Sunday 18 April 2010

AKULAH MEDAN

Diskusi Sastra Seri ke-15
"Imperium Puisi Liris di Indonesia"

Pemikiran Dasar

Sudah lebih satu abad usia kesusastraan Indonesia yang acap dilabel
dengan kata "modern". Banyak sudah gaya dan bentuk yang telah
dilahirkan dan dieksperimentasi oleh para penyair. Sejak Abdullah
Abdul Kadir Munsyi hingga Goenawan Mohamad, sejak Sanusi Pane hingga
Acep Zamzam Noer dan penyair-penyair muda belakangan. Namun, dari
panorama yang cukup kaya itu, dapat kita melihat satu arus utama yang
sangat kuat mempengaruhi wajah, ideologi, bahkan pertumbuhan sastra
kita pada umumnya, yakni lirisisme dalam puisi "modern" Indonesia.
Tentu saja, tengara ini tidak hendak menafikan adanya bentuk-bentuk
lain dan alternatif yang pernah ditetaskan bahkan cukup bergelora di
dalam sejarah perpuisian Indonesia. Sebut saja bentuk-bentuk mulai
dari epik yang antara lain cukup pekat dilahirkan antara lain oleh
Chairil Anwar. Lalu puisi-puisi pamflet yang dimotori WS Rendra,
puisi "mantra" oleh Sutardji Calzoum Bachri, puisi "visual" Danarto,
hingga puisi "mbeling"-nya Remy Silado atau puisi "materialis"-nya
Afrizal Malna.
Namun kekayaan bentuk, gaya dan varian-varian itu masih belum dapat
menutupi kesan kuat dari pengaruh dan dominannya puisi-puisi liris di
Indonesia, hingga di belakangan hari. Hampir umum di kalangan penyair-
penyair muda berbakat saat ini, yang datang dari seluruh pelosok
negeri, mengambil pilihan artistik bahkan "ideologis" dari mainstream
dunia literer itu.
Bahkan dapat dikatakan, sebagian besar dari para
pencipta "alternatif" di atas, pada dasarnya berawal dari dan pada
akhirnya kembali pada bentuk-bentuk yang liris. Entah Chairil,
Rendra, Sutardji atau juga Remy Silado. Lirisisme seakan telah
menjadi bahasa ungkap utama yang –sengaja atau tidak—diterima atau
diakui sebagai wajah utama dalam dunia literer di negeri ini. Walau
sesungguhnya, pilihan artistik itu menyimpan berbagai persoalan,
sebagaimana ia sudah dibincangkan sejak lama, yang sayangnya tidak
cukup adekuat dan mendalam pembahasan dan penyebaran idenya.
Hal di atas, mungkin, antara lain disebabkan oleb "dikuasainya" ruang-
ruang puisi utama di berbagai media massa (koran, majalah, hingga
jurnal-jurnal sastra) oleh mereka (para redaktur, editor, sastrawan,
kritikus atau akademikus) yang memang cenderung lebih setuju atau
sesuai-paham dengan bentuk liris tersebut. Sebagai contoh, beberapa
media sastra utama, seperti koran Kompas (halaman Bentara), Koran
Tempo, majalah sastra Horison, jurnal sastra Kalam (Jakarta) atau
Puisi (Yogya), hingga terbitan-terbitan kampus (UI terutama)
digawangi oleh mereka yang memiliki kecondongan sama di atas.
Sementara media-media tersebut, diterima atau tidak, telah menjadi
sumber acuan atau referensi utama bagi media-media lain maupun
kalangan penyair muda umumnya. Sehingga terbangunlah semacam imperium
(lirisisme) di panggung puisi Indonesia.
Semua media tersebut, bila dilihat lebih dalam ternyata berpangkal
pada tiga kelompok atau komunitas sastra pendukung utama lirisisme di
atas. Yang pertama adalah kelompok Horison yang dipimpin oleh Taufik
Ismail, yang merebut pengaruh hingga Yogyakarta, dan sekolah-sekolah
dasar serta menengah di Indonesia, lewat edisi sastra khusus pelajar
dan gerakan "sastra masuk sekolah". Yang kedua, adalah kelompok Utan
Kayu yang dipimpin Goenawan Mohamad, yang tidak hanya menancapkan
pengaruh pada media-media yang tergabung di dalamnya, seperti Koran
dan majalah Tempo, jurnal Kalam bahkan hingga kebijakan puisi di
harian Kompas atau berbagai acara/festival sastra yang
diselenggarakannya, nasional maupun internasional.
Dan terakhir adalah civitas akademik, terutama Universitas Indonesia,
yang berada di bawah pengaruh kuat Guru Besar seniornya, Sapardi
Djoko Damono, yang tekun melahirkan telaah, hasil penetian, wacana
diskursif, lomba, jurnal hingga penerbitan jurnal-jurnal puisi.
Ketiga kekuatan legitimatif di atas, tentu saja tak dapat diimbangi
oleh kekuatan alternatif yang kebanyakan hanya bersifat individual,
tanpa infrastruktur pendukung sama sekali.
Apakah gejala ini sebenarnya juga menyiratkan adanya sebuab "politik"
(kesusastraan/kebudayaan) tertentu di dalamnya? Atau memang semata ia
menjadi sebuah dinamika literer biasa saja? Hal-hal itu yang antara
lain harus dicari jawabnya. Termasuk, apa sebenarnya risiko-risiko
artistik dan estetik di dalamnya? Apa hal-hal eksternal dan internal
yang mempengaruhinya? Akan kemana sebenarnya perpuisian Indonesia
akan terbawa, di jangka pendek dan panjangnya?
Untuk membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itulah,
Bale Sastra Kecapi bersama Harian Umum Kompas dan Bentara Budaya
Jakarta, kembali akan menyelenggarakan serial diskusi sastranya (yang
ke-15), dengan tajuk: "Imperium Satra Liris di Indonesia". Dalam
diskusi yang secara rutin diselenggarakan bertempat di Bentara Budaya
Jakarta, Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta Pusat, akan dilaksanakan
pada tanggal 19 Maret 2008, dengan menghadirkan tiga pembicara, dalam
disiplin agak berbeda untuk membahas persoalan yang terurai di atas.
Yang pertama adalah Sapardi Djoko Damono, profesor sastra dari
Universitas Indonesia juga penyair senior yang mampu mempertahankan
kekuatan kreatif dan perannya dalam dunia kepenyairan Indonesia
selama 40 tahun. Karya-karyanya cukup banyak dan beragam,
terdistribusi dengan baik dan menyentuh cukup banyak lapangan.
Berikutnya adalah Afrizal Malna, penyair juga esais yang meluaskan
aktivitas artistiknya pada bidang-bidang seni lain: teater, seni
rupa, videografi hingga seni tari. Beberapa pemikirannya dianggap
segar dan cukup memberi pengaruh pada sebagian penyair muda di
Indonesia.
Dan terakhir adalah Kris Budiman, linguis yang juga dikenal sebagai
pengamat yang cukup tajam pada persoalan sastra di Indonesia.
Berbagai tulisannya yang mengupas banyak persoalan kemasyarakatan di
sekitar kita, cukup memancing perhatian kalangan cendekiawan. Yang
pada akhirnya dapat memberi nilai lebih pada pandangan dan
analisisnya mengenai sastra Indonesia.

Ancangan Personal

Tanpa bermaksud membatasi atau memagari, atau mendikte pikiran, dari
pembicara Sapardi Djoko Damono kita dapat berharap mendapatkan
sebuah pandangan yang kuat mewakili kecenderungan liris dalam puisi
Indonesia, sebagaimana posisinya yang cukup menonjol di dalam hal itu
dalam hampir setengah abad terakhir perpuisian Indonesia. Adekuasinya
sebagai seorang peneliti dan akademikus, akan memberi bobor
tersendiri bagi pandangan tersebut dan diharapkan ia bisa menjadi
argumentasi terkuat bagi kuat dan bertahannya imperium puisi liris di
Indonesia. Termasuk jawaban persoalan, dari mana sebenarnya
kecenderungan itu berasal; kenapa ia menjadi pilihan utama; apa
advantage yang diperoleh seorang penyair yang memilih bentuk artistik
tersebut, dan pada akhirnya, apa pandangannya terhadap rangkaian
eksperimentasi atau bentuk-bentuk alternatif lainnya yang ada dan
pernah berkembang di negeri ini?
Sementara dari Afrizal Malna, mungkin dapat kira peroleh sebuah
pandangan perbandingan yang coba melihat dunia dan sejarah perpuisian
Indonesia dari sudut lain. Sudut yang selalu mempertanyakan realitas
literer yang ada, realitas yang kadang dianggap terdominasi atau
mengalami hegemoni oleh kekuatan literer tertentu, baik dalam
artistik, politik maupun historik. Mengapa, misalnya, kritik yang
keras harus dilancarkan; dominasi harus dihindarkan; penciptaan
alternatif mesti diperkuat; atau apa antara lain yang pernah
dilakukan oleh Afrizal sendiri dalam mencoba memperkaya khasanah
bentuk atau artistik dunia sastra di Indonesia?
Akhirnya terakhir, dari Kris Budiman, sebagai wakil dari kalangan
pengamat dan akademisi murni, kita dapat mengharap satu pandangan
jernih dan dingin tentang situasi dunia sastra kita, terutama dalam
puisi, dalam sejarah maupun kekiniannya. Bagaimana permainan bentuk,
gaya atau ideologi memberi pengaruh bahkan arah dalam perkembangan
sastra/puisi di negeri ini? Apa yang terjadi atau direaksi oleh
publik sastra pada umumnya, terhadap berbagai kecenderungan atau
pilihan artistik dunia literer di atas? Mengapa secara sosiologis,
historis dan juga mungkin politis, lirisisme begitu kuat bahkan
seakan membangun imperiumnya sendiri? Benarkah karya-karya alternatif
atau eksperimental akan selalu tertinggal solitaire, marjinal untuk
pada akhirnya pupus oleh kekuatan imperial di atas? Dan terakhir
mungkin dapat terbaca kemana arah perkembangan sastra/puisi kita pada
akhirnya; apakah lirisisme dalam puisi sungguh telah dapat menjawab
kebutuhan sastra (dan akhirnya kebutuhan publik luas) kita sekarang
ini?
Dan tentu banyak sisi lain atau persoalan lain yang dapat mencuat
dari ketiga pembicara di atas, yang diharapkan dapat memancing
diskusi atau debat dengan floor demi terciptanya pemahaman lebih baik
dalam kita menghadapi semua kemungkinan konfliktual yang berpotensi
merusak kehidupan dan kebudayaan secara keseleruhan.
Di samping harapan-harapan di atas, kali ini serial diskusi Bale
Sastra, Bentara Budaya dan Kompas juga akan menampilkan satu
pelengkap baru, dimana Bale Sastra akan memresentasikan hasil riset
kecilnya tentang permasalahan yang diangkat. Presentasi itu berupa
penjelasan hasil studi pustaka di seputar wacana dan karya-karya
sastra yang bersangkutan dengan lirisisme. Awal mula, bentuk, isyu-
isyu utama, pengarang-pengarang terkemuka dan perkembangan
mutakhirnya. Kedua, hasil dari kuosiner yang disebarkan di kalangan
para pembaca sastra, tentang bagaimana apresiasi mereka terhadap tema
yang bersangkutan? Apa siginifikansi yang mereka peroleh? Dan apa
harapan yang ada bagi jenis sastra tersebut, berkait dengan kebutuhan
hidup masa kini mereka? Dan lain-lainnya.

No comments: