Sunday 29 September 2019

SAJAK-SAJAK SILA OMONG-OMONG SASTRA SUMUT - SATU


Puisi-puisi untuk OOS seleksi
Puisi-puisi S Ratman Suras


Subuh


Tabuh Subuh, separo malam yang genting
Dipelintir mimpi dunia dengan segala isinya
Berjubah kesombongan. Melengking riuh dalam sunyi
Aku melata seperti cacing keluar dari humus
Subuh wangi semerbak tak tercium oleh sisa bulan
Yang letih. Apalagi dosa-dosa telah bergumul
Sampai ke telapak kakiku yang kaku
Beribu kilometer kulumuri debu-debu
Batin suci kuciprati angan-angan
Sampai melebihi bayang-bayang badan
Subuh ini, aku merasa letih sekali
Kembali mencari celah cahaya cintamu
Yang mekar bersama bangkitnya matahari

Pondok sei Belutu, 2003-2010


Dzuhur


Langit bening bersih, tak ada sehelai kabut
Di beranda rumahmu aku menikmati keikhlasan
Ribuan sayap malaikat mengepakkan cinta
Matahari tetap membakar dada
Hingga menjalar ke ubun-ubun
Rambutku memutih, pasrah pada pendakian usia
Aku merasa terlepas dari rombongan jemaah
Mencari jalan pulang ke negeri sunyi
Dalam sujud yang tergesa-gesa
Aku mendengar kembali bisikan doa-doa tua
Dunia ini sementara. Negeri sunyi abadi
Pendakianku tak sampai-sampai

Pondok sei Belutu, 2003-2010





Maghrib


Seekor laron yang merayap di sudut mesjid
Memaksaku iktibar. Gemerlap lampu adalah
Gendering nafsu yang bertalu-talu
Dunia suda seperti nenek tua yang bergincu
Dari senja ke senja selalu diburu
Sedikit pemburu yang menangkap kumandang azan
Sebentar lagi laron itu tamat riwayat
Seekor cicak mengendap di balik kaca nako
Maghrib ini terasa sunyi
Sekali

Pondok sei Belutu, 2003-2010



Isya


Malam maasih mengapung di arus sungai cinta
Maha deras, aku layarkan doa-doa sunyi
Lautmu diam menampung segala rasa dunia
Berserakan dari hulu batin yang rapuh
Perahuku oleng melawan arus, jalan pintas
Ke dasar samudra hening

Di luar buliran hujan mementur tanah
Bersama debur langit hitam. Tak ada bintang-bintang
Apalagi rembulan. Semua serba hanyut dalam dzikir
Ada dan tiada. Mahluk tak ada kuasa
Allah kuasa, shafku lurus mencari cintanya

Pondok sei Belutu, 02/010














PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK

MEMBACA TONGGING

Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan. Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:

Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus
dimensi tempat kau terbiasa menari
Abadikan harum aroma tubuhmu:

Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kakimu yang lembut,
bergesekan bilah kaca atau hunus duri
mereguk alir peluhmu:

Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut
memohon diri

Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:

Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari
lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira
yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu,
di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam
hidangan dongeng dan legenda

Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:

Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar
pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari
kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan. Ruap asap jagung bakar,
yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan

Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara
kepentingan dan kebanggaan

Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu
Siang dan malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya
Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam

Pada bahuku yang aduh, engkau pun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air. Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya.

Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian. Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku. Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan.

Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban
Pada bentangan langit paling luas

kuajak kau terbang sambil menyanyikan semesta.
menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:

belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita
arungi semesta, bersama

Medan, 08-10

AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH

/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging

Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan

Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.

Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak

/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!

Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba

Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!


/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010

DO’A SEORANG GURU UNTUK MURID-MURIDNYA

Tuhan,
Dengan bias sebatang lilin ini
Aku hanya berharap jangan padamkan
Cahaya dalam hati kami
Walau rekening sujud belum sempat
Terbayarkan

Tuhan,
aku berharap
Jangan putus aliran rahman dan rahim-Mu
Di rumah cinta kami
Atau jangan bebankan bea denda dosa
Yang berlebih pada tagihan karat hati kami
Sebab, kami masih punya generasi penerus negri ini
Yang perlu disuguhi saluran kasih jiwa
Pada televisi pencerahan
Atau rice-cooker ketabahan
serta deposito ilmu tak berkesudahan

Tuhan ,
Dengan bias sebatang lilin ini
Terangkanlah jiwa-jiwa yang gelisah
Dari hati dan pikiran yang disumbat kegelapan.

Perkenankanlah
Keinginan kami
Komunitas Home Poetry, 08-12
TENTANG POHON YANG MELAHIRKAN DAUN-DAUN
:siboru deakparujar

Dari pohon kehidupan di lapis langit tertinggi takdir telah ditetapkan
bermula dari akar sampai pada pucuk-pucuk dedaunan
tentang pelajaran yang harus kau fahamkan
mencari dan memberi, bukan tersulur
apalagi terkubur. Awal dan akhir.
Sebuah kebijaksanaan Manuk Hulambujati, yang melahirkan Batara Guru, bapak Siboru Deakparujar, berkali-kali berkisah di bawah rindang Tumburjati. Tentang cahaya bintang-bintang yang berkejaran. Tentang pelayan si penyampai pesan
Pada setiap lembaran kisah selalu ada warna, putih dan hitam. Menghindar dan bertahan adalah pilihan yang harus ditetapkan. Seperti Siraja Odap-odap yang rela
lebur demi menjeput cintanya sepanjang gulungan benang tenun sampai memulai tenunan baru. Meskipun berhari-hari, berbulan-bulan, ataupun hitungan tahun.
O, dari langit teratas, tengah, maupun yang paling bawah kisah seperti tak pernah selesai. Laiknya aliran dari cabang sungai yang memeluk muaranya. Menumpuk dan berbagi cerita. Pun bibit-bibit tumbuhan dan hewan yang dimasukkan ke dalam sebuah lodong poting, potongan batang bambu, berisi benih seperti sebuah pancuran yang menebar bibit di rimbun tetumbuhan.
Dan pohon kehidupan itu terus bercabang. Serimbun daun. Tempat burung-burung bertukar kisah tentang langit dan bumi. Dari langit menuju bumi dan kembali ke langit. Kisah yang terus berkembang tentang langkah, rezeki, pertemuan, dan maut. Tentang sebuah kebijaksanaan.
Begitu hakiki. Begitu abadi.
Komunitas home poetry, 2011



DI BAWAH TUGU GURU PATIMPUS

ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraph-paragraf usang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan,
mengekalkan peradaban urban

di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki

bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan


ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara
ke langit terbelah

di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi

Komunitas HP, Medan, 2010
M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Budaya Nasional, Solo,2011. Direktur Komunitas Home Poetry. Koordinator Omong-Omong Sastra. Pengurus PETRA SUMUT,dll. Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi. Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157/ 0618460419. Alamat rumah: Jl. Murai batu e. 10, Kompleks rajawali indah-Sunggal-Medan. Alamat kontak : Taman Budaya Sumatera Utara, Jl. Perintis Kemerdekaaan No. 33 Medan. E-Mail: mraudahjambak@plasa.com. – mraudahjambak@yahoo.com.

Puisi-puisi Ilham Wahyudi

5 Pertanyaan Tentang Kau, Lemari, Kamar dan Rumah

1
Sebenarnya siapa yang lemari tunggu setelah ia kau bawa pulang ke rumah dari toko yang sesak itu dan kau letakkan di dalam kamar yang masih lapang?

2
Masih kau sebut lemarikah ia jika tempat tidur dan meja rias belum juga kau pesan?

3
Lemarikah tempat kau menyimpan sesuatu ataukah kamar kau yang lapang yang menyembunyikan lemari itu dari kau?

4
Kaukah yang merindukan rumah dengan kamar dan lemari ataukah rumah dengan kamar dan lemari yang menemukan kau yang hilang?

5
Akan kau cari lagikah rumah yang lengkap dengan kamar dan lemari setelah kau temukan rumah yang lengkap dengan kamar dan lemari di rumah kau sendiri?

Medan. 2011

Pengrajin Kata

Pengrajin kata itu akhirnya mati
sebelum ia sempat memahat satu kata
yang ia anggap baru (yang ia tuding
adalah miliknya sendiri). Yang paling
mustajab bunyi dan baunya.
Yang ia temui dalam perjalanan
panjangnya menelusuri lorong katakata.

Di tubuhnya yang kaku itu
kini pelan-pelan tumbuh
pohon-pohon kata
yang harum baunya
yang elok bunyinya
yang belum sempat ia semai
menjadi katakata
atau semacam katakata.

“Tapi ia sudah mati. Dan bukankah
yang mati takkan mampu memahat
atau pula menemukan kata lagi,”
kata salah seorang pelayat.

Maka, agar tak menjadi persoalan dikemudian hari
tubuh si pengrajin kata itu pun dibakar
biar tak sempat merimbun
pohon-pohon kata di tubuhnya.

Ah, ternyata orang-orang itu keliru.
Sebab walau pun tubuhnya habis
dikunyah api, burung-burung ternyata
menyukai abu tubuh pengrajin kata.
Dan pelan-pelan tumbuh juga pohon-pohon kata
di tubuh burung-burung itu.

“Lihatlah! Pengrajin kata itu kini bersayap.
Ke manakah ia akan terbang?”

Medan. 2011



Jalan

Jalan yang selalu kau lewati itu adakah ia akan mengingatmu—seperti seorang musuh yang begitu membencimu—ketika kau memilih jalan lain agar
kau sedikit lebih singkat sampai ke tujuanmu?

Lantas, sudikah kau berbagi tahu tentang jalan yang membuatmu sedikit lebih singkat sampai ke tujuan itu kepada orang yang kau sendiri saja sebenarnya juga tidak begitu yakin apakah kau benar-benar membencinya?

Medan, 2011







Buku Puisi

meskipun buku puisi itu kau baca setiap hari berulang-ulang
kau tetap akan menemukan sesuatu yang baru; sesuatu yang
terus menumbuh—apakah itu kebahagian, kesedihan, sebuah
jalan lurus, jalan bercabang, juga segala-gala yang tak terpikirkan
atau yang selalu dipikirkan. Bukankah yang tak terpikirkan
adalah sesuatu yang terus dipikirkan? Begitu pula sebaliknya,

meskipun kelak lembar-lembarnya melapuk dan hancur.

Medan, 2011




Setiap Kali

Setiap kali ia merasa begitu kangen padanya
Ia selalu lupa bagiamana caranya hidup normal dan apa adanya

Setiap kali ia lupa bagaimana caranya hidup normal dan apa adanya
Ia selalu kehilangan orang-orang di sekelilingnya

Dan setiap kali orang-orang di sekelilingnya menghilang
Ia pun semakin merasa kangen; sangat dalam, begitu dalamnya

Medan, 2011



Seekor Kucing, Sisa Ikan, Lelaki Buncit

1

seekor kucing betina yang bunting tua yang kepayahan berjalan yang selalu menunggu kau di bawah meja makan memberikan sisa ikanmu padanya tak pernah tahu mengapa selalu saja hanya sisa-sisa ikan yang kau berikan kepadanya dan bukan ikan segar yang kau beli di pasar ketika hujan deras yang tak henti-hentinya mengguyur kotamu selama sepekan itu

2

seekor ikan segar dari sekilo ikan segar yang kau beli di pasar ketika hujan deras yang tak henti-hentinya mengguyur kotamu selama sepekan itu tak pernah mengira jika sisa-sisa dagingnya yang masih melekat di pangkal ekor dan kepalanya itu akan kau berikan kepada seekor kucing betina yang bunting tua yang kepayahan berjalan yang selalu menunggu kau selesai makan di bawah meja makan

3

seorang lelaki buncit yang selalu ke pasar meski hujan deras mengguyur kotanya ternyata juga tak pernah menduga jika seekor kucing betina yang bunting tua yang kepayahan berjalan yang selalu menunggunya selesai makan di bawah meja makan dan seekor ikan segar dari sekilo ikan segar yang dibelinya di pasar ketika hujan deras yang tak henti-hentinya mengguyur kotanya selama sepekan itu akan mempersoalkan perkara ini hingga menjadi puisi yang tak perlu kau persoalkan


Medan, 2011



















PUISI-PUISI Ahmad Badren Siregar


Tiga Bait

Waktu kutulis sajak ini
aku teringat seorang tua penjual gerabah dan celengan tanah. Saban hari, dengan batuk yang kerontang, ia menunggui pajangannya yang tak banyak berkurang, tentu kian usang. Entah ia memang hanya menanti pembeli yang berjodoh dengannya atau memang tak ada lagi pembeli yang hendak berjodoh dengannya. Tapi kesetiaan dan ‘huk’ batuknya selalu menanti di pulang petangku.
Maka untuknya kutuliskan sebait sajak

Waktu kutulis sajak ini
aku teringat pada seorang perempuan litak yang berjalan diantara gelap, menyinggahi pagar demi pagar. Melemparkan sebutir telur berisi jarum, gelisah menanti seekor anjing melahap, menggelijang dan mati dengan mata terbuka. Entah setelahnya mereka saling tatap dengan dendam atau tidak. Tapi lengking ‘kaing’ anjing malang dan riak gelisah perempuan itu sering bertandang di malam-malamku.
Maka buat mereka berdua kutuliskan juga sebait sajak

Waktu kutulis sajak ini
aku teringat seorang penjaga malam dengan selengkung besi di tangan dan tiang listrik yang berulang didentangkan. Entah memberi tanda atau sekedar menandai waktu. Tapi bunyi ‘ngung’ yang dilepasnya sampai juga ke balik tidurku.
Maka untuknya kutuliskan pula sebait sajak

Medan, 2011-2012
























Sajak Ahmad Badren Siregar



Dogma I

Ia, kata-kata yang bisu
tak jadi sajak di relung kaku
atau
Ia, bait-bait doa yang gagu
tak sempat bernyawa di bibirku

Ia, desis yang sendu
serupa sisa tangis seorang ibu
atau
Ia, suara yang menyeru
serupa jerit begu

Ia, meminjam jiwaku
jiwa yang telah lama jadi hantu
atau
Aku, meminjam ruhnya
ruh yang bertemu maut di tubuhku

Ia, menangisi kematianku
atau
Aku, menangisi kematiannya

Medan, 2008-2012

























Sajak Ahmad Badren Siregar


Singgahlah Ke Tubuhku


Singgahlah ke tubuhku

Tak yakinkah kau
telah kuratakan
rumah-rumah, terminal,
kedai tuak, mall dan pasar
di dalam tubuhku?

karena di tiap sudutku
akan kubangun kota baru untukmu

Kalau kau tak yakin
singgahlahlah ke tubuhku, lalu
ketamlah siang yang tak lekang
biar sudi tanah kerontang
menghaluskan kemarau
pada terik dan angin gersang

Singgahlah ke tubuhku

Tak yakinkah kau
bagimu telah kukhatamkan
kaji rimba hutan, gunung api
liuk sungai hingga luas laut
di dalam tubuhku?

Sebab di tiap gua, cintamu
kubiarkan jadi sufi syahdu mengaji

kalau kau tak yakin
singgahlah ke tubuhku
sulamlah malam pualam
biar para hewan menyusur padang
sambil menatap rembulan
rajutlah musim penghujan
biar kecambah-kecambah
tumbuh dengan riang

Singgahlah ke tubuhku

Medan, 2008-2012






Sajak Ahmad Badren Siregar


Lapuk Nadi

Setelah tunai pembakaran
batang-batang pohon meminjam warna malam
tubuhku yang sisa hutan
mencuri wangi segersang padang
tempat Adam menghirup nafas fana pertamanya
dengan pengap penyesalan:
Akhirnya kita makhluk yang sama
kehilangan rupa Tuhan di akhir percintaan
diam-diam merengek di antara kemarau dan jalan pulang
sedang kenangan tak mungkin diulang
meski pengampunan sesegar ladang tersiram hujan!

Pengampunan?

Kita sendiri bukankah api yang membakar risalah itu?
risalah yang berakar di hutan penyimpan nyanyian nahwan
dan sebuah perjanjian:
Ketika pohon-pohon berbuah, datanglah dengan tengadah rindu
bukan dengan dekap haus nafsu!

Seberapa abad kemudian
kita belum juga tuntas membilas asap di tepian kemarau
jemari dan kaki akhirnya memilih melahirkan rayap
sedang di daging dan tulang yang kian tandus
masih kita pancangkan sisa-sisa arang:
Ada pohon-pohon mati menyerabutkan
akar tunggangnya di latah usia

Medan, 2009-2012


















BIOGRAFI PENULIS



Ahmad Badren Siregar, lahir di Lubuk Pakam, 23 September 1985. Menamatkan Sekolah Dasar hingga SMA di Lubuk Pakam. Setelah itu melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Medan. Aktif menulis setelah bergabung di Teater LKK Unimed. Beberapa puisinya dimuat dalam sejumlah antologi bersama: Medan Puisi, Medan Sastra, Buah Hati Untuk Diah Hadaning, Suara Peri dan Mimpi, Balada Perempuan. Sedang cerpenya pernah termaktup di Denting-Kumpulan Cerpen Koran Medan Pilihan. Aktif pula berteater dan menulis naskah pertunjukan.

















PUISI-PUISI JAMALUDIN
Ah, Aisyah

Lorong ini terasa gelap tanpa canda dan kata tanya kau sajikan
debu gudang tua adalah menuku, senandung malamku tentang kepedihan
saling hantam dalam ruang pengap menu rutinku, darah mengucur dari pelipis
penyedap dalam adonan gairah makanku

terbayang aku saat malam datang. tentang suara kuda pusing tempat
pertama kita berjumpa bahkan yang terakhir kali

kesumat, masih saja kita pahat dalam langkah, tanpa memikirkan siapa korban
dan apa yang dikorbankan

ah, aisyah
kembang desa tanpa pewarna bibir adalah langkah menuju perdamaian
namun semua terasa sia-sia sebab kesumat telah menjadi prasasti molek dalam hati

satu liang sampai dua liang bundaran terpahat di paha sudah menjadi keharusan
tiada rasa sakit terpancar dari nadi

aisyah, adalah harga diri bukan harga mati
tak usah kobarkan kesumat

ah, ternyata aku tau juga rasa rindu, pada ibu yang telah memberiku air susu
dan ayah yang selalu mengenalkanku apa itu batu dan rasa empedu

aku harus lari, dari rindu dan air mata ibu
karna kesumat membara pada lorong pertemuan dan kerinduanku

aku lari bukan aku takut pada kesumat, aku tak ingin kesumat terus membara
dan memberi bunga-bunga pada prasasti ataupun menjelma menjadi darah

Medan, 2011-01-26







Surat Mini Buat Tuhan

Tuhan, kenapa malam ini aku tak bisa tidur
Aku kedinginan tuhan, kepalaku pening
Tuhan, aku ingin menitiskan air mata malam ini
tapi aku takut emak terbangun dari tidurnya

Tuhan, aku taktau harus mengadu pada siapa
kepada anggota dewan
mereka sudah tidur dari pagi kemarin
selimut mereka empuk
bantal mereka lembut
tilam mereka penderitaanku

Tuhan, aku punya pacar
tapi malam ini pacarku lagi marah
karna kemarin aku terlambat memberikan surat untuknya
aku gak ada telepon

Tuhan, aku harus berbuat apa
kalau semua orang tak mau mendengarkan aku lagi
aku mau ngomong sama emak
emak lagi tidur, nyenyak sekali

sst, jangan ada yang ganggu aku ya
aku lagi menjaga emak tidur
aku takut nanti selimutnya terbang
dan dia menggigil kedinginan

Tuhan, besok aku harus berbuat apa
kalau semua orang saling memangsa

Tuhan, kemarin aku menabung
tapi tabunganku perlahan di makan tikus tanah
karna aku menabungnya di dalam tanah

Tuhan, lindungi emak ya
aku mau cari tempat sepi dulu
karna aku mau menangis

Medan, 2011





Panggil Aku Ayah, Nak

Nak,
Panggil aku ayah
Biar kau tahu cita rasa negeri ini

Panggil aku ayah nak
Kelak kau jadi presiden kau
Tak akan pernah lupa
Bahwa di negeri ini masih ada nurani

Panggil aku ayah nak
Sebelum kau jadi presiden
Mungkin kau akan jadi jendral
Maka kaulah yang akan melindungi negaramu

Panggil aku ayah nak
Walau malam tanpa bulan
Kau tetap memanggilku ayah

Nak,
Panggil aku ayah

Sebab kau adalah pewaris budaya
Dengan sejuta makna
Dan sejuta warna

Tetaplah kau memanggilku ayah, nak

Medan, 2012











Buat Istriku
: Neni Sri Mulyani

Dinda,
Malam tadi baru saja kita genggam rembulan
Dan sepagi ini kau telah terbangun
Walau ku tahu mimpimu belum sempurna
Menapaki jejak-jejak
Dan mengeja makna

Dinda,
mari kita telusuri bersama
jejak langkah itu
agar kita rasakan sakitnya terperosok
dan kita bangkit bersama

lalu kita genggam rembulan bersama
dan kita bingkai malam dengan senyuman

Medan, 2012

















Setelah Kau Berkunjung Dalam Mimpi
: Evi

Tak pernah kulihat kau terbaring merintih
Karena jiwamu telah dirasuki bara pejuang

Tak pernah kulihat kau merasa lelah
Karena batinmu penuh semangat yang selalu berkobar

Kau tak pernah berkata bahwa bola matamu
Telah lelah untuk melihat senja
Atau melihat mentari
Bahkan kepenatan

Kali ini aku harus merapalkan doa-doa untukmu
Memandangimu dalam pembaringan
Menaburi wewangian di atas ranjangmu

Mengapa kau cepat memejamkan mata
Tanpa ada dawai penanda
Kau pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal

Kawan, taukah kau tentang mimpi kita bersama
pada puing – puing perhelatan kota
Kita akan membangun kota mungil
Dan mendendangkan lagu kemenangan

Namun, mengapa kau terlelap begitu panjang
Pada mimpi dan janji kita

Selamat jalan kawan
Kau selalu hidup dalam kalbuku
Suatu saat kan ku pahat wajahmu
Dalam kota mungil kita


Medan, setelah kau berkunjung dalam mimpiku 2011







PUISI-PUISI Hidayat Banjar

Sambut Tanganku Sekarang

malam turun bersama pekat
dalam labirin aku tersekat
kereta malam bersipongang
antar api cemburu memanasi dada dan kepala
ingin kusentap tidur lelapmu kekasih
bersama kita terjaga sepanjang malam
halau api ke padang-padang tak dikenal
dan menghanguskan ilalang

manakala pagi tiba
terbebaslah kita dari pekat
ayo kekasih
tinggalkan rumah pura-puramu
tinggalkan nesatapa segera
sebelum senja menyergap gelap
sambut tanganku sekarang
atau tidak sama sekali

Medan April 2009
































Hidayat Banjar

Seperti Adam Saja

seperti adam yang terperangkap khuldi
dan tercampak dari firdaus
melata di muka bumi
rusuk kirinya entah di mana
demikianlah kita disekat dinding
labirin waktu kita jelajahi inci demi inci
mengendap-endap dan tergagap

seperti maling yang mencari mangsa
aku dan kau pun kerap dalam gelap
tergopoh-gopoh menyusun puzel
tak lengakp-lengkap menggambarkan
rumah cinta kita

seperti sangkuriang aku bergegas
menyiapkan perahu cinta kita
tapi cahaya menyaga
buat kita terjaga
dan perahu terbalik
mewajud gunung

kekasih, sebaiknya aku seperti adam
mencari rusuknya yang hilang
meski ratusan tahun berlalu
akhirnya bersua jua

Medan akhir April 2009
























Hidayat Banjar

Waktu Terus Mencair

waktu terus mencair
melumuri benakku tentangmu
menggenang kenangan pada kamar-kamar
yang pernah kita singgahi
pada jalan-jalan yang pernah kita lalui
pada pohon yang dibawahnya kita pautkan cinta
pada malam yang membelam
bersidekap erat tak hendak pisah

kekasih hatiku bukan pualam
masih terasa manis bibirmu di bibirku

waktu tak hendak membeku
menyatukan kenangan
lalu mengepaknya dalam kardus
jadi onggokan sampah
atau bersemayam di rak-rak tua tak terpakai

kekasih hatiku masih merah
dan air kelapa muda
yang berasal dari mulutmu
masih terasa di mulutku

di dinihari ini waktu terus mencair
melumuri jiwaku
melumuri ragaku dengan air kasihmu
pada kamar-kamar aku terus mencari



Medan, 2009




















Hidayat Banjar

Dan Pintu Terbuka

dan pintu terbuka di pagi ini
kulihat diriku begitu terlalu
jiwa yang penuh rasa cemburu
pada apa saja yang mengalihkan
perhatianmu padaku
benar… benar-benar aku terlalu
aku juga cemburu pada pekerjaanmu

ingin kurenggut kau dari aktivitas apa saja
agar selama 24 jam fokus padaku

dan pintu terbuka di pagi ini
ternganga menyaksikan betapa keroposnya aku
jiwa yang tak berjiwa
hati yang tak berhati
logika yang penuh prasangka
cinta yang merasuk dan menguasai
sayang yang melemahkan
bukan menguatkan

kekasih, terlihat jelas aku memang keropos
kekasih, betapa aku takut melihat
diriku seperti ini

Medan, 2009


























Hidayat Banjar

Kita Berserah

bertahun-tahun kita berserah
pada kotak-kotak yang dibangun
tangan-tangan abstrak

bertahun-tahun kita pasrah
seperti pencuri yang resah
hadir di ruang yang tak tampak
berkelebat sekejab lalu lenyap

duhai kekasih
serasa begitu lebar jarak
serasa begitu panjang lorong
persembunyian demi persembunyian
memasung kemanusiaan kita
dalam kotak
dalam kotak
dalam kotak

sepi


Medan, 2009


















PUISI-PUISI SARTIKA SARI

Dari Titi Gantung, Percakapan Kita

mencekal kenangan, di punggung titi gantung
barisan angin diam-diam menguntit
seperti mata srilelawangsa:
berpura-pura pejam, padahal masih terbuka
masih memutar kenangan tentang perjalanan sederhana
pada suatu waktu yang tak pernah menjadi masa lalu
disamping kanan kirinya, bising sepeda motor
jadi pengganti lagu
meninabobokkan

“aku tahu, kau masih mengintip dari jendela
dan sesekali memaksaku menjadi
selembar koran atau bungkus permen
agar bisa menyusulmu ke dalam.”

masih ada separuh jantung rembulan
yang kusembunyikan
sebelum hujan menangisi bapaknya
yang ditawan puluhan kelelawar:
dalam pembicaraan singkat kita, di ujung malam.

balai kota sudah terpejam di balik sarung
batik cokelat oleh-oleh khas yogya
medan, tinggal lapangan merdeka
masih terjaga
lebih baik kau juga tidur, pagi.
Medan, Sketsa Kontan


Suatu malam, di Medan

daun kering mengeriap-ngeriap di badan jalan. gelombang sepeda roda dua, mulai surut. hanya gerobak sate, es kelapa, kacang rebus yang masih menyala. buku-buku sudah terlelap dalam kamarnya. barangkali mereka lelah, berbicara pada pembeli yang selalu merendahkan harga.

masih belum sepenuhnya.
titi gantung masih jadi mulut untuk bercakap-cakap. hei, malam masih kuncup! dan mereka makin seru berdagang perasaan. mengintip srilelawangsa, tubuhnya gigil menahan tikaman angin medan-luar.

debu jalanan masih berlarian.
sama seperti kenangan yang tak henti berloncatan di kepalaku. ketika malam yang telah berlalu itu, kau seruput kedinginanku dengan sepiring sate dan teh botol di depan kantor pos. lalu, kita hangatkan malam dengan perjanjian-perjanjian sekian tahun ke depan.
hingga malam benar-benar malam
kita menenun kamar di rumah-tempat yang berbeda-lewat kecupan separuh bibir rembulan.
Medan, Sketsa Kontan


Mencarimu,
malammalam aku mencarimu di antara rerimbun ilalang, bebatuan, aliran sungai, semak belukar, hutan payau, gunung, lembah, perbukitan, tebing terjal, pemandian, tapi mengapa kau lebih memilih sembunyi di gubuk pelacur, sayang?
Medan, Sketsa Kontan





Tumpangkan Jasadku, Kekasih

menuju kerinduan dalam perapian malam
jejeran embun setuju berdamai, menyeka kebekuan
di sela jarimu

kutitipkan bait-bait kebencian.

“supaya lekas subur bunga emas milik mama, papa
yang saban waktu hidup dari kerikil,
dan disirami air mata kita.”

nanti, tumpangkan saja pada kapal van deuyfken
jasad, tulang belulang, bangkai, belatung
dari tubuhku
biar sampai di negeri orang
jauh dari kenyataan kita, kekasih.
Medan, Sketsa Kontan


(*) SARTIKA SARI. Penulis kelahiran 1 juni 1992 di kota Medan, adalah Mahasiswa Sastra Indonesia di Universtas Negeri Medan. Bergiat di Komunitas Tanpa Nama, Laboratorium Sastra Medan dan beberapa forum diskusi sastra. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal Medan dan nasional serta sejumlah antologi. No.Hp: 087867059863. Email: ssartika27@yahoo.co.id.






Puisi-Puisi Winda Sriana

1. Suara Kaum Marjinal

Kisah telah menuangkan secuil realita
Petuah ironi menyaksikan getir-getir kenyataan
sungguh negeri ini sudah mendera bencana
tapi, tak cukup diam dan leha-leha sambil minum kopi
ibarat ular yang tengah rebahan melilit dirinya

kapan kita jadi makhluk perasa?
tentang kenyataan yang menubir di tiang-tiang kehidupan
dan berjarak dari sekat kuasa
cukuplah bermuhasabah penuh khusyuk di sekeliling kita
dan terlepas dari jebakan penuh kelaziman belaka

Bukankah kita selalu menyaksikan kaum pinggiran seolah patah arang?
disekap dalam ruang kemerdekaan
diam membisu di depan ragam ancaman
mereka menelan pil pahit
dan berdiri setengah jongkok di pergumulan pikiran

jelas sudah dosa kerapkali hadir tanpa bahasa
tanpa permisi
dan kaum pinggiran tetap berada di satu sisi
di tepi yang paling sepi

2. Deli, Kemana Engkau Bermuara


Riwayat yang telah mengikis kisah-kisah
Negara Soumatera Timur, itulah nama negeri kami
dengan hiruk pikuk suara lantang berdegum keras
hingga berlayar ke seluruh dunia
Deli, menjadi saksi bisu sepanjang zaman



Datuk-datuk entah kemana pergi
petuahpun melanglang buana bersama angin
menyusut di barisan pesisir melaka
hinggaplah segala putus asa

Dulu, negeri ini dapat dikatkan surganya Adam dan Hawa
milik raja-raja sultan yang arif berkuasa
rakyat cinta sesama
tiada hina menghujat ke akar manusia


Tapi, itu negeri kami dulu
kini, hanyalah negeri boneka yang dimainkan negeri tipu daya
entah kemana negeri kami
Negara Soumatera Timur berpijak tegak di tanah sendiri
Tanah Deli
tanah yang melahirkan kebudayaan negeri kami
tanah yang melahirkan keindahan negeri kami
tanah yang melahirkan rakyat kami
tanah yang akhirnya menghilangkan jati diri kami



3. Bohong

kau dan aku bukan sesiapa
kita berkenal lewat sajak yang bertajuk bohong
kau pernah berbohong?
aku sering
aku tak tahu kapan bermula berbohong
ingatan kita selalu pendek tentang kesalahan-kesalahan, kan?
tapi, aku hanya mengingat ketika berbohong ada debar yang ribut dalam jiwa

"kebohongan kecil bisa menjadi besar karena jumlahnya yang banyak"
kebohongan tak bisa di hentikan
manusia hidup dengan hidup berbohong

tapi, pernahkah aku dibohongi?
pun juga kau?
ah, rasanya kita tidak akan jauh dari kebohongan-kebohongan
berbohong-dibohongi
kau bahkan tak tahu sedari tadi aku berbohong tentang sajak bohong
atau kau pun pura-pura membaca sajak-sajakku
aku tak tahu
sudahlah, kita nikmati saja dunia kebohongan ini

4. Rendang

Sepi memagut ketika melantunkankan doa dengan seribu harapan
dan kerinduan semakin membuncah
saat merebahkan cinta seiring darah yang telah menyatu
bersama sepiring rendang yang selalu kau sajikan

Ku ingat kau berkata,
Nak, rasakan aroma bumbu ini
telah memanjakan jasmani
lezatnya telah mencipta
menyentakkan jiwa para pecinta
aku ingin kau dan aku bersama-sama memanen dengan nikmat yang berlimpah

Akankah kau gembira memperkenalkannya
kepada kawan-kawan karibmu?
dan patrikanlah rendang akan kau hidangkan kepadanya
adalah sebagai makanan yang terlezat
dan kau akan terus meyakinkannya
bahwa saat kau menyajikan sepotong rendang
adalah suatu kebahagiaan tiada bandingannya

Di atas sana setengah rembulan tersesat di balik awan
bintang-bintang bergelantungan masih setia menghiasi bumi
cahaya-cahaya muncul hanyalah serangkaian pendar-pendar pucat pasih
sementara dari pantulan bumi sebuah cahaya terpantul putih berarak melingkup
saat itu pula ku lamunkan sepiring rendang yang terlahir di ranah minang
Masih terus menerus berdebar dalam detak jantung
Teringat di pangkuan Bundo ada sepiring rendang



5. Ketika Sembilan Wajah Menemani

Sudah 24 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan belum juga sampai
entah berapa kali ku mengeja keluh mereka
sepenggal tanya, bagaimana wajahku?
mungkin pertanyaan itu hanya menggantung di akar abadi
masih ku dengar pula deru nafas pada percakapan asing di bulir-bulir kesah
tapi, tiba-tiba sebutir senyum renyah terpantul di liukan terjal perbukitan
entah senyum siapa itu
aku tak perduli !

sudah 27 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan belum juga sampai
batinku mengumpulkan tanya, apakah kami selamat ?
sungguh, aku tak sengaja menjerat sembilu
ketika petaka menjadi bangkai tulang belulang
satu hingga sempuluh ; menasbihkan riwayat raung kepedihan
ah, mungkin pikiranku sudah pucat pasih
semakin dalam pula tertikam khayal mengerikan

sudah 31 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan sudah hilang dari harapan
bumi kian berwarna gelap
badai melarikan kunang-kunang
genderang tangis hanya terdengar di akar hati
satu hingga sepuluh ; berselimut semangat dan kebersamaan
menggigil di bawah rimbunan pedih ngilu

sudah 41 jam sembilan wajah menemaniku
tujuan hidup menjadi harapan
bergumul waktu menjamah rindu
tentang wajah Ibu dan Ayah meritualkan air mata
“Hati-hati ya Nak!” Petuahnya.
Hingga akhirnya tubuh menjelma harimau
Menembus rimba 54 menjemput nyawa yang tinggal setengah


Biodata Penulis :
Winda Sriana, Mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS,
Unimed. Tengah begiat di KONTAN, sangat menikmati keindahan sastra
sebagai seni kehidupan dan ingin terus belajar, belajar dan belajar
dalam lorong kepenulisan.







PUISI-PUISI WINDA PRIHARTINI
HARUSKAH KITA?

Haruskah kita
Melanglang pagi penuh debu lampau
Mengusap mencari keikhlasan ditimbunan ruang
Pernahkah kau berpikir tentang ini?
Megapa harus kita.

Jalan semakin panjang
Sedang kaki tetap mematung didalam kamar
Menunggu mentari untuk melelehkan akal
Yang membeku sepulangku dari rumahmu
Ya, terserah pergi saja!
Memang harus kita.

Medan - Ranah KOMPAK, Januari 2012


Bunga Merah Jambu
Oleh : Winda Prihartini

Sebaiknya kau genggam kembali bunga yang telah kau lepas,
Sebelum ia dicumbu hitam_putih lalu melayu
Terlilit belati yang mampu menusuk rongga-rongga hati
Meruah kecanduan.

Sebaiknya cepat kau tarik bunga merah jambu
Tak usah segan tak usah kaku
Sebelum rubuh semua jatuh tertimpa pilu
Maka kau tak dapat lagi berguru
Tentang cinta dan rindu.

Tunggu
Oleh : Winda Prihartini

Menegaklah diatas rumput kuningan diruang waktu
Jangan menyerang jika belum kuangkat kertas merah dikananku
Biarkan dia luluh sendiri
Jika tidak, usaplah hitam dari wajahmu
Dan pulang dengan tangan kosong

Tunggu, tetaplah berdiri ditanah yang kau bilang suci
Jangan melangkah kebelakang sebelum kuangkat kertas kuning dikiriku
Setelah itu, tembak dia, tepat dihatinya
Jika kau tak sanggup merayaplah kelubang bawah tanah
Dan pulang dengan kepuasan semalam
Yang tak dapat menghadirkan kepastian.


Medan - Ranah KOMPAK, Januari 2012
Deru Sehabis Fajar
Oleh : Winda Prihartini

Semakin kemari semakin lebam
Tiap kutilik rimbunan dendam
Remuk rupa tak sekawan indah
Lenyap sudah raib juga suka, tak seperti semula

Sehabis fajar makin keras deruku
Sebab mentari akan datang menggunjing diriku, sekarang
Dan burung-burung pun mematuk-matuk
Seolah hidup tak ada luka, tak berguna

Jika seperti itu,
Ku bersembunyi dibalik punggung pintu
Menunggu waktu menjumpai kebebasanku
Saat dimana ku berani membuka pintu
Untuk memungut kembali sisa-sisa kesenangan mereka
Yang akan kusimpan sebagai kenangan
Sehingga ketika nanti aku telah dipinang gulita
Ada pertinggal kisahku dilemari kayu
; seperti dulu

Medan - Ranah KOMPAK, Januari 2011

Dibalik Sehelai Jilbab
Oleh : Winda Prihartini

Saat debar beradu menggenggam bisu
Rujuk pilu tak lagi segan mengunjungi ragu
Seakan tertanam peluru besi
Berat mengisi hati, pedih

Aku butah, tidak!
Aku syetan, bukan!
Aku seorang perempuan
Dibalik sehelai jilbab aku menyelinap
Coba memahami kebenaran kitab
Disudut perih dalam ancaman hidup akhirat

Tuhan
Bukan aku ragu namun aku bisu
Ditengah padang gelap kurasa beku sekujur tubuhku

Medan - Ranah KOMPAK, januari 2011



Biodata

Nama lengkap Winda Prihartini, lahir di Medan pada tanggal 28 September 1992. Alamat Jln. Paku Gg. Siku Tanah Enam Ratus Medan Marelan – Medan. Saya anak pertama dari 3 bersaudara. Beraktivitas sebagai Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Saat ini saya semester 4 FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain itu saya juga bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) yang bersekretariat di Taman Buadaya Sumatera Utara.

Puisi-puisi Syafrizal Sahrun
WAKTU

Adakah yang harus kita bagi dengan waktu
Atau waktu yang membagi-bagi kita

Kita yang mencari waktu
Atau waktu yang mencari kita

Kitakah waktu
Atau waktukah kita

Waktu yang mana yang kita buru
Atau kita yang mana yang diburu waktu

Waktu itukah
Atau itukah waktu

Waktu yang mewaktu di dalam waktu
Atau ….

Bagan Percut, 1 Februari 2012


PERTIKAIAN


Akankah kau menjadiku
dalamku tanpa kau
atau ku menjadiku
kau menjadi kau

kukau jadi ku atau kauku jadi kau

kukahkau bila kauku
atau kaukahku bila kukau



Percut, 20 Januari 2012


DI DIPAN CERMIN


Di depan cermin
Kau kecap sesal itu

Di depan cermin
Kau mengupat dan menggugat

Di depan cermin
Kau remuk foto impian
Lalu kau inginkan waktu berhenti sampai di situ

Kau ingin melangkah menuju pintu
Tapi kakimu tak mampu

Kau mencoba menuju jendela
Tapi jendela telah menjelma tirai batu

Oh, rindu yang kelu tak jua lalu
Oh, rindu yang lalu kini jadi belenggu

Dalam senyapmu
Angin asing masuk dari lubang pintu
Pelanpelan lalu menyergapmu
Memekapmu dan akhirnya memaksamu
Untuk katakan tidak
“Tidak untuk yang tidak”

Dan di depan cermin
Kau angkat mukamu
Kau busungkan dadamu
Lalu cermin itu memantulkan rupa lain masa lalu

Percut, 12 Februari 2012


TANAH KAMI

lalu kami datang menggenggam dendam
berbondong-bondong bak hujan yang lupa kemana pulang
tangan-tangan yang perkasa sudah mengangkasa
sebab tak ada lagi tempat mengadu yang nyata
selain berontak demi hidup layak

di atas tanah yang kaya ada aniaya
sudah sekian lama
lalu kami mau jadi apa
sementara harta ini kami yang punya
di tanah tercinta, kami disiksa
dijajah dan di kebiri hidupnya

kami bukanlah sapi
kami muak terus menyepi
kini sepi menjadi api
dan akan kami bakar sosok lelaki kekar yang kau bayar



Percut, 27 Oktober 2011


HAI !


Hai, perempuan yang masuk dari belakang
Di manakah ayahku
Sekian lama ku sapa mengapa tak pernah menyapa

Hai perempuan yang mengendap-endap dari sudut berkarat
Di mana ayahku
Mengapa kau jadi empedu

Hai perempuan yang melintas
Di mana ayahku
Apakah aku tak layak tahu


Percut, 17 Januari 2012



KETIKA KATA KETIKA KITA

dan lantas aku berkata
kita yang mempermainkan kata
atau kata yang mempermainkan kita

kata permainan
atau permainan kata

permainan katakata
atau katakata permainan
dan kita coba lagi bermain katakata
tapi akhirnya katakata jua mempermainkan kita

mengapa
mengapa ada kata mengapa
setelah kata dianggap binasa

apakah setelah binasa
tak ada lagi kata buat kita

apakah kata yang binasa
atau kita
ah..


TBSU, 3 Februari 2012
Komunitas Home Poetry


BIODATA PENGIRIM


Syafrizal Sahrun. Lahir di Desa Percut/04 November1986. Beralamat di Jl. H.M. Harun No.163 Dusun II Desa Percut Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang Profinsi Sumatera Utara – 20371. Aktif menulis puisi dan esai sastra di beberapa Koran lokal : Analisa, Medan Bisnis, Wapada dan Mimbar Umum. Puisi saya juga di muat dalam Antologi Suara Peri dan Mimpi serta Atologi Cahaya. Bekerja sebagai Tenaga Pendidik di SMA BUDISATRYA Medan, sebagai Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muslim Nusantara dan Bergiat di Komunitas Home Poetry.




















PUISI-PUISI Cut Cahyani
Aku Bukan Siapa-Siapa


Bapak separuh baya berjalan dengan tongkat; made in Indonesia
Menghampiri ibu-ibu yang sedang membongkar-balikan baju monza; made in Korea
Berjalan selangkah selangkah melihat segerombolan anak membawa mainan; made in Malaysia
Gundah hatinya, suntuk otaknya
Sepuluh langkah, ia berjumpa dengan gadis membawa dompet; made in Paris
Disampingnya berubuh gagah lewat dengan jam tangan; made in Swiss
Ku pikir, apakah aku saja yang mempertahankan negara ini ?
Aku berjuang membawa negara ini kemanapun, dimanapun, dan kapanpun
Tapi, tak satu orang pun ku lihat yang mempertahankan negara ini !
Cinta tanah air, kau bilang ?!
Busuk hati mu !
Berorasi hingga suara mu seperti kaleng susu yang berkarat dimakan rayap
kau ucapkan kepada seluruh rakyat “Cinta Produk Indonesia”
Tapi apa ?
Kau malu memakai barang milik mu yang selalu kau umbar-umbar kan !
Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa, tetap bangga memakai tongkat mu
yang telah terkikis waktu hingga akhir hayat ku
Sebab itulah kekuatan cinta ku untuk negeri mu !






Seonggok Daging
Cut Cahyani
Aku lebih murka dari jin dan iblis
Sebab aku yang menghailkan laknat
Aku lebih terkutuk dari patung yang dikutuk
Sebab aku lah sarang jahannam
Aku bagai seonggok daging
Yang siap diterkam, dikunyah, ditelan oleh raja hutan
Sebab aku tak bisa berlari
Untuk lari dari hidup yang liar ini
Hiruk pikuk malam kurasakan
Sebab akulah raja malam kegelapan
Akulah seonggok daging yang terjual oleh malam
Malam-malam yang biasa menmbelai lembut dagingku,
membuat raja hutan tertarik dengan dagingku
Aku ingin diterkam…
Aku ingin dikunyah…
dan sekali lagi kukatakan
Aku ingin ditelan…
Darah menghinggap di dagingku,
Tapi tak apalah
Karna ku terima sekarung uang untuk merawat dagingku
Karna dagingku, adalah laknat untuk mu
Rezeki untuk ku



Realita Sang Boneka
Cut Cahyani
Anak berkerudung putih berlai
Dengan doa dalam jantung
Setiap nafas berkumandang di sela rezeki
Membuat mata teriris sepi
Ia melakoni sebuah realita
Realita yang membuatnya seperti boneka
Boneka yang terpaku dalam kejamnya dunia
Yang menjadikannya kuat bak baja
Tak jarang tantangan datang meradang dan menerjang dirinya
Membuat ia semakin terpaku didalam kejamnya roda
Tetapi ia tetap terbata-bata
Melawan hiruk-pikuk gemerlap ibu kota
Ia bukanlah dewa
Dewa yang berbentk manusia
Ia bukanlah malaikat
Yang selalu suci walaupun cahaya karat
Bila saatnya tiba,
Ia akan terbang mengepakkan sayapnya
Melewati buana negri
Dengan detak-detak nadi untuk sebatas meraih mimpi




Part I

Kau Mati Sia-Sia, Sondang !
Cut Cahyani
Kau mati sia-sia
Tak ada pengaruhnya untuk ini semua
Mungkin mereka tak tau dan tak mau tau siapa nama mu
Baiklah, aku saja yang akan mengucap nama mu
Dengan lantang dan tak gentar membusungkan dada, nama mu Sondang !
Sekali lagi ku ucapkan tanpa mengurangi gerilyawan ku, nama mu Sondang !
Hah, sontak serta-merta mereka menggigil mendengar nama mu
Pucat pasi kulihat air muka, serta bergetar kencang tubuh mereka
Aku yakin, kau menganggap mereka seperti sampah yang tak perlu dipungut
Tetapi terpungut jua hingga menjadi berlian yang dipuja-puji bangsa

Sampai akhirnya, kau merelakan tubuhmu terpanggang oleh panasnya api
yang melelehkan kulit mu hingga aku tak mengenalimu, Sondang !
Dan, lihatlah sekarang mereka si sampah busuk itu tak jua berubah
untuk menjadi sampah yang berguna bagi bangsa mu ini !
Ku tutup lontaran ku ini, dengan mengatakan “Kau Mati Sia-Sia”







Part II

Kau Mati Sia-Sia Sondang !

Heh, si sampah busuk tataplah peti jenazahnya
Lihatlah kulit yang enhitam dari tubuhnya
Sentuhlah permukaan penutup badannya
Kau tak kuasa ?
Dia adalah rakyat jelata,
Tetapi ia dipandang di Ibu kota hingga ke pelosok desa
Sebab dia lah penyelamat Indonesia
Walaupun sekarang tubuhnya tiada
Tapi ruh nya tetap hidup sepanjang masa




















PUISI-PUISI FEBRI MIRA RIZKI
Tunanetra
Merapal mimpi tentang ilusi digambaran hati. Menuang inspirasi ke-segelas kristal bening dengan perlahan, selaksa menyucur asa yang telah dimuntahkan dalam kata. Sang pena mungkin tak sempat mewakili ucap diri, sebab rasalah yang berperan penting mengendalikan tirakat jiwa. Bagaimana mungkin sang pena mendapatkan kesempatan untuk menarikan matanya si secarik kertas? Sedangkan mata penulisnya saja telah mengatup kian tertutup dan larut dalam ketenggelaman gelap yang menyasapnya. Pun, tertunduk dan luluhlantaklah ketegaran itu dalam bingkai elegi yang terbagi menjadi tiga presepsi.

Elegi Pertama,
Aku kerap menyalahkan Tuhan yang menciptakanku penuh kekurangan alias tak sempurna seperti yang lainnya.

Elegi Kedua,
Aku lantas menuduh orang tua yang mungkin waktu aku di dalam kandungan, aku tak mereka jaga dengan sebenar-benarnya, tak diberi asupan gizi yang memadai, hingga ku balita tak jua dibawa ke imunisasi.

Elegi Ketiga,
Aku sangat yakin bahwa alam berperan penting. Mengapa sawah Ayah gagal panen? Cuaca tak bersahabat, kering kerontang membuat keluarga kami melarat. Tak ada kemewahan yang melatarbelakangi keluarga kami. Wajar, bila aku kurus kering, seperti tulang tanpa daging. Merentetlah penyakit yang tanpa henti melanda. Fatalnya lagi, akibat aku bermain super riangnya, hingga tak tahu kendaraan melintas, walhasil aku sadar dalam gulita, tanpa cahaya, meski mata telah terbelalak liar entah kemana.

Akulah si tuna netra. Kini tak lagi kuperdebatkan tentang elegi yang terbagi menjadi tiga presepri, sebab aku percaya,’’ Tuhan tidak akan pernah memberi cobaan kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya. Orang tua tidak akan pernah menyia-nyiakan anaknya dan alam akan senantiasa bersahabat dengan kita, jika kita juga bersahabat dengan alam.

Ini kali kutemukan adanya benang merah yang terajut dan menciptakan ridho dipenghujung pintaku.

Aku terima dengan lapang dada, mungkin ini memang sudah menjadi takdirku dari yang Esa.

Aku yakin, Tuhan punya rencana indah buatku, nanti!


Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012









Sira Merampas Cinta Yang Tertata
Febri Mira Rizki

Kami berkoak dari musim ke masa
memutar langkah susun barisan pasrah
sebab hak asasi kami dirampas paksa
oleh mereka yang mengatasnamakan perintah;

Dalam senarai kebajikan mereka tak terdata
minim iba melumuri raga mereka tanpa rangka
selira kekar menjadi tameng menakutkan
berkacak pongah memandang dan menekan;

Sira yang duduk di sana
mengapa bungkam dalam diam
yang mendekap siang dan malam?
selaksa dihipnotis pada jil yang hampa;

Ah, Negara ini kian berkaca pada matahari
yang sengatnya menggosongkan sanubari;
Begitu pula adanya malam
semua bercermin pada rembulan
yang pendarnya meredupkan angan;

Jatuh Pak, tetes airmata kami
menganak muara di parit pipi
bersebab bahagia mendulang derita
yang tersulam pada deskriminasi;

Habis Bu, airmata kami
karam di laut bisu
bersebab ukhuwah beragama
pecah menjadi puing yang berbeda;

Kami atasnama anak Negeri
masih memiliki sejuta mimpi
agar Bhinneka Tunggal Ika terpatri
nan teraplikasi dalam demokrasi.

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012
Kami, Suara Ditelan Dusta
Febri mira rizki

Ini menjadi etikat pada ejing musim galau
saat teriak adalah modal disuara parau
mengatup dan terpaksa menutup
ditatapan yang semu dan redup;
Tentang pengambinghitaman agama
atasnama benci yang meraja
dari desisan ular berkepala dua
menjadi raja dinyaman singgasana;
Kami mengais di gigir jalan
tentang pertikaian dan pengorbanan
yang terajut diberbagai iklan
nyaris mendepak kami dari zaman;
Adalah alibi bagimu lewat dalil-dalil palsu
akan merangkul kami,
akan mendekap kami,
dan akan mensejahterakan kami,
ingkar saja yang kau siar dalam kabar
lewat toak yang kau koak hingga bertekak;
Kami tetap kau sisih
dengan berbagai alasan dan dalih;
Dalam pertapaan yang berasaskan cinta
kami menyulam asa pada bingkai rasa
agar iba kau luap menjadi tawa
disumringah yang terlukis dalam makna
: hingga melahirkan airmata bahagia
dirona merah jambu yang terekam
dan menghapuskan lembaran hitam;
: kami tetap pulang dengan geram!

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012







Atur Siasat Dalam Niat
Febri Mira Rizki

Dimana nyaman kan kami reguk
jika air pelepas dahaga saja tak terteguk?
Dimana aman kan kami simpan
jika nasi penyumbat lapar saja tak tertelan?
Ketakutan menjadi kutukan
yang sengaja dikirim sebagai kado terindah
untuk kami agar kerap menyicip gelisah;
Kalian tidak pernah tahu tentang luka yang mengeram
dan menggerogoti hati kami dalam diam;
Kalian hanya tahu setiap anak lahir jadi benalu
merugikan Negara sebab mendulang rasa malu;
Ingatlah, kami akan datang dengan tegar!
Tuk membuat kalian bingar dalam selingar
dan berapi-api dibalik raut sangar;
: percayalah, marah kami membakar-bakar!
Kali ini kami yang akan persiapkan jamuan pedih
untuk kalian cecap dalam jiwa yang perih
sebab telah lama kami menahan getir
di atas kuasa yang selama ini kalian setir;
Dalam keselambaan kami bergerak maju
tuk dapat menebas kalian dengan ilmu
biar terbelalak indera kalian dalam bisu
dan sadar bahwa kami anak pemersatu
: yang benci perbedaan menggenang tanah ibu.

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012












Dialog Malam, Antara Aku Dan Tuhanku
Febri Mira Rizki

Tuhan,
Aku menguntitimu diperjamuan kelam
saat detak jam tak lagi bergumul dengan keramaian;
Dentingnya kian melengking
sebab senyap telah merayap;
Di pertigaan malam
saat sebagian orang terlelap
aku malah mengitari hasrat;
Di antara orang yang sujud
aku malah menjemput rebut;
Kan mengerang di pondasi-pondasi
dan etalase kota yang kerap terlena
oleh glamor fatamorgana;
Kelaminku koyak antara malam yang bergerak
terang saja kurasa dunia
siang malam tak ada beda;
Demi seutas makna yang telah kugadai
sejumput rindu yang pecah terberai
dan sebongkah dusta yang penyala asmara;
Kujalani semua dengan tawa
meski luka kian menganga
dan sedih menyemai air mata;
: Aku kembali pada-Mu
dengan topeng masa lalu
dan kubuang jauh-jauh rasa malu.

Ranah KOMPAK, 09 Februari 2012
















BIODATA

Febri Mira Rizki, lahir di Lhokseumawe 09 Februari 1990. Aktif di Komunitas KOMPAK, LABSAS, LRS, WSC, IMABSII dan Pendiri KASTI. Pernah menjuarai beberapa lomba dalam bidang kepenulisan Lokal dan Nasional. Karyanya termaktub di beberapa Antologi Lokal dan Nasional juga media massa. No. Hp: 085261115852 FB: Febri M Rizkisastra E-mail: febrimirarizki@yahoo.com






















*Puisi-Puisi ADLIYA EKA PUTRI

Berbatas Jalan Raya

Kadang aku memimpikan kau datang lagi. Seperti sebongkah rindu yang telah lelah aku tumpuk. Ingatan terlalu jelas, rumahmu hanya berbatas jalan raya dari rumahku. Kita sering bermandikan senyum ketika kedatanganmu secara diamdiam tercium oleh pandangku. Ah, dulu kita masih terlalu fajar. Masih terlalu bening.
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Marelan, Waktu Itu

Kita adalah teman baik. Teman lama. Teman hati yang pada pertengahannya. Awalnya di Marelan, kau sering mengintipngintip keadaanku, bukan aku tak sadar, kau bahkan sering khilaf termenung dibawah pohon depan toko itu sampai aku datang menepuk bahumu, kita saling tertawa. Ah, renyah, aku menyukainya!
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Akhir Februari

Februari adalah kita yang pada pertengahannya berdoa untuk sejati. Dalam waktu yang masih entah. Bisa singkat. Bisa lama.
Kau pernah jadi doa terindah dalam tiap sujudku sebab dalam senyummu terselip ketulusan untuk ibuku, bicara soal ini kurasa kita sudah terlalu senja untuk memaknainya. Letak kasih sayang yang tidak aku saja. Ibuku, aku berbalik, ibumu.
Sketsa KONTAN, Februari 2011


Airmata Awal Shaum

Kita kembali bercengkrama di bilik malam, sehabis tarawih. Ya, kita menuang rindu dalam semangkuk katakata. Lalu aku bertanya tentang diam yang kau bumbui di resepresep sahur kemarin. Bagaimana kekuatanku. Cinta kita yang hambar. Dan pemulangan hati masingmasing. Satu pesanmu yang tak kau acuhkan hingga kini “jangan berubah aku”. Kau kemana di akhir?
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Ayahmu, Cerita Itu

Dan aku tak pernah menerkanerka pertemuan lagi setelah Agustus kemarin. Untuk sebuah jika, aku harus apa, tidak lagi. Sebab hatiku yang seperti kunangkunang sudah mulai tahu tempat. Kepada siapa. Untuk apa.
“ayahku telah tiada, kau masih ingat mengapa?”
Aku terhenyak, lalu bergegas. Airmata jatuh pada pelukan ibumu.
Satu cerita yang masih jelas dua tahun lalu “ayah rindu senyum pencuri hatimu, by.”
Sketsa KONTAN, Februari 2011


(*) ADLIYA EKA PUTRI. Penulis kelahiran 20 Juli 1992 di kota Medan, adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universtas Negeri Medan. Bergiat di Komunitas Tanpa Nama, Laboratorium Sastra Medan dan beberapa forum diskusi sastra. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal Medan serta sejumlah antologi. No.Hp: 085261306131 Email: adeladliya@rocketmail.com












PUISI-PUISI Muhammad Nurul Fadhli

MEMORI SENJA
Senja pun kembali menjelma. Inilah saat yang tepat buat kita merambati sisa kenangan masa silam. Hmmm...jangan bilang kau lupa. “gelang ini sebagai prasasti kita. Jangan pernah tanggal dari tangan kita, ya!” katamu dulu. Tapi kini, masih adakah mutiara dari kisah lalu itu?

Aku juga tak begitu yakin, tradisi ngeteh senja, kala terakhir kita bersua masih kau ingat. Karena camar-camar pelabuhan itu juga tak mencerminkan lagi ceria wajahmu.

Alahai, buat apalagi kutabung rasa penasaranku padamu. Padahal kau pun sudah berpindah alam.

(Rumah CAHaYa Sei Deli, September 2011)




TAK ADA YANG PERCUMA
: para pejuang hidup

Buat apa gerangan deraian air mata itu kau sajikan
Padahal beribu mata sudah menyaksikan segala usahamu

Buat apa kau sayangkan peluhmu yang jatuh
Padahal tiap tetesnya adalah tabungan mutiaramu kelak

Buat apa tumpahan darahmu kau ratap
Padahal kan jadi kolam susu mandimu kelak

Yakinlah,
Laporan Malaikat selalu sampai pada-Nya

(Rumah CAHaYa Sei Deli, September 2011

PULAU KARANG

Sungguh, aku jatuh cinta pada saat pertama kali kita berjumpa
Bagaimana tidak, lekuk rupamu eksotis amboi memesona mata
Kuhirup legenda yang pernah dititip raja-raja dulu yang pernah berkuasa
Pasir putihmu serupa permadani susu dari nirwana
Pantas saja orang bisa lupa balik ke daratan
Sebab nyiur di bibirmu jua tak kalah anggun, apalagi kala diterpa sejuknya angin
Hmmm...

Duhai Barus
Berbanggalah engkau
(Rumah cahaya Sei Deli, November 2011)


KERIKIL DAN KORAL

Marilah kita abaikan kerikil yang berserak
Biar mereka jadi terjangan ranjau bisu
Yang siap mengoyak kaki-kaki bermata lengah
Bak makhluk mungil yang terabaikan
Kerikil juga punya siasat

Bagaimana mungkin lagi kita boleh awas pada koral
Namun tidak pada kerikil?

(Rumah CAHaYa Sei Deli, Oktober 2011)

REFLEKSI MUSAFIR
Sering lupa mungkin bahwa kita hanyalah musafir
Terdampar di perantauan syarat fatamorgana
Lazimnya cuma singgah sebentar saja
Bukan untuk merebah badan dan mengatupkan kelopak mata
Sekali-kali bukan
Bagaimana hendak memetik hasil panen
Bila benih pun tak mau kita tanam

Ayolah, apa yang hendak dibawa pulang kelak ke kampung kita?
(Rumah Cahaya, Januari 2012)



SEKILAS IKLAN PARIWISATA
Maukah kutawarkan sebuah wisata yang paling memesona
Lengkap dengan berjuta kenikmatan di dalamnya
Cocok bagi sesiapa saja
:petualang sejati, peselancar ulung, pencinta keheningan, perindu kedamaian
atau mungkin yang peduli kesehatan
Tak lain tak bukan
: Sholat

Silahkan saja
Coba bila tak percaya
(Rumah Cahaya, Januari 2012)











SAJAK PUTIH-HITAM
Tidak lah putih itu adalah putih bila tak ada hitam
Dan hitam tidak lah hitam bila tak ada putih
Setitik putih di atas hitam tak lah sejelas hitam di atas putih

Putih-hitam
Kan terus tak sering tak sejalan
Mencari takdirnya masing-masing

Putih-hitam
Kan mengalir di tiap ruas kehidupan
Saling berebut untuk jadi pemenang

Putih-hitam
Tak kan pernah berdamai walau mereka saling membutuhkan
(Rumah Cahaya, Januari 2012)






DI SIMPANG EMPAT
Penjaja panganan
Penjaja jasa servis arloji
Penjaja perbaikan sol sepatu
Pedagang aneka buah segar
Pedagang surat kabar
Segerombol pasukan becak
Sekumpulan ojek
Angkutan umum yang sedang ngetem
Siapa yang paling diminati?

(Rumah Cahaya, September 2011)









Biodata penulis
Muhammad Nurul Fadhli, Lahir di Medan, 14 Juli 1985. Alumni F-MIPA Universitas Negeri Medan. Jejaka yang kini menjabat sebagai ketua umum FLP-SU ini telah menghasilkan banyak karya yang sering dimuat pada harian di Medan. Puisi-puisinya terangkum dalam antologi “Medan Puisi” (2009) bersama seluruh penyair Nusantara. Antologi Puisi FLP-SU “NUUN” (2011). Kini bekerja sebagai pegawai swasta di Medan.






















PUISI-PUISI Fitri A.B.
Tentang Kepulanganmu….
Kepulanganmu yang merambat di pelupuk rinduku
Masih saja menjadi nyanyian paling syahdu di telinga langit
Maka pada sajak angin,
Aku selalu temukan rindu sedekat pertemuan lazuardi dan menara Madni Bradford
Seperti sajak rindu yang mulai kujulang di tiap ujung jarum jam kita, sejak kemarin

Di kepulanganmu yang dijaga waktu akan kusyairkan sekumpulan titah
Tentang yang kutunggu dan menungguku di bilik embun,
di antara gerimis dan hujan
di balik jendela yang meranumkan rindu dan di etalase doa....

-2012, Rumah Cahaya, FLP Sumut-

Seperti Katamu
Oleh: Fitri A.B.

Seperti katamu, tiap hujan yang singgah di wajah jendela kita akan selalu menghapus yojana. Pun sejak renyainya, akan ada yang mengingatkan kita tentang daun Maple yang selalu gugur di Nara. Tiap jatuhnya adalah resah yang mengunci diam kita. Selalu. Jika saban rinduku kulerai pada kuntum-kuntum Mussaenda Erythrophylla, kau bisa memunguti aromanya dari beranda rumahmu.
Seperti katamu, esok kita akan selalu meruntun kenangan dari genggaman angin di teluk mata kita. Lalu menyimpannya di tiap ruas jemari kita yang masih merindu gerimis. Kepulangan kita dari temaram ingin yang tak pernah pupus tetap saja lebih menderu dari air terjun Choshi Ohtaki. Maka menungguimu di sekitar purnama malam nanti lebih kusukai dari menghitung jejak angin di kota ini.

-2012, Rumah Cahaya, FLP Sumut-
Itu Milik Kita
Oleh: Fitri A.B.

Sekira masa membuat kita lupa pada jejak-jejak pilu. Adakah sebingkai kenangan kan menautkan kita padaNya. Apalagi bila pintu hati yang kita masuki tak selalu sama. Begitupun jendela hati yang biasanya kita tutup. Sebelum senja terlalu menua untuk kita tuntun. Kalau langkah kita tak segenggam lagi. Bisakah kita bertemu di simpang hidup yang sama. Merantaikan hati dengan ikatan kasihNya. Apalagi kata mereka. Waktu punya simpanan pilu yang tak bisa kuteguk sendiri. Kalaupun ada bahagia menyelinap di alunan darahku. Itu milik kita…

Jogja, 08 Pebruari 2011


Surat Cinta Untuk Cinta
Oleh: Fitri A.B.

Datang saja di detik yang tepat
Usah terlalu cepat…
Tapi jangan sampai terlambat….

-2012, Rumah Cahaya, FLP Sumut-








Ini Surat Untukmu , Ibu
: Ibuku
Oleh: Fitri A.B.

Ini surat untukmu, Ibu. Maaf, kali ini ia beramlop rindu;
“Kemarin, uang disakuku hanya cukup untuk membeli sebatang pena
dan selembar kertas, Ibu.”

Ini surat untukmu, Ibu. Aku menulisnya di rimbun rasa rindu
Itu ruangku biasa menanak angan;
“ Aku ingin mengajakmu berteduh di beranda Ar-Rahiim, Ibu.”
Juga ruangku menidurkan airmata;
“Kalaupun ia jatuh, tiada sesiapa yang mendengar langkah kakinya.”

Ini surat untukmu, Ibu
“Ibu, dengan apa kuganti garis-garis yang terlanjur singgah di keningmu.
Kata hatiku, ia singgah sebab resah yang pernah aku tumpah di pangkuanmu.
Airmatamu yang ranum itu, sering kupetik ia dengan luka;
namun, selalu ia sembuh tanpa inginkan aku terluka.”


Ini surat untukmu, Ibu
“ Tentang kulitmu yang mulai mengerut; dari situ aku mengenal kasih Rabb-ku.
Tentang tawamu; yang masih sesempurna bulan sabit di malam itu;
meski masih saja kau suka menyembunyikan luka di baliknya. “

Ini surat untukmu, Ibu. Maaf, tidak sepanjang surat yang selama ini kau kirimkan untukku;
di doa-doamu seusai melipat sujudmu
“Ini pun pasti tak serupa dengan cintamu yang gemanya menghampiriku
setiap kali aku lelah. Juga tak seperti kasihmu yang kuteguk sejak kubersemayam di rahimmu.”

-Rumah Cahaya, FLP Sumut-



BIODATA PENULIS
Fitri A.B. adalah nama pena dari Fitri Amaliyah Batubara, S.Pd.I. Perempuan yang lahir di Pagaranbira (Padang Lawas) pada 26 Desember 1988 ini hobi membaca, menulis, foto, design grafis dan jalan-jalan. Alumni IAIN SU (2010) ini merupakan mahasiswi semester 2 Pascasarjana Prodi Teknologi Pendidikan di UNIMED dan merupakan Bendahara Umum FLP (Sumut).
Karya-karyanya telah diterbitkan di media massa di kota Medan sejak 2005 hingga sekarang. Karya-karyanya pun terangkum dalam beberapa buku antologi. Diantaranya, Antologi Puisi FLP Sumut ‘Nuun” (Format Publishing, 2010), Antologi Puisi Kasih “TigaBiruSegi” (Hasfa Publisher, 2011), Antologi Puisi dan Cerpen “Rumah Air” (Leutika Prio, 2011), Antologi Kisah Nyata “Scary Moment #2” (Indie Publishing), Antologi Surat Terakhir Untuk Planet Mars #5, Antologi Kisah Nyata Deg-Degan “Ini Bukan Kisah Cinderella” (Format Publishing, akan terbit), Antologi Terapi Menulis (bersama Jonru Ginting) (akan terbit), dll.
Penulis beralamat di Perumahan Setia Kota Melati Blok: XI No: 184 Bandar Setia, Medan- Sumatera Utara, 20371. Di dunia maya ia beralamat di www.facebook.com/embun , syairlangit88@gmail.com dan www.fitriamaliyahdiazura.wordpress.com . Dia pun bisa dihubungi di 0852 6174 7088.








PUISI-PUISI Cut Cahyani
Aku Bukan Siapa-Siapa

Bapak separuh baya berjalan dengan tongkat; made in Indonesia
Menghampiri ibu-ibu yang sedang membongkar-balikan baju monza; made in Korea
Berjalan selangkah selangkah melihat segerombolan anak membawa mainan; made in Malaysia
Gundah hatinya, suntuk otaknya
Sepuluh langkah, ia berjumpa dengan gadis membawa dompet; made in Paris
Disampingnya berubuh gagah lewat dengan jam tangan; made in Swiss
Ku pikir, apakah aku saja yang mempertahankan negara ini ?
Aku berjuang membawa negara ini kemanapun, dimanapun, dan kapanpun
Tapi, tak satu orang pun ku lihat yang mempertahankan negara ini !
Cinta tanah air, kau bilang ?!
Busuk hati mu !
Berorasi hingga suara mu seperti kaleng susu yang berkarat dimakan rayap
kau ucapkan kepada seluruh rakyat “Cinta Produk Indonesia”
Tapi apa ?
Kau malu memakai barang milik mu yang selalu kau umbar-umbar kan !
Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa, tetap bangga memakai tongkat mu
yang telah terkikis waktu hingga akhir hayat ku
Sebab itulah kekuatan cinta ku untuk negeri mu !






Seonggok Daging
Cut Cahyani
Aku lebih murka dari jin dan iblis
Sebab aku yang menghailkan laknat
Aku lebih terkutuk dari patung yang dikutuk
Sebab aku lah sarang jahannam
Aku bagai seonggok daging
Yang siap diterkam, dikunyah, ditelan oleh raja hutan
Sebab aku tak bisa berlari
Untuk lari dari hidup yang liar ini
Hiruk pikuk malam kurasakan
Sebab akulah raja malam kegelapan
Akulah seonggok daging yang terjual oleh malam
Malam-malam yang biasa menmbelai lembut dagingku,
membuat raja hutan tertarik dengan dagingku
Aku ingin diterkam…
Aku ingin dikunyah…
dan sekali lagi kukatakan
Aku ingin ditelan…
Darah menghinggap di dagingku,
Tapi tak apalah
Karna ku terima sekarung uang untuk merawat dagingku
Karna dagingku, adalah laknat untuk mu
Rezeki untuk ku



Realita Sang Boneka
Cut Cahyani
Anak berkerudung putih berlai
Dengan doa dalam jantung
Setiap nafas berkumandang di sela rezeki
Membuat mata teriris sepi
Ia melakoni sebuah realita
Realita yang membuatnya seperti boneka
Boneka yang terpaku dalam kejamnya dunia
Yang menjadikannya kuat bak baja
Tak jarang tantangan datang meradang dan menerjang dirinya
Membuat ia semakin terpaku didalam kejamnya roda
Tetapi ia tetap terbata-bata
Melawan hiruk-pikuk gemerlap ibu kota
Ia bukanlah dewa
Dewa yang berbentk manusia
Ia bukanlah malaikat
Yang selalu suci walaupun cahaya karat
Bila saatnya tiba,
Ia akan terbang mengepakkan sayapnya
Melewati buana negri
Dengan detak-detak nadi untuk sebatas meraih mimpi




Part I

Kau Mati Sia-Sia, Sondang !
Cut Cahyani
Kau mati sia-sia
Tak ada pengaruhnya untuk ini semua
Mungkin mereka tak tau dan tak mau tau siapa nama mu
Baiklah, aku saja yang akan mengucap nama mu
Dengan lantang dan tak gentar membusungkan dada, nama mu Sondang !
Sekali lagi ku ucapkan tanpa mengurangi gerilyawan ku, nama mu Sondang !
Hah, sontak serta-merta mereka menggigil mendengar nama mu
Pucat pasi kulihat air muka, serta bergetar kencang tubuh mereka
Aku yakin, kau menganggap mereka seperti sampah yang tak perlu dipungut
Tetapi terpungut jua hingga menjadi berlian yang dipuja-puji bangsa

Sampai akhirnya, kau merelakan tubuhmu terpanggang oleh panasnya api
yang melelehkan kulit mu hingga aku tak mengenalimu, Sondang !
Dan, lihatlah sekarang mereka si sampah busuk itu tak jua berubah
untuk menjadi sampah yang berguna bagi bangsa mu ini !
Ku tutup lontaran ku ini, dengan mengatakan “Kau Mati Sia-Sia”







Part II

Kau Mati Sia-Sia Sondang !

Heh, si sampah busuk tataplah peti jenazahnya
Lihatlah kulit yang enhitam dari tubuhnya
Sentuhlah permukaan penutup badannya
Kau tak kuasa ?
Dia adalah rakyat jelata,
Tetapi ia dipandang di Ibu kota hingga ke pelosok desa
Sebab dia lah penyelamat Indonesia
Walaupun sekarang tubuhnya tiada
Tapi ruh nya tetap hidup sepanjang masa

















Puisi-puisi Nurhasibah Nasution

Risalah Rindu
Beribu tanya yang kusatukan dalam gumam rindu
Menerawang kisah kelam masa lalu
Mengorek luka yang bersarang di kalbu
Terpaku dalam pandangan nanar
Pada senja yang akan menghilang sepertimu

Entah luka mana yang tersirat di relungmu
Hingga mampu merebut kebersamaan kau dan aku
Saat baru 2 bulan umurku
Harus ku rasai getir hidup tanpamu,
Serta sang ayah yang telah berpulang padanya
Kala aku masih dalam rahimmu

Kini aku telah memaknai hidup yang sesumgguhnya
Namun, Tatkala bahagia hendak singgahiku
Dia yang menjadi ayah, ibu serta nenek untukku
Pergi menikahi tunangan sejatinya

Ibu…
Walau aku tak tahu dimana dirimu berkelana
Setelah 18 tahun tanpa kabar serta berita
Meski semua tak mengharap hadirmu
Namun aku tetap setia dalam bahana rindu
Bersebab yakinku rinduku tak melampaui rindumu untukku


Memoar Hidupmu
Izinkan ku tulis memoar hidupmu
Bersebab perjuangan telah menyelimutimu
Ranjang tua kini peraduanmu
Disaat renta menyetubuhimu

Keelokanmu kini telah hilang
Molek wajahmu diganti keriput tua
Hanya tinggal jasad lemah tak berdaya
Namun sudut matamu masih memancarkan cinta sucimu

Terkenang indah dimasa lalu
Itu cinta,
Cinta yang tak terangkai dengan kata-kata
Tak terhitung dengan angka
Meski senja kini menghampirimu
Cinta itu kan kekal abadi selamanya dihatiku
Ibu…
Jadikanlah aku tongkat disaat tak mampu lagi kakimu berpijak
Ingin ku tahu perjuangan saat kau memapahku kala ku belum bisa berjalan
Jika matamu tak mampu lagi melihat
Biarkan aku jadi cahaya di matamu
Dan kini kau tak mampu lagi bicara,
Izinkan aku jadi suaramu
Seperti saat kau terjemhkan kata-kataku sebelum mampu ku bicara dulu


Sajak Rindu Untuk Ayah
Dalam singgasana luka yang menerjang
Di istana duka yang menghadang
Di antara belenggu duri yang melingkar
Namun,
Senyum masih dapat tersimpul
Tawa masih dapat terutarakan
Dikala jiwa dinaungi kegalauan

Kasihmu, bagai pancuran yang tak pernah mengering
Cintamu,sepanjang jalan yang kau tempuh
Sayangmu,setulus embun pagi yang menyejukkan hati
Kini diriku adalah rerantau
Bersebab terbentang jarak yang memisahkan kita
Ayah,
Dikala rindu ini membuncah di relung hati
ku ingin mematrikan rindu ini di hatimu
Ku titip rindu lewat angin yang menemani kesendirianku
Kala seperempat malam di atas sajadah kerinduanku
Tunangan Abadi
Semua terabaikan!
Menjejaki langkah iblis yang merayu
Meskipun kutau itu duri yang terbentang
Namun,
Rayuan itu ombak !
Ombak yang menghanyutkanku dalam gulungan cinta

Kini,
Tadahan tangan mengharap ampunanmu
Menanti peralihan zaman
Meskipun kemarin aku buta akan indahnya cinta dengannya
Tetapi, kusadari dialah tunanganku yang abadi
Ajalku!


Syahadat Impian
Tergores tekad dalam sajadah hati
Diantara dzikir di reranting impian
Dalam asa yang tersirat dalam hadist-Nya
Menulis sejuta cita-cita dalam kitab-Nya
Yang terukir dalam ayat-ayat-Nya



Kekakuan khayal dalam sujudku
Terbentang harapan diatas firman-firman-Mu
Memohon keridhaan-Mu
Langkah kaki terpusat menelusuri kegelapan
Ribuan jalan terbentang menuju kejayaan
Terkadang terhadang badai yang menggulung
Namun,
Langkah tak pernah mundur
Harapan semakin pasti
Dengan iringan puji untuk-Mu

Syahadat terlukis dalam semangat
Tujuan berpadu dalam lingkaran doa
Mengharap keagungan-Mu
Ya..Robbi
Izinkan kutiti jembatan menuju kesuksesan
Untuk Ayah dan Bunda ku




Biodata Penulis
Nurhasibah Nasution, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNIMED, stambuk 2011. Lahir di desa Simanguntong,15 Februari 1993. Sekarang bergiat dalam komunitas tanpa nama (kontan), Email : nurhasibahnasution@rocketmail.com.






PUISI-PUISI Try Annisa Lestari
Dari Balik Lensa
Dari balik lensa ku lihat wajah negara
Dari balik lensa ku lihat nyata wajah Indonesia
ada yang tersenyum dan mengayunkan tangan
lalu menghilang di balik sekat kaca mobil mewah
ada pula yang tersenyum meringis tampilkan gigi
sengat mentari dari pagi hingga senja setiap hari
Dari balik lensa gedung-gedung menjulang
menggapai langit, lancip membelah awan
Dari balik lensa ku lihat kolong-kolong tua
gubuk-gubuk renta, wajah-wajah susah
Dari balik lensa wajah kecut tersengat matahari
sedang berdiri meminta sedekah karena makan susah
Dari balik lensa para pejabat sikut-sikut
rebut kuasa rebut-rebut harta
lupa negara makan tak pun tak bisa
ini wajah ku wajah negara ku
Sketsa KONTAN, Jakarta 8 Februari 2012


Kurang dari satu kilometer
Try Annisa Lestari

Ada satu cerita yang aku bawa dari Ibukota, cerita tentang jarak langit dan bumi. tahukah Kau wahai sahabat, ternyata langit dan bumi kurang dari satu kilometer. Disana ada Istana negara pusat segala pemerintahan Republik Indonesia, kurang dari satu kilometer di bawah kolong-kolong jembatan jalan raya Ibukota ada warga negara yang terabaikan oleh pemerintah, hidup di bawah garis kemiskinan mengemis dan meminta hal yang biasa. Suara mereka, tangis mereka. Seperti nyanyian lagu kemarin sore, yang terabaikan, yang terbuang yang menghilang tanpa sedikit terngiang dalam lelap malam para penguasa Istana. Wahai sahabat ku yang baik hatinya nyanyikan lah lagu mereka lagu tentang kisah masyarakat bumi pertiwi yang dijajah mati oleh penguasa negeri.
Sketsa KONTAN, Jakarta 8 Februari 2012


Dari Kuta, Jakarta Hingga Medan
Try Annisa Lestari

Langit biru bergelombang pasang
ombak menari-nari cadas di tepian dinding batu
sekilas ku tatap langit serupa langit diatas atap rumah
namun ada yang berbeda dari suara sengau pujian persembahan untuk dewata,
aroma dupa hingga suara klaskson bis kota
sungguh suasana berbeda dari rumah
biar makan lidah kebarat-baratan
biar dialek sok pake Lo, Gue
namun End aku anak Medan
lidah dan perutku hanya satu selera susah di rubah
aku bangga jadi anak Medan
Sketsa KONTAN, Jakarta 8 Februari 2012

Raja Tipu
Try Annisa Lestari

Kau ajarkanku jadi penipu lantas aku jadi penipu
Kini aku lebih pintar menipu dari mu sang Raja tipu
Hai, Sang Raja tipu
Pantas negara ini nergara penipu
Rajanya saja seorang penipu yang menipu rakyatnya
Aku adalah satu diantara orang yang kau tipu
Trimakasih atas bimbingan dan arahan mu
Kini aku siap untuk menipu penipu seperti mu
Sketsa KONTAN, Medan Mei 2011




Mak, Aku ingin Pulang
Try Annisa Lestari

Mak, masih ada sebakul nasi hangat dari padi
yang kau panen kemarin?
masih ada sayur daun ubi yang kau petik tadi pagi
dan masihkah ada secangkir wedang jahe hangat spesial itu?
Oh Mak, aku rindu masakan dari tangan mu
hingga langkah kian gontai tanpa arah
jangankan lantang menantang petang
bertegur sapa pada fajar saja aku tak mampu
perut ku bergendang nyanyikan lagu riang
pikir ku melayang, terbang keawang
Mak, aku mau pulang
hidupku tak tenang di kejar hutang
Sketsa KONTAN, Medan Agustus 2011

(*) Try Annisa Lestari Penulis kelahiran 22 Januari 1992 di kota Medan, adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universtas Negeri Medan. Bergiat di Komunitas Tanpa Nama, Laboratorium Sastra Medan dan beberapa forum diskusi sastra. Beberapa karyanya telah dimuat di media lokal Medan dan sejumlah antologi. No.Hp: 087768164440 Email: tryannisa@rocketmail.com




PUISI-PUISI KHAIRUL ANAM

Pada Malam

pada malam
kupintal seribu zikir
kurapal mantera sihir
berdoa agar Ia segera memanggil

Innalillahi

Awan Gelisah, 20 Maret 2011



Akal Tak Berakal
Oleh: Khairul Anam


Kepada R&S

Angin kehidupan masih setia berhembus di lorong-lorong gelap. Sedang dendam tetap menjadi raja pada rumah yang dibangun dari sebongkah gelisah. Dan kurasa dogma saja tak cukup meretas tali belenggu yang mengikat tubuh dari sebuah kata; lemah

Tak seorang dari kita yang tahu siapa pemenang atas perkelahian tak berdarah ini. Kau, dia pun aku sudah samasama kehabisan logika di diskusi dini hari tadi. Hingga tiba di senja telur angsa kau masih saja menikam akal tak berakal dari kepalakepala besar.

Awan Gelisah, 13 November 2011



Kutunggu Sampai Tuhan Berbicara
Oleh: Khairul Anam

Cukup berdiri saja kurasa
Berjalanpun tak merubah apa-apa
Setelah kebenaran tertikam dipenghujung jalan
Kutunggu sampai Tuhan berbicara

Awan Gelisah, 19 Desember 2011




Balada Kutub Utara
Oleh: Khairul Anam



Kepadamu
yang berbicara mengenai luka yang ganga
yang bercerita tentang hawa di taman surga
yang tertawa kala senja mengulum nestapa

Balada kita sudahi sampai simpang tempat
temu dulu sempat bersetubuh dengan takdir

Tuhan telah menyampaikan firmanNya
tentang benang merah yang berubah hitam
seperti saat dulu pernah kuucap sebelum langkah teranyun
dan bibirmu bertemu senyum
sudahlah,
anggap saja ini balada kutub utara

Awan Gelisah, 10 Desember 2011



Rintihan 17 Ramadhan
Oleh: Khairul Anam



Malam bertasbih pada tuhan lewat keheningannya
dedaun berzikir pada tuhan lewat gerakannya
sedang aku berjalaga lewat tetes air mata yang mengalir di sungai pipi kulit muram
dalam setiap doa-doa yang menghujam batin

Tiada kata yang dapat menerjemahkanmu
sebagai kesempurnaan atas cipta karsa dan karya Sang Maha
bersebab kau adalah jiwa peri abadi bagi keluarga

Akh,, ini hanya secoret rintihan hati anak malang di malam 17 Ramadhan
yang telah lama tak merebahkan kepala di pangkumu

Awan Gelisah, 17 Agustus 2011


Profil Singkat











Khairul Anam adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed. Bergiat di LPM Kreatif Unimed dan sebagai Dewan Perintis di Labolatorium Sastra (LABSAS).














PUISI-PUISI Pertiwi Soraya

Bahkan Cermin pun Berdusta

Bahkan cermin pun berdusta
Mengapa mata menangis namun bibir tertawa?
Dan jika manis syairmu tipuan belaka,
lalu janji madumu bisa kutagih di mana?
Senin duka
Selasa pora
Rabu canda
Kamis hina
Sisanya mana?
Sang dosa terpana
Tak sangka ia terpajang di sana
Kau atau aku yang buta?
Oh, bahkan cermin pun berdusta



Semburat Jingga

Pantulan mentari di pematang sawah kencang mengejar keretaku
Serasa tak rela ku tinggalkan
Namun, hasrat hati segera ia berlabuh di pojok langit barat
Karena ketika ia melukis semburat jingga di sana
Sepasang tubuh kudekap erat
Lalu kuucap
Ayah..Bunda..
Putrimu pulang


Kutanya Kapan Berakhir

Layangnya kapas-kapas tak jua membumi
Terombang-ambing walau ruang tak berbadai

Banyak pati tergantung di dinding
Namun tak kutemui satu di ujung gading

Tak selama ombak mengukir karang
Tak sempat sebuah novel terkarang
Tak sampai selesai ragi menyulam sarang

Namun,
Nasi telah tanak
Kacang kunjung lunak
Santan telah berminyak

Walau waktu tetap menyimak
Meski ruang terus berderak
Namun aku mulai muak

Lalu kutanya,
kapan berakhir?
Guratan mata pena, saat ini bergiat di FLP-Sumut.
PUISI-PUISI Dewi Agus Fernita Ginting
HITAM-PUTIH
:penjaga hati
Hatiku kelu, dingin, tiada rasa. Mati. Kata itu pantas mewakili semuanya.
Kelaknatan, kedurjaan, ketololan, semua telah kulakukan berharap temu pada kebenaran, tapi sia-sia.
Akankah HITAM bertemu Putih? Sungguh keduanya tak pantas disatukan. Abu-abu, tak pantas ada di antaranya. Ia hanya hasil dari sebuah dilema HITAM-PUTIH.
Jika ada yang ragu, hendaklah ia jadi tak pantas jika muncul di antara kita, abu-abu bukan jawaban, tapi masalah baru yang timbul di antra kita.
Sebenarnya akupun sulit melihat betapa tidak adilnya jika kita meniadakanya, tapi aku sungguh tak menyukainya hadir di antra kita.
HITAM ya harus hitam, PUTIH ya harus putih
Ingin kubuat HITAM menjadi kebenaran yang benar, PUTIH hanya bagian dari kebenaran bukan berarti ia benar, bukan?
Akan kubuktikan pada dunia tak selamanya HITAM itu gelap, PUTIH itu terang
Mereka harus melihat apa yang sedang kulihat, mereka harus tahu apa yang semestinya mereka tahu yang sedang mereka tidak ketahui
Dunia mengajarkan tentang bahagia, tapi tidak lupa pula mengajarkan luka. Semua telah ada di HITAM-PUTIH.
Seketsa KONTAN, 2011



MAAF, AKU TAK MENGENAL CINTA LAGI
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting
Tak seharusnya aku jatuh cinta padamu. Rasa-rasanya baru kali ini aku jatuh cinta yang sangat teramat mencintai. Kau buat aku melupakan dia, kau buat aku tertawa, kau buat aku merasa nyaman, tapi setelah semua itu kau malah pergi tanpa kabar. Terlalu cepat aku mengira kau juga mencintaiku. Aku juga tak paham kenapa aku begitu mencintaimu, lebih cintaku padanya dulu. Aku berpikir biarlah kau yang terakhir, namun kau pergi juga. Ahh... tolol benar aku. Sebenarnya aku telah berjanji tak ingin menyesal jika kelak jatuh cinta lagi, tapi kali ini aku benar-benar menyesal.
Aku menyesal telah menjadikanmu penjaga hatiku, aku menyesal telah mendewakanmu, aku menyesal telah mengenalmu. Aku menyesal. Sungguh.
Mengapa dulu kita harus bertemu? Mengapa! Jika hanya meninggalkan luka di hatiku. Tahukah kau hampir setiap waktu aku merindumu, tahukah betapa sakit yang kurasa?
Sudahlah itu mungkin tak penting bagimu. Bagaimanapun hidup harus tetap harus berjalan bukan? Aku akan mencoba menikmati hidup dalam rangkulan luka demi luka.
Jika sekarang kau ada di sini dan bertanya, “mengapa kau mencintaiku?”
Mungkin aku akan menjawab karena aku membencimu.
Jika kemarin kau bertanya, “Cintakah kau padaku?”
Aku pasti akan menjawab, “Lebih dari yang kau tahu. Dan jagan tanya mengapa aku harus mencintaimu.”
Jika esok kau bertanya, “Masih cintakah kau padaku?”
“Maaf, aku tak mengenal cinta lagi.”

Seketsa KONTAN, 28 Nov 2011
*di relung kerinduan



MAAFKANKU MENCINTAIMU
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting
Aku benci dengan semua ini, aku muak. Apa yang harus ku lakukan? Salahkah aku jika memiliki rasa seperti ini, tidak bisa ku bohongi rasa yang sedang mendegupkan jantungku. Andai saja bisa ku padamkan api yang sedang menyala-nyala ini.

Terlalu sucikah rasa yang biasa orang sebut cinta tertanam di hatiku? Aku juga tak mau rasa ini tumbuh, aku tak butuh. Tapi itu bohong, ini semua kebohongan yang ku cipta sendiri. Salahkah aku mencintaimu? Aku tahu, tak sepantasnya kutanam rasa ini sedalam jiwaku, tapi rasa ini yang selalu mengiginkannya.

Bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak sedangkan tiap kali ku pejamkan mataku selalu ada bayangmu, setiap kali aku bernafas selalu terlintas semua tentangmu. Apakah wanita seperti ku tak pantas untuk sebuah cinta? Andai kukatakan pun tentang hasrat hati mungkin kau tak akan pernah paham. Maafkanku mencintaimu diam-diam.

Aku selalu berdoa agar suatu hari nanti kau dapat mengerti tentang rasa ini. Namun terkadang aku merasa malu, masih layakah aku berdoa pada sang yang Maha Agung meminta agar Dia mau memberi cinta ini untukmu? Mungkin Tuhan juga tidak sudi melihat wanita sepertiku. Mungkin juga Ia bosan mendengar semua doa-doa yang penuh dosa ini.

Aku ingin cintaku abadi, maka ku akhiri saja semua ini. Jika Tuhan mau marah, murkalah pada rasa yang mengoda hatiku. Ampuniku Tuhan.
Seketsa KONTAN, 2011






INDAH JIKA DINIKMATI
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting

Dengan segenap jiwa yang rapuh ku coba trus langkahkan kaki
Etetis jiwa rasanya sampai tererupsi
Wejangan demi wejangan ku ingat kembali
“Indah jika dinikmati”

Ahh...
Gila rasanya yang katakan itu
Ubun-ubunku ingi meledak jika ingat kata-kata itu
Sampai kapan aku harus terus begini? Sampai aku mampus?

Fraksi-fraksi otakku hampir meleleh
Entah apa lagi yang terjadi setelah ini
Ranting keyakinanku pun mulai goyah, bahkan dedaunanya pun telah berguguran
Nyanyian kematian rasanya telah mendekatiku
Instingku menyerukan pertahanan
Taklukkan semua tantangan, hadapi semua rintangan
Angkat bendera kemenangan
Seketsa KONTAN, 2011




IJINKAN KU MEMELUK TANGIS
Oleh Dewi Agus Fernita Ginting

Menatap binar ke dalam hatimu
Merenguk sebongkah luka lama yang menganga
Harap lalu kembali ke permukaan,
Mengambang-ambang melaju dalam angan
Memori terindah saat bisa merangkul tangis bersamamu
Namun kini kau memilih bahagia
Dari pada berjalan dalam derai air mata kebersamaan kita
bisakah kupeluk sekali lagi tangis di antara kita?
Agar aku bisa bermain dengan tawa lagi
Seketsa KONTAN, 2011








Biodata penulis
Dewi Agus Fernita Ginting adalah sebuah nama yang di berikan orangtua saya untuuk saya sandang. Saya lahir pada 25 Agustus 1991 dari keluarga yang sederhana dan bahagia. Sekarang saya kuliah di Universitas Negeri Medan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan sedang bergiat dalam Komunitas Tanpa Nama (Kontan). Alamat e-mail saya, dewiagusfernitaginshu@yahoo.com atua no hp 0858 3032 6272.














PUISI-PUISI Satria Jaka Psb
KEAJAIBAN HATI DI KAMPUNG MUHASABAH

Berjalan-jalan mengitari kampung muhasabah
harum dan kenakalan bunga di taman cinta
memanggil datangnya angin asmara
ini suatu keajaiban alam, sayang

Daun-daun dosa telah menguning
menunggu datangnya musim gugur
rangkul aku sayang
bawa menikmati dinginnya malam sunyi
dalam dekapan sajadah panjang
tanpa bebintang dan rembulan, hanya kita berdua
mengucapkan cinta

pandanganku datang dan pergi
menjemput wajah yang sedang bersemi
rayuan lembut angin malam ini
membuatku tak mampu terpejam lagi
ini suatu keberkahan alam, sayang
mari kita teruskan menari di kampung muhasabah ini
sampai dedaunan hijau tumbuh dan bunga-bunga kembali bersemi

Sayang, ini keajaiban hati
aku ingin terus bersama selamanya
menikmati rayuan malam
di pinggir waktu fajar
membawa airmata
di kampung muhasabah
ciptakan bahagia
pelebur dosa dosa yang telah menguning

Rumcay FLP Sumut, Februari 2012

AKU INGIN

Suara-suara ayat terus berdetik
menjamu fajar di taman dzikir
mengalun dalam mimpi yang masih berteman
dalam kelam, dalam ibadah cintaku
Kekasih aku ingin mimpiku berteman cahaya wajahmu
sekali saja, aku ingin meski hanya sekejap
Kekasih aku ingin menjadi dirimu
walau hanya sepercikpun, aku ingin

Berjalan seperti baiknya jalanmu
menerangi setiap jalan sunyi seterang cahaya imanmu
Kekasih, aku merindukan langkahmu di hadapanku
aku ingin mengikutimu ke arah jalanmu
meski telah jauh jarak kita
aku ingin, Kekasih

Setebar senyum ramah itu
aku ingin, menjadi bibirmu
yang lembut dari segala ucapan
meski hanya sekejap saja di penghujung waktuku
Kekasihku, Muhammadku
aku rindu padamu
selalu ingin jadi dirimu
Rumcay FLP Sumut, Februari 2012
CERITA KITA

Di sini kita sudah bercerita banyak tentang pribadi masing-masing
sambil menikmati air kelapa muda langsung dari buahnya,
manis sekali...
tambah lagi angin laut dari samudera luas menghempas di wajah kita
padahal waktu itu aku tak bermaksud untuk bercerita banyak
kini, ya sudahlah.
Di sana kau mungkin juga sedang bercerita perihal pibadi pada orang yang kau pilih
sedang di sini, aku terus bercerita pada pasir
berulang kali menuliskan namamu

Rumah Cahaya, Januari 2012
CINTA DI HARI CINTA

Beranda cinta di dua hati yang salah
menebar kata yang belum berarti sakral
oh, jiwa mengerti kah kau tentang cinta
cinta pada sebatang cokelat
cinta pada setangkai mawar

Manis yang kau berikan hanya sekecap rasa
padaku, pada kekasihmu
cinta

Tak seindah mawar merah berbatas waktu
kau tebarkan satu persatu
dalam satu waktu yang kau sebut “hari cinta”

Aku ingin selamanya,
selamanya kau datang menemaniku
bersama kita; lebih indah di dunia sampai menjadi penghuni surga

Rumcay, FLP Sumut. Februari 2012
Profil Penulis

Satria Jaka Psb adalah Penulis kelahiran kota Sibolga Sumatera Utara. Kelahrian 22 Februari 1989. Sekarang sedang menyelesaikan kuliah S1 di IAIN-SU. Dan sekarang sedang aktif dalam organisasi Forum Lingkar Pena Sumatera Utara

PUISI-PUISI Azizah Nur Fitriana

Andai saja,


Andai saja hati ini bisa bicara
langsung tepat ke hatinya
tak kan ada Tanya
dan kecurigaan lagi
lihatlah hati ini…
betapa bahagia tanpa ada
kata kekasih

Sketsa Kontan
Fb , 19 desember 2011

Dalam Sajak



Dalam sajak aku berkata
Dalam sajak aku bicara
Dalam sajak aku bercerita
Dalam sajak aku bermanja
Dalam sajak aku bertakhta
Dalam sajak aku merasa
Dalam sajak aku mengiba
Dalam sajak aku mencoba
Dalam sajak aku mencipta
Katademikata yang bermakna
Dalam sajaksajak itu
Aku tafakkur merenung
Hidup nan penuh bilur
Menghantam tanpa alur
Hingga aku rembab sungkur

Sketsa Kontan
Syair kehidupan, 20 Desember 2011











Dalam kelam aku menanti
Oleh : Azizah Nur Fitriana

Dalam kelam aku menanti sajaksajakmu tenangkan ruh dan jiwa ku.Dan dalam sajaksajak itu aku tafakkur merenung hidup nan penuh bilur menghantam tanpa alur hingga aku rembab sungkur .”jangan pernah berkata mundur tetaplah selalu tafakkur semoga menjadi penyair termahsyur.” Aku tak hendak semua itu aku hanya melepaskan sesakan kata di jiwa tanpa pernah ingin seperti yang kau lantunkan.

Sketsa Kontan
Berandaku, 20 Desember 2011


Kematian
Oleh : Azizah Nur Fitriana

Jika berbicara tentang kematian
Mungkin tak ada jiwa yang bahagia
Kematian adalah mutlak
di alami setiap insan
bernyawa di alam semesta
Kematian adalah kabar duka
Teramat dalam luka meraja

Sketsa Kontan
Alam imanajinasi, 23 Desember 2011

*Penulis adalah mahasiswa FBS Universitas Negeri Medan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan saat ini bergiat dalam Komunitas Tanpa Nama ( KONTAN)


























PUISI-PUISI Feronika Hutahaean
Tangisan Wanita Malam
Kau bayar tubuhku dengan uangmu
Tanpa peduli dari mana kau mendapatkannnya
Aku bayar tubuhku dengan uangmu
Tanpa peduli apakah istri, anakmu tahu hal ini
Ini kulakukan karena akulah tulang punggung keluargaku
Ayahku sakit, ibuku sudah tua, adikku banyak semuanya masih kecil-kecil, sedangkan aku adalah anak pertamanya
Kami keluarga tak mampu, bahkan untuk makan saja tidak sanggup
Aku hanya lulusan sekolah dasar
Bukannya aku tak mau mencari pekerjaan yang lain
Tapi telah kucoba, namun tak seorangpun menerimaku serta memberiku kesempatan
Apakah memang aku adalah orang yang tek pantas untuk diberi kesempatan?
Katanya aku tak mampu melakukan pekerjaan itu
Padahal kalau mereka menerimaku, aku akan belajar untuk lebih baik
Bekerja dengan ikhlas dan sukarela
Aku tak pernah meminta dilahirkan kedunia ini
Tetapi mengapa aku dilahirkan jika hanya untuk menanggung semua ini
Diam...
Kuterpaku dalam kebisingan kota Medan
Sungguh kejam, tak mau memberiku kesempatan
Apakah memang ini adalah takdirku?
Apakah pekerjaan malam ini adalah takdirku?
Beritahu aku agar kumerasa lebih baik
Jika memang ia maka aku akan menerimanya sampai akhir hayatku
Tapi kalau tidak tolong aku, bantulah aku keluar dari pekerjaan ini
Karena aku juga tidak mau berlama-lama disini
Aku capek, jenuh, bosan dan sakit
Bantu aku, beri aku jawaban yang pasti



Sajak Rindu Untuk Ayah
Butiran air mata kembali membanjiri pelupuk mata
Meninggalkan bekas kepedihan yang teramat sangat dalam
Bersebab kerinduan yang kurasa tak tertahankan
Ingin berjumpa denganmu dialam baka
Ayah...
Seuntai kata kurangkai untukmu hari ini
Sebagai pesan bahwa aku sangat merindukanmu
Berharap engkau akan datang menemuiku bersama senyuman hangatmu
Kusediakan pahatan wajahku untukmu
Sebagai kenangan yang kau bawa kealammu nantinya
Datanglah ayah, dengarlah jeritan orang yang sungguh merindukanmu
Nasehat dan tutur bahasamu yang lembut
Membuat aku haus akan kehadiranmu
Kepergiannmu sungguh sulit untuk kuterima ayah...
Aku belum bisa merelakan semua ini
Karena bagiku engkau terlalu cepat pergi
Padahal banyak yang ingin kuceritakan untukmu
Bahwa aku sungguh mencintaimu dan aku belum sempat mengatakannya padamu
Melalui sajak ini, aku beritahu bahwa aku mencintaimu
Sampai akhir hayatku engkau takkan pernah pudar dalam relung jiwa




Rasa Yang Hilang
Pergilah...
Jangan kau datang kembali untuk mengungkit masa lalu
Karena bagiku engkau hanyalah masa lalu dan tak perlu kau kembali
Tahukah kau, ketika kau pergi meninggalkan aku, aku terpukul, menangis dalam diam adalah hal yang selalu aku lakukan ketika akan tidur
Tetapi kini, setelah aku bisa melupakanmu engkau malah datang dengan membawa sejuta penyesalan
Maaf, aku tak mau menjalani hidup denganmu lagi
Sebab aku tak mau tersakiti untuk kedua kalinya hanya kerena seumbar janji
Suatu hal yang harus engkau tahu, bahwa aku juga bisa hidup tanpamu
Walaupun memang harus kuakui bahwa aku mencintaimu dan takut kehilanganmu
Ingatlah semua telah berlalu dan menjadi masa lalu
Tak ingin aku kembali merajut kasih denganmu
Sebab, luka yang kau tanam sudah terlalu sakit hingga meninggalkan bekas
Takkan terobati walau engkau datang kembali
Cukuplah sudah kisah ini
Jika suatu saat kau temukan wanita yang mencintaimu
Janganlah tinggalkan dia terlalu lama dan berilah dia perhatian, kasih sayang dan cintamu seutuhnya
Karena kehilangan orang yang kita cintai adalah hal terberat ketika menjalani hidup ini



Ijinkanlah (Sebelum Aku Pergi)
Cinta...
Sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini
Ijinkan aku mengungkapkan isi hatiku padanya
Sebab aku merasa ada cinta yang tulus untuknya
Aku merasa bahwa dia adalah orang yang paling tepat untuk mendapatkan cinta ini
Sebelum mata terpejam untuk yang terakhir kalinya
Ijinkan aku memeluknya
Merasakan kehangatan dan kenyamanan gelora sukma
Andaikan aku bisa hidup lebih lama lagi
Aku akan menjadi orang yang paling bahagia
Namun, apalah daya tubuh ini tak mampu untuk bergerak
Mata ini semakin lama semakin ingin terpejam
Dia adalah pujaan hatiku
Walaupun aku sudah pergi, aku akan selalu mengingatnya


Jangan Tinggalkan Kamu (Bunda)
Tak pernah kau berharap budi balasan dari setiap pengorbananmu
Kasih sayangmu selalu kau tebar
Doa selalu kau lanturkan
Kuingin kau tahu aku sangat mencintaimu
Maafkan aku telah membuatmu terluka
Tapi, itu bukanlah aku sengaja
Kumohon janganlah tingalkan kami
Sebab aku tak mampu hidup tanpamu
Kesetiaanmu sungguh luar biasa
Tak dapat diukur dan tergantikan






Biodata penulis
Nama saya Feronika Hutahaean kelahiran tahun 1992, untuk saat ini saya berstatus mahasiswa, jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Medan, semester 4. Saya anak kedua dari lima bersaudara. Menulis adalah suatu hobby saya karena dengan menulis saya merasa lebih baik serta mendapat kepuasan tersendiri. Saya tinggal di jalan Durung No. 217, Medan. No. Hp : 082162400167. Beberapa karya saya sudah dimuat di media massa dan juga dibukukan.


Puisi kesuma wardah
TIK TOK
Tik tok
Begitu kau takuti ku
Tik tok
Sekali lagi
Tik tok
. . . .
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un


PUSAKA
UNTUK SULAIMAN SAMBAS

Terpingit apit.
Tak peluang celurit menyungkit.
Terumbar pusaka ku
Menjalar terjal menggerogoti ku.
Sampai ke titik nadir.
Pusaka ku terumbar
Menari tari nyanyian hati
Lincah memcacah alfabeta
Sulaiman sambas
Pusaka kini dan nanti


JERITAN TROTOAR

Aku muak.
Aku jijik.
Aku menjerit
Belia.
Dia sangat belia saat tubuhnya harus hancur diatas ku. Trotoar
Menjaja Koran.
Menentang matahari
Melawan dingin pedang malam
Woi….
Kemana kalian yang berkoar-koar untuk anak bangsa?
Woi….
Kemana kalian yang mengatasnamakan jalanan untuk jalan menuju singgasana
Aku muak
Aku jijik
Melihat wajah kalian terpampang besar menggelegar
Tapi kalian tak tau ajar
Menitipkan beban diatas trotoar.


ANGIN

Membelai indah menari seiring irama.
Merasuk lembut ke dalam jiwa
Mengalir bersama darah
Membuat ku ingat pada Mu
Aku terbuai terlena ddan hanyut
Daloam kehalusan cinta Mu
Biar, biarkan angin ini terus berhembus
Hingga raga tak lagi bernyawa.



























PUISI-PUISI Dewi Chairani
Tenanglah kawan, ini jalanku
Tenanglah, kalam semangatku masih banyak
Kalau ku mau, tinggal ku urai semua
Senyumku pun masih kan sama
Meski onak semakin menyemat jiwa
Cukup kau saja yang tau
Agar gelisah tak membenak mereka
Ku percaya ini jalanku
Hingga mampu ku lewati semua
Dan temukan panorama indah disana

Dalam Bayang Hujan
Ia bersembunyi dalam bayang hujan
Pun menyimpan segudang misteri
Mengalunkan seribu harmoni
Ku tau, Kau sedang menunggu kata-kataku
Saat ku menengadahkan tangan
Meminta penuh harap padaMu
Dengan sejuta kisah yang telah kau simpan
Telah dan akan berlalu
Pintaku, semua adalah yang terbaik dariMu

Aku, Api dan Angin
Senyap ku tanyakan pada angin
Apakah aku sedemikian acuh
Kau malah bilang ku terlalu sentimetil
Aku pun tersenyum kecut
Hatiku terbuat sama seperti manusia lainnya
Dan kau pikir apa?
Aku pun merasa dan kadang berduka

Api dengan gagah berkata
Kau itu kuat
Ingat saat kau bisa pecahkan karang masalah teramat keras
Ini baru ujian kecil, kau sudah layu
“Kau” bukanlah kau
Kau itu panas dan pemberani, seperti aku
Dengan angkuh api mencoba meyakinkanku
Ia berlebihan, tapi memang terselip kebenaran
Didalamnya.

Aku, Api dan Angin #2
Hidup ini sebentar, makanya tak perlu lama kau menyesal
Ambil jalan terbaik untuk ditempuh
Hitam dan putih memang selalu menyapa
Selama yg kau buat sesuai dengan perintah dan tetap jauh dari laranganNya
Akan ada hikmah terbaik yang tersembunyi didalamnya.
Lanjut api kemudian


Diatas Sampan Kehidupan
Izinkanku kayuh sampan dari tepi
Ku ingin nikmati panorama ini
Lebih lama lagi
Biarlah letih
Yang ku ingin hanya puas diri
raih keseimbangan sejati
Sembari menempa diri
Diatas sampan kehidupan ini



Penulis : Thilal Fajri, nama pena dari Dewi Chairani. Bergiat pada komunitas menulis FLP Sumut, aktif dalam meliput berita tempat ia bekerja, dan menulis di beberapa media lokal.

Puisi-puisi YS Rat

KISAH BURUNG TERAKHIR

Seekor burung menyeberang awan
mencari belantara kesekian
putus asa
bertemu matahari belaka
memanas tembok-tembok lapis kaca
di atasnya melepas lelah dengan kicauan
angin melemparnya ke langit tak bermusim
seekor burung lunglai mengepakkan sayapnya

Seekor burung menjadi bimbang
mencoba memburu bulan
sia-sia
terjerembab ke laut ganas
memasrah nasib sampai tepian berkilau pasir
gelombang menggulungnya ke muara sunyi
seekor burung kicaunya tak terdengar lagi

Seekor burung dikabarkan hilang
adalah burung terakhir

15 Maret 2010, Medan


SAJAK NAMA, TANGGAL LAHIR, ALAMAT, PENDIDIKAN,
NAMA ORANG TUA, SURAT KETERANGAN
DAN SEBAGAINYA

Adalah tangga
papan emas
paku emas
ke bulan emas


DI LAUT INI

Ombak tetap setia membasuh pantai
tak ada gelisah tampaknya
di laut walau badai tak berjarak
dari catatan purba
tentang persetujuan abadi
diam-diam aku bertanya
kapan ombak menjelma
kapan pantai menyatu
bercumbu pada diri
hingga laut begitu tenang riaknya
kita tak perlu berenang
melangkah saja di atasnya
ah,
diam-diam masih juga kutanya
perkelahian kapan hentinya
di laut ini
Allah

1989-2009, Medan












----------------------------------------------------------------------------------------
YS RAT lahir di Medan, 8 Agustus 1962. Puisi pertamanya dimuat di Rubrik Abrakadabra Harian Waspada Medan tahun 1980. Pasca puisinya berjudul Perkututku Perkutut Urakan, penjaga gawang Abrakadabra (saat itu), AS Atmadi, menjulukinya Perkutut Urakan. Aktivitas bersastranya pun melebar ke surat kabar terbitan Aceh dan Jakarta. Sebagai penyair sekaligus deklamator, membacakan puisinya pada acara Temu Budaya Nasional 2000 di Taman Budaya Makassar, Sulawesi Selatan dan Pameran Pekan Seni Sumatera 2005 di Palembang, Sumatera Selatan. Menempuh pendidikan ibtidaiyah, SDN Teladan No 76 Medan (sekarang SDN 060870), Pendidikan Guru Agama Al-Washliyah Pulo Brayan Medan, Madrasah Aliyah Negeri Medan (sekarang MAN I) dan Fakultas Hukum Universitas Amir Hamzah Medan.

Sajak-Sajak Suyadi San :
Degup Kotamu Menikam Kenangan \1


Bungur Asih ceria menatap matahari
dan degup jantung kotamu pun menikam sejumlah kenangan
terekam sudah jejak di sini
melewati sunyi
menyingsing harihari
kini akan kembali menelusuri kampung halaman
alahai, lagulagu lama di Tunjungan membuncah selayak impi
padahal di Paviljoen itu aku mengurai baitbait almanak kisah kita


(surabaia, kamis 5 agustus 2010 pukul 08.50 wib)




Degup Kotamu Menikam Kenangan \2


baru saja kulewati malammalam sepi
meski gemerlap kotamu menikam sejumlah kenangan
di Genteng Besar sudut Tunjungan,
kusulam bingkaibingkai Paviljoen
jejak Sahid - Genteng Kali melengkapi deret bongkahan penantian
dan meniti jalan sunyi ini


(bandara juanda surabaya, 5 Agustus 2010)



Di Antara Halimun dan Kabut


/1/
halimun atau kabut asapkah yang kulihat pagi tadi
memasuki kotamu tibatiba jiwaku ikut berkabut

/2/
dan bus pun merambat
kotamu membawa sejumlah kenangan
salam sepuluh jari tambah satu kepala
sampai jumpa pada perhelatan berikutnya
aku menyusuri jalan sunyi itu

/3/
hujan mengantarku pulang
rembesannya menambah kelam malam
smsku tak kaubalas
sempat hatiku cemas


(pekanbaru, 12- 14 juli 2010)

Biodata:
SUYADI SAN lahir di Medan 29 September 1970. Biodatanya tercantum dalam Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000). Dunia tulis-menulis digeluti sejak mengasuh majalah dinding sekolah, lalu mengirim tulisan berupa berita, reportase, cerita pendek, esai, dan sajak ke SKM Demi Masa, Harian Mimbar Umum, Analisa, Waspada, Bukit Barisan, Garuda, Medan Pos, Portibi, Andalas, Republika, Seputar Indonesia, Lampung Post, SKM Taruna Baru, SKM Bintang Sport dan Film, SKM Swadesi, serta Majalah Sastra Horison dan Majalah Gong.
Sejumlah puisi, naskah drama, dan cerpen termuat di dalam buku-buku antologi : Puisi Koran Sabtu Pagi (SSI, 1993), Bumi (SSI, 1994), Dalam Kecamuk Hujan (KSK, 1997), Jejak (DKSU, 1998), Indonesia Berbisik (DKSU, 1999), Tengok (Arsas, 2000), Muara Tiga (Dialog Utara IX Medan, 2000), Sankalakiri (Dialog Utara X Thailand Selatan, 2003), Amuk Gelombang (Star Indonesia Production, 2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan, 2005), Jelajah : Kumpulan Puisi Ekologis (Valentino Group, 2006), Medansastra (Dewan Kesenian Sumatera Utara, 2007), Urban Enam Penyair (Laboratorium Sastra, 2008), Tanah Pilih (Pemprov Jambi, 2008), Akulah Musi (Dewan Kesenian Sumatera Selatan, 2011).












SAJAK-SAJAK NINA ZULIANI
CATATAN TERTINGGAL TENTANG SAHABAT MASA KECIL


Ketika hitungan malam tinggal satu-satu
Kita tatapi kenangan indah berpigura
yang membuat rindu kita tersusun rapi
dalam rak-rak khayal masa lalu


Pun telah kita catatkan rasa di sela-sela rindu yang membubung
Kita pahatkan nada-nada cinta yang tak sempat terukir pada pertemuan waktu lampau
Kita pastikan pada dunia bahwa rasa itu telah ada dan kan tetap ada


Dan kita sama termangu
Menanggung rindu


(Juni 2010)


DATANGLAH PADAKU

Datanglah padaku dalam hitung harimu
Setelah lelah jalan jauhmu menyibak sesak
Ketika wajahmu lelah menenteng sepatu pudar karena waktu

Telah kusiapkan sepoci teh hangat umtuk mengaliri darahmu yang pekat
Kembalilah dalam dekapku
akan kita hapus bersama tetesan peluh disetiap garis rona
wajahmu yang menggurat ragu

Kembalilah padaku
Kala jalanmu terseok menelusuri jalan tak jelas arah
Orang-orangpun tak lagi bersorai, dan kau melangkah lunglai
Kalaupun tak kau tating piala yang kau kejar
Tanganku akan terbuka lebar menyambutmu

Ada sejuta senyum kusembunyikan di sudut pintu

Telah kusiapkan matras perseprai putih untuk kau baringkan
punggungmu yang lelah menahan amarah dan janji yang tak terjawab
Datanglah padaku
Ketika sekelilingmu menambah sesakmu
Telah kutabur sejuta mawar yang di tiap kelopaknya kutuliskan kata cinta
di sepanjang jalan yang biasa kau lewati
Agar kau tak ragu ‘tuk kembali


February, 02, 2010.





SAJAK-SAJAK HERNI FAUZIAH

SIANG YANG GELISAH



ketika harus melewati
jalan yang berliku

dari kejauhan kabut menyeruput pandangan
panorama alam sekilas hilang

namun
sekali belokan
terlihat rumah puisi di sudut jalan
antara Merapi dan Singgalang

aku terdiam
teringat kegelisahan beberapa hari silam
ketika melintas di kelok sembilan
tertumbuk pandangan
setumpuk teknologi menentang alam
tiang-tiang berpancangan
menancap dalam

kutelan harap
semoga abadi alamku sayang


Aie Angek, 4 Juli 2011


KEPADA CHAIRIL


Ril,
tahukah kau
hari ini kata menjadi tak bermakna

teriakan-teriakan mahasiswa
di sudut-sudut kota
sepi pendengar

dari balik jendela angkutan
ku dengar suara gerutu
"percuma kalian berteriak"

Ril,
dahulu, belum lama kau pergi
rombongan mahasiswa berteriak
turunkan harga
pedagang tukang rambutan
turut bersama mahasiswa berjuang
meski hanya menyumbang seikat rambutan saja

Ril,
siang tadi
tepat pukul dua belas
matahari sedang tinggi
di simpang perempatan serombongan mahasiswa
berteriak tentang kebenaran,
tapi
siapa perduli

suara-suara gerutu menggema
di tengah kemacetan

Ril,
perjuangan belum selesai
mereka tidak mengerti arti 4-5 ribu nyawa
rakyat miskin bertebar d- mana-mana
korupsi merajalela

Ril
di tengah kemerdekaan ini
kami ingin
semangat tuan hidup kembali






SAJAK-SAJAK NINA KH PASARIBU
NEGERIKU, IBU


Bu
Pada siapa ku mengadu
Tentang negeriku

Bu
Pilu hatiku
Saudaraku tak pernah tahu
Apa itu ilmu

Bu
Bagaimana mungkin ku pergi
Jauh merantau dari negeri ini
Rakyatku masih terseok-seok
Masih jauh terperosok

Bu
Pernah ku dengar meski samar-samar
Negeri orang sudah lama mengangkat layar
Jauh terbang ke angkasa

Bu
Bagaimana caranya
Agar saudara kita
Tak lagi buta aksara






ANAK-ANAK BERSERAGAM


Kerikil ku hempas dari balik sudut kota
Tak sengaja mataku menangkap anak berseragam
Koran di tangannya
Untuk melepas sedikit dahaga

Dari sela rawa anak berseragam pula
Menghisap benda yang nikmat katanya
Tak lama ia menggelepar
Kelu, pedih hingga tak bernyawa

Dari sudut gedung megah
Orang-orang yang juga berseragam
Buah jengkol menyembul dari balik jasnya
Tertawa bahagia, tak peduli apa yang terjadi di luar sana

Anak-anak berseragam
Masih bertebar di balik sudut kota, tak sekolah






Puisi-puisi Teja Purnama
Halte

tak ada waktu di halte ini
cuaca meracau kacau
seperti mabukku
lumuri mimpi ke dada perempuan
lalu kujilat kujilat lagi
dengan lidah kelabu lambai siapa di simpang itu
menawarkan alamat tak pernah ada
dalam sejarah?

di kamar biru itu
di atas ranjang jingga
entah berapa lama kita lupa bernafas.
main facebook sambil nyabu.
taruhannya,dosa dan pahala
yang sempat kita tabung
sebelum tamat sekolah menengah
sesekali kita memandang ke luar jendela.
membaca mendung kaburi senja,
mencari arti bisik di kamar sebelah.
betapa nyaring nafas kita!
“jangan berisik. mereka tak pernah bermimpi,” ujarmu
seraya menendang zakarku yang membuatmu
mengandung mendung.
“aku gila bau rambutmu, aku ingin gigit kupingmu,
dan membiarkan nafasku menyanyi di dalamnya,” ringisku.

taksi! taksi!
antar aku ke alamat tak ada dalam sejarah!
lalulintas ini semakin mengganggu.
traffic light mengepulkan kabut.
bocah-bocah main alip jongkok di jalan
menunggu ibunya yang lelap
memeluk tiang reklame
susu anakmu.

Llka jadi jam
di tugu kota.


Anak Sorga

jangan menangis lagi, mama.
dia hanya bermain di ranjang gelombang
lalu tertidur dalam perjalanan ke sorga.

betapa lincah lelapnya.
Bbrlari-lari di laut, melejit
jejaki awan, melompat
berguling-guling girang, seketika terkejut
lalu tertawa geli melihat
papa berlagak badut tersangkut
di kabel listrik.

“mama, aku terbang
ke pulau penuh balon dan pohon apel,”

ia terbangun di pangkuan bidadari
yang sering kau ceritakan padanya
di malam-malam kantuk.

kalau rindu,
pandanglah waktu
yang tak pernah berdenyut
dalam keabadian.

katakanlah, mama
sebilah pisah di dada berdebur
takkan mampu mengiris kenangan.


Rumah Hati

masih kulihat
badai menghitam
di keningmu. rmbut berkibar
seperti bendera di sampul buku
sejarah berbau bangkai

di pasir pantai
kau gambar rumah
dengan lipatan potret keluarga
pintunya terbuka –
seperti lorong menembus
kerongkongan laut
pagar adalah gelombang
selalu kembali, menggendong
pesan dari rahim
yang dihamilkan musim

senja menyergap
berdesir nafasmu, berdebur
ombak di dadaku
matari menjemput
rindu ikan yang tersangkut
di ranting bunga karang

pelan-pelan
kau hapus setiap garis
dengan kerelaan karang
pasir lekat di telapak tangan
rumah terbangun
di hati merindu
damai yang meratap
terkurung jala

Kangen

detik-detik gugur
pecah di lantai,
airmata menggenang
mengambangkan
kenangan pelangi.

Di balik dinding
bayang sepasang cicak menahan detak jam
sepenuh cinta.

Biodata

Teja Purnama Lubis. Lahir di Medan, 19 Januari 1973.. Sejumlah puisi juga turut mengisi berbagai antologi di Sumut, Indonesia, dan Malaysia. antara lain “Puisi-Puisi Koran Sabtu Pagi”, “Rentang”, “Dalam Kecamuk Hujan”, “Bumi”, “Jejak”, “Antologi Puisi Indonesia”, “Muara Tiga (Dialog Utara III), dan “Tengok 2”.
Bekerja sebagai wartawan di sebuah koran harian di Medan. tejapurnama@yahoo.com HP 08126339915




Syaiful Hadi J.L
TOPENG KARET

aku menangis ketika topeng yang
aku pesan terakhir tak jua pas
padahal ini adalah topeng yang
ke tujuh belas aku tempahkan
ada yang dari kertas
ada yang dari karton
ada yang dari kulit
dan yang ini dari karet
aku pikir topeng ini akan menjadi elastis, karena
bila ukurannya tidak pas benar
topeng karet akan menyesuaikan dengan bentuk yang
aku butuhkan

aku menangis dan menjadi takut
padahal topeng ini harus aku pakai

bagaimana aku bila tanpa topeng ?

padahal aku harus menutup kebohonganku
biar aku tidak tampak seperti seorang pendusta
biar aku tidak tampak seperti seorang koruptor
biar aku tidak tampak seperti seorang penjilat

karena tanpa topeng
aku akan menjadi apa ?

aku menangis dan menjadi takut
ketika topeng karet yang
aku pakai menjadi cair
oleh air mataku yang tidak jua henti
padahal topeng ini harus aku pakai


YANG TAKUT
TAK BERSUARA

orang kecil
yang tercabut dari akar nasibnya
teraniaya dalam takut
tak berani bersuara
masihkah ada makna
hidup untuknya

orang kecil
yang menjadi gamang nuraninya
barangkali hanya bersisa
kepasarahan
pada-Nya


ORASI PARA BURUH
DISKUSI PARA POLITISI


Buruh-buruh masih dipanggang terik. Membakar luka yang penuh darah. Api masih membakar amarah. Bendera setengah tiang berkibar dalam bingkai kaca yang pecah. Mencari keadilan yang dijanjikan ?

Politisi pun berdiskusi, di ruang ber AC, tentang konsep untuk mencapai kemakmuran. Tentang pembangunan daerah terpencil. Tentang undang-undang korupsi. Tentang kebebasan, hak bicara dan hak azasi.

Buruh terus saja berteriak. Tentang upah tak pernah naik. Jaminan kesehatan dan hari tua yang tak pernah jelas aturannya. Tentang anak-anak jalanan – anak-anak mereka – yang
tidak bersekolah.

Politisi masih saja berdebat – atau pura-pura berdebat –
tentang moratorium pengiriman TKI, tentang moratorium remisi koruptor. Politisi juga bicara anggaran negara. Tapi lebih sengit ketika bicara angaran untuk mereka sendiri.

Buruh Marah. Berteriak disepanjang jalan. Di depan istana
Buruh Marah. Membakar diri.
Mati

Politisi terus saja ber-Onani.
Bicara angka-angka. Dimana rakyat tidak pernah paham apa yang mereka bicarakan. Karena ketika ada buruh yang mati membakar diri. Mereka tak peduli.

Buruh terus saja berorasi
Politisi juga terus saja berdiskusi
Menyelesaikan masalahnya sendiri

















------------------------------------------------------------------------------------------------
SYAIFUL HADI J.L, dilahirkan di Medan, 14 November 1958. Selain aktif menulis puisi dan cerita pendek di beberapa media massa juga pernah menjadi wartawan di sejumlah media; SKM Bintang Sport & Film, Harian Mercu Suar, Harian Waspada dan koresponden beberapa media nasional. Beberapa puisinya dimuat dalam antologi Rajah Lukakukaku dan Seulawah. Ia pernah tinggal di Takengon, Aceh Tengah, selama 10 tahun (1982-1992), serta mendirikan kelompok teater seperti Teater Te-Be dan Teater Asa, juga sebagai pembina di Teater Arimulomi. Syaiful juga menulis naskah drama yang sudah dipentaskan seperti Nyanyian Pengantin, O dan Reje Linge XIV. Salah seorang pembina Teater Siklus Art.Ind Medan yang sedang menyelesaikan antologi cerita pendek Perempuan di Serambi ini juga Manajer Humas Telkom Sumatra.
------------------------------------------------------------------------------------------------
SAJAK SHAFWAN HADI UMRY

PANTAI SORAKE

serumpun nyiur
tegak tafakur
tak diacuhkannya suara lautan
memanggil perlahan-lahan
di pantai sorake
daun dan pasir pecah menggasai
ombak demi ombak membangun gelombang
sorak sorake terbantai hilang
suara kesunyian ini
tertambat di mega langit
jatuh di batu megalit
tak ada peluang
tak ada ruang
kecuali mimpi sedikit aspirasi
terbentuk sepanjang hari
teluk dalam, juni 1996

SUARA LAUT

di rumah pantai
kanak-kanak mengaji
suaranya riuh menggamit hati
di ombak pesisir
gelombang membantai
dalam deru suara sansai
angin sibuk selalu
tak mendengar suara itu
di beranda pantai anak mengaji
suaranya berdebur
ke pantai hati
lagundre, 1996
DENDANG BALUSE

hutan teluk dalam
gendang dipalu sepanjang rimba
bawomataluwo, oligawe, olayama
palukan aku genderang perang
situs-situs batu megalit
bangkit menatap langit
bangunkan kaum negeri leluhur
dari setiap wajah ditingkap rumah
mari menari perangi kemiskinan
rapatkan barisan gagah berani
biar sejarah jadi saksi
bendera kemenangan kini menanti
nias, 1996
*baluse= tari perang di nias

SENJA DI PANTAI LAGUNDRI

senja di pantai lagundri
kubawa mimpi ke ranjang pasir
ada coretan bahagia dan derita
aneka warna berpaut cinta
tapi laut yang sering lalai
menghadang badai
mencabiknya menjadi selembar sungai
dengan usaha dan tenaga
kubangun kembali rumah mimpi
di dalamnya sangkar beo
dari bawomataluwo
tapi badai bukanlah kelinci
ia bijak dan bestari
dibangunnya mimpi demi mimpi
ditanamnya magma dalam sepi
lagundri, Juni 96




















SAJAK D. ILYAS RAWI

HILANG

hari telah lepas dari tangkainya
resah dan kabut
berlenggang dalam setiap
nuansaku kelabu belum tenggelam
laut memintanya
angkasa meronanya

ujung waktu
rasa mata kail meraba
di sungai tandus
aku mencari dalam kelam
Engkau menanti
pada lafazku
oi, perahu yang jauh
merapatlah kemari
ke ini dermaga
lihat tanganku tengadah
medan, 1981

HIDUP

Engkau lemparkan mawar
di atas bumi
tanpa kiswah
tangan kami menjamah
lalu mereguk
bagai ikan ikan menuju dalam
kolam yang jernih

tak ada pertanyaan buat memandang
yang keruh adalah mata
yang kotor adalah tangan
jari jemari hiruk
gemasku terhenti di sini
medan, 1981

MEGA MEGA

putih mega-mega
adalah doa hamba-Mu
berjuta maksud
jadi satu warna

ya Rabbi
adakah satu
di antara kulepas
ketika bening rasa
hilang igauku

tercampak aku
ditikam pisau-Mu yang tangkas
tancap menghunjam jantungku
bekunya darah
membalut nama-Mu

sebelum paruku bersimpuh
sebelum kontrak berakhir
jangan selangkah kubergeser
pada kiblat-Mu
medan, 1981

SURAU KITA

ruang surau kecil ini
tak terhitung pasien sembuh
dan pulang damai
tak ada dokter dan juru rawat
mereka datang tanpa masa silam
medan, 1981

DI TEPI REMBULAN

bulan tergelincir
di ujung senandung
terlepas dari kantuknya
letih mengayun si bungsu
berbilang hari
kan lahir si buah hati

beri ia sebuah nama
dari tititk-titik hujan percintaan
dan kerdip bintang
di tepi rembulan
medan, 1973


KETIKA BANGKIT

Ah, betapa ngeri
takutku melihat
wajah ini
tak punya arti
ketika aku bangkit
dari pekuburan
yang kugali di kawah mimpi
kecil
aku
dalam fana

kini aku datang
sekepal tanah di tangan
darah dalam gelita
hembuslah keningku
dengan nur-Mu
cahayalah
aku
di sisi-Mu
t.tinggi, desember 1974


SAJAK DAMIRI MAHMUD

TAKBIR

Allahu-Akbar Allahu-Akbar Allahu-Akbar
Walillahil-Hamd

lebih selangit suara petir
takbir
lebih sejuta ledakan mortir
takbir
lebih selaksa tenaga nuklir
takbir
membahana hingga
titik nadir

Allahu-Akbar Walillahil-Hamd
kudengar angin, awan,
pepohonan, langit dan matahri
berzikir
tak henti-henti
air mengalir
menguap mengental
mengeristal
turun
tanpa akhir
menghujan mengembun
membasuh diri penuh lendir
pertama lahir
berbalut berbedak takbir

Allahu-Akbar Walillahil-Hamd

apa kau takut sihir
musa melemparkan tongkat
menjalar takbir
apa kau takut kafir
di badar doa muhammad tersendat
tetes takbir
apa kau takut gemuruh vampir
iblis hisap darah
ayub membisik takbir

Allahu-Akbar
daun gugur ranting patah
mengucapkan takbir
mencium tanah
sapi mendengkur unta yang rebah
mengucapkan takbir
mengucur darah
harimau menerkam mangsa
mengaumkan takbir
bumi guncang melepas beban
mendesah takbir
tsunami menari menelan korban
menyembur takbir
petir memekak
mortir membludak
nuklir bombardir
sebuah negeri penuh sesak
tergeletak
rebah bertakbir
memuji kebesaran allah
tak pernah cuak
tak pernah lelah
tak pernah mungkir

Allahu-Akbar
kumandangkan
petang dan pagi
pulang dan pergi
bravo
hingga angka kembali
ke titik
zero

12 Ramadhan 1427 H

SERIBU BULAN

kugiring daging
ke seribu mesin giling
tak lumat-lumat
kukirim tulang
ke seribu lang-lang
tak tamat-tamat

mekkah dan madinah
tak pernah istrahat
cari seribu
alamat
rajin mengetuk pintu
bagi-bagi amnesti
kartu ucap selamat

mengayuh iman
menunggang bmw dan cadilac
nuju seribu bulan

16 Ramadhan 1427



Puisi-puisi YS Rat

KISAH BURUNG TERAKHIR

Seekor burung menyeberang awan
mencari belantara kesekian
putus asa
bertemu matahari belaka
memanas tembok-tembok lapis kaca
di atasnya melepas lelah dengan kicauan
angin melemparnya ke langit tak bermusim
seekor burung lunglai mengepakkan sayapnya

Seekor burung menjadi bimbang
mencoba memburu bulan
sia-sia
terjerembab ke laut ganas
memasrah nasib sampai tepian berkilau pasir
gelombang menggulungnya ke muara sunyi
seekor burung kicaunya tak terdengar lagi

Seekor burung dikabarkan hilang
adalah burung terakhir

15 Maret 2010, Medan


SAJAK NAMA, TANGGAL LAHIR, ALAMAT, PENDIDIKAN,
NAMA ORANG TUA, SURAT KETERANGAN
DAN SEBAGAINYA

Adalah tangga
papan emas
paku emas
ke bulan emas


DI LAUT INI

Ombak tetap setia membasuh pantai
tak ada gelisah tampaknya
di laut walau badai tak berjarak
dari catatan purba
tentang persetujuan abadi
diam-diam aku bertanya
kapan ombak menjelma
kapan pantai menyatu
bercumbu pada diri
hingga laut begitu tenang riaknya
kita tak perlu berenang
melangkah saja di atasnya
ah,
diam-diam masih juga kutanya
perkelahian kapan hentinya
di laut ini
Allah

1989-2009, Medan












----------------------------------------------------------------------------------------
YS RAT lahir di Medan, 8 Agustus 1962. Puisi pertamanya dimuat di Rubrik Abrakadabra Harian Waspada Medan tahun 1980. Pasca puisinya berjudul Perkututku Perkutut Urakan, penjaga gawang Abrakadabra (saat itu), AS Atmadi, menjulukinya Perkutut Urakan. Aktivitas bersastranya pun melebar ke surat kabar terbitan Aceh dan Jakarta. Sebagai penyair sekaligus deklamator, membacakan puisinya pada acara Temu Budaya Nasional 2000 di Taman Budaya Makassar, Sulawesi Selatan dan Pameran Pekan Seni Sumatera 2005 di Palembang, Sumatera Selatan. Menempuh pendidikan ibtidaiyah, SDN Teladan No 76 Medan (sekarang SDN 060870), Pendidikan Guru Agama Al-Washliyah Pulo Brayan Medan, Madrasah Aliyah Negeri Medan (sekarang MAN I) dan Fakultas Hukum Universitas Amir Hamzah Medan.

Sajak-Sajak Suyadi San :
Degup Kotamu Menikam Kenangan \1


Bungur Asih ceria menatap matahari
dan degup jantung kotamu pun menikam sejumlah kenangan
terekam sudah jejak di sini
melewati sunyi
menyingsing harihari
kini akan kembali menelusuri kampung halaman
alahai, lagulagu lama di Tunjungan membuncah selayak impi
padahal di Paviljoen itu aku mengurai baitbait almanak kisah kita


(surabaia, kamis 5 agustus 2010 pukul 08.50 wib)




Degup Kotamu Menikam Kenangan \2


baru saja kulewati malammalam sepi
meski gemerlap kotamu menikam sejumlah kenangan
di Genteng Besar sudut Tunjungan,
kusulam bingkaibingkai Paviljoen
jejak Sahid - Genteng Kali melengkapi deret bongkahan penantian
dan meniti jalan sunyi ini


(bandara juanda surabaya, 5 Agustus 2010)



Di Antara Halimun dan Kabut


/1/
halimun atau kabut asapkah yang kulihat pagi tadi
memasuki kotamu tibatiba jiwaku ikut berkabut

/2/
dan bus pun merambat
kotamu membawa sejumlah kenangan
salam sepuluh jari tambah satu kepala
sampai jumpa pada perhelatan berikutnya
aku menyusuri jalan sunyi itu

/3/
hujan mengantarku pulang
rembesannya menambah kelam malam
smsku tak kaubalas
sempat hatiku cemas


(pekanbaru, 12- 14 juli 2010)

Biodata:
SUYADI SAN lahir di Medan 29 September 1970. Biodatanya tercantum dalam Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000). Dunia tulis-menulis digeluti sejak mengasuh majalah dinding sekolah, lalu mengirim tulisan berupa berita, reportase, cerita pendek, esai, dan sajak ke SKM Demi Masa, Harian Mimbar Umum, Analisa, Waspada, Bukit Barisan, Garuda, Medan Pos, Portibi, Andalas, Republika, Seputar Indonesia, Lampung Post, SKM Taruna Baru, SKM Bintang Sport dan Film, SKM Swadesi, serta Majalah Sastra Horison dan Majalah Gong.
Sejumlah puisi, naskah drama, dan cerpen termuat di dalam buku-buku antologi : Puisi Koran Sabtu Pagi (SSI, 1993), Bumi (SSI, 1994), Dalam Kecamuk Hujan (KSK, 1997), Jejak (DKSU, 1998), Indonesia Berbisik (DKSU, 1999), Tengok (Arsas, 2000), Muara Tiga (Dialog Utara IX Medan, 2000), Sankalakiri (Dialog Utara X Thailand Selatan, 2003), Amuk Gelombang (Star Indonesia Production, 2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan, 2005), Jelajah : Kumpulan Puisi Ekologis (Valentino Group, 2006), Medansastra (Dewan Kesenian Sumatera Utara, 2007), Urban Enam Penyair (Laboratorium Sastra, 2008), Tanah Pilih (Pemprov Jambi, 2008), Akulah Musi (Dewan Kesenian Sumatera Selatan, 2011).












SAJAK-SAJAK NINA ZULIANI
CATATAN TERTINGGAL TENTANG SAHABAT MASA KECIL


Ketika hitungan malam tinggal satu-satu
Kita tatapi kenangan indah berpigura
yang membuat rindu kita tersusun rapi
dalam rak-rak khayal masa lalu


Pun telah kita catatkan rasa di sela-sela rindu yang membubung
Kita pahatkan nada-nada cinta yang tak sempat terukir pada pertemuan waktu lampau
Kita pastikan pada dunia bahwa rasa itu telah ada dan kan tetap ada


Dan kita sama termangu
Menanggung rindu


(Juni 2010)


DATANGLAH PADAKU

Datanglah padaku dalam hitung harimu
Setelah lelah jalan jauhmu menyibak sesak
Ketika wajahmu lelah menenteng sepatu pudar karena waktu

Telah kusiapkan sepoci teh hangat umtuk mengaliri darahmu yang pekat
Kembalilah dalam dekapku
akan kita hapus bersama tetesan peluh disetiap garis rona
wajahmu yang menggurat ragu

Kembalilah padaku
Kala jalanmu terseok menelusuri jalan tak jelas arah
Orang-orangpun tak lagi bersorai, dan kau melangkah lunglai
Kalaupun tak kau tating piala yang kau kejar
Tanganku akan terbuka lebar menyambutmu

Ada sejuta senyum kusembunyikan di sudut pintu

Telah kusiapkan matras perseprai putih untuk kau baringkan
punggungmu yang lelah menahan amarah dan janji yang tak terjawab
Datanglah padaku
Ketika sekelilingmu menambah sesakmu
Telah kutabur sejuta mawar yang di tiap kelopaknya kutuliskan kata cinta
di sepanjang jalan yang biasa kau lewati
Agar kau tak ragu ‘tuk kembali


February, 02, 2010.





SAJAK-SAJAK HERNI FAUZIAH

SIANG YANG GELISAH



ketika harus melewati
jalan yang berliku

dari kejauhan kabut menyeruput pandangan
panorama alam sekilas hilang

namun
sekali belokan
terlihat rumah puisi di sudut jalan
antara Merapi dan Singgalang

aku terdiam
teringat kegelisahan beberapa hari silam
ketika melintas di kelok sembilan
tertumbuk pandangan
setumpuk teknologi menentang alam
tiang-tiang berpancangan
menancap dalam

kutelan harap
semoga abadi alamku sayang


Aie Angek, 4 Juli 2011


KEPADA CHAIRIL


Ril,
tahukah kau
hari ini kata menjadi tak bermakna

teriakan-teriakan mahasiswa
di sudut-sudut kota
sepi pendengar

dari balik jendela angkutan
ku dengar suara gerutu
"percuma kalian berteriak"

Ril,
dahulu, belum lama kau pergi
rombongan mahasiswa berteriak
turunkan harga
pedagang tukang rambutan
turut bersama mahasiswa berjuang
meski hanya menyumbang seikat rambutan saja

Ril,
siang tadi
tepat pukul dua belas
matahari sedang tinggi
di simpang perempatan serombongan mahasiswa
berteriak tentang kebenaran,
tapi
siapa perduli

suara-suara gerutu menggema
di tengah kemacetan

Ril,
perjuangan belum selesai
mereka tidak mengerti arti 4-5 ribu nyawa
rakyat miskin bertebar d- mana-mana
korupsi merajalela

Ril
di tengah kemerdekaan ini
kami ingin
semangat tuan hidup kembali






SAJAK-SAJAK NINA KH PASARIBU
NEGERIKU, IBU


Bu
Pada siapa ku mengadu
Tentang negeriku

Bu
Pilu hatiku
Saudaraku tak pernah tahu
Apa itu ilmu

Bu
Bagaimana mungkin ku pergi
Jauh merantau dari negeri ini
Rakyatku masih terseok-seok
Masih jauh terperosok

Bu
Pernah ku dengar meski samar-samar
Negeri orang sudah lama mengangkat layar
Jauh terbang ke angkasa

Bu
Bagaimana caranya
Agar saudara kita
Tak lagi buta aksara






ANAK-ANAK BERSERAGAM


Kerikil ku hempas dari balik sudut kota
Tak sengaja mataku menangkap anak berseragam
Koran di tangannya
Untuk melepas sedikit dahaga

Dari sela rawa anak berseragam pula
Menghisap benda yang nikmat katanya
Tak lama ia menggelepar
Kelu, pedih hingga tak bernyawa

Dari sudut gedung megah
Orang-orang yang juga berseragam
Buah jengkol menyembul dari balik jasnya
Tertawa bahagia, tak peduli apa yang terjadi di luar sana

Anak-anak berseragam
Masih bertebar di balik sudut kota, tak sekolah


Puisi A. Yusran
Langkah
Di penghujung jalan kubaca langkah
Gelanggang pertarungan
Apa iya atau lensa mataku salah letak
Manusia atau hewan menyerupainya
Saling terkam berebut bangkai
Medan, 23 Mei 2010

Hadiah Ulang Tahun
Entah kapan di terminal kota, aku lupa
Lukisan bulan pecah berbentuk tanda tanya
Kubaca: Medanbestari
Air mengucur di sudut, pesing
Desau angin mengantar seribu puji
Lautan kata, seribu kapal tenggelam di sana
Medan: kilat pedang-arena juang
Cita-cita atau ilusi
Merangkul bunga setaman
Oh, sejak kapan resah dibeli
Terlena: mendung tandakan hujan
Melati setaman hadiah dalam mimpi

Medan, 28 Mei 2010

Dia Diasal Mula Jadi
Haiii Guru segala Guru- Guru Patimpus maha Gurunya
Dari Si Guntang Mahameru- Mula jadi nabolon di Pusubuit
Langkah seribu langkah- di deli buluhnya pecah
“Pecah dari bambu-titik dari langit”

Kemenyan sebesar tungku- dupa pecah asap mengepul
Penghalau begu segala begu
Jin pari setan belang
Parang terhunus semua lari lintang-pukang
Dia mengawali
Medan Metropolitan kini jadi

Medan, 23 Mei 2010

Primadona
Tembakau Deli wangi sekali- di eropa sana harganya tinggi:
Tembakau ditanam-tembakau jadi- Para ditanam karet menjadi
Orang eropa datang menyamun berebut dolar cerita lama
Hai dunia belilah beli , tembakau, karet dan minyak sawit
Kaya biar bertambah yang miskin mengapa papa
Dulu belanda putih kulitnya, kini hitam gayanya sama
Kebun tetaplah primadona yang membangun medan dari awalnya
Huuu-ui yang kaya semakin kaya miskin pelengkap penderitanya.

Medan, 25 Mei 2010

Di Tepianmu Aku Merenung
Masih tersisa kelembutan di wajah rentanmu
Saat kami lantunkan irama selamat ulang tahun kali ini
Sisa kemolekan walau hadir dari kesembrautan tatanan
Di tepianmu aku merenung
Sungai Deli berselimut sampah zaman
Di jalanan logam berat menunggu hirupan napas
salah siapa, pertanyaan yang tak perlu lagi
ketika sadar hanya miliknya si perenung
dalam puisi si pemimpi akir dunia tak lama lagi
tanda-tanda zaman

Medan, 26 Mei 2010

SAJAK Saripuddin Lubis
kami masih anak-anak, bunda



dalam ensiklopedia rumah kita
kami membaca musim kelereng cinta
di pekarangan rumput-rumputnya bisa bermain bola
berlari, bermain tali sungguh senangnya
tamtambukur lagu pengiringnya

kami membaca busana rok dan celana
jumpalitan pun tak koyak mata durjana
kau jahit dengan benang mata jiwa
tak malu duduk dekat papa
lagu-lagu penuh irama
chica koeswoyo dan dina mariana di taman bunga
melantunkan si helly dan si hello

tapi kau beri kami tontonan celaka
bermain pedang hamburkan luka
diselelingi potret mengundang nafsu
iklan pembalut wanita dan obat kuat para pria
sinetronnya perselingkuhan papa
malu kami menonton bersama
menangis rumah hati putih warnanya

kau beri kami baju dan celana
tangannya sebelah, bayangnya menembus mata
mata keranjang penggoda aroma
artis bertelanjang dada sering memakainya
iih, kami masih anak-anak bunda!

melodi dan harpa nafsu nadanya
iramanya model bibir dan arena memilih jodoh
sambil kau contohkan goyangan patah
patahkan tangkai benih baru disemai
iih, kami masih anak-anak bunda!

bunda, timang-timang buaian kami
dengan telaga kejujuran jernih airnya
agar cucumu kelak tertulis pula namanya
dalam ensiklopedia rumah kita




kota rambutan pagi hari
11 februari 2011
dari anak-anak dan segala haknya










Surat Kejujuran untuk Ibu Siami

Karya: Saripuddin Lubis

kemana lagi kita petik buah kejujuran
sebab tatapan mata tak lagi sanggup menyingkap hati
bahkan kata-kata bergantang-gantang pun tumpah ke laut
lenyap jadi buih

ibu siami
kisahmu adalah kisah kami
definisi ujian harusnya ditambah dalam kamus bahasa Indonesia
ujian adalah : mari kerjakan dengan mencontek beramai-ramai
ataukah di negeri ini perlu menteri pendidikan urusan mencontek

ibu siami
kisahmu adalah kisah kami
dilarang jujur sebab semua boleh mencontek
tak heran negeri ini jadi negeri contekan

ibu siami
jangan cemaskan hatimu
sebab buah kejujuran yang kau tanamkan kan jadi kunang-kunang
menuntun jutaan jiwa negeri yang lama kelam
meski tubuhmu dicabik-cabik sanak saudaramu sendiri
jangan sedih sebab mereka pun korban contekan
kejujuran memang telah terasing
tapi tempatmu kelak di taman surga
di bawahnya mengalir air yang menyejukkan tubuhmu


Binjai, 18 Juni 2011
















kita yang diberi sepasang sayap

saripuddin lubis

kita telah diberi sepasang sayap
akal kita mahakomputer
biar kita bisa terbang mencari makna
bertemu dengan musim tersenyum
agar hati mengerti siapa dirinya
dicipta dari segumpal hina

dari langit kita menatap negeri
menangis sembunyi di pangkuan bunda
goresan luka semakin menganga
anak-anak di lampu merah kian pasrah
ditingkah bocah-bocah rambutnya merah

anak–anak sekolah semakin marajalela
dalam handphone berisi duka
mereka hanya bisa tertawa
padahal daun jatuh satu-satu
ke pangkuan bumi ia pilih sesukanya
tapi hanya daun bisa mengerti

wahai bapak dan bunda
jangan lembur hingga pagi tiba
guru sibuk sertifikasi saja
sastrawan dan seniman berkarya tanpa makna
aparat negeri seragamnya semakin mengkilat
kepaklah sayap ke angkasa
menjaga tunas-tunas yang kian patah akarnya
terbangkan ke negeri impian
bukankah kita diberi sepasang sayap



binjai, februari 2011


Puisi-puisi Teja Purnama


Kelas

Pak guru masuk ke kelas membawa mendung.
Celana putih, baju putih. Wajahnya matahari pagi,
tapi malam memucat di matanya
Kami telah menunggunya sejak jutaan pagi lalu.
Beranak-pinak di kelas. Membangun masa nanti yang sangsi
setelah membunuh sejarah dan membuang mayatnya
ke lubang kloset

Pelajaran melukis dimulai.
Kami ingin benar pintar melukis darah dengan indah
seperti kuah soto panas, berasap wangi mengusap-usap lapar.
Ingin cerdas mengubah sketsa pistol menjadi terong
agar bisa disambal buat ayah dan ibu
yang berabad-abad belum datang menjemput

Pak guru melukis sepasang kekasih di papan tulis
yang selalu ingin menghapus jejak kapur itu. Mungkin ia membayangkan
dapat pacar dan tak mau melajang sepanjang kehidupan.
Kami berusaha paham, tak banyak bertanya.
Lantas dia meminta kami bergiliran menorehkan gagasan..
Kami jadi terkenang pada orang-orang telanjang yang lalu-lalang di sekolah,
keluar-masuk ruang guru dan kepala sekolah yang tak pernah kami lihat,
Tak jarang pula mereka datang ke kelas
menampilkan orasi sambil onani.

Tibalah giliran kami.
Kami telanjangi sepasang kekasih itu
Kami paksa senggama
Kami rajam mereka

Pak guru hanya diam
Malam di matanya kian pucat
Hujan turun di kelas kami.



Rakyat

Rakyat itu hebat
Namanya keramat
Jadi ajimat politisi dan pejabat

Rakyat itu tenar
Selalu disebut-sebut dalam rapat dewan
Politisi kritik pejabat sebut nama rakyat
Pejabat menjawabnya, juga sebut nama rakyat
Akhirnya mereka berjabat tangan
Nyanyi dan jingkrak-jingkrak di karouke
Atas nama rakyat

Rakyat itu seksi
Membangkitkan birahi
kekuasaan yang tak pernah selesai
Kerahkan segala cumbu, segala goda
Apalagi saat musim kursi iba
Jaga hatinya, penuhi inginnya
Mereka akan rela mandi keringat mendengar janji penguasa
Itu hanya mimpi, mereka pun tahu, lalu melupakannya
Penguasa tenang-tenang saja
Sambil menghitung berapa rupiah habis untuk membeli lupa

Rakyat itu sialan
Politisi jadi penjahat, yang salah rakyat
Pejabat jadi bandit, yang salah rakyat
Padahal uang yang diselipkan ke saku mereka saat pemilihan
hanya untuk membayar tunggakan spp agar anak tak malu sekolah

Rakyat itu kuat
Mau terus bertahan
walau sekarat
Anak Sorga

jangan menangis lagi, mama.
dia hanya bermain di ranjang gelombang
lalu tertidur dalam perjalanan ke sorga.

betapa lincah lelapnya.
Berlari-lari di laut, melejit
jejaki awan, melompat
berguling-guling girang, seketika terkejut
lalu tertawa geli melihat
papa berlagak badut tersangkut
di kabel listrik.

“mama, aku terbang
ke pulau penuh balon dan pohon apel,”

ia terbangun di pangkuan bidadari
yang sering kau ceritakan padanya
di malam-malam kantuk.

kalau rindu,
pandanglah waktu
yang tak pernah berdenyut
dalam keabadian.

katakanlah, mama
sebilah pisah di dada berdebur
takkan mampu mengiris kenangan.


Rumah Hati

masih kulihat
badai menghitam
di keningmu. rmbut berkibar
seperti bendera di sampul buku
sejarah berbau bangkai

di pasir pantai
kau gambar rumah
dengan lipatan potret keluarga
pintunya terbuka –
seperti lorong menembus
kerongkongan laut
pagar adalah gelombang
selalu kembali, menggendong
pesan dari rahim
yang dihamilkan musim

senja menyergap
berdesir nafasmu, berdebur
ombak di dadaku
matari menjemput
rindu ikan yang tersangkut
di ranting bunga karang

pelan-pelan
kau hapus setiap garis
dengan kerelaan karang
pasir lekat di telapak tangan
rumah terbangun
di hati merindu
damai yang meratap
terkurung jala


Biodata

Teja Purnama Lubis. Lahir di Medan, 19 Januari 1973.. Sejumlah puisi juga turut mengisi berbagai antologi di Sumut, Indonesia, dan Malaysia. antara lain “Puisi-Puisi Koran Sabtu Pagi”, “Rentang”, “Dalam Kecamuk Hujan”, “Bumi”, “Jejak”, “Antologi Puisi Indonesia”, “Muara Tiga (Dialog Utara III), dan “Tengok 2”.
Bekerja sebagai wartawan di sebuah koran harian di Medan. tejapurnama@yahoo.com HP 08126339915


PUISI A.RAHIM QAHHAR
A.Rahim Qahhar

Inilah Hamba Pengemis Kata-kata
- kepada RAH

inilah hamba pengemis kata-kata, Tuanku
tiba pada makammu berhati buta, Tuanku

hamba musafir tak mahir memilin zikir
fatihah terpaut doa surut ziarah terakhir
wajahmu berselimut satin emas kugapai, Tuanku
begitu lekat tapi rasa tak pernah sampai, Tuanku
bergulung tahun terus hamba gelut gurindam seribu
malu hamba belum jua setara gurindam duabelasmu
jadilah hamba pengemis kata-kata makin renta, Tuanku
sejak pagi meraba gulita mengais rimah aksara, Tuanku

tardji tiba di penyengat lalu menambat perahu
sattah, tintin tenggelam di tanah pasir dan batu
shaghir, maier, virginia tak henti-henti menulis, Tuanku
azhar, putten, andaya mencatat tak habis-habis, Tuanku
hamba kaji bustanul katibin berkali-kali
dari kanan ke kiri sedikit dapatlah diikuti

engkau dan von de wall sepasang lebah bersahabat
sekali sekala bersendawa madu menyimpan sengat
meski sependayung dekat boleh bertemu hadap, Tuanku
kalian saling tulis surat warisan sepanjang abad, Tuanku
di baris depan peneraju kalam bulu angsa
hingga kami pun jadi pewaris satu bahasa

tulangmu pirai, masuk angin, pening, mengendur syahwat
kauminta obat, padahal inilah beban suami berbini empat
kauminta mentega, kauminta senjata, kauminta peta, Tuanku
kauminta celana, kauminta kemeja, kauminta segala, Tuanku
lahirlah teka-teki dan silang kata berkurun-kurun lamanya
tak terjawab malah ditafsirkan penuh rona cicit piut kita

inilah hamba pengemis kata-kata, Tuanku
kian renta mengais rimah aksara, Tuanku
hilang alamat pada siapa meminta, Tuanku
gurindammu menyala-nyala, Tuanku
puisi hamba belum berbara, Tuanku

-o0o-

mdn, 0907

A.Rahim Qahhar

Ale Baya Batu Masih Diam

Ale Bujing-bujing
kemana lagi kaualirkan rindu nan membeku
di balik sanggulmu tersimpul cemara sendu
membenam ke dalam lumpur masa lalu
sementara air terus mengalir ke hilir
batu masih diam

Ale Bujing-bujing
kemana lagi kauhanyutkan lara nan membara
di bibir pantai tak berpasir ikan-ikan bercumbu
lumut hijau sembari menimba risau ke dasar sungai
dan air terus saja mengalir ke hilir
batu masih diam

Ale Bujing-bujing
kemana lagi kausimbahkan luka menahta
di relung dada terpintal sejuta kesal tak kuasa
Aek Batanggadis basuh rambutmu berpangir cuka
dan air terus saja mengalir ke hilir
batu masih diam

Ketika guruh dan guntur berseteru
air bah pun menggunung dari hulu
tanah dan lumpur menjadi debu
pasir dan kerikil bergulir tak menentu
tak habis kauseru raibnya Anak Boru
terbayang Willem-Maria tak pernah bersatu

Telah kaualirkan rindu membeku
telah kauhanyutkan lara membara
telah kausimbahkan luka menahta
ale baya batu masih diam

-o0o-


A.Rahim Qahhar

Sajak buat Anak

Sajak yang kurakit hari ini
tak mustahil kelak
menjadi bom atau granat
di lembar hari-hari
haram sekali pun meledak
karena anak-anakku membaca
dari kanan ke kiri
seperti kitab Tuhfatunnafis
asli tulisan Jawi
mereka pun menafsirkannya
sendiri-sendiri

Coba langkahi duri sajak
mustahil melukai telapak
meski tak sempat
menjadi bom dan granat
juga belum pernah meledak
kelak menjadi ranjau
hingga hari kiamat
anak-anakku masih membaca
dari kanan ke kiri
seperti gurindam Raja Ali Haji
asli tulisan Jawi
mereka pun menjabarkannya
nafsi-nafsi

-o0o-
mdn, 0807

A.Rahim Qahhar

Dari Gurindam ke Gurindam

assalamualaikum waalaikum salam
marilah tersenyum mendengar gurindam

begitu gencar membuih kata-kata
cuma satu benar selebihnya dusta

katakan yang benar walau sulit
pertanda sabar tak mau berkelit

biarlah perlahan asal sampai ke tujuan
daripada cekatan cepat tiba di kuburan

sepanjang usia mengejar dunia
badan tak selesa akhirat terlupa

ingin kurajut kata sebaik gurindam
ah, pikiran kusut tangan pun keram

assalamualaikum waalaikum salam
marilah tersenyum di akhir gurindam

-o0o-

A.Rahim Qahhar

Membaca Tuhfatunnafis

berkalikali mengaji
khatam haram sekali

bertanam halia padi
sebungkah pasti menjadi

selangit kobaran api
melayu utuh di bumi

dengan sidik jari
takbir tak mati

meski tak mengerti
kuratib terus puisi

-o0o-
mdn, 0807


BIODATA
A.Rahim Qahhar

Kelahiran Medan 29 Juni 1943, namanya termasuk dalam Buku Pintar Sastra Indonesia yang disusun Pamusuk Eneste (2001), dan terbitan Horison “Dari Fanshuri ke Handayani” (2001), “Horison Sastra Indonesia” (2002). Cerpennya pertama kali dimuat di surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis (1966), kemudian di majalah SASTRA HB Jassin (1968), antologi cerpennya Abraham Ya Abraham (1984) dan sejumlah antologi bersama terbit di Indonesia dan Malaysia, yang terpenting “Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir” (Singapura, DBP-1991), Cambahan Kasih (Malaysia, DBP-2007), Krueng Aceh (2009).. Cerpennya “Angin Arbain” terpilih sebagai Cerpen Terbaik di samping 14 cerpen Pemenang Lomba Penulisan Cerpen Horison. Novelnya, “Langit Kirmizi” (1987) dan “Melati Merah” (1988) diterbitkan oleh Marwilis Publisher Malaysia dan Trauma (2010) penerbit Malaysia.
Buku Puisi : PUISI, temu sastrawan Sumut (1977), BLONG, Medan Puisi (1979), Mabukku pada Bali, Medan Puisi (1983), RANTAU, Yaswira Medan (1984), Selagi Ombak Mengejar Pantai 4, Kemudi Selangor Malaysia (1988), Sajak buat Saddam Hussein, Medan Puisi (1991-2007), PERISA, jurnal puisi Melayu DBP Malaysia (1995, 1996, 1998, 2000), Antologi Puisi Indonesia, Angkasa Bandung (1997), JEJAK, Dewan Kesenian Sumut (1998), The Horizon of Hope, Sastra Leo Medan (2000), Lagu Kelu., Aliansi Aceh-Japan (2005), Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau (Tanjungpinang (2006), Kutaraja-Banda Aceh - Aliansi Sastrawan Aceh-Pemko B.Aceh (2008), Musibah Gempa Padang – Kuala Lumpur Malaysia (2010) Kumpulan Cerpen Medan (2010) Akulah Musi (2011) Palembang..
Selain cerpen, puisi, novel, juga menulis naskah lakon dan skenario televisi. Naskah pentas “Yang” dipentaskan di TIM Jakarta (1982), “GMT” (1986) terbit di Malaysia, “Terali” (2003) dipentaskan di Kuala Lumpur dalam Festival Teater Malaysia 2003, dan sejumlah naskah lainnya dipentaskan di Medan..
Karir sastra dan jurnalistik, dirintisnya secara bersamaan. Beberapa kali memenangkan lomba karya tulis bidang jurnalistik untuk tingkat regional maupun nasional. Terakhir, menulis biografi sejumlah tokoh di Sumatera Utara, antara lain pengusaha Yopie Batubara dan Syamsul Arifin bupati Langkat.







Damiri Mahmud
Ada Sesuatu yang Lebih Besar dari Hanya Sekedar Gambar
tragedi hamparan perak


I

Bersama sisa kelopak bunga
Angin dingin
dinihari
Aku datang padamu
Menoreh kisah ini

“Jangan menangis, Tuan Puteri
Hamba hanya menembak di jidatnya”

Meski rebah
Bersimbah darah
Bukan itu benar maksud hamba

Ada sesuatu yang lebih besar
Dari hanya sekedar gambar


II

Adakah burung-burung malam mengigau
Pergi jauh ke balik waktu
Langit mendesau
Dan menyisakan lagu

“Dongeng itu Tuan Puteri
Ternyata masih laku
Mitos yang membuat hamba dungu
Dari rambut ke ujung kuku”


III

Akulah Tuhan, teriaknya

“Semua orang tahu
Kawanan domba dan kijang
Santapan lunak bagiku
Kalau perlu
Aku pinjamkan taring-taring ini
Supaya peradaban bisa jalan
Ilmu-ilmu bisa jalan
Begitu!”


IV

“Bagian yang mana
Kita hilangkan, Tuan Puteri
Yang mana pula
Kita dedahkan?”

“Aku tak tahu, penyairku
Aku percaya
Pada imajinasi”

(Dari balik terumbu kayu
Aku mengintipmu
Di celah-celah itu aku tahu
Engkau ada disitu)


V

Pergilah nyelinap
Ke setiap tempurung kepala
Rebus kata-kata
Hingga leleh
ke lubang dubur
tentu
berbau
sama
Jadi sepiring bubur
campur
cuka

“lalu beri aku sebutir
Sesaji
Tak usah berpayah-payah
Mengiring lancang kuning
Jangan hanyutkan ke tusak-tasik
Paketkan saja sebagai upeti
Berupa kepala Baasyir
Pengganti telur dan bertih
Darah dan dagingnya berbau anyir
serban kepalanya harum sekali”


VI

Ada sesuatu yang lebih besar
Dari hanya sekedar gambar

Kupu-kupu
Rama-rama
Beterbangan
Unggas-unggas
Burung-burung
Bersiul bebas
Berpasangan

“dan alangkah sedap
Santapan tengah hari ini, Tuan Puteri
Bukan, bukan rendang putih
Gulai kari dan roti jala
Tak ada pula panggang
Gulai masam dan pindang
seperti biasa
Sambal cecah dan garam cabai
teh manis kental, air serbat atau halia

Tapi ada yang lebih mengena selera
Hamburger, fried chicken
Holy trinity, jambalaya
Sandwich aneka rupa
dengan oles mayones
Margarine, dan minyak zaitun
Atau sama sop dan salad
Peanut butter and jelly
Ada donat, baked Alaska
Dengan lelehan bir, wine, vodka orange
Atau tequila
Buatan Amerika
Petuanya kepala teroris
Berbaur janggut dan gamis”


VII

“teroris!”

“Ah, siapakah
menyebut aku burung hantu?”

harimau ternyata
dan kawanan srigala
sama disusukan hutan belantara
kijang dan domba
beranak-pinak di sana

Anak yang dikandung ibu
Sembilan bulan sepuluh hari
Disusukan darah dan air mata
Menggeliat
minta tempat
Dan nyawa

Akulah tuhan teriaknya
Merenggutnya

Dan manusia
Sama punya mata dan kepala
Warna yang berbeda
Pikiran dan perasaan
Angan-angan dan iman
Aneka bunga setaman
Dan hutan
Dengan bau-bauan
sejarah dan peristiwa
mengapa harus diseragamkan
direkayasa
dengan senapan
dengan peluru demokrasi
penuh hipokrisi

Akulah tuhan teriaknya
Menghoyak
Menembak
Meninggalkan jebak
Menyisakan tebak


Sebentuk Taman

berjalan dan berlari
bergolek dan berhenti
sepuas dan sesuka hati
tanpa ada larangan:
“jangan…”

pandanglah merah hijau
biru hitam kelabu
coklat yang melekat
di bintik-bintik batang
di sana segugusan
kemuning
membawa kita kepada hening
rindu
negeri jauh

bau yang semerbak dan berkumpul
semarak aroma yang mengepul
dan air mancur
susul-menyusul menyembur
menyadarkan akan
mata semakin kabur
perasaan dan pikiran
semakin tumpul
dalam perjalanan dan pergulatan
kehidupan
semakin banyak pinta dan kolokan

sebentuk taman
kita rawat sepuas hati
memuaskan rasa keindahan
marilah marilah bersenda gurauan
lupakan beban
dengan
segulungan
kawat berduri
menjaga rasa aman
dalam taman
tergolek sepanjang hari
menggemukkan kebusukan ini


Hotel Siantar

antar aku ke siantar sumatera sebuah gedung tua arsitektur olanda kaku namun teduh dan kukuh pilar-pilarnya membentang di hadapan kita halamannya gelap dengan beringin berjela burung-burung hinggap memadu cinta di sana

sambil duduk di kursi goyang dalam sebuah ruang menekan tuts-tuts piano kuna memandang lukisan rembrant duplikasinya tentu mengisap asap serutu buatan eropa aku lihat serombongan koeli tembakau deli terbungkuk-bungkuk dihalau bagai kawanan kerbau teken kontrak lagi gaji ludas diraup bandar judi diundang maskepai dari shanghai ngantuk malas merabuk afdeling buat gusar toean besar mandor dan centeng melecut cambuk berkali-kali darah meleleh-leleh di bumi

toean raflen sesten kebon kesepian dalam senja renyai nyonya liburan pulang ke nederland mau dansa di rumah bola depan hotel de boer medan sudah bosan, “mbok panggil ningsih jadi nyai pandai menari malam ini”

“santap malam, tuan” pelayan restoran, “silakan cicipi”


Diri Kita Terpajang

dini hari
netes embun
di ubun-ubun
nyusup di bilik-bilik
bawah sadar kita
tumbuh dan berakar
berkecambah
berdaun segar

“mari kita pindah ia
ke pot-pot bunga”
teriak istri kita yang setia
“sayang kalau dibuang
bisa ‘kan penambah-nambah uang belanja?”

sekali kita tatap
makhluk-makhluk membernga
dalam pot bunga
kita terpana
“alangkah gagah
dan malang
diri kita yang telanjang”

“jijik dan bergidik melihatnya”

Terpajang megah di etalase kaca
menembus bursa efek jakarta












--------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAMIRI MAHMUD, lahir di Hamparan Perak, 1945. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai harian dan majalah di Indonesia dan Malaysia antara lain: Berita Buana, Pelita, Mimbar Umum, Waspada, Analisa, Republika, Merdeka, Media Indonesia, Kompas, Panji Masyarakat, Sagang, Berdaulat, Horison,Basis, Dewan Sastra dan Berita Harian (Malaysia). Buku-buku: Tonggak (Gramedia, Jakarta), Bosnia Kita, (Komite Solidaritas Muslim Bosnia, Jakarta), Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi (Pustaka Utama Grafiti), Muara (Fa. Maju, Medan), Wasiat Ayah (Fa. Hasmar, Medan), Teka-Teki (Marwilis Publisher, Selangor, Malaysia), Perisa (Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia), Titian Laut (Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia), Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia), Damai di Bumi (Kanwil Parsenibud, Sumatera Utara, Medan), Dari Fansuri (Horison & The Ford Foundation), Horison Sastra Indonesia (Horison & The Ford Foundation), Esensi dan Dinamika (Sastra Leo, Medan), dan lain-lain.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------








No comments: