Sunday 11 April 2010

PUISI INDOSAT 2010

PELAJARAN MEMBACA RUANG
kelas rusuh sekelompok debu berebut kursi
angin tak mau kalah mengambil tempat di mana saja
seperti bias gaduh melongok gagu menyikut sendiri
ingin tak sudah tampil semangat dari tekad membaja

kursi-kursi gelisah mencatat catatan yang tersisa di papan tulis
meja-meja gemetar disetrap keadaan yang membingungkan
seperti siswa usia sekolah mengaratkan hafalan sampai tiris
membaca gambar bibir yang membekap masa depan

langit-langit ruang tak mau kalah menerjunkan kucuran hujan
menguyupkan lantai yang tak pernah selesai berdandan
seperti bantuan pendidikan yang berdiri mematung di simpang jalan
sementara arus jalanan hanya hilir mudik saling berbantahan

media pembelajaran ternganga entah harus melakukan apa
alat-alat tulis tak akrab lagi dengan hurup-hurup dan angka-angka
seperti guru-guru yang terlalu sibuk menebar fatwa-fatwa
dan siswa-siswa yang sibuk menyusun make-up dalam tasnya

"Hore bel panjang. Kita pulang!"
"Hore guru rapat. kita pulang!"
"Hore Ketua Yayasan sakit. Kita pulang!"
"Hore ada artis datang. Kita pulang!"

ah, debu lagi...
SEKOLAH PATUNG
pelajaran pertama adalah memanfaatkan diam
senyum bisu
pelajaran kedua adalah ejaan yang disempurnakan
untuk tangis dan tawa
pelajaran ketiga adalah makan siang
dari tempat sembahyang
pelajaran keempat adalah menyusun nama samaran
di depan puting susu perawan
pelajaran kelima adalah menciptakan mimpi
dengan serpih ingatan kelam
tentang kudeta dan penghianatan
pelajaran keenam adalah melukis nyawa
dengan memberi nafas kepada angka
pelajaran ketujuh batal
disampaikan
sebab para guru ketahuan
telah mempersekutukan Tuhan
Teluknaga, 2010
Sajak Empat Larik
Bertemu sunyi di denyut nadi
Tanpa tegur sapa
Kami memandang ke arah yang berbeda
: cakrawala berkabut, malam jekut, wabah amnesia di setiap penjuru kota

2009
Surat dalam Botol
menjelang pagi, aku menemukkan sepucuk surat dalam botol
ombak utara telah mengantarnya ke bibir pantai abrasi ini
buru-buru aku meminjam pembuka botol dari warung terdekat, kubuka
tapi surat itu sudah mati

kertasnya pucat, hurup-hurupnya terbujur kaku, tinta yang membeku
kugoncang-goncang surat itu, dan kusebut satu-dua nama yang mungkin bisa membangunkannya,
sia-sia,
hanya aroma hutan masa lalu yang menguap lamat-lamat

aku menggali lobang di atas pasir dengan talapak tanganku
jenazah surat itu aku kuburkan dengan sedikit doa-doa
udara laut membiaskan beberapa wajah yang kukenal
tapi tak ada yang bersedih

mejelang tengah hari,kutinggalkan kuburan itu
saat camar berganti nazar
SEBUAH SAJAK SENTIMENTIL DARI TELEVISI HITAM-PUTIH
gadis kecil itu bermimpi
menyusuri kanal kanal di venesia
di atas sampan
dengan sepasang dayungnya
yang kecil
bersama seorang bocah laki laki
penulis puisi.

que sera sera

seorang penyair
duduk sendiri
di kamarnya yang berdebu
dinding dan atap tiba tiba
ja
tuh.
penyair itu cuma menggumam
"o venesia, venesia aku datang"
saat tubuhnya yang kaku
dilarikan banjir ke selokan.

que sera sera
sebuah buku puisi
tersenyum genit
dan menutup dirinya sendiri!
Sungai Waktu
SUNGAI WAKTU
---Elo, Progo dan Borobudur

aku berdiri mendengarkan
detak jantungku sendiri
sembari menandai jejak waktu

ketika detik-detik sejarah
perlahan hanyut dalam arus air
menyeret dan menenggelamkan
rangkaian peristiwa tanpa selesai

silsilah moyangku lahir di pertemuannya
perkawinan masa silam dan masa depan
dimana pemahat batu, petani dan prajurit
mengambil tenaga hidup dari nyawanya

lumpur usia,
dan berabad aliran riwayat
menghembuskan bau mistik
arus memahat bebatuan
tangan mengukir pecandian

di genggaman para tetua
jemari waktu menuliskan prasasti
merapal mantra kata-kata
membukakan gerbang matahari

aku berdiri mendengarkan
detak jantungku sendiri
sembari menandai jejak waktu

menziarahi tumpukan bebatuan
yang menyerupai kelinting raksasa
terpaku mendengarkan gema agung
terhisap musnah dalam arus waktu
lingkaran yang mengitari dirinya sendiri

2010
kantata lundi
ada bunyi sebuah pintu terbuka
pada suaramu
dan langkah kaki orang-orang
dengan lentera di tangan mereka
dengan malam masih saja luruh
dari tangkai-tangkainya

suara-suara tembakan itu
berasal dari atas bukit
suara mereka menunjuk ke gunduk itu
sebab tangan mereka mengangkat lentera

ada bunyi sebuah jendela tersibak
pada suaraku
dan langkah kaki orang-orang
pulang menyimpan rumah
sebab tapak tangan mereka
adalah anak kunci bagi gagang pintu.

orang-orang akan melupakan
apa yang baru saja mereka dengar,
hidup memang harus seperti itu
seperti tak pernah terjadi apa-apa

lalu pintu mengeluarkan ketukan
pada mulut seseorang

silakan masuk
pintu tidak dikunci

lalu entah,
kita yang masuk ke mulut makam

09/07/18

Di Kutuk Gerimis
Di Kutuk Gerimis
-M. Nasser Endara-

Yang hitam bersanggul sajak, di tanah tengah kota ini, aku terlahir dari seribu ucapan selamat malam pepohonan. Dengan mata seputih gema, kuburku memekik menikahi seteguk kata – kata ganjil. Sungguh telah kuberi nama janin dalam lesung pipimu yang remaja itu, namun siang telah berpulang dan hujan kian deras menyeret lumpur dalam rumahku. “Maknai raung dalam peperanganmu dan aku akan menjelma gurat – gurat mantra.” Begitu kau pernah berbisik padaku lewat senggama. Aku berjalan bersama gerimis tak terbaca, namun kiranya punggung yang bersahabat dengan bayang – bayang itu sayangku, telah melikut segala takdir dan kemalanganku.
Aku menggubah puisi sendirian. Luruh! Senyummu serupa ledakan goa kelelawar, menggenapkan ingatan bahwa dulu kau pernah khusuk menyapu bibirku dengan lidahmu. Aku terbaring di atas dedaunan kering masa lalu, hidup dalam sungai – sungai pergantian musim. Lalu, tanah yang kian basah ini, menerbitkan tunggak – tunggak ajalku, dan malam semakin pucat diteluh beburung kepergianmu. Sungguh aku merindukan purnama dalam ekormu, namun kesunyian terlanjur gahar mencintaiku. Mendung membangkitkan gaung dalam kantuk dan kereta – kereta perak lamat memuntahkan siulan para penyair yang setubuhi bianglala, juga dinding – dinding yang retak di tiap tikungan itu, sebab aku telah lama menggubah puisi sendirian. “ Sayang, aku jatuh selingkuh.” Segala letup keperihan dan firman para penyamun bertegur tanpa wujud di merah dan kering lambungku. Betapa luka ini adalah sebentuk mimpi buruk paling terjal. Rindu, menjadi jembatan bagi sepi dan ketandusanku.
Biarkan matahari terbit bersama kecantikanmu yang gaib atau selongsong peluru dari kutuk penyalibanmu menembus bebal jidatku. Adakah kepak sayap kupu – kupu lebih raib dari tangis – tangis belasungkawa? Aku berteriak dan dunia ini semakin tak bernama karena dalam lubang fantasiku, bulan tak lagi bulat, melainkan memanjang dengan seratus siku di tiap sisinya. Jasadku muntab dipanggul geludhuk saat kau menatapku menggubah puisi sendirian. Pernah kutulis nama dan hijau tubuhmu, namun seribu malaikat maut terlanjur menyematkan ciuman lain di kurus jemariku. Ruhku mendadak rusuh, di antara padam dan remuk dadaku, kubangun mercusuar terkutuk layaknya kastil dengan meriam yang siap diletuskan ke otak siapa saja. Aku benar – benar menggubah puisi sendirian. Pelukanku jatuh murtad dan kematianku prematur ditusuk parang tertajam. Bibirku sumbing melantunkan sajak gelap paling perih : Aku cinta padamu.

Surabaya, Januari 2010
Siklus
di pagi hari
matahari dan burung-burung
riang memainkan bulir-bulir padi

di sawah dan di ladang-ladang petani cemas
hasil panennya tak seperti musim kemarin
ia mengerang dibakar matahari

di laut
bulan yang berlayar karam
dihantam badai dan gelombang yang begitu tinggi
retak dan berkeping

di bibir pantai
ada yang memunguti sisa-sisa
kepingan bulan yang telah pecah
merangkainya kembali menjadi sebuah matahari
Permintaan Seorang Suami Kepada Istrinya yang Diterima Jadi TKW




berhentilah mengupili dada dengan puisi yang rusak
melubangi lapis terbawah dari sunyi negeri yang ngeri

"segala sakit akan kami kubur di sini!"

inilah omong kosong kita: menyuling kata-kata dari airmata
yang sering jatuh ke dalam jantung lupa
dan mengungkai kuman luka kehilangan
yang berkembang biak demikian kencang
lalu merasa sendiri mengidap sakit penangis
seakan, kita keturunan nuh paling malang
harus enyah dari tanah kelahiran
melayari airmata yang buncah menggenang kenangan

jauh sebelum kita saling memasuki
sama-sama membawa cermin dan bangku
duduk berjuntai di taman seberang mata kita yang telah cokelat
melihat rupa-rupa mengerdil
di batas nyawa, pada genangan tangis bumi membenam pinggang
kita sudah gemar merawat lumut yang meruyaki beratus juta kepala

"o, sejarahkah itu? sekawanan anjing hutan, melingkari danau darah
dan kita bertaruh nyawa di dalamnya!"

kataku, kita masih di negeri keturunan ikan. berenang sajalah
segala sakit itu tak boleh membuatmu ngeri pada kedalaman
tak perlu pula membuat perahu, seperti nuh, nabi yang penangis itu
aku jengah membilang titik-titik iba yang mengurung matamu
menemanimu berenang ke dalam puisi rusak yang kita peras dari airmata

dengung rarau dan umpat-kutuk telah menjangkiti akal
kepala-kepala berlumut yang bertumbuhan di negeri ngeri ini
sepanjang hari, sejauh jalan, kita selalu disuguhkan wajah ngilu
yang diusung para pesakitan

kataku, ini tidak akan terselesaikan oleh puisi

kita masih suntuk bertanya: betapa sukarnya membedaki muka gembira
berdandan, meski tidak sedang ada keramaian digelar

"kalau hatimu tak lagi beruang tampung
sedang sungai yang pernah dan sering kau dongengkan itu sebenarnya tak ada,
biarkanlah tangisku di sini, bertempat tinggal dalam puisi ini
bila rindu datang juga, kirimi aku sapu tangan
tak akan kujatuhkan lagi tangisku ke dalam jantung lupa yang rusak
ia segera kuturunkan ke tebing pipi
ke pinggir negeri yang ngeri ini, mencair. mengalir!"


2008-2010
Matahari di Sungai Chao Phraya
di sungai Chao Phraya aku temukan Venesia
yang menjadi sebongkah cerita untuk hidangan bersama
ketika berlayar dengan perahu
aku seperti mengintip ibu kota yang penuh riuh rindu
dan tidak pernah habis disampaikan kepada para turis

sepanjang bengawan Chao Phraya
banyak gedung berjajar di tepi dan melukiskan pesona kota ini

menyusuri bengawan Chao Phraya
seperti tenggelam dalam gelombang dan melihat megahnya tiang-tiang

matahari menemaniku di sungai Chao Phraya
di perahu kuberteman karyawan berdasi, mahasiswa, dan mbak rok mini

tidak ada jarak ketika aku di perahu
semuanya menggenggam mimpi dan mengejar waktu
sambil memegang ponsel berkirim kabar ke muasal rindu
dan aku mendapat ketenangan di Phra Buddhasaiyas
tempat berteduhnya kalbu seiring berputarnya arus di perahu

Malang, 2010

Sebuah Senja di Dermaga Merak
i//
aku tahu, Va, kelak aku mati di tepi laut ini
di dalam bebatan tanganmu yang tambang, dan dekapan tubuhmu yang kapal

tapi, badai jantungmu atau gemuruh nadimu adalah hitungan mautku satu-satu
terus menyeretku ke tengah samudera, ke sebalik punggung langit yang pernah surga

ii//
kau pun tahu, Va, angin senja yang garam
tak pernah seperih ini mengelus muka, tak pernah selara ini tebalkan duka

tapi, matamu yang pecahan kaca berserakan pula di dermaga
menjadi koin yang diburu anak-anak silem, menjadi rumput laut di karang-karang

iii//
sementara, permukaan laut seperti keriput kulit nenekku yang tisu
menegaskan siluet kematianku yang pekat, dan kerinduanku yang likat

Merak, Desember 2009-Januari 2010
PENYAIR DAN SAPU LIDI
penyair itu terpana
menatap warna merah menyulap rumahnya
yang dulu berwarna putih menjadi hitam
benar-benar hitam

ketika itu langit merah akan menjadi hitam
hanya tubuh yang bersisa dari apa yang dimilikinya
tiba-tiba ia merasa rumah itu adalah tubuhnya yang juga memiliki warna merah
dan terkadang menyulap putih hatinya menjadi hitam
ia bayangkan rumah itu terpana ketika warna merah menyulap putih hatinya menjadi hitam
putih yang membuatnya menjadi betah sedangkan hitam itu membuatnya menjauhi betah

tiba-tiba kata-kata yang ia dapatkan sepanjang menjauhi betah telah menghilang
ia berbalik menelusuri jalan yang tadi dilewatinya
ia yakin kata-kata yang telah dilahapnya dengan ingatan
pulang kepada peristiwa yang telah menjadi rumah bagi kata-kata itu sendiri

tapi kata-kata tak bisa ditemukan karena langit telah menjadi hitam
terpaksa ia gunakan sapu lidi yang tergeletak di halaman rumah orang yang tak dikenalnya
ia coba mengumpulkan kata-kata
tapi kata-kata memang tak bisa lagi ditemukan

kata-kata sepertinya membutuhkan kemerdekaan meski telah memiliki rumah
seperti dirinya
dan kata-kata itu telah menyelamatkan diri ke tempat-tempat lengang
di tempat itu kata-kata kembali kawin dengan waktu
dan waktu pun mengandung
kemudian melahirkan peristiwa baru
kembali menjadi kata-kata yang baru

2010
Rantau

maka, aku berlayar kepulau-pulau lengang, selat-selat yang menghulu haluan kapal
amboi, di manatah wajahmu dara. aku hanya mengingat jejak tarianmu di ujung semenanjung. kini di situ pulalah kaki terbenam, menjadi seorang kuli pelabuhan.
orang-orang bongkar turunkan impian dari selatan, mengapalkan goni lada, kopi
dan secebis hikayat-hikayat. tanah ini, berabad-abad dipenuhi sejarah kebabilan.
seribu punggawa telah memotret dirinya di mega yang pasi. aku melukis sketsa para sultan, mengulum rindu para sayid pada cinta nan abadi, anbiya-anbiya
yang mengunus tinggi nama tuhan
: tapi tak jua kudapati sedikit jejak rambutmu yang merbak pala di pesisir ini.

pada malam-malam yang diam, orang-orang tidur dalam hikayat ksatria
: mereka telah menjelma Hang Tuah, Hang Jebat, beradu keris acungkan kebenaran,
saat itu pulalah kubayangkan kau terduduk haru di satu sudut polis,
mengemis sejumput kasih lewat pasi dinding dingin, dengan wajah diranum garis.
sedang pun, di pertigaan simpang lain, orang-orang lengkingkan stanza
dengan muncung aroma anggur tua. ”tanah ini, tanah ini harum humusnya mengirim rindu pada negeri seberang. teruslah...,teruslah tulis hikayat kalian dengan ujung pedang”

tapi kaki merindu ayun, hendak langkah jua menemu tanah yang lain.
maka, kususuri sungai, hingga kehulu. kucari para lanun di tanah perca,
beradu niaga, bertaruh peruntungan. Aih..., apatah ini yang disebut nasib?
berkali doaku patah,
diujung
sujud.

1428-1430


Wanita dalam Cermin

katanya angin yang mengetuk pintu cermin searah jarum jam, hingga aku ikuti arah
menapak lorong waktu sampai pada gerbong – gerbong kereta tua dengan hantu masinis
penunggu perlintasan

cermin yang terletak sejajar dengan tembok lusuh seumpama retak lumut yang mengkaji hari. berakar retaknya dengan wanita cantik mengetuk – ngetuk, mengadukan tangan pada tembok kaca. tak diperdulikannya helai gaun dari pundak melusuh ke lengan.

akh, kau rupanya
wanita dalam mimpi yang tiap malam menghamili tidur. memaksa jejak memasung rembulan serupa air mata beku di pipimu

matamu menengadahkan harapan. meminta mengepingkan cermin. adalah kepalan tinju dari tanganku. mengadukan daging pada tulang, tulang pada urat, urat pada cermin
( dan diluar kau membersihkan gaun putih kembang )
Aku terperangkap!

Pada Sebuah Stasiun, Medan 2010
Monolog Kumbakarna
Bukan karena Surga atau Neraka

Seluruh tetes darah yang kugenapkan di altar kota Alengka
Adalah kredo terhadap sisa mimpi yang masih bisa kuraba
Meski terlalu gelap--Bahkan menyesatkan doa yang terbata kubaca
Sebelum ia sampai ke tangan para dewa

Bukan karena Surga atau Neraka

Setiap bagian tubuh yang meninggalkan kedudukannya
Mungkin hanya santapan hewan semata
Dan itu akan lebih membuatku merasa lega
Karena meski tak mampu kunaikan tinggi-tinggi panji kemenangan
Namun masih bisa kukecap rasa sebagai ciptaan-Nya dalam setiap luka ini
Kemudian yakin bahwa namaku nantinya akan tertulis pada kitab Weda
Layaknya seorang yang memiliki jasa

Sampai nantinya kuakhiri pula ceritaku ini di antara bilah panah Sri Rama yang terakhir
Masih ada huruf demi huruf yang ingin kuucapkan
kepada kakakku Rahwana,
kepada adikku Wibiksana,
dan kepada semua prajurit Alengka
Yang masih mengangkat senjata dalam pertempuran ini
Tentang apa yang kita cita-citakan
Sesungguhnya hanyalah kefanaan yang baka

Bukan karena Surga atau Neraka




Bandung, Januari 2010
gedunggedung tua pada sebuah ciuman
semuanya bermula dari alamat rindu
membaca gairah pada beratus bisikan
yang membeku

jika yang bersembunyi pada sebuah ciuman
adalah gedunggedung tua
dengan kesepian yang gemetar
maka aku semakin tak mengenalmu

kegelisahan ini bukan seperti jarum jam
yang senantiasa merenungi waktu
ketika dingin meluruhkan seluruhnya

ahh..selalu ada yang menggema
pada kepungan malam
meninggalkan tiupan angin
yang mengandung ucapanucapan gusar
NOL
baiklah, kau telah menulis sunyi di batu itu
yang kemudian kau biarkan digauni lumut dan semut
aku tak menduga ada kabar bahwa menara
yang kau bangun dengan airmata, terbakar tadi malam
orang-orang memadamkannya dengan bersorak
kejam, katamu. keji, kataku
sudah kuhallo berulang kali ponselmu
tapi kesunyian yang kuterima
kau sengaja mencuri suaraku
tapi kau sembunyikan
gairahmu

Rumah Dalam Tas
Seandainya kamar-kamar terbakar,
sumur-sumur hanya dipenuhi lumpur
dan seluruh kampung halaman tenggelam
dan hilang.
Setelah hujan itu ia hanya ingin pergi
dan membuat rumah dalam tas-tas perjalanannya.
Rumah yang tak banyak jendela, satu pintu tak berkunci.
Di balik pintu tak ada meja dan kursi, apalagi televisi.
Hanya membentang karpet merah beludru, berbulu debu.
Tempat membaring tubuh waktu.

Gerimis setelah hujan, ia hanya ingin pergi
Membuat rumah dua pondasi
Dari tumpukan buku dan gundukan baju.
Rumah dengan halaman yang singkat,
tanpa kata pengantar dan daftar pustaka.
Kelak disana, akan ia wariskan mobil mewah dari kaleng biskuit
atau kulit jeruk, juga terbangan balon udara dari busa-busa senja.
Ia pun berjanji seikat melati.
Takkan pernah memberikan pistol atau pedang.
agar tak pernah lagi ada perang.

Hingga selamanya, setelah hujan tak ada pelangi.
Ia hanya ingin pergi membuat matahari sendiri.
Membiaskan lumpur yang menggenang
dan air mata yang mengenang.

2009
Rindu Kabut
Suatu pagi aku menemukamu terbelah dua di teras rumah,
tepat ketika hujan selesai mengguyur pekarangan
yang selalu gundah seperti tengah menunggu seseorang di masa lalu,
mungkin aku harus membangunkamu segera
setelah cuaca pagi yang kembali cerah ini beranjak pecah
menjadi serbuk yang menyakitkan tubuh,
atau aku yang akan menjagamu dari dada hujan yang tebal itu,
sebab kau pasti tersengal ketika siuman dan mendapati kakimu
tak bisa lagi berpijak seperti waktu-waktu yang lalu
Kakimu telah menjadi bunga yang hidup dan bernapas,
lewat celah daun-daun kulihat kau yang mulai bangkit
dan membiarkan suara udara itu bersemayam sejenak
sebelum berpindah sambil mendendangkan nada alam yang samar
Kau dengar suara itu? Suara serak di balik keremangan sana,
kepak sayap burung telah sepenuhnya lenyap sore tadi,
ketika seorang penarik pedati bertanya pada perantau
yang ditemuinya di tepi jalan, "di manakah jalan pulang?"
Padahal perantau itu merasa bodoh tentang waktu dan tempat
Kau belum menyimak kisahku itu, tentu, aku sudah di sini
dan duduk untuk menceritakan segala sesuatu, apa saja,
asal kau siuman dan tenang kembali bersamaku
menatap hamparan kabut yang berpendar dalam hening ujung bukit itu

PUISI TENTANG ANAK-ANAK BULAN
1.
dulu, anak-anak bulan senang main origami kapal-kapalan
sewaktu penghujan melahirkan arus luapan kali menuju jalan-jalan kampung
lalu ada dolanan jamuran saat banjir tak lagi tinggal pada bulan-bulan kemarau
: di mana ibu mereka sering berdandan dengan begitu purnama

mereka bilang, kapal-kapalan jauh lebih seru dibanding
berpura-pura melingkar bergandeng-tangan menyanyikan
kidung jamuran yang jadul itu

dan bermain kapal-kapalan tak perlu mendiamkan
pura pada wajah-jujur kita.

2.
sekarang, duduk mengendapkan mata pada layar televisi
atau muka-muka kaca digital lebih jadi jaminan hiburan
tanpa perlu keluar di jalanan kampung
mempelajari mainan nenek moyang
:banjir-banjiran
kapal-kapalan
jamur-jamuran

demikian, mereka jadi tahu
tentang ibubulan yang berpindah tempat
mengungsi karena kebanjiran sepi di setiap jalan-malam.

3.
sekian lama duduk belajar memilih
mana channel yang paling baik ditonton
anak-anak bulan sadar; televisi telah mengurungnya
pada kepala mereka

sedang ibu mereka masih saja menyimpan lagu jamuran
yang siaga diajarkan untuk setiap malam
yang bangun dan lelap pada bola-mata mereka.

4.
rupanya, ada isyarat pembicaraan kecil
suatu ketika pada channel nomor satu
mulut mereka begitu nyaring
membacakan tanya dari televisi,

“hei…hei...
ada wajah siapa di muka layar itu

ada bu guru dan pak guru
yang berdemo di depan sekolah kita
juga ada alat-alat besar itu

dan mau ke mana
bangku-bangku
papan tulis kita?”

rupanya, tanya menuntun mereka
untuk kembali ke pangkuan ibubulan
supaya mimpi tak meleleh di samping nyala doa.

5.
di pinggiran jalan kampung anak-anak bulan menengadah
berhitung tentang bilangan-waktu ramalan
kapan bisa menemui ibubulan lagi

semenjak mereka rajin belajar mencari arah
tanpa kompas dan peta, ke mana namanya diketemukan
selain dalam rupa ibu yang berdandan purnama lagi

lantas bertanya mengapa kata bulan tak dinamakan, padahal
ibubulan masih setia merancang adegan permainan jujur-tawa-rindu
untuk setiap anak yang lahir dan bermain
di setiap kota-malam di setiap zaman
di setiap nyanyian anak-anak bulan;
tradisi yang membuatnya ada dan tanda!


Semarang, 2010




CATATAN
Jamuran: permainan tradisional dari Solo, Jawa Tengah
Dolanan (bahasa Jawa): permainan (bahasa Indonesia)
Ketika Orang-orang di Kampungku Meremas Jantungnya Sendiri
Waktu itu hujan panas dan angin mati pulang ke ibunya. Lalu mereka pun
berjalan di tengah hari terbungkuk-bungkuk
mencari luhak, sekedar menimba air; sekedar minum kopi; sekedar
mandi anaknya. Sekedar saja, kemudian

mereka telah berjalan subuh-subuh dengan punggung tegak,
di pematang. Ketika mata itu belum sepenuhnya berisi terang. Hanya samar
dari pundak mereka, bekas lumpur atau kulit yang terkelupas
telah membusuk sebelum hari naik sepenggalah. Maka jangan mengantuk
di ujung balai, sebelum hujan turun; sebelum air menggelegak; sebelum
gelas kopi terisi penuh.

Jika saja kopi ini terlalu pahit, datang saja. Akan kaudapati
hujan tengah berhenti di tengah kampung.

Kandangpadati, 091021
Tafakur
Di tanah yang akan punah ini usia kita tumbuh dan rubuh
Ia seperti daun-daun hari yang memutih disembelih matahari
Rumah bagi riwayat kita bangun di atas sepetak keluh kesah
Menabung mimpi yang sepi di tahun-tahun yang tenggelam
Membenahi rencana di lembaran-lembaran musim yang fana

Di sinilah di taman purba dunia dahaga iman mengendapkan jelaga
Tafakur kita tersungkur dalam legam sunyi dan misteri
Merangkak di setapak puisi memunguti remah-remah cahaya
Hayatilah nyala kegelisahan yang tak pernah selesai ini
Dengan cinta kita pertautkan temali mimpi pada tiang-tiang zaman

Di sinilah di kebun kepedihan kita tanam benih-benih permenungan
Dan kita pergilirkan silsilah rindu yang tak pernah menyerah
Doa-doa kita dilipat seperti surat yang terkirim tanpa alamat
Ia seperti pohon yang menjulurkan lidahnya pada warna langit
Dengan akar ketabahannya kita lebur dalam sujud yang teduh

Di tanah yang akan punah ini usia kita tergusur dan terbujur
Waktu perlahan akan meredup menutup pintu-pintu masa lalu
Jiwa yang berabad kita dzikirkan akan hilang dan berakhir
Hayatilah nyala kegelisahan yang tak pernah selesai ini
Sebelum kita runtuh dan terbunuh tanpa menyisakan makna

Bandung, Februari 2010

Dari Pesisirmu Luka Berpesiar ke Jantungku

di bulan pengalih tahun. satu lagu masih setia berputar di langit gaza
sepucuk sajak kukirim lewat genit angin yang membelai harap
lalu separuh bulan redup menatap ringkih kematian
di taman-taman pembantaian

di gaza. kota yang kehilangan peta atau barangkali cinta
setiap hela napas adalah detik terakhir mengukur waktu
dan orang-orang tak peduli. masihkah segelas capucino hangat
menenggelamkan nol derajat musim-musim yang gelisah melerai sudah

di gaza. kota yang menyelundupkan nyawa di liku-liku terowongan
burung-burung tajam mengintai nasib

ah, jadi remuk juga kanak-kanakku dalam kenangan
memulung bahagia. di taman-taman pembantaian

dan sesuara kudengar berpesiar dari pesisirmu ke pesisirku
”ini laut kami. kapan lagi kami bisa meneruskan hidup dari laut ini?”

begitulah
deritamu bukan deritaku. tapi luka jantungku

di sepetak meja, aku tak turut merundingi kisahmu. hanya tulis satu puisi
` -tentang derita di genting batas yang tak putus disergap ngilu-
seindah pelukis menggaris liku-liku kamboja di antara dada kekasihnya
tapi kata jadi sederai debu juga. meruap dalam mimpi orang-orang yang dijanjikan

gaza. seperti sebuah lakon
hamletkah yang kau kisahkan? sebagai epilog

Padang, Februari 2009
kampung angin
Kampung Angin

utara
perkenalan diam-diam
daun jambu dan anjing kampung
berpeluk di tanah yang lirih
asmara dari hujan januari

barat daya
musim telah berbagi
tak ada lagi rindu
daun jambu lapuk
dingin yang tak terpahami usia

barat
bergegaslah, perjalanan belumlah genap
dua musim adalah hadiah
pertaruhan dari waktu yang ganjil dan tengil

tenggara
karang dan ombak
ranjang perkawinan bagi sayap
pertukaran untuk para lelah
mencari kelahiran yang tak patah

selatan
beburung berpindah
meninggalkan anak dan cahaya
berlesapan ringan ke langit
menduga kehidupan baru yang biru

barat laut
batu-batu adalah keabadian
kenang yang tak mudah pecah
merupa dupa asap yang bunga

timur
awal dari segala ketakutan
dosa yang tak pernah diinginkan
hujanhujan menyerbu dalam tidur

timur laut
sebuah rancangan rencana
tak diketahui dan
tak akan diketahui
siapa pun?

2010
KAMPUNG INDONESIA
ku tabuh gendang
ku tiupkan seruling
pepohonan menari pada hamparan bumi
menyanyikan lagu-lagu tentang tanah kelahiran
angin membawa irama bungong jeumpa sampai yamko rambe yamko
membaca keindahan taman-taman nusantara pada peta khatulistiwa
menikmati hombo batu, menikmati tari piring
membarakan hentakan reog, membarakan pendet
pada pandangan pemuda-pemuda berpeci dan gadis-gadis berbaju batik
di sinilah catatan sejarah bermula
takkan hilang indonesia di bumi

ku pukul tifa
ku petik hasapi
gemanya menembus dinding hati setiap generasi
memenuhi ruang-ruang sepenuh semesta
menitipkan semangat juang cut meutia sampai dewi sartika
melahirkan kartini-kartini yang penuh dedikasi
menanamkan semangat sisingamangaraja, menanamkan semangat pattimura
lebih besar dari osama, lebih gariah dari obama
dicatatkan sriwijaya, didengungkan sumpah palapa
di sinilah sejarah melegenda
tentang kejayaan nusantara

ku tepuk pak pung
ku petik kecapi
bersama tarian daun-daun, dengung gunung, titik embun, kicau burung
betul-betul senikmat kampung, kampung indonesia

Jambek, 2010
DI BAWAH TUGU GURU PATIMPUS
ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari meidan bukan mesawang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan pendulum,
mengekalkan peradaban urban

di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki

bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan

ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak loko hitam, mencampak gumpal asap
ke langit rerak

di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi

Komunitas HP, Medan, 2010