Monday 10 May 2010

Sedikit Catatan Untuk Puisi terbaik Lomba Cipta Puisi Situseni.com-Indosat

Ada hal yang menarik dari Lomba Cipta Puisi Situseni.com yang dapat kita renungkan. Paling tidak sebuah puisi mampu hadir mewakili penulisnya untuk berbicara banyak dalam berbagai hal yang tentunya tak mampu tertampung begitu saja dalam wadah yang sering kita sebut bahasa.
Seperti yang telah disampaikan oleh panitia, bahwa Lomba Cipta Puisi Indosat telah mencapai puncaknya, yaitu Lomba Triwulan yang diikuti oleh sembilan (9) peserta yang puisi-puisinya merupakan pemenang lomba bulanan periode Januari, Februari, dan Maret. Kesembilan (9) peserta tersebut dengan puisinya masing-masing bertarung untuk mendapatkan gelar ‘Puisi Terpopuler Indosat’, Tiga (3) Puisi Terbaik Indosat, dan Puisi Utama Indosat. Seperti pernah disampaikan pada pengumuman sebelumnya bahwa satu (1) Puisi Terpopuler Indosat ditentukan oleh hasil voting dari para peserta Lomba Cipta Puisi Indosat. Sedangkan tiga (3) Puisi Terbaik Indosat dan satu (1) Puisi Utama Indosat ditentukan melalui sidang Dewan Juri Khusus.
Dewan Juri Khusus Lomba Triwulan Cipta Puisi Indosat beranggotakan, (1) Ahmadun Yosi Herfanda [HU Republika], berkedudukan sebagai Ketua; (2) Ahda Imran [HU Pikiran Rakyat], berkedudukan sebagai anggota; (3) Moh. Syarif Hidayat [Balai Bahasa], berkedudukan sebagai anggota; (4) Ari M.P. Tamba [HU Jurnal Nasional], berkedudukan sebagai anggota; (5) Doddi Ahmad Fauji [Majalah ARTI], berkedudukan sebagai anggota. Para Dewan Juri Khusus telah bersidang pada hari Minggu, 9 Mei 2010 untuk menentukan pemenang Tiga (3) Puisi Terbaik Indosat dan Puisi Utama Indosat dengan Saudara Frans Ekodhanto yang bertindak sebagai Notulen. Setelah melewati perdebatan panjang dan adu argumentasi mengenai keunggulan dan kekurangan masing-masing puisi para finalis.
Penilaian juga menurut panitia berdasarkan aspek penilaian oleh dewan juri, yang berdasarkan, pada : kedalaman dalam penggarapan tema, amanat, bunyi, suasana, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa. Serta kekentalan dalam sublimasi dan simbolisasi.

Ada beberapa catatan yang dapat dipetik. Dari kesembilan puisi yang terpilih empat diantaranya ditulis oleh penyair-penyair wanita dan lima oleh penyair-penyair pria yang tentunya kurang begitu popular di kalangan para penyair yang memiliki jam terbang yang cukup mumpuni di jagat perpuisian Indonesia. Tetapi mampu dan lihai dalam mengolah kata sarat makna.

Berikutnya adalah dari sekian banyak lomba, mungkin baru Situseni.com bersama Indosatlah yang berani mendudukkan sastra(puisi) pada kedudukan yang terhormat, yang saya yakin hal ini tentu menimbulkan banyak pro-kontra.

Terakhir, mungkin dari sekian ribu puisi tentu masih banyak puisi yang luput hanya saja keterjebakan pada criteria tak mampu dilalui dengan sempurna.Termasuk juga dominasi penyair bandung, semarang, jogjakarta (jawa)dibandingkan penyair luar jawa, seperti Sumatera utara (Medan) pada puisi PELAJARAN MEMBACA RUANG, Tina Aprida Marpaung.

Akhirnya, kelemahan disana-sini tentu ada, misalnya yang perlu dipertimbangkan adalah keabsahan voting yang mungkin juga akan mempengaruhi kenyaman penjurian dalam menentukan puisi terpopuler dan puisi utama. Pun begitu saya yakin profesionalisme dari juri tentu tak akan terpengaruh dalam menentukan para pemenang seobjektif mungkin, walau dibentengi dengan senjata keputusan juri mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Selamat kepada penyelenggara. Selamat kepada dewan juri. Dan terutama selamat kepada para pemenang. Teruslah berkarya, sebab karya akan menjadikanmu terkenal, rendah hati akan menjadikannya abadi, sedangkan kesombongan akan menjatuhkannya perlahan. Kepada yang belum beruntung teruslah berkarya, bersikap lapang dada, sebab pemenang sejati adalah orang-orang yang terus melahirkan karyanya. Sukses untuk semua.

Salam,
M. Raudah Jambak
Direktur Komunitas Home Poetry
TBSU, Jl. Perintis kemerdekaan no. 33 Medan
Sumatera Utara


Aku Kini Menjemputmu

karya: Faisal Syahreza

tiba-tiba aku membayangkan kita adalah burung kecil yang terbang,
ketika gerimis turun mengecup langit senja. ribuan pohon-pohon
yang basah dengan terpaksa, mengusir kita. lantas kucari atap-atap teduh
di antara gedung-gedung yang menggigilkan peristiwa muasal kita.
tiang-tiang listrik yang seolah-olah ingin melesat menuju angkasa.
sementara mereka hanya tertancap dikepung kabut jalan raya.

kita memang pernah diciptakan dengan sayap gemerlapan, jauh
sebelum cahaya bersujud pada kita. dan api memilih pengkhianatannya.
kita juga tinggal di taman yang separuhnya terkena terik matahari hangat
dan separuhnya lagi terbasahi hujan –geliat semak belukar, pohon-pohon
yang menjatuhkan apel hijau ke tepian sungai. tapi aku dan kau,
telah lebih memilih cinta. lebih tergoda dengan lampu-lampu kota,
dan riak telaga berangsa. yang sesekali kita kunjungi di saat
merasa perlu meneteskan airmata.

kusayangkan semua itu pada waktu yang terus bergelora di langit jingga.
di mana gerimis memang terasa pahit bagai ujung pisau tembaga.
sebab itulah jarak kita yang kini telah kuhancurkan dalam kerinduan.
lama kunantikan, sejak engkau menetas di rahim ibumu,
dan aku kini menjemputmu. aku membayangkan lagi, bila kita mampu
menjawab pertanyaan di antara sesak iklan dan berita menggelikan.
maka aku sudah sampai pada pengembaraan adam. haruskah
memilih ruas tulang yang hilang, di kantor perusahaan, mal atau swalayan.
meskipun, sejak berabad silam, kuharapkan pertemuannya
di tepian pantai, di mana angin menyapa bersama ombak lembut.
atau paling tidak, di sebuah taman yang hangat dan dinginnya
sedikit mengingatkan pada pohon terlarang.
: dan sekarang, bukankah kini adam ada pada diriku, terpuasakan oleh cintamu.

Bandung, 2010






karya A. Ganjar Sudibyo
PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN
1.
dulu, anak-anak bulan senang main origami kapal-kapalan
sewaktu penghujan melahirkan arus luapan kali menuju jalan-jalan kampung
lalu ada dolanan jamuran saat banjir tak lagi tinggal pada bulan-bulan kemarau
: di mana ibu mereka sering berdandan dengan begitu purnama

mereka bilang, kapal-kapalan jauh lebih seru dibanding
berpura-pura melingkar bergandeng-tangan menyanyikan
kidung jamuran yang jadul itu

dan bermain kapal-kapalan tak perlu mendiamkan
pura pada wajah-jujur kita.
2.
sekarang, duduk mengendapkan mata pada layar televisi
atau muka-muka kaca digital lebih jadi jaminan hiburan
tanpa perlu keluar di jalanan kampung
mempelajari mainan nenek moyang
:banjir-banjiran
kapal-kapalan
jamur-jamuran

demikian, mereka jadi tahu
tentang ibubulan yang berpindah tempat
mengungsi karena kebanjiran sepi di setiap jalan-malam.
3.
sekian lama duduk belajar memilih
mana channel yang paling baik ditonton
anak-anak bulan sadar; televisi telah mengurungnya
pada kepala mereka

sedang ibu mereka masih saja menyimpan lagu jamuran
yang siaga diajarkan untuk setiap malam
yang bangun dan lelap pada bola-mata mereka.
4.
rupanya, ada isyarat pembicaraan kecil
suatu ketika pada channel nomor satu
mulut mereka begitu nyaring
membacakan tanya dari televisi,

“hei…hei...
ada wajah siapa di muka layar itu

ada bu guru dan pak guru
yang berdemo di depan sekolah kita
juga ada alat-alat besar itu

dan mau ke mana
bangku-bangku
papan tulis kita?”

rupanya, tanya menuntun mereka
untuk kembali ke pangkuan ibubulan
supaya mimpi tak meleleh di samping nyala doa.
5.
di pinggiran jalan kampung anak-anak bulan menengadah
berhitung tentang bilangan-waktu ramalan
kapan bisa menemui ibubulan lagi

semenjak mereka rajin belajar mencari arah
tanpa kompas dan peta, ke mana namanya diketemukan
selain dalam rupa ibu yang berdandan purnama lagi

lantas bertanya mengapa kata bulan tak dinamakan, padahal
ibubulan masih setia merancang adegan permainan jujur-tawa-rindu
untuk setiap anak yang lahir dan bermain
di setiap kota-malam di setiap zaman
di setiap nyanyian anak-anak bulan;
tradisi yang membuatnya ada dan tanda!
Semarang, 2010
CATATAN
Jamuran: permainan tradisional dari Solo, Jawa Tengah
Dolanan (bahasa Jawa): permainan (bahasa Indonesia)
karya Ilham Yusardi
Rantau
maka, aku berlayar kepulau-pulau lengang, selat-selat yang menghulu haluan kapal
amboi, di manatah wajahmu dara. aku hanya mengingat jejak tarianmu di ujung semenanjung. kini di situ pulalah kaki terbenam, menjadi seorang kuli pelabuhan.
orang-orang bongkar turunkan impian dari selatan, mengapalkan goni lada, kopi
dan secebis hikayat-hikayat. tanah ini, berabad-abad dipenuhi sejarah kebabilan.
seribu punggawa telah memotret dirinya di mega yang pasi. aku melukis sketsa para sultan, mengulum rindu para sayid pada cinta nan abadi, anbiya-anbiya
yang mengunus tinggi nama tuhan
: tapi tak jua kudapati sedikit jejak rambutmu yang merbak pala di pesisir ini.

pada malam-malam yang diam, orang-orang tidur dalam hikayat ksatria
: mereka telah menjelma Hang Tuah, Hang Jebat, beradu keris acungkan kebenaran,
saat itu pulalah kubayangkan kau terduduk haru di satu sudut polis,
mengemis sejumput kasih lewat pasi dinding dingin, dengan wajah diranum garis.
sedang pun, di pertigaan simpang lain, orang-orang lengkingkan stanza
dengan muncung aroma anggur tua. ”tanah ini, tanah ini harum humusnya mengirim rindu pada negeri seberang. teruslah...,teruslah tulis hikayat kalian dengan ujung pedang”

tapi kaki merindu ayun, hendak langkah jua menemu tanah yang lain.
maka, kususuri sungai, hingga kehulu. kucari para lanun di tanah perca,
beradu niaga, bertaruh peruntungan. Aih..., apatah ini yang disebut nasib?
berkali doaku patah,
diujung
sujud.
1428-1430



karya Tina Aprida Marpaung
PELAJARAN MEMBACA RUANG
kelas rusuh sekelompok debu berebut kursi
angin tak mau kalah mengambil tempat di mana saja
seperti bias gaduh melongok gagu menyikut sendiri
ingin tak sudah tampil semangat dari tekad membaja

kursi-kursi gelisah mencatat catatan yang tersisa di papan tulis
meja-meja gemetar disetrap keadaan yang membingungkan
seperti siswa usia sekolah mengaratkan hafalan sampai tiris
membaca gambar bibir yang membekap masa depan

langit-langit ruang tak mau kalah menerjunkan kucuran hujan
menguyupkan lantai yang tak pernah selesai berdandan
seperti bantuan pendidikan yang berdiri mematung di simpang jalan
sementara arus jalanan hanya hilir mudik saling berbantahan

media pembelajaran ternganga entah harus melakukan apa
alat-alat tulis tak akrab lagi dengan hurup-hurup dan angka-angka
seperti guru-guru yang terlalu sibuk menebar fatwa-fatwa
dan siswa-siswa yang sibuk menyusun make-up dalam tasnya

"Hore bel panjang. Kita pulang!"
"Hore guru rapat. kita pulang!"
"Hore Ketua Yayasan sakit. Kita pulang!"
"Hore ada artis datang. Kita pulang!"

ah, debu lagi...
(Komunitas Home Poetry-Medan-Sumatera Utara-2010)

Karya edwar maulana
Gendang
Sampai takdir mengirim perempuan tuli ke tempat paling sepi:
tak ada lagu kayu-kayu, bunyi-bunyi besi atau suara ranting patah
menimpa genting rumah. Tak ada.

Hanya keluh penabuh dan teriak penyorak yang mengoyak telinga
hingga untuk pertama kalinya, perempuan itu pun akhirnya menangkap
dengar.

Barangkali, karena kemurahan hati atau rasa syukur yang terlanjur.

Sebut saja pengorbanan atau perampasan. Ketika kulitnya yang halus
mulus dikecup kilau bibir pisau, di tangan si ahli. Maka sempurnalah
luka-lukanya.

Ketika semuanya ditabuh, semuanya disentuh, semuanya bergemuruh.
Tinggal sepenggal luka dibawa lari sapi-sapi.

Bandung, 2010




Karya Maya Mustika
balada para dewa
begitu malam menampakkan wajahnya
orang-orang gegas merapikan langkah

“jangan ada satu jejak pun tertinggal
apalagi berkeras berdiam di sudut kegelapan
kita harus kembali pada rahim peraduan
sebelum gigil memporakporandakannya
hanya ada satu obor yang dibiarkan tetap menyala
menyambut kedatangan para dewa”, tegasnya.

ya, memang benar
kini kami mulai mendengar derap langkah itu
dari kejauhan terlihat seperti nyata, namun tak tampak
satu persatu tak tiknya berkeliaran dalam ruang tengah telinga
mengental dalam larutan keheningan
memaksa setiap pendengaran tetap bersetia
menghitung tiap detak, mengukur jejarak
sampai benar-benar tak adalagi yang berderap dan berjarak

kegelapan dan bunyi kecapi sunyi mengiringi kedatangan
harum keresahan semakin menyengat
langit-langit mata kami berubah menjadi kuning langsat
menyaksikan, mendengar balada para dewa

“kami datang membawa bebungkus doa yang kalian panjatkan sejak subuh tadi
kami datang membawa sekantong keringat dan selembar airmata yang terkoyak
di balik langit, kami datang membawa sebongkah mimpi yang tergolek di bibir senja
dan kami datang tidak untuk menggenapkan doa-doa, tapi kami datang hanya
mengambil sedikit angka dalam tubuh, kami datang memungut
sedikit nafas dari mimpi-mimpi kalian”.

siapa yang masih bertahan atau berapa yang lari dari kenyataan
semua tercatat pada tiap lelembar tanah—
sesuatu kepahitan dan keindahan yang takkan terlupakan sepanjang zaman peradaban
akan didapatkan setiap insan”, tegasnya.

demikianlah kami menutup malam setiap harinya
memersiapkan sesaji
mendengarkan balada para dewa
sambil memungut kata-kata yang bergelincatan dari bibir tuanya
barangkali berkah tak lari ke mana
sambil mengemas musim pulang

Maret, 2010





Karya kedung darma romansha
Hijib Khafi
"Di sinilah mula kematian dan kelahiran"

mimpi kita dikepung malam
terperangkap sepi yang dalam.
kita sibuk membenarkan alarm
membenahi malam yang sobek oleh hujan.
di sini kita pernah bersaksi
tentang luka tentang kata-kata
yang cerewet di genting rumah.

kitalah lelucon kata-kata
puisi yang lupa rahimnya.
mata yang palsu menerjemahkan hidup
sesudah tangis pertama meledak di telinga ibu mereka.

kita bicarakan maut
sebagaimana sebilah sajak yang akan membunuh
dan mengalamatkan kematian kita.

kemana hilangnya hari kemarin
ketika matahari membangunkan mimpi semalam?

bacalah atas nama Tuhanmu
bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu
bacalah setiap tujuh lapis hatimu

kita rasakan udara berputar di tubuh
seperti bumi dan galaksi
seperti tasbih yang kita putar setiap hari.

apa yang kita pikirkan
saat usia kita mulai bungkuk?
karena banyak menampung kisah yang basah oleh hujan
dan kemarau mengeringkan usia kita di musim lalu.

maka kita baca malam dan siang
pada tebaran cahaya dan kumpulan gelap
adalah kita bermukim di dalamnya.
serupa batu berlumut dirayapi hujan dan udara
dan cuaca yang mangkir di hati kita.

Sanggar Suto, 2007-2010
Hijib Khafi : Benteng yang disamarkan





Karya Cut Intan Auliannisa Isma
Melati-Melati Khatulistiwa

Jika embun dapat menyela di tengah gurauan dedaun
Ia akan berbicara sangat banyak
Tentang kembang-kembang yang ia singgahi bertahun-tahun
Seakan ia tidak pernah tidur nyenyak

Ia tak kuasa memeras logika untuk yang merona
Mawar-mawar lebih tak beretika terus menggoda
Perlukah ia berbalik dan dengan lantang berkata ya?
Atau tidak karena ada yang jauh lebih mempesona

Mereka putih, tidak bercahaya juga tidak banyak berbicara
Seperti putri-putri Perancis mengunci rahasia-rahasia
Berbalut semerbak parfum dewi-dewi Yunani
Menantang kaum gipsi bernyanyi-nyanyi

Mereka tangguh tanpa sedetik pun mengeluh
Seolah takdir mengikat hidup mereka dengan peluh
Dan pantaskah mereka malu jikalau ada benalu?
Tidak! Tanpa jeda mereka akan berkata ‘itu musuhku!’

Entah apa yang diajarkan khatulistiwa pada mereka
Ramuan apa yang mendarah daging menjadi batang mereka
Yang tumbuh di bawah aturannya sungguh luar biasa
Mereka berbeda, sangat berbeda, wahai dunia

Sang embun benar-benar ingin berkata
Kau harus merasa takjub sekarang
Karena apa yang kuketahui tentang mereka
Pasal kemahadahsyatan tanpa kurang

Yang dia sebut melati itu,
Mereka akan tumbuh menembus bebatuan kaku
Jika tidak diusir oleh lumut yang cemburu
Dan mereka mana suka mengganggu

Yang dia sebut melati itu,
Mereka akan merajai surga di bawah matahari
Jika tidak dicibir oleh kaktus yang iri
Dan mereka punya harga diri

Ketahuilah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di barat
Tajam, berduri, tidak terbendung sungguh berani

Lihatlah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di tengah
Jenaka, gemulai, tidak terkira sungguh ayu melambai

Buktikanlah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di timur
Kuat, kokoh, badai pun menyerah memaksanya roboh

Maka sekarang beritahu mereka yang awam
Di belahan dunia manakah ada kembang sedemikian
Yang mampu membuat kumbang bahkan alam terdiam
Seakan mereka mewarisi magis ketajaman sebuah intan

Jika embun dapat menyela di tengah gurauan dedaun
Jelas dia tidak akan hanya sekedar menyela
Karena ia memuja seribu puja akan putih-putih serumpun
Yang ia ukir dalam benaknya bernama melati khatulistiwa

Yogyakarta, 23 Desember 2009




Karya evi sri rezeki
Perempuan Hujan

Perempuan itu lahir dari tetesan hujan
Tumbuh dalam rahim dedaunan
Menetes bersama embun
Serupa kelahiran

Perempuan hujan itu jatuh cinta pada angin
Membawanya ke negeri dongeng
Dimana tak ada lagi padang rumput dan kastil tua
Tak ada lagi pangeran berkuda putih dan putri tidur
Hanya menjadikan bencana sebentuk kecupan
Dan dilema sehangat cahaya pagi
Serupa kehidupan

Perempuan hujan dan angin
balutan anugerah dan kutukan
dicintai bersama kemarau
dihujat bersama badai
berlarian dalam gelap terang
serupa harapan

Pada hari kelahiran perempuan hujan
Ada tarian dan nyanyian yang diperdengarkan alam
Bumi berguncang dan kaki-kaki berhamburan
Ada lidah sungai yang menjulur hendak mencari bibirnya
Serupa kematian

Bandung, 25 Desember 2009

1 comment:

ALI MUSTOFA said...

salam budaya....
Wu-DeL (Cangkrukan Teater Wong Ponorogo)...