantik, bahkan lebih cantik, tanpa operasi plastik akan disediakan di sorga bagi orang yang beriman!” Ini menurut Abu Tausi Jaiha. Apakah waktu itu Bu Bida belum melakukan operasi plastik?
WANITA:
Teruskan dulu membaca surat itu. Teruskan dulu.
EMSI:
Baik. Baik. (membaca lagi) Demikianlah pokok-pokok pikiran istri saya tentang pembicaraan yang akan disampaikannya. Sebelum surat pengantar ini ditutup, perlu saya ingatkan. Panitia penyelenggara jangan mencoba pula membisikkan kepadanya agar mengakhiri pembicaraannya dengan meminta sedekah, wakaf dan infak kepada pengunjung, walaupun hal seperti itu sudah biasa dilakukan mubaligh-mubaligh pada setiap akhir pidatonya di masjid-masjid. Dalam hal ini istri saya berpendapat lain.
Menurut istri saya, semenjak lama, setiap ada acara hari-hari besar, selalu saja dipungut sedekah, wakaf, infak dari jamaah atau dari semua yang menghadiri acara hari besar itu. Bahkan sudah menjadi kebanggaan pihak penyelenggara apabila mereka dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Selalu saja uang ummat Islam menjadi incaran panitia.
Jika uang itu benar-benar dikumpulkan untuk kesejahteraan umat, sejak dulu, tentu umat Islam kita telah dapat membeli fabrik-fabrik yang besar, yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Pengemis-pengemis yang antri dan bahkan terinjak-injak sewaktu meminta dan menampung zakat fitrah setiap hari raya, tentu tidak akan ada lagi.
Menurut istri saya lagi, uang dari hasil sedekah, wakaf dan infak itu telah disamun oleh penyamun-penyamun terhormat. Oleh karena itu, daripada memperkaya para penyamun, lebih baik ummat Islam tidak melakukan kebiasaan seperti itu lagi. (Berhenti membaca) Bu Bida. Pikiran Bu Bida melarang mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah itu sangat berlawanan dengan apa yang telah dianjurkan Abu Tausi Jaiha.
Maaf Bu Bida. Saya jadi sangsi, apakah surat pengantar ini benar-benar dibuat Abu Tausi Jaiha ataukah karangan orang lain.
WANITA:
Kau harus tahu. Empat orang ahli sudah memperbaiki sebelum kamu membacanya. Teruskan sampai selesai.
EMSI:
Baiklah. Tapi, (Melihat Abu Tausi Jaiha muncul tiba-tiba) Alhamdulillah. Abu Tausi Jaiha. Hadirin dan hadirat. Yang kita tunggu-tunggu kini telah datang. Singa podium telah berada di depan mata.
WANITA:
O, si bapak..E, Pak Abu kan? Yang datang beberapa kali ke rumah meminta sumbangan untuk masjid… masjid apa ya? Apa Pak Abu juga menerima undangan menghadiri acara Ulang Tahun Organisasi Perempuan sekarang ini?
EMSI:
Wah..wah. Jadi bukan suami Bu Bida?
WANITA:
Suami saya? Uh! Apa boleh wanita bersuami dua? Gila kamu! (pada Abu Tausi Jaiha) Pak Abu akan memberikan ceramah agama dalam acara ini atau hanya membaca doa penutup saja?
EMSI:
Bu Bida. Maaf, maaf. Di sini bukan acara Ulang Tahun Organisasi Perempuan.
WANITA:
Ah! Acara apa ini? Hari ini adalah hari Ulang Tahun Organisasi Perempuan se Dunia bukan? Di mana-mana diperingati dengan meriah.
EMSI:
Di sini acara Ceramah Umum Luar Biasa, bu Bida.
WANITA:
Apa sudah mendapat izin? Kenapa saya tidak diberitahu sejak tadi?
EMSI:
Tapi bu Bida mengakui sebagai istri Abu Tausi Jaiha, tentu saya membiarkan untuk mewakili beliau.
WANITA:
Bodohnya! Tadi kau hanya menyebutkan – ibu kan istrinya, – tidak pernah kau katakan apa-apa lagi. Abu Tausi Jaiha kah, Abu Hurairah kah, Abu Jahal kah, Abu Lahab, Abu abuan atau Abu di atas tunggul sekalipun.
Emsi, kau bisa ditangkap kalau suka mempermainkan istri pejabat! Uh! Tampang keren otak senewen! (mengemasi barang-barangnya) Pir! Sopir! Cepat bawa tasku. Aku salah mimbar. (Ke luar dengan tenang).
EMSI:
Maaf Pak Abu. Semuanya kini sudah campur baur. Salah alamat dianggap sudah biasa. Salah langkah juga sudah dibiasakan. Salah kamar selalu disukai. Tapi salah mimbar jika jadi kebiasaan, kita akan susah nanti membedakan mana yang khotbah Jumat dan mana yang pidato penjual obat. Pak Abu. Mimbarnya kini sudah kosong. Dipersilahkan pak.
(bicara sendiri, agak kesal) Kalau penceramah suka terlambat, beginilah akibatnya.
Silahkan Pak Abu. Semoga Tuhan tidak ikut mentertawakan kita.
EMSI masih berdiri di samping mimbar memperhatikan Abu Tausi Jaiha (ATJ) menaiki mimbar dengan agak gemetar. Setelah berdiri di mimbar, beberapa buah buku yang dibawanya dibuka dan diletakkan di depannya. Dia seakan mau mulai berpidato, tapi kali ini terasa asing baginya. Dicobanya memulai pembicaraan, tapi suaranya sulit untuk dapat dikeluarkan.
ATJ:
Yang ter, (suaranya tidak terdengar tapi mulutnya tetap bergerak-gerak) Yang terhormat, (suaranya hilang tapi mulutnya terus komat kamit) Yang terhormat Ba, (suaranya hilang mulutnya terus komat kamit) Yang ter, yang terhor,
EMSI:
Wah! Pengeras suara itu macet lagi. (satu-persatu pengeras suara yang ada di mimbar diperiksa) Tes. Tes. Tes. Teeeeh es! Sss, ssss. The, tessss. Tiga, dua, satu. Dua, tiga satu.
ATJ:
(di antara suara Emsi mencek pengeras suara) Yang ter, yang terhormat, yang ter, ter ter, yang terhormat bapak, ba,
Tidak satupun pengeras suara itu yang rusak. Emsi semakin bingung. ATJ terus berusaha bicara, tapi suaranya semakin sulit dikeluarkan.
EMSI:
Bagaimana pak Abu? Ada apa rupanya? Tidak biasa hal seperti ini terjadi. Biasanya yang bikin kita susah adalah mikrofon, tapi sekarang pembicaranya. Bagaimana ini?
Emsi menunggu beberapa saat, tapi ATJ tidak berhasil mengeluarkan suara. ATJ membaca dan membalik halaman buku. Emsi tidak sabar lagi. Apalagi setelah dia menoleh kepada pengunjung yang mulai gelisah.
Jadinya, selama Emsi bicara, ATJ terus membalik-balik halaman bukunya sambil berusaha untuk dapat berbicara.
EMSI:
Ayo pak Abu. Wah, pak Abu mendapat kesulitan bicara? Apakah pak Abu menerima surat khusus atau surat kilat atau telepon yang melarang pak Abu bicara malam ini? Atau, pak Abu masih terpengaruh kecantikan wanita yang tadi salah mimbar?
Pak Abu, ceramah umum kali ini sangat penting dan luar biasa. Hal ini sesuai dengan keinginan pak Abu sendiri. Sarana sudah disiapkan dan pak Abu tinggal bicara menyampaikan segala sesuatunya.
Bicaralah pak Abu. Percayalah, di atas mimbar pasti ada kebebasan mimbar. Sekarang larangan untuk bicara di atas mimbar sudah tidak ada lagi. Berpikir dan berbicara sudah dibebaskan. Tentang kebebasan lainnya, walau beringsut-ingsut jalannya, pasti akan ke luar juga.
Bicaralah pak Abu. Orang-orang pasti akan mengangguk-anggukkan kepala selama pak Abu bicara. Apakah mereka mengerti atau tidak apa yang pak Abu bicarakan, itu persoalan lain lagi. Mengangguk-angguk saat ini sudah menjadi adat dan tatacara. Apalagi dalam pergaulan tingkat atas.
Bagaimana pak Abu? Benar-benar suara pak Abu tak dapat dikeluarkan? Atau, pak Abu kena pengaruh mantra dukun-dukun dari Bukit Siguntang sampai akhirnya lidah pak Abu jadi kelu? Atau, pak Abu kehilangan suara? Tapi sekarang masa penghitungan suara sudah lama selesai. Memang banyak suara yang hilang. Dan tidak mungkin suara pak Abu sekarang ini masih hilang. Atau, pak Abu sangsi orang lain tidak mau mendengarkan pembicaraan pak Abu lagi?
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Ha, ha, halam, halaman, tiga, tiga be, tiga belas.
EMSI:
Wah, pak Abu jadi terbata-bata. Gagap karena gugup atau gugup karena terkejut? Yah, mungkin karena selama ini tidak boleh bicara dan pada saat diberi kesempatan bicara pak Abu jadi gagap. Memang ada larangan bicara untuk pak Abu tempo hari, tapi hal itu dapat dimaklumi. Waktu itu keadaan begitu bising dan hiruk pikuk. Suara mesin fabrik, suara kelaparan, suara caci-maki, suara tembakan penembak-penembak gelap di siang hari, suara ketakutan, suara ketidakadilan, suara ketidakpastian bercampur baur memekakkan. Tapi sekarang suara-suara itu tidak ada lagi. Bahkan sudah tidak ada suara sama sekali.
Kalau pak Abu tidak bicara untuk memecahkan kesunyian ini, pasti orang lain menganggap kita masih berada dalam hutan larang-melarang. Ayo, pak Abu. Untuk memecahkan kesunyian ini, bicaralah. Bicara apa saja. Pokoknya asal bunyi.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Menu, menu, menu, menurut, buk, buk, bu, ku, buuuuku,
EMSI:
Pak Abu. Saat ini nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya berbicara. Ilmiah atau tidak, masuk akal atau tidak, menurut tatabahasa atau tidak, menurut ejaan yang disempurnakan atau tidak, tidak lagi dipersoalkan. Pokoknya bicara. Bicara itu penting. Didengar orang atau tidak juga tidak dipersoalkan. Bahasa Koran, Bahasa Persatuan atau Bahasa Quran tidak pula mereka dapat membedakannya.
Ayolah pak Abu, bicara. Jika pak Abu diam, diam sama artinya dengan bisu. Bisu artinya sama dengan sakit. Jika ilmuwan diam, pengetahuan demam. Jika ulama diam, agama sakit. Jika masyarakat diam pertanda masyarakat itu sedang sakit.
Tapi ya susah juga. Jika semua orang hanya mau bicara saja dan tidak berusaha membuktikan kebenaran bicaranya, pengertian-pengertian kata bisa kacau. Misalnya, seseorang bicara – kerja – , tapi kalau dia menyebutkan kata itu sewaktu mau tidur, artinya kata – kerja – itu berarti tidur. Dan masyarakat yang maunya hanya bicara saja, namanya masyarakat gila. Gila bicara.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Den, den, deng, dengan, demi, kian, kian..
EMSI:
Jelas sudah kini, bahwa mulut pak Abu terkunci. Mungkin karena banyak bergerak atau terlalu lama diam, atau terlalu banyak digunakan untuk hal-hal lain selain untuk bicara. Jika mulut pak Abu terkunci terus menerus, apa artinya acara ceramah luar biasa ini. Kalau pak Abu tidak mau bicara, orang-orang yang telah menunggu sejak tadi akan bicara sendiri-sendiri. Jika hal itu terjadi, pastilah lebih membisingkan.
Kita sekarang berada dalam keadaan yang serba sulit, pak Abu. Kita diam, orang akan bicara. Membicarakan kenapa kita diam. Jika kita mulai bicara, orang-orang itu terus saja melanjutkan pembicaraan, membicarakan kenapa kita mulai bicara. Mereka akan berdiskusi riuh sekali, mendiskusikan kenapa kita bicara. Bukan isi pembicaraan kita yang mereka diskusikan, tetapi keuntungan apa yang dapat diperoleh dengan menggunakan pembicaraan kita.
Ya, apa boleh buat pak Abu. Semua harus menguntungkan dan semua harus mendapat untung. Pak Abu harus bicara di antara pembicaraan mereka, walau tidak menguntungkan.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Du, dul, dul, dulu, pe, per, pernah, seo, seo, seorang,
EMSI:
Pak Abu sebaiknya jangan seperti dulu lagi, menganggap diri pak Abu tidak penting dan menganggap apa yang pak Abu bicarakan bukan persoalan penting.
Pak Abu, sampai sekarang semua orang sudah bicara. Bahkan orang-orang penting sering membicarakan hal-hal yang tak penting. Dan sebagian lagi hanya bicara sepanjang kepentingan.
Dalam ceramah luar biasa kali ini, apakah pak Abu akan menyampaikan hal-hal penting atau tidak penting, itu tidak penting dipersoalkan, karena semua orang telah bicara, penting tidaknya sebuah pembicaraan. Hal ini dalam tulisan Arab Melayu akan jelas membuktikan bahwa penting, puntung, pentong ataupun pontang-panting tetap dituliskan dengan tulisan yang sama.
Ayo, pak Abu. Cobalah bicara. Coba.
Saat ini zaman bagi setiap orang untuk bicara. Mengeluarkan pendapat tanpa perlu mengeluarkan pendapatan. Menjelaskan pandangan-pandangan, mengumumkan pengumuman, mengumumkan pengumuman yang diumumkan untuk umum, membuat kredo, kiat, catatan pinggir, catatan kaki, editorial, dari hati ke hati, ya, semua dilakukan. Mereka ingin menjelaskan sesuatunya sejelas-jelasnya. Yang jelas, semua penjelasan itu semakin tidak menjelaskan penjelasan mereka.
Pengantar minuman datang. Beberapa minuman kaleng diletakkan di mimbar. Abu Tausi Jaiha mengambil salah satu dan segera meminumnya.
Emsi juga merasa haus. Dia mencegat membawa minuman.
EMSI:
Aku? Ya ini saja, aqua.
(berpacu minum dengan ATJ)
ATJ:
Minuman apa ini! Lidahku digigitnya!
EMSI:
(Terkejut)
Hei, pak Abu! Pak Abu sudah bisa bicara. Bagus sekali. Bagus sekali. Tapi pak Abu, sebelum pak Abu mulai bicara, hendaknya dijelaskan dulu kepada siapa pak Abu bicara. Dan tentu pak Abu telah pula mempertimbangkan segala risikonya. Berapa lama waktu yang akan dipakai untuk pembicaraan, apakah pembicaraan itu tidak bertentangan dengan kebiasaan, sopan santun, hukum, peraturan? Apakah pembicaraan itu akan bersifat menuding, menfitnah, memaki, mencemooh, melakukan kritik langsung atau tidak langsung? Dan yang paling penting, apakah pembicaraan itu terarah dan dapat diarahkan. Kalau tidak demikian pembicaraan bisa rancu dan racun bagi keselamatan kita semua.
Bagaimana pak Abu?
Tidak mau bicara? Tidak mau? Benar-benar tidak mau?
Baiklah kalau pak Abu tidak mau bicara. Tapi kalau pak Abu memang tidak mau bicara, sebaiknya pak Abu menjelaskan dulu kenapa pak Abu tidak mau bicara. Apa sebabnya, latar belakangnya dan kapan pak Abu mulai berhenti berbicara.
Nah, kalau pak Abu benar-benar tidak mau bicara, apakah hal itu pak Abu lakukan karena pak Abu dibayar atau tidak? Kalau dibayar, siapa yang membayar dan berapa bayarannya. Dibayar dengan apa? Uang tunai? Mata uang apa? Atau dibayar dengan cek? Cek undur, cek kosong atau kuitansi kosong?
ATJ:
Kaaaaaaa…baaaaaa…uuuuuu!
EMSI:
Wah, pak Abu tiba-tiba bicara kumuh. Kumuh sekali! Pak Abu memakai kata kabau. Pak Abu. Pak Abu perlu saya ingatkan, kalau pak Abu memaki dengan memakai kata kabau, supaya tidak menyinggung perasaan orang Minangkabau, sebaiknya pak Abu menjelaskan apa arti kata kabau itu. Kerbau maksudnya? Atau kabau itu jengkol hutan yang enak tapi busuk baunya? Sebab antara kerbau dan jengkol hutan bagi orang Minangkabau disebut kabau saja. Nah, jika kabau yang pak Abu maksudkan iu kerbau, pak Abu juga harus menjelaskan kerbaunya. Kerbau siapa? Kerbau itu jantan atau betina? Yang sedang menarik pedati, menghela bajak atau yang sedang santai di kubangan? Atau yang selalu ditarik-tarik ke sana ke mari karena hidungnya dicucuk dan diberi tali plastik?
Juga pak Abu harus menjelaskan lagi, apakah kerbau yang dimaksudkan itu, tahi kerbau, susu kerbau, kedunguan kerbau atau perutnya yang gendut atau apanya?
Pak Abu. Pekerjaan yang paling mudah adalah memaki. Tapi yang paling sulit adalah adalah menjelaskan kata makian yang dipakai. Mungkin untuk menjelaskan kata makian itu saja akan memakan waktu yang cukup panjang dan cukup membuat kita lupa, apakah kita sedang memaki atau menerangkan sebuah kata makian.
Di sini letak kuncinya pak Abu, kenapa orang sekarang tidak suka memaki, di samping risikonya sangat berat, juga sebuah makian dapat membuat orang itu dilenyapkan dari muka bumi.
ATJ:
Ya Allah, di mana aku sekarang?
EMSI:
Di sini! Di sini! Di sini! O, pak Abu. Tanpa dijawab Tuhan, sayapun dapat menjawab secara pasti di mana pak Abu berada sekarang.
Ingat pak Abu. Tuhan tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Tuhan bukan tempat bertanya, bukan petugas informasi atau buku pintar, komputer atau polisi lalu lintas. Tuhan memberi petunjuk, manual, terhadap apa yang diciptakanNya. Mestinya pak Abulah yang akan ditanya Tuhan. “Hei, Abu Tausi Jaiha, kau tahu di mana Aku? Tidak? Aku dekat sekali denganmu. Lebih dekat dari batang lehermu sendiri”.
Para hadirin.
Tuhan lebih suka memberikan semacam teka-teki silang kepada kita dengan hadiah yang menggiurkan, sorga! Jika ingin memperoleh hadiah besar itu, isilah petak putih yang disediakan di kolom jawaban. Tetapi, jika hanya asal jawab saja, apalagi tidak mempedulikan petak-petak putih dan hitam, sangsinya neraka! Neraka, para hadirin dan hadirat sekalian! Ne, ra, ka!
Tiba-tiba listrik mati. Ruangan jadi gelap. Emsi kaget dan kalang kabut. Abu Tausia Jaiha tidak tampak lagi.
EMSI:
E, lampu. Lampu! Wah! Kenapa panitia tidak menyediakan lampu petromak setiap mengadakan acara besar seperti ini! Mana lilin. Lilin? O, jangan lilin. Jangan. Kita tidak mau dikatakan acara hari ini acara peringatan ulang tahun. Senter! Yaya, batrei. Bodohnya! Flash light!
Kini mimbar yang besar itu diterangi cahaya dari sorotan dua lampu batrei. Sedangkan Emsi menerangi dirinya sendiri dengan lampu batrei lain. Emsi bertambah bingung, karena Abu Tausi Jaiha tidak ada lagi di mimbar.
EMSI:
Pak Abu. Pak Abu. Abu Tausi Jaiha. Abu Tausi Jaiha!
Sesuatu yang mengejutkan Emsi terjadi. Didahului suara ledakan kecil dan jerit kesakitan tertahan serta tepuk tangan, dua potong tangan muncul di atas mimbar. Kedua tangan itu melayang-layang dan menggapai-gapai. Emsi ketakutan.
EMSI:
Masya Allah! Apa yang terjadi. Itu! Itu. Tangan siapa yang terlepas dari tempatnya? Mengapa dalam gelap begini berkeluyuran di atas mimbar?
Para hadirin. Siapa yang ketinggalan tangannya, ambillah segera di mimbar ini. Tangan siapa ini? Apa yang dicopet di atas mimbar? Hei tangan! Tangan siapa kau!
TANGAN:
Aku, tangan Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Ha? Tangan Abu Tausi Jaiha? Ya Allah. Kenapa bergentayangan?
TANGAN:
Aku tercabut dari tubuhnya karena banyak sekali melakukan kesalahan.
EMSI:
Kesalahan macam apa?
TANGAN:
Kesalahan dalam penulisan. Sewaktu Abu Tausi Jaiha menyuruh saya menulis, saya sering sekali melompati jarak dan spasi. Abu Tausi Jaiha bermaksud ke kebun tuan, karena saya tidak memberikan jarak yang jelas, menyebabkan Abu Tausi Jaiha sampai ke kebuntuan.
Begitu juga ketika Abu Tausi Jaiha mau berkunjung ke keraton. Karena saya membuat jarak, akhirnya dia tersesat ke pameran seekor kera yang beratnya satu ton.
Dalam penulisan Arab Melayu, saya sering lupa memberi baris. Ya, tentu saja semua pengertian jadi jungkir balik. Abu Tausi Jaiha mengatakan tukang pancing. Tapi setelah dituliskan dan dibaca kembali menjadi tukang pancang. Akibatnya tukang pancing masuk penjara dan dipukuli dengan pancang sampai pencong.
Abu Tausi Jaiha ingin membeli seekor kambing, tapi setelah saya tulis apa yang dibelinya, kambingnya hilang karena telah dibaca jadi kumbang, lalu kumbang terbang menuju kembang. Tentu saja perut si Kambang jadi kembung.
EMSI:
Itu tidak penting, semua kan sudah pontang-panting. Pasti ada kesalahanmu yang paling berat. Kalau tidak, tidak mungkin kau copot dari tubuh Abu Tausi Jaiha.
TANGAN:
Memang. Terutama dalam hal memegang kekuasaan. Sebenarnya Abu Tausi Jaiha sudah ingin melepaskan kekuasaannya. Tapi aku tetap saja mengenggamnya. Akibat saya genggam begitu kuat, Abu Tausi Jaiha jadi semakin liar dan tidak dapat dikendalikan. Abu Tausi Jaiha ternyata kemudian menjadi diktator.
Begitu juga sewaktu Abu Tausi Jaiha ingin menjalin persahabatan. Dia ingin berangkulan dan bersalaman, tapi saya mengepalkan diri menjadi tinju. Ya, persahabatan berubah menjadi perkelahian.
Emsi, aku ingin kembali pada tubuh Abu Tausi Jaiha. Tolonglah. Apa artinya sepasang tangan bila terlepas dari tubuh. Masihkah akan dikatakan tangan juga kalau tidak menempel pada tubuh? Emsi, jika nanti listrik menyala, dan aku belum terpasang lagi pada tubuhnya, bagaimana jadinya ceramah umum ini.
EMSI:
Tanganku sendiri tak dapat kukendalikan, apalagi tangan yang terlepas dari tubuh.
TANGAN:
Jadi, kau tidak mau membantu? O, Emsi. Percayalah. Aku tidak akan memegang kekuasaan itu lagi. Semua kekuasaan Abu Tausi Jaiha akan kulepaskan.
(terkulai dan lemah dipinggir mimbar)
Diiringi dengan suara derap kaki, sepasang kaki muncul di mimbar dan menyepak kiri kanan. Bahkan kaleng minuman yang terletak di mimbar kena sepakan dan jatuh di lantai.
EMSI:
Hei! Kaki siapa yang menerjang-nerjang mimbar ini?
KAKI:
Kaki Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Kau juga akan minta tolong ditempelkan lagi pada tubuh Abu Tausi Jaiha?
KAKI:
Ya. Jika nanti listrik menyala dan aku masih bergentayangan di sini, tentu akan ditangkap untuk dibuat sup. Sup kaki.
EMSI:
Kalau mau minta tolong kenapa harus menyepak-nyepak di mimbar ini. Sopanlah sedikit.
KAKI:
Maaf Emsi. Tabiatku memang agak buruk. Itu sebabnya aku terlepas dari tubuh Abu Tausi Jaiha. Kalau dia berada di depan, didahulukan selangkah, aku senang sekali menyepak dari belakang.
EMSI:
Buruk sekali. Apa saja yang kau sepak, yang kau injak, sehingga Abu Tausi Jaiha mencabut kau dari tubuhnya?
KAKI:
Yang sering kuinjak-injak adalah,
EMSI:
Katakan saja terus terang. Apa yang sering kau injak?
KAKI:
Kebenaran.
EMSI:
Hanya itu?
KAKI:
Kesucian.
EMSI:
Lainnya?
KAKI:
Kejujuran. Kesetiaan. Kebebasan. Ya, banyak sekali. Akibatnya sangat buruk. Pendirian Abu Tausi Jaiha jadi goyah.
EMSI:
Hei kaki. Sulit sekali saya dapat menolongmu.
KAKI:
Emsi, ingat. Aku memang buruk. Jika Abu Tausi Jaiha harus berdiri lagi di mimbar ini setelah lampu menyala kembali, dia memakai kaki apa? Meminjam kaki orang lain untuk dapat berdiri? Pasti Abu Tausi Jaiha akan dituduh tidak mampu berdiri di kaki sendiri.
Apalagi kalau orang Minang yang meminjamkan kakinya. Mereka berdagang di kaki lima.
EMSI:
Memang sulit juga. Apalagi kalau Abu Tausi Jaiha memakai kaki langit. Kalau dia hanya satu kaki, betapa pendeknya dia jadinya, tidak sampai satu meter. Tapi, hei kaki. Aku sulit juga memberikan kaki padanya.
KAKI:
Kalau tidak mau menolongko, terserah. Tampaknya aku harus menunggunya di mimbar ini.
(kedua kaki menunggu di samping mimbar)
Lalu, muncul sepasang telinga.
TELINGA:
Aku telinga Abu Tausi Jaiha, percayalah. Aku terlalu banyak mendengar kecurigaan.
EMSI:
Selain kecurigaan, apa lagi yang kau dengar?
TELINGA:
Ya, suara suara.
EMSI:
Suara apa?
TELINGA:
Ada yang lucu. Sekali waktu Abu Tausi Jaiha ingin mendengar suaranya sendiri. Tapi aku tidak mendengarkan apa-apa. Setelah diusut ternyata suara Abu Tausi Jaiha hilang. Memang waktu itu orang sedang musimnya kehilangan suara. Abu Tausi Jaiha marah padaku. Suaraku hilang, katanya. Jawabku membela diri – ya mungkin salah hitung.
EMSI:
Selain mendengar suara Abu Tausi Jaiha sendiri, suara apa lagi yang sering kau dengar?
TELINGA:
O, banyak sekali. Suara kemiskinan, suara kepalsuan, suara-suara sinis, sumbang, kritik. Yang mengasyikkan mendengar suara desah nafas para pejabat mengejar kupu-kupu malam. Suara erang terakhir laki-laki yang mati terbunuh. Pekikan perempuan yang haknya dirampas. Keluhan anak-anak yatim yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Suara-suara itu seperti irama musik rock! Menggetarkan, menggairahkan, panas tanpa dicampuri kelembutan.
EMSI:
Tidak pernahkah kau mendengar riak air dipermukaan danau? Suara burung berkicau menyambut matahari pagi, suara kokok ayam jantan menyongsong fajar? Lagu kanak-kanak yang rindu kasih sayang?
TELINGA:
Pernah. Pernah memang. Tapi kapan ya? Aku lupa.
EMSI:
Suara azan? Suara orang membaca Quran?
TELINGA:
Pernah juga.
Mata muncul. Telinga menggantung di pinggir mimbar.
MATA:
Emsi. Aku tidak melihat cahaya. Apa di sini sedang terjadi pembicaraan gelap?
EMSI:
Siapa yang bergentayangan seperti bola kasti ini? Apa ini? Granat?
MATA:
Aku mata. Mata Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Kenapa kau keluyuruan di luar tubuh Abu Tausi Jaiha? Banyak kesalahanmu, pasti!
MATA:
Abu Tausi Jaiha mengajarkan bahwa manusia itu sama dalam pandangan Tuhan. Tapi menurutku, manusia tidak sama dan sangat berbeda-beda kedudukannya. Ya, mungkin karena aku diberi kaca, berbagai rupa warna dan ukuran yang berbeda-beda menyebabkan pandangan Abu Tausi Jaiha selalu berubah-ubah.
Sewaktu kacamata politik dipasangkan padaku, kulihat semua ulama seperti hantu. Begitu juga sewaktu kacamata agama dipasangkan, kulihat semua tokoh politik itu munafik semua. Anehnya, sewaktu dipasangkan kacamata seni, tokoh politik, ulama atau siapa saja, kulihat sebagai sosok dari kegelisahan manusia. Kadang-kadang pandanganku dikaburkan dengan puji-pujian kosong dan aku sendiri menerima pujian itu dengan bangga.
Tapi sewaktu semua kacamata dilepaskan dariku, aku tiba-tiba menjadi silau. Aku melihat lingkaran-lingkaran hitam yang semakin menghitamkan pandanganku. Abu Tausi Jaiha marah padaku. Dikatakannya aku silau oleh Nur Tuhan.
EMSI:
Mungkin karena kau tidak mampu melihat Nur Tuhan lalu Abu Tausi Jaiha melemparkanmu dari kepalanya.
MATA:
Begitulah. Nur Tuhan memancar menyinari Abu Tausi Jaiha, tapi aku memejamkan mata. Tentu saja Abu Tausi Jaiha waktu itu mengatakan Tuhan tidak ada. Emsi, kuakui, kesalahanku pada Abu Tausi Jaiha banyak sekali. Emsi, tolonglah aku. Kebetulan lampu listrik mati, inilah kesempatan untuk memasukkan aku kembali ke kepala Abu Tausi Jaiha.
(mata menangis)
EMSI:
E, mata jangan menangis. Aku takut nanti yang kau keluarkan air mata buaya. Pergilah.
MATA:
O, Emsi. Haruskah aku menjadi mata-mata? Atau menjadi mata pisau. Emsi, tolonglah aku.
Sepasang mata itu kini tergantung di pinggir mimbar.
Tiba-tiba lampu kembali menyala.
Abu Tausi Jaiha tampak berdiri di mimbar sebagaimana sebelum lampu mati. Tapi pada wajahnya tampak perobahan besar terjadi. Keringat mengalir di dahinya dan letih sekali. Sewaktu Emsi memandangnya, dia berusaha tersenyum.
Emsi terkejut dan sekaligus gembira. Dilihatnya Abu Tausi Jaiha sudah berdiri di mimbar. Dia tersenyum puas.
EMSI:
Alhamdulillah. Lampu menyala dan kita kembali mendapat cahaya.
Para hadirin. Dikehendaki atau tidak, ternyata setiap orang akan berada dalam keadaan bersih diri. Apalagi sebelum memulai ceramah umum ini, sebagaimana yang baru saja dialami Abu Tausi Jaiha. Bersih diri mungkin sangat menyakitkan, tapi bisa jadi setelah itu akan menenteramkan. Bagaimana pak Abu? Apa memang begitu?
ATJ:
(mengangguk membenarkan)
Alhamdulillah.
EMSI:
Para hadirin. Abu Tausi Jaiha dipersilahkan melanjutkan ceramahnya. Silahkan pak Abu.
ATJ:
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati,
(tertegun memandang dua lelaki tiba-tiba datang)
hasanah, waqina, azab, azab, azab, azab..
EMSI:
(Melihat dua lelaki asing itu)
Masya Allah. Persoalan apa lagi?
Siapa kalian? Apakah kalian utusan Bu Bida untuk menangkapku? CIA? FBI? BIN? Atau anggota CPM? Polisi? Hansip? Satpam?
E, bung! Acara ceramah umum seperti ini tidak perlu dimata-matai. Semua pihak sudah mengizinkan acara ini dilaksanakan.
Atau kalian wartawan? Kalau wartawan, ya harus tahu aturan jugalah. Wawancara sebaiknya setelah acara selesai.
Pak Abu. Ayo, pak Abu. Silahkan terus.
LELAKI I:
Abu Tausi Jaiha baru saja membersihkan diri, tapi dia belum bersih lingkungan. Dia tidak layak memberikan ceramah apapun.
EMSI:
Bersih lingkungan? Soal apa yang menyebabkan lingkungannya tidak bersih?
LELAKI I:
Dia punya maksud-maksud tertentu. Dia berusaha mempengaruhi semua orang dengan melakukan bersih diri di tempat terbuka. Dia ingin tetap dianggap sebagai Singa Podium yang bersih padahal nama Abu Tausi Jaiha disebut-sebut dalam peristiwa pembunuhan massal 20 tahun yang lalu.
EMSI:
Tunggu. Abu Tausi Jaiha sudah dinyatakan tidak bersalah, bukan? Dia tidak terlibat.
LELAKI I:
Siapa mengatakan dia tidak terlibat? Pengadilan? Mass media? Masyarakat awam yang fanatik? Semua itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Abu Tausi Jaiha sendiri. Dia tahu peristiwa itu, dia terlibat, tapi berusaha meyakinkan semua pihak bahwa dia tidak terlibat.
EMSI:
Punya bukti-bukti?
LELAKI I:
Lebih dari bukti!
LELAKI II:
Emsi. Keterlibatan Abu Tausi Jaiha dalam pembunuhan massal itu merupakan usaha pihak-pihak tertentu. Mereka memakai nama Abu Tausi Jaiha supaya lebih aman dan supaya sulit dicari jejaknya. Abu Tausi Jaiha tidak bersalah. Aku dapat membuktikan kepada siapapun.
EMSI:
Juga punya bukti?
LELAKI II:
Lebih dari bukti!
EMSI:
Wah bagaimana pak Abu? Bagaimana ini?
Abu Tausi Jaiha berusaha bicara tapi mulutnya terkunci.
LELAKI II:
Abu Tausi Jaiha tidak akan dapat bicara sebelum kami pergi. Jangan tanya dia.
EMSI:
Ada bukti Abu Tausi Jaiha terlibat. Juga ada bukti Abu Tausi Jaiha tidak terlibat. Tunggu. Anda berdua siapa? Darimana? Dari pengadilan internasional?
LELAKI I,II:
Lebih dari itu.
EMSI:
Begini bung. Soal pro dan kontra terhadap Abu Tausi Jaiha perlu data tertulis.
LELAKI I, II:
Baik.
Kedua lelaki secara serentak meletakkan masing-masing sebuah buku yang sangat tebal di atas mimbar di depan Abu Tausi Jaiha. Kedua buku itu masing-masing berkulit merah dan berkulit putih. Setelah kedua buku itu diletakkan, tiba-tiba listrik mati lagi. Kedua lelaki menghilang dalam gelap. Abu Tausi Jaiha pun hilang.
Emsi kalang kabut
EMSI:
E, lampu. Lampu! Lampu! Ceramah kita belum dimulai! Lampu! Uh, kalau ada kepala PLN di sini, bisa dipecat kalian. E, lampu.
Lampu kembali menyala. Emsi semakin bingung karena Abu Tausi Jaiha dan kedua lelaki itu tidak ada lagi. Dia segera naik ke mimbar.
EMSI:
Pak Abu! Pak Abu! Abu Tausi Jaiha! Ah, pasti kedua lelaki itu menculiknya. Keterlaluan! Orang yang sedang ceramah di atas mimbar juga bisa diculik! E,e,e, wartawan mana. Wartawan! Jangan tulis. Jangan tulis tentang penculikan di mimbar ini.
Para hadirin.
Ini benar-benar sebuah kejutan. Ini baru dapat membuat kita terkejut. Ya, boleh juga tidak terkejut sama sekali, karena sudah diatur sebelumnya.
Agar tidak menimbulkan kegelisahan lagi, terutama misteri tentang kedua buku ini, baiklah saya bacakan saja mukadimahnya.
(Meneliti halaman pertama kedua buku tebal itu)
Mukadimahnya sama.
(membaca)
Buku ini adalah catatan tentang Abu Tausi Jaiha yang terlengkap, terperinci dan teruji kebenarannya serta terpelihara baik. Buku berkulit merah berisi catatan tentang segala kesalahan Abu Tausi Jaiha, sedangkan yang berkulit putih tentang kebenaran dan kejujurannya.
Buku kembar ini disusun tidak untuk diterbitkan dalam bentuk apapun, atau diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, tidak untuk pihak kepolisian, kejaksanaa, biro bantuan hukum, hakim apalagi wartawan. Juga tidak untuk kalangan terbatas atau kalangan khusus atau kalangan lainnya, selain untuk Abu Tausi Jaiha.
Buku yang berkulit merah disusun oleh Kitab. Buku berkulit putih disusun oleh Katib.
(berhenti membaca)
Ya Allah. Ini nama samaran malaikan yang bertugas di kiri kanan Abu Tausi Jaiha! Kenapa diserahkan sekarang? Menurut penuturan, buku-buku seperti ini harus diserahkan nanti di Padang Mahsyar. Apa mungkin malaikat bisa lupa? Tidak mungkin dia lupa! Tidak mungkin.
(membalik-balik halaman kedua buku)
Para hadirin.
Buku merah ini menjelaskan segala kesalahan dan dosa-dosa Abu Tausi Jaiha, sedang buku yang putih menguraikan pula segala kebaikan dan pahala-pahala Abu Tausi Jaiha. Kedua buku ini tampaknya mempunyai kebenaran sendiri-sendiri dan kita tidak mungkin begitu saja menghakimi.
Yang jelas, kedua buku ini membuktikan bahwa Abu Tausi Jaiha telah membuka diri seluas-luasnya untuk diperhatikan dan dipelajari. Abu Tausi Jaiha tampaknya mau jujur pada dirinya. Apakah dia bisa jujur, itu persoalan lain lagi.
Tapi para hadirin, bisakah kita jujur pada diri sendiri? Hal inilah yang paling sulit. Agaknya itulah sebab kenapa kedua lelaki itu sengaja datang memberikan kedua bukunya pada Abu Tausi Jaiha.
Para hadirin.
Sebenarnya Abu Tausi Jaiha sama saja halnya dengan sebuah gading. Jika tidak retak atau retak semua, pasti gadingnya palsu. Karena kata pepatah orang tua-tua kita – tak ada gading yang tak retak -.
Jika tidak berdosa sama sekali, malaikat namanya.
Berdosa berkepanjangan, namanya setan.
Tapi yang tak terhindar dari dosa, namun terus berusaha agar tidak berdosa, dialah Abu Tausi Jaiha. Dia sendiri mencatat dosa-dosanya. Dia sendiri memahami jasa-jasanya. Dia sendiri penuntut, pembela, hakim bagi dirinya. Dia sendiri yang akan menanggung segala keputusan yang dibuatnya.
Para hadirin,
(Tertegun melihat ke suatu tempat).
Ya Allah, itu dia! Itu! Itu! Abu Tausi Jaiha! Abu! Tausi! Jaiha!
Podium kita di sini. Di sini. Di sana mimbar yang lain!
Uh, penceramah pun juga bisa salah mimbar!
(Pergi mengejar Abu Tausi Jaiha ke luar)
- tammat -
Padang, Oktober 1988/1995
WISRAN HADI
Drama
PEREMPUAN SALAH LANGKAH
Oleh:
WISRAN HADI
BAGIAN PERTAMA
Di tengah pentas ada sebuah meja dikelilingi beberapa buah korsi. Di atas meja, bertaburan majalah, surat kabar, buku-buku, remote control untuk pintu otomatik dan sebuah tape recorder. Sebuah korsi roda berdiri agak jauh dari korsi meja itu. Pada lengan korsi roda tergantung beberapa buah kantong plastik berisi pakaian kotor.
ILAU duduk pada salah satu korsi. Dia menyanyikan sebuah lagu diiringi gitar yang dipetiknya sendiri;
SABDA ALAM
(Ismail Marzuki)
Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Tapi ada kala pria tak berdaya
Bertekuk lutut disudut kerling wanita
Dalam keasyikan itu, sebuah keris bercahaya meluncur pada sehelai benang hitam yang sudah direntangkan sebelumnya, mulai dari bagian kiri atas belakang pentas dan berakhir pada bagian kanan depan pentas. Karena benang hitam tidak begitu jelas tampak oleh penonton, keris itu seperti meluncur di udara.
ILAU merasakan sesuatu melintas di atas kepalanya. Dia berhenti menyanyi dan mendongakkan kepala, tetapi tidak melihat apa-apa karena keris itu telah lebih dulu menghilang. Dia menolah ke kiri dan ke kanan, tak nampak suatu apapun, lalu dia kembali menyanyi.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel. ILAU berhenti menyanyi dan bergegas ke samping pentas, seakan melihat ke jendela. Dia terkejut dan meletakkan gitar di atas meja begitu saja. Dia segera duduk di atas korsi roda dengan sikap yang berbeda sama sekali dari sebelumnya.
Diambilnya remote control dan mengacungkannya ke arah dari mana SINAN akan masuk. Terdengar suara pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU meletakkan remote control dan mengambil sebuah buku. Dialihkannya arah korsi roda pada sisi pentas yang lain, membelakang ke arah SINAN yang akan datang. Dia pura-pura membaca membelakangi pintu.
SINAN masuk. Beberapa saat berdiri memandang seluruh ruangan. Diletakkannya tas tangannya di atas meja dan berjalan beberapa langkah mengelilingi meja.
SINAN:
(Gembira sekali) Ilau, ini aku. Sinan.
ILAU memutar korsi roda memandang SINAN dengan tajam. Ditutupnya bukunya dan dilemparkan ke atas meja. Tampaknya dia marah sekali, tapi kemarahan itu ditahannya. Namun dari nada bicaranya yang begitu sinis terasa sekali dia sedang meredam kemarahan itu sedalam-dalamnya.
ILAU:
O, Sinan..! Tokoh pejuang kesetaraan, he, he. Selamat malam istriku. Sudah selesaikah perjuangan Sinan membela hak-hak perempuan dunia? Sudah samakah hak dan derajat mereka dengan laki-laki?
SINAN:
Janganlah selalu sinis. Bukan aku saja yang dapat tersinggung mendengar ucapan begitu, bahkan semua perempuan.
ILAU:
Tidak, aku tidak sinis. Hanya heran. Sinan kan sudah bertekad tidak mau hidup berdampingan dengan seorang laki-laki yang sehari-hari hanya duduk di atas korsi roda. Setiap orang harus mandiri. Laki-laki dan perempuan harus setara. Yang satu tidak boleh memperbudak yang lain. Begitu kata Sinan bukan? Tapi kenapa tiba-tiba Sinan muncul malam ini?
SINAN:
Kuharap kita tidak mengulang lagi persoalan yang sudah kadaluwarsa.
ILAU:
Baiklah. Lalu, apa perlunya Sinan ke sini lagi? Apa karena kelumpuhanku atau karena ketidakberdayaanku berdiri sama tinggi dengan orang lain, lalu aku dipaksa harus melepaskan hak dan wewenangku sebagai seorang suami? Kemudian, aku tutup mata dan membiarkan Sinan berbuat sesuka hati? Tidak. Tidak akan! Kalau Sinan berjuang untuk mempertahankan prinsip-prinsip hidup, kesetaraan, jender, akupun akan tetap mempertahankan hak-hakku. Aku ini, Ilau!, juga punya tanggungjawab tersendiri atas hak-hakku.
Ayo, buatkan aku kopi panas. Lebih sepuluh tahun aku tidak minum kopi yang diaduk oleh istriku sendiri. Apa? Tidak mau? Baik. Ini, (melemparkan satu persatu pakaian kotor yang tergantung di lengan korsi rodanya), celana, kaos kaki, singlet dan celana dalamku, cuci!
SINAN:
Lebih sepuluh tahun aku tidak pernah lagi mau diperbudak laki-laki. Maaf.
ILAU:
Artinya Sinan masih menganggapku sebagai laki-laki yang tidak perlu dilayani walau suami sendiri. Baiklah. Lalu, buat apa Sinan datang?
SINAN:
Menjemput barang milikku, warisanku.
ILAU:
Apalagi hak milik Sinan yang masih tertinggal di sini? He..he.., cinta agaknya?
SINAN:
Hhh… Ilau kira aku ini generasi Siti Nurbaya? Generasi yang melacurkan diri untuk dapat membayar hutang ayahnya? Generasi Saman atau Supernova? Generasi rabun senja yang tak jelas lagi membedakan yang mana pornografi dan yang mana sastra? Uh! Ilau, Ilau..! Generasi rabun senja yang Ilau maksudkan itu tidak layak untuk pencerahan.
ILAU:
Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Cinta tidak, seks pun tidak, ya jadi malaikatlah kita..
SINAN:
Jangan bercanda! Aku ke sini bukan untuk melawak. Aku punya urusan penting!
ILAU:
Urusan apa?
SINAN:
Aku harus mengambil keris pusaka warisan nenek moyangku.
ILAU:
Keris? Keris pusaka? Sejak bila Sinan punya keris? Di mana keris itu Sinan simpan selama ini? Pisau dapur saja Sinan buang karena tidak mau memasak. Pisau cukurpun Sina buang karena laki-laki tidak boleh klimis seperti perempuan. Apalagi keris? Sinan kan tahu, hanya laki-laki yang punya keris walaupun hanya untuk hiasan pinggang dalam upacara-upacara adat. Keris? He..he.. , banyolan Sinan sudah sangat tinggi, sulit bagiku memahami.
SINAN:
Sudah. Sudah. Semua ingin Ilau komentari. Semua ingin Ilau campuri. Biarkan aku dengan warisanku, dengan keris pusakaku! Apa kerisku akan dijadikan hiasan pinggang, hiasan dada atau pinggul, untuk menakut-nakuti orang, untuk komoditi eksport, Ilau peduli apa.
ILAU:
Katanya Sinan sudah jadi manusia modern? Manusia abad ini. Abad yang ditandai dengan kebebasan, kesetaraan dan kegemerlapan. Ditandai dengan kesamaan hak dan derajat antara laki-laki dan perempuan. Abad yang ditandai oleh perempuan yang telah mengelirukan hukum-hukum agama. Menjadi khatib jumat dan imam dari laki-laki dan perempuan yang sembahyang bersama-sama, he..he..
Sedangkan keris, rumah tua, sawah ladang atau tanah pusaka hanyalah artefak-artefak dari masa lalu. Jejak-jejak kehidupan manusia tradisional, kolot dan sudah dipetieskan jadi sejarah dan diawetkan dalam musium. Begitu kata Sinan bukan? Buat apa lagi semua yang sudah bulukan itu bagi Sinan?
SINAN:
Untuk bukti diri!
ILAU:
He, he.. bukti diri? Apakah diri Sinan sendiri tidak dapat dijadikan bukti bahwa Sinan hadir dalam kehidupan ini sebagai diri Sinan sendiri? Kenapa keris yang harus dijadikan sebagai bukti diri? Sinan kira keris itu semacam kartu penduduk, surat nikah atau surat izin mengemudi?
SINAN:
Dengan adanya keris pusaka itu aku akan dapat buktikan bahwa aku bukan perempuan sembarangan, tetapi pelanjut yang sah dari kepemimpinan negeri ini. Pemimpin dari generasi yang akan bangkit merebut hak-haknya kembali.
ILAU:
O, jadi masih dalam rangka perjuangan jender?
SINAN:
Sekali lagi kuminta, jangan ulang cemooh-cemooh Ilau itu. Aku hafal betul cara Ilau mencemooh dan tahu apa akhir dari semua cemooh itu. Apakah aku akan memperjuangkan kesetaraan atau tidak, tidak seorangpun yang dapat melarang.
ILAU:
Termasuk juga suami.
SINAN:
Termasuk juga suami! Kepandaian Ilau kan hanya melarang, melarang, melarang! Tidak pernah mampu mencarikan sesuatu yang tidak terlarang. Itu sebabnya Ilau kutinggalkan, tahu!
ILAU:
Lalu sekarang Sinan kembali ke sini karena perjuangan kesetaraan itu telah gagal?
SINAN:
Ilau! Jangan sinis kataku!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Sekarang aku tidak segan atau takut lagi bertindak kasar pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak boleh sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak akan kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. (Pergi ke kamar)
ILAU:
Hmm.. dari selembut-lembutnya berubah menjadi singa betina yang menakutkan. Inikah makna dari kesetaraan yang mereka perjuangkan?
(Berteriak ke arah Sinan ke luar) Apa lagi yang Sinan cari di kamar itu, ha! Tidak satupun benda tajam di sana selain kerisku yang tumpul. Buat apa aku menyimpan sesuatu yang tidak dapat memberikan kecerdasan! He…keris yang Sinan cari itu hanya artefak, masa lalu, nostalgia, mimpi-mimpi buruk!
Keris, hehe. Sebilah besi karatan yang tidak relevan lagi digunakan untuk menaklukkan lawan. Hmm! Apa hubungannya sebuah keris dengan perjuangan jender? Apakah semua laki-laki akan ditikam untuk dapat merebut kesetaraan? Dari mana dia tahu bahwa ada keris di rumah ini? Keris biasanya dipajang di musium. Apa dikiranya aku telah merubah rumah ini jadi musium? Musium dengan rumah tinggal jauh berbeda, sayang. He..he.
Memang susah kalau kesetaraan tidak punya rujukan.
SINAN:
(Datang dari arah kamar membawa sebilah keris yang tadi diluncurkan)
Ini baru keris! Ini keris baru! Tidak. Tidak baru. Lama sudah. Beratus tahun. Tak dapat dipungkiri lagi. Keris inilah yang selalu menjelma dalam mimpi-mimpiku. Nah sekarang berada di tanganku. Wujud sudah! Konkrit! Keris inilah akan dapat melegitimasi keberadaan diriku.
Menurut sejarahnya keris ini kembar! Satunya lagi tersimpan di tempat asal. Keris pusaka ini adalah tanda kebesaran dari seorang raja perempuan. Bila aku kini menggenggamnya berarti aku menggenggam kebesaran nenek moyangku.
Yesss!! Bila aku berhasil mendapatkan keris yang satu lagi dan mempersandingkannya dalam sebuah upacara adat raja-raja, maka apa yang diperjuangkan kaum perempuan selama ini akan berhasil. Generasi ketujuh yang disebut-sebut selama ini akan benar-benar wujud menjadi generasi yang eksis, sah, tidak hanya isyu. Generasi ketujuh harus mulai bergerak memimpin perjuangan hak-hak perempuan sedunia!
(Mengacungkan keris ke udara dan berteriak dengan lantang)
Hidup perempuan! Hidup kesetaraan! Buka kutang tinggalkan perbudakan!
ILAU:
He..he, seperti kampanye partai saja. Ya,ya, sekali-sekali tak apalah. O, jadi Sinan menjumpai keris itu di deretan buku-bukuku? Bagaimana mungkin terjadi?
SINAN:
Ilau sudah ketinggalan zaman. Ilau membaca buku hanya sampai pada pengertian teksnya saja. Tulisan apapun dalam buku-buku hanyalah teks, hanya teks! Ketajaman teks tergantung kepada pembaca untuk mengasahnya. Dari balik teks itulah muncul berbagai ketajaman, berbagai bentuk keris, berbagai bentuk senjata. He..he, aku memang tak banyak membaca buku, tetapi aku selalu mempertajam bacaanku dan sekaligus berusaha mewujudkan. Ini buktinya, (mencabut keris dan menghunusnya) ya kan. He..he… sebaiknya Ilau kuliah lagi. Esduakah, estiga atau kedua-duannya sekali, escampur, he..he..
ILAU:
Jadi, di samping membaca buku-buku politik, diam-diam Sinan belajar filologi, tapi sayangnya filologi yang Sinan baca itupun sudah bulukan. Ya, sudahlah. Itu kan hanya persoalan anak-anak sekolah.
He,he, jadi Sinan telah menemukan sesuatu yang tajam dari balik teks yang tumpul. Sinan telah temukan sebuah ketajaman. Ketajaman yang kemudian wujud dalam bentuk sebuah benda tajam. Baiklah. Baiklah. Aku malas bertengkar malam ini, walaupun semua yang Sinan katakan tidak masuk akal. Tapi daripada ketenteramanku terancam, lebih baik aku ikuti saja pikiran Sinan. Ya.Ya. Tadi ada Sinan sebut generasi ketujuh. Nah, apa pula itu? Baru kali ini kudengar. Generasi macam apa pula itu.
SINAN:
Generasi yang akan membangkitkan kembali kejayaan kaum perempuan. Ilau tahu, generasi yang lalu adalah generasi laki-laki dan mereka telah meninggalkan warisan berupa segala bentuk diskriminasi. Tugas generasi ketujuh adalah menghancurkan segala bentuk diskriminasi di dunia ini!
ILAU:
Wah, hebat sekali. Jadi, apa hubungan keris yang Sinan temukan itu dengan bangkitnya sebuah generasi?
SINAN:
Keris pusaka ini merupakan tanda bahwa pemegangnya adalah pemimpin yang sah negeri ini.
ILAU:
He..he..semakin menarik juga pembicaraan kita. Lalu, siapakah pemimpin itu? Sinan kan?
SINAN:
Ya. Siapa lagi.
ILAU:
Sinan, he..he.. Kalau mau bermimpi tidurlah dulu ke kamar sana. Tak mungkin orang bermimpi sambil berdiri, bukan? Sinan, kurang uang lama orang baru tahu. Tapi kurang akal cepat sekali orang tahu. Istriku, kau sudah makan obat belum?
SINAN:
(Marah sekali) Apa-apaan ini! Aku bicara masalah eksistensi perempuan, keberadaan kaumku, aku, generasi ke tujuh di mana aku bertanggung jawab penuh atasnya. Ini bukan persoalan kurang uang atau kurang akal! Ingat! Sejak Ilau kutinggalkan, tidak ada lagi obat yang harus kumakan. Semua obat telah kubuang. Aku kini sehat! Masalahku sekarang bukan masalah obat. Uh, pikiran Ilau kampungan sekali!
ILAU:
Baiklah. Baiklah. Kuikuti terus pikiran Sinan. Lalu, kenapa keris karatan itu dikatakan sebagai tanda lahirnya sebuah generasi? Samakah fungsinya dengan sebuah prasasti?
SINAN:
Aku tak perlu jawab pertanyaan bodoh itu. Sekarang yang jadi persoalanku adalah, bagaimana aku dapat menemukan keris yang satu lagi dan mempersandingkannya, agar tiba masanya untuk sebuah kebangkitan.
ILAU:
Seandainya tidak berhasil?
SINAN:
Pasti berhasil. Untuk itu aku harus berjuang. Itulah yang disebut perjuangan.
ILAU:
O, jadi dapatlah dikatakan bahwa Sinan sekarang pejuang. Seorang srikandi. Ya kan? Baiklah. Tapi dapatkah dikatakan pula, bahwa Sinan kini sedang berada pada perjuangan tahap kedua? Berjuang untuk mendapatkan keris pasangan dari keris pusaka Sinan itu? Memperjuangkan agar kedua keris itu dapat dipersandingkan?
SINAN:
Begitulah. Ya.Ya. Aku senang dengan kalimat Ilau itu. Bernas sekali. Sudah lama aku tidak mendengar kalimat-kalimat yang jatmika. Terus. Terus.
ILAU:
Keris Sinan belum punya pasangan, lalu dicarikan pasangannya. Seperti cerita mencari jodoh saja tampaknya, he..he.. Kalau kedua keris itu nanti tidak mau dipersandingkan, tentu Sinan akan paksa keduanya bersanding demi untuk bangkitnya sebuah generasi. Ya kan? Jangan-jangan nanti akan terjadi kawin paksa pula antara keris-keris itu.
SINAN:
(Naik pitam) Diam! Otak Ilau isinya hanya cemooh, cemooh, cemooh! Tidak pernah mau menghargai perjuangan perempuan!
ILAU:
Jangan marah dulu. Mari kita coba berpikir agak jernih. Sinan mau kan?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Kalau Sinan bicara tentang generasi ketujuh, kedelapan, kesembilan atau generasi entah keberapa, Sinan harus melihatnya dari urutan yang ada dalam sebuah silsilah. Bukan pada adanya keris atau tidak.
SINAN:
Tapi keris ini dapat dijadikan bukti.
ILAU:
Bukti apa?
SINAN:
Bahwa aku keturunan yang sah dari pemilik keris ini. Pemilik keris ini adalah seorang raja perempuan. Jadi, akulah kini yang menggantikan raja perempuan itu.
ILAU:
Raja Perempuan? Nah, bila Sinan bicara tentang raja-raja, itu artinya Sinan sudah beralih pada persoalan yang lain. Tapi baiklah. Jadi, Sinanlah kini yang menggantikan raja perempuan itu?
SINAN:
Ya. Uh, berapa kali harus kuulang. Iya. Iya dong!
ILAU:
Yakin?
SINAN:
Keris itu mulanya hanya ada dalam mimpi. Kemudian wujud menjadi sebuah kenyataan. Karenanya tidak ada alasan bagiku untuk tidak yakin. Ya kan.
ILAU:
Apa hubungan raja perempuan itu dengan Sinan? Benar-benarkah dia nenek moyang Sinan? Bagaimana Sinan membuktikannya tanpa ada silsilah?
SINAN:
Silsilah? (Berpikir beberapa saat, kemudian naik pitam) Jahanam! Ilau ganggu lagi pikiranku! Itu saja kerja Ilau sejak dulu! Ilau gugat ide-ideku, Ilau batalkan semua apa yang kurencanakan dengan alasan logika, logika, logika! Uh.. muak aku! Kini Ilau batalkan pula apa yang telah menjadi ketetapan dalam pikiranku. Aku ke sini untuk mengambil keris pusaka nenek moyangku! Keris untuk dapat meyakinkanku sebagai pemimpin yang sah negeri ini. Lalu, semua itu Ilau sangsikan, Ilau ragukan. Ilau katakan aku harus menyusuri keturunanku melalui sebuah silsilah!
Memang sebaiknya aku jauh dari Ilau! Ilau tak berhak menjajahku dengan pikiran-pikiran Ilau demikian. Aku bicara soal hubungan batin, keyakinan, bukti diri, identitas, Ilau membenturkannya dengan logika. Sudahlah! Jangan paksa aku terus menerus mengikuti apa yang Ilau inginkan.
ILAU:
Dulu Sinan meninggalkanku dengan alasan aku tidak memberikan kebebasan dan peluang untuk kesetaraan. Sekarang aku dianggap pula menjajah pikiran-pikiran Sinan, merusak masalah-masalah kebatinan dan keyakinan Sinan dengan membenturkannya dengan logika.
Jadi, artinya Sinan sudah cukup alasan pula untuk meninggalkanku sekali lagi bukan?
SINAN:
Ya. Aku harus pergi.
ILAU:
Karena ingin mempertahankan keris atau karena mau menjadi perempuan bebas?
SINAN:
Jahanam! Jangan gugat apa yang bagiku telah menjadi tekad! (Pergi)
ILAU:
Tekad dan nekat adalah dua kata yang sama bunyinya untuk akhir kalimat dalam sebuah syair lagu, ya kan? (Melihat keris masih ada di atas meja)
E, srikandi! Keris pusaka tertinggal di atas meja! Benda tak bernyawa seperti ini tidak dapat terbang mengikuti ke mana kau pergi? Ambillah cepat. Tanpa keris nanti perjuanganmu tidak tajam lagi! He..he.. jangan soklah. Keris itu bukan keris keramat. Keris itu hanya tampaknya saja yang keramat karena dapat terbang di udara. Padahal diluncurkan dari atas sana dengan benang hitam! Masa aku dapat ditipu.
(SINAN datang lagi dan cepat mengambil kerisnya).
SINAN:
Cemooh! Cemooh! Busuk hati! Laki-laki macam apa ini! (Ke luar)
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU berdiri mengambil gitar dan memainkan sebuah lagu;
AYAM DEN LAPEH
(Oleh: NN)
Luruihlah jalan Payokumbuah
Babelok jalan kayu jati
Dimalah hati indak ka rusuah
Ayam den lapeh, ai..ai
Ayam den lapeh
Mandaki jalan Pandai Sikek
Basimpang jalan ka biaro
Dimalah hati indak ka maupek
Awak takciuah, ai..ai
Ayam den lapeh
Sikua capang sikua capeh
Saikua tabang saikua lapeh
Tabanglah juo nan ka rimbo
Oi, lah malang juo
Pagaruyuang Batu Sangka
Tampek bajalan urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta
Oi takana juo, ai..ai
Ayam den lapeh
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KEDUA
Tiba-tiba terdengar bunyi bel. ILAU dengan cepat berlari ke jendela melihat siapa yang datang. Dia terkejut sesaat dan kembali menyanyi seperti tidak terjadi apa-apa.
Bel berbunyi lagi.
ILAU menghentikan nyanyiannya dan meletakkan gitar di atas meja. Dia segera duduk di korsi roda dengan merobah sikapnya seperti mula-mula SINAN datang. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Dia mengambil sebuah buku sambil memutar arah korsi rodanya membelakang pintu. Dia pura-pura membaca.
Sinan masuk membawa banyak sekali gulungan kertas dan meletakkannya di atas meja.
SINAN:
Hmmm… akhirnya selesai juga! (Memandang ke arah korsi roda)
Aku telah kumpulkan silsilah dari semua keturunan raja-raja nusantara. Ini. Segulung silsilah keturunan raja-raja dari kerajaan Hulu dan ini, segulung silsilah dari kerajaan Hilir. Ini lagi, segulung silsilah keturunan raja-raja…. (membuka gulungan itu dan membacanya) Kerajaan Minangkabau lama. Sedangkan gulungan-gulungan silsilah yang banyak ini adalah silsilah dari raja-raja Siwijaya, Swarnabhumi, Majapahit, Darmasyraya beserta ranting-ranting keturunan dari raja-raja itu. Uh.. banyaknya.
Semuanya kupelajari. Mencari kaitan dan hubungan antara satu keturunan dengan keturunan lainnya, seakan aku mencari sambungan dari dahan-dahan yang patah, mencari ujung dari ranting-ranting yang mati dari sebuah pohon yang begitu rimbun. Yaya. Aku telah menyusun silsilah, namun sesungguhnya aku belajar sejarah. Silsilah dan sejarah adalah dua hal yang satu sama lain erat kaitannya.
(Memandang ke arah korsi roda ILAU)
Ilau dengar tidak apa yang kukatakan? Ilau pura-pura asyik membaca, padahal sebenarnya karena tidak berani menatapku. Ilau malu karena aku telah mulai membongkar borok laki-laki, itu saja soalnya.
Ayo. Putar korsi roda itu. Menghadaplah ke sini. Hadapilah masa depan, he..he.. Sebaiknya kita bicara berhadapan, walaupun kita tidak berada dalam kesepahaman. Ayolah.
(ILAU memutar korsi rodanya menghadap ke arah SINAN)
Memang meletihkan menyusun nama-nama dari orang yang tidak kita kenal, nama-nama yang entah bila mereka hidup. Ya, begitulah. Aku telah berjuang untuk menjelaskan diriku berasal dari keturunan mana, memastikan siapa sesungguhnya nenek moyangku. Hi..hi…hi, ironinya, untuk sebuah kepastian aku harus bekerja dari sesuatu yang tidak pasti.
ILAU:
Kalimat yang bagus. Untuk sebuah kepastian Sinan telah bekerja dari sesuatu yang tidak pasti. Tanpa sengaja Sinan telah memasuki daerah filsafat ketika dihadang berbagai kesangsian. Bagus sekali. Pada hakekatnya yang kita perjuangkan adalah sesuatu yang tidak pasti, walau tampaknya pasti. Perjuangan Sinan saat ini sama artinya dengan berjuang untuk mewujudkan, mengkongkritkan warna-warna apa yang sesungguhnya hanyalah sebuah fatamorgana.
SINAN:
Maaf, hari ini aku tidak ingin mendengar kuliah, he..he. Ilau tahu apa tentang filsafat! Ilau hanya tahu gitar, lagu, batu domino dalam kemasan dari kepura-puraan. Aku cukup jenuh dengan metafor-metafor, perlambang, tanda-tanda dan entah apa lagi. Aku kini terdesak oleh silsilah yang sudah kususun. Aku harus jujur pada diriku. Aku harus jujur.
ILAU:
Ya, kita harus jujur walaupun kita tak pernah jujur. Begitu kata Sinan dulu bukan?
SINAN:
Ya. Bagaimanapun aku telah berhasil menyusun silsilah kaumku dan telah diakui.
ILAU:
Ha? Sudah siap dan diakui pula? Hebat sekali. Siapa yang mengakui? Apakah ada undang-undang untuk pengesahan sebuah silsilah?
SINAN:
Aku tak percaya undang-undang. Aku percaya pada apa yang kupercayai.
ILAU:
Apa yang Sinan percayai?
SINAN:
Bahwa silsilahku dapat dipercaya.
ILAU:
He..he.. retorika yang bagus. Baiklah. Lalu, apa lagi masalahnya yang menyebabkan Sinan datang padaku?
SINAN:
Aku terbentur pada tiga nama. Aku ingin kepastian dari ketiga nama itu siapa sesungguhnya nama nenek moyangku.
ILAU:
He..he.. Aneh juga ya. Sinan katakan tadi, Sinan yakin pada silsilah ini. Kini Sinan katakan pula Sinan terbentur pada tiga nama. Itu sama halnya dengan tidak yakin, bukan?
SINAN:
Aku ingin minta pendapat Ilau.
ILAU:
Ehm.. jadi aku masih diperlukan juga rupanya.
SINAN:
Mau atau tidak? (Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan melakukan kekerasan saat ini pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Paham!
ILAU:
Paham, paham. O, jadi kedatangan Sinan sekarang minta tolong? Nah, kan jelas. Orang hanyut saja ditolong apalagi yang sedang dihanyutkan, ya kan?
SINAN:
Sudahlah kataku. Sakit telingaku dengan cemooh begitu. Ya, ya! Sekarang aku minta tolong.
ILAU:
Dalam hal tolong menolong seperti ini tidak ada persoalan jender lagi kan?
SINAN:
Sudahlah! Sudahlah! Apa aku harus berteriak-teriak lagi dan bertelanjang bulat berlari sepanjang pantai seperti dulu?
ILAU:
He..he.. telanjangpun Sinan sekarang tidak akan ada lagi yang mau melihat. Sudah lebih sepuluh tahun Sinan menelanjangi diri sendiri, ya kan? Ayolah kita beralih pada hal-hal yang lebih penting. Mana silsilah yang Sinan buat itu?
SINAN:
Ini.
(Sinan membentangkan sebuah gulungan kertas yang besar dan panjang di atas meja. Karena panjangnya, korsi-korsi terpaksa disusun agar kertas itu sama permukaannya dengan permukaan meja. Setelah semua dikembangkan, ternyata silsilah itu sepanjang pentas. Sambil bekerja memajang kertas silsilah yang begitu panjang dia terus bicara)
Ini sebuah kerja monumental. Takkan ada orang yang mampu menyusun silsilah selengkap ini. Memang harus kuakui, ada nama-nama yang kurang jelas dapat dibaca tapi itu tidak berarti silsilah ini ditulis ragu-ragu.
ILAU:
Luar biasa! Luar biasa! Bagus sekali silsilah ini. Warnanya, kertasnya, tulisannya. Jelas dan memang tidak ada yang perlu diragukan apalagi tulisannya jelas dapat dibaca.
SINAN:
Cemooh lagi. Ilau, sudahlah. Sekali-sekali, berhentilah mencemooh.
ILAU:
He..he.. aku hanya bicara apa yang tampak. Orang-orang yang berada di balik nama-nama itu bagaimana aku dapat mengenalnya. Berjumpa saja tidak, selain salah seorang keturunannya, Sinan sendiri. Jumpa Sinanpun hanya dalam beberapa tahun. Lalu Sinan pergi, pergi, pergi… berjuang, berjuang, berjuang.
SINAN:
Semua yang kita lalui itu sudah jadi sejarah. Sudahlah. Yang terbentang dihadapan kita sekarang yang lebih penting dari sejarah kita.
ILAU:
Suka hatilah, Sinan mau bicara apa. Aku sudah letih bertengkar terus menerus.
SINAN:
Makanya! Makanya kita bicara soal-soal yang berada di luar diri kita. Coba perhatikan. (Keduanya memperhatikan silsilah) Bagian yang ini. Nama raja yang satu ini banyak sekali. Dalam silsilah yang ini namanya Mencabik Baju Didada, sedangkan dalam silsilah yang itu namanya Menyuruk Dilalang Salai. Sedangkan dalam silsilah yang itu, bukan yang itu, namanya Dibibir Bertanam Tebu. Apakah ketiga-tiga nama ini orangnya berbeda-beda atau hanya satu.
ILAU:
(Setelah memperhatikan satu-persatu) Jadi mau Sinan bagaimana? Sinan mau agar dipastikan bahwa orangnya satu? Atau memang tiga?
SINAN:
Nama nenek moyangku itu mungkin ketiga-ketiganya. Tapi lebih kuat keyakinanku nenek moyangku adalah Mencabik Baju Didada. Karena dia adalah raja perempuan dan yang mula-mula pula menyadari bahwa dia mencabik baju, artinya dia sudah berpakaian. Sedangkan dua lainnya masih dengan nama tumbuh-tumbuhan. Artinya masih sangat primitif.
ILAU:
Ya, kalau Sinan mau begitu, tidak jadi masalah.
SINAN:
Jadi, Ilau setuju nama nenek moyangku Mencabik Baju Didada?
ILAU:
Tunggu dulu. Kita lihat secara keseluruhan. Kita mulai dari atas. Ini. Sultan Iskandar Zulkarnain. Sultan ini mempunyai anak tiga orang. Sultan Maharaja Alif, Sultan Maharaja Depang dan Sultan Maharaja Diraja. Sultan Maharaja Diraja inilah yang menjadi cakal bakal raja-raja nusantara. Sampai di sini, silsilah ini betul. Terus, terus, terus.. ya betul. Tapi mulai dari sini patut diragukan.
SINAN:
Mulai dari mana?
ILAU:
Mulai dari generasi Mencabik Baju Didada, sampai kepada Yang Menyuruk Dilalang Salai dan terus kepada Yang Bertanam Tebu Dibibir. Masing-masing punya keturunan yang namanya perlu diteliti kembali. Keturunan yang ini, coba baca nama-namanya…
SINAN:
Barandam Tapi Selo, Tangah Duo Kupang, Antene Rabah.
ILAU:
Baca nama-nama pada urutan selanjutnya. Ada namanya … apa ini?
SINAN:
Baliang-baliang Ateh Bukik, Rumah Gadang Katirisan, Sadanciang Bak Basi, Damuik Gadang Kawuik.
ILAU:
Kemudian yang ini…?
SINAN:
Ini nama-nama permaisuri. Jamua Takaka Hari Ujan, Pulang Pai Babasah-basah, Masak Pagi Matah Patang, Talantuang Labiah Bak Kanai, Nan Galak Tiok Salah, Barandam Aie Sabun.
ILAU:
Kalau tidak salah, nama-nama seperti itu hanya ada dalam bahasa Minangkabau. Yang ini lagi.
SINAN:
Nama-nama Tuanku. Hape Basalang, Monicenjer, Vewe Kombi, Kirara Baso.
ILAU:
Nama-nama yang membingungkan. Ada nama.. apa ini…
SINAN:
Raja Muda Dot Kom. Yang ini Dot Koid, Dot Mai, Dot Oerge.
ILAU:
Kukira nama-nama itu nama laman web. Laman tanpa air yang bisa dilayari kapan saja. Apa Sinan tidak keliru menyusunnya?
SINAN:
Tidak. Aku tidak pernah keliru.
ILAU:
Yang paling rumit lagi adalah ini. Mencabik Baju Didada punya keturunan hanya enam generasi. Sedangkan Menyuruk Dilalang Salai punya keturunan sebelas generasi. Sedangkan yang ini, Mangguntiang Dalam Lipatan tidak jelas sudah berapa generasi baginda menurunkan keturunannya.
SINAN:
Tapi aku keturunan dari Uie-Uie Mintak Gatah. Salah seorang dari enambelas orang anak-anak Mencabik Baju Didada. Uie-Uie Mintak Gatah menggantikan ibunya yang meninggalkan karena masuk angin. Dari Uie-Uie Mintak gatah itulah lahir nenekku.
ILAU:
Ya, tapi Uie-Uie Mintak Gatah hanya punya turunan enam generasi. Sedangkan Sinan mengatakan, Sinan adalah pewaris pada generasi ketujuh?
SINAN:
Kalau begitu, sebaiknya aku generasi keberapa?
ILAU:
Coba hitung urutannya. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Ya kan, nama Sinan berada pada generasi keenam.
SINAN:
Keenam? Ah, bagaimana mungkin. Aku semestinya berada pada generasi ketujuh.
ILAU:
Istilah generasi ketujuh ini Sinan dapat dari mana?
SINAN:
Mimpi. Keris itu akan muncul kekeramatannya bila berada di tangan generasi ketujuh.
ILAU:
Kalau Sinan adalah pewaris generasi keenam, tentulah generasi ketujuh jatuh pada anak yang Sinan lahirkan. Sedangkan kita belum punya anak.
SINAN:
Jadi aku harus punya anak? Tidak. (Tertegun, dia memegang perutnya beberapa saat, kemudian berteriak marah sekali) Tidak ada urusan anak di sini. Aku generasi ketujuh! Anak tidak termasuk dalam pembicaraan ini! (Berteriak-teriak) Ilau jangan bicara menyimpang! Anak..huh! Anak apa? Anak lidah! Anak tangga! Anak bola!
ILAU:
Kambuh lagi! E, Sinan! Ada apa lagi ha? Berteriak-teriak tidak karuan. Kalau tidak mau punya anak, tidak jadi masalah. Itu berarti apa yang Sinan perjuangkan selama ini gagal di tengah jalan. Perjuangan Sinan tidak berkelanjutan, tidak berkesinambungan.
SINAN:
(Semakin naik pitam) Aku tidak percaya! Benar-benar tidak percaya! Ilau licik. Ilau giring aku harus punya anak! Apa maksud Ilau? Agar aku harus mengandung dan yang menjadi bapak anakku adalah Ilau? Tidak.Tidak. Status kita memang suami istri. Itu status bukan hakekat.
ILAU:
Mungkin sudah waktunya aku pingsan.
SINAN:
Kenapa harus pingsan? Ilau yang selalu menyanyikan lagu dengan syair-syair demikian, bukan. Lagu-lagu Ilau itulah yang mengajarkanku untuk hidup dan berpikir bebas.
ILAU:
Aku kini semakin tak mengerti jalan pikiran Sinan Apa sesungguhnya yang Sinan harap dari silsilah seperti ini?
SINAN:
Berkali-kali kukatakan. Untuk melegitimasi keberadaanku sebagai pemimpin, tokoh pejuang kesetaraan, pimpinan generasi ketujuh. Tokoh yang bukan turunan sembarangan.
ILAU:
Dan keris yang dulu?
SINAN:
Juga untuk itu.
ILAU:
Silsilah ini sebaiknya disusun kembali secara benar. Silsilah adalah sebuah rajah pertalian darah dari suatu kaum. Karenanya nama-nama yang ada di dalamnya tidak mungkin bercampur-baur dengan pemeo atau pepatah petitih. Apalagi mencampurkannya dengan nama kode ekstensi laman-laman web.
SINAN:
O, Jadi Ilau menganggap semua yang kukerjakan ini main-main! Ini pasti intrik! Intrik Ilau sangat berbahaya. Bagaimanapun, aku tidak akan mempan dengan intrik-intrik demikian. Aku akan buktikan kepada Ilau, bahwa silsilah yang telah kususun ini adalah betul.
ILAU:
Bagaimana Sinan membuktikan betul tidaknya? Sejak mula Sinan sendiri sudah menyangsikan.
SINAN:
Masih banyak cara bagiku untuk meyakinkan diri kita. Sudah. Aku pergi. Aku tahu ujung dari perdebatan ini.
ILAU:
Apa ujungnya?
SINAN:
Ilau pasti akan menyatakan kesedian menyusun silsilah ini kembali dengan syarat aku harus selalu berada di dekat Ilau sampai selesai. Itu berarti aku harus berada di samping Ilau, mematuhi kembali perintah-perintah Ilau, mengikuti sistem perbudakan yang Ilau lakukan dengan dalih cinta, rindu, kebenaran, kesetiaan dan entah apa lagi.
Bukan aku perempuan yang dapat dibuat begitu lagi! No way!
(Ke luar)
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU meninggalkan korsi rodanya dan mengambil gitar. Dia menyanyikan sebuah lagu dengan khusyuk sekali.
TUHAN
(Bimbo)
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku memuja
Dengan segala doa
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku berteduh
Dengan segala keluh
Reff. Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engaku dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dan dosa berpadu
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku memuja
Dengan segala doa
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KETIGA
Tiba-tiba terdengar bunyi bel.
ILAU dengan cepat berlari ke jendela melihat siapa yang datang dan menghentikan nyanyiannya. Gitar diletakkan kembali di atas meja. Dia segera duduk di korsi roda dengan merobah sikapnya seperti pada waktu mula-mula SINAN datang. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Kemudian dia pura-pura sulit sekali dapat menjangkau gulungan silsilah yang terbentang sepenuh lantai. Kertas-kertas itu digulungnya dengan hati-hati. Sekali-sekali dia melirik ke arah pintu masuk.
SINAN masuk membawa sebuah bungkusan kain hitam dan meletakkannya di atas meja.
SINAN:
Luar biasa! Pak Buyung itu benar-benar seorang paranormal yang handal dan dapat dipercaya. Dia dapat melihat sesuatu yang kita tidak tampak. Dilihatnya mataku. Dari mataku itu dia dapat menceritakan tentang diriku. Mulai dari nenek moyang, keturunan kaumku sampai kepada nasibku, akan jadi apa aku pada masa yang akan datang. Dia telah memastikan, bahwa nama nenek moyangku sesungguhnya adalah Uie-Uie Mintak Gatah seperti yang kuyakini sebelumnya. Aku adalah generasi ketujuh, bukan keenam seperti yang Ilau katakan! (Menoleh dengan sinis ke arah korsi roda)
Kadang-kadang aku malu sendiri. (Tertawa sendiri) Pak Buyung dapat mengetahui pakaian dalam yang kupakai! Warna, ukuran dan bahkan parfume yang kusemprotkan pada tubuhku yang paling rahasia sekalipun. Sewaktu aku katakan bahwa apa yang dikatakannya itu adalah benar, dia hanya senyum-senyum saja. Tersenyum seperti saat melihat bunga-bunga mekar di dalam taman. Malu aku karena hari itu aku memakai celana dalam merah yang sudah tanggal jahitannya!
Tapi aku benar-benar puas dapat dipertemukan dengan Pak Buyung. Walaupun aku telah menghabiskan waktu cukup lama menunggu panggilannya, tapi berkat kesabaran dan ketabahanku apa yang kunantikan akhirnya membuahkan hasil juga.
ILAU:
Apa hasilnya?
SINAN:
Kepastian dari sesuatu yang masih kuragukan. Dan ini yang paling penting. Menurut Pak Buyung, apa yang telah kuyakini tentang keris dan silsilah, keyakinanku itu dapat ditambahkan lagi untuk membuat aku semakin lebih yakin. Untuk pengukuhan keyakinan itu, Pak Buyung memberiku sebuah benda keramat.
ILAU:
Benda keramat seperti apa?
SINAN:
Lihat saja nanti. Pak Buyung memberikannya padaku dengan beberapa syarat. Sejak benda ini berada dalam tanganku, aku seperti disiram sebuah tekad yang kuat untuk mengatakan apa yang kuyakini itu adalah sebuah kebenaran.
ILAU:
Wah.. ini sudah jauh menyimpang.
SINAN:
Apa? Menyimpang? Apanya yang menyimpang? Justru Ilau yang selalu menyimpang-nyimpangkan apa yang kuinginkan. Apa salahnya kalau aku berusaha meyakinkan diriku dengan cara yang kutempuh sendiri?
ILAU:
Masalahnya sekarang, bukan salah atau benar. Ingat istriku. Keyakinan harus tumbuh dari dalam diri kita sendiri dan tidak mungkin dapat dibantu dengan benda sekeramat apapun! Penyimpangannya adalah, Sinan minta pertolongan pada benda-benda keramat. Padahal benda-benda itu tidak ada apa-apanya.
SINAN:
E, Ilau pernah belajar psikologi tidak? Ha? Jiwa kita ini memerlukan sugesti! Sugesti datang dari luar diri kita. Apa yang diberikan Pak Buyung, terlepas dari seperti apa benda yang diberikannya, yang jelas benda itu dapat memberikan sugesti. Jadi, kesimpulanku, kekeramatan suatu benda tergantung pada seberapa besar sugesti yang diberikannya kepada seseorang.
ILAU:
Wah. Sinan kini sudah memakai logika mistik. Betul-betul berhasil Pak Buyung menyeret Sinan masuk ke dalam dunianya.
SINAN:
Jangan sinis kataku! Jangan selalu sinis!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Paham!
ILAU:
Paham. Paham. Kalau keyakinan Sinan sudah dibantu menjadi semakin yakin oleh benda-benda yang diberikan Pak Buyung, buat apa lagi Sinan datang padaku? Terlalu banyak aku bicara, dianggap pula aku mau menggerogoti keyakinan Sinan. Aku tidak mungkin mempertengkarkan sesuatu yang telah Sinan yakini.
SINAN:
Aku datang, seperti kukatakan sebelumnya, untuk menjelaskan keyakinanku. Ilau takkan dapat lagi menggoyahkannya. Takkan dapat! Agar Ilau tahu, aku kini berjuang tidak hanya sampai pada persamaan dan kesetaraan saja, tetapi berjuang untuk sebuah keyakinan yang akan dapat kuyakinkan pada orang lain.
ILAU:
Artinya, Sinan akan menghancurkan keyakinan orang lain pula, bukan? Nah, apa bedanya denganku? Tapi baiklah. Benda apa yang diberikan Pak Buyung yang telah dapat membuat Sinan yakin pada keyakinan Sinan?
SINAN:
Ini. Lihat.
(Membuka bungkusan. Setelah kain hitam pembungkus dibuka, ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan kain merah. Kain merah pembungkus dibuka pula, dan ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan hijau. Kain hijau pembungkus dibuka dan ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan kain kuning.
Beberapa saat SINAN diam dan tertegun. Tangannya gemetar.
ILAU:
Terus. Kenapa berhenti?
SINAN:
Berat.
ILAU:
Perlu dibantu?
SINAN:
Saat seperti ini aku tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki.
ILAU:
Walau dengan suami sendiri?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Terserah Sinanlah. Masa bungkusan sebesar itu berat? Sugesti atau sedang akting?
SINAN:
Jangan marah kalau aku tidak mau disentuh. Ini masalah rohani, bukan masalah badani. Ya, ampun beratnya.
(Membuka pembungkus kain kuning itu)
Lihat ini! Lihat!
(Ternyata yang dibungkus kain kuning adalah sebuah patung kayu primitif, yang mempunyai rambut yang tebal dan panjang, serta kuku-kuku yang panjang. Layaknya jasad manusia yang mengecil.
ILAU terkejut melihatnya.
SINAN meletakkan patung itu di atas meja. Pada waktu meletakkan patung itu, SINAN mengikat leher patung pada sehelai benang hitam yang telah digantungkan sebelumnya. Bila nanti benang ditarik, patung itu akan terangkat ke atas dan terus ke langit, hilang)
ILAU:
Apa itu? Mummi?
SINAN:
(Sinan bicara sambil mengikat leher patung itu dengan benang hitam yang telah digantungkan sebelumnya) Ya, mummi. Jasad Uie-Uie Mintak Gatah. Karena kekeramatannya, jasadnya tidak hancur walau telah dikuburkan beratus tahun. Hanya tubuhnya mengecil sedangkan kuku dan rambutnya terus tumbuh. (Sinan selesai mengikat leher patung itu)
Huh! Bukan main beratnya perjuangan mendapatkan jasad ini. Pak Buyung mengakui, dua kompi tentara yang tak tampak dengan mata biasa, bermata merah dengan baju besi, pedang, perisai dan tombak berusaha mempertahankan jasad itu untuk tetap di dalam kuburnya. Mereka adalah pengawal-pengawal setia Uie-Uie Mintak Gatah. Tapi karena aku adalah keturunannya yang sah, serdadu-serdadu perkasa itu terpaksa menyerahkannya kepadaku. Pak Buyung kagum sekali kepadaku, karena telah berhasil mendapatkan sebuah mummi yang selama ini dicari-cari untuk diperjualbelikan. Bagaimana? Ilau masih tidak percaya bahwa aku ini perempuan yang bukan sembarang keturunan?
ILAU:
Tunggu dulu Sinan. Aku seperti mendengar cerita film The Last Emperor saja. Punya pasukan berbaju besi, pedang dan tombak, bermata merah. Maaf, apa Sinan terpengaruh dengan film itu barangkali?
SINAN:
Jangan sinis kataku! Jangan selalu sinis!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Paham!
ILAU:
Paham. Paham. Lalu apa yang dikatakan Pak Buyung pada Sinan?
SINAN:
Pak Buyung tidak berkata apa-apa. Tetapi jasad nenekmoyangku bicara melalui jasadku.
ILAU:
Seperti kesurupan?
SINAN:
Diam kataku! Diam. Kalau Ilau tak paham dunia mistik jangan bicara. Persoalan ini jauh di luar jangkauan logika.
ILAU:
Jadi Sinan benar-benar percaya bahwa mummi itu adalah jasad nenek moyang Sinan sendiri?
SINAN:
Tidak ada alasan untuk meragukannya karena semuanya wujud dihadapanku.
ILAU:
Misalkan mummi itu benar-benar jasad nenek moyang Sinan, lalu apa manfaat yang Sinan dapatkan daripadanya? Adakah mummi itu akan menambah kekuatan dan kegigihan Sinan untuk terus memperjuangkan ha-hak perempuan?
SINAN:
Itu tak penting. Yang jelas kini aku sudah punya bukti-bukti yang meyakinkan untuk memimpin generasi ketujuh.
ILAU:
O, jadi hanya sebagai bukti saja bukan? Syukurlah.
SINAN:
Kenapa?
ILAU:
Aku sangsi kalau-kalau Sinan yakin bahwa mummi itulah yang dapat memberikan kekuatan dan keselamatan lahir batin.
SINAN:
Kalau benar begitu, bagaimana?
ILAU:
Apakah dengan memiliki mummi itu Sinan merasa yakin dapat menjadi pemimpin?
SINAN:
Yakin. Memang begitu menurut Pak Buyung.
ILAU:
Jadi, karena mummi itulah Sinan dapat menjadi pemimpin, begitu bukan?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Artinya Sinan telah menjadikan mummi itu sebagai Tuhan.
SINAN:
Cukup! Jangan seret lagi aku pada pikiranmu!
ILAU:
Aku harus mengingatkan Sinan supaya tidak jadi syirik! Menduakan keesaan Tuhan!
SINAN:
Setelah aku dinobatkan sebagai pemimpin generasi ketujuh, semua persoalan lainnya akan segera kuselesaikan.
ILAU:
Siapa yang akan menobatkan Sinan? Di mana? Bila?
SINAN:
O, jadi Ilau tak setuju aku menjadi pemimpin. Tidak ada larangan perempuan jadi pemimpin apapun, tahu! Sekarang, perempuanpun sudah menjadi khatib pada hari Jumat, menjadi imam dari laki-laki dan perempuan!
ILAU:
Wah, ini sudah keterlaluan. Aku harus melakukan sesuatu.
SINAN:
Apa yang akan Ilau lakukan? Akan menggagalkan upacara penobatanku?
ILAU:
Penobatan seperti itu tidak akan ada. Percayalah. Sinan sudah berada di pinggir jurang. Kembalilah ke pangkuan kebenaran.
SINAN:
Cukup kataku! Cukup! Apakah aku harus lari bertelanjang bulat sepanjang pantai dan berteriak-teriak mengatakan bahwa Ilau telah memperkosa istri sendiri. Memperkosa hak-haknya, kemerdekaan berpikirnya! Diam Ilau! Diam! Aku kini betul-betul sangat marah. Nenek moyangku! Nenek moyangku! Perlihatkanlah kekuasanmu kepada orang-orang yang selalu menyangsikanmu!
ILAU:
Tak perlu Sinan berteriak-teriak memanggil nenek moyang yang sudah mati. Dia tidak akan dapat datang dan tidak mungkin lagi dapat bicara.
SINAN:
(Sebuah ledakan kecil terdengar) Sesaat lagi! Sesaat lagi nenek moyangku datang!
(Setelah ledakan kecil, pelan-pelan patung terangkat karena benang hitam pengikatnya ditarik ke atas. Bersamaan dengan itu, nada suara, cara bicara dan tingkah laku Sinan berubah. Kain hitam, kain merah, kain kuning, kain hijau pembungkus dilambai-lambaikannya selama bicara, dan selama itu pula patung itu perlahan naik ke langit)
Akulah Uie-Uie Mintak Gatah yang terpaksa menghindar dari adikku karena dia inginkan menjadi raja.
Sinan! Kau harus bangkit! Rebut mahkota yang kini berada di kepala orang yang tidak mau berpikir. Pada akhir bulan yang tidak penuh, kau akan dinobatkan sebagai pengganti.
Siapa saja yang tidak percaya akan hal ini, pasti akan menyesal.
Akan tiba masanya kebangkitan itu, Sinan! Tidak seorangpun yang akan dapat menghalang apa yang akan terjadi. Matahari kan terbit, kejayaan akan memancar seperti pancaran warna pelangi. Cucuku, Sinan. Cucuku, Sinan.
(Badannya terhuyung dan kemudian terkapar di lantai dan patung itu hilang diiringi suara gelak ketawa genit perempuan)
ILAU:
Wah, bagaimana ini. (Dia lupa bahwa lumpuh dan berlari mendekati Sinan) Sinan. Sinan. Kejadian apa ini? (Sadar kembali bahwa dia lumpuh dan segera berlari ke korsi rodanya) Sinan. Sinan. Wah, ini sudah keterlaluan. Kejadian ini telah membuat aku lupa pada kelumpuhanku. Wah, malu aku. Maaf.
SINAN:
(Kembali seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa?)
Sempat juga aku tertidur. Mungkin karena terlalu letih barangkali. Aku seperti pernah datang ke rumah ini.
ILAU:
Ya. Ini rumah kita.
SINAN:
Tidak. Ini bukan rumahku.
ILAU:
Lalu, rumah Sinan di mana?
SINAN:
Di atas sana. Di sana nanti aku dinobatkan.
ILAU:
Sinan akan dinobatkan? Sebagai apa?
SINAN:
Sebagai raja yang akan melanjutkan perjuangan perempuan.
ILAU:
Bila Sinan akan dinobatkan?
SINAN:
Ketika bulan tak sempurna penuh.
ILAU:
Tepatnya tanggal berapa?
SINAN:
Tigapuluh februari.
ILAU:
Tigapuluh februari? Gila! Ampun aku. Ampun. Semuanya sudah kacau balau. Penanggalanpun dikacaunya.
SINAN:
(Sadar akan mumminya, dia segera berlari ke dekat meja)
Jasad nenek moyangku hilang! Ke mana perginya? Ilau! Ilau! Pasti Ilau telah menyembunyikan nenek moyangku saat aku tadi tertidur! Kembalikan nenek moyangku!
ILAU:
Aku lihat tadi mummi itu terangkat naik dan terus hilang di atas sana.
SINAN:
Tidak mungkin. Pasti telah disembunyikan. Aku akan bongkar rumah ini sampai menemukan nenek moyangku kembali.
ILAU:
Dia telah diangkat lambat-lambat ke atas sana dengan seutas benang hitam.
SINAN:
Bohong! Jangan main-main dengan nenek moyangku!
ILAU:
Aku tidak bohong. Sedangkan keris yang dulu, yang Sinan katakan dapat terbang karena kekeramatannya, ternyata diluncurkan dengan benang hitam dari sudut atas belakang sana. Mana ada keris, patung rusak yang dapat terbang pada zaman sekarang. Berpikir yang logislah. Kalau begini caranya, aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak, bisa rusak semua.
SINAN:
Aku akan mencarinya sampai dapat. Tanpa jasad nenek moyangku, penobatanku sebagai pemimpin generasi ketujuh tidak akan ada artinya. Ilau! Ilau harus pertanggungjawabkan semua kelicikanmu itu! (Ke luar)
Sinan menarik nafas.
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU:
Aku harus menolongnya sebelum dia tenggelam lebih dalam.
ILAU segera berdiri menghidupkan tape recorder yang sejak tadi membisu di atas meja. Sebuah lagu terdengar begitu keras. Dia menyeret korsi rodanya ke luar dengan cepat.
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KEEMPAT
ILAU masuk mendorong korsi rodanya, sementara nyanyian dari tape recorder masih terus mengalun. Di atas korsi roda itu tampak seorang orang palsu duduk membaca. Ilau membuat orang palsu itu dari bantal-bantal kecil dengan segala perlengkapannya yang telah dipersiapkannya di luar pentas. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Korsi roda diletakkan pada posisi awal sewaktu SINAN masuk. Dia segera ke luar.
Beberapa saat kemudian masuk SINAN berpakaian lengkap untuk sebuah penobatan raja-raja; mahkota, jubah dan keris digenggaman. Dia marah sekali.
SINAN:
Jahanam! Akhirnya berhasil juga Ilau melepaskan dendam! Ah, biar kumatikan dulu tape recorder itu, agar suaraku jelas didengarnya. (Mematikan tape recorder, kemudian meneruskan marahnya) Kau gagalkan semua! Semua! Semua rencanaku telah gagal! Pelantikan batal! Tak seorangpun tamu yang datang! Makanan berlimpah-ruah tapi sudah busuk semua! Hujan datang mendadak diiringi petir dan angin kencang! Gempa dahsyat dan banjir laut! Tsunami! Untung aku tidak mati! Kemegahan yang kubayangkan ternyata sebuah mimpi buruk! Ilau! Teganya kau memperlakukan aku!
Ilau! Dengarkan aku! Dengar! Hentikan sinisme yang meracuni otakkmu itu. O, jadi kau tidak mau mendengar lagi apa yang kukatakan. Baik! Baik.
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Ditariknya korsi roda itu, diguncang-guncangnya, dibawanya berlari berkeliling, kemudian dibalikkannya. Korsi roda itu terbalik, orang palsu itu ikut jatuh bersamaan tumpahnya cairan merah mengucur dari tubuh orang palsu itu. Beberapa saat Sinan tertegun. Dilihatnya darah di lantai. Dirabanya darah itu dengan kedua tangannya dan berlari menjauhi korsi roda.
Darah! (Darah itu diciumnya) Darah atau kecap? (Dicum lagi) Ya, sudah. Darah ya darahlah!
(Dia ketakutan) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Mampus!
(Beberapa saat dia berputar-putar dan suara kembali datar)
Ilau. Sebenarnya aku tidak berniat apa-apa terhadap Ilau. Aku senang sebagai istri. Tapi rutinitas hidup di kota besar ini semakin menjemukan. Untuk mengisi kekosongan waktu, diam-diam aku ikut berpikir tentang kebebasan, kesetaraan dan kata-kata hebat yang tak kutahu seluruh maknanya.
Ilau. Aku hanya seorang perempuan yang ingin menyampaikan pesan. Cintailah kami. Jangan perbudak kami dengan dalih apapun.
Tapi, ah, ternyata akhirnya jadi lain. Aku dirasuk nafsu dengan kata kebebasan itu. Kutinggalkan rumah kita, kutinggalkan kau. Sepeninggal aku pergi, kau lumpuh, dilumpuhkan atau pura-pura lumpuh akupun tak peduli.
Kini aku harus berterus terang. Bukan soal keris, silsilah, mummi, atau pimpinan generasi ketujuh itu yang mendera jiwaku. Tapi ketika kau katakan bahwa aku harus punya anak, di situ aku rasa tertusuk. Menganga sebuah luka, menggenang sebuah sesal.
Ilau, maafkan aku. Aku telah membuang rahimku karena kesetaraan tidak memerlukan rahim. Aku takkan lagi punya anak sebagai risiko dari kesetaraan yang kuperjuangkan.
Kemegahan? O, betapa memukaunya kata itu. Ini. mahkota kebesaranku. Ini jubah kebanggaanku. Ini keris pusaka yang kukeramatkan. (Semua pakaian itu dibukanya an dileparkannya ke sepanuh ruangan) Kini tak ada artinya lagi. (Sinan kemudian berpakaian biasa dengan rambut yang dilepas. Dia tampak sebagai perempuan seperti sediakala menurut fitrahnya)
Ah, Ilau. Betapa tajam matamu menikam mataku saat kita mula bertemu. Nikmat sekali. Tetapi kemudian tikaman-tikaman itu berubah dan menjadi semakin menyakitkan. Aku harus membalas tikaman kata-katamu, tikaman kekuasaanmu, otoritermu. Ya, aku harus menikammu. Karena itu aku perlu sebuah keris. Tetapi, ternyata aku tertikam lebih parah. Tertikam oleh pikiran-pikiranku sendiri .
Lalu, sekarang? Kau sudah tergeletak di korsi rodamu. Aku tak mampu melihat matamu redup tak bermaya. Aku tak sanggup menutup kelopak mata yang terbuka saat kau menghembuskan nafas terakhir.
Kau telah mati maka mati pulalah perjuanganku. Mati pulalah kesetaraanku.
Ilau. Kita akan setara kalau kau masih ada. Tetapi kalau kau sudah tak ada, bagaimana aku meletakkan ukuran kesetaraan? Aku kehilangan rujukan dan perbandingan.
Terdengar suara petikan gitar Ilau, menyanyikan sebuah lagu.
PANGGUNG SANDIWARA
(Achmad Albar)
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran
Berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara
Peran yang kocak bikin orang
Terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang
Mabuk kepayang
Dunia ini bagaikan tragedi dari Yunani
Dunia bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
SINAN mendengarnya dengan teliti. Petikan gitar dan nyanyian itu semakin jelas.
SINAN:
Ilau! Ilau! Suaramu masih kudengar. Petikan gitarmu, oh.. Ah, apakah aku bermimpi? Ilau!
ILAU masuk dengan gitar masih di tangan. Sinan menatap Ilau. SINAN semakin bingung. Dia lari ke dekat korsi roda dan dilihatnya kembali siapa yang telah terbunuh. Dia lari mendekati ILAU dan meraba-raba wajahnya. Wujud! Pasti dia ILAU.
SINAN tertegun beberapa saat. Kemudian marahnya bangkit.
SINAN:
(Berteriak sekuat-kuatnya)
Ilau! Kau benar-benar laki-laki! (Menangis dan memukul-mukul dada) Pencemooh, Tukang intrik, Licik! Busuk hati! Penipu! Berpura-pura! Tapi aku suka!
(Dengan nada gembira seperti waktu Sinan permulaan masuk)
Ilau.. ini aku!
Sinan!
- tamat -
Kualalumpur-Padang, April 2005
PEREMPUAN SALAH LANGKAH
Oleh:
WISRAN HADI
BAGIAN PERTAMA
Di tengah pentas ada sebuah meja dikelilingi beberapa buah korsi. Di atas meja, bertaburan majalah, surat kabar, buku-buku, remote control untuk pintu otomatik dan sebuah tape recorder. Sebuah korsi roda berdiri agak jauh dari korsi meja itu. Pada lengan korsi roda tergantung beberapa buah kantong plastik berisi pakaian kotor.
ILAU duduk pada salah satu korsi. Dia menyanyikan sebuah lagu diiringi gitar yang dipetiknya sendiri;
SABDA ALAM
(Ismail Marzuki)
Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Tapi ada kala pria tak berdaya
Bertekuk lutut disudut kerling wanita
Dalam keasyikan itu, sebuah keris bercahaya meluncur pada sehelai benang hitam yang sudah direntangkan sebelumnya, mulai dari bagian kiri atas belakang pentas dan berakhir pada bagian kanan depan pentas. Karena benang hitam tidak begitu jelas tampak oleh penonton, keris itu seperti meluncur di udara.
ILAU merasakan sesuatu melintas di atas kepalanya. Dia berhenti menyanyi dan mendongakkan kepala, tetapi tidak melihat apa-apa karena keris itu telah lebih dulu menghilang. Dia menolah ke kiri dan ke kanan, tak nampak suatu apapun, lalu dia kembali menyanyi.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel. ILAU berhenti menyanyi dan bergegas ke samping pentas, seakan melihat ke jendela. Dia terkejut dan meletakkan gitar di atas meja begitu saja. Dia segera duduk di atas korsi roda dengan sikap yang berbeda sama sekali dari sebelumnya.
Diambilnya remote control dan mengacungkannya ke arah dari mana SINAN akan masuk. Terdengar suara pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU meletakkan remote control dan mengambil sebuah buku. Dialihkannya arah korsi roda pada sisi pentas yang lain, membelakang ke arah SINAN yang akan datang. Dia pura-pura membaca membelakangi pintu.
SINAN masuk. Beberapa saat berdiri memandang seluruh ruangan. Diletakkannya tas tangannya di atas meja dan berjalan beberapa langkah mengelilingi meja.
SINAN:
(Gembira sekali) Ilau, ini aku. Sinan.
ILAU memutar korsi roda memandang SINAN dengan tajam. Ditutupnya bukunya dan dilemparkan ke atas meja. Tampaknya dia marah sekali, tapi kemarahan itu ditahannya. Namun dari nada bicaranya yang begitu sinis terasa sekali dia sedang meredam kemarahan itu sedalam-dalamnya.
ILAU:
O, Sinan..! Tokoh pejuang kesetaraan, he, he. Selamat malam istriku. Sudah selesaikah perjuangan Sinan membela hak-hak perempuan dunia? Sudah samakah hak dan derajat mereka dengan laki-laki?
SINAN:
Janganlah selalu sinis. Bukan aku saja yang dapat tersinggung mendengar ucapan begitu, bahkan semua perempuan.
ILAU:
Tidak, aku tidak sinis. Hanya heran. Sinan kan sudah bertekad tidak mau hidup berdampingan dengan seorang laki-laki yang sehari-hari hanya duduk di atas korsi roda. Setiap orang harus mandiri. Laki-laki dan perempuan harus setara. Yang satu tidak boleh memperbudak yang lain. Begitu kata Sinan bukan? Tapi kenapa tiba-tiba Sinan muncul malam ini?
SINAN:
Kuharap kita tidak mengulang lagi persoalan yang sudah kadaluwarsa.
ILAU:
Baiklah. Lalu, apa perlunya Sinan ke sini lagi? Apa karena kelumpuhanku atau karena ketidakberdayaanku berdiri sama tinggi dengan orang lain, lalu aku dipaksa harus melepaskan hak dan wewenangku sebagai seorang suami? Kemudian, aku tutup mata dan membiarkan Sinan berbuat sesuka hati? Tidak. Tidak akan! Kalau Sinan berjuang untuk mempertahankan prinsip-prinsip hidup, kesetaraan, jender, akupun akan tetap mempertahankan hak-hakku. Aku ini, Ilau!, juga punya tanggungjawab tersendiri atas hak-hakku.
Ayo, buatkan aku kopi panas. Lebih sepuluh tahun aku tidak minum kopi yang diaduk oleh istriku sendiri. Apa? Tidak mau? Baik. Ini, (melemparkan satu persatu pakaian kotor yang tergantung di lengan korsi rodanya), celana, kaos kaki, singlet dan celana dalamku, cuci!
SINAN:
Lebih sepuluh tahun aku tidak pernah lagi mau diperbudak laki-laki. Maaf.
ILAU:
Artinya Sinan masih menganggapku sebagai laki-laki yang tidak perlu dilayani walau suami sendiri. Baiklah. Lalu, buat apa Sinan datang?
SINAN:
Menjemput barang milikku, warisanku.
ILAU:
Apalagi hak milik Sinan yang masih tertinggal di sini? He..he.., cinta agaknya?
SINAN:
Hhh… Ilau kira aku ini generasi Siti Nurbaya? Generasi yang melacurkan diri untuk dapat membayar hutang ayahnya? Generasi Saman atau Supernova? Generasi rabun senja yang tak jelas lagi membedakan yang mana pornografi dan yang mana sastra? Uh! Ilau, Ilau..! Generasi rabun senja yang Ilau maksudkan itu tidak layak untuk pencerahan.
ILAU:
Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Cinta tidak, seks pun tidak, ya jadi malaikatlah kita..
SINAN:
Jangan bercanda! Aku ke sini bukan untuk melawak. Aku punya urusan penting!
ILAU:
Urusan apa?
SINAN:
Aku harus mengambil keris pusaka warisan nenek moyangku.
ILAU:
Keris? Keris pusaka? Sejak bila Sinan punya keris? Di mana keris itu Sinan simpan selama ini? Pisau dapur saja Sinan buang karena tidak mau memasak. Pisau cukurpun Sina buang karena laki-laki tidak boleh klimis seperti perempuan. Apalagi keris? Sinan kan tahu, hanya laki-laki yang punya keris walaupun hanya untuk hiasan pinggang dalam upacara-upacara adat. Keris? He..he.. , banyolan Sinan sudah sangat tinggi, sulit bagiku memahami.
SINAN:
Sudah. Sudah. Semua ingin Ilau komentari. Semua ingin Ilau campuri. Biarkan aku dengan warisanku, dengan keris pusakaku! Apa kerisku akan dijadikan hiasan pinggang, hiasan dada atau pinggul, untuk menakut-nakuti orang, untuk komoditi eksport, Ilau peduli apa.
ILAU:
Katanya Sinan sudah jadi manusia modern? Manusia abad ini. Abad yang ditandai dengan kebebasan, kesetaraan dan kegemerlapan. Ditandai dengan kesamaan hak dan derajat antara laki-laki dan perempuan. Abad yang ditandai oleh perempuan yang telah mengelirukan hukum-hukum agama. Menjadi khatib jumat dan imam dari laki-laki dan perempuan yang sembahyang bersama-sama, he..he..
Sedangkan keris, rumah tua, sawah ladang atau tanah pusaka hanyalah artefak-artefak dari masa lalu. Jejak-jejak kehidupan manusia tradisional, kolot dan sudah dipetieskan jadi sejarah dan diawetkan dalam musium. Begitu kata Sinan bukan? Buat apa lagi semua yang sudah bulukan itu bagi Sinan?
SINAN:
Untuk bukti diri!
ILAU:
He, he.. bukti diri? Apakah diri Sinan sendiri tidak dapat dijadikan bukti bahwa Sinan hadir dalam kehidupan ini sebagai diri Sinan sendiri? Kenapa keris yang harus dijadikan sebagai bukti diri? Sinan kira keris itu semacam kartu penduduk, surat nikah atau surat izin mengemudi?
SINAN:
Dengan adanya keris pusaka itu aku akan dapat buktikan bahwa aku bukan perempuan sembarangan, tetapi pelanjut yang sah dari kepemimpinan negeri ini. Pemimpin dari generasi yang akan bangkit merebut hak-haknya kembali.
ILAU:
O, jadi masih dalam rangka perjuangan jender?
SINAN:
Sekali lagi kuminta, jangan ulang cemooh-cemooh Ilau itu. Aku hafal betul cara Ilau mencemooh dan tahu apa akhir dari semua cemooh itu. Apakah aku akan memperjuangkan kesetaraan atau tidak, tidak seorangpun yang dapat melarang.
ILAU:
Termasuk juga suami.
SINAN:
Termasuk juga suami! Kepandaian Ilau kan hanya melarang, melarang, melarang! Tidak pernah mampu mencarikan sesuatu yang tidak terlarang. Itu sebabnya Ilau kutinggalkan, tahu!
ILAU:
Lalu sekarang Sinan kembali ke sini karena perjuangan kesetaraan itu telah gagal?
SINAN:
Ilau! Jangan sinis kataku!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Sekarang aku tidak segan atau takut lagi bertindak kasar pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak boleh sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak akan kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. (Pergi ke kamar)
ILAU:
Hmm.. dari selembut-lembutnya berubah menjadi singa betina yang menakutkan. Inikah makna dari kesetaraan yang mereka perjuangkan?
(Berteriak ke arah Sinan ke luar) Apa lagi yang Sinan cari di kamar itu, ha! Tidak satupun benda tajam di sana selain kerisku yang tumpul. Buat apa aku menyimpan sesuatu yang tidak dapat memberikan kecerdasan! He…keris yang Sinan cari itu hanya artefak, masa lalu, nostalgia, mimpi-mimpi buruk!
Keris, hehe. Sebilah besi karatan yang tidak relevan lagi digunakan untuk menaklukkan lawan. Hmm! Apa hubungannya sebuah keris dengan perjuangan jender? Apakah semua laki-laki akan ditikam untuk dapat merebut kesetaraan? Dari mana dia tahu bahwa ada keris di rumah ini? Keris biasanya dipajang di musium. Apa dikiranya aku telah merubah rumah ini jadi musium? Musium dengan rumah tinggal jauh berbeda, sayang. He..he.
Memang susah kalau kesetaraan tidak punya rujukan.
SINAN:
(Datang dari arah kamar membawa sebilah keris yang tadi diluncurkan)
Ini baru keris! Ini keris baru! Tidak. Tidak baru. Lama sudah. Beratus tahun. Tak dapat dipungkiri lagi. Keris inilah yang selalu menjelma dalam mimpi-mimpiku. Nah sekarang berada di tanganku. Wujud sudah! Konkrit! Keris inilah akan dapat melegitimasi keberadaan diriku.
Menurut sejarahnya keris ini kembar! Satunya lagi tersimpan di tempat asal. Keris pusaka ini adalah tanda kebesaran dari seorang raja perempuan. Bila aku kini menggenggamnya berarti aku menggenggam kebesaran nenek moyangku.
Yesss!! Bila aku berhasil mendapatkan keris yang satu lagi dan mempersandingkannya dalam sebuah upacara adat raja-raja, maka apa yang diperjuangkan kaum perempuan selama ini akan berhasil. Generasi ketujuh yang disebut-sebut selama ini akan benar-benar wujud menjadi generasi yang eksis, sah, tidak hanya isyu. Generasi ketujuh harus mulai bergerak memimpin perjuangan hak-hak perempuan sedunia!
(Mengacungkan keris ke udara dan berteriak dengan lantang)
Hidup perempuan! Hidup kesetaraan! Buka kutang tinggalkan perbudakan!
ILAU:
He..he, seperti kampanye partai saja. Ya,ya, sekali-sekali tak apalah. O, jadi Sinan menjumpai keris itu di deretan buku-bukuku? Bagaimana mungkin terjadi?
SINAN:
Ilau sudah ketinggalan zaman. Ilau membaca buku hanya sampai pada pengertian teksnya saja. Tulisan apapun dalam buku-buku hanyalah teks, hanya teks! Ketajaman teks tergantung kepada pembaca untuk mengasahnya. Dari balik teks itulah muncul berbagai ketajaman, berbagai bentuk keris, berbagai bentuk senjata. He..he, aku memang tak banyak membaca buku, tetapi aku selalu mempertajam bacaanku dan sekaligus berusaha mewujudkan. Ini buktinya, (mencabut keris dan menghunusnya) ya kan. He..he… sebaiknya Ilau kuliah lagi. Esduakah, estiga atau kedua-duannya sekali, escampur, he..he..
ILAU:
Jadi, di samping membaca buku-buku politik, diam-diam Sinan belajar filologi, tapi sayangnya filologi yang Sinan baca itupun sudah bulukan. Ya, sudahlah. Itu kan hanya persoalan anak-anak sekolah.
He,he, jadi Sinan telah menemukan sesuatu yang tajam dari balik teks yang tumpul. Sinan telah temukan sebuah ketajaman. Ketajaman yang kemudian wujud dalam bentuk sebuah benda tajam. Baiklah. Baiklah. Aku malas bertengkar malam ini, walaupun semua yang Sinan katakan tidak masuk akal. Tapi daripada ketenteramanku terancam, lebih baik aku ikuti saja pikiran Sinan. Ya.Ya. Tadi ada Sinan sebut generasi ketujuh. Nah, apa pula itu? Baru kali ini kudengar. Generasi macam apa pula itu.
SINAN:
Generasi yang akan membangkitkan kembali kejayaan kaum perempuan. Ilau tahu, generasi yang lalu adalah generasi laki-laki dan mereka telah meninggalkan warisan berupa segala bentuk diskriminasi. Tugas generasi ketujuh adalah menghancurkan segala bentuk diskriminasi di dunia ini!
ILAU:
Wah, hebat sekali. Jadi, apa hubungan keris yang Sinan temukan itu dengan bangkitnya sebuah generasi?
SINAN:
Keris pusaka ini merupakan tanda bahwa pemegangnya adalah pemimpin yang sah negeri ini.
ILAU:
He..he..semakin menarik juga pembicaraan kita. Lalu, siapakah pemimpin itu? Sinan kan?
SINAN:
Ya. Siapa lagi.
ILAU:
Sinan, he..he.. Kalau mau bermimpi tidurlah dulu ke kamar sana. Tak mungkin orang bermimpi sambil berdiri, bukan? Sinan, kurang uang lama orang baru tahu. Tapi kurang akal cepat sekali orang tahu. Istriku, kau sudah makan obat belum?
SINAN:
(Marah sekali) Apa-apaan ini! Aku bicara masalah eksistensi perempuan, keberadaan kaumku, aku, generasi ke tujuh di mana aku bertanggung jawab penuh atasnya. Ini bukan persoalan kurang uang atau kurang akal! Ingat! Sejak Ilau kutinggalkan, tidak ada lagi obat yang harus kumakan. Semua obat telah kubuang. Aku kini sehat! Masalahku sekarang bukan masalah obat. Uh, pikiran Ilau kampungan sekali!
ILAU:
Baiklah. Baiklah. Kuikuti terus pikiran Sinan. Lalu, kenapa keris karatan itu dikatakan sebagai tanda lahirnya sebuah generasi? Samakah fungsinya dengan sebuah prasasti?
SINAN:
Aku tak perlu jawab pertanyaan bodoh itu. Sekarang yang jadi persoalanku adalah, bagaimana aku dapat menemukan keris yang satu lagi dan mempersandingkannya, agar tiba masanya untuk sebuah kebangkitan.
ILAU:
Seandainya tidak berhasil?
SINAN:
Pasti berhasil. Untuk itu aku harus berjuang. Itulah yang disebut perjuangan.
ILAU:
O, jadi dapatlah dikatakan bahwa Sinan sekarang pejuang. Seorang srikandi. Ya kan? Baiklah. Tapi dapatkah dikatakan pula, bahwa Sinan kini sedang berada pada perjuangan tahap kedua? Berjuang untuk mendapatkan keris pasangan dari keris pusaka Sinan itu? Memperjuangkan agar kedua keris itu dapat dipersandingkan?
SINAN:
Begitulah. Ya.Ya. Aku senang dengan kalimat Ilau itu. Bernas sekali. Sudah lama aku tidak mendengar kalimat-kalimat yang jatmika. Terus. Terus.
ILAU:
Keris Sinan belum punya pasangan, lalu dicarikan pasangannya. Seperti cerita mencari jodoh saja tampaknya, he..he.. Kalau kedua keris itu nanti tidak mau dipersandingkan, tentu Sinan akan paksa keduanya bersanding demi untuk bangkitnya sebuah generasi. Ya kan? Jangan-jangan nanti akan terjadi kawin paksa pula antara keris-keris itu.
SINAN:
(Naik pitam) Diam! Otak Ilau isinya hanya cemooh, cemooh, cemooh! Tidak pernah mau menghargai perjuangan perempuan!
ILAU:
Jangan marah dulu. Mari kita coba berpikir agak jernih. Sinan mau kan?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Kalau Sinan bicara tentang generasi ketujuh, kedelapan, kesembilan atau generasi entah keberapa, Sinan harus melihatnya dari urutan yang ada dalam sebuah silsilah. Bukan pada adanya keris atau tidak.
SINAN:
Tapi keris ini dapat dijadikan bukti.
ILAU:
Bukti apa?
SINAN:
Bahwa aku keturunan yang sah dari pemilik keris ini. Pemilik keris ini adalah seorang raja perempuan. Jadi, akulah kini yang menggantikan raja perempuan itu.
ILAU:
Raja Perempuan? Nah, bila Sinan bicara tentang raja-raja, itu artinya Sinan sudah beralih pada persoalan yang lain. Tapi baiklah. Jadi, Sinanlah kini yang menggantikan raja perempuan itu?
SINAN:
Ya. Uh, berapa kali harus kuulang. Iya. Iya dong!
ILAU:
Yakin?
SINAN:
Keris itu mulanya hanya ada dalam mimpi. Kemudian wujud menjadi sebuah kenyataan. Karenanya tidak ada alasan bagiku untuk tidak yakin. Ya kan.
ILAU:
Apa hubungan raja perempuan itu dengan Sinan? Benar-benarkah dia nenek moyang Sinan? Bagaimana Sinan membuktikannya tanpa ada silsilah?
SINAN:
Silsilah? (Berpikir beberapa saat, kemudian naik pitam) Jahanam! Ilau ganggu lagi pikiranku! Itu saja kerja Ilau sejak dulu! Ilau gugat ide-ideku, Ilau batalkan semua apa yang kurencanakan dengan alasan logika, logika, logika! Uh.. muak aku! Kini Ilau batalkan pula apa yang telah menjadi ketetapan dalam pikiranku. Aku ke sini untuk mengambil keris pusaka nenek moyangku! Keris untuk dapat meyakinkanku sebagai pemimpin yang sah negeri ini. Lalu, semua itu Ilau sangsikan, Ilau ragukan. Ilau katakan aku harus menyusuri keturunanku melalui sebuah silsilah!
Memang sebaiknya aku jauh dari Ilau! Ilau tak berhak menjajahku dengan pikiran-pikiran Ilau demikian. Aku bicara soal hubungan batin, keyakinan, bukti diri, identitas, Ilau membenturkannya dengan logika. Sudahlah! Jangan paksa aku terus menerus mengikuti apa yang Ilau inginkan.
ILAU:
Dulu Sinan meninggalkanku dengan alasan aku tidak memberikan kebebasan dan peluang untuk kesetaraan. Sekarang aku dianggap pula menjajah pikiran-pikiran Sinan, merusak masalah-masalah kebatinan dan keyakinan Sinan dengan membenturkannya dengan logika.
Jadi, artinya Sinan sudah cukup alasan pula untuk meninggalkanku sekali lagi bukan?
SINAN:
Ya. Aku harus pergi.
ILAU:
Karena ingin mempertahankan keris atau karena mau menjadi perempuan bebas?
SINAN:
Jahanam! Jangan gugat apa yang bagiku telah menjadi tekad! (Pergi)
ILAU:
Tekad dan nekat adalah dua kata yang sama bunyinya untuk akhir kalimat dalam sebuah syair lagu, ya kan? (Melihat keris masih ada di atas meja)
E, srikandi! Keris pusaka tertinggal di atas meja! Benda tak bernyawa seperti ini tidak dapat terbang mengikuti ke mana kau pergi? Ambillah cepat. Tanpa keris nanti perjuanganmu tidak tajam lagi! He..he.. jangan soklah. Keris itu bukan keris keramat. Keris itu hanya tampaknya saja yang keramat karena dapat terbang di udara. Padahal diluncurkan dari atas sana dengan benang hitam! Masa aku dapat ditipu.
(SINAN datang lagi dan cepat mengambil kerisnya).
SINAN:
Cemooh! Cemooh! Busuk hati! Laki-laki macam apa ini! (Ke luar)
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU berdiri mengambil gitar dan memainkan sebuah lagu;
AYAM DEN LAPEH
(Oleh: NN)
Luruihlah jalan Payokumbuah
Babelok jalan kayu jati
Dimalah hati indak ka rusuah
Ayam den lapeh, ai..ai
Ayam den lapeh
Mandaki jalan Pandai Sikek
Basimpang jalan ka biaro
Dimalah hati indak ka maupek
Awak takciuah, ai..ai
Ayam den lapeh
Sikua capang sikua capeh
Saikua tabang saikua lapeh
Tabanglah juo nan ka rimbo
Oi, lah malang juo
Pagaruyuang Batu Sangka
Tampek bajalan urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta
Oi takana juo, ai..ai
Ayam den lapeh
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KEDUA
Tiba-tiba terdengar bunyi bel. ILAU dengan cepat berlari ke jendela melihat siapa yang datang. Dia terkejut sesaat dan kembali menyanyi seperti tidak terjadi apa-apa.
Bel berbunyi lagi.
ILAU menghentikan nyanyiannya dan meletakkan gitar di atas meja. Dia segera duduk di korsi roda dengan merobah sikapnya seperti mula-mula SINAN datang. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Dia mengambil sebuah buku sambil memutar arah korsi rodanya membelakang pintu. Dia pura-pura membaca.
Sinan masuk membawa banyak sekali gulungan kertas dan meletakkannya di atas meja.
SINAN:
Hmmm… akhirnya selesai juga! (Memandang ke arah korsi roda)
Aku telah kumpulkan silsilah dari semua keturunan raja-raja nusantara. Ini. Segulung silsilah keturunan raja-raja dari kerajaan Hulu dan ini, segulung silsilah dari kerajaan Hilir. Ini lagi, segulung silsilah keturunan raja-raja…. (membuka gulungan itu dan membacanya) Kerajaan Minangkabau lama. Sedangkan gulungan-gulungan silsilah yang banyak ini adalah silsilah dari raja-raja Siwijaya, Swarnabhumi, Majapahit, Darmasyraya beserta ranting-ranting keturunan dari raja-raja itu. Uh.. banyaknya.
Semuanya kupelajari. Mencari kaitan dan hubungan antara satu keturunan dengan keturunan lainnya, seakan aku mencari sambungan dari dahan-dahan yang patah, mencari ujung dari ranting-ranting yang mati dari sebuah pohon yang begitu rimbun. Yaya. Aku telah menyusun silsilah, namun sesungguhnya aku belajar sejarah. Silsilah dan sejarah adalah dua hal yang satu sama lain erat kaitannya.
(Memandang ke arah korsi roda ILAU)
Ilau dengar tidak apa yang kukatakan? Ilau pura-pura asyik membaca, padahal sebenarnya karena tidak berani menatapku. Ilau malu karena aku telah mulai membongkar borok laki-laki, itu saja soalnya.
Ayo. Putar korsi roda itu. Menghadaplah ke sini. Hadapilah masa depan, he..he.. Sebaiknya kita bicara berhadapan, walaupun kita tidak berada dalam kesepahaman. Ayolah.
(ILAU memutar korsi rodanya menghadap ke arah SINAN)
Memang meletihkan menyusun nama-nama dari orang yang tidak kita kenal, nama-nama yang entah bila mereka hidup. Ya, begitulah. Aku telah berjuang untuk menjelaskan diriku berasal dari keturunan mana, memastikan siapa sesungguhnya nenek moyangku. Hi..hi…hi, ironinya, untuk sebuah kepastian aku harus bekerja dari sesuatu yang tidak pasti.
ILAU:
Kalimat yang bagus. Untuk sebuah kepastian Sinan telah bekerja dari sesuatu yang tidak pasti. Tanpa sengaja Sinan telah memasuki daerah filsafat ketika dihadang berbagai kesangsian. Bagus sekali. Pada hakekatnya yang kita perjuangkan adalah sesuatu yang tidak pasti, walau tampaknya pasti. Perjuangan Sinan saat ini sama artinya dengan berjuang untuk mewujudkan, mengkongkritkan warna-warna apa yang sesungguhnya hanyalah sebuah fatamorgana.
SINAN:
Maaf, hari ini aku tidak ingin mendengar kuliah, he..he. Ilau tahu apa tentang filsafat! Ilau hanya tahu gitar, lagu, batu domino dalam kemasan dari kepura-puraan. Aku cukup jenuh dengan metafor-metafor, perlambang, tanda-tanda dan entah apa lagi. Aku kini terdesak oleh silsilah yang sudah kususun. Aku harus jujur pada diriku. Aku harus jujur.
ILAU:
Ya, kita harus jujur walaupun kita tak pernah jujur. Begitu kata Sinan dulu bukan?
SINAN:
Ya. Bagaimanapun aku telah berhasil menyusun silsilah kaumku dan telah diakui.
ILAU:
Ha? Sudah siap dan diakui pula? Hebat sekali. Siapa yang mengakui? Apakah ada undang-undang untuk pengesahan sebuah silsilah?
SINAN:
Aku tak percaya undang-undang. Aku percaya pada apa yang kupercayai.
ILAU:
Apa yang Sinan percayai?
SINAN:
Bahwa silsilahku dapat dipercaya.
ILAU:
He..he.. retorika yang bagus. Baiklah. Lalu, apa lagi masalahnya yang menyebabkan Sinan datang padaku?
SINAN:
Aku terbentur pada tiga nama. Aku ingin kepastian dari ketiga nama itu siapa sesungguhnya nama nenek moyangku.
ILAU:
He..he.. Aneh juga ya. Sinan katakan tadi, Sinan yakin pada silsilah ini. Kini Sinan katakan pula Sinan terbentur pada tiga nama. Itu sama halnya dengan tidak yakin, bukan?
SINAN:
Aku ingin minta pendapat Ilau.
ILAU:
Ehm.. jadi aku masih diperlukan juga rupanya.
SINAN:
Mau atau tidak? (Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan melakukan kekerasan saat ini pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Paham!
ILAU:
Paham, paham. O, jadi kedatangan Sinan sekarang minta tolong? Nah, kan jelas. Orang hanyut saja ditolong apalagi yang sedang dihanyutkan, ya kan?
SINAN:
Sudahlah kataku. Sakit telingaku dengan cemooh begitu. Ya, ya! Sekarang aku minta tolong.
ILAU:
Dalam hal tolong menolong seperti ini tidak ada persoalan jender lagi kan?
SINAN:
Sudahlah! Sudahlah! Apa aku harus berteriak-teriak lagi dan bertelanjang bulat berlari sepanjang pantai seperti dulu?
ILAU:
He..he.. telanjangpun Sinan sekarang tidak akan ada lagi yang mau melihat. Sudah lebih sepuluh tahun Sinan menelanjangi diri sendiri, ya kan? Ayolah kita beralih pada hal-hal yang lebih penting. Mana silsilah yang Sinan buat itu?
SINAN:
Ini.
(Sinan membentangkan sebuah gulungan kertas yang besar dan panjang di atas meja. Karena panjangnya, korsi-korsi terpaksa disusun agar kertas itu sama permukaannya dengan permukaan meja. Setelah semua dikembangkan, ternyata silsilah itu sepanjang pentas. Sambil bekerja memajang kertas silsilah yang begitu panjang dia terus bicara)
Ini sebuah kerja monumental. Takkan ada orang yang mampu menyusun silsilah selengkap ini. Memang harus kuakui, ada nama-nama yang kurang jelas dapat dibaca tapi itu tidak berarti silsilah ini ditulis ragu-ragu.
ILAU:
Luar biasa! Luar biasa! Bagus sekali silsilah ini. Warnanya, kertasnya, tulisannya. Jelas dan memang tidak ada yang perlu diragukan apalagi tulisannya jelas dapat dibaca.
SINAN:
Cemooh lagi. Ilau, sudahlah. Sekali-sekali, berhentilah mencemooh.
ILAU:
He..he.. aku hanya bicara apa yang tampak. Orang-orang yang berada di balik nama-nama itu bagaimana aku dapat mengenalnya. Berjumpa saja tidak, selain salah seorang keturunannya, Sinan sendiri. Jumpa Sinanpun hanya dalam beberapa tahun. Lalu Sinan pergi, pergi, pergi… berjuang, berjuang, berjuang.
SINAN:
Semua yang kita lalui itu sudah jadi sejarah. Sudahlah. Yang terbentang dihadapan kita sekarang yang lebih penting dari sejarah kita.
ILAU:
Suka hatilah, Sinan mau bicara apa. Aku sudah letih bertengkar terus menerus.
SINAN:
Makanya! Makanya kita bicara soal-soal yang berada di luar diri kita. Coba perhatikan. (Keduanya memperhatikan silsilah) Bagian yang ini. Nama raja yang satu ini banyak sekali. Dalam silsilah yang ini namanya Mencabik Baju Didada, sedangkan dalam silsilah yang itu namanya Menyuruk Dilalang Salai. Sedangkan dalam silsilah yang itu, bukan yang itu, namanya Dibibir Bertanam Tebu. Apakah ketiga-tiga nama ini orangnya berbeda-beda atau hanya satu.
ILAU:
(Setelah memperhatikan satu-persatu) Jadi mau Sinan bagaimana? Sinan mau agar dipastikan bahwa orangnya satu? Atau memang tiga?
SINAN:
Nama nenek moyangku itu mungkin ketiga-ketiganya. Tapi lebih kuat keyakinanku nenek moyangku adalah Mencabik Baju Didada. Karena dia adalah raja perempuan dan yang mula-mula pula menyadari bahwa dia mencabik baju, artinya dia sudah berpakaian. Sedangkan dua lainnya masih dengan nama tumbuh-tumbuhan. Artinya masih sangat primitif.
ILAU:
Ya, kalau Sinan mau begitu, tidak jadi masalah.
SINAN:
Jadi, Ilau setuju nama nenek moyangku Mencabik Baju Didada?
ILAU:
Tunggu dulu. Kita lihat secara keseluruhan. Kita mulai dari atas. Ini. Sultan Iskandar Zulkarnain. Sultan ini mempunyai anak tiga orang. Sultan Maharaja Alif, Sultan Maharaja Depang dan Sultan Maharaja Diraja. Sultan Maharaja Diraja inilah yang menjadi cakal bakal raja-raja nusantara. Sampai di sini, silsilah ini betul. Terus, terus, terus.. ya betul. Tapi mulai dari sini patut diragukan.
SINAN:
Mulai dari mana?
ILAU:
Mulai dari generasi Mencabik Baju Didada, sampai kepada Yang Menyuruk Dilalang Salai dan terus kepada Yang Bertanam Tebu Dibibir. Masing-masing punya keturunan yang namanya perlu diteliti kembali. Keturunan yang ini, coba baca nama-namanya…
SINAN:
Barandam Tapi Selo, Tangah Duo Kupang, Antene Rabah.
ILAU:
Baca nama-nama pada urutan selanjutnya. Ada namanya … apa ini?
SINAN:
Baliang-baliang Ateh Bukik, Rumah Gadang Katirisan, Sadanciang Bak Basi, Damuik Gadang Kawuik.
ILAU:
Kemudian yang ini…?
SINAN:
Ini nama-nama permaisuri. Jamua Takaka Hari Ujan, Pulang Pai Babasah-basah, Masak Pagi Matah Patang, Talantuang Labiah Bak Kanai, Nan Galak Tiok Salah, Barandam Aie Sabun.
ILAU:
Kalau tidak salah, nama-nama seperti itu hanya ada dalam bahasa Minangkabau. Yang ini lagi.
SINAN:
Nama-nama Tuanku. Hape Basalang, Monicenjer, Vewe Kombi, Kirara Baso.
ILAU:
Nama-nama yang membingungkan. Ada nama.. apa ini…
SINAN:
Raja Muda Dot Kom. Yang ini Dot Koid, Dot Mai, Dot Oerge.
ILAU:
Kukira nama-nama itu nama laman web. Laman tanpa air yang bisa dilayari kapan saja. Apa Sinan tidak keliru menyusunnya?
SINAN:
Tidak. Aku tidak pernah keliru.
ILAU:
Yang paling rumit lagi adalah ini. Mencabik Baju Didada punya keturunan hanya enam generasi. Sedangkan Menyuruk Dilalang Salai punya keturunan sebelas generasi. Sedangkan yang ini, Mangguntiang Dalam Lipatan tidak jelas sudah berapa generasi baginda menurunkan keturunannya.
SINAN:
Tapi aku keturunan dari Uie-Uie Mintak Gatah. Salah seorang dari enambelas orang anak-anak Mencabik Baju Didada. Uie-Uie Mintak Gatah menggantikan ibunya yang meninggalkan karena masuk angin. Dari Uie-Uie Mintak gatah itulah lahir nenekku.
ILAU:
Ya, tapi Uie-Uie Mintak Gatah hanya punya turunan enam generasi. Sedangkan Sinan mengatakan, Sinan adalah pewaris pada generasi ketujuh?
SINAN:
Kalau begitu, sebaiknya aku generasi keberapa?
ILAU:
Coba hitung urutannya. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Ya kan, nama Sinan berada pada generasi keenam.
SINAN:
Keenam? Ah, bagaimana mungkin. Aku semestinya berada pada generasi ketujuh.
ILAU:
Istilah generasi ketujuh ini Sinan dapat dari mana?
SINAN:
Mimpi. Keris itu akan muncul kekeramatannya bila berada di tangan generasi ketujuh.
ILAU:
Kalau Sinan adalah pewaris generasi keenam, tentulah generasi ketujuh jatuh pada anak yang Sinan lahirkan. Sedangkan kita belum punya anak.
SINAN:
Jadi aku harus punya anak? Tidak. (Tertegun, dia memegang perutnya beberapa saat, kemudian berteriak marah sekali) Tidak ada urusan anak di sini. Aku generasi ketujuh! Anak tidak termasuk dalam pembicaraan ini! (Berteriak-teriak) Ilau jangan bicara menyimpang! Anak..huh! Anak apa? Anak lidah! Anak tangga! Anak bola!
ILAU:
Kambuh lagi! E, Sinan! Ada apa lagi ha? Berteriak-teriak tidak karuan. Kalau tidak mau punya anak, tidak jadi masalah. Itu berarti apa yang Sinan perjuangkan selama ini gagal di tengah jalan. Perjuangan Sinan tidak berkelanjutan, tidak berkesinambungan.
SINAN:
(Semakin naik pitam) Aku tidak percaya! Benar-benar tidak percaya! Ilau licik. Ilau giring aku harus punya anak! Apa maksud Ilau? Agar aku harus mengandung dan yang menjadi bapak anakku adalah Ilau? Tidak.Tidak. Status kita memang suami istri. Itu status bukan hakekat.
ILAU:
Mungkin sudah waktunya aku pingsan.
SINAN:
Kenapa harus pingsan? Ilau yang selalu menyanyikan lagu dengan syair-syair demikian, bukan. Lagu-lagu Ilau itulah yang mengajarkanku untuk hidup dan berpikir bebas.
ILAU:
Aku kini semakin tak mengerti jalan pikiran Sinan Apa sesungguhnya yang Sinan harap dari silsilah seperti ini?
SINAN:
Berkali-kali kukatakan. Untuk melegitimasi keberadaanku sebagai pemimpin, tokoh pejuang kesetaraan, pimpinan generasi ketujuh. Tokoh yang bukan turunan sembarangan.
ILAU:
Dan keris yang dulu?
SINAN:
Juga untuk itu.
ILAU:
Silsilah ini sebaiknya disusun kembali secara benar. Silsilah adalah sebuah rajah pertalian darah dari suatu kaum. Karenanya nama-nama yang ada di dalamnya tidak mungkin bercampur-baur dengan pemeo atau pepatah petitih. Apalagi mencampurkannya dengan nama kode ekstensi laman-laman web.
SINAN:
O, Jadi Ilau menganggap semua yang kukerjakan ini main-main! Ini pasti intrik! Intrik Ilau sangat berbahaya. Bagaimanapun, aku tidak akan mempan dengan intrik-intrik demikian. Aku akan buktikan kepada Ilau, bahwa silsilah yang telah kususun ini adalah betul.
ILAU:
Bagaimana Sinan membuktikan betul tidaknya? Sejak mula Sinan sendiri sudah menyangsikan.
SINAN:
Masih banyak cara bagiku untuk meyakinkan diri kita. Sudah. Aku pergi. Aku tahu ujung dari perdebatan ini.
ILAU:
Apa ujungnya?
SINAN:
Ilau pasti akan menyatakan kesedian menyusun silsilah ini kembali dengan syarat aku harus selalu berada di dekat Ilau sampai selesai. Itu berarti aku harus berada di samping Ilau, mematuhi kembali perintah-perintah Ilau, mengikuti sistem perbudakan yang Ilau lakukan dengan dalih cinta, rindu, kebenaran, kesetiaan dan entah apa lagi.
Bukan aku perempuan yang dapat dibuat begitu lagi! No way!
(Ke luar)
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU meninggalkan korsi rodanya dan mengambil gitar. Dia menyanyikan sebuah lagu dengan khusyuk sekali.
TUHAN
(Bimbo)
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku memuja
Dengan segala doa
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku berteduh
Dengan segala keluh
Reff. Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engaku dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dan dosa berpadu
Tuhan! Tuhan Yang Maha Esa
Di mana aku memuja
Dengan segala doa
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KETIGA
Tiba-tiba terdengar bunyi bel.
ILAU dengan cepat berlari ke jendela melihat siapa yang datang dan menghentikan nyanyiannya. Gitar diletakkan kembali di atas meja. Dia segera duduk di korsi roda dengan merobah sikapnya seperti pada waktu mula-mula SINAN datang. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU:
Masuk!
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Kemudian dia pura-pura sulit sekali dapat menjangkau gulungan silsilah yang terbentang sepenuh lantai. Kertas-kertas itu digulungnya dengan hati-hati. Sekali-sekali dia melirik ke arah pintu masuk.
SINAN masuk membawa sebuah bungkusan kain hitam dan meletakkannya di atas meja.
SINAN:
Luar biasa! Pak Buyung itu benar-benar seorang paranormal yang handal dan dapat dipercaya. Dia dapat melihat sesuatu yang kita tidak tampak. Dilihatnya mataku. Dari mataku itu dia dapat menceritakan tentang diriku. Mulai dari nenek moyang, keturunan kaumku sampai kepada nasibku, akan jadi apa aku pada masa yang akan datang. Dia telah memastikan, bahwa nama nenek moyangku sesungguhnya adalah Uie-Uie Mintak Gatah seperti yang kuyakini sebelumnya. Aku adalah generasi ketujuh, bukan keenam seperti yang Ilau katakan! (Menoleh dengan sinis ke arah korsi roda)
Kadang-kadang aku malu sendiri. (Tertawa sendiri) Pak Buyung dapat mengetahui pakaian dalam yang kupakai! Warna, ukuran dan bahkan parfume yang kusemprotkan pada tubuhku yang paling rahasia sekalipun. Sewaktu aku katakan bahwa apa yang dikatakannya itu adalah benar, dia hanya senyum-senyum saja. Tersenyum seperti saat melihat bunga-bunga mekar di dalam taman. Malu aku karena hari itu aku memakai celana dalam merah yang sudah tanggal jahitannya!
Tapi aku benar-benar puas dapat dipertemukan dengan Pak Buyung. Walaupun aku telah menghabiskan waktu cukup lama menunggu panggilannya, tapi berkat kesabaran dan ketabahanku apa yang kunantikan akhirnya membuahkan hasil juga.
ILAU:
Apa hasilnya?
SINAN:
Kepastian dari sesuatu yang masih kuragukan. Dan ini yang paling penting. Menurut Pak Buyung, apa yang telah kuyakini tentang keris dan silsilah, keyakinanku itu dapat ditambahkan lagi untuk membuat aku semakin lebih yakin. Untuk pengukuhan keyakinan itu, Pak Buyung memberiku sebuah benda keramat.
ILAU:
Benda keramat seperti apa?
SINAN:
Lihat saja nanti. Pak Buyung memberikannya padaku dengan beberapa syarat. Sejak benda ini berada dalam tanganku, aku seperti disiram sebuah tekad yang kuat untuk mengatakan apa yang kuyakini itu adalah sebuah kebenaran.
ILAU:
Wah.. ini sudah jauh menyimpang.
SINAN:
Apa? Menyimpang? Apanya yang menyimpang? Justru Ilau yang selalu menyimpang-nyimpangkan apa yang kuinginkan. Apa salahnya kalau aku berusaha meyakinkan diriku dengan cara yang kutempuh sendiri?
ILAU:
Masalahnya sekarang, bukan salah atau benar. Ingat istriku. Keyakinan harus tumbuh dari dalam diri kita sendiri dan tidak mungkin dapat dibantu dengan benda sekeramat apapun! Penyimpangannya adalah, Sinan minta pertolongan pada benda-benda keramat. Padahal benda-benda itu tidak ada apa-apanya.
SINAN:
E, Ilau pernah belajar psikologi tidak? Ha? Jiwa kita ini memerlukan sugesti! Sugesti datang dari luar diri kita. Apa yang diberikan Pak Buyung, terlepas dari seperti apa benda yang diberikannya, yang jelas benda itu dapat memberikan sugesti. Jadi, kesimpulanku, kekeramatan suatu benda tergantung pada seberapa besar sugesti yang diberikannya kepada seseorang.
ILAU:
Wah. Sinan kini sudah memakai logika mistik. Betul-betul berhasil Pak Buyung menyeret Sinan masuk ke dalam dunianya.
SINAN:
Jangan sinis kataku! Jangan selalu sinis!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Paham!
ILAU:
Paham. Paham. Kalau keyakinan Sinan sudah dibantu menjadi semakin yakin oleh benda-benda yang diberikan Pak Buyung, buat apa lagi Sinan datang padaku? Terlalu banyak aku bicara, dianggap pula aku mau menggerogoti keyakinan Sinan. Aku tidak mungkin mempertengkarkan sesuatu yang telah Sinan yakini.
SINAN:
Aku datang, seperti kukatakan sebelumnya, untuk menjelaskan keyakinanku. Ilau takkan dapat lagi menggoyahkannya. Takkan dapat! Agar Ilau tahu, aku kini berjuang tidak hanya sampai pada persamaan dan kesetaraan saja, tetapi berjuang untuk sebuah keyakinan yang akan dapat kuyakinkan pada orang lain.
ILAU:
Artinya, Sinan akan menghancurkan keyakinan orang lain pula, bukan? Nah, apa bedanya denganku? Tapi baiklah. Benda apa yang diberikan Pak Buyung yang telah dapat membuat Sinan yakin pada keyakinan Sinan?
SINAN:
Ini. Lihat.
(Membuka bungkusan. Setelah kain hitam pembungkus dibuka, ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan kain merah. Kain merah pembungkus dibuka pula, dan ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan hijau. Kain hijau pembungkus dibuka dan ternyata bungkusan itu dibungkus lagi dengan kain kuning.
Beberapa saat SINAN diam dan tertegun. Tangannya gemetar.
ILAU:
Terus. Kenapa berhenti?
SINAN:
Berat.
ILAU:
Perlu dibantu?
SINAN:
Saat seperti ini aku tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki.
ILAU:
Walau dengan suami sendiri?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Terserah Sinanlah. Masa bungkusan sebesar itu berat? Sugesti atau sedang akting?
SINAN:
Jangan marah kalau aku tidak mau disentuh. Ini masalah rohani, bukan masalah badani. Ya, ampun beratnya.
(Membuka pembungkus kain kuning itu)
Lihat ini! Lihat!
(Ternyata yang dibungkus kain kuning adalah sebuah patung kayu primitif, yang mempunyai rambut yang tebal dan panjang, serta kuku-kuku yang panjang. Layaknya jasad manusia yang mengecil.
ILAU terkejut melihatnya.
SINAN meletakkan patung itu di atas meja. Pada waktu meletakkan patung itu, SINAN mengikat leher patung pada sehelai benang hitam yang telah digantungkan sebelumnya. Bila nanti benang ditarik, patung itu akan terangkat ke atas dan terus ke langit, hilang)
ILAU:
Apa itu? Mummi?
SINAN:
(Sinan bicara sambil mengikat leher patung itu dengan benang hitam yang telah digantungkan sebelumnya) Ya, mummi. Jasad Uie-Uie Mintak Gatah. Karena kekeramatannya, jasadnya tidak hancur walau telah dikuburkan beratus tahun. Hanya tubuhnya mengecil sedangkan kuku dan rambutnya terus tumbuh. (Sinan selesai mengikat leher patung itu)
Huh! Bukan main beratnya perjuangan mendapatkan jasad ini. Pak Buyung mengakui, dua kompi tentara yang tak tampak dengan mata biasa, bermata merah dengan baju besi, pedang, perisai dan tombak berusaha mempertahankan jasad itu untuk tetap di dalam kuburnya. Mereka adalah pengawal-pengawal setia Uie-Uie Mintak Gatah. Tapi karena aku adalah keturunannya yang sah, serdadu-serdadu perkasa itu terpaksa menyerahkannya kepadaku. Pak Buyung kagum sekali kepadaku, karena telah berhasil mendapatkan sebuah mummi yang selama ini dicari-cari untuk diperjualbelikan. Bagaimana? Ilau masih tidak percaya bahwa aku ini perempuan yang bukan sembarang keturunan?
ILAU:
Tunggu dulu Sinan. Aku seperti mendengar cerita film The Last Emperor saja. Punya pasukan berbaju besi, pedang dan tombak, bermata merah. Maaf, apa Sinan terpengaruh dengan film itu barangkali?
SINAN:
Jangan sinis kataku! Jangan selalu sinis!
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Teringat sesuatu dan kemarahannya tiba-tiba turun) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Paham!
ILAU:
Paham. Paham. Lalu apa yang dikatakan Pak Buyung pada Sinan?
SINAN:
Pak Buyung tidak berkata apa-apa. Tetapi jasad nenekmoyangku bicara melalui jasadku.
ILAU:
Seperti kesurupan?
SINAN:
Diam kataku! Diam. Kalau Ilau tak paham dunia mistik jangan bicara. Persoalan ini jauh di luar jangkauan logika.
ILAU:
Jadi Sinan benar-benar percaya bahwa mummi itu adalah jasad nenek moyang Sinan sendiri?
SINAN:
Tidak ada alasan untuk meragukannya karena semuanya wujud dihadapanku.
ILAU:
Misalkan mummi itu benar-benar jasad nenek moyang Sinan, lalu apa manfaat yang Sinan dapatkan daripadanya? Adakah mummi itu akan menambah kekuatan dan kegigihan Sinan untuk terus memperjuangkan ha-hak perempuan?
SINAN:
Itu tak penting. Yang jelas kini aku sudah punya bukti-bukti yang meyakinkan untuk memimpin generasi ketujuh.
ILAU:
O, jadi hanya sebagai bukti saja bukan? Syukurlah.
SINAN:
Kenapa?
ILAU:
Aku sangsi kalau-kalau Sinan yakin bahwa mummi itulah yang dapat memberikan kekuatan dan keselamatan lahir batin.
SINAN:
Kalau benar begitu, bagaimana?
ILAU:
Apakah dengan memiliki mummi itu Sinan merasa yakin dapat menjadi pemimpin?
SINAN:
Yakin. Memang begitu menurut Pak Buyung.
ILAU:
Jadi, karena mummi itulah Sinan dapat menjadi pemimpin, begitu bukan?
SINAN:
Ya.
ILAU:
Artinya Sinan telah menjadikan mummi itu sebagai Tuhan.
SINAN:
Cukup! Jangan seret lagi aku pada pikiranmu!
ILAU:
Aku harus mengingatkan Sinan supaya tidak jadi syirik! Menduakan keesaan Tuhan!
SINAN:
Setelah aku dinobatkan sebagai pemimpin generasi ketujuh, semua persoalan lainnya akan segera kuselesaikan.
ILAU:
Siapa yang akan menobatkan Sinan? Di mana? Bila?
SINAN:
O, jadi Ilau tak setuju aku menjadi pemimpin. Tidak ada larangan perempuan jadi pemimpin apapun, tahu! Sekarang, perempuanpun sudah menjadi khatib pada hari Jumat, menjadi imam dari laki-laki dan perempuan!
ILAU:
Wah, ini sudah keterlaluan. Aku harus melakukan sesuatu.
SINAN:
Apa yang akan Ilau lakukan? Akan menggagalkan upacara penobatanku?
ILAU:
Penobatan seperti itu tidak akan ada. Percayalah. Sinan sudah berada di pinggir jurang. Kembalilah ke pangkuan kebenaran.
SINAN:
Cukup kataku! Cukup! Apakah aku harus lari bertelanjang bulat sepanjang pantai dan berteriak-teriak mengatakan bahwa Ilau telah memperkosa istri sendiri. Memperkosa hak-haknya, kemerdekaan berpikirnya! Diam Ilau! Diam! Aku kini betul-betul sangat marah. Nenek moyangku! Nenek moyangku! Perlihatkanlah kekuasanmu kepada orang-orang yang selalu menyangsikanmu!
ILAU:
Tak perlu Sinan berteriak-teriak memanggil nenek moyang yang sudah mati. Dia tidak akan dapat datang dan tidak mungkin lagi dapat bicara.
SINAN:
(Sebuah ledakan kecil terdengar) Sesaat lagi! Sesaat lagi nenek moyangku datang!
(Setelah ledakan kecil, pelan-pelan patung terangkat karena benang hitam pengikatnya ditarik ke atas. Bersamaan dengan itu, nada suara, cara bicara dan tingkah laku Sinan berubah. Kain hitam, kain merah, kain kuning, kain hijau pembungkus dilambai-lambaikannya selama bicara, dan selama itu pula patung itu perlahan naik ke langit)
Akulah Uie-Uie Mintak Gatah yang terpaksa menghindar dari adikku karena dia inginkan menjadi raja.
Sinan! Kau harus bangkit! Rebut mahkota yang kini berada di kepala orang yang tidak mau berpikir. Pada akhir bulan yang tidak penuh, kau akan dinobatkan sebagai pengganti.
Siapa saja yang tidak percaya akan hal ini, pasti akan menyesal.
Akan tiba masanya kebangkitan itu, Sinan! Tidak seorangpun yang akan dapat menghalang apa yang akan terjadi. Matahari kan terbit, kejayaan akan memancar seperti pancaran warna pelangi. Cucuku, Sinan. Cucuku, Sinan.
(Badannya terhuyung dan kemudian terkapar di lantai dan patung itu hilang diiringi suara gelak ketawa genit perempuan)
ILAU:
Wah, bagaimana ini. (Dia lupa bahwa lumpuh dan berlari mendekati Sinan) Sinan. Sinan. Kejadian apa ini? (Sadar kembali bahwa dia lumpuh dan segera berlari ke korsi rodanya) Sinan. Sinan. Wah, ini sudah keterlaluan. Kejadian ini telah membuat aku lupa pada kelumpuhanku. Wah, malu aku. Maaf.
SINAN:
(Kembali seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa?)
Sempat juga aku tertidur. Mungkin karena terlalu letih barangkali. Aku seperti pernah datang ke rumah ini.
ILAU:
Ya. Ini rumah kita.
SINAN:
Tidak. Ini bukan rumahku.
ILAU:
Lalu, rumah Sinan di mana?
SINAN:
Di atas sana. Di sana nanti aku dinobatkan.
ILAU:
Sinan akan dinobatkan? Sebagai apa?
SINAN:
Sebagai raja yang akan melanjutkan perjuangan perempuan.
ILAU:
Bila Sinan akan dinobatkan?
SINAN:
Ketika bulan tak sempurna penuh.
ILAU:
Tepatnya tanggal berapa?
SINAN:
Tigapuluh februari.
ILAU:
Tigapuluh februari? Gila! Ampun aku. Ampun. Semuanya sudah kacau balau. Penanggalanpun dikacaunya.
SINAN:
(Sadar akan mumminya, dia segera berlari ke dekat meja)
Jasad nenek moyangku hilang! Ke mana perginya? Ilau! Ilau! Pasti Ilau telah menyembunyikan nenek moyangku saat aku tadi tertidur! Kembalikan nenek moyangku!
ILAU:
Aku lihat tadi mummi itu terangkat naik dan terus hilang di atas sana.
SINAN:
Tidak mungkin. Pasti telah disembunyikan. Aku akan bongkar rumah ini sampai menemukan nenek moyangku kembali.
ILAU:
Dia telah diangkat lambat-lambat ke atas sana dengan seutas benang hitam.
SINAN:
Bohong! Jangan main-main dengan nenek moyangku!
ILAU:
Aku tidak bohong. Sedangkan keris yang dulu, yang Sinan katakan dapat terbang karena kekeramatannya, ternyata diluncurkan dengan benang hitam dari sudut atas belakang sana. Mana ada keris, patung rusak yang dapat terbang pada zaman sekarang. Berpikir yang logislah. Kalau begini caranya, aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak, bisa rusak semua.
SINAN:
Aku akan mencarinya sampai dapat. Tanpa jasad nenek moyangku, penobatanku sebagai pemimpin generasi ketujuh tidak akan ada artinya. Ilau! Ilau harus pertanggungjawabkan semua kelicikanmu itu! (Ke luar)
Sinan menarik nafas.
Setelah SINAN ke luar, ILAU menutup pintu kembali dengan remote control yang tadi. Lalu terdengar pintu terkunci secara otomatis.
ILAU:
Aku harus menolongnya sebelum dia tenggelam lebih dalam.
ILAU segera berdiri menghidupkan tape recorder yang sejak tadi membisu di atas meja. Sebuah lagu terdengar begitu keras. Dia menyeret korsi rodanya ke luar dengan cepat.
SUASANA BERGANTI
*
BAGIAN KEEMPAT
ILAU masuk mendorong korsi rodanya, sementara nyanyian dari tape recorder masih terus mengalun. Di atas korsi roda itu tampak seorang orang palsu duduk membaca. Ilau membuat orang palsu itu dari bantal-bantal kecil dengan segala perlengkapannya yang telah dipersiapkannya di luar pentas. Diambilnya remote control dan mengarahkannya ke pintu tempat SINAN akan masuk. Terdengar pintu otomatik terbuka.
ILAU kembali meletakkan remote control di meja. Korsi roda diletakkan pada posisi awal sewaktu SINAN masuk. Dia segera ke luar.
Beberapa saat kemudian masuk SINAN berpakaian lengkap untuk sebuah penobatan raja-raja; mahkota, jubah dan keris digenggaman. Dia marah sekali.
SINAN:
Jahanam! Akhirnya berhasil juga Ilau melepaskan dendam! Ah, biar kumatikan dulu tape recorder itu, agar suaraku jelas didengarnya. (Mematikan tape recorder, kemudian meneruskan marahnya) Kau gagalkan semua! Semua! Semua rencanaku telah gagal! Pelantikan batal! Tak seorangpun tamu yang datang! Makanan berlimpah-ruah tapi sudah busuk semua! Hujan datang mendadak diiringi petir dan angin kencang! Gempa dahsyat dan banjir laut! Tsunami! Untung aku tidak mati! Kemegahan yang kubayangkan ternyata sebuah mimpi buruk! Ilau! Teganya kau memperlakukan aku!
Ilau! Dengarkan aku! Dengar! Hentikan sinisme yang meracuni otakkmu itu. O, jadi kau tidak mau mendengar lagi apa yang kukatakan. Baik! Baik.
(Marah sekali) Apa aku harus membalikkan kursi roda itu ke belakang hingga kepala Ilau pecah membentur lantai pentas yang keras ini! Apa itu mau Ilau, ha! Atau kubakar gitar itu, lalu kucucukkan puntungnya ke mulut Ilau yang busuk itu! Aku tidak segan-segan dan takut lagi melakukan kekerasan pada siapapun!
(Ditariknya korsi roda itu, diguncang-guncangnya, dibawanya berlari berkeliling, kemudian dibalikkannya. Korsi roda itu terbalik, orang palsu itu ikut jatuh bersamaan tumpahnya cairan merah mengucur dari tubuh orang palsu itu. Beberapa saat Sinan tertegun. Dilihatnya darah di lantai. Dirabanya darah itu dengan kedua tangannya dan berlari menjauhi korsi roda.
Darah! (Darah itu diciumnya) Darah atau kecap? (Dicum lagi) Ya, sudah. Darah ya darahlah!
(Dia ketakutan) O,o,o tidak. Tidak. Aku tidak sekejam itu. Terus terang harus kuakui, aku telah banyak berhutang pada Ilau dalam kehidupan ini. Aku tidak boleh jadi kejam. Ya,ya, aku tak akan mengganggu Ilau duduk di kursi itu sampai berapa lama.
(Suaranya meninggi) Tapi sungguhpun aku mengalah, itu tidak berarti aku takluk pada keinginan Ilau! Ilau tidak berhak menghalangi apa yang aku mau. Apakah aku akan masuk ke dunia mistik, dunia politik, dunia lipstik, dunia copstick! Mampus!
(Beberapa saat dia berputar-putar dan suara kembali datar)
Ilau. Sebenarnya aku tidak berniat apa-apa terhadap Ilau. Aku senang sebagai istri. Tapi rutinitas hidup di kota besar ini semakin menjemukan. Untuk mengisi kekosongan waktu, diam-diam aku ikut berpikir tentang kebebasan, kesetaraan dan kata-kata hebat yang tak kutahu seluruh maknanya.
Ilau. Aku hanya seorang perempuan yang ingin menyampaikan pesan. Cintailah kami. Jangan perbudak kami dengan dalih apapun.
Tapi, ah, ternyata akhirnya jadi lain. Aku dirasuk nafsu dengan kata kebebasan itu. Kutinggalkan rumah kita, kutinggalkan kau. Sepeninggal aku pergi, kau lumpuh, dilumpuhkan atau pura-pura lumpuh akupun tak peduli.
Kini aku harus berterus terang. Bukan soal keris, silsilah, mummi, atau pimpinan generasi ketujuh itu yang mendera jiwaku. Tapi ketika kau katakan bahwa aku harus punya anak, di situ aku rasa tertusuk. Menganga sebuah luka, menggenang sebuah sesal.
Ilau, maafkan aku. Aku telah membuang rahimku karena kesetaraan tidak memerlukan rahim. Aku takkan lagi punya anak sebagai risiko dari kesetaraan yang kuperjuangkan.
Kemegahan? O, betapa memukaunya kata itu. Ini. mahkota kebesaranku. Ini jubah kebanggaanku. Ini keris pusaka yang kukeramatkan. (Semua pakaian itu dibukanya an dileparkannya ke sepanuh ruangan) Kini tak ada artinya lagi. (Sinan kemudian berpakaian biasa dengan rambut yang dilepas. Dia tampak sebagai perempuan seperti sediakala menurut fitrahnya)
Ah, Ilau. Betapa tajam matamu menikam mataku saat kita mula bertemu. Nikmat sekali. Tetapi kemudian tikaman-tikaman itu berubah dan menjadi semakin menyakitkan. Aku harus membalas tikaman kata-katamu, tikaman kekuasaanmu, otoritermu. Ya, aku harus menikammu. Karena itu aku perlu sebuah keris. Tetapi, ternyata aku tertikam lebih parah. Tertikam oleh pikiran-pikiranku sendiri .
Lalu, sekarang? Kau sudah tergeletak di korsi rodamu. Aku tak mampu melihat matamu redup tak bermaya. Aku tak sanggup menutup kelopak mata yang terbuka saat kau menghembuskan nafas terakhir.
Kau telah mati maka mati pulalah perjuanganku. Mati pulalah kesetaraanku.
Ilau. Kita akan setara kalau kau masih ada. Tetapi kalau kau sudah tak ada, bagaimana aku meletakkan ukuran kesetaraan? Aku kehilangan rujukan dan perbandingan.
Terdengar suara petikan gitar Ilau, menyanyikan sebuah lagu.
PANGGUNG SANDIWARA
(Achmad Albar)
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran
Berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara
Peran yang kocak bikin orang
Terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang
Mabuk kepayang
Dunia ini bagaikan tragedi dari Yunani
Dunia bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
SINAN mendengarnya dengan teliti. Petikan gitar dan nyanyian itu semakin jelas.
SINAN:
Ilau! Ilau! Suaramu masih kudengar. Petikan gitarmu, oh.. Ah, apakah aku bermimpi? Ilau!
ILAU masuk dengan gitar masih di tangan. Sinan menatap Ilau. SINAN semakin bingung. Dia lari ke dekat korsi roda dan dilihatnya kembali siapa yang telah terbunuh. Dia lari mendekati ILAU dan meraba-raba wajahnya. Wujud! Pasti dia ILAU.
SINAN tertegun beberapa saat. Kemudian marahnya bangkit.
SINAN:
(Berteriak sekuat-kuatnya)
Ilau! Kau benar-benar laki-laki! (Menangis dan memukul-mukul dada) Pencemooh, Tukang intrik, Licik! Busuk hati! Penipu! Berpura-pura! Tapi aku suka!
(Dengan nada gembira seperti waktu Sinan permulaan masuk)
Ilau.. ini aku!
Sinan!
- tamat -
Kualalumpur-Padang, April 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)