Thursday 25 April 2013

PUISI RAUDAH JAMBAK (RAUDAH JAMBAK'S POETRY)


SAJADAH BATU

Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku
Dengan zikir beribu waktu
Rabbi,
Telah meretas air mataku satu satu
Namun rindu begitu kelu

Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta
Dari waktu ke waktu

2007-09-15










SAJADAH KAYU

Walau rayap rayap mengerat gigil tulang
Sujudku pada-Mu
Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu
Yang menjelma perahu
Mengarungi lautan do'a-do'a menuju
Dermaga rindu
Ah, akukah itu
Si penebang kayu yang dahaga
Akan embun rahmat-Mu

2007-09-15









SAJADAH API

Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu
Menganyam tembikar murka
Abrahah si pengumpul kayu
"Patung besar itulah yang memenggal leher
Tuhan-tuhan mu," ujarnya berseru

Amuk Abrahah menyulut deru
Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami
Sujud pada sajadah api membiru

2007









SAJADAH TANAH

Sunan Kalijaga membentangkan sajadah
Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar
"Telah menyatu aku dengan Tuhanku!"
Mengutil rimah-rimah amarahnya
yang berdarah darah

O, siapakah yang memautkan
Zikir cacing pada bebal leher terpenggal
Di bujur sujud yang tersungkur?

2007









SAJADAH AIR

Digelembung zikir sajadah air, Musa
Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi
Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam
Bilah bilah
Dan perahu itu
Dan anak itu
Dan rumah itu
Pada sujud air sajadahpun air
Mengalir, membulir

2007









SAJADAH UDARA

Menapaki Haram menuju Aqsa adalah
Hijaiyah bagi hati yang resah
Lalu, memebentanglah sajadah
Pada sujud udara menjemput cinta-Nya

Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah
Yang tak sudah sudah Ya, Rabbi

2007











TSAISHENG

Kaulah itu yang menebar benih rezeki
Pada setiap langkah-langkah pasrah
Yang menuai segala gerah, dan
Tikus-tikus siap mengintai
di setiap lengah

7 Februari 2008













CHENZHOU

Di kota ini, para migran menembus
Gunung-gunung salju dari sejarah
Yang paling dingin
Di kota ini, cahaya temaram dalam diam
Orang-orang kerontang berebut air
Sampai tetes paling akhir
Di kota ini, tahun bersambut pada
Suasana yang paling haru, rumah-rumah
Merapat mencari hangat

2008









DI TIANJIN

Di Tianjin para tikus membangun kerajaannya
Orang-orang cemas, orang-orang gemas, sebab
Emas-emas raib dari brankas

2008















KEMBANG KERTAS

Kurayakan lunar tanpa barongsai
Dan tarian naga. Kembang kertas berjajar
Pada rumah yang merapat berbanjar
Kurayakan lunar menghempang babi tanah
Yang menyeberang gunung, menghadang
Tikus api yang menembus gudang
Dan langit, dan bumi dan manusia
Tercatat pada kelopak kembang
Begitu memesona
Hong bao
Merah warna yang penuh pada gairah
Di setiap hati para bocah
Genggam tangan dengan erat, maka
Akan kau genggam mata uang berwarna coklat
Dan beberapa potong permen pengikat

2008



LING LING NAMAKU

Lama sudah kita menjaring cerita
Tentang budaya dan perbedaan warna
Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu
Menyatukan segala-menyatukan rasa
Ah, apalah artinya sebuah nama katamu
Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya
Tentang sebuah harkat maupun pembuktian
Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu
Aku terlahir di negeri ini
Ling Ling namaku

2008-02-07








ADA BEDA ANTARA KITA

Usah resah maupun gundah tentang sebuah
Perbedaan antara kita. Apa itu salah?
Justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan
Bukan topeng dari cinta yang dipaksakan
Kita memang lahir dari keluarga yang berbeda
Kita memang lahir dengan warna kulit yang berbeda
Kita memang lahir pada lingkungan budaya yang berbeda
Tapi, tahukah kau bahwa kita masih punya hati
Yang menyatukan segala beda antara kita
Dengan cinta

2008








TAHUN TIKUS

Setelah kemakmuran di tahun babi tanah pergi
Tikus-tikus apipun kembali menebar rezeki
Berharap mendapatkan sebuah kursi
Untuk memimpin negeri ini
Gunung-gunungpun berubah gudang-gudang
Tanah, air dan api menyatu
Angin tergugu menunggu
Setelah tahun babi tanah pergi, maka berkuasalah
Para tikus api menebar rezeki atau korupsi
Bertubi-tubi

2008-02-07








HAPPY LUNAR NEW YEAR

Gong Xi Fa cai,
Mari samakan langkah
Membangun negeri tempat
Kita lahir dan dibesarkan
Satukan hati, singkirkan perbedaan

7 Februari 2008













BERILAH AIR DARI TANGAN KEIKHLASAN

berilah air dari tangan keikhlasan,maka
kita akan selalu dicurahkan kemudahan
sebab, kasih tanpa syarat adalah
hidup yang penuh kedamaian
pada manusia
juga Tuhan

medan,06












AKU HANYA MENITIPKAN BUNGA INI UNTUKMU, SAHABAT

Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. tanamlah ia pada vas
hatimu yang bersemu biru
sebab, hanya ia yang mampu mewarnai hidup
agar lebih indah dan merona
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. rawatlah ia dengan
segenap kasih sayangmu
sebab, hanya ia yang mampu memberi kesegaran bagi hidup yang mengharu biru
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu, ya setangkai bunga
cinta berwarna kedamaian

medan,06



MASA DEPAN MANUSIA

masa depan manusia adalah
pucuk dedaunan di puncak pepohonan
yang menghijau
sebab energi pupuk kebersamaan
bersih dari racun curiga
dan satwasangka
masa depan manusia adalah
buah ranum di reranting pepohonan
yang rimbun
sebab siraman segar air kebersamaan
mengalir dari mata air yang bersih
dan bening
masa depan manusia adalah
angin sejuk berhembus pada
pepohonan hati kita, makhluk
penjaga sah kelestarian hidup
dan kehidupan

medan,06

KU ANYAM SEBARIS DO'A DENGAN HIASAN TAHLIL SEDERHANA

Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana,
di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang
Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan

Medan,03-04





MUSA YANG MEMBELAH GELOMBANG

kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang dengan tongkat sakti-di sini tsunami angkuh berdiri menebar duri, bersama angin yang memburu mengekalkan seringainya-dalam bayang-bayang kabutserombongan gagak memburu camar yang terbang gontai, perlahan mengintai-sementara pepohonan tafakkur, mengucap syukur - lalu membanjir derai zikir: telah menjadi suratan fir'aun terkubur takabburmenafikkan takdir di tengah laut yang terbelahsehabis ketukan do'a Musa bersama takbir yang menggemakemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang bersama para syuhada-di sini laut berubah raksasamelahap apa saja, bagai sihir yang menumpahkan muntahan air-menghantam beratus ribu pasir dalam sir-sementara tenggorokan tersekat bersama waktu yang sekarat:telah menjadi suratan gelombang bukanlah hujjahpara syuhada hanya hijrah, berjalan diantara pecahan resah, membius darah-dan tsunami hanyalahistilah, pintu hijrah menuju tempatyang lebih indahmaka,bangunlah wahai kekasih Sang Kekasih, sebab resahadalah miliknya orang-orang kalah, sebab kecewa adalah miliknya para pendosa,orang-orang yang tak mengerti arti mencinta, sebab nada kutuk adalah miliknya orang-orang yang pintu hatinya tak terketukmaka,kemana lagi Musa pergi, bersama umi-bersama abah,bersama inong-bersama agam, bersama geuchik-bersama teungku meunasah, bersama para syuhada yang tak mengenal arti lelah-arti menyerah, selain membelah gelombang,menuju Allah

2004







MENERAWANG PATUNG-PATUNG BERBAJU

Alangkah indahnya menerawang patung-patung berbaju
Berdiri terpaku menjelma tugu-tugu yang disekitarnya
Menjadi taman bermain-anak cucu
Alangkah anehnya orang-orang dewasa yang memandang
Takjub anak-anak berusia belia tak berbaju, lalu menghardik
Anak sendiri yang memang tidak perduli
Lantas apakah kita seperti patung-patung yang termenung
Anak-anak berusia belia tak hendak berteriak
Memandang sebuah ketelanjangan yang memang
Sebatas kebiasaan
Lantas apa bedanya kita dengan hewan
Yang berpakaian dianggap sekedar hiasan
Lalu dijadikan gurauan
Dan alangkah anehnya sebuah keindahan kesopanan
Tak mampu diukur dengan batasan
Tak mampu dicerna dalam pikiran
Atau karena memang sudah menjelma
Kebiasaan menjadi kebisaan
Medan,06

ANGAN-ANGAN DIGUYUR HUJAN DEBU MENGENDUS BATU-BATU

:mengelus uncen,memapah abepura
Entah mengapa sore ini para semut memenuhi sepanjang
Badan jalan merambat tak beraturan.rambu-rambu
Berdahan rendah ditebas tanpa balas terseret pada trotoar
Kebisuan,ketika itu angin berwarna kusam diguyur hujan debudebu
Entah mengapa sore ini para semut memadati sepanjang
Badan jalan menyeruak tak beraturan menambah pecah
Pusat-pusat kebisingan.slogan kata-kata yang tiarap direranting
Pohon, merayap ditetiang listrik hanya mampu terpaku –membisu,
Ketika itu angin bersayap buram mengendus batu-batu
Entah mengapa sore ini para semut pasrah sepanjang
Badan jalan terkapar dengan desah tertahan ditembus deru peluru,
Memperjuangkan angan-angan yang mengawan
Tak berkesudahan, diguyur hujan debudebu-mengendus batubatu

Medan,06



TELAH TERUKIR RANTING DAUN SAMPAI SEJARAH PALING AKHIR

Telah terukir ranting daun pada kelopak mataku
Akarnya meranggas menembus sampai ke kulit paling akhir
Mencari celah-menyusuri darah, dan merambat
Ke puncak otak setelah melewati danau hati
Aku tak sempat menarik napas , ketika daun-daunnya
Merimbun pada kornea yang menjingga. Butiran-butiran embun
Menyeruak di sudut-sudut daun,
Membasah resah, membaca segala
Rahimnya membuahkan berjuta aksara dari kulit paling akhir
Merenangi sungai darah, dan hanyut di hulu otak menembus batu hati
Aku tak sempat menahan isak, ketika gemuruh jantung menghentak.
Membobol waduk air mata-membanjir luka, mengugurkan daun-daun-
Membusukkan segala
Gemulai dihembus angin yang mengerang garang
Akarnya meranggas menembus kulit paling akhir
Rahimnya membuahkan berjuta aksara duka dari kulit paling akhir,
Lukanya menganga pada pedih memerah, di kulit paling akhir, sampai
Sejarah perdaban yang paling akhir
Medan,06

TANGIS GERIMIS ADALAH

Tangis gerimis adalah air mata gadis yang perih
Ketika menanak luka, mengalir di sungai-sungai nestapa,
Menderas arusnya
Tangis gerimis adalah air mata gadis yang menjelma
Butiran-butiran mutiara kaca, menggores di ruang-ruang batin
Tanpa jiwa, mendarah lukanya
Tangis gerimis adalah musik-musik jiwa yang memenuhi gua hampa,
Menggema tanpa alunan nada, yang memanah aura pesona
Tangis gerimis adalah
Luka di sungai-sungai nestapa, butiran-butiran mutiara kaca
Tanpa jiwa, atau gua hampa tanpa alunan nada

Medan,06







AKU MENJADI ANGIN

Aku menjadi angin
Yang bebas lepas menari kesanakemari
Mencium harum-mengelus daun-daun
Di taman hatimu

Medan,06














KEPOMPONG HUJANKU MENETESKAN KUPU-KUPU

Kepompong hujanku meneteskan kupu-kupu
Ulat-ulat menguap dari setiap sudut sejarah lelah
Meliuk-liuk diantara pori-pori tanah
Membasah di akar desah
Lalu, kubasuh wajah matahari
Kerontangkan rumput sepanjang savana
Membakar borok liang birahi, diantara
Kapas-kapas yang berbaring di paha
Menggeliatkan para wanita penyulam awan
Kepompong hujanku
Meneteskan kupu-kupu
Memburu bunga sepanjang savana
Menyedot madu

Medan,05





SEHABIS KHATAM HUJAN

Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan
Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan
Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang
Alif ba ta cinta
Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda
Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya
Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan
Surga?”

Medan,05









BAU ANYIR YANG MENGUAP

Bau anyir yang menguap dari liang ketiak dan selangkang
Mulai dari modul bayi berusia hari ini sampai labi-labi
Riwayat akhir nanti. Sekali menyulam dengkur-berdebur
Sekian rupiah. Ada yang diam-diam buang nafas
Diantara rimbunan ampas
Seorang lelaki berumah buncit bersetubuh
Dengan lubang senggama mimpinya
Dengan mulut berbusa-menganga
Sementara seekor ayam betina mengacak-acak rambut
Kemaluanku, sebelum memberi cinderamata luka
Pada seperampat perjalanan menuju kota.aku menghitung
Ketukan nada aroma disetiap tarikan nafasku, disetiap
Tetes keringatku
Bau anyir menguap
Diantara nafas kotoran
Berubah sayap pada jendela

Bogor,04

BIDADARI YANG MENARI

Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Di antara arak awan yang menawan, dan diantara
Pelangi yang menyemai seni sari-sari
Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Lalu mengajakku membakar birahi

Jakarta,05












BERITA TERKINI HARI INI

Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari ini masih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, mengunyah-kunyah nomor uji, seperti menjerat
Kursi sidang komisi di setiap ruang rapat fraksi
Giginya yang tajam menghunjam dalam-dalam serat saraf
Menghamburkan cairan dan kotoran yang memabukkan
Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari inimasih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, sementara seekor kucing hanya bisa menganga
Menjelma kuda

Medan,06








PURNAMA TELAH LAMA PECAH DALAM KEPALA

Entahlah mungkin cuaca telah belang warnanya, sebab
Kita tak mampu menghitung berapa jumlah titik rintik
Yang mengetik tuts bumi, padahal telah berkali-kali
Do’a di enter, lalu di save as secara buas

Lalu seketika saja layar monitor menebar kemarau
Dan mengutip rimah purnama yang telah lama pecah
Dalam kepala

Amboi, kita masih saja sulit membaca cuaca yang telah belang
Warnanya, membawa suara menghiba direrimbunan do’a-do’a
Dan purnama memang telah lama pecah dalam kepala.

Medan,2007



SUNYI LUKA

malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada
ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi
dari lorong-lorong tak bernama
rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca

purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga
cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang
siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang
sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga

ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca
lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada
pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan
do’a-do’a

medan, 2007

SEARAH PERGI BEGITU PULA KEMBALI

searah pergi begitu pula kembali
tidak ada yang berubah selain sepi
aroma luka setua usia dari stasiun yang
tak pernah sunyi

masih juga terdengar nyanyian jalanan
masih juga terdengar rintihan lapar tertahan
masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan

searah pergi begitu pula kembali
tubuh renta itu berganti bayi tawarkan
aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh
mengaduh-aduh

o, adakah yang lebih sakit selain dari
jerit yang dibungkam?
Komunitas home poetry, 2009
APALAGI GUNA HUJAN TANGIS


Apalagi guna hujan tangis
pada tubuh penuh bara
sudahlah simpan saja segala rayuan
yang selalu kau hidangkan di atas meja
bersama aroma pembusukkan

komunitas home poetry, 2010









PERTI ANGIN YANG MENYISIR

seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini
padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu
masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu

berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni
berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah
perjumpaan kita yang pertama kali

seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun
dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas
meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal

komunitas home poetry, 2010


SEPERTI PERJUMPAAN LAUT PADA PANTAI

seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku
sedetikpun tak melupakan-Mu, walau terkadang angin
menghempaskanku ke samudera luas, tersangkut
di sela-sela karang

seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah harapku
tak ada waktu melalaikan perintah-Mu, walau terkadang riak
menggelombang ciutkan nyali yang sempat mengombak

seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku,
begitulah harapku pada-Mu, walau terkadang melambai
di tepi pantai yang landai

komunitas home poetry, 2010





DAUN-DAUN BERGUGURAN

di tepi jalan daun-daun berguguran
terhimpit debu pada langkah-langkah kaki
yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan
melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam

aku memandang geram mengunyah napsu tertahan
alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur

di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu
bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam
aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada
tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam

komunitas home poetry, 2010



PANTAI YANG MENYIMPAN RAHASIA BADAI

begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai
kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar
setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh
dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala
penantian yang tidak pernah usai

pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput
pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman
pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan

ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai
dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai
bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh
lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan
aroma nisan
komunitas home poetry, 2008

RESAH DAUN JENDELA


Pada resah daun jendela
Wajahmu bergambar duka
Sedari pagi matamu menikam langit
Sampai matahari lari bersembunyi
Yang tertinggal hanya senyap
Yang tertinggal hanya gelap
Sekadar hanya menyisakan kenangan
Tertutup debu tertahan

Pada resah daun jendela
Ada gairah yang tak kunjung
Nyala rindu bocah yang menangis
Manja

Mdn,2007

RINDUKU MENGERING


Ah, kau lagi
tak bosan-bosannya menanam
pikiranku dengan bunga-bunga
Padahal sudah kukatakan padamu
Rinduku telah lama mengering
Tersengat matahari
Baranya menyalakan kesumat
Dengan apa hendak kau suburkan?
Dengan sungai abu atau laut nafsu?
Biarkan bumiku mengadopsi taman-taman
Yang menyegarkan
Yang menentramkan
Ah, kau lagi…!
Lelaki yang senang menghidang berang


YANG MENGETUK DAUN PINTU

Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu
Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahku perlahan
Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam
Dengan setengah butir bulan
Di sebelah rumah
Anak tetangga mengaji
Merapal doa sepanjang magrib tiba

Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu
Kaukah itu atau
Jantungku yang
Bertalu-talu
Menggemuruhkan irama rindu?
Ibu…

Komunitas home poetry, 2008

TAHUN KENANGAN

tahun-tahun hanya menjaring kenangan
dalam bualan angan-angan
pagi-pagi sekali kita tidurkan mimpi
pergi menjaring matahari, berharap
sepotong bintang tak lari sembunyi

tahun-tahun hanya menjaring kenangan
dalam bius kotak meracun pikiran
enggan rasanya meninggalkan hidup
yang dirasuk mabuk , mungkin
sepotong selimut akan memeluk hangat
tahun-tahun hanya mengunyah bulan
meracun pikiran, melupakan
Tuhan

Komunitas home poetry, 209

PIKIRAN YANG GERSANG

Dalam pikiran yang gersang
Pepohonan apa yang hendak ditanam
Tak ada bunga
Apalagi buah
Kutebar bibit di bulan sabit
Kutabur harap dalam makrifat
Jerit hati yang sakit
Berharap menjaring semangat

Wahai,
Tuhan ada
Dalam adaku
Dalam tiadaku
Dalam pikiran yang gersang
Rintik membawa berkah ketenangan
Segala kesentosaan

Komunitas home poetry, 2009
PENCARIAN

Apalagi yang hendak dicari dalam hidup
Jika kita tak lagi berjiwa
Tumbuh-tumbuhan masih tetap hijau warnanya
Malam masih tetap segelap gulita
Sepi merintih sunyi

Amboi,
biarkan burung-burung menjaring
matahari

mdn, 2007






PADA PERJALANAN MATAHARI

dalam perjalanan pagi hari
matahari menyulam kepak peristiwa
yang terkadang liar terbang ke sana kemari
ahai, ia singgah ternyata sekadar mereguk
hangatnya segelas kopi

beranjak terang
matahari menggiring gemawan
yang meretas waktu perlahan
oho, ia sempatkan pula mengunyah
sepotong daging di atas meja

malam pun
pelan-pelan meninabobokkannya
di pembaringan sambil menikmati
dongeng sebelum tidur lalu mendekap
mimpi yang penuh warna warni
DENGAN SEIKAT BUNGA INI

apakah yang dapat kukatakan
selain mengungkapkannya dengan
seikat kembang atau setangkai mawar, Kekasih
atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur

ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti penanda hati

apakah yang dapat kulakukan
selain menyusun butir-butir rindu
menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih
entahlah warna cinta yang bagaimana lagi
yang patut kutorehkan di kanvas hati

ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti pecinta sejati
DALAM DIAM KAU PENDAM CINTA

mungkin ini hari dan minggu yang kesekian
kau pandam cinta dalam diam, padahal kita
telah berjanji sehidup-semati
adakah luka yang begitu menganga sehingga
kau ciptakan jurang diantara kita
atau aku yang kurang pandai membaca
perjalanan cuaca?

mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian
kau gelincirkan cinta dalam diam, padahal kita
telah sama berjanji-sama mendaki
adakah dendam yang begitu membatu sehingga
kau pahat lereng terjal dilangkah kita
atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki
dalam perjalanan hati?

Medan,08
AKU CINTA KAU BUKAN SESIAPA

usah kau sulam segala ragu, sebab
aku cinta kau bukan sesiapa
kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka

aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi ibu dari anak-anak kita
yang kelak akan menggantikan kita menjadi
pangeran dan putri dari segala kerajaan cinta
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA

jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa

jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma

medan, 2008







PELAYARAN SAJADAH

Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Medan, 2008








AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH

/1/ Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging

Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan Sebab ia adalah cermin buat berdandan Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah. Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak

/2/ Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi. perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara. mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta! Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba

Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!

/3/ Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian. di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak

Komunitas Home Poetry, 2008-2010


No comments: