Thursday 25 April 2013

Cerpen Perempuan dan Belati

M. Raudah Jambak.

Malam. Hujan masih menitik. Genangan darah yang tadinya tidak begitu merembes, jadi menggenang. Darah dan hujan seperti sedang berkolaborasi. Ada kesan sintesis mutualisma dimana-mana, termasuk di sekujur tubuh perempuan itu. Perempuan yang sedang menggenggam belati di tangannya. Kolaborasi hujan dan darah itupun ditimpali dengan peluh dan airmata. Tak jauh dari tempatnya gundukan tanah yang baru digalinya, mengikis.

“Manando Mato!”

Berkali-kali perempuan itu berteriak. Teriakannya seperti percuma sebab kilat dan petir menambah getir.

“Manando Mato! Manando Mato!” Perempuan itu perlahan berdiri dengan rasa sakit dan batin yang perih,”Jangan lari, akan kutuntaskan dendam ini.”

Perempuan itu masih berteriak. Teriak yang tak karuan dan sesekali ditimpali tertawa kemenangan. Pandanganya tajam. Senyumnya setipis belati. Berlari kesana kemari mengumpulkan kerikil dan menumpukkannya di gundukan tanah yang terkikis hujan. Dia menyeringai, lalu tertawa lepas.

“Manando Mato! Kau lihat, telah kukuburkan benih dosamu. Kusayat-sayat sebelum dia kutanam. Hahaha...”

Hujan perlahan redam. Kilat sesakali menghunjam. Dengan napas penuh dendam, perempuan itu menghentak-hentakkan kakiknya di atas gundukan tanah berkerikil itu. Sejenak kemudian dia menangis, terduduk di atas gundukan itu.

“Maafkan ibu, Anakku. Kau tak salah. Justru ibu sangat menyayangimu. Ibu mencintaimu sepenun hati Ibu...”

Perempuan itu seolah berkisah. Sesekali menari. Bernyanyi. Belati yang tergenggam di tangannya menjelma bayi.

“Kau tau, Anakku. Awalnya, Ibu tidak begitu menginginkan kehadiranmu. Ibu harap kau mau memakluminya. Tetapi...” perempuan itu menelan diam, ”tetapi ibu sadar cintakan tidak harus memiliki.”

Tangannya gemetar. Peluhnya masih terus mengucur. Matanya berlinang, menganak sungai. Pandanganya menerawang.

“Tiga tahun lalu ibu berkenalan dengan seorang lelaki. Setamat sekolah, lelaki itu membiayai semua keperluan kuliah ibu. Tidak hanya itu, juga semua kebutuhan ibu. Lelaki itu luarbiasa. Ibu tak pernah melihatnya mengeluh.”

Suaranya terbata-bata, menceritakan awal pertemuanya dengan Manando Mato. Lelaki tampan dan penuh kharismatik. Di mata perempuan itu, dia adalah sosok lelaki yang begitu sempurna. Betapa tidak? Dari cara lelaki itu bicara dan bersikap seperti tak ada celah.

“Ketika itu, Anakku, lelaki itu begitu dibenci oleh kakek dan nenekmu. Ibu paham mungkin karena ibu adalah anak satu-satunya dan kami tidak memiliki sanak-famili, karena kami adalah pendatang di kampung ini. Ibu heran mengapa nenek dan kakekmu begitu membencinya...”

Perempuan itu tersenyum. Dia mengenang bagaimana Manando Mato berusaha melakukan pendekatan-pendekatan kepada orangtuanya. Awalnya, perempuan itu memang sempat merasa janggal. Hanya saja kejanggalan-kejanggalan itu dia tepis begitu saja.

“Lelaki itu, Anakku. Lelaki itu berusaha mencuri perhatian kakek-nenekmu. Padahal kami bukan orang kaya. Kami keluarga sangat sederhana. Ibu sempat heran mengapa lelaki itu tetap bertahan. Padahal sumpah-serapah tak berhenti berdengung di gendang telinganya. Demi melihat itu, Ibu yang iba dan perlahan muncul rasa sayang dan cinta padanya, sehingga ibupun rela dibawanya lari dari rumah...”

Perempuan itu kembali menari dan bernyanyi. Dari mulutnya terus meluncur berbagai kisah. Kadang lucu, kadang menyedihkan.

“Ibu harus berani bersikap, Anakku. Sesekali ibu teringat di saat nenekmu hendak ke pesta, kondenya lepas dan kakekmu berlari-lari mengejar sanggul yang mengelinding di tanah. Ibu rindu itu. Kembali harus ibu tepis, karena lelaki itu mampu memberikan segalanya. Dia tidak berusaha memanfaatkan ibu sedikitpun selama pelarian kami. Dia pernah melamar ibu, tetapi ibu tolak. Dia dengan lapang dada menerimanya tanpa mengurangi rasa sayang serta cintanya pada ibu. Malah semakin bertambah.”

Perempuan itu berlari-lari kecil. Belati di tanganya di acungkannya ke atas, lalu tertawa cekikikan. Berselang beberapa menit kembali terisak-isak.

“Pagi itu, Anakku. Ibu sedang menyapu halaman. Tak ada angin, tak ada hujan seseorang datang menyerahkan selembar surat untuk ibu, Ya, untuk ibu. Dada ibu berdetak kencang. Surat itu berisi tulisan tangan. Isinya singkat sekali. ‘Anakku, pulanglah orangtuamu sakit...’ Begitu isinya.... Tak ada nama. Apalagi alamat. Dan setahu ibu tak ada yang tahu keberadaan kami, selain kami berdua.”

Perempuan itu menahan isak. Perlahan dia langkahkan kakinya menuju sebilah kayu patah dari batang pohon yang tumbang. Malam semakin larut. Hujan berhenti. Jangkrik berdendang lirih.

“Lelaki telah memiliki hati ibu sepenuhnya. Ibu begitu mencintai lelaki itu. Ibu tetap bertahan, walau akhirnya mendapat kabar kedua orangtua ibu telah meninggal. Lelaki itu berhasil meyakinkan ibu. Lelaki itu berkali-kali mengatakan, dia akan selalu menjaga ibu. Malam itu, ibu ikhlaskan mahkota ibu direnggutnya. Ibu tidak sedih. Ibu bangga, akhirnya ibu mampu membuktikan rasa cinta ibu yang besar padanya.”

Perempuan itu terdiam. Matanya tajam memandang ke arah gundukan itu. Perlahan dia melangkah menuju gundukan itu.

“Ibu sayang padamu, Anakku. Ibu sayang pada lelaki itu. Walau berkali dia melamar ibu, ibu tetap menolaknya. Padahal ketika itu kandungan ibu semakin membesar. Kaulah, Anakku. Kaulah yang ada dalam kandungan Ibu. Ibu tidak tahu apakah lelaki itu kecewa, sejak kandungan ibu berusia delapan bulan, lelaki itu jadi jarang menemani ibu. Setiap ibu tanya selalu jawabannya menyejukkan perasaan ibu. Dia bekerja katanya, untuk menyambut kelahiranmu.”

Perempuan itu kembali menari. Sesekali ia bernyanyi. Imajinasinya begitu bidadari. Kadang berguling dan merayap. Tak dia perdulikan tubuhnya yang semakin kotor. Mulutnya masih terus memuntahkan kata-kata. Kembali ia terisak. Lalu berteriak.

“Manando Mato! Manando Mato! Akan kutuntaskan dendam ini,” dia menutup mulutunya dan membelai permukaan gundukan itu, ”bukan, Anakku. Ibu bukan marah padamu. Boboklah. Bobok. Ibu nyanyikan Nina Bobo, ya...”

Perempuan itu masih bernyanyi. Perih. Airmatanya kembali menganak sungai. Dengan kepedihannya, dia tunaikan keibuannya. Menepuk-nepuk lembut gundukan itu. Sesakali mengibaskan tanganya seolah sedang mengusir nyamuk. Memberi susu. Sesekali mencoba menenangkan. Kemudian berteriak.

“Sudah cukup. Tak usah menangis. Aku yang seharusnya menangis. Bukan kau!”

Mata perempuan itu liar. Ada srigala dipandanganya. Dia mendengus. Dengan sepenuh tenaga ia memukul, menendang, menginjak gundukan itu. Berlari ke sana kemari mencari batu atau kayu, lalu bertubi-tubi ia hunjamkan ke gundukan itu. Kemabli terisak-isak.

“Maafkan ibu, Anakku. Kau tidak salah. Manando Mato yang salah. Dia yang membunuh kakek dan nenekmu. Dia yang meracuni mereka. Karena dendam, katanya. Dia menuduh kakekmu, membunuh kedua orangtuanya. Dia dendam. Dia lupa masih ada aku. Hahahaha...”Perempuan itu tertawa cekikikan.

“Sengaja dia rusak aku. Dia hancurkan hidupku. Makanya, kubebaskan kau, Anakku. Kubebaskan kau dari darah busuknya. Manando Mato! Manando Mato! Jangan Lari! Akan kutuntaskan dendam ini! Bajingan!”

Perempuan itu tak menyangka, lelaki itu begitu biadabnya. Ternyata selama ini dia telah meracuni kedua orangtuanya. Dengan membelikan makanan kesuakaan mereka. Menyebarkan racun dimana-mana. Termasuk di air minum.

Lelaki itu sudah menyiapka skenario itu cukup lama. Memulai dengan berkenalan dengan perempuan itu. Masuk ke keluarga mereka. Memang ayah perempuan itu dulunya seorang pembunuh bayaran di kota J, kemudian setelah berkenalan dengan ibunya, mereka pindah ke kota M. Mencoba peruntungan dan hidup bersama. Meninggalkan dosa-dosa masa lalu.

Kebahagiaan itu semakin lengkap, setelah perempuan itu lahir. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik yang baik. Kebetulan, Manando Mato datang menggantikan manejer yang lama. Skenario itu begitu halusnya, sehingga Manando Mato berhasil mentupi siapa dirinya. Rahasia itu kemudian terungkap setelah Manando Mato ketahuan menaburkan bubuk di kopi perempuan itu. Terjadi pertengkaran. Manando Mato membongkar siapa dirinya. Sebelum rencananya menyebar, Manando Mato segera membawa lari perempuan itu.

Di tempat pelarian, Manando Mato tetap melaksanakan renca-rencana busuknya. Dia berahasil merenggut mahkota perempuan itu. Dia pun berkali-kali menciptakan alasan, untuk dapat meninggalkan perempuan itu. Dia berhasil. Genap kandungan perempuan itu sembilan bulan, Manando Mato pun pergi dan tak kembali. Dia sempat menuliskan surat untuk perempuan itu dan menceritakan siapa dirinya. Tentang kurir yang mengirim surat-surat kepada perempuan itu. Tentang segalanya. Demi membaca surat itu perempuan itu histeris. Dia menjerit dan menangis sejadi-jadinya.

Perempuan itu berlari. Berteriak. Menendang. Memukul. Membanting apa saja. Malam semakin larut. Isi surat itu begitu memukulnya. Hujan kembali menitik. Kilat menyambar-nyambar. Genangan darah yang tadinya sempat terhenti, kembali merembes, semakin menggenang. Darah dan hujan seperti sedang berkolaborasi. Ada kesan sintesis mutualisma dimana-mana, termasuk di sekujur tubuh perempuan itu. Perempuan yang sedang menggenggam belati di tangannya. Kolaborasi hujan dan darah itupun ditimpali dengan peluh dan airmata. Tak jauh dari tempatnya gundukan tanah yang baru digalinya, mengikis. Habis.

“Kau kejam, Manando Mato. Aku begitu mencintaimu., Ternyata ini semua tipu muslihatmu. Kau bunuh kedua orangtuaku. Kau rusak masa depanku. Maafkan ibu, Anakku. Kau tak salah. Manando Mato lah yang salah.”

Ia berdiri di atas gundukan. Mengangkat belatinya tinggi-tinggi, sambil berteriak. Menghentak langit. Dia pun menghunjamkan belatinya ke arah gundukan itu. Berkali-kali. Berdiri kembali, mengangkat belatinya tinggi-tinggi, dan menghunjamkan ke dadanya berakli-kali.

“Manando Mato! Manando Mato! Bajingan!”

Komunitas home poetry, 2013

No comments: