Tuesday 11 November 2014

Pak Guru

 
Cerpen 
SITI MUYASSAROTUL


Ahad, 03/11/2013 13:00
Beginilah kegiatannya sehari-hari, tangannya selalu dicium bocah-bocah. Senyumnya merekah, badannya sedikit diangkat sekiranya bisa terlihat gagah dan terhormat. Sesekali menyuruh bocah untuk memenuhi kebutuhannya. Terkadang juga dia mengamuk, marah-marah lantaran ada bocah yang dianggapnya nakal.

Ya, dia adalah Pak Guru. Namanya Anto. Guru yang dikagumi sekaligus dihormati oleh bocah-bocah, bahkan para tetangganya. Dia salah satu putra dari guru yang dituakan dan sangat disegani di sekolah ini. Pak Guru Anto semakin bangga ketika pangkatnya naik, bukan lagi sebagai guru honorer, namun lebih. Dia merasa pangakatnya ini akan membuat hidupnya kelak terjamin.

Beberapa kali dia sering mendominasi rapat para guru. Juga siang kali ini.

“Pak, menurut saya sekolah kita sudah kelewat sabar menunggu dana BOS belum juga cair,” kata Pak Guru Anto.

Semua guru terdiam, mereka diam bukan karena setuju ataupun tidak setuju. Mereka diam juga bukan karena tidak tahu apa yang dibicarakan juga bukan karena kebingungan dengan masalah dana BOS ini. Mereka diam karena sebenarnya mereka tidak begitu butuh dengan kehadiran dana tersebut. Mereka sebenarnya lebih memikirkan kondisi bocah-bocah. Mereka semakin sulit untuk diatur. Semakin banyak bocah yang melanggar peraturan.

“Pak Kepala, kenapa kita diam saja seperti ini, Pak. Kita ini butuh dana itu, Pak?” katanya.

Pak kepala pun diam bukan karena memikirkan dana itu. Bukannya dia memanggil rapat para guru untuk menangani kondisi bocah-bocah, kenapa Pak Guru Anto malah mempermasalahkan dana itu. Tapi pak kepala juga cenderung diam.

Pak Guru Anto bingung dengan rapat siang ini. Semua cenderung diam. Padahal dia sudah bicara sampai mulutnya berbuih. Dia meminum air di depannya, langsung menghabiskannya. Sangat terlihat kalau dia memang kehausan.

Istri Pak Guru Anto sering mengkhawatirkan tingkah laku suaminya. Kini suaminya bukan lagi seperti dulu. Dulu ketika masih mahasiswa dan mereka berpacaran, suaminya itu merupakan laki-laki yang diidamkan banyak perempuan. Dulu dia aktivis kampus yang selalu mengedepankan keadilan, kesetaraan.  Bahkan dia pernah menjadi ketua BEM. Kini membantu mencucikan pakaian anak dan istrinya saja tidak pernah, jangankan itu membuat kopi sendiri saja tidak pernah apalagi memberi peluang pada istrinya untuk berkarir, “Sekarang belum saatnya untuk kamu, biar karir saya dulu yang meningkat. Toh kalau karir saya bagus, kamu sebagai istriku juga pasti ikut dihormati.”

Bukan dihormati orang lain yang istrinya butuhkan, namun dia lebih berharap suaminya yang terlebih dahulu menghormatinya, minimal menghormati pendapatnya.

“Pak, njenengan tuh jangan terlalu meributkan dana yang belum cair itu, masih banyak yang harus diperhatikan, khususnya perilaku bocah-bocah, murid-muridmu. Semakin banyak saja mereka merokok, pacaran bahkan berkata tidak sopan,” kata istrinya.

“Lho kamu tuh gimana to? Dana itu juga penting, itu kan janji pemerintah, yo harus ditepati,” katanya sambil mengisap rokok.

“Iya, tapi kan bocah-bocah di sekolahmu itukan kebanyakan anak orang mampu, yang lebih penting ya memikirkan masa depan mereka,” kata istrinya lagi.

“Sudah, sudah, kamu tuh tahu apa tentang masalah sekolahku. Oh ya aku sekarang mau ikut sertifikasi. Kamu doakan biar aku lulus. Nanti uangnya bisa kita belikan mobil,” katanya.

“Amin... tapi kenapa harus mobil to pak? Kenapa gak untuk tabungan haji saja?” tanya istrinya.

“Ah.. kita kan masih muda. Kalo soal haji nanti saja lah,” kata suaminya. Istrinya selalu menghela napas sesak, dan mencoba lebih sabar.

Rencananya untuk berdemo menagih dana yang dijanjikan pemerintah gagal. Dia tidak bisa menggerakkan para guru sekolahnya. Juga karena dia alih konsentrasi pada ujian sertifikasinya yang lumayan ribet. Bahkan karena keribetan itu, dia melupakan bocah-bocahnya. Saat jadwalnya mengajar dia malah membiarkan bocah-bocah ribut di kelasnya. Saatnya guru lain khusyuk mengajar, dia mencari-cari guru yang mau jam pelajarannya diambil. Bahkan tak segan-segan dia meminta bapaknya sendiri yang sudah puluhan tahun mengajar pendidikan agama  di sekolah itu untuk menyerahkan jam pelajarannya kepadanya.

Bapaknya tidak bisa menolak permintaan anaknya, walaupun dalam hatinya mengajar di sekolah ini adalah sebuah pengabdian yang sampai tetes darah penghabisan. Dia tetap ikhlas, karena bagaimanapun dia ingin anaknya bahagia.

Setelah beberapa tahun dia mendaftar sertifikasi, sampai detik ini belum juga dia mendapat panggilan. Pak Guru Anto ini lebih sering marah-marah ketimbang beberapa tahun silam. Istrinya sering menangis, namun juga sering terlihat bahagia di depan bapak mertuanya atau di depan bocah-bocah dan para tetangga. Sekarang suami yang dikenalnya bukan seperti yang dulu sebelum mereka menikah. Suaminya sudah tidak tulus menjadi seorang guru, sudah tidak 'tanpa tanda jasa' niat yang ada dalam hatinya.

Begitupun yang dirasa Pak Guru Anto, dia merasa dirinya berbeda dengan dulu. Namun ketika dia melihat wajahnya dalam cermin dia merasa ini semua adalah proses yang panjang. Semua perjuangannya harus terbayar “aku tidak bisa tinggal diam.”

Bocah-bocah bingung jam pelajaran Pak Anto kali ini juga kosong, mereka mencari Pak Guru Anto, di kantor tidak ada, bahkan tidak ada guru satu pun yang tahu di mana pak Guru Anto. Hanya istrinya yang tahu di mana dia berada.

Bel istirahat membuat kegembiraan tersendiri bagi bocah-bocah. Mereka banyak berlari menuju kantin sekolah. di kantin ternyata penuh dengan bocah lainnya. Semua mata mereka tertuju pada TV kecil yang sedang memberitakan para Guru berdemo. Salah satu bocah melihat jelas siapa yang tersorot kamera, dia mengenalnya, ya Pak Guru Anto. Dia melihat sosok itu memakai seragam mengajarnya dengan kepala terikat serta membawa kertas besar dengan tulisan “BERIKAN HAK KAMI, TEPATI JANJIMU!!!”

Ternyata bukan hanya satu yang melihatnya di layar kaca itu, semua-semua yang menonton berita siang ini menyaksikan sosok itu. Beberapa bocah berpikir, “Hahahaha.... pak guru saja berdemo, wajarlah kalu kita tawuran.”

Ada pula yang berpikiran “Pak Guru menuntut hak, sedangkan dia sendiri hari ini tidak memberi hak kepada kami.”

Istrinya semakin menagis histeris, begitupun anak dan ayahnya.


Krapyak, 24 Mei 13, 23:53

SITI MUYASSAROTUL lahir di Cirebon 25 Januari 1988. Pernah juga aktif di Komunitas Coret LKiS.

No comments: