Sunday 11 April 2010

PENGUMUMAN LOMBA CIPTA PUISI INDOSAT PERIODE MARET 2010

SEBOTOL AIR MINERAL BUAT BODE RISWANDI
Ada sepasang nama yang tersaji di mejamu
Kerut kerut kening di wajahmu melahirkan
Ringkik kuda yang mendaki bukit rindu
Rindu yang dikultuskan seberkas wajah
Pada coretanmu.

“Sudahlah, Kinantimu sudah pulang.” Kataku
memecah kebisuanmu yang amat keramat.
“Masih ada sajak untuk meminangnya.” Jawabmu
singkat.

Seperti katamu kemarin. Kayu adalah impian
Yang kau gantung di langit musim basah kali ini.
Bukan kayu yang dihiasi hijau daun daun
Bukan kayu yang disematkan doa doa keramat
Tetapi kayu yang siap menuju perapian rumah-Nya.

Sebotol air mineral yang kuberikan kemarin
Adalah bukti perjuanganmu yang tak kunjung usai
Perjuangan menafsir gerimis yang turun di bukit rindu
Juga perjuangan seberkas wajah yang kau endapkan
di cangkir musim.
“Aku telah meminangnya dengan sajak.” Katamu
Dengan kegembiraan hutan hutan. Mata basah segera
Kau tawarkan pada jerit jangkrik malam ini.

Aku masih menyimpan sebotol air mineral
yang tinggal setengah itu. Sementara sungai puisi
yang kau ciptakan, masih mengalir menuju hilir.

Tasikmalaya, 2010
Plaosan

Angin kerontang memungut sepotong awan
Kepak burung hitam tumbang menampar terik
kaoknya parau bagai sayatan sabit malaikat
Liang semut telah berabad lalu ditinggal penghuni
rengkah
di balik ilalang kering

Sepasang kaki menjejak
pusara sejarah tanpa kamboja
Lahat menganganga
risau menunggu kematian
melenggang tanpa wujud

Di dinding batu yang gelap dan dingin
tangan gaib merangkai ceceran huruf berkabung
Amithba Aksobya Vajprani Manjsuri
Diakah Bodisattva yang bersimpuh
menahan perginya sang Budha?
Arca bergelimpangan tanpa kepala
Oh, pembantaian semalam menyisakan
anyir darah
dan desir kekosongan

Aku Pramudya Wardhani, putri Samaratungga!
Kutebar kuncup melati di atas jasadku
agar semerbak lesap dalam kalbu kekasih
Ingatkah ketika kau letakkan gelora di pucuk-pucuk perwara?
Dua kerajaan langit bertikai
dan menghunus pedang ke jantung kita

Air mata telah mensucikan kenangan
musykil sirna sekalipun pahatan kisah runtuh
bersetubuh puing ganjil
Kelelawar berhambur dengan tengkuk merinding
Suara gemuruh terpantul di lorong sunyi
"Plaosan lambang cinta abadi!"

(Desember 2009)
Jika Dia
Jika dia datang
bilang saja aku sudah pergi
jangan bilang padanya aku ke mana
cukup bilang aku sudah tak ada lagi

Jika dia tanya
bilang saja aku telah lama
jangan bilang padanya kapan aku pergi
dan jangan bilang juga kapan aku kembali

Jika dia tak percaya
bilang saja kau adalah orang yang kupercaya
jangan bilang padanya aku terpaksa
cukup bilang memang ini nyatanya

Jika dia menangisi
bilang saja apa yang ada di kepalamu
jangan bilang bahwa aku menangis juga
cukup bilang memang begini harusnya



(8.3.10)
SAJAK BULAN FEBRUARI
Mendaki Februari yang sepuh di mata-Mu
Adalah menelusuri waktu yang dikeramatkan
Batu cincin. Mencuri kata kata yang diagungkan
penyihir dan penyair. Juga menjaring ikan di kedalaman
tangan tangan penasbih.

Seperti katamu, menjemput tahun adalah
Menyusuri bentangan sungai firdaus di awal
musim, menafsir dzikir dari kemunculannya di hilir
Juga pemasrahan pada kutukan gerimis yang jatuh di mataMu

Tasikmalaya, 2010
DIWAN BATU-BATU
/1/
Akulah batu-batu; Saksi atas bintang-gemintang
yang menua di pematang malam. Saksi bagi matahari
yang mengendap menandai lelangkahmu di punggung bumi.

Akulah batu-batu; Bayang-bayangmu yang kelam memanjang
yang senantiasa suntuk kau dustai. Buku-buku usia
yang ringkih membeku, membatu.

Akulah batu-batu; Ketabahan dan gairah basah sepanjang
musim kemarau dan penghujan. Bilik sepi dari sujud-sujudmu
yang tunjam, namun hilang dari sajadah sejarahmu.

Akulah batu-batu; Kusimpan lengking tangismu pertama
juga lembar demi lembar kesunyian yang memudar
dari aorta, jantung, dan wajahmu yang memar.

/2/
Sehabis mendaki bukit terjalmu.
Aku pun menggelinding turun mengusung luka-luka.
Namun percayalah, aku bukan batu kutuk terlunta!

Lihatlah, aku tak hangus! Dan aku tak mengenalmu
sebagai Sisipus. Aku hilir mudik tujuhkali selayak Sa'i
menemani jiwamu yang terus mencari.

Akulah batu-batu bara yang menghalau pasukan gajah Abrahah.
Batu-batu sohib burung Ababil! Aku sahabat para malaikat! Aku kerabat
ruh segala tetumbuhan, hewan-hewan, dan peri-peri di hutan keramat.

Aku bersenyawa di sungai waktu.
Menjelma Rindu yang kau rindu.
Menjelma Tangis yang kau tangis.

/3/
Akulah batu-batu; Arsiran-arsiran hitam legam
yang meluntur diam-diam dari helai-helai rambutmu.
Jeritan-Jeritanmu tertahan, degupnya erat kugenggam.

Tataplah pepori wajahku yang kerontang.
Hadapilah aku sebelum kau beranjak pulang.
Pungutlah aku, dan sucikan dirimu!

Sebab akulah batu-batu!
Akulah batu-batu Rindumu!
Batu-batu Kasihmu!

Batu-batu Tangismu!
Batu-batu darahmu! Batu-batu nasibmu!
Dan kelak, akulah batu-batu Kuburmu!

/4/
Manaji, pungutlah aku! Dan
lontarkan aku ke tubuh arca-mu.
Biarkan aku luruh

bersama arca-mu runtuh.
Sebab akulah batu
batu fana-mu!

Muntilan, 2010.
pada seutas benang yang menjulur ke langit
ia mencecap amis angin yang terbang di depan rumah
aroma kecut menyeruak
dari karung bekas
yang setiap minggu diangkat

ia mengibas seikat kenangan
kenangan waktu yang dirangkai
pada seutas benang yang menjulur ke langit

dulu pernah terjadi,
ketika ia menghitung detak jam
meniris keringat yang bau
mengusap peluh yang melekat di dahinya
ia terus merajuk pada nasib
di depan pintu yang sepi
menyusun angan di kepalanya
mengorek kata yang tepat
tapi ia gagal memilihnya menjadi sebuah pesan yang membalut kesunyian

gundah terpuruk di tumpukan sampah
resah bersemi di kedalaman jiwa
air mata hanyalah lintasan kesedihan
yang menghiasi warna pagi dan petang
menjadi buih liar menebar di halaman wajahnya

orang orang menyisir angin memuja waktu
tapi ia memahat udara di bawah terik
ada bahagia yang ditinggalkan
langkahnya merubah masa
meninggalkan tapak tapak yang diraba debu

sepenggal hari tak sekadar mampir di benak siang
di hamparan sampah tanpa aksara
ia menjadi sajak elegi yang membumbung ke langit

agustus, dua ribu delapan
ia mencecap amis angin yang terbang di depan rumah

aroma kecut menyeruak
dari karung bekas
yang setiap minggu diangkat

ia mengibas seikat kenangan
kenangan waktu yang dirangkai
pada seutas benang yang menjulur ke langit

dulu pernah terjadi,
ketika ia menghitung detak jam
meniris keringat yang bau
mengusap peluh yang melekat di dahinya
ia terus merajuk pada nasib
di depan pintu yang sepi
menyusun angan di kepalanya
mengorek kata yang tepat
tapi ia gagal memilihnya menjadi sebuah pesan yang membalut kesunyian

gundah terpuruk di tumpukan sampah
resah bersemi di kedalaman jiwa
air mata hanyalah lintasan kesedihan
yang menghiasi warna pagi dan petang
menjadi buih liar menebar di halaman wajahnya

orang orang menyisir angin memuja waktu
tapi ia memahat udara di bawah terik
ada bahagia yang ditinggalkan
langkahnya merubah masa
meninggalkan tapak tapak yang diraba debu

sepenggal hari tak sekadar mampir di benak siang
di hamparan sampah tanpa aksara
ia menjadi sajak elegi yang membumbung ke langit

agustus, dua ribu delapan
Kura-Kura dalam Tubuhmu
Malam-malam sekali ada ombak berjalan ke tubuhmu. Aku pikir itu laut yang tiba-tiba
kalut dan takut kalau hujan tak lagi mau turun. Hujan pasir. Hujan lambaian nyiur
di pantai itu, yang diam-diam memanggil kura-kura ke pinggiran. Meninggalkan telur.
Menyampaikan rindu yang lain dari bekas-bekas tetasan yang tak pernah kembali.

Kura-kura itu berjalan ke tubuhmu. Aku takut kura-kura itu akan memakanmu yang sedang
lelap dalam tidur memimpikan sepasang kepiting yang tak lagi berjalan miring. Kepiting anjing
yang menggonggong malam-malam. Kepiting kuda yang meringkik meminta penggembalaan
seperti domba-domba lain yang pernah kauceritakan dalam suratmu itu.

Malam-malam sekali bantal itu berkhianat pada janji untuk memberimu sepasang mimpi
lain tentang caranya bercinta sambil melenguh-lenguhkan namaNya sebelum ada kura-kura
yang berjalan ke tubuhmu. Kura-kura itu mungkin sekali adalah gadis empat belasan yang
pernah kau cumbui di halaman sekolah. Lalu kau bekap ia dengan sebuah bantal yang
kini berkhianat di tidurmu.
KASIDAH TERAKHIR
- ALMARHUM WAN ANWAR

Sepagi inikah harus kulepas engkau ke utara ?
menuju pulau asing
mengarungi samudera yang belum tersentuh
melepasmu ke dermaga nan jauh.

Sebenarnya kita sama-sama tak kenal
belum ada janji untuk tatap muka
maupun sekedar minum kopi kental.
Namun bahasa jantungmu,
bahasa ginjalmu
jauh-jauh waktu telah kucermati dengan seksama
sebagaimana kucermati setiap titik gerimis
yang kerap menghujam Cianjurmu
yang dingin.

Sepagi inikah harus kututup November ini dengan sunyi?
menyeka dada dengan kabar pilu
berita kehilangan yang ungu.

Sebenarnya kita sama-sama tak kenal
belum ada janji untuk tatap muka
maupun sekedar minum kopi kental.
Setidaknya pernah kau baca tempo hari
rangkaian kata yang sempat kuanyam
tentang tragedi kota luka.

Sepagi inikah harus kulepas engkau ke utara?
mengikuti arah maut
yang datang selalu tergesa.





CIWIDEY, NOVEMBER 2009
tentang orang yang bicara sengau
: empat tanya mak dan petuahnya

satu
orang sekarang yang tak lagi berjalan
meski bicara banyak hal dalam kotak-kotak partikulir

kusampaikan itu pada mak
pulang yang tertunda baiknya kubicarakan saja

tapi mak berkata; orang-orang berbicara sengau
seperti menyembunyikan sesuatu; bau mulutnya sendiri

dua
bagaimana kau rupakan air mukamu, nak?
sementara mataku mulai lamur

kusampaikan pada mak tentang kuasa ilmu
kuasa niscaya tawajuh melebihi sihir; tri-ji dan setelahnya

tapi mak berkata; muka orang-orang terlihat samar
seperti menyembunyikan sesuatu; air mukanya sendiri

tiga
kata mak orang-orang masih tetap bersuara parau
dan airmukanya tak bercahaya

kusampaikan pada mak tentang kuasa globalisasi
kuasa niscaya uang di negeri-negeri tak bertepi

tapi mak berkata; orang-orang terlihat tergesa-gesa
seperti mengeluarkan sesuatu; kotorannya sendiri

empat
mak akhirnya berkata
bicaralah baik-baik, pelan-pelan dan seadanya
katakan saja kerinduan adalah kuasa persuaan
setelah kata-kata habis diucapkan

19/02/2010
Aku Kini Menjemputmu
tiba-tiba aku membayangkan kita adalah burung kecil yang terbang,
ketika gerimis turun mengecup langit senja. ribuan pohon-pohon
yang basah dengan terpaksa, mengusir kita. lantas kucari atap-atap teduh
di antara gedung-gedung yang menggigilkan peristiwa muasal kita.
tiang-tiang listrik yang seolah-olah ingin melesat menuju angkasa.
sementara mereka hanya tertancap dikepung kabut jalan raya.

kita memang pernah diciptakan dengan sayap gemerlapan, jauh
sebelum cahaya bersujud pada kita. dan api memilih pengkhianatannya.
kita juga tinggal di taman yang separuhnya terkena terik matahari hangat
dan separuhnya lagi terbasahi hujan –geliat semak belukar, pohon-pohon
yang menjatuhkan apel hijau ke tepian sungai. tapi aku dan kau,
telah lebih memilih cinta. lebih tergoda dengan lampu-lampu kota,
dan riak telaga berangsa. yang sesekali kita kunjungi di saat
merasa perlu meneteskan airmata.

kusayangkan semua itu pada waktu yang terus bergelora di langit jingga.
di mana gerimis memang terasa pahit bagai ujung pisau tembaga.
sebab itulah jarak kita yang kini telah kuhancurkan dalam kerinduan.
lama kunantikan, sejak engkau menetas di rahim ibumu,
dan aku kini menjemputmu. aku membayangkan lagi, bila kita mampu
menjawab pertanyaan di antara sesak iklan dan berita menggelikan.
maka aku sudah sampai pada pengembaraan adam. haruskah
memilih ruas tulang yang hilang, di kantor perusahaan, mal atau swalayan.
meskipun, sejak berabad silam, kuharapkan pertemuannya
di tepian pantai, di mana angin menyapa bersama ombak lembut.
atau paling tidak, di sebuah taman yang hangat dan dinginnya
sedikit mengingatkan pada pohon terlarang.
: dan sekarang, bukankah kini adam ada pada diriku, terpuasakan oleh cintamu.

Bandung, 2010
PENINGGALAN KALENDER DI BULAN MARET

untuk sebuah keluarga dusun di wonogiri


I
seketika itu, engkau jadi usia sumur yang sering kali
engkau timba setiap pagi hari sebelum engkau pergi beli
sarapan untuk dua anak yang sering kali
berebut uang jajan sekolah

-waktu itu ternyata air belum langka,
seperti uang-

II
ada arah lain yang merangkai jalan setapak menuju
kebun kopi yang pernah engkau mohonkan pada musim
yang menyebabkannya;
sementara pencuri-pencuri kecil yang tak diduga menanam kesal
pada ranting pohon-pohon anggur di hampir setiap purnama

-kebun kopi milikmu telah berbicara banyak padaku
mengenai arah pencuri yang menyisakan biji-biji anggur
di bawah dahannya-

III
saat bulan belum lengkap dan panen belum genap
pada suatu masa tanggal-tanggal menghitung jarak yang engkau
bilangkan kepada kesederhanaan rindu: pakaian yang senantiasa
engkau tanggalkan di hari-hari telapak-tangan-doamu,
gubuk ternyata tak cepat lupa mengingat tangan siapa
yang lumpur karena doa

saat panen belum genap dan bulan belum lengkap
selalu saja ada lipatan senyum yang sabit berarakkan
dari ladang-ladang ketela menuju pintu rumahmu
tempat kalender berdiam pada kedua pipiku
lalu kubaca salammu yang tinggal di bulan ketiga
: simpanlah kami baik-baik untuk engkau bawa
sebagai tanda dan doa.


2010
Bincang Bintang
suatu kali kau bergumam,
"Aku telah mati lama sebelum ini,
saat menggigit segaris nadi yang
katanya membuatku abadi".
kau jelas mengelak saat aku
tanya apa yang
kau bicarakan diantara kabut
asap rokokmu.

kau malah bertanya,
mengapa aku menyukai masa lalu,
sejak caya bintang yang sering kupuja
dalam sajak adalah
pesan yang tersesat dan terkatung
sebelum akhirnya
tiba hanya untuk mengabarkan
"Aku menua, barangkali kini meniada."


melampaui perkara kini atau lalu,
tetap saja bintang memikatku,
sebagaimana cinta.
bukankah terkadang cinta
lebih cantik dari jauh, kita tak usah
cemas hangus atau sekadar gemetar
bersipandang dengan
kegelapan yang
jujur dan pekat?

barangkali kau benar.
jika tak lagi berwarna
cahaya tetaplah bernyawa
meski adanya gelap semata
serupa kerinduan
yang kekal dan bengal
tersengal saat mengetuk
dengkur halusmu
subuh tadi.
Dzikir
bersama gelap dan sunyi
berkaca diri pada kedalaman hati
mengapa hidup mesti ditawar
bila kita tak sanggup membayar

kita seperti musafir yang disesatkan angin
tak henti mengudap mimpi di siang hari
sementara jemari kita letih menghitung nasib
dan membiarkan jiwa kerontang dimakan usia

subhanallah
satu tarikan nafas
segenap karunia Tuhan meruah luas

alhamdulillah
sedetik jantung berdetak
semilyar cahaya rahmat melesak

la ilahailallah
setetes aliran darah
seluas samudera hikmah mengurai anugerah

allahu akbar
setitik denyut nadi
segala daya insani membuncahkan energi

telah jauh menempuh perjalanan
namun kita lupa untuk pulang
seperti selembar puisi lusuh yang kita simpan
dimakan ngengat dalam lemari ingatan

kapan lagi kita membaca umur
yang berlumut oleh angin dan hujan ?

dengarkan suara cicak bergunjing
membicarakan kita yang alpa membaca doa
seperti musim-musim yang berlari
meninggalkan cuaca di halaman rumah kita

pejamkan mata dari pandangan
tumpulkan rasa dari kenikmatan
tanggalkan pakaian kemunafikan
lantunkan lafal dengan perlahan
subhanallah walhamdulillah wala ilaha ilallah allahu akbar
Tirtomoyo, 19 Maret

Partitur Hujan
apakah ini yang kau sebut dengan rindu?
jika daun-daun telah basah, dan tanah-tanah
meruapkan namamu, untuk kuhirup
bersama kenangan.
ketika segalanya, menjadi kesenyapan
yang tak bisa lagi ditawar.
jalan-jalan atau bahkan gedung-gedung
terasa mengenakan mantel, sedangkan
aku sendirian kedinginan
menggigil, seraya ingin mengucapkan cinta
pada api, pada lampu-lampu
dan pada apapun itu
yang mampu mencairkan kehendakku.

saat jarak seolah-olah sekeras batu.
dan ciuman tak pernah kunjung tiba.
sungguh aku telah menjadi
nyanyian yang dihiraukan,
ribuan titik jarum tak tertahankan
menikam ke ulu jantung ingatan.


Bandung, 2009
di Pinggir Batavia
semalam kereta berhenti di pinggir Jakarta
malam sangatlah setia menjaga lajunya
hingga tak rela pagi membuncah di sela kaca
mungkin si malam terlalu cemburu pada pagi buta
ah malam, kau tak perlu terlalu cemburu
pagi ini ribuan orang sudah terburu-buru
beradu cepat dengan pagi untuk tiba di Jakarta
tak seperti tadi malam dimana mereka pulas kau jaga

lalu pagi yang singkat cepat berlalu atau mungkin tak ada pagi di sini
karena rasa pagi dengan cepat pula ditelan habis oleh aroma Jakarta
tak tercium aroma teh hangat dalam gelas kaca pagi
hanya wajah-wajah tergesa menempel di sela kaca kereta

dan sepulang dari stasiun dalam fajar yang menggempur sisa malam
kota ini sudah berantakan dengan roda-roda yang menggilasi jalan
oh ,apa yang mereka cari di ujung jalan sana?
di ujung jalanan yang salah urus dan penuh nestapa
: terkadang mereka menyebutnya penghidupan, terkadang saya sebutnya keserakahan, terkadang mereka menyebutnya kebahagiaan saya berani menyebutnya air mata

( Stasiun Bekasi, 19 Maret 2010)
balada para dewa
begitu malam menampakkan wajahnya
orang-orang gegas merapikan langkah

“jangan ada satu jejak pun tertinggal
apalagi berkeras berdiam di sudut kegelapan
kita harus kembali pada rahim peraduan
sebelum gigil memporakporandakannya
hanya ada satu obor yang dibiarkan tetap menyala
menyambut kedatangan para dewa”, tegasnya.

ya, memang benar
kini kami mulai mendengar derap langkah itu
dari kejauhan terlihat seperti nyata, namun tak tampak
satu persatu tak tiknya berkeliaran dalam ruang tengah telinga
mengental dalam larutan keheningan
memaksa setiap pendengaran tetap bersetia
menghitung tiap detak, mengukur jejarak
sampai benar-benar tak adalagi yang berderap dan berjarak

kegelapan dan bunyi kecapi sunyi mengiringi kedatangan
harum keresahan semakin menyengat
langit-langit mata kami berubah menjadi kuning langsat
menyaksikan, mendengar balada para dewa

“kami datang membawa bebungkus doa yang kalian panjatkan sejak subuh tadi
kami datang membawa sekantong keringat dan selembar airmata yang terkoyak
di balik langit, kami datang membawa sebongkah mimpi yang tergolek di bibir senja
dan kami datang tidak untuk menggenapkan doa-doa, tapi kami datang hanya
mengambil sedikit angka dalam tubuh, kami datang memungut
sedikit nafas dari mimpi-mimpi kalian”.

siapa yang masih bertahan atau berapa yang lari dari kenyataan
semua tercatat pada tiap lelembar tanah—
sesuatu kepahitan dan keindahan yang takkan terlupakan sepanjang zaman peradaban
akan didapatkan setiap insan”, tegasnya.

demikianlah kami menutup malam setiap harinya
memersiapkan sesaji
mendengarkan balada para dewa
sambil memungut kata-kata yang bergelincatan dari bibir tuanya
barangkali berkah tak lari ke mana
sambil mengemas musim pulang

Maret, 2010
Kampung dalam Aquarium


ke pemancingan mana lagi kautumpahkan rindu
melumutkan kecemasan pada lendir umpan
dan mata kail yang lapar
agar ikan-ikan mau kaubujuk bercerai dengan lubuk
dan pulang ke kampung penggorengan
pelengkap hidangan di meja makan

kau tahu, sejauh-jauh pergi menyisir bibir sungai,
hanya untuk mencari air keruh,
ikan-ikan pilihan tak akan memakan umpan dalam kejernihan
kau tinggalkan hulu yang hening-bening
muasal segala arus terus menghanyutkan
anak-anak pantau dengan sejarah hambar
entah arah mana akan mereka tuju
sebut saja, kampung berair jernih berikan jinak;
berair keruh berikan liar;
berair tawar berikan banyak
alamat kepulangan yang pahit

aku beritahu, andaikata pemancinganmu sia-sia, pulanglah.
aku dan ikan-ikan yang sering kauburu
setelah penggusuran itu
kini tinggal di kampung baru
mendekam di kamar air empat persegi
pada sebuah ruang tamu tidak berhulu-bermuara
hanya gelembung-gelembung dihembus tenaga listrik
juga kincir-kincir plastik
batu-batu buatan dan lukisan karang di balik kaca
terasa seperti menyelam-melintas di antara
tanjung dan teluk kampung pesisir yang tenang
meski tidak ada kapal-kapal berbenah
bagi pelayaran para pelaut
apalagi jejaring pukat ikan karang

bertandanglah, oi pemancing
bukankah sungai-sungai yang menghilir
dari hunjaman kaki-kaki hujan sudah tidak mampu menafsirkan kehendak air matamu
dan kerinduan tidak selamanya mesti dipuaskan dengan tancapan mata kail di rahang ikan yang rakus

aku bayangkan kau datang
sebelum insangku sempurna jadi karang
menyematkan mata kail
di setiap saku baju para tamu

sungai naniang, 20
Gendang
Sampai takdir mengirim perempuan tuli ke tempat paling sepi:
tak ada lagu kayu-kayu, bunyi-bunyi besi atau suara ranting patah
menimpa genting rumah. Tak ada.

Hanya keluh penabuh dan teriak penyorak yang mengoyak telinga
hingga untuk pertama kalinya, perempuan itu pun akhirnya menangkap
dengar.

Barangkali, karena kemurahan hati atau rasa syukur yang terlanjur.

Sebut saja pengorbanan atau perampasan. Ketika kulitnya yang halus
mulus dikecup kilau bibir pisau, di tangan si ahli. Maka sempurnalah
luka-lukanya.

Ketika semuanya ditabuh, semuanya disentuh, semuanya bergemuruh.
Tinggal sepenggal luka dibawa lari sapi-sapi.

Bandung, 20
Ketika Hujan
Apa yang hendak kau cari, selain teduh. Mendekatlah. Tengah
kudirikan api sebagai pengganti matahari. Keringkanlah segala
yang basah. Sementara kusembunyikan bajumu di tempat paling
rahasia. Pakai sarung itu. Jangan balut tubuhmu dengan rambut.
Cintailah aku. Kau perempuan yang tiba-tiba datang dari rimba
hutan dan belukar hujan.

Kelak

Setelah reda. Kau menjadi istri atau ibu dari anak-anakku.
Kemudian kau temukan baju yang dulu sempat kusembunyikan.
Jangan tanya siapa pelakunya, atau diam-diam kau memakainya lagi.
Sebab ini tanah dan rumah-rumah berbeda dengan tempatmu yang entah.
Sepertilah denganorang-orang itu.
Biar mereka tak bertanya-tanya mula, menduga-duga asal.
Kedatanganmu yang memang sukar dikabar.

Barangkali, ini takdir yang salah. Kau bertamu ke tempat yang salah.
Aku berikan jamuan yang salah dan kita bercinta dengan cara yang salah.
Tapi, biarlah. Segalanya telah tumpah.

201
Sajak Pengantar
Sebab kepergianmu yang terburu-buru. Maka aku tulis sajak ini, sebagai
pengantar perjalananmu yang basah, menuju rumah tempat singgah segala
yang bermula dari tanah.

Beristirahatlah. Meskipun luasnya tak sama dengan rumah sewaanmu yang dulu.
Tapi, setidaknya cukup aman dan nyaman untuk berbaring tanpa harus berpusing
memikirkan biaya listrik, air atau sewa bulanan. Beristirahatlah, tenang. Sesekali
orang-orang datang memberimu sebotol air dan beberapa lembar cahaya.

Sebenarnya, aku tak ingin bersedih. Tapi sedang. Tapi, sudahlah. Lagi pula,
kau sudah jauh pergi. Dan barangkali di sini sudah tak aman lagi, untukmu
menikmati hidup, berdemonstrasi atau sekedar mencari calon istri.

Memang. Dalam setiap kepergian selalu ada yang disisakan. Maka, biarlah
kuamankan namamu dalam sajak ini, di samping rasa tidak enak, di bawah
kesedihan yang sudah aku tulis, sebelumnya.

201
Tujuh Belas Yard dari Hari Esok
kembalilah, wahai masa lalu yang pernah kurelakan
tiada pulang yang bisa kalian tempuh
selain pada aku yang tubuh, waktu yang tersepuh.
tujuh belas yard dari hari esok
adalah bayang-bayang yang terpelosok
dalam ingatan kita, tentang kekasih.

jalan yang sesak oleh pesta
kini sudah seperti merayakan sajak dengan dusta.
aku inginkan melaju jauh ke paling fana
membawa rindu yang membeku
pada dinding-dinding benteng lintasanmu.

sudah tiba waktunya, kita rela mabuk
sebelum tempat-tempat semakin asing.
air mata yang ngalir dari sepasang hilir
tanpa tujuan, tanpa akhir.
jarak adalah tanda bagi gerbang tak bernama
untuk membuka luka. manakala tak ada sesiapa
yang menantikan kedatangan kereta di depan nasib kita.

Stasiun Bandung, 2010
Aku Akan Selalu Berteman Musim yang Kau Tinggalkan



Aku akan selalu berteman musim yang kau tinggalkan
dalam tidurmu bersama waktu. Tahun-tahun terpenggal,
merangkum semua hujan yang turun jadi ngungun.
Hari menetas dan tiba-tiba saja terlepas.
Suara kecilku menjerit-jerit dalam tubuh
yang telah sunyi kini. Memanggil-manggil kenangan
dan sisa percakapan separuh bulan.

Aku akan selalu berteman musim yang kau tinggalkan
dalam tidurmu bersama waktu. Berkawan cahaya senja
yang berayun di pucuk-pucuk ilalang di depan rumah kita.
Membuka pintu-pintu sajak yang telah kau bangun
dengan cinta. Mungkin dapat kumasuki sebuah rahasia
dari kata-kata di langit rekah. Atau akankah selalu
kutampung mendung yang kini mulai terapung.

Serang, 200

SAJAK CINTA DI UMUR ENAMPULUH EMPAT TAHUN
dalam perbincangan seusai senja itu
kau terasa begitu puisi:
pasir pantai dan rinai rinai
hujan di masa kecilku menari nari dan menganaksungai
di kedalaman lesung pipimu.

o demi kedua bola matamu yang sendu
kugosokkan kedua telapak tanganku agar hangat. agar lamat lamat
dapat kusekakan tangismu. dan kupindahkan duka
dan kupindahkan airmata
ke wajah rembulan yang nestapa.

bibir atas dan bibir bawahmu
yang merah muda mengeluhkan cintaku yang
menurutmu semakin habis saja. getarnya pelan dan lemah.
seperti kesunyian yang rutin merangkak rangkaki punggung kota. aku diam.
aku selalu diam kalau sedang duka atau jatuh cinta.

ah, sekarang kaupun ikut diam. suara jangkrik dan rayuan jalang
bunga bunga di bawah jendela
menggantikan keluhanmu. sebuah radio buruk di atas meja
berkisah tentang sepasang kekasih yang saling menikam.
—cara yang bagus untuk bunuh diri. sementara malam semakin kelam
dan bulan memucat seperti geliat sepi.

menatap kulit pipimu yang kuning
dan harum mengingatkanku akan ciuman ciuman
yang dulu saling kita berikan. bagai kupu kupu yang tidak kian
lelah mengepakkan sayapnya yang biru kehijau hijauan.
tetapi di pipimu yang kuning dan harum itu
kini ada sebaris peringatan dan tanda seru:
“o cintamu telah berkurang!”

dadaku sesak membayangkan kau menangis di kamar kecil di malam malam
ketika aku pulas tertidur dan tak sadar bahwa cintaku telah berkurang.

waktu tak pernah ambil pusing dengan permasalahan kita. dengan
airmatamu dan diamku. atau
dengan bibir merah mudamu dan sisa sisa ciumanmu di leherku.
waktu terus saja menjalankan tik toknya
seperti cicak terus terus membunyikan cak caknya.

tetapi bukanlah waktu yang membikin kita harus bersegera
melainkan aku yang tidak ingin
membuatmu jadi kering dan tua: bagaimana kalau kita
selesaikan saja
cinta ini dengan pucat?

di atas meja di dalam kaca jendela
sebuah radio buruk
kembali

menggumamkan berita
tentang sepasang
kekasih
yangbunuhdiri.

(2009
Dzikir Perempuan
Berabad dzikirku menjelma seribu tetes cinta di atas batu-batu takdir
Sajadahku adalah hamparan puisi yang sunyi di taman sejarah
Rindu yang kuriwayatkan melahirkan gemuruh aroma kesedihan
Rahimku melantunkan musim-musim yang sepi dalam kehidupan
Barisan lelaki tak henti menyanyikan lagu sumbang pengkhianatan
Harapanku karam dan tenggelam dalam bahasa kaum pemerkosa

Dzikirku lahir dan bergulir di dalam penjara-penjara gelap penindasan
Menggeliat melawan birahi kekuasaan, menampar hasrat zaman
Suaraku adalah berjuta jiwa yang meronta dalam belenggu tradisi
Menafsir isyarat Tuhan dalam manuskrip-manuskrip lusuh dan berdebu
Mimpiku merapat pada barisan ilalang yang tegak menunjuk terang
Menyusun akar cahaya di atap langit dan ladang-dalang harapan

Kubangkitkan huruf-huruf dan suaraku tengadah mewarnai dunia
Merentangkan sayap-sayap cinta dalam ruang derita yang gulita
Kuberi napas hak yang sempat terhempas badai purba kedzaliman
Kulangkahkan kaki mendaki bukit-bukit memanjat kemerdekaan
Jiwa kita sama di mata alam, kehadiran kita sama di mata Tuhan
Terimalah, terimalah getar dzikirku dalam tebing-tebing pikiranmu
Karawang 201
Drupadi
Biarkan langit mengagungkan kecantikan wajahmu
sebab awan belum menjadi bagian yang sesungguhnya.

angin adalah tempat pertemuan burung-burung
pertemuan dari setiap doa, mantra dan puja-puja
kau yang mengantar lewat tangan kanan dan jari-jarimu
menguap beribu wangi kekhawatiran
menyatu di sudut matamu yang beraliran

akan ada maut datang tanpa salam
menerjemahkan mata busur satu persatu
lalu meminang dan melesat ke palung udara
membaca setiap gerak bibirmu yang samar
memegang tanganmu yang bergetar
atau meraba wajahmu yang basah dan pasrah

aku bukan bagian dari sajak-sajak
atau dewa-dewa yang menundukan dagumu
aku juga bukan doa, mantra dan puja-puja
aku adalah lelaki pengukur waktu
sibuk mengemas keinginan sendiri
dan mencari apa arti mati

Maka biarkan langit mengagungkan kecantikan wajahmu
sebab awan belum menjadi bagian yang sesungguhnya.

201

No comments: