Tuesday 11 November 2014

Guru Baru


“Nur!” kuhentikan langkahku. Menunggu Tenri yang berlari-lari kecil mengejarku.
“ada apa?” Tanyaku. “tungguin aku dong! Mau ke kantin kan? “ “iya”.
Kantin Bu Sari memang selalu penuh dengan siswa. Selaian komplit jualanya, ada mie, lontong, nasi kuning, rasanya enak. Harga bisa sama, tapi warung Bu Sari selalu jadi pilihan. Mana porsinya lebih banyak, tempatnyapun luas. Baik hati lagi orangnya. Kadang kalau aku lupa bawa uang, ia kan dengan senang hati ngasih ngutang.
“aku nasi kuning, bu” makanan kesukaanku di sini selain lontong, kupesan padanya.
“kalau aku lontong bu”. Nri tak mau ketinggalan.
Bangku sudah penuh semua. Kamipun duduk dibalai bamboo tempatnya Bu Sari duduk menunggu para siswa yang mau pesan.
Sambil makan, Tenri bercerita kalau ada guru baru.
“ namanya siapa?” tanyaku penasaran juga. Soalnya dari tadi dia bilang ganteng, manis, cakep, imut-imut….. “Bu Bia guru matematika kita kan pidah ke SMP. Mungkin dia gantinya”. Lanjutku lagi walau pertanyaan yang tadi belum di jawab olehnya karena lagi mengunyah-ngunyah makanannya.
“ngga tau juga sih. Ngadi yang bilang kemarin. Katanya sih orang bone. Berarti sekampung dengan kamu dong. Mungkin aja kamu kenal. Iya kan?” menatap serius ke arahku.
“Eh….memangnya Bone itu selebar daun kelor apa? Sehingga semuanya aku tau kalau ia dari Bone. Lagian, biarpun aku orang Bone, ku ngga pernah tinggal di Bone. Palingan juga hanya berlibur satu minggu. Asal kamu tau aja ya…. Bone juga termasuk kabupaten yang terluas di sulawesi selatan”. Nada bicaraku meninggi.
“Aku kan Cuma bilang… mungkin. Kalau ngga tahu nggak usah marah gitu lagi!”
***
“Assalamu alaikum , anak-anak………..”
“walaiakum salam, pak”. Semua siswa menjawabnya dengan semangat. Tenri yang memang dari tadi penasaran dengan guru baru ini, bahkan matanya tak mau lepas memandang ke depan. Anak-anak pun kasak kusuk. Macam-macam pertanyaan dari siswa. “perkenalan dulu pak”. “nama pak”. “Status pak”. Pak guru baru itu hanya tersenyum melihat keagresifan para siswa yang centil-centil. Biasa. Anak SMA. Lagi puber. Gak bisa lihat cowok ganteng.
“Perkenalkan, nama bapak, Muhlis” mulai memperkenalkan diri. Nampaknya akan jadi idola baru nich dikalangan siswa ataupun guru guru. Soalnya keren dan ganteng.
“status…….” Semuanya diam. Menunggu kelanjutannya. Pak Mukhlis juga nampaknya sengaja menunda kalimatnya. Kuyakin. Semuanya pasti patah hati. Orang secakep dia pastilah sudah punya istri. Minimal anak sudah 1. dia kan orang Bone. Biasalah orang bugis. Biarpun masih SD anaknya sudah dinikahkan. Dan kekeluargaannya masih sangat kental. Di jodohkan sejak kecil dengan keluarga-keluarga. Biar hubungan semakin erat katanya. Tapi buktinya, kakak pertamau Hamka, yang menikah dengan sepupu satu kaliku Monic, tidak baikan. Akhirnya para orang tua juga saling musuhan dan saling menyalahkan selama bertahun-tahun. Sekarang sih sudah mulai saling bicara. Makanya, kakak keduaku Rani, yang juga sudah ngajar di SMP I tidak dijodohkan lagi. Dia di berikan kebebasan tuk memilih sendiri. Itu menurutku. Karena kutak pernah dengar soal perjodohannya dengan sesorang. Atau mungkin memang tak ada keluarga yang ingin berjodoh dengannya?
“masih single”. Ucapnya sambil tersenyum. So sweet….manis banget senyumnya. ada gingsulnya pula.
“yes!!!” sorak Tenri yang duduk di sampingku.
“emang, apa mengaruhnya kalau dia dia single?” tanyaku heran. “jangan salah ya. Banyak kok guru cowok yang nikah sama muridnya”. Jawabnya dengan senyum tersungging di bibirnya. Dasar. Belum apa-apa sudah mikirin kawin. Tamat sma aja belum. “prihatin dong sama ibu-ibu guru kita yang masih jomblo”.
***
“muhlis…..” sepertinya, ku kenal dengan nama itu. Kayaknya aku pernah baca tentang ….sosok muhlis yang ganteng, putih, keren, tinggi, religius, hampir sama dengan sosok pak muhlis guru baruku. Tapi, tulisan tentang apa ya…. di mana…….
ah! mungkin perasaan ku saja. Dan perasaanku kurang bisa di percaya. Karena berkali-kali aku kecewa, karena terbawa perasaan. Merasa di perhatiin… di beri senyum sama cowok ganteng. akhirnya kegeeran. Dengan PD kudekati dia bermaksud berkenalan. “eh cewek. Tuh merek bajunya masih tergantung.” Alamak….malunya aku. Ternyata aku di tertawain. Gara-gara lupa mencopot merk baju baru yang aku pakai. aku salah sangka.dan, banyak lagi kejadian memalukan lainnya, karena korban perasaan.
Sekarang, lebih baik aku mengerjakan tugas dari guru bahasa indonesiaku. Buat puisi. Tapi, ngomong-ngomong soal puisi, aku mau nulis tentang apa? Aku nggak tahu sama sekali nulis puisi. Tapi, aku nggak perlu khawatir. Ada kak Rani kok.
Aku keluar kamar mencari kak Rani di ruang TV. Biasanya sehabis makan, dia nonton TV. Tidak ada. Berarti di kamarnya.
“kak. Buatkan puisi dong!” rengekku padanya, yang tidur-tiduran sambil baca buku.
kak Rani memang bukan seorang pujangga. Tapi menurutku,dia berbakat banget. Aku pernah membaca beberapa cerpen dan puisi-pisinya yang bertema cinta yang telah ia bukukan. Di ketik computer lalu di jilid jadi satu. Menurutku, tak kalah dengan yang ada di majalah-majalah. Ceritanya bermakna. Bisa membuat kita merasakan, apa yang dirasakan oleh seseorang yang ada di cerita itu. Malah, cerpen-cerpen yang ada di majalah sekarang ini tak begitu menarik menurutku. Ceritanya asal. Tak memuaskan.
“belajar dong buat sendiri. Biarpun jelek asal karya sendiri.” Sudah kuduga. itu jawabannya.
“ngga tau kak. Gimana sih caranya supaya bisa buat puisi?”.
“sebenarnya, kakak ngga bisa buat puisi juga dulu. Hanya kakak suka aja menuliskan segala uneg-uneg kakak dalam buku diari. Lama kelamaan, kucoba tuk buat puisi maupun cerpen. Makanya, dari sekarang kamu harus belajar menuangkan segala perasaanmu dalam tulisan. Siapa tau aja kamu nanti bisa menjadi penulis terkenal”. Rentetatan katan-katanya sudah menyiratkan. Aku harus buat sendiri. Dengan lunglai kulangkahkan kakiku keluar tanpa menghasilkan sebuah puisi.
“aku benar-benar sudah ngantuk berat. Tapi sebaris puisipun belum ada yang kutulis. Aku tak tahu. Bagaimana cara memulainya? Temanya aja belum aku dapat.Mau buat puisi tentang apa?
***
“sudah selesai puisinya…?” Tanya bu Wayan pada kami dengan mata menyelidik. Tapi kuusahakan untuk tenang. Biar tidak ketahuan.
“sudah bu……” tak kusangka, suaraku yang paling keras menjawab membuat mata bu Wayan langsung beralih kepadaku.
Mati aku! Kalau ketahuan, pasti aku kan dikeluarkan dan di jemur di depan kelas, sampai pelajarannya usai.
“ok! Siapa yang bisa baca didepan puisinya?’ syukur….kirain aku yang akan di tunjuk.
Nggak ada seorangpun yang angkat tangan. Kulihat Tenri telah ada sebuah puisi di bukunya. Judulnya aku ingin jatuh cinta lagi
aku ingin jatuh cinta lagi
Sudah berulangkali aku jatuh cinta.
Rindu bila tak bersamanya.
Sunyi bila tak mendengar suaranya.
Berdebar kala bertemu dengannya.
Kesal menjadi senyum
marah menjadi tawa.
Gelisah menjadi riang
Galau menjadi bahagia
indahnya jatuh cinta.
walau pahit terkadang kurasakan
walau getir terkadang menyiksa
walau emosi terkadang menyerang
walau kecewa terkadang menyengat
aku tetap ingin jatuh cinta lagi
Sudah berulang kali aku jatuh cinta.
Tapi, Tak pernah jera aku jatuh cinta
Karena cinta membuat hidupku menjadi berwarna
Hebat benar puisi tenri. Tapi, palingan nyontek juga dari majalah. Nggak mungkin dia yang nulis sendiri. Dia nggak punya tampang jadi pujangga.
Kugaruk kepalaku yang tak gatal. Kebiasaanku yang kali ini, tak kuduga, membawa kesialan bagiku. Karena bu Wayan mengira, aku angkat tangan. “Ya! Kamu yang angkat tangan “ awalnya, kukira santi yang ditunjuk. Yang duduk pas dibelakangku. “kamu, Nur!” Santi memberitahuku. “Ha!” Aku langsung kaget dan pucat. “ya. Nurmi. silahkan maju kedepan”. Jantungku langsung terasa mau copot.
Dengan tangan gemetaran, Kuambil sebuah buku dari dalam tasku. Aku ketiduran tadi malam tanpa menghasilkan apa-apa. Paginya, aku malah terlambat bangun. aKu ke kamar kak Rani. Untungnya dia sudah pergi ke sekolah, jadi kubebas mengobrak-abrik kamarnya. Akhirnya kudapatkan juga yang aku cari.
“Sayakan bilang, buat sendiri!” Matanya melotot. Seperti ikan koki. Mau keluar biji matanya. Dia tahu? Kalau yang ada di tanganku bukan karyaku? Tapi, aku harus tetap bertahan. Terlanjur basah.
“I..ni kumpulan puisi saya bu. Sudah lama saya ketik lalu kuprint dan kujilid.” Alasan spontan yang keluar dari mulutku. Semua teman-temanku terdiam. Tak ada satupun temanku yang protes. Karena aku memang nggak idiot amat. Masuk 5 besarlah. Paling mereka hanya antara percaya dengan tidak. Kalau aku bisa sekreatif itu. Bisa menghasilkan karya.
Diraihnya buku itu dari tanganku. Dia hanya membaca sampulnya. “kumpulan puisi dan cerpen. Kamu bisa buat cerpen juga?”. Aku menuduk. Yang mungkin di artikan anggukan olehnya. Padahal takut menatap matanya. “ana’daraug. ini, nama samaranmu ya?” “Iya bu?.” Untung kak Rani tidak menuliskan nama aslinya di situ. Jadi aman.
“Ok. Kalau begitu, silahkan baca. Dan bukunya nanti, kasi ke ibu. Saya mau periksa. Benar tidak itu karyamu. Silahkan di baca.”
Siapa takut. Kuyakin. Bu Wayan juga tak bisa membuat puisi ataupun cerpen seperti karya kak Rani. Aku juga sering baca puisi atau cerpen di majalah-majalah remaja. Cerpen kakakku malah terkadang lebih bagus. Hanya mungkin kalah nama. Dan pendatang baru. Sehingga cerpennya tak pernah di muat. Tak diperhitungkan.

BayangMu dan bayangnya

Tuhan……bukan aku menafikanMu,
Bukan aku melupakanMu,
Dan bukan pula aku mengingkariMu.
Kucoba…tuk tetap khusuk mengingatMu……..
Dan dengan memejamkan mata,
Kukira aku mampu menggapaiMu
Dan meraih bayangMu.
Namun……
Ternyata sudut mataku hanya menangkap bayangnya ya……..Allah.
(sory ya, ya Allah.)
Senyumnya yang menawan……..
rambutnya yang brekele
“ha.ha ha" semuanya langsung tertawa mendengar kata-kata brekele. Dan mata merekapun menoleh ke Rahman yang rambutnya memang brekele. Aku ikut tersenyum.
Bayangnya telah meluruhkan konsentrasiku
Tuk tetap mengingatMu, ya……..Allah!
Jangan salahkan hambamu ini ya,
Ya Allah…….yang terlena akan cinta….
Karena dari kau jualah segala zat cinta di alam manusia.
Tepuk tangan yang riuh dari teman-teman. Nampak kepuasan dari sudut matanya. Aku tersenyum penuh kemenangan. Karena berhasil lolos dari hukuman. Bu wayanpun senyum-senyum mendengar puisiku. Soalnya lucu sih. Tapi mempunyai makna yang dalam. Karena itulah kenyataannya. Ketika kita jatuh cinta, kita terkadang lupa segalanya. Yang ada didalam ingatan hanya sang pujaan hati.
***
Benar kata orang. Tidak selamanya yang kita anggap buruk itu buruk. bisa saja itu menjadi hal yang baik. Terbukti. Rahman yang rambutnya brekele itu, nembak aku esoknya, gara-gara puisi itu. Di kiranya mungkin, aku terinspirasi dengan dirinya selama ini, sehingga terciptalah puisi itu.
Dia rangking 2 lo dikelasku. Aku langsung terima aja. Soalnya malu juga sih jomblo melulu. Dibilang ngga laku sama temana-teman. Soal cinta urusan belakang. Perjalanan kan masih panjang. Minimal ada yang antar jemput ke sekolah. Dan julukan the best jomblowati akan hilang dari diriku.
Dari kelas 1 sampai kelas 2 sekarang, baru kali ini aku pacaran. Paling Cuma naksir-naksiran. Tapi tak pernah jadian.
Aku heran aja sama kak Rani. Kok bisa-bisanya nulis puisi yang lucu kayak gitu. Menurut dia sih, semua puisi yang ia buat berdasarkan pengalama pribadi. Dan puisi ini ia buat saat ia jatuh cinta sama kakak tingkatnya yang rambutnya gondrong dan brekele yang menjadi guru les pianonya dikampus dulu.
“Rahman! Temani aku dulu ke kantor ya. Bu Wayan manggil aku….” Saat jam pulang.
“ada masalah apa Bu Wayan manggil kamu?”
“mungkin kasi kembali buku ku yang kemarin”.
Sebenarnya, Hatiku deg degan. Mungkinkah bu Wayan tahu? Kalau itu bukan karyaku? Ah. Tidak mungkin.
Kantor lagi sunyi. Hanya ada bu Wayan. Guru-guru yang lain sudah pada pulang semua. Kulihat buku puisi itu lagi ia baca.
“ada apa bu?”
“nih bukunya. Makasih ya “
“sama-sama bu” syukur deh. Kirain mau introgasi lagi.
“Nurmi…..” tersenyum penuh makna. Kayaknya ada sesuatu yang mau dia ucapkan. Tapi ragu. Apa dia masih ragu ya kalau benar-benar aku yang menulisnya.
“cerpennya bagus, ya?”
“tentu dong, bu. Soalnya cerpen ini dibuat dari hati. Dan sebagian ceritanya adalah pengalam pribadi”. Jawabku mantap. Kata-kata yang selalu di ucapkan oleh kak Rani, saat aku memuji karyanya.
“berarti, kamu benar-benar cinta ya sama pak muhlis?” tanyanya dengan nada menggoda.
“Ha! Pak muhlis?” aku kaget. Apa hubungannya? Aku langsung menoleh ke Rahman. Raut mukanya langsung berubah. Aku menyesal mengajak Rahman kalau ceritanya jadi panjang gini. Ada misunderstanding lagi nih nampaknya.
“iya…Soalnya, ibu baca, semua yang jadi tokoh utamanya, adalah Muhlis. Ada salah satu cerpenmu yang berjudul ada cinta dalam canda. Karakter muhlis yang ada di cerpenmu benar-benar mirip dengan pak muhlis”. Ku tak mampu berkata-kata. Rahman langsung pergi. Mendengar kalimat terakhir bu Wayan.
Benar kata orang. Kalau awalnya buruk, maka buruk pulalah akhirnya. Hal ini terjadikan karena aku berbohong. Gimana ya cara menjelaskannya ke bu Wayan dan rahman? Untung HP bu wayan berbunyi. Akupun pamit tuk mengejar Rahman saat ia sibuk menerima telfon.
Rahman kemana sih. Dia ngga ada ditempat parkir. Ku sms aja ah. Kalau kutelfon, pasti ngga akan diangkat. Kayaknya dia marah banget. “Say…kamu salah paham. Sebenarnya, bukan aku yang nulis cerpen itu. Tapi kakak aku”. Tak berapa lama ada balasannya. “berarti puisi itu bukan kamu yang buat kan?” .. “iya. Tapi dari dulu aku suka sama kamu kok. Jadi, jangan marah lagi ya?”.
Rahman percaya juga. Dan menemuiku di tempat parkir. “mana sih bukunya? Aku penasaran mau baca.”
“Iya ya!. Bukunya nggak aku ambil tadi. Kamu sih….ngambek.”
Aku berdua kembali berjalan kea rah kantor. Kuhentikan langkahku saat masih di belakang kantor. Aku mengintip yang diikuti Rahman dari balik jendela karena mendengar percakapan pak Muhlis dan Bu Wayan. Sepertinya, yang dibicarakan tentang kami.
“Ada apa bu dengan anak-anak itu tadi?”
“nggak ada apa-apa pak. Cuma mau kembaliin buku cerpennya Nurmi”.
“o…..”
“bapak ngajar kan di kelasnya nurmi?”
“iya”
Bu Wayan nampaknya menarik sebuah kesimpulan sendiri dengan senyuman kecil di sudut bibirnya.
Iapun tak bertanya lagi. Sedang pak Muhlis mengambil buku yang ada didepannya dan membukanya. Tadi, buku itu sempat aku ambil. Tapi kuletakkan lagi di meja pak muhlis karena kaget mendengar pernyataan Bu Wayan yang di luar dugaan. Masa aku suka sama yang tua kayak pak muhlis. Nggak lah. Aku bukan Tenri lagi!
Ia tertawa sendiri membaca sebuah puisi di halaman depan. Pasti Bayangmu dan bayangnya. Setelah itu ia membuka-buka lagi. Matanya tertuju pada sebuah cerpen yang membuat kenignya berkerut. Nampaknya ada sesuatu yang menarik. Ia lalu membalik ke halaman sebelumnya. Dari jendela dapat kulihat tulisan judulnya yang ada cinta dalam canda. Karena tulisannya memang besar. buku itu telah berulang kali aku baca. Sayangnya, ending dari cerpen itu tak asyik. Cinta sang gadis tergantung. Sinyal cinta dari si cowok telah ia rasakan. Tapi kalimat cinta tak pernah terucap hingga keduanya tamat kuliah dan si gadis kembali ke kampungnya.
“ada apa pak? Kok bengong gitu?” ternyata, dari tadi bu Wayan memperhatikan tindak tanduk pak Muhlis.
“ku heran saja dengan cerpen ini. Ini mengingatkakku ketika aku masih kuliah di Bone dulu. Kok ceritanya mirip ya dengan kisahku. Namanya pun sama. Tempat kejadiannyapun sama”
‘berarti benar dong, kalau ada teman kuliah bapak yang sering menggoda dengan kata-kata ganteng, rindu…..
Anggukan kepala cowok ganteng yang ada di depannya memberikan jawaban yang jelas.
“sebenarnya, aku suka juga dengan dia. Sayangnya, aku sudah ditunangkan. Dan aku tak mau mengecewakan orantuaku. Akhirnya, akupun menjauhinya. Karena aku takut, dia berharap banyak padaku dan aku tak mau menyakiti hatinya. Namun takdir berkata lain. Tunanganku menikah dengan orang lain. Aku kecewa. Bukan karena dia menikah. Tapi, kecewa, karena kutelah menyia-nyiakan cinta orang yang teramat kucintai. Ibu tau…. Setelah tamat kuliah Dia pernah nelfon sekali. Waktu tau kalau sudah punya hp. Karena saat itu hp masih barang langka. dia sms. Mengungkapkan semua isi hatinya. Tapi, Aku tak pernah membalas smsnya. Karena itu hanya kan memberikan harapa semu padanya”.
Bu Wayan nampak menikmati cerita itu. Penasaran mendengar kelanjutan kisahnya.
“Aku begitu senang, ketika mendapatkan tugas ngajar di sini. Di luwu timur. ke sini, berharap bisa mencarinya. Aku juga tak tau pasti alamatnya di mana. Tapi aku yakin, suatu saat pasti bertemu. Apalagi profesi dia juga guru.”
“namanya siapa pak? Kenapa tidak bilang dari dulu? “
“namanya Rani”
“yang namanya Rani banyak. Istrinya pak agus, juga Rani namanya. Guru di smp sebelah juga Rani namanya. Sekarang lagi hamil.”. Pak Muhlis langsung kaget. “hamil?”
“tenang dulu pak. Memangnya dia guru apa?”
“b. inggris!”
“berarti bukan. Karena yang di sebelah guru Kn. Ada lagi satu yang namanya Rani. Tapi aku lupa guru apa. Nanti deh aku Tanya nurmi. Karena…”
“Assalamu alaikum” di pintu kantor seseorang mengetuk pintu. Pak Muhlis yang muslim tentu saja refleks menjawab salam itu.
“panjang umur. Kok bisa sih kebetulan seperti ini? Kita guru…..” tak jadi melanjutkan pertanyaannya. Karena Pak Muhlis menatap lekat kea rah bu Rani yanga ada di depannya. Sedang Bu Rani, sepertinya tak percaya dengan penglihatannya. Bu Wayan ikut terdiam, melihat kedua insane ini hanya bertatapan heran. Bu Rani inikah yang di maksud pak Muhlis?
“Muhklis…?” dengan ragu, Rani menyebutkan nama cowok yang ada di depannya.
Aku lebih-lebih lagi. Kok Kak rani kenal pak muhlis?***

No comments: